PENGARUH KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA TERH
PENGARUH KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA TERHADAP
STATUS KEMISKINAN RUMAH TANGGA DI KABUPATEN
KULONPROGO TAHUN 2012
(Analisis Data Susenas Tahun 2012)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Analisis Data Kategorik
Disusun oleh:
Khairul Azmi
12.7211
Mesagus Awan Dewangga
12. 7248
Yolanda Wilda Artati
12.7440
Kelas 3SE1
SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK
JAKARTA
2015
Latar Belakang
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat
perhatian pemerintah di negara manapun. Kemiskinan pada umumya ditandai oleh rendahnya
tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan, gizi serta kesejahteraan
penduduk. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki dan yang
dimanfaatkan terutama dari tingkat pendidikan formal maupun non formal (Supriatna, 2000).
Fakta menunjukkan bahwa pembangunan telah dilakukan, namun belum mampu
menekan meningkatnya jumlah penduduk miskin di dunia, khususnya negara-negara
berkembang. Selama ini kemiskinan lebih cenderung dikaitkan dengan dimensi ekonomi
karena dimensi ini lebih mudah diamati, diukur, dan diperbandingkan. Menurut World
Development Report (2008), selain dilihat dari dimensi pendapatan, kemiskinan juga perlu
dilihat dari dimensi lain seperti dimensi sosial, dimensi kesehatan, dimensi pendidikan,
dimensi akses terhadap air bersih, dan perumahan. Kemiskinan merupakan masalah kompleks
yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan,
pendidikan, akses tehadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan.
Indonesia yang merupakan negara berkembang juga menghadapi masalah kemiskinan.
Tingginya angka kemiskinan di suatu negara dapat menghambat pertumbuhan perekonomian
negara tersebut. Sehingga, kemiskinan merupakan suatu hal yang perlu perhatian khusus
untuk dapat diatasi. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 20102014. Salah satu sasaran pokok pembangunan yang tercantum di dalamnya yaitu menurunkan
tingkat kemiskinan menjadi 8-10 persen pada tahun 2014.1
Tabel. 1
Perkembangan Kemiskinan di Indonesia tahun 2004 – 2012
Jumlah
Presentase
Penduduk miskin penduduk miskin
Tahun
(dalam juta
(dalam persen)
orang)
Desa
Kota
Desa
Kota
2004
11,4
24,8
12,13
20,11
2005
12,4
22,7
11,68
19,81
2006
14,49
24,81
13,47
21,81
2007
13,56
23,61
12,52
20,37
2008
12,77
22,19
11,65
18,93
2009
11,91
20,62
10,72
17,35
2010
11,1
19,93
9,87
16,56
2011
11,05
18,97
9,23
15,72
2012
10,65
18,48
8,78
15,12
Sumber: BPS, Statistik Indonesia; diolah
1
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2010. Penanggulangan Kemiskinan: Situasi Terkini,
Target Pemerintah, dan Program Percepatan. Jakarta: TNP2K
Berdasarkan Tabel. 1.1 terlihat bahwa penduduk miskin di desa maupun kota
mengalami penurunan dari tahun 2006 sampai dengan 2012. Akan tetapi tingkat kemiskinan
tersebut masih besar, yaitu lebih dari 10 persen.
Provinsi DIY merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan yang cukup
tinggi. Tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2012
merupakan yang tertinggi di Pulau Jawa. Tingkat kemiskinan di wilayah ini bahkan jauh lebih
tinggi dari DKI Jakarta, Banten dan Jawa Tengah (Republika, 2013). Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, tingkat kemiskinan di wilayah DIY pada akhir 2012
mencapai 15,88 persen.
Sejak tahun 2009 hingga tahun 2012, persentase penduduk miskin di setiap
Kabupaten/Kota Provinsi DIY selalu mengalami penurunan kecuali pada Kabupaten
Kulonprogo. Persentase penduduk miskin di kabupaten tersebut justru mengalami
peningkatan dari 17,2 persen pada tahun 2011 menjadi 23,32 persen pada tahun 2012. Selain
itu, tingkat kemiskinan Kabupaten Kulonprogo tahun 2012 yang sebesar 23,32 merupakan
yang tertinggi jika dibandingkan dengan seluruh kabupaten/kota di Provinsi DIY.
Tabel 2
Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin menurut Kabupaten/Kota D.I. Yogyakarta 2006 –
2012 (dalam ribu orang)
Kabupaten/Kota
Kab.
Kulonprogo
Kab. Bantul
Kab. Gunung
Kidul
Kab. Sleman
Kota
Yogyakarta
2009
2010
Jumlah
Presentase
Jumlah Presentase
159,23
18,54
152,2
170,02
25,96
96,92
2011
2012
Jumlah
Presentase
Jumlah
Presentase
17,22
146,5
17,2
92,4
23,32
168
24,62
163,2
24,01
158,8
16,97
26,85
87,92
25,33
86,92
25
156,5
22,72
124,05
12,34
122,1
12,01
119,2
11,94
116,8
10,44
47,11
10,81
47,11
10,71
45,11
10,02
37,6
9,38
Sumber: BPS, Statistik Indonesia; diolah
Belum meratanya hasil usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan di
seluruh kabupaten/kota bisa menyebabkan tingkat kemiskinan di provinsi tersebut tetap
tinggi. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
“Pengaruh Karakteristik Rumah Tangga terhadap Status Kemiskinan Rumah Tangga di
Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang melatar belakangi penelitian ini, maka dirumuskan berbagai
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Kulonprogo
Tahun 2012?
2. Bagaimanakah pengaruh karakteristik rumah tangga terhadap status kemiskinan
rumah tangga di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012?
Tujuan
1. Menggambarkan karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Kulonprogo Tahun
2012.
2. Mengetahui pengaruh karakteristik rumah tangga terhadap status kemiskinan rumah
tangga di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012.
Manfaat
Tercapainya tujuan dan sasaran penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat
dalam bidang akademis maupun dalam bidang pemerintahan dalam pelaksanaan program
pengentasan kemiskinan.
Tinjauan Pustaka
Konsep dan Definisi Kemiskinan
Badan Pusat Statistik mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi kehidupan yang
serba kekurangan yang dialami seseorang yang pengeluaran per kapitanya selama sebulan
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan standar hidup minimum. Kebutuhan standar hidup
minimum digambarkan dengan garis kemiskinan (GK), yaitu batas minimum pengeluaran per
kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan nonmakanan. Batas
kecukupan minimum makanan mengacu pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi pada
tahun 1978, yaitu besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi
kebutuhan minimum energi 2100 kalori per kapita per hari, sedangkan kebutuhan minimum
nonmakanan mencakup pengeluaran untuk perumahan, penerangan, bahan bakar, pakaian,
pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang tahan lama serta barang dan jasa esensial
lainnya. Jumlah orang miskin/head count index (HCI) dapat dilihat melalui jumlah orang
yang berada di bawah atau sama dengan garis kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2002).
Karakteristik Rumah Tangga Miskin
Dalam buku Dasar-Dasar Analisis Kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2002) diuraikan
karakteristik rumah tangga dan individu yang berkaitan dengan kemiskinan yang digolongkan
menjadi tiga kelompok:
1. Karakteristik demografi
Karakteristik demografi terdiri dari struktur dan ukuran rumah tangga serta
jender kepala rumah tangga.
2. Karakteristik ekonomi
Karakteristik ekonomi mencakup pekerjaan, pendapatan, pengeluaran
konsumsi, dan kepemilikan harta benda rumah tangga.
3. Karakteristik sosial
Karakteristik sosial mencakup kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal.
Faktor Penyebab Kemiskinan
Keban (1994) mengungkapkan bahwa ada tiga kelompok faktor penyebab kemiskinan
rumah tangga yaitu: (i) karakteristik individu kepala rumah tangga, (ii) karakteristik pekerjaan
kepala rumah tangga, dan (iii) karakteristik lingkungan. Dinyatakan juga bahwa kemiskinan
dipengaruhi secara langsung oleh karakteristik pekerjaan kepala rumah tangga, sedangkan
kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan tertentu ditentukan oleh karakteristik individu
kepala rumah tangga dan karakteristik lingkungannya. Beberapa di antara karakteristik
individu
adalah
ketidakmampuan
dalam
mengatur
keuangan,
rendahnya
pendidikan/ketrampilan dan kecilnya modal, sedangkan karakteristik lingkungan bisa berupa
wilayah tempat tinggal (desa/kota) atau kondisi sosial ekonomi.
Menurut Sumodiningrat, et.al (1999) dalam Budi Zulfachri (2003) bahwa penyebab
kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua faktor , yaitu:
1.
Kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh faktor eksternal atau faktor yang berada di
luar jangkauan individu. Faktor ini secara nyata lebih bersifat hambatan kelembagaan
atau struktur yang memang dapat menghambat seseorang untuk meraih kesempatankesempatannya. Timbulnya kemiskinan ini bukan karena seseorang malas atau tidak
mampu bekerja, tetapi lebih disebabkan oleh sumber-sumber pendapatan yang
tersedia tidak dapat diakses, karena ada batas struktur yang sengaja diciptakan dalam
masyarakat. Kemiskinan ini meliputi: kekurangan fasilitas permukiman yang sehat,
kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya,
kekurangan perlindungan hukum dari pemerintah. Sehingga kemiskinan jenis ini
disebut dengan kemiskinan struktural. Di samping faktor kelembagaan sebagai
penyebab kemiskinan ini, faktor lainnya adalah karena terbatasnya SDA yang
dimiliki tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat.
2. Kemiskinan yang disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri
seseorang atau lingkungannya. Kemiskinan jenis ini terjadi sebagai akibat dari nilainilai dan kebudayaan yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Jadi tidak bermula
dari struktur sosial tetapi berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin itu
sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras, bodoh, tidak
mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, tidak ada hasrat berprestasi,
dan sebagainya. Atau dengan kata lain masyarakatnya memiliki mental miskin.
Penelitian yang relevan
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai kemiskinan dengan unit analisis
rumah tangga. Beberapa penelitian membahas mengenai profil rumah tangga miskin dan juga
faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga tersebut.
Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Nasir, Muh. Saichudin dan Maulizar (2008)
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga di Kabupaten
Purworejo. Penelitian tersebut menggunakan analisis regresi logistic (Model Logit) karena
data peubah responnya bernilai 1 dan 0 (berskala biner). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi kemiskinan rumah tangga di Kabupaten
Purworejo dengan pengaruh berturut-turut yang paling besar adalah jumlah anggota rumah
tangga, konsumsi air bersih, angka ketergantungan, umur, pendidikan, sektor pekerjaan,
keluhan kesehatan dan daerah tempat tinggal. Variabel-variabel tersebut berpengaruh secara
positif kecuali umur kepala rumah tangga yang berpengaruh negatif. Faktor dominan yang
mempengaruhi kemiskinan rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga, konsumsi air
bersih, angka ketergantungan dan umur.
Dinar Butar-Butar (2008) melakukan penelitian dengan judul analisis sosial ekonomi
rumah tangga kaitannya dengan kemiskinan di pedesaan, yang bertujuan untuk mengetahui
apakah kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang terdiri dari: tingkat pendidikan, jumlah
anggota rumah tangga, jenis pekerjaan dan kepemilikan sumber daya ekonomi memberikan
pengaruh yag signifikan terhadap kemiskinan di pedesaan. Penelitian tersebut menggunakan
multiple logistic regression model. Hasilnya, kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang
terdiri dari: tingkat pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, jenis pekerjaan dan
kepemilikan sumber daya ekonomi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kemiskinan rumah tangga di pedesaan.
Ennin et.al.(2011) menggunakan model logistik binomial untuk menentukan faktorfaktor yang mempengaruhi status kemiskinan rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rumah tangga dengan ukuran besar, kepala rumah tangga buta huruf dan kepala rumah
tangga dengan pekerjaan utama di sektor pertanian adalah miskin. Selain itu, rumah tangga di
pedesaan dan zona savana juga miskin.
Kerangka Pikir
Berdasarkan kajian pustaka di atas, maka kerangka pikir dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Variabel ekonomi
Lapangan usaha KRT
Variabel demografi
Jumlah ART
Status kemiskinan rumah tangga
di Kabupaten Kulonprogo
Variabel sosial
Tingkat pendidikan KRT
Status tempat tinggal
Definisi operasional variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
Variabel Tak Bebas
Variabel tak bebas dalam penelitian ini adalah status kemiskinan rumah tangga (Y) yang
dikategorikan menjadi Rumah tangga miskin = 1 dan Rumah tangga tidak miskin = 0.
Variabel Bebas
1. Tingkat pendidikan KRT (DIK) yang dikategorikan menjadi SLTP ke bawah = 1 dan
SLTA ke atas = 0
2. Jumlah anggota rumah tangga (JMLART)
3. Lapangan usaha pekerjaan KRT (LU) yang dikategorikan menjadi sektor primer atau
tidak bekerja =1 dan sektor lainnya=0
4. Status daerah tempat tinggal (DT) yang dikategorikan menjadi pedesaan=1 dan
perkotaan=0
Perumusan Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah bahwa status daerah tempat tinggal,
jumlah anggota rumah tangga, lapangan usaha pekerjaan KRT dan tingkat pendidikan KRT
berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Kabupaten Kulonprogo.
Metodologi
Sumber Data
Penelitian ini memfokuskan pada kajian mengenai karakteristik rumah tangga miskin
di Kabupaten Kulonprogo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder dari Badan Pusat Statistik yang berupa data mentah (raw data ) Susenas 2012
Kabupaten Kulonprogo yang terdiri dari modul konsumsi, dan kor rumah tangga.
Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Untuk mengetahui bagaimana gambaran umum karakteristik demografi, sosial, dan
ekonomi penduduk miskin dan penduduk tidak miskin di DIY dibuat tabel-tabel silang antara
masing-masing karakteristik dengan status kemiskinan penduduk. Karakteristik demografi
yang akan dilihat adalah jumlah anggota rumah tangga. Karakteristik sosial dibagi dua yaitu
pendidikan (pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumah tangga) dan status tempat
tinggal. Sedangkan karakteristik ekonominya berupa jenis status pekerjaan dan lapangan
usaha kepala rumah tangga
Analisis Regresi Logistik
Regresi Logistik digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel respons
dengan variabel penjelas yang berskala kategori, kontinyu atau keduanya. Apabila variabel
responnya berskala biner (dikotomi) maka digunakan regresi logistik binomial (binomial or
binary logistic regression ).Variabel respon berskala biner adalah variabel yang hanya
mempunyai dua kategori saja. Misalkan Y = 1 menyatakan kejadian yang “sukses” dan untuk
Y = 0 menyatakan kejadian yang “gagal”.
Variabel tak bebas Y mengikuti sebaran Bernoulli dengan fungsi:
f ( yi ) ( x) yi 1 ( x)
1 yi
;
i = 1,2,...n
Model peluang regresi logistik dengan p faktor (variabel penjelas) adalah:
exp 0 1 x1 ....... p x p
x
1 exp 0 1 x1 ....... p x p
x adalah peluang terjadinya kejadian yang “sukses” yaitu y = 1 dengan nilai probabilita
0 x 1, dan j adalah nilai parameter dengan j = 1,2,...p.
Fungsi x merupakan fungsi non linier sehingga perlu dilakukan transformasi logit
untuk memperoleh fungsi linier agar dapat dilihat hubungan antara variabel respons dan
variabel penjelas. Dengan melakukan transformasi logit dari x , didapat persamaan yang
lebih sederhana yaitu:
x
g x ln
0 1 x1 ...... p x p
1 x
Data Susenas Kabupaten Kulonprogo tahun 2012 diolah dengan menggunakan paket
program SPSS 22 for Windows dengan metode enter. Sehingga model yang menunjukkan
peluang seorang penduduk miskin berdasarkan karakteristiknya adalah
exp( 0 1 X1 2 D1 3 D2 ....... 13 D12 )
( x)
1 exp( 0 1 X1 2 D1 3 D2 ....... 13 D12 )
yang kemudian ditransformasikan ke model logit:
g ( x) 0 1 X1 2 D1 3 D2 ....... 13 D12
Pendugaan Parameter
Regresi logistik menggunakan metode Maximum Likelihood untuk menduga
parameter-parameternya (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Nilai dapat ditentukan dengan
metode Newton Raphson, tetapi sangat sulit menghitung nilai secara manual. Oleh karena
itu, digunakan metode iterasi dengan komputer untuk mencari solusi , yaitu dengan
prosedur “iterative reweighted least square ”. Iterasi merupakan metode yang umum dipakai
dalam paket program SPSS untuk membantu perhitungan estimasi dari .
Uji kelayakan/signifikansi model
Uji Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit Test dilakukan untuk menguji hipotesis
nol untuk mendapatkan bukti bahwa data empiris yang digunakan cocok atau sesuai dengan
model. Mengacu pada Ghozali (2009) dalam Sastra (2011:37), apabila nilai Hosmer and
Lemeshow signifikan atau lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis nol ditolak dan model
dianggap tidak fit. Sedangkan apabila nilai Hosmer and Lemeshow tidak signifikan atau lebih
besar dari 0,05, maka hipotesis nol diterima dan model dianggap fit.
Pengujian Parameter
Pengujian parameter model dilakukan untuk memeriksa apakah peubah penjelas
mempunyai peranan (pengaruh) yang nyata di dalam model. Uji parameter yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Uji Signifikansi Model (Likelihood Ratio Test) dan Uji Parameter
secara Parsial (Wald Test).
1. Uji Signifikansi Model (Likelihood Ratio Test)
Untuk mengetahui peran seluruh variabel penjelas di dalam model secara bersamasama dapat digunakan uji Likelihood Ratio dengan hipotesis:
H0 : 1 = 2 = 3 = ...... = p= 0 (tidak ada pengaruh variabel penjelas terhadap variabel
respons)
H1 : Minimal ada satu j 0 (minimal ada satu variabel penjelas yang berpengaruh terhadap
variabel respons) ; j =1,2,......p
Hal tersebut dengan membandingkan nilai statistik G2 dengan tabel 2. Formula untuk
statistik uji adalah:
G2
L
2 ln 0
Lp
di mana L0 = maksimum Likelihood dari model reduksi (Reduced Model) atau likelihood
Lp =
tanpa peubah/variabel penjelas.
maksimum Likelihood dari model penuh (Full Model) atau
likelihood
dengan peubah/variabel penjelas.
Statistik G ini mengikuti distribusi Chi-Square dengan derajat bebas p sehingga H0 ditolak
jika G2 > 20,05; p atau p-value < 0,05, yang berarti variabel penjelas X secara bersama-sama
mempengaruhi variabel respons Y.
2. Uji Parameter secara Parsial (Wald Test)
Pada umumnya tujuan analisis adalah untuk mencari model yang cocok dengan
keterpautan yang kuat antara model dengan data yang ada. Menurut Hosmer dan Lemeshow
(1989), pengujian keberartian parameter (koefisien ) secara parsial dapat digunakan uji Wald
dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut:
H0 : j = 0 (tidak ada pengaruh antara variabel penjelas ke-j dengan variabel respons)
H1 : j ≠ 0 (ada pengaruh antara variabel penjelas ke-j dengan variabel respons)
2
Statistik uji yang digunakan adalah statistik Uji Wald:
ˆ
j
W
ˆ
se j
2
di mana ˆ j penduga dari j , dan se ( ˆ j ) penduga galat baku dari j .
Statistik W diasumsikan mengikuti distribusi Chi-Square dengan derajat bebas 1 sehingga H0
ditolak jika W > 20,05;1 atau p-value < 0,05, yang berarti variabel penjelas X secara parsial
mempengaruhi variabel respons Y.
Tabel 3 Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Analisis
Variabel
Label
Kategori
(1)
(2)
(4)
Respons
Status kemiskinan penduduk
1= rumah tangga miskin
Y
0= rumah tangga tidak miskin
Penjelas
JMLART Jumlah ART
DIK
Tingkat pendidikan KRT
1 = SLTP ke bawah
0 = SLTA ke atas
LU
Lapangan Usaha
1 = sektor primer atau tidak
bekerja
0 = sektor lainnya
DT
Status Daerah Tempat Tinggal
1 = Pedesaan
0 = Perkotaan
Hasil dan Pembahasan
Analisis Deskriptif
Tabel 4. Persentase Rumah Tangga menurut Daerah Tempat Tinggal
dan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Kulonprogo
Tahun 2012
Status Kemiskinan Rumah
Tangga
Daerah Tempat Tinggal
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
Pedesaan
66,30
78,80
Perkotaan
33,70
21,20
Total
100,00
100,00
Sumber: Raw data Susenas 2012 Kab.Kulonprogo, diolah kembali
Mayoritas rumah tangga miskin di Kabupaten Kulonprogo merupakan rumah tangga yang
tinggal di pedesaan. Dari keseluruhan rumah tangga miskin 78,8 persen diantaranya tinggal
di pedesaan. Sedangkan sisanya yang sebesar 21,2 persen tinggal di perkotaan.
Tabel 5. Persentase Rumah Tangga menurut Tingkat Pendidikan
KRT dan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten
Kulonprogo Tahun 2012
Status Kemiskinan Rumah
Tangga
Tingkat pendidikan KRT
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
SLTA
8,40
0,00
Total
100,00
100,00
Sumber: Raw data Susenas 2012 Kab.Kulonprogo, diolah kembali
Sebanyak 66,4 persen dari rumah tangga miskin memiliki kepala rumah tangga dengan
tingkat pendidikan kurang dari atau sama dengan SD. Sedangkan sisanya yaitu 33,6 persen
dari rumah tangga miskin memiliki kepala rumah tangga dengan tingkat pendidikan lebih dari
atau sama dengan SLTP. Hal tersebut berkebalikan dengan rumah tangga tidak miskin. Pada
rumah tangga tidak miskin, persentase rumah tangga dengan kepala rumah tangga
berpendidikan lebih dari atau sama dengan SLTP (51,8 persen) lebih besar daripada rumah
tangga dengan kepala rumah tangga berpendidikan kurang dari atau sama dengan SD (48,2
persen).
Tabel 6. Persentase Rumah Tangga menurut Lapangan Usaha/Sektor
Pekerjaan KRT dan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten
Kulonprogo Tahun 2012
Status Kemiskinan Rumah
Tangga
Lapangan Usaha/Sektor
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
Sektor primer atau tidak bekerja
49,6
62,0
Sektor lainnya
50,4
38,0
Total
100,00
100,00
Sumber: Raw data Susenas 2012 Kab.Kulonprogo, diolah kembali
Persentase rumah tangga miskin yang lapangan usaha kepala rumah tangganya di sektor
primer atau tidak bekerja adalah 62 persen. Sisanya sebesar 38 persen dari rumah tangga
miskin memiliki kepala rumah tangga dengan lapangan usaha di lainnya.
Tabel 7. Persentase Rumah Tangga menurut Jumlah Anggota Rumah
Tangga dan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Kulonprogo
Tahun 2012
Status Kemiskinan Rumah Tangga
Jumlah Anggota Rumah Tangga
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
> 4 orang
19,48
40,88
STATUS KEMISKINAN RUMAH TANGGA DI KABUPATEN
KULONPROGO TAHUN 2012
(Analisis Data Susenas Tahun 2012)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Analisis Data Kategorik
Disusun oleh:
Khairul Azmi
12.7211
Mesagus Awan Dewangga
12. 7248
Yolanda Wilda Artati
12.7440
Kelas 3SE1
SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK
JAKARTA
2015
Latar Belakang
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat
perhatian pemerintah di negara manapun. Kemiskinan pada umumya ditandai oleh rendahnya
tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan, gizi serta kesejahteraan
penduduk. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki dan yang
dimanfaatkan terutama dari tingkat pendidikan formal maupun non formal (Supriatna, 2000).
Fakta menunjukkan bahwa pembangunan telah dilakukan, namun belum mampu
menekan meningkatnya jumlah penduduk miskin di dunia, khususnya negara-negara
berkembang. Selama ini kemiskinan lebih cenderung dikaitkan dengan dimensi ekonomi
karena dimensi ini lebih mudah diamati, diukur, dan diperbandingkan. Menurut World
Development Report (2008), selain dilihat dari dimensi pendapatan, kemiskinan juga perlu
dilihat dari dimensi lain seperti dimensi sosial, dimensi kesehatan, dimensi pendidikan,
dimensi akses terhadap air bersih, dan perumahan. Kemiskinan merupakan masalah kompleks
yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan,
pendidikan, akses tehadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan.
Indonesia yang merupakan negara berkembang juga menghadapi masalah kemiskinan.
Tingginya angka kemiskinan di suatu negara dapat menghambat pertumbuhan perekonomian
negara tersebut. Sehingga, kemiskinan merupakan suatu hal yang perlu perhatian khusus
untuk dapat diatasi. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 20102014. Salah satu sasaran pokok pembangunan yang tercantum di dalamnya yaitu menurunkan
tingkat kemiskinan menjadi 8-10 persen pada tahun 2014.1
Tabel. 1
Perkembangan Kemiskinan di Indonesia tahun 2004 – 2012
Jumlah
Presentase
Penduduk miskin penduduk miskin
Tahun
(dalam juta
(dalam persen)
orang)
Desa
Kota
Desa
Kota
2004
11,4
24,8
12,13
20,11
2005
12,4
22,7
11,68
19,81
2006
14,49
24,81
13,47
21,81
2007
13,56
23,61
12,52
20,37
2008
12,77
22,19
11,65
18,93
2009
11,91
20,62
10,72
17,35
2010
11,1
19,93
9,87
16,56
2011
11,05
18,97
9,23
15,72
2012
10,65
18,48
8,78
15,12
Sumber: BPS, Statistik Indonesia; diolah
1
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2010. Penanggulangan Kemiskinan: Situasi Terkini,
Target Pemerintah, dan Program Percepatan. Jakarta: TNP2K
Berdasarkan Tabel. 1.1 terlihat bahwa penduduk miskin di desa maupun kota
mengalami penurunan dari tahun 2006 sampai dengan 2012. Akan tetapi tingkat kemiskinan
tersebut masih besar, yaitu lebih dari 10 persen.
Provinsi DIY merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan yang cukup
tinggi. Tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2012
merupakan yang tertinggi di Pulau Jawa. Tingkat kemiskinan di wilayah ini bahkan jauh lebih
tinggi dari DKI Jakarta, Banten dan Jawa Tengah (Republika, 2013). Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, tingkat kemiskinan di wilayah DIY pada akhir 2012
mencapai 15,88 persen.
Sejak tahun 2009 hingga tahun 2012, persentase penduduk miskin di setiap
Kabupaten/Kota Provinsi DIY selalu mengalami penurunan kecuali pada Kabupaten
Kulonprogo. Persentase penduduk miskin di kabupaten tersebut justru mengalami
peningkatan dari 17,2 persen pada tahun 2011 menjadi 23,32 persen pada tahun 2012. Selain
itu, tingkat kemiskinan Kabupaten Kulonprogo tahun 2012 yang sebesar 23,32 merupakan
yang tertinggi jika dibandingkan dengan seluruh kabupaten/kota di Provinsi DIY.
Tabel 2
Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin menurut Kabupaten/Kota D.I. Yogyakarta 2006 –
2012 (dalam ribu orang)
Kabupaten/Kota
Kab.
Kulonprogo
Kab. Bantul
Kab. Gunung
Kidul
Kab. Sleman
Kota
Yogyakarta
2009
2010
Jumlah
Presentase
Jumlah Presentase
159,23
18,54
152,2
170,02
25,96
96,92
2011
2012
Jumlah
Presentase
Jumlah
Presentase
17,22
146,5
17,2
92,4
23,32
168
24,62
163,2
24,01
158,8
16,97
26,85
87,92
25,33
86,92
25
156,5
22,72
124,05
12,34
122,1
12,01
119,2
11,94
116,8
10,44
47,11
10,81
47,11
10,71
45,11
10,02
37,6
9,38
Sumber: BPS, Statistik Indonesia; diolah
Belum meratanya hasil usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan di
seluruh kabupaten/kota bisa menyebabkan tingkat kemiskinan di provinsi tersebut tetap
tinggi. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
“Pengaruh Karakteristik Rumah Tangga terhadap Status Kemiskinan Rumah Tangga di
Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang melatar belakangi penelitian ini, maka dirumuskan berbagai
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Kulonprogo
Tahun 2012?
2. Bagaimanakah pengaruh karakteristik rumah tangga terhadap status kemiskinan
rumah tangga di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012?
Tujuan
1. Menggambarkan karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Kulonprogo Tahun
2012.
2. Mengetahui pengaruh karakteristik rumah tangga terhadap status kemiskinan rumah
tangga di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2012.
Manfaat
Tercapainya tujuan dan sasaran penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat
dalam bidang akademis maupun dalam bidang pemerintahan dalam pelaksanaan program
pengentasan kemiskinan.
Tinjauan Pustaka
Konsep dan Definisi Kemiskinan
Badan Pusat Statistik mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi kehidupan yang
serba kekurangan yang dialami seseorang yang pengeluaran per kapitanya selama sebulan
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan standar hidup minimum. Kebutuhan standar hidup
minimum digambarkan dengan garis kemiskinan (GK), yaitu batas minimum pengeluaran per
kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan nonmakanan. Batas
kecukupan minimum makanan mengacu pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi pada
tahun 1978, yaitu besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi
kebutuhan minimum energi 2100 kalori per kapita per hari, sedangkan kebutuhan minimum
nonmakanan mencakup pengeluaran untuk perumahan, penerangan, bahan bakar, pakaian,
pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang tahan lama serta barang dan jasa esensial
lainnya. Jumlah orang miskin/head count index (HCI) dapat dilihat melalui jumlah orang
yang berada di bawah atau sama dengan garis kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2002).
Karakteristik Rumah Tangga Miskin
Dalam buku Dasar-Dasar Analisis Kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2002) diuraikan
karakteristik rumah tangga dan individu yang berkaitan dengan kemiskinan yang digolongkan
menjadi tiga kelompok:
1. Karakteristik demografi
Karakteristik demografi terdiri dari struktur dan ukuran rumah tangga serta
jender kepala rumah tangga.
2. Karakteristik ekonomi
Karakteristik ekonomi mencakup pekerjaan, pendapatan, pengeluaran
konsumsi, dan kepemilikan harta benda rumah tangga.
3. Karakteristik sosial
Karakteristik sosial mencakup kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal.
Faktor Penyebab Kemiskinan
Keban (1994) mengungkapkan bahwa ada tiga kelompok faktor penyebab kemiskinan
rumah tangga yaitu: (i) karakteristik individu kepala rumah tangga, (ii) karakteristik pekerjaan
kepala rumah tangga, dan (iii) karakteristik lingkungan. Dinyatakan juga bahwa kemiskinan
dipengaruhi secara langsung oleh karakteristik pekerjaan kepala rumah tangga, sedangkan
kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan tertentu ditentukan oleh karakteristik individu
kepala rumah tangga dan karakteristik lingkungannya. Beberapa di antara karakteristik
individu
adalah
ketidakmampuan
dalam
mengatur
keuangan,
rendahnya
pendidikan/ketrampilan dan kecilnya modal, sedangkan karakteristik lingkungan bisa berupa
wilayah tempat tinggal (desa/kota) atau kondisi sosial ekonomi.
Menurut Sumodiningrat, et.al (1999) dalam Budi Zulfachri (2003) bahwa penyebab
kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua faktor , yaitu:
1.
Kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh faktor eksternal atau faktor yang berada di
luar jangkauan individu. Faktor ini secara nyata lebih bersifat hambatan kelembagaan
atau struktur yang memang dapat menghambat seseorang untuk meraih kesempatankesempatannya. Timbulnya kemiskinan ini bukan karena seseorang malas atau tidak
mampu bekerja, tetapi lebih disebabkan oleh sumber-sumber pendapatan yang
tersedia tidak dapat diakses, karena ada batas struktur yang sengaja diciptakan dalam
masyarakat. Kemiskinan ini meliputi: kekurangan fasilitas permukiman yang sehat,
kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya,
kekurangan perlindungan hukum dari pemerintah. Sehingga kemiskinan jenis ini
disebut dengan kemiskinan struktural. Di samping faktor kelembagaan sebagai
penyebab kemiskinan ini, faktor lainnya adalah karena terbatasnya SDA yang
dimiliki tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat.
2. Kemiskinan yang disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri
seseorang atau lingkungannya. Kemiskinan jenis ini terjadi sebagai akibat dari nilainilai dan kebudayaan yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Jadi tidak bermula
dari struktur sosial tetapi berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin itu
sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras, bodoh, tidak
mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, tidak ada hasrat berprestasi,
dan sebagainya. Atau dengan kata lain masyarakatnya memiliki mental miskin.
Penelitian yang relevan
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai kemiskinan dengan unit analisis
rumah tangga. Beberapa penelitian membahas mengenai profil rumah tangga miskin dan juga
faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga tersebut.
Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Nasir, Muh. Saichudin dan Maulizar (2008)
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga di Kabupaten
Purworejo. Penelitian tersebut menggunakan analisis regresi logistic (Model Logit) karena
data peubah responnya bernilai 1 dan 0 (berskala biner). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi kemiskinan rumah tangga di Kabupaten
Purworejo dengan pengaruh berturut-turut yang paling besar adalah jumlah anggota rumah
tangga, konsumsi air bersih, angka ketergantungan, umur, pendidikan, sektor pekerjaan,
keluhan kesehatan dan daerah tempat tinggal. Variabel-variabel tersebut berpengaruh secara
positif kecuali umur kepala rumah tangga yang berpengaruh negatif. Faktor dominan yang
mempengaruhi kemiskinan rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga, konsumsi air
bersih, angka ketergantungan dan umur.
Dinar Butar-Butar (2008) melakukan penelitian dengan judul analisis sosial ekonomi
rumah tangga kaitannya dengan kemiskinan di pedesaan, yang bertujuan untuk mengetahui
apakah kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang terdiri dari: tingkat pendidikan, jumlah
anggota rumah tangga, jenis pekerjaan dan kepemilikan sumber daya ekonomi memberikan
pengaruh yag signifikan terhadap kemiskinan di pedesaan. Penelitian tersebut menggunakan
multiple logistic regression model. Hasilnya, kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang
terdiri dari: tingkat pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, jenis pekerjaan dan
kepemilikan sumber daya ekonomi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kemiskinan rumah tangga di pedesaan.
Ennin et.al.(2011) menggunakan model logistik binomial untuk menentukan faktorfaktor yang mempengaruhi status kemiskinan rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rumah tangga dengan ukuran besar, kepala rumah tangga buta huruf dan kepala rumah
tangga dengan pekerjaan utama di sektor pertanian adalah miskin. Selain itu, rumah tangga di
pedesaan dan zona savana juga miskin.
Kerangka Pikir
Berdasarkan kajian pustaka di atas, maka kerangka pikir dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Variabel ekonomi
Lapangan usaha KRT
Variabel demografi
Jumlah ART
Status kemiskinan rumah tangga
di Kabupaten Kulonprogo
Variabel sosial
Tingkat pendidikan KRT
Status tempat tinggal
Definisi operasional variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
Variabel Tak Bebas
Variabel tak bebas dalam penelitian ini adalah status kemiskinan rumah tangga (Y) yang
dikategorikan menjadi Rumah tangga miskin = 1 dan Rumah tangga tidak miskin = 0.
Variabel Bebas
1. Tingkat pendidikan KRT (DIK) yang dikategorikan menjadi SLTP ke bawah = 1 dan
SLTA ke atas = 0
2. Jumlah anggota rumah tangga (JMLART)
3. Lapangan usaha pekerjaan KRT (LU) yang dikategorikan menjadi sektor primer atau
tidak bekerja =1 dan sektor lainnya=0
4. Status daerah tempat tinggal (DT) yang dikategorikan menjadi pedesaan=1 dan
perkotaan=0
Perumusan Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah bahwa status daerah tempat tinggal,
jumlah anggota rumah tangga, lapangan usaha pekerjaan KRT dan tingkat pendidikan KRT
berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Kabupaten Kulonprogo.
Metodologi
Sumber Data
Penelitian ini memfokuskan pada kajian mengenai karakteristik rumah tangga miskin
di Kabupaten Kulonprogo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder dari Badan Pusat Statistik yang berupa data mentah (raw data ) Susenas 2012
Kabupaten Kulonprogo yang terdiri dari modul konsumsi, dan kor rumah tangga.
Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Untuk mengetahui bagaimana gambaran umum karakteristik demografi, sosial, dan
ekonomi penduduk miskin dan penduduk tidak miskin di DIY dibuat tabel-tabel silang antara
masing-masing karakteristik dengan status kemiskinan penduduk. Karakteristik demografi
yang akan dilihat adalah jumlah anggota rumah tangga. Karakteristik sosial dibagi dua yaitu
pendidikan (pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumah tangga) dan status tempat
tinggal. Sedangkan karakteristik ekonominya berupa jenis status pekerjaan dan lapangan
usaha kepala rumah tangga
Analisis Regresi Logistik
Regresi Logistik digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel respons
dengan variabel penjelas yang berskala kategori, kontinyu atau keduanya. Apabila variabel
responnya berskala biner (dikotomi) maka digunakan regresi logistik binomial (binomial or
binary logistic regression ).Variabel respon berskala biner adalah variabel yang hanya
mempunyai dua kategori saja. Misalkan Y = 1 menyatakan kejadian yang “sukses” dan untuk
Y = 0 menyatakan kejadian yang “gagal”.
Variabel tak bebas Y mengikuti sebaran Bernoulli dengan fungsi:
f ( yi ) ( x) yi 1 ( x)
1 yi
;
i = 1,2,...n
Model peluang regresi logistik dengan p faktor (variabel penjelas) adalah:
exp 0 1 x1 ....... p x p
x
1 exp 0 1 x1 ....... p x p
x adalah peluang terjadinya kejadian yang “sukses” yaitu y = 1 dengan nilai probabilita
0 x 1, dan j adalah nilai parameter dengan j = 1,2,...p.
Fungsi x merupakan fungsi non linier sehingga perlu dilakukan transformasi logit
untuk memperoleh fungsi linier agar dapat dilihat hubungan antara variabel respons dan
variabel penjelas. Dengan melakukan transformasi logit dari x , didapat persamaan yang
lebih sederhana yaitu:
x
g x ln
0 1 x1 ...... p x p
1 x
Data Susenas Kabupaten Kulonprogo tahun 2012 diolah dengan menggunakan paket
program SPSS 22 for Windows dengan metode enter. Sehingga model yang menunjukkan
peluang seorang penduduk miskin berdasarkan karakteristiknya adalah
exp( 0 1 X1 2 D1 3 D2 ....... 13 D12 )
( x)
1 exp( 0 1 X1 2 D1 3 D2 ....... 13 D12 )
yang kemudian ditransformasikan ke model logit:
g ( x) 0 1 X1 2 D1 3 D2 ....... 13 D12
Pendugaan Parameter
Regresi logistik menggunakan metode Maximum Likelihood untuk menduga
parameter-parameternya (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Nilai dapat ditentukan dengan
metode Newton Raphson, tetapi sangat sulit menghitung nilai secara manual. Oleh karena
itu, digunakan metode iterasi dengan komputer untuk mencari solusi , yaitu dengan
prosedur “iterative reweighted least square ”. Iterasi merupakan metode yang umum dipakai
dalam paket program SPSS untuk membantu perhitungan estimasi dari .
Uji kelayakan/signifikansi model
Uji Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit Test dilakukan untuk menguji hipotesis
nol untuk mendapatkan bukti bahwa data empiris yang digunakan cocok atau sesuai dengan
model. Mengacu pada Ghozali (2009) dalam Sastra (2011:37), apabila nilai Hosmer and
Lemeshow signifikan atau lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis nol ditolak dan model
dianggap tidak fit. Sedangkan apabila nilai Hosmer and Lemeshow tidak signifikan atau lebih
besar dari 0,05, maka hipotesis nol diterima dan model dianggap fit.
Pengujian Parameter
Pengujian parameter model dilakukan untuk memeriksa apakah peubah penjelas
mempunyai peranan (pengaruh) yang nyata di dalam model. Uji parameter yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Uji Signifikansi Model (Likelihood Ratio Test) dan Uji Parameter
secara Parsial (Wald Test).
1. Uji Signifikansi Model (Likelihood Ratio Test)
Untuk mengetahui peran seluruh variabel penjelas di dalam model secara bersamasama dapat digunakan uji Likelihood Ratio dengan hipotesis:
H0 : 1 = 2 = 3 = ...... = p= 0 (tidak ada pengaruh variabel penjelas terhadap variabel
respons)
H1 : Minimal ada satu j 0 (minimal ada satu variabel penjelas yang berpengaruh terhadap
variabel respons) ; j =1,2,......p
Hal tersebut dengan membandingkan nilai statistik G2 dengan tabel 2. Formula untuk
statistik uji adalah:
G2
L
2 ln 0
Lp
di mana L0 = maksimum Likelihood dari model reduksi (Reduced Model) atau likelihood
Lp =
tanpa peubah/variabel penjelas.
maksimum Likelihood dari model penuh (Full Model) atau
likelihood
dengan peubah/variabel penjelas.
Statistik G ini mengikuti distribusi Chi-Square dengan derajat bebas p sehingga H0 ditolak
jika G2 > 20,05; p atau p-value < 0,05, yang berarti variabel penjelas X secara bersama-sama
mempengaruhi variabel respons Y.
2. Uji Parameter secara Parsial (Wald Test)
Pada umumnya tujuan analisis adalah untuk mencari model yang cocok dengan
keterpautan yang kuat antara model dengan data yang ada. Menurut Hosmer dan Lemeshow
(1989), pengujian keberartian parameter (koefisien ) secara parsial dapat digunakan uji Wald
dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut:
H0 : j = 0 (tidak ada pengaruh antara variabel penjelas ke-j dengan variabel respons)
H1 : j ≠ 0 (ada pengaruh antara variabel penjelas ke-j dengan variabel respons)
2
Statistik uji yang digunakan adalah statistik Uji Wald:
ˆ
j
W
ˆ
se j
2
di mana ˆ j penduga dari j , dan se ( ˆ j ) penduga galat baku dari j .
Statistik W diasumsikan mengikuti distribusi Chi-Square dengan derajat bebas 1 sehingga H0
ditolak jika W > 20,05;1 atau p-value < 0,05, yang berarti variabel penjelas X secara parsial
mempengaruhi variabel respons Y.
Tabel 3 Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Analisis
Variabel
Label
Kategori
(1)
(2)
(4)
Respons
Status kemiskinan penduduk
1= rumah tangga miskin
Y
0= rumah tangga tidak miskin
Penjelas
JMLART Jumlah ART
DIK
Tingkat pendidikan KRT
1 = SLTP ke bawah
0 = SLTA ke atas
LU
Lapangan Usaha
1 = sektor primer atau tidak
bekerja
0 = sektor lainnya
DT
Status Daerah Tempat Tinggal
1 = Pedesaan
0 = Perkotaan
Hasil dan Pembahasan
Analisis Deskriptif
Tabel 4. Persentase Rumah Tangga menurut Daerah Tempat Tinggal
dan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Kulonprogo
Tahun 2012
Status Kemiskinan Rumah
Tangga
Daerah Tempat Tinggal
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
Pedesaan
66,30
78,80
Perkotaan
33,70
21,20
Total
100,00
100,00
Sumber: Raw data Susenas 2012 Kab.Kulonprogo, diolah kembali
Mayoritas rumah tangga miskin di Kabupaten Kulonprogo merupakan rumah tangga yang
tinggal di pedesaan. Dari keseluruhan rumah tangga miskin 78,8 persen diantaranya tinggal
di pedesaan. Sedangkan sisanya yang sebesar 21,2 persen tinggal di perkotaan.
Tabel 5. Persentase Rumah Tangga menurut Tingkat Pendidikan
KRT dan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten
Kulonprogo Tahun 2012
Status Kemiskinan Rumah
Tangga
Tingkat pendidikan KRT
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
SLTA
8,40
0,00
Total
100,00
100,00
Sumber: Raw data Susenas 2012 Kab.Kulonprogo, diolah kembali
Sebanyak 66,4 persen dari rumah tangga miskin memiliki kepala rumah tangga dengan
tingkat pendidikan kurang dari atau sama dengan SD. Sedangkan sisanya yaitu 33,6 persen
dari rumah tangga miskin memiliki kepala rumah tangga dengan tingkat pendidikan lebih dari
atau sama dengan SLTP. Hal tersebut berkebalikan dengan rumah tangga tidak miskin. Pada
rumah tangga tidak miskin, persentase rumah tangga dengan kepala rumah tangga
berpendidikan lebih dari atau sama dengan SLTP (51,8 persen) lebih besar daripada rumah
tangga dengan kepala rumah tangga berpendidikan kurang dari atau sama dengan SD (48,2
persen).
Tabel 6. Persentase Rumah Tangga menurut Lapangan Usaha/Sektor
Pekerjaan KRT dan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten
Kulonprogo Tahun 2012
Status Kemiskinan Rumah
Tangga
Lapangan Usaha/Sektor
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
Sektor primer atau tidak bekerja
49,6
62,0
Sektor lainnya
50,4
38,0
Total
100,00
100,00
Sumber: Raw data Susenas 2012 Kab.Kulonprogo, diolah kembali
Persentase rumah tangga miskin yang lapangan usaha kepala rumah tangganya di sektor
primer atau tidak bekerja adalah 62 persen. Sisanya sebesar 38 persen dari rumah tangga
miskin memiliki kepala rumah tangga dengan lapangan usaha di lainnya.
Tabel 7. Persentase Rumah Tangga menurut Jumlah Anggota Rumah
Tangga dan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Kulonprogo
Tahun 2012
Status Kemiskinan Rumah Tangga
Jumlah Anggota Rumah Tangga
Tidak Miskin
Miskin
(1)
(2)
(3)
> 4 orang
19,48
40,88