KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (11)

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K-3)
MAKALAH
“KERUGIAN JIWA DAN HARTA DIAKIBATKAN STRUKTUR KESALAHAN
ALAM DAN MANUSIA”
DOSENPEMBIMBING :
FARIDA ARINIE SOELISTIANTO, ST. MT.

Penyusun :
Kelas JTD-1A | Kelompok 3
1. Abd. Wahid Al Anas
2. Anggy Pramanta Putra
3. Kiki Lailatul Rahmadhani

NIM : 1341160010
NIM : 1341160012
NIM : 1341160013

Jaringan Telekomunikasi Digital
Jurusan Teknik Elektro

POLITEKNIK NEGERI MALANG

2013

BAB I
LATAR BELAKANG
ABSTRAK
Hutan di Indonesia juga dikenal memiliki keaneka ragaman hayati yang sangat tinggi,
sehingga memiliki peranan yang baik ditinjau dari aspek ekonomi, social budaya maupun
ekologi. Namun seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi
nasional, tekanan terhadap sumberdaya alam hampir sudah tidak seimbang lagi antara
sumberdaya alam dalam hal ini hutan mangrove dengan prilaku manusia. Di Propinsi
Bengkulu lima puluh persen hutan bakau (magrove) terdapat sepanjang 525 km patai barat
telah mengalami kerusakan. Hutan bakau (magrove) mempunyai fungsi geologis dan
ekonomis, maka pengelolaan hutan bakau perlu pendekatan yang melibatkan masyarakat
dan pemerintah daerah maupun pusat dengan adanya perencanaan, pelaksanaan ,
pemeliharaan, pengawasan dan evaluasi.

I. PENDAHULUAN
Hutan di Indonesia juga dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi,
sehingga memiliki peranan yang baik ditinjau dari aspek ekonomi, social budaya maupun
ekologi. Namun, seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

nasional, tekanan terhadap sumber daya alam hampir sudah tidak sehimbang lagi antara
sumberdaya alam dalam hal ini hutan mangrove dengan perilaku manusia terhadap tekanan
hutan mangrove dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan.
Sekitar 75 % dari wilayah nasional adalah berupa lautan. Salah satu bagian
terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai
dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki
arti yang strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang memiliki sifat dan ciri yang unit, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta
jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumberdaya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan
daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi
pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam
kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan
lain-lain ( Anonim,2006).

Ekosistem perairan adalah suatu lingkunagan perairan tempat berlangsungnya
hubungan timbal balik antara jasat hidup perairan baik biotik maupun a biotik. Ekosistem
perairan terbagi menjadi perairan tawar, pesisir dan laut (Soemarwoto, 2004). Daerah hutan
mangrove juga dimanfaatkan untuk usaha budidaya perikanan.
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang spesifik. Hutan mangrove
tumbuh di zona pantai yang berlumpur yang secara teratur tergenang air laut dan

dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi tidak dipengaruhi oleh iklim. Hutan mangrove
mempunyai fungsi ekonomis dan fungsi ekologis. Salah satu fungsi ekologis adalah
mencegah terjadinya abrasi pantai dan sumberdaya yang paling banyak menghasilkan
nutrien bagi ekosistem dan beberapa biota, tempat berasosiasi berbagai organisme seperti
udang, kerang, kepiting dan lain-lain. Sedangkan fungsi ekonomisnya sebagai penyediaan
kayu, daun-daunan, sebagai bahan baku obat-obatan dan getah-getahan. Disamping itu
juga hutan bakau mempunyai fungsi non ekonomis yaitu sebagai lahan eksploitasi, tambak
udang, pariwisata dan sebagai daerah indusri.
Lima puluh persen hutan bakau mangrove di Propinsi Bengkulu

terdapat di

sepanjang 525 km pantai Barat telah mengalami
kerusakan. Diperkirakan luas hutan mangrove di
sepanjang pantai Barat sekitar 5.250 ha. Hutan
mangrove yang relative masih utuh adalah di pulau
Enggano. Hutan mangrove di Enggano sebagian
besar tersebar di bagian pantai sebelah timur Pulau
Enggano, termasuk ke dalam


kawasan hutan

koservasi, seperti Cagar Alam Teluk Klowe, Cagar Alam Sungai Bahewa dan Taman Buru
Gunung Nanua; luasnya 1.536,8 ha. Sebagian hutan bakau (mangrove) juga terletak di
sebelah barat Pulau Enggano, yaitu di Cagar Alam Tanjung Laksaha dan secara spot-spot
terletak di sebelah selatan kawasan Cagar Alam Kioy (Senoaji dan Suminar, 2010).

II. Permasalahan
Permasalahan hutan bakau (mangrove) umumnya baru terasa sesudah hutan
tersebut hilang dan menurunnya produksi ikan, sebagai sumber untuk mata pencaharian,
pengaruh atau tekanan terhadap habitat hutan bakau (mangrove) bersumber dari keinginan
manusia untuk mengkonversi areal hutan bakau (mangrove) menjadi areal pengembangan
perumahan, kegiatan-kegiatan komersial dan industri, selain itu juga meningkatnya
permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan

bakau (mangrove) pengambilan kayu yang membabi buta,
pembukaan tambak-tambak untuk

budidaya perairan.


Permasalahan yang dihadapi di sebagian besar wilayah
pantai Bengkulu antara lain :
1. Instrusi air laut
Instrusi

air

laut

adalah

masuknya

merembesnya air laut kearah daratan

atau
sampai

mengakibatkan air tawar sumur/sungai menurun mutunya, bahkan menjadi payau
atau asin (Harianto, 1999). Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena air

tawar yang tercemar intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila diminum dan
dapat merusak akar tanaman. Instrusi air laut telah terjadi dihampir sebagian besar
wilayah pantai Bengkulu. Dibeberapa tempat bahkan mencapai lebih dari 1 km.
2. Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organic, minyak bumi dll.
3. Penurunan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir
4. Peningkatan abrasi pantai
5. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya
produksi tangkapan ikan menurun.
6. Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan tiupan angin, gelombang air laut
dlll.
7. Peningkatan pencemaran pantai.
Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan
ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.

III. Pemecahan Masalah
Konservasi hutan bakau (mangrove) dan sempadan pantai, Pemerintah R I telah
menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu
sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian
fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan bakau (mangrove) adalah kawasan pesisir laut
yang merupakan habitat hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberikan perlindungan

kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau adalah selebar
100 m dari pasang tertinggi kearah daratan.

A. Hubungan Masyarakat dengan Hutan Bankau (Mangrove)
Manusia tidak bisa dipisahkan dengan lingkungannya, bahkan sangat tergantung
pada lingkungannya. Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, manusia memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada di lingkungan sekitarnya.
Dalam memanfaatkan sumber daya alam pesisir sebagai wujud mata pencaharian,
kegiatan manusia mengalami tahap perkembangan, yaitu (a) sebagai pemburu dan peramu
(huntering and gathering); (b) peternak, penangkap ikan. Melalui tahap perkembangan itu
manusia belajar mengelola lingkungannya. Tetapi seiring dengan perkembangan manusia
terutama sejak revolusi industri, perkembangan manusia telah menyebabkan permasalahan
lingkungan yang sangat kompleks disebabkan

keberadaan hutan bakau (mangrove) di

Indonesia semakin parah, pada tahun 1993 luas hutan bakau (mangrve) di Indonesia 3,7
juta hektar. Namun pada tahun 2005, hutan bankau tersebut tinggal sekitar 1,5 juta hektar.
Masyarakat yang hidupnya bergantung dari hutan bakau


(mangrove) ini seringkali

merupakan kelompok yang paling miskin di Indonesia. Dari 25,9 juta orang yang
dikategorikan miskin di Indonesia, 34% hidup di sekitar hutan bakau (mangrove).
Diperkirakan pada tahun 2008, sekitar 40% penduduk pedesaan di Indonesia bergantung
pada hutan untuk mata pencahariannya. Melihat fakta diatas maka hutan bakau (mangrove)
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan sebagian besar masyarakat
Indonesia.
Timbulnya konflik terjadi ketika klasifikasi fungsional modern dan pengembangan
kehutanan seperti hutan bakau (mangrove) seringkali bertentangan dengan hukum adat
dan kepemilikan adat masyarakat. Batas yang tidak jelas antara wilayah konservasi
penebangan dan kegiatan lainnya antara hutan bakau (mangrove) dengan masyarakat.
Juga tumpang tindih lahan hutan bakau (mangrove) milik pemerintah dengan lahan hutan
bakau (mangrove) tempat masyarakat bertani, berburu, memancing dan menghasilkan hasil
hutan non-kayu. Seringkali menimbulkan dampak yang serius pada masyarakat setempat.
Fakta mengenai kedudukan hutan bakau (mangrove) pada masyarakat Indonesia
dan penyebabkan timbulnya konflik maka untuk malaksanakan pengelolaan hutan bakau
(mangrove) yang berkelanjutan peran serta masyarakat diperlukan, sehingga masyarakat
tidak lagi sekedar menerima dampak tetapi ikut merasakan keuntungan dan kerugian dalam
pengelolaaan hutan bakau (mangrove) yang dapat meningkatkan kesejateraan mereka.


B. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Bakau (Mangrove)

Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumber daya
alam

adalah

menciptakan

kemudian

mempertahankan

keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan terhadap
manusia dan keberlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumberdaya alam (Asdak:2002).
Karena yang terjadi pada saat ini adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlebihan
telah menyebabkan semakin berkurangnya sumber daya alam (hutan bakau). Sampai saat
ini pengelolaan sumber daya alam masih belum memberikan nilai yang cukup berarti bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Degradasi sumber daya alam sebagian besar

disebabkan oleh menguatnya krisis persepsi yang bersumber pada paradigma pengelolaan
sumber daya alam yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan terlalu
memanjakan kepentingan manusia.
Hal ini dapat dibenahi melalui perubahan paradigma sektoral menjadi terpadu
Koordinasi dan kerjasama antar sektor harus berbasis pemberdayaan masyarakat, sehingga
partisipasi masyarakat sebagai mitra dalam pembangunan sosial ekonomi menjadi penting
dan diawali dengan pemberdayaan masyarakat lokal (Adimihardja dkk : 2004).
Dalam rangka melestarikan sumberdaya alam dalam hal ini adalah pengelolaan
hutan bakau (mangrove)

yang ada di wilayah pesisir, untuk pemanfaatannya

lebih baik

diperlukan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut.
Pengelolaan hutan bakau (mangrove) melibatkan masyarakat adalah suatu proses
pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola sumberdayanya sendiri dalam hal ini adalah hutan bakau (mangrove) dengan
terlebih dahulu melihat kebutuhan, keinginan tujuan dan aspirasi dari masyarakatsehingga
mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh

pada kesejahteraan masyarakat.
Perkembangan

penduduk

di

wilayah

pesisir

pantai,

keinginan

untuk

membudidayakan ikan dan udang dalam bentuk tambak secara besar-besaran bagi
masyarakat pantai tradisional adalah akibat tuntutan perkembangan ekonomi. Mas yarakat
nelayan yang sebelumnya hidup secara tradisional, kini sudah banyak yang berubah
menjadi petani-petani tambak dan pedagang dengan orientasi keuntungan dan pendapatan
setinggi-tingginya. Perkembangan pergaulan dan trasfortasi kemajuan peradapan manusia
dari berbagai dunia dan kepulauan yang dialami oleh masyarakat pantai Indonesia, telah
membawa perubahan sikap, kebiasaan dan serta mendorong mereka untuk mengeksplotasi
sumberdaya alam pantai dan hutan bakau (mangrove).

Masyarakat tersebut semakin berantusias untuk merombak hutan-hutan bakau
(mangrove) menjadi tambak ikan dan udang. Pengaruh aktivitas masyarakat untuk
mengkonversi kawasan pantai dan hutan mangrove semakin meningkat ( Anonim, 2007).
Dan pembangunan tambak yang terjadi adalah pembangunan yang tidak berkelanjutan,
karena

pembangunan

yang

dilakukan

tidak

menjaga

fungsi

primer

dari

hutan

bakau( mangrove).
Oleh karena itu semua pihak dalam hal ini pemerintah, masyarakat setempat dan
swasta harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Dapat

mempertahankan

ekosistem

hutan

bakau

(mangrove)

dalam

setiap

pembangunan.
2. Mempertahankan dan melindungi ekosistem hutan bakau (mangrove)
Yang telah ada.
3. Budidaya perikanan ( tambak) sebaikan dilakukan dibelakang hutan bakau
(mangrove).
4. Semua pihak harus mendorong terciptanya budaya peduli terhadap ekosistem hutan
bakau (mangrove).
5. Hutan bakau (mangrove) yang rusak harus dilakukan rehabilitasi dengan cara
penanaman kembali mangrove. Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan
masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan
pemeliharaan serta pemanfaatan hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini
memberikan keuntungan kepada masyarakat antara lain terbukanya peluang kerja
sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
6. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah
pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai
wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
7. Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan
mangrove secara bertanggungjawab.
8. Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.
9. Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi
10. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
11. Program komunikasi konservasi hutan mangrove
12. Penegakan hukum
13. Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan melibatkan masyarakat.
Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting
dilibatkan yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Selain itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal (kearifan lokal)
tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh
dapat mendukung program ini.
Implikasi

langsung

terhadap

peningkatan

pertambuhan

penduduk

adalah

makin

meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup, sementara potensi sumber daya alam di darat
yang kita miliki sangatlah terbatas. Hal tersebut mendorong kita untuk mengalihkan alternatif
potensi sumber daya alam lain yang kita miliki yaitu potensi hutan mangrove.
Dengan memberdayakan potensi masyarakat pesisir, tentunya masyarakat juga
merasa bertanggung jawab. Artinya masyarakat merasa ikut memiliki hutan mangrove pada
daerahnya. RBegitu pula seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka
masyarakat juga merasa harus mengawasinya, sehingga mereka dapat mengawasi apabila
ada yang ingin mengambil atau memotong hutan bakau (mangrove)

tersebut secara

leluasa. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”, melainkan
ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan
penanaman hutan bakau (mangrove) dan lain-lainnya.

Masyarakat merasa mempunyai

andil dalam upaya menjaga hutan bakau (mangrove) tersebut, sehingga status mereka
akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya.

C.Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Bakau (Mangrove)
Masyarakat yang tergantung pada hutan bakau (mangrove) ada yang bergantung
pada hutan bakau (mangrove) untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti pangan
dan energi, adapula yang menjadikan sebagai mata pencaharian. Masyarakat yang
menjadikan hutan bakau (mangrove) sebagai mata pencaharianlah yang patut diwaspadai.
Mereka memandang hutan bakau (mangrove) sebagai sumber daya yang dapat
menghasilkan uang untuk membayar kebutuhan sehari-hari, oleh karena itu harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya.
Pengelolaan hutan bakau (mangrove) yang melibatkan masyarakat dapat didekati
dengan dua

pendekatan yaitu : pendekatan yang melibatkan masyarakat setempat dan

pendektan yang melibatkan pemerintah (daerah dan pusat). Salah satu upaya untuk
pendekatan masyarakat adalah memberi tanggung jawab kepada masyarakat dalam
mengelola hutan mangrove untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan yang
melibatkan pemerintah dalam hal pengelolaan hutan bakau (mangrove) selama ini kurang
berhasil karena banyak menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat
khususnya di daerah.

Kondisi ini tentunya diharapkan dapat diperbaiki oleh pemerintah

(daerah dan pusat) maupun masyarakat, dalam pengelolaan hutan bakau (mangrove) perlu
ada kesepakatan bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat
lokal atau masyarakat setempat dalam hal

perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan,

pengawasan dan evaluasi sehingga keberlanjutan hutan mangrove dapat tercapai.
Pengelolaan hutan bakau

(mangrove) harus ada pelindungan terhadap hutan bakau

ketentuan pelarangan penebangan hutan bakau (mangrove). Untuk pengelolaan dan
menjaga keberlanjutan hutan bakau (mangrove) pemerintah harus mengembangkan
budidaya perikanan yang baik dimana keberadaan hutan bakau (mangrove) merupakan
bagian dari pendukung budidaya perikanan.dengan harapan agar hutan bakau (mangrove)
lestari dan budidaya ikan memberi nilai ekonomi.
Pada tahap implementasi ini juga diperlukan kesamaan persepsi antara masyarakat
lokal dengan lembaga atau orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini
sehingga masyarakat benar-benar memahami rencana yang akan dilaksanakan. Menurut
Zamani dan Darmawan (2000) kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap
implementasi ini adalah:
1. Integrasi ke dalam masyarakat, dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat
untuk menjawab seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan penerapan konsep
dan mengidentifikasi pemimpin potensial yang terdapat di lembaga masyarakat
lokal.
2. Pendidikan dan pelatihan masyarakat, metoda pendidikan dapat dilakukan secara
non formal menggunakan kelompok-kelompok kecil

dengan cara tatap muka

sehingga dapat diperoleh informasi dua arah dan pengetahuan masyarakat lokal
dapat dikumpulkan untuk dimasukkan dalam konsep penerapan
3. Memfasilitasi arah kebijakan, dalam hal ini segenap kebijakan yang berasal dari
masyarakat dan telah disetujui oleh koordinator pelaksana hendaknya dapat
didukung

oleh

pemerintah

daerah,

sehingga

kebijakan

bersama

tersebut

mempunyai kekuatan hukum yang jelas, dan
4. Penegakan hukum dan peraturan, yang dimaksudkan agar seluruh pihak yang
terlibat akan dapat menyesuaikan tindakannya dengan hukum dan peraturan yang
berlaku.
Untuk mengembangkan budidaya perikanan dengan hutan bakau (mangrove) ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Budidaya perikanan (tambak) harus tetap mempertahankan hutan bakau serta
memposisikan

hutan bakau sebagai filter, sehingga air yang masuk ke tambak

memiliki kualiatas yang lebih baik

2. Rencana pengembangan dan pengelolaan kawasan harus didasarkan atas azas
kelestarian, manfaat dan keterpaduan, dengan tujuan :
a. menjamin keberadaan kawasan ekosistem hutan bakau (mangrove) dengan
luasan yang cukup dan sebaran yang merata,
b. mengoptimalkan

aneka

fungsi

kawasan,

termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung,dan
fungsi

produksi

untuk

mencapai

manfaat

lingkungan, sosial dan ekonomi yang sehimbang
dan berkelanjutan,
c. mendukung pengembangan kapasitas dan partisipasi masyarakat,

dan

berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial dan
ekonomi.
3. Rehabilitasi fungsi kawasan hutan bakau (mangrove).

4. Adanya perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap kelestarian
hutan bakau (mangrove), sehingga mendorong terbentuknya pengelolaan
hutan mangrove yang melibatkan masyarakat.

.

5. Porposi 80% kawasan untuk hutan bakau (mangrove) dan 20% untuk budidaya
ikan.

Dengan memberdayakan potensi masyarakat pesisir, tentunya masyarakat juga
merasa bertanggung jawab. Artinya masyarakat merasa ikut memiliki, masyarakat juga
merasa harus mengawasinya, ikut memiliki hutan bakau (mangrove)

tersebut, karena

mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain.
Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya pengelolaan
( mangrove) tersebut, sehingga status mereka akan berubah,

bukan

hutan bakau
hanya sebagai

penggambil melainkan sebagai pemilik dan pemelihara.RDalam pelaksanaan Otoda
(otonomi daerah) seharusnya semua kegiatan pemeliharaan
hendaknya

diserahkan

pada

masyarakat.

Dengan

hutan bakau (mangrove)

demikian

masyarakat

akan

mengembangkan partsipasinya terhadap berbagai kegiatan yang pada akhirnya akan
meningkatkan kehidupan mereka. Keberhasilan dalam pengelolaan hutan bakau (mangrove)
akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi- khususnya dalam
bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain.

BAB II

BAB III
TEORI DASAR
Frank E. Bird Junior :

Teori Heinrich urutan domino diperbarui oleh Frank Bird Jr untuk menjelaskan
keadaan yang menyebabkan kerugian (injury) dalam urutan kronologis dari lima domino.
Beliau

mengatakan

prinsipil.Orang

bahwa

terpaku

pada

dalam

penerapan

pengambilan

teori

salah

Heinrich

satu

Domino

terdapat
yang

kesalahan
seolah-olah

menanggulangi penyebab utama kecelakaan, yakni kondisi atau perbuatan.Tetapi mereka
lupa untuk menelusuri sumber yang mengakibatkan kecelakaan.
Definisi Frank E. Bird Jr terkait teori kecelakaan pada perusahaan adalah yaitu
kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki, dapat mengakibatkan kerugian
jiwa sertakerusakan harta benda dan biasanya terjadi sebagai akibat dari adanya
kontak dengan sumberenergi yang melebihi ambang batas atau struktur. Memodifikasikan
teori Domino Heinrich dengan mengemukakan teori manajemen yang berisikan lima faktor
dalam urutan sutau kecelakaan, antara lain :
1. Manajemen Kurang control.
2. Sumber Penyebab utama.
3. GejalaPenyebab langsung (praktek dibawah standar).
4. Kontak Peristiwa (kondisi dibawah standar).
5. Kerugian Gangguan (tubuh maupun harta benda).

PEMBAHASAN
Pembaharuan teori Domino ini pertama kali diperkenalkan secara langsung oleh
Frank E.Bird.Beliau mengatakan bahwa dalam penerapan teori Heinrich terdapat kesalahan
prinsipil.Orang

terpaku

pada

pengambilan

salah

satu

Domino

yang

seolah-olah

menanggulangi penyebab utama kecelakaan, yakni kondisi atau perbuatan.Tetapi mereka
lupa untuk menelusuri sumber yang mengakibatkan kecelakaan.Definisi Frank E. Bird Jr
terkait teori kecelakaan pada perusahaan adalah yaitu kecelakaan adalah suatu kejadian
yang tidak dikehendaki, dapat mengakibatkan kerugian jiwa sertakerusakan harta benda
dan biasanya terjadi sebagai akibat dari adanya kontak dengan sumberenergi yang melebihi
ambang batas atau struktur.Teori Domino yang ditampilkan menjelaskan tentang proses
terjadinya kecelakan ke dalam 5 tahapan yaitu :
1. Lack of Control - Management
Kata control dalam factor ini didasarkan pada 4 fungsi dari professional
management (planning – organizing – leading – controlling) dalam penggunaan
yang umum pada kalimat “loss control”, kata control didasarkan pada peraturan
umum, perintah, pengendalian, atau pnahan kerugian terjadi lagi.
2. Basic Cause – Origin (Etiology)
Factor individu (personal) dan factor yang terkait dengan pekerjaan merupakan
penyebab dasar dari kecelakaan atau pemicu insiden.Factor individu meliputi
kurangnya pengetahuan dan pelatihan, motivasi yang kurang dan masalah fisik
atau mental.Sedangkan factor pekerjaan meliputi standar kerja yang tidak sesuai
dan penggunaan yang tidak normal.Origins didasarkan pada sumber, dan
identifikasi dari sumber sebagai penyebab dasar yang disajikan melalui akar
penyebab bertujuan untuk mencapai pengendalian yang lebih efektif daripada
mencegah gejala (symptom) dari masalah.
3. Immediate Cause – symptoms
Penyebab yang masuk alam factor ini adalah tindakan tidak aman atau kondisi
tidak aman.Pada kenyataanya, penyebab langsung biasanya hanya merupakan
gejala dari masalah yang sebenarnya. Ketika kia memecahkan gejala dan tidak
mengidentifikasi masalah yang menjadi dasar, kita tidak akan mampu
mengoptimalkan pengendalian yang permanen.
4. Accident – Contact
Kecelakaan dijelaskan sebagai kejadian tidak diinginkan yang meyebabkan
penderitaan fisik, cedera, dan kerusakan property. Kata “contact” muncul dalam
domino pada titik ini karena berdasarkan sejumlah penelitian di dunia melihat
kecelakaan dengan contact sumber energy (elektrik, kimia, ion, suhu, kinetic,

radiasi dan lain lain) yang berada diatas nilai ambang batas dari tubuh atau
struktur, atau “contact” dengan subtansi yang bercampur dengan proses normal
tubuh.
5. Injury – damage – loss
Kata “injury” dijelaskan sebagai kerugian yang berakhir pada kerusakan fisik
individu yang mana jenisnya bermacam-macam, seperti traumatic injury, luka,
kecacatan pada mental, kerusakan syaraf atau efek sistematik lainnya. Kata
“damage” ini dijelaskan sebagai kerusakan property. Keparahan dari kerugian
akibat kerusakan property dan kecacatan pada fisik dapat diminimalisasi dari
beberapa tindakan pada setiap poin tahapan kejadian kecelakaan.
Cacat atau cedera
Cacat atau cedera
Kerugian Material
Hampir celaka
Konsep Rasio Kecelakaan Heinrich
Usaha pencegahan kecelakaan kerja hanya berhasil apabila dimulai dari
memperbaikimanajemen tentang keselamatan kerja.Kemudian, praktek dan kondisi di
bawah standarmerupakan penyebab terjadinya suatu kecelakaan dan merupakan gejala
penyebab utamaakibat kesalahan manajemen. Disebut pula, bahwa setiap 1 kecelakaan
berat akan disertai 10kecelakaan ringan, 30 kecelakaan harta benda, dan 600 kejadian
lainnya yang hampir celaka.
Dalam teori yang disampaikan oleh Frank E. Bird terjadinya kecelakaan kerja dapat
menimbulkan kerugian berupa cedera atau kematian pada pekerja, harta benda (property),
kerusakan lingkungan, proses. Salah satu kerugian yang diakibatkan oleh kecelakaan
adalah waktu hilang kerja sebagai berikut (Bird and Germain, 1990) :
1. Waktu pekerja yang terluka yaitu; waktu produktif hilang , oleh karena karyawan
terluka dan tidak dapat digantikan dengan kompensasi.
2. Waktu teman kerja yaitu;
a. Waktu hilang dari teman kerja ditempat kejadian, seperti membantu korban
kerumah sakit atau ambulans.
b. Waktu hilang dikarenakan simpati dan keingintahuan dan pekerjaan terhenti pada
saat kecelakaan dan sesudah kejadian sebab adanya diskusi tentang kejadian.

c. Waktu hilang dikarenakan membersihkan bekas kecelakaan, mengumpulkan
sumbangan untuk membantu korban dan keluarbanya.
3. Waktu supervisor (atasan) yaitu;
a. Waktu membantu korban.
b. Waktu untuk menginvestigasi penyebab kecelakaan, misalnya investigasi awal,
tindak lanjut, penelitian untuk pencegahan.
c.

Waktu untuk mengatur kelangsungan pekerjaan, mendapatkan material baru,
dan penjadualan kembali.

d. Seleksi dan pelatihan pekerja baru, mencakup memeriksa aplikasi kerja, evaluasi
calon pekerja, pelatihan pekerja baru, memidahkan kerja.
e. Waktu untuk mempersiapkan laporan kecelakaan, seperti laporan pekerja
cedera, laporan kerusakan barang, laporan incident, kesesuaian laporan, sarana
kecelakaan dan lain sebagainya.
f.

Waktu untuk berpartisipasi pada saat mendiskusikan tentang kasus kecelakaan.

4. Kerugian-kerugian yang bersifat umum yaitu;
a. Waktu produksi yang hilang karena adanya kekecewaan, shock atau adanya
peralihan perhatian pekerja, proses kerja lambat, diskusi dengan pekerja lain
seperti “apakah kamu dengar…?”
b. Kerugian yang diakibatkan oleh terhentinya mesin, kendaraan, pabrik, fasilitas
dan sebagainya yang bersifat sementara, atau jangka panjang serta,
mempengaruhi peralatan dan penjadualan
c. Efektifitas pekerja yang terluka seringkali berkurang setelah kembali bekerja
d. Kerugian bisnis dan keinginan untuk berusaha, publisitas yang buruk, masalah
yang ditimbulkan adanya rekruitmen baru
e. Memperbesar

biaya

legal

seperti

kompensasi,

tanggung

jawab

dalam

penanganan klaim dibandingkan biaya langsung berupa asuransi
f.

Peningkatan biaya untuk asuransi

5. Kerugian-kerugian yang berupa property yaitu;
a. Pengeluaran untuk penyedian barang dan peralatan yang bersifat emergency
b. Biaya material dan peralatan untuk memperbaiki dan memindahkan barang
c. Biaya yang diakibatkan karena lamanya waktu memperbaiki peralatan dan
pemindahan sehingga berkurangnya produktifitas dan tertundanya waktu
pemeliharaan peralatan lain
d. Biaya yang timbul karena tindakan perbaikan
e. Kerugian akibat persediaan suku cadang tidak mutakhir (kuno) untuk peralatan
yang rusak
f.

Biaya pengamanan dan peralatan emergency

g. Kehilangan produksi selama kurun waktu pada saat reaksi pekerja, investigasi,
pembersihan, perbaikan dan sertifikasi
6. Kerugian lainnya yaitu; penalty , denda, dan adanya iuran.
Kejadian kecelakaan yang menimbulkan cedera atau tidak, akan berdampak pada
besarnya kerugian yang dialami.
The Human Factor Theory menyatakan bahwa setiap kecelakaan yang terjadi dalam
rangkaian peristiwa disebabkan oleh kesalahan manusia. Dalam buku Occupational Safety
And Health, David Geotsch membahas faktor-faktor yang dapat menyebabkan kesalahan
manusia tersebut antara lain:
-

Overload, terlalu banyak atau berlebihnya beban kerja yang diterima baik secara
physical atau physichological. Faktor-faktor yang termasuk dalam overload seperti
faktor lingkungan, faktor internal, dan faktor situasi saat itu.

-

Respon yang tidak sesuai dari situasi yang dihadapi, seperti mengenali bahaya tapi
tidak memperbaiki, mengindahkan keselamatan dan memindahkan pengaman.

-

Aktifitas yang tidak sesuai atau tidak memadai, seperti melakukan pekerjaan tanpa
training dan salah menilai tingkat resiko dari kegiatan yang dilakukan.

Cara atau Paparan Untuk Diskusi
BENCANA PERKOTAAN DI INDONESIA

Indonesia merupakan Negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan
dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus
menerus, baik yang disebabkan oleh faktor alam (gempa bumi, tsunami, banjir,
letusan gunung api, tanah longsor, angin ribut, dll), maupun oleh faktor non alam
seperti berbagai akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia. Umumnya bencana
yang terjadi tersebut mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat, baik berupa
korban jiwa manusia kerugian harta benda, maupun kerusakan lingkungan serta
musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
Dari beberapa fakta dan data yang ada, Indonesia telah mengalami berbagai
bencana yang menyebabkan kerugian jiwa dan materi yang besar. Bencana banjir
Jakarta di awal tahun 2002 menunjukkan betapa besarnya kerugaian yang
ditimbulkan. Untuk pemulihan kondisi perkotaan setelah kejadian banjir di Jakarta,
diperkirakan akanmenghabiskan dana lebih dari 15 trilyun rupiah. Kerugian ini belum
termasuk kerugian yang diderita oleh masyarakat secara langsung. Hal ini tentunya
akan sangat mempengaruhi percepatan program pembangunan kota serta
menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Khusus dalam hal bencana yang disebabkan oleh gempa bumi, misalnya,
sebagai gambaran hasil penelitian dan kajian beberapa pakar, menunjukkan bahwa
selama 25 tahun kejadiangampa di Indonesia, korban bencana lebih diakibatkan oleh
kerusakan bangunan rumah sederhana seperti jatuhnya atap, runtuhnya kolom,
hancurnya dinding, dll. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi bencana gempa
bumi melalui pengembangan disain rumah tahan gempa sampai saat ini belum
sepenuhnya berhasil. Selain gempa bumi, sejak tahun 1987 sampai sekarang telah
terjadi lebih dari 800 kejadian bencana tanah longsor yang menimbulkan korban
lebih dari 700 jiwa, dimana setengah dari kejadian tanah longsor tersebut terjadi di
Propinsi Jawa Barat dan Banten. Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi daerah
Jawa Barat dan banten merupakan daerah perbukitan yang padat penghuninya dan
memiliki curah hujan yang tinggi.
Disamping bencana gempa bumi dan tanah longsor, gejala anomali iklim
global

El

Nino

telah

menyebabkan

terjadinya

bencana

kekeringan

yang

menyebabkan menurunnya hasil produksi pertanian secara signifikan dan kebakaran
yang menyebabkan kerugian lebih dari US$ 0,88 Juta dan kerugian negara-negara
ASEAN sedikitnya US$ 9 Milyar. Sementara itu gejala La Nina, yang memperbanyak
curah hujan, telah banyak menimbulkan bencana banjir dan beberapa diantaranya
diikuti dengan tanah longsor. Kerugian dari gejala anomali iklim tersebut meliputi
bidang pertanian, transportasi, pariwisata, dan beberapa aktivitas ekonomidan belum
termasuk biaya kesehatan, kehilangan keanekaragaman hayati, kerusakan akibat

kebakaran, dan degradasi lingkungan yang tidak terukur. Kerugian-kerugian baik jiwa
maupun materi yang timbul akibat berbagai bencana bukanlah suatu jumlah yang
kecil. Hal ini harus mulai menjadi perhatian dan pemikiran bagi pemerintah
Indonesia.
POTENSI BENCANA
Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan
potensi bencana (hazard potency) yang sangat tinggi. Beberapa potensi bencana
yang ada antara lain adalah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus,
banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main
hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main
hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta potensi bencana gempa di
Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona
gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi bencana
letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan
lain-lain. Dari indikator-indikator diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki
potensi bahaya utama (main hazard potency) yang tinggi. Hal ini tentunya sangat
tidak menguntungkan bagi negara Indonesia.
Disamping tingginya potensi bahaya utama, Indonesia juga memiliki potensi
bahaya ikutan (collateral hazard potency) yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa indikator misalnya likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat dari kayu,
kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya ikutan
(collateral hazard potency) ini sangat tinggi terutama di daerah perkotaan yang
memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman
kumuh perkotaan), dan jumlah industri berbahaya, yang tinggi. Dengan indikator
diatas, perkotaan Indonesia merupakan wilayah dengan potensi bencana yang
sangat.
MITIGASI BENCANA PERKOTAAN DAN PERAN PEMERINTAH DAERAH DI ERA
DESENTRALISASI
Dari latar belakang tentang bencana alam di perkotaan Indonesia, mitigasi
bencana perkotaan merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu
titik tolak utama dari manajemen bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu
mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka
titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama
kegiatan penjinakan/peredaman ataudikenal dengan istilah Mitigasi. Mitigasi
dilakukan untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang

ditimbulkan bencana. Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis
bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam(natural disaster) maupun
bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia(man-made disaster). UU No. 22
tahun 1999, UU No. 25 tahun 1999, serta PP No. 25 tahun 2000 memberikan
kewenangan yang sangat besar kepada Pemerintah Kota (dan Kabupaten) untuk
mengelola pembangunan kotanya, khususnya dalam administrasi pemerintahan dan
keuangan. Oleh karena itu sekarang ini pemerintah kota mempunyai peran dan
fungsi yang sangat strategis dalam rangka melaksanakan pembangunan di segala
bidang, yang tertujuan meningkatkan.
peran kota sebagai pusat pertumbuhan wilayah, penggerak pembangunan,
pusat jasa pelayanan dalam segala bidang, serta pusat informasi dan inovasi –
termasuk dalam hal teknologi mitigasi bencana. Akan tetapi, konsentrasi peran yang
besar di kota-kota tersebut, tidak lepas dari kenyataan bahwa kota-kota di Indonesia
terletak pada lokasi-lokasi yang rawan terhadap bencana alam, dan karena sangat
heterogen dan pluralnya sistem sosial dan perekonomian yang terjadi juga sekaligus
rawan terhadap bencana sosial, bencana teknologi, atau bencana buatan manusia
lainnya. Dalam konteks Indonesia, perbedaan antara bencana alam dan bencana
yang disebabkan oleh manusia cenderung tidak jelas. Banyak kejadian alam dan
bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia dalam penggunaan sumber daya
dan tindakan yang tidak memadai serta kurangnya pandangan jauh ke depan. Oleh
karena itu sudah saatnya para pemerintah kota, yang tergabung dalam Asosiasi
Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), maupun pemerintah kabupaten
(yang juga mempunyai kawasan perkotaan), yang tergabung dalam Asosiasi
Pemerintahan
Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), berinisiatif dan secara lebih proaktif
mengembangkan sistem perencanaan pembangunan kota yang berkelanjutan
dan berwawasan mitigasi bencana.

Pertanyaan Hasil Diskusi

a) Bagaimanakah teori yang dikemukakan oleh Frank E. Bird Jr?

b) Sebutkan 5 faktor dalam urutan sutau kecelakaan!
c) Sebutkan 5 tahapan yang menjelasakan tentang proses terjadinya kecelakaan
menurut Teori Domino!
Perbandingan Antara Teori Yang Ada
Dari hasil diskusi kelompok kami dapat ditarik perbandingan bahwaTeori Heinrich
urutan domino diperbarui oleh Frank Bird Jr untuk menjelaskan keadaan yang
menyebabkan kerugian (injury) dalam urutan kronologis dari lima domino. Beliau
mengatakan

bahwa

dalam

penerapan

teori

Heinrich

terdapat

kesalahan

prinsipil.Orang terpaku pada pengambilan salah satu Domino yang seolah-olah
menanggulangi penyebab utama kecelakaan, yakni kondisi atau perbuatan.Tetapi
mereka lupa untuk menelusuri sumber yang mengakibatkan kecelakaan.Definisi
Frank E. Bird Jr terkait teori kecelakaan pada perusahaan adalah yaitu kecelakaan
adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki, dapat mengakibatkan kerugian jiwa
sertakerusakan harta benda dan biasanya terjadi sebagai akibat dari adanya
kontak dengan sumberenergi yang melebihi ambang batas atau struktur.

KESIMPULAN
Pada intinya dari Teori Domino yang di pelopori oleh Frank E Bird Jr ini, mengacu
pada sebab akibat dari kerugian yang terjadi dimana sebab akibat tersebut saling berkaitan
ketika suatu kecelakaan kerja timbul karena faktor alam maupun faktor manusianya. Disebut
pula, bahwa setiap 1 kecelakaan berat akan disertai 10kecelakaan ringan, 30 kecelakaan
harta benda, dan 600 kejadian lainnya yang hampir celaka.

Daftar Pustaka

1.
2.
3.
4.

http://id.scribd.com/doc/87662065/Definisi-Frank-E
http://www.isplonline.com/frankbirdstheory.htm
http://www.gobookee.org/search.php?q=teori+frank+e+bird+jr
http://pusatmitigasibencanaalam.unwira.ac.id/