PENDIDIKAN ISLAM DENGAN PANDANGAN ESSENS

PENDIDIKAN ISLAM DENGAN PANDANGAN ESSENSIALISME,
EKSISTENSIALISME, PERENNIALISME DAN PRAGMATISME
Oleh: Muhammad Saleh1
I. PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan
manusia, dan perkembangan seluruh aspek kehidupan manusia. Itulah
sebabnya mengapa pendidikan memiliki peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Pendidikan berkaitan langsung dengan
pembentukan manusia. Dalam arti luas pendidikan dapat diartikan
sebagai proses pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik
aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan.
Demikian juga dengan pendidikan Islam, yang bertujuan untuk
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama yakni
kepribadian muslim, kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam,
memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan
bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam
merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi
makhluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan
isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah.2
Tujuan pendidikan harus memberi kesadaran, pengetahuan dan

kemampuan yang prima kepada setiap individu dan kelompok untuk
dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik
dan terdidik demi mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut
terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut
berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik
dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi
pendidikan
tersebut,
merupakan
pertanyaan-pertanyaan
yang
membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawabanjawaban filosofis.
Filsafat berperan memberikan inspirasi pada pendidikan, yakni
menyatakan tujuan pendidikan bagi masyarakat, memberikan arah yang
jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan
pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu
dari teori pendidik. Sekolah atau lembaga pendidikan pada umumnya
adalah sarana bagi proses pewarisan maupun transformasi pengetahuan
dan nilai-nilai antar generasi. Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan

senantiasa memiliki muatan ideologis tertentu yang antara lain terekam
melalui konstruk filosofis yang mendasarinya.3

1

2

Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka
dalam membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat. Dalam
arti, filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat
dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil
pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab, aliran-aliran, seperti
materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain.4 Karena
filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat
beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan
temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran filsafat itu
sendiri. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan
esensialisme, eksistensialisme, perenialisme, pragmatism dan sebagainya.
Makalah ini akan membahas tentang bagaimana hakekat dan tujuan

filsafat pendidikan dalam konteks pendidikan Islam.

II. Aliran-Aliran Dalam Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan.5
Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah- masalah pendidikan
tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi
pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta
lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta
pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains
pendidikan. Seorang guru atau pendidik, baik sebagai pribadi maupun
sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan.
Seorang pendidik perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat
pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung
dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang
menyelenggarakan pendidikan.
Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan
tujuan hidup. Pendidik sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan
pendidik sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama.
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para
pendidik (guru). Dengan demikian hal tersebut akan mewarnai sikap

perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain itu
pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan
meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan
masalah-masalah pendidikan
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi
mengenai masalah-masalah pendidikan. Di dunia dikenal beberapa aliran
utama filsafat pendidikan yang di antaranya dapat disajikan berikut ini:

3

1. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat
manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan dasar
pijakan lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak
ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan
tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang
mempunyai tata yang jelas.6
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk

corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung
esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan
sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Dengan demikian
Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang
disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme
adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme
pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak
dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang
sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang
memenuhi tuntutan zaman.
Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang
pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend
progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan
progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara
kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: William C. Bagley, Thomas
Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
Pandangan essensialisme mengenai belajar memulai tinjauannya
mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut
idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah
memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia

obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Belajar dapat
didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai
substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.
Pandangan essensialisme mengenai kurikulum memandang bahwa
kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi
yang kuat. Esensialisme berkaitan dengan (a) hal-hal esensial atau
mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya
tentang dunia di mana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan

4

hidupnya. (b) Menekankan data fakta dengan kurikulum yang tampak
bercorak vokasional. (c) Konsentrasi studi pada materi-materi dasar
tradisional seperti: membaca, menulis, sastra, bahasa asing, matematika,
sejarah, sains, seni dan musik. (d) Pola orientasinya bergerak dari skill
dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks. (e) Perhatian pada
pendidikan yang bersifat menarik dan efisien. (f) Yakin pada nilai
pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri. (g) Disiplin
mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia
yang didiami serta tertarik pada kemajuan masyarakat teknis.

2. Aliran Eksistensialisme
Filsafat
pendidikan
eksistensialisme
memfokuskan
pada
pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme
menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan
tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional
untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini:
Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl
Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich.
Aliran ini berpendapat bahwa manusia lebih dulu bereksistensi
baru kemudian mengembangkan esensinya. Manusia satu-satunya
makhluk yang eksistensinya mendahului esensi (kodrat). Proses menjadi
(becoming) menurut aliran ini tergantung kemauan manusia akan
membentuk dirinya sendiri. Jadi aliran ini membatasi evolusi hanya pada
tahap menemukan esensi, bukan sesuatu yang lebih jauh lagi, yaitu
potensi manusia untuk menjadi lebih tinggi lagi. 7
Karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan

manusia, dan pendidikan itu sendiri hanya bisa dilakukan oleh manusia,
maka tampaklah jelas bahwa terdapat hubungan antara eksistensialisme
dengan pendidikan. Pendidikan dan eksistensialisme bersinggungan satu
sama lain dalam masalah-masalah yang sama, yakni manusia.
Menurut eksistensialisme setiap orang itu adalah individu sendirisendiri yang tak akan mampu berkomunikasi murni dengan individu
lainnya, oleh sebab itu tujuan pendidikan dalam pandangan
eksistensialisme adalah menumpuk kemampuan individu menjadi diri
sendiri yang sebaik-baiknya walaupun tak mungkin terbina hubungan
murni dalam komunikasi sesame manusia, dan untuk mendorong setiap
individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk
pemenuhan diri, serta memberikan bekal pengalaman yang luas dan
komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. Para kaum eksistensialis
memercayai bahwa ilmu pengetahuan yang paling utama adalah

5

pengetahuan tentang kondisi manusia. Oleh sebab itu, pendidikan harus
mengembangkan kesadaran dalam memilih.
Filsafat eksistensialisme memandang bahwa pendidikan berfungsi
sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan

budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan
dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu
pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu
yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya,
pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan
peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan
tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model
kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan
memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik
menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori
dan inkuiri. Pendidikan seharusnya menyediakan suatu wawasan di
mana manusia menjadi paling peduli terhadap kondisi manusia dan
mengalami berbagai macam hal, seperti penderitaan, konflik, penyesalan
dan kematian, sehingga akan diperoleh pengalaman dari hal-hal tersebut.
Manusia harus bias memahami semua itu dan mengatasinya dengan bijak.
Pendidikan adalah upaya untuk mentransformasi, mengubah, dan
mengembangkan baik pribadi siswa sebagai anggota masyarakat atau
masyarakat itu sendiri.8
Dengan demikian pengajaran lebih menekankan pada pemecahan

masalah, baik masalah pribadi maupun sosial.9 Pendidikan berpusat pada
usaha mengembangkan persepsi dan perasaan individu untuk
memperlancar respon pribadi terhadap situasi hidup.
Sekolah sebagai lembaga sosial harus melayani pendidikan umum
untuk semua anak. Sekolah sepatutnya menjadi suatu alat untuk
merealisasikan kedisiplinan seseorang, bukan orang tertentu, tapi semua
orang; membiarkan seseorang berkembang memikirkan kebenaran untuk
dirinya, bukan kebenaran yang abstrak tapi yang hakiki.10
Sekolah yang berdasarkan eksistensialisme mendidik anak agar
menentukan pilihan dan keputusan sendiri dengan menolak otoritas
orang lain. Sekolah ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi,
buku wajib, dan sebagainya dari pihak luar. 11
3. Aliran Perenialisme
Filsafat pendidikan perenialisme merupakan suatu aliran dalam
pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari
kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir
sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang

6


pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru.
Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh
kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam
kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada
usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan
menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah
menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh
pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer
Adler.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan
sumbangan yang berpengaruh, baik teori maupun praktik bagi
kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.12 Dari pendapat ini
diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang
memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus.
Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan
arah dan tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat,
khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang
tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir
secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat
dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama
adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan
kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang
akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan problema yang
perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan
karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental.
Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau.
Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol
seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu
pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan
sumbangan kepada perkembangan zaman dulu.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke
arah kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang
perlu mendapat tuntunan ke arah kematangan tersebut. Sekolah rendah
memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan

7

pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung,
anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan
yang lain.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan
anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan.
Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan
pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain,
keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat tergantung kepada guru,
dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
4. Aliran Pragmatisme
Pragmatisme sebagai filsafat berpangkal pada filsafat empirisme,
yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia
alami. Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa
benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung
kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi
manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan
budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada
umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab
problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Beberapa tokoh yang
menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, Wiliam James, John
Dewey.
Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan
pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme
Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan
William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika
epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan.
Dewey menerapkan pragmatismenya dalam dunia pendidikan
dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai
langkah-langkah sebagai berikut : (1) Merasakan adanya masalah, (2)
Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang
mungkin, (3) Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah, (4)
Memilih dan menganalisis hipotesis, (5) Menguji, mencoba, dan
membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi
Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini
merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan
berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat
dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan
Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas
manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khususnya
melalui pendidikan.

8

III. Pendidikan Islam Dalam Pandangan Aliran-Aliran Filsafat
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat
pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas
problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan
menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial
dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai
solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat
menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.
Tipologi pemikiran pendidikan dapat dipetakan ke dalam dua
kelompok, yaitu tradisional dan kontemporer. Termasuk dalam kelompok
tradisional adalah perennialisme dan essensialisme. Sedangkan yang
termasuk dalam kelompok kontemporer adalah pragmatisme dan
eksistensialisme.13
Dalam lapangan pendidikan, masing-masing aliran tersebut
terwujud dalam kemungkinan-kemungkinan sikap dan pendirian para
pendidik, seperti; sikap konservatif sebagai perwujudan dari
essensialisme, sikap regresif sebagai perwujudan dari perennialisme.
Penjabaran dari masing-masing sikap tersebut dalam pendidikan dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Essensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas
nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam
kebudayaan dan nilai-nilai ini hendaklah sampai kepada manusia
dan telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai
perantara atau pembawa nilai-nilai ke dalam jiwa peserta didik.
Sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan penyerapan
yang tinggi.
2. Eksistensialisme menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan
peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhannya masing-masing dan menemukan jatidirinya, karena
masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan
bertanggungjwab atas diri dan nasibnya sendiri
3. Perennialisme menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa
yang menguasai abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang
menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata
kehidupan yang telah ditentukan secara rasional.
4. Pragmatisme menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan
kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan
perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya
pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga peserta
didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas.14
Dalam pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, sumber-sumber
pemikiran pendidikan Islam adalah kitab Allah (al-Quran), sunnah,
perkataan sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial

9

serta pemikir-pemikir Islam.15 Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran
(filsafat) pendidikan Islam tidak sekedar regresif dan konservatif terhadap
pemikiran para pendahulunya, tetapi juga berusaha melakukan
kontekstualisasi dan verifikasi sesuai dengan tuntutan lingkungan dan
kebutuhan zamannya, karena kembali kepada Islam berarti kembali
kepada sumber-sumber atau prinsip-prinsip umumnya yang hidup,
dinamis dan fleksibel. Selain itu diperlukan kajian kritis terhadap
pemikiran-pemikiran dari non muslim untuk tidak terjebak ke dalam
filsafat pendidikan yang tidak islami.
Di sisi lain, pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam
juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di
belahan dunia Islam pada periode modern, terutama dalam menjawab
tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan
dengan itu, Abdullah mencermati empat model pemikiran keislaman,
yaitu : model tekstualis salafi, (2) model tradisionalis mazhabi, (3) model
modernis, dan (4) model neo-modernis.16
Model pertama (tekstualis salafi) berupaya memahami ajaranajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan asSunnah dengan melepaskan diri dan kurang begitu mempertimbangkan
situasi kongkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim era klasik
maupun kontemporer yangmengitarinya. Dalam konteks pemikiran
(filsafat) pendidikan, terdapat dua aliran yang lebih dekat dengan model
tekstulis salafi, yaitu perennialisme dan essensialisme, terutama dilihat
dari wataknya yang regresif dan konservatif. Hanya saja perennialisme
menghendaki agar kembali kepada jiwa yang menguasai abad
pertengahan sedangkan model tekstualis salafi menghendaki agar
kembali ke masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat). Tetapi pada
intinya keduanya lebih berwatak regresif.
Adapun essensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan
atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam
kebudayaan. Model tekstualis salafi juga beranggapan bahwa nilai-nilai
kehidupan pada masyarakat salaf perlu dijunjung tinggi dan dilestarikan
keberadaannya hingga sekarang, baik nilai-nilai ilahiyah maupun
insaniyah, karena masyarakat salaf dipandang sebagai masyarakat yang
ideal. Karena itu, keduanya juga berwatak konservatif dalam arti samasama hendak mempertahankan nilai, kebiasaan dan tradisi masyarakat
terdahulu.
Model kedua (tradisional mazhabi) berupaya memahami ajaranajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan asSunnah melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, namun
seringkali kurang begitu mempertimbangkan situasi sosio-historis
masyarakat setempat. Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan
Islam, model ini berusaha membangun konsep pendidikan islam melalui

10

kajian terhadap khazanah pemikiran pendidikan Islam karya para ulama
pada periode terdahulu, baik dalam bangunan tujuan pendidikannya,
kurikulum atau program pendidikan, hubungan pendidik dan peserta
didik, metode pendidikan, maupun lingkungan pendidikan yang
dirumuskannya.
Model ketiga (modernis) berupaya memahami ajaran-ajaran dan
nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan
sosio-historis dan cultural yang dihadapi oleh masyarakat muslim
kontemporer tanpa mempertimbangkan khazanah intelektual muslim era
klasik yang terkait dengan persoalan kegamaan dan kemasyarakatan.
Sedangkan model keempat (neo-modernis) berupaya memahami ajaranajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan asSunnah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah
intelektual muslim era klasik serta mencermati keulitan-kesulitan dan
kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia teknologi modern.
Atas dasar model-model tersebut, beberapa pakar pendidikan
Islam di Indonesia telah menyusun buku-buku filsafat pendidikan Islam
dan menawarkan model pengembangan pemikiran (filsafat) pendidikan
yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap bangunan sistem
pendidikan nasional serta dijadikan sebagai acuan dan titik tolak dalam
pengembangan sistem pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam membangun sebuah teori pendidikan dan praktek
pendidikan semestinya didasarkan atas filsafat pendidikan tertentu.
Termasuk didalamnya ketika para ahli mengembangkan teori-teori
pendidikan Islam seharusnya mulai dari pemahaman terlebih dahulu
pada pandangan-pandangan filosofis tentang pendidikan yang ada dalam
filsafat pendidikan Islam.17
Dengan pemahaman seperti di atas, maka kita akan dapat
memahami peranan penting filsafat pendidikan Islam dalam proses
pengembangan pendidikan Islam. Pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia menjadi sangat penting untuk mengejar ketertinggalan
pendidikan Indonesia secara umum dibanding dengan pendidikan di
Negara-negara lain terutama Negara-negara tetangga seperti Singapura,
Malaysia, dan lain-lain, karena mayoritas pendidikan di Indonesia adalah
pendidikan Islam atau setidak-tidaknya pendidikan yang dikelola oleh
ummat Islam.
Filsafat Pendidikan Islam adalah sebuah suluh kemana pendidikan
Islam harus diarahkan. Sehingga dapat memperoleh petunjuk sesuai
dengan yang diinginkan oleh Islam. Mengapa demikian, karena banyak
pendidikan Islam yang kemudian seolah-olah tidak mempunyai kendali
lagi dan kehilangan orientasi dalam mencari hakikat pendidikan Islam itu
sendiri. Akibatnya pendidikan Islam tidak mampu lagi menampilkan

11

citranya sebagai pendidikan yang terbaik yang menghasilkan generasi
yang berkepribadian muslim.
Hanya dengan mengetahui hakikat pendidikan Islam dengan
menggunakan perangkat filsafat pendidikan Islam, pendidikan Islam
dapat dibangun kembali dan kemudian dapat menjadi lembaga
pendidikan rujukan bagi semua orang yang mendambakan kehadiran
sosok pendidikan yang sarat dengan ajaran moralitas, ketrampilan, dan
pengetahuan yang sangat dibutuhkan.

IV. PENUTUP
Pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas,
meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan
rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan
berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan
menguasai ilmu (dunia – akhirat) dan keterampilan atau keahlian tertentu
sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang
khalifah dan muslim yang bertaqwa. Tetapi pada realitasnya pendidikan
Islam, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki
pengertian yang agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih
banyak menyempit ke-pelajaran fiqh ibadah terutama, dan selama ini
tidak pernah dipersoalkan apakah isi program pendidikan pada lembagalembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian
pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits (ajaran Islam).
Dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk pendidikan Islam
diperlukan adanya pendirian sebagai kebijakan ideologi yang mempunyai
visi tertentu terhadap pendidikan. Kaitan dengan pendidikan secara
bersamaan muncul permasalahan-permasalahan pendidikan yang perlu
dicarikan pemecahannya. Permasalahan dalam pendidikan sangatlah
kompleks sehingga tidak cukup didekati dengan perspektif ilmu
pengetahuan semata namun perlu dicari pemecahannya secara filosofis.

1 Tenaga
2

Pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Muslim Usa, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta , (Yogyakarta, Tiara
Wacana, 1991), hal. 9
3
John S. Brubacher, A History of the Problems of Education, (New York, McGraw-Hill
Book Company, 1947), hal. 96.
4
Ismaun, Filsafat Ilmu I. Diktat Kuliah, (Bandung: UPI Bandung, 2001).
5
George F. Kneller,. Introduction to the Philosophy of Education, (New York: John
Wiley & Sons, Inc, 1971).

12

Zuhairini dkk., Filsafat…, hal. 21
Ekky Malaky, Ali Syariati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju,
2004), hal. 40
8
George F. Kneller,. Introduction…, hal. 79
6

7

9

Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006).
10
George F. Kneller,. Introduction…, hal. 78
11
Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 25
12
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Da sar Filsafa t Pendidikan
Pa nca sila .(Jakarta: Usaha Nasional, 1986), hal. 154
13
Arthur K Ellis, Jhon J, Cogan, Kenneth R. Howey, Introduction to the Foundation of
Education, (New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1986), hal. 115
14
Ibid, hal. 122
15
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: alMa’arif, 1980), hal. 187-235
16
Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), hal 3-5
17
Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 239

V. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995)
Abdurrahman, Muslim, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1995)
Arthur K Ellis, Jhon J, Cogan, Kenneth R. Howey, Introduction to the
Foundation of Education, (New Jersey: Prentice Hall, Englewood
Cliffs, 1986)
Charles J. Braunes & Hobert W. Burns. Problems in Education and
Philosophy. New York: Prentice-Hall Inc., 1965
Henderson, SVP, Introduction to Philosophy of Education. Chicago : Univ. of
Chicago Press, 1954.
Kneller, George F., Introduction to the Philosophy of Education. John Willey
Sons Inc, New York, 1971.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan (Pengantar Mengenai Sistem dan
Metode). Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) IKIP. 1984.
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila.Usaha Nasional. 1986.
Nasution, S. (2006). Asas-asas Kurikulum, Jakarta: PT Bumi Aksara.

13

Sukmadinata, Nana Syaodih, (2006). Pengembangan Kurikulum, Teori dan
Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
an-Nahlawi, Abdurrahman, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti
wal Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyir, Beiru-Libanon,
Cet. II, 1983., Terj., Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah
dan Masyarakat, Gema Insani Press, 1995.
Marimba, Ahmad D., 1974, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Ma'arif,
Bandung, Cet.III,.
Anwar Jasin, 1985, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan
Filosofis, Jakarta.
Muslim Usa (editor) 1991, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan
Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I,
M. Rusli Karim, 1991, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia,
dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta,
Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, Cet.Pertama.
Roihan Achwan, 1991, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm.
Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986, Crisis Muslim Education.,
Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah.
Zuhairini, dkk, 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
Ali Saifullah. HA. 1983. Antara Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat
Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Ismaun. 2001. Filsafat Ilmu I. (Diktat Kuliah). Bandung: UPI Bandung.
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam,
(Bandung: al-Ma’arif, 1980)