KELEMAHAN STRATEGI GULF COOPERATION COUN
KELEMAHAN STRATEGI GULF COOPERATION COUNCIL (GCC) + 4 DAN
KESALAHAN IRAK DALAM MELAWAN ISLAMIC STATE OF IRAQ AND ALSHAM (ISIS)
Kurnia Islami (Mahasiswa Hubungan Internasional)
Kekuatan ISIS dan Perlunya Upaya Regional
Munculnya Islamic State of Iraq and Al-Sham (ISIS) di Irak dan Suriah hingga saat
ini menjadi sebuah ancaman besar baik bagi Irak maupun masa depan geopolitik Timur
Tengah. ISIS tidak lagi sekadar bergerak sebagai organisasi terorisme, lebih dari itu ISIS
juga telah memiliki badan militer dan politik yang terstruktur untuk menjadi sebuah
negara (Lewis, 2014).
Secara militer, kekuatan ISIS bertumpu pada kemampuan strategi operasi militer dan
rekrutmen pasukan. Dalam konteks strategi operasi militer, ISIS memiliki ratusan ribu
pasukan bersenjata yang memiliki kemampuan sangat baik dalam military campaign
design khususnya strategi distribusi sumber daya material saat melakukan operasi militer
hingga mengatasi kelemahan dan membaliknya menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan
politis (Lewis, 2014). Kemampuan ini didukung pula dengan adanya berbagai peralatan
militer baru dan berteknologi tinggi termasuk tank Abrams М1А1 buatan Amerika
Serikat melalui penguasaan berbagai wilayah di Irak dan Suriah. Sementara itu dalam
konteks rekrutmen pasukan, ISIS memanfaatkan distribusi propaganda melalui media
sosial dan sebuah majalah berbahasa Inggris Dabiq yang disebarkan secara global.
Kekuatan ISIS secara politis tampak dengan dibentuknya otoritas ibukota di provinsi
Raqqa dan Allepo yang bertugas memfasilitasi pembangunan sekolah dan rumah sakit,
melakukan program rekonstruksi, mendistribusikan makanan menegakkan hukum dan
membentuk pasukan polisi. Pada umumnya, wilayah yang berhasil dikuasai ISIS
khususnya pada kota-kota besar, menjadi basis rekrutmen ISIS termasuk para jihadist
imigran.
Kombinasi kekuatan militer dan politis inilah yang semakin memperkuat eksistensi
ISIS untuk memproklamirkan diri sebagai sebuah negara yang kemudian menjadi
ancaman tidak hanya bagi Irak, namun bagi negara tetangga Timur Tengah lainnya.
Apabila ISIS dibiarkan menyebar dan menguasai wilayah lainnya maka kedaulatan
1
negara-negara Timur Tengah terancam musnah dan bukan tidak mungkin ini akan
mengubah tatanan geografis dan geopolitik negara Timur Tengah. Oleh sebab itu, strategi
melawan ISIS menjadi perhatian tidak hanya negara Irak (di mana ISIS mulanya
berkembang) melainkan juga negara tetangga dalam kawasan yang kemudian sejak 11
September 2014 tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC) +4 (Mesir, Jordania,
Libanon, Irak).
Pada dasarnya, upaya regional sendiri merupakan hal yang sangat penting dan
diperlukan dalam melawan ISIS. Pernyataan ini banyak disampaikan oleh pengamat
strategi militer dan analis hubungan internasional melihat fakta bahwa militer Irak tidak
memiliki kemampuan militer cukup kuat dibandingkan ISIS, sedangkan aktor eksternal
yang biasanya sangat dominan yakni AS, tidak cukup serius menangani kasus ini
(Shinkman, 2015) bahkan belum menyiapkan strategi yang matang (RT Op-Edge, 2015).
Upaya GCC +4 Melawan ISIS
Komitmen awal GCC +4 untuk melawan ISIS sejak pertemuan 11 September 2014
di Jeddah ditandai dengan sebuah kesepakatan yang berisi antara lain: menuntut
pemerintahan Irak baru, membantu orotitas Irak melawan ISIS, menghentikan masuknya
pasukan jihad ISIS dari luar Irak melalui negara tetangga, membendung gerakan
ekstrimis lainnya di Timur Tengah, melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi
terhadap korban ISIS, serta melakukan berbagai upaya militer untuk menyerang ISIS.
(Karasik, 2014)
Implementasi kesepakatan tersebut diantaranya adalah (Karasik, 2014):
1. Bantuan pelatihan militer yang diberikan Arab Saudi kepada kelompok Sunni
moderat di Irak.
2. Membentuk GCC-POL, sebuah integrasi polisi negara-negara GCC yang bertugas
memerangi semua organisasi terorisme termasuk yang berafiliasi dengan ISIS.
3. Pembendungan melalui media sosial dan media massa juga dilakukan untuk
mencegah persebaran propaganda ISIS yang sejauh ini telah berhasil menjaring
banyak kader bergabung dengan ISIS. Negara-negara GCC +4 melakukan koordinasi
dengan berbagai media serta meminta para ulama dan tokoh publik mengarahkan
opini publik pada anti-terorisme termasuk anti-ISIS untuk membendung kampanye
media sosial yang dilakukan ISIS.
2
4. Rehabilitasi dan rekonstruksi korban ISIS sebagai salah satu tindakan kemanusiaan
yang diharapkan mampu memperkuat legitimasi Irak dan Suriah dan mencegah
destruksi yang dilakukan ISIS.
5. Pengiriman pasukan militer dalam upaya serangan militer terhadap ISIS bersama
koalisi Amerika Serikat.
Meskipun demikian, setelah hampir setahun upaya-upaya koalisi GCC +4 telah
dilakukan, hingga saat ini ISIS masih eksis dan semakin menguat dengan menguasai
daerah utara Irak dan sebagian Suriah yang kaya sumber daya alam dan energi. Berbekal
analisis Center of Gravity Clausewitz dan strategi Jesica Lewis, belum berhasilnya upaya
GCC +4 melawan ISIS dapat dijelaskan sebab adanya kelemahan strategi GCC +4 sendiri
serta kesalahan dalam otoritas Irak.
Penerapan Analisis Center of Gravity ISIS
Analisis Center of Gravity diperkenalkan oleh Carl von Clausewitz untuk
mendapatkan gambaran sumber kekuatan lawan. Metode analisis ini kemudian
dikembangkan dalam militer Amerika Serikat menjadi 3 bagian yang lebih detil yakni :
Critical Capabilities (cara utama lawan), Critical Requirements (kebutuhan primer lawan
untuk bertindak), dan Critical Vulnerabilities (kelemahan lawan).
Penerapan analisis Center of Gravity terhadap ISIS salah satunya dilakukan oleh
Jesica D Lewis. Elemen analisis diawali analisis tujuan ISIS lebih dulu, kemudian
analisis Critical Capabilities, Requirements , Vulnerabilities selanjutnya menarik garis
besar ketiganya menjadi Center of Gravity. Tujuan ISIS dalam majalah Dabiq adalah
meruntuhkan batas teritori utamanya di Irak dan Suriah serta mendirikan kekhalifahan
Islam secara global. Berikutnya, analisis elemen Center of Gravity ISIS dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 1 Hasil Analisis Elemen Center of Gravity ISIS
sumber : Institute for the Study of War dengan olahan penulis
CRITICAL CAPABILITIES
1. Penyusunan strategi operasi militer
A means that is considered a
2. Rekrutmen pasukan
crucial enabler for a center of
gravity to function and is essential
to the accomplishment
of the specified or assumed
militer (pembebasan
tawanan, rekrutmen lokal, dan propaganda)
3. Kampanye politik (propaganda melalui media
atas kesuksesan militer ISIS, dakwah)
4. Penguasaan dan pengembangan kota-kota
3
objective(s).
besar (membangun sekolah, rumah sakit,
distribusi makanan)
CRITICAL REQUIREMENTS
1. Kemenangan militer yang berkelanjutan
An essential condition, resource, 2. Pasukan dan material penunjang militer
or means for a critical
capability to be fully operational
CRITICAL
VULNERABILITIES
An aspect of a critical requirement
which is deficient
or vulnerable to direct or indirect
attack that will create
decisive or significant effects.
3. Otoritas keagamaan (untuk mempertahankan
nilai kekhalifahan Islam)
1. Wilayah yang luas (sulit untuk menjaga
komunikasi dengan baik)
2. Beragam pemimpin dengan beragam karakter
yang berbeda
3. Berkurangnya aliansi (dari etnis atau kelompok
agama)
4. Perbedaan pendapat dalam agama
5. Kekuatan militer regional
CENTERS OF GRAVITY
The source of power that provides
[an enemy with] moral
or physical strength, freedom of
1. Kemampuan militer (ketepatan strategi dan
kemenangan operasi militer)
2. Kemampuan
politik
(praktik
penerapan
kekhalifahan Islam pada daerah yang dikuasai)
action, or will to act.
Setelah mengetahui sumber kekuatan ISIS, maka strategi yang dibutuhkan untuk
melawan ISIS adalah menjatuhkan kemampuan militer dan politik ISIS. Perlu menjadi
perhatian sebelumnya bahwa menjatuhkan kemampuan militer ISIS semata tidak
menjamin musnahnya organisasi ini secara keseluruhan sebab masih ada sumber
kekuatan lainnya yakni kekuatan politik (Lewis, 2014). Oleh sebab itu diperlukan upaya
komprehensif untuk menjatuhkan kekuatan militer dan politik ISIS.
Upaya menjatuhkan kekuatan militer dan politik ISIS diantaranya dapat dilakukan
melalui :
1. Melawan propaganda kemenangan militer ISIS, menunjukkan kekalahan dan
kelemahan militer ISIS melalui media. (Target ISIS critical capabilities)
4
2. Merusak penunjang militer ISIS, salah satunya melalui jaringan komunikasi ISIS
secara internal maupun eksternal (Target ISIS critical requirements and
vulnerabilities)
3. Memecah fokus militer ISIS melalui penyerangan bersamaan pada beberapa titik
berbeda. (Target ISIS critical vulnerabilities)
4. Merusak institusi dan birokrasi yang telah dibentuk ISIS tanpa melanggar hukum
humaniter (Target ISIS political capabilities)
Kelemahan Strategi GCC +4 dan Kesalahan Otoritas Irak dalam Melawan ISIS
Setelah melihat penerapan analisis Center of Gravity Clausewitz pada ISIS serta
strategi yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek signifikan terhadap ISIS, dapat dilihat
adanya kelemahan strategi GCC +4 pada beberapa hal. Pertama, inefektivitas tindakan
yang dipilih GCC +4 di mana meskipun ada banyak upaya yang telah terlaksana namun
tidak semuanya ditargetkan untuk menjatuhkan sumber kekuatan ISIS. Salah satu
contohnya adalah rehabilitasi dan rekonsiliasi korban ISIS. Tindakan ini seharusnya
menjadi perhatian domestik negara yang bersangkutan, khususnya Irak dan Suriah, sebab
kapabilitas regional yang lebih besar daripada negara seharusnya dimanfaatkan pula
untuk melakukan tindakan besar yang berdampak terhadap ISIS. Apabila ini dilakukan
oleh GCC +4 akan mengurangi fokus terhadap persiapan melawan kekuatan militer dan
politik ISIS. Apabila memang dirasa perlu menjadi perhatian regional, sebaiknya
dilakukan setelah tidak ada konflik dengan ISIS, sebab rehabilitasi akan sia-sia jika
dirusak kembali oleh ISIS.
Kedua, sikap pasrah terhadap Amerika Serikat dan tidak adanya semangat dan
komitmen tinggi memerangi ISIS dari GCC +4, khususnya dari Irak. Ini tampak
diantaranya melalui GCC Summit dan berbagai pertemuan negara GCC dan Amerika
Serikat yang tidak menampakkan adanya hasil strategi detail dari negara GCC. Hal
terpenting bagi negara-negara GCC yakni AS tetap memberi bantuan operasi militer
(Shinkman, 2015). Padahal, AS sendiri belum menyiapkan strategi yang matang melawan
ISIS sebagaimana dinyatakan Obama “We don’t yet have a complete strategy because it
requires commitments on the part of the Iraqis,” (Thompson, 2015) bahkan tampaknya
tidak memiliki semangat tinggi menyelesaikan masalah ini. Berbagai serangan memang
telah dilakukan oleh koalis AS, bahkan setiap harinya tidak kurang dari USD 9juta
5
dihabiskan Pentagon untuk memerangi ISIS (Newser, 2015). Namun demikian
sebenarnya belum ada strategi yang serius menangani ISIS.
Ketiga, strategi koalisi hanya berfokus untuk melumpuhkan kapabilitas militer ISIS
misalnya melalui serangan koalisi, namun belum ada tindakan menjatuhkan kapabilitas
politik ISIS. Ini tentu tidak akan mampu menghentikan ISIS secara total, mengingat
analisis Lewis bahwa ISIS memiliki 2 sumber kekuatan sehingga tidak cukup
menjatuhkan satu saja.
Keempat, strategi militer GCC +4 secara regional bentuknya masih sangat lemah dan
kurang efektif. Ini dibuktikan dengan pembentukan GCC-POL yang merupakan bentuk
kerjasama seperti interpol yang bertugas di perbatasan negara-negara GCC (Ali, 2014).
Kerjasama ini bersifat defensif, padahal kerjasama yang seharusnya lebih ditekankan
adalah kerjasama militer yang ofensif mengingat ISIS tidak berhenti melakukan berbagai
aksi militer sebagai critical capabilites yang juga digunakan untuk merekrut pasukan
militer. GCC sendiri sempat berwacana membentuk kerjasama militer bermodel seperti
NATO (Anthony, 2014). Hal ini dibahas pada pertemuan Supreme Council GCC ke-35,
namun belum ada implementasi lebih lanjut dan GCC nampak lebih serius pada GCCPOL dan koalisi militer yang dipimpin Amerika Serikat. Upaya membentuk joint-military
command olehh GCC sendiri diragukan keberhasilannya karena pada berbagai pertemuan
GCC sebelumnya banyak kerjasama yang digagas, mulai dari ekonomi seperti common
currency, dan political union belum terwujud (Ali, 2014).
Negara-negara GCC +4 sendiri tampak tidak cukup kompak memerangi ISIS secara
militer, banyak kepentingan yang berbeda bahkan ada anggota yang tidak sepenuhnya
berniat memerangi ISIS dan faksi ekstrimis yang berkaitan, seperti Qatar yang ,meskipun
membantu menyediakan military base AS di negaranya, membiayai kelompok ekstrimis
yang berafiliasi dengan AQI di Suriah yakni Khorasan (Ahmed, 2014). Ini kemudian
mendorong negara anggota GCC berdiri secara personal dan bergabung dengan koalisi
militer lain dalam memerangi ISIS, yakni AS, yang mana juga kurang antusias melawan
ISIS.
Selain itu, secara militer sendiri kemampuan negara-negara Teluk sebenarnya tidak
cukup kuat baik secara peralatan apalagi secara kemampuan (Ghosh, 2014). Arab Saudi
secara fisik memiliki peralatan militer yang paling memadai diantara negara Teluk
6
lainnya dengan peringkat 25 di dunia, satu tingkat di atas Suriah. Namun kapabilitas ini
tidak disertai sumber daya manusia yang baik dimana kemampuan berperang sangat
rendah bahkan tidak ada pengalaman mengirim pasukan perdamaian bersama PBB
(Ghosh, 2014).
Keempat, kesalahan otoritas Irak yakni korupsi dan diskriminasi etnis. Berkat
korupsi, tidak kurang dari USD 22 juta bantuan Amerika Serikat lenyap dalam kantongkantong rakyat sipil dan personil militer gadungan ‘fadhaiyin’ (Veselov, 2015).
Diskriminasi etnis oleh otoritas Irak meletakkan warga Sunni pada kelas inferior. Selain
itu, permintaan bantuan senjata baru oleh Sunni pro-Irak pun ditolak, sehingga
mendorong peningkatan dukungan Sunni terhadap ISIS di bawah komando Hadi Al-Amri
(Veselov, 2015) atau bahkan membuka peluang intervensi bantuan militer Iran.
Kesimpulan
Sumber kekuatan ISIS terletak pada militer dan politik, oleh sebab itu upaya yang
perlu dilakukan untuk mengalahkan ISIS adalah dengan menjatuhkan kedua kekuatan
tersebut. Melawan kekuatan militer ISIS tidak cukup kuat dengan satu negara, setidaknya
membutuhkan kekuatan regional. Sayangnya kapabilitas regional, dalam hal ini GCC +4
masih kurang kuat menghadapi ISIS. Ini tampak dari inefektivitas strategi GCC +4,
rendahnya kapabilitas pasukan GCC dalam berperang dan anggota GCC yang tidak satu
suara melakukan aksi ofensif terhadap ISIS. Aktor regional juga mencari dukungan
terhadap aktor eksternal, AS, namun ternyata tidak ada kesiapan dan kematangan strategi.
Sementara itu, internal domestik Irak dipenuhi korupsi dan diskriminasi etnis yang tidak
mendukung kelompok Sunni pro-Irak melawan ISIS. Semua indikator tersebut akibatnya
membuka peluang lebar bagi aktor lain, yakni Iran yang siap secara strategi dan
kapabilitas militer (Chulov, 2015).
Referensi
Ahmed, A. S. (2014, September 23). Huffington Post. Retrieved June 16, 2015, from What Do America's
Arab Partners Against ISIS Really Want?: http://www.huffingtonpost.com/2014/09/23/arabcoalition-isis_n_5870298.html
Ali, J. (2014, December 10). Middle East Confidental. Retrieved June 16, 2015, from GCC forms regional
police force, navy and: http://me-confidential.com/8873-gcc-forms-regional-police-force-navyand-military-in-the-pipeline.html
Anthony, J. D. (2014, December 12). Saudi-US Relations Infomation Service . Retrieved June 16, 2015,
from GCC Establishes Unprecedented Joint Military Command :
http://susris.com/2014/12/12/gcc-establishes-unprecedented-joint-military-command-anthony/
7
Chulov, M. (2015, June 14). The Guardian. Retrieved June 16, 2015, from Iran sends troops into Iraq to aid
fight against Isis militants: http://www.theguardian.com/world/2014/jun/14/iran-iraq-isis-fightmilitants-nouri-maliki
Ghosh, B. (2014, September 13). Quartz. Retrieved June 16, 2015, from Why Arab militaries would not
bring much firepower to the coalition against ISIL: http://qz.com/265286/why-arab-militarieswould-not-bring-much-firepower-to-the-coalition-against-isil/
Karasik, T. (2014, September 14). Al-Arabiya . Retrieved June 6, 2015, from Analyzing The Emergence of
The GCC +4 Against ISIS: http://english.alarabiya.net/en/views/news/middleeast/2014/09/14/Analyzing-the-emergence-of-the-GCC-4-against-ISIS.html
Lewis, J. D. (2014). The Islamic State: a Counter-Strategy for a Counter-State. Washington DC: Institute
for the Study of War.
Newser. (2015, June 12). Newser . Retrieved June 16, 2015, from We're Spending $9M a Day to Fight ISIS:
http://www.newser.com/story/208212/were-spending-9m-a-day-to-fight-isis.html
RT Op-Edge. (2015, June 10). RT. Retrieved June 15, 2015, from Defeating IS: ‘US didn’t have strategy
before, it doesn’t have one today’: http://rt.com/op-edge/266275-us-isis-obama-strategy/
Shinkman, P. D. (2015, May 12). US News. Retrieved June 14, 2015, from Don't Expect Much From
Obama's GCC Summit: http://www.usnews.com/news/articles/2015/05/12/dont-expect-muchfrom-obamas-gcc-summit
Thompson, M. (2015, June 8). Time. Retrieved June 14, 2015, from Fight Against ISIS Militants Lags
Because They’re Nimble … and the U.S. Isn’t: http://time.com/3913433/barack-obama-isisstrategy-g7/
Veselov, A. (2015, March 13). Strategic Culture Foundation. Retrieved June 12, 2015, from Tragedy of
Iraq II: http://www.strategic-culture.org/news/2015/03/13/tragedy-of-iraq-ii.html
8
KESALAHAN IRAK DALAM MELAWAN ISLAMIC STATE OF IRAQ AND ALSHAM (ISIS)
Kurnia Islami (Mahasiswa Hubungan Internasional)
Kekuatan ISIS dan Perlunya Upaya Regional
Munculnya Islamic State of Iraq and Al-Sham (ISIS) di Irak dan Suriah hingga saat
ini menjadi sebuah ancaman besar baik bagi Irak maupun masa depan geopolitik Timur
Tengah. ISIS tidak lagi sekadar bergerak sebagai organisasi terorisme, lebih dari itu ISIS
juga telah memiliki badan militer dan politik yang terstruktur untuk menjadi sebuah
negara (Lewis, 2014).
Secara militer, kekuatan ISIS bertumpu pada kemampuan strategi operasi militer dan
rekrutmen pasukan. Dalam konteks strategi operasi militer, ISIS memiliki ratusan ribu
pasukan bersenjata yang memiliki kemampuan sangat baik dalam military campaign
design khususnya strategi distribusi sumber daya material saat melakukan operasi militer
hingga mengatasi kelemahan dan membaliknya menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan
politis (Lewis, 2014). Kemampuan ini didukung pula dengan adanya berbagai peralatan
militer baru dan berteknologi tinggi termasuk tank Abrams М1А1 buatan Amerika
Serikat melalui penguasaan berbagai wilayah di Irak dan Suriah. Sementara itu dalam
konteks rekrutmen pasukan, ISIS memanfaatkan distribusi propaganda melalui media
sosial dan sebuah majalah berbahasa Inggris Dabiq yang disebarkan secara global.
Kekuatan ISIS secara politis tampak dengan dibentuknya otoritas ibukota di provinsi
Raqqa dan Allepo yang bertugas memfasilitasi pembangunan sekolah dan rumah sakit,
melakukan program rekonstruksi, mendistribusikan makanan menegakkan hukum dan
membentuk pasukan polisi. Pada umumnya, wilayah yang berhasil dikuasai ISIS
khususnya pada kota-kota besar, menjadi basis rekrutmen ISIS termasuk para jihadist
imigran.
Kombinasi kekuatan militer dan politis inilah yang semakin memperkuat eksistensi
ISIS untuk memproklamirkan diri sebagai sebuah negara yang kemudian menjadi
ancaman tidak hanya bagi Irak, namun bagi negara tetangga Timur Tengah lainnya.
Apabila ISIS dibiarkan menyebar dan menguasai wilayah lainnya maka kedaulatan
1
negara-negara Timur Tengah terancam musnah dan bukan tidak mungkin ini akan
mengubah tatanan geografis dan geopolitik negara Timur Tengah. Oleh sebab itu, strategi
melawan ISIS menjadi perhatian tidak hanya negara Irak (di mana ISIS mulanya
berkembang) melainkan juga negara tetangga dalam kawasan yang kemudian sejak 11
September 2014 tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC) +4 (Mesir, Jordania,
Libanon, Irak).
Pada dasarnya, upaya regional sendiri merupakan hal yang sangat penting dan
diperlukan dalam melawan ISIS. Pernyataan ini banyak disampaikan oleh pengamat
strategi militer dan analis hubungan internasional melihat fakta bahwa militer Irak tidak
memiliki kemampuan militer cukup kuat dibandingkan ISIS, sedangkan aktor eksternal
yang biasanya sangat dominan yakni AS, tidak cukup serius menangani kasus ini
(Shinkman, 2015) bahkan belum menyiapkan strategi yang matang (RT Op-Edge, 2015).
Upaya GCC +4 Melawan ISIS
Komitmen awal GCC +4 untuk melawan ISIS sejak pertemuan 11 September 2014
di Jeddah ditandai dengan sebuah kesepakatan yang berisi antara lain: menuntut
pemerintahan Irak baru, membantu orotitas Irak melawan ISIS, menghentikan masuknya
pasukan jihad ISIS dari luar Irak melalui negara tetangga, membendung gerakan
ekstrimis lainnya di Timur Tengah, melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi
terhadap korban ISIS, serta melakukan berbagai upaya militer untuk menyerang ISIS.
(Karasik, 2014)
Implementasi kesepakatan tersebut diantaranya adalah (Karasik, 2014):
1. Bantuan pelatihan militer yang diberikan Arab Saudi kepada kelompok Sunni
moderat di Irak.
2. Membentuk GCC-POL, sebuah integrasi polisi negara-negara GCC yang bertugas
memerangi semua organisasi terorisme termasuk yang berafiliasi dengan ISIS.
3. Pembendungan melalui media sosial dan media massa juga dilakukan untuk
mencegah persebaran propaganda ISIS yang sejauh ini telah berhasil menjaring
banyak kader bergabung dengan ISIS. Negara-negara GCC +4 melakukan koordinasi
dengan berbagai media serta meminta para ulama dan tokoh publik mengarahkan
opini publik pada anti-terorisme termasuk anti-ISIS untuk membendung kampanye
media sosial yang dilakukan ISIS.
2
4. Rehabilitasi dan rekonstruksi korban ISIS sebagai salah satu tindakan kemanusiaan
yang diharapkan mampu memperkuat legitimasi Irak dan Suriah dan mencegah
destruksi yang dilakukan ISIS.
5. Pengiriman pasukan militer dalam upaya serangan militer terhadap ISIS bersama
koalisi Amerika Serikat.
Meskipun demikian, setelah hampir setahun upaya-upaya koalisi GCC +4 telah
dilakukan, hingga saat ini ISIS masih eksis dan semakin menguat dengan menguasai
daerah utara Irak dan sebagian Suriah yang kaya sumber daya alam dan energi. Berbekal
analisis Center of Gravity Clausewitz dan strategi Jesica Lewis, belum berhasilnya upaya
GCC +4 melawan ISIS dapat dijelaskan sebab adanya kelemahan strategi GCC +4 sendiri
serta kesalahan dalam otoritas Irak.
Penerapan Analisis Center of Gravity ISIS
Analisis Center of Gravity diperkenalkan oleh Carl von Clausewitz untuk
mendapatkan gambaran sumber kekuatan lawan. Metode analisis ini kemudian
dikembangkan dalam militer Amerika Serikat menjadi 3 bagian yang lebih detil yakni :
Critical Capabilities (cara utama lawan), Critical Requirements (kebutuhan primer lawan
untuk bertindak), dan Critical Vulnerabilities (kelemahan lawan).
Penerapan analisis Center of Gravity terhadap ISIS salah satunya dilakukan oleh
Jesica D Lewis. Elemen analisis diawali analisis tujuan ISIS lebih dulu, kemudian
analisis Critical Capabilities, Requirements , Vulnerabilities selanjutnya menarik garis
besar ketiganya menjadi Center of Gravity. Tujuan ISIS dalam majalah Dabiq adalah
meruntuhkan batas teritori utamanya di Irak dan Suriah serta mendirikan kekhalifahan
Islam secara global. Berikutnya, analisis elemen Center of Gravity ISIS dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 1 Hasil Analisis Elemen Center of Gravity ISIS
sumber : Institute for the Study of War dengan olahan penulis
CRITICAL CAPABILITIES
1. Penyusunan strategi operasi militer
A means that is considered a
2. Rekrutmen pasukan
crucial enabler for a center of
gravity to function and is essential
to the accomplishment
of the specified or assumed
militer (pembebasan
tawanan, rekrutmen lokal, dan propaganda)
3. Kampanye politik (propaganda melalui media
atas kesuksesan militer ISIS, dakwah)
4. Penguasaan dan pengembangan kota-kota
3
objective(s).
besar (membangun sekolah, rumah sakit,
distribusi makanan)
CRITICAL REQUIREMENTS
1. Kemenangan militer yang berkelanjutan
An essential condition, resource, 2. Pasukan dan material penunjang militer
or means for a critical
capability to be fully operational
CRITICAL
VULNERABILITIES
An aspect of a critical requirement
which is deficient
or vulnerable to direct or indirect
attack that will create
decisive or significant effects.
3. Otoritas keagamaan (untuk mempertahankan
nilai kekhalifahan Islam)
1. Wilayah yang luas (sulit untuk menjaga
komunikasi dengan baik)
2. Beragam pemimpin dengan beragam karakter
yang berbeda
3. Berkurangnya aliansi (dari etnis atau kelompok
agama)
4. Perbedaan pendapat dalam agama
5. Kekuatan militer regional
CENTERS OF GRAVITY
The source of power that provides
[an enemy with] moral
or physical strength, freedom of
1. Kemampuan militer (ketepatan strategi dan
kemenangan operasi militer)
2. Kemampuan
politik
(praktik
penerapan
kekhalifahan Islam pada daerah yang dikuasai)
action, or will to act.
Setelah mengetahui sumber kekuatan ISIS, maka strategi yang dibutuhkan untuk
melawan ISIS adalah menjatuhkan kemampuan militer dan politik ISIS. Perlu menjadi
perhatian sebelumnya bahwa menjatuhkan kemampuan militer ISIS semata tidak
menjamin musnahnya organisasi ini secara keseluruhan sebab masih ada sumber
kekuatan lainnya yakni kekuatan politik (Lewis, 2014). Oleh sebab itu diperlukan upaya
komprehensif untuk menjatuhkan kekuatan militer dan politik ISIS.
Upaya menjatuhkan kekuatan militer dan politik ISIS diantaranya dapat dilakukan
melalui :
1. Melawan propaganda kemenangan militer ISIS, menunjukkan kekalahan dan
kelemahan militer ISIS melalui media. (Target ISIS critical capabilities)
4
2. Merusak penunjang militer ISIS, salah satunya melalui jaringan komunikasi ISIS
secara internal maupun eksternal (Target ISIS critical requirements and
vulnerabilities)
3. Memecah fokus militer ISIS melalui penyerangan bersamaan pada beberapa titik
berbeda. (Target ISIS critical vulnerabilities)
4. Merusak institusi dan birokrasi yang telah dibentuk ISIS tanpa melanggar hukum
humaniter (Target ISIS political capabilities)
Kelemahan Strategi GCC +4 dan Kesalahan Otoritas Irak dalam Melawan ISIS
Setelah melihat penerapan analisis Center of Gravity Clausewitz pada ISIS serta
strategi yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek signifikan terhadap ISIS, dapat dilihat
adanya kelemahan strategi GCC +4 pada beberapa hal. Pertama, inefektivitas tindakan
yang dipilih GCC +4 di mana meskipun ada banyak upaya yang telah terlaksana namun
tidak semuanya ditargetkan untuk menjatuhkan sumber kekuatan ISIS. Salah satu
contohnya adalah rehabilitasi dan rekonsiliasi korban ISIS. Tindakan ini seharusnya
menjadi perhatian domestik negara yang bersangkutan, khususnya Irak dan Suriah, sebab
kapabilitas regional yang lebih besar daripada negara seharusnya dimanfaatkan pula
untuk melakukan tindakan besar yang berdampak terhadap ISIS. Apabila ini dilakukan
oleh GCC +4 akan mengurangi fokus terhadap persiapan melawan kekuatan militer dan
politik ISIS. Apabila memang dirasa perlu menjadi perhatian regional, sebaiknya
dilakukan setelah tidak ada konflik dengan ISIS, sebab rehabilitasi akan sia-sia jika
dirusak kembali oleh ISIS.
Kedua, sikap pasrah terhadap Amerika Serikat dan tidak adanya semangat dan
komitmen tinggi memerangi ISIS dari GCC +4, khususnya dari Irak. Ini tampak
diantaranya melalui GCC Summit dan berbagai pertemuan negara GCC dan Amerika
Serikat yang tidak menampakkan adanya hasil strategi detail dari negara GCC. Hal
terpenting bagi negara-negara GCC yakni AS tetap memberi bantuan operasi militer
(Shinkman, 2015). Padahal, AS sendiri belum menyiapkan strategi yang matang melawan
ISIS sebagaimana dinyatakan Obama “We don’t yet have a complete strategy because it
requires commitments on the part of the Iraqis,” (Thompson, 2015) bahkan tampaknya
tidak memiliki semangat tinggi menyelesaikan masalah ini. Berbagai serangan memang
telah dilakukan oleh koalis AS, bahkan setiap harinya tidak kurang dari USD 9juta
5
dihabiskan Pentagon untuk memerangi ISIS (Newser, 2015). Namun demikian
sebenarnya belum ada strategi yang serius menangani ISIS.
Ketiga, strategi koalisi hanya berfokus untuk melumpuhkan kapabilitas militer ISIS
misalnya melalui serangan koalisi, namun belum ada tindakan menjatuhkan kapabilitas
politik ISIS. Ini tentu tidak akan mampu menghentikan ISIS secara total, mengingat
analisis Lewis bahwa ISIS memiliki 2 sumber kekuatan sehingga tidak cukup
menjatuhkan satu saja.
Keempat, strategi militer GCC +4 secara regional bentuknya masih sangat lemah dan
kurang efektif. Ini dibuktikan dengan pembentukan GCC-POL yang merupakan bentuk
kerjasama seperti interpol yang bertugas di perbatasan negara-negara GCC (Ali, 2014).
Kerjasama ini bersifat defensif, padahal kerjasama yang seharusnya lebih ditekankan
adalah kerjasama militer yang ofensif mengingat ISIS tidak berhenti melakukan berbagai
aksi militer sebagai critical capabilites yang juga digunakan untuk merekrut pasukan
militer. GCC sendiri sempat berwacana membentuk kerjasama militer bermodel seperti
NATO (Anthony, 2014). Hal ini dibahas pada pertemuan Supreme Council GCC ke-35,
namun belum ada implementasi lebih lanjut dan GCC nampak lebih serius pada GCCPOL dan koalisi militer yang dipimpin Amerika Serikat. Upaya membentuk joint-military
command olehh GCC sendiri diragukan keberhasilannya karena pada berbagai pertemuan
GCC sebelumnya banyak kerjasama yang digagas, mulai dari ekonomi seperti common
currency, dan political union belum terwujud (Ali, 2014).
Negara-negara GCC +4 sendiri tampak tidak cukup kompak memerangi ISIS secara
militer, banyak kepentingan yang berbeda bahkan ada anggota yang tidak sepenuhnya
berniat memerangi ISIS dan faksi ekstrimis yang berkaitan, seperti Qatar yang ,meskipun
membantu menyediakan military base AS di negaranya, membiayai kelompok ekstrimis
yang berafiliasi dengan AQI di Suriah yakni Khorasan (Ahmed, 2014). Ini kemudian
mendorong negara anggota GCC berdiri secara personal dan bergabung dengan koalisi
militer lain dalam memerangi ISIS, yakni AS, yang mana juga kurang antusias melawan
ISIS.
Selain itu, secara militer sendiri kemampuan negara-negara Teluk sebenarnya tidak
cukup kuat baik secara peralatan apalagi secara kemampuan (Ghosh, 2014). Arab Saudi
secara fisik memiliki peralatan militer yang paling memadai diantara negara Teluk
6
lainnya dengan peringkat 25 di dunia, satu tingkat di atas Suriah. Namun kapabilitas ini
tidak disertai sumber daya manusia yang baik dimana kemampuan berperang sangat
rendah bahkan tidak ada pengalaman mengirim pasukan perdamaian bersama PBB
(Ghosh, 2014).
Keempat, kesalahan otoritas Irak yakni korupsi dan diskriminasi etnis. Berkat
korupsi, tidak kurang dari USD 22 juta bantuan Amerika Serikat lenyap dalam kantongkantong rakyat sipil dan personil militer gadungan ‘fadhaiyin’ (Veselov, 2015).
Diskriminasi etnis oleh otoritas Irak meletakkan warga Sunni pada kelas inferior. Selain
itu, permintaan bantuan senjata baru oleh Sunni pro-Irak pun ditolak, sehingga
mendorong peningkatan dukungan Sunni terhadap ISIS di bawah komando Hadi Al-Amri
(Veselov, 2015) atau bahkan membuka peluang intervensi bantuan militer Iran.
Kesimpulan
Sumber kekuatan ISIS terletak pada militer dan politik, oleh sebab itu upaya yang
perlu dilakukan untuk mengalahkan ISIS adalah dengan menjatuhkan kedua kekuatan
tersebut. Melawan kekuatan militer ISIS tidak cukup kuat dengan satu negara, setidaknya
membutuhkan kekuatan regional. Sayangnya kapabilitas regional, dalam hal ini GCC +4
masih kurang kuat menghadapi ISIS. Ini tampak dari inefektivitas strategi GCC +4,
rendahnya kapabilitas pasukan GCC dalam berperang dan anggota GCC yang tidak satu
suara melakukan aksi ofensif terhadap ISIS. Aktor regional juga mencari dukungan
terhadap aktor eksternal, AS, namun ternyata tidak ada kesiapan dan kematangan strategi.
Sementara itu, internal domestik Irak dipenuhi korupsi dan diskriminasi etnis yang tidak
mendukung kelompok Sunni pro-Irak melawan ISIS. Semua indikator tersebut akibatnya
membuka peluang lebar bagi aktor lain, yakni Iran yang siap secara strategi dan
kapabilitas militer (Chulov, 2015).
Referensi
Ahmed, A. S. (2014, September 23). Huffington Post. Retrieved June 16, 2015, from What Do America's
Arab Partners Against ISIS Really Want?: http://www.huffingtonpost.com/2014/09/23/arabcoalition-isis_n_5870298.html
Ali, J. (2014, December 10). Middle East Confidental. Retrieved June 16, 2015, from GCC forms regional
police force, navy and: http://me-confidential.com/8873-gcc-forms-regional-police-force-navyand-military-in-the-pipeline.html
Anthony, J. D. (2014, December 12). Saudi-US Relations Infomation Service . Retrieved June 16, 2015,
from GCC Establishes Unprecedented Joint Military Command :
http://susris.com/2014/12/12/gcc-establishes-unprecedented-joint-military-command-anthony/
7
Chulov, M. (2015, June 14). The Guardian. Retrieved June 16, 2015, from Iran sends troops into Iraq to aid
fight against Isis militants: http://www.theguardian.com/world/2014/jun/14/iran-iraq-isis-fightmilitants-nouri-maliki
Ghosh, B. (2014, September 13). Quartz. Retrieved June 16, 2015, from Why Arab militaries would not
bring much firepower to the coalition against ISIL: http://qz.com/265286/why-arab-militarieswould-not-bring-much-firepower-to-the-coalition-against-isil/
Karasik, T. (2014, September 14). Al-Arabiya . Retrieved June 6, 2015, from Analyzing The Emergence of
The GCC +4 Against ISIS: http://english.alarabiya.net/en/views/news/middleeast/2014/09/14/Analyzing-the-emergence-of-the-GCC-4-against-ISIS.html
Lewis, J. D. (2014). The Islamic State: a Counter-Strategy for a Counter-State. Washington DC: Institute
for the Study of War.
Newser. (2015, June 12). Newser . Retrieved June 16, 2015, from We're Spending $9M a Day to Fight ISIS:
http://www.newser.com/story/208212/were-spending-9m-a-day-to-fight-isis.html
RT Op-Edge. (2015, June 10). RT. Retrieved June 15, 2015, from Defeating IS: ‘US didn’t have strategy
before, it doesn’t have one today’: http://rt.com/op-edge/266275-us-isis-obama-strategy/
Shinkman, P. D. (2015, May 12). US News. Retrieved June 14, 2015, from Don't Expect Much From
Obama's GCC Summit: http://www.usnews.com/news/articles/2015/05/12/dont-expect-muchfrom-obamas-gcc-summit
Thompson, M. (2015, June 8). Time. Retrieved June 14, 2015, from Fight Against ISIS Militants Lags
Because They’re Nimble … and the U.S. Isn’t: http://time.com/3913433/barack-obama-isisstrategy-g7/
Veselov, A. (2015, March 13). Strategic Culture Foundation. Retrieved June 12, 2015, from Tragedy of
Iraq II: http://www.strategic-culture.org/news/2015/03/13/tragedy-of-iraq-ii.html
8