DAFTAR ISI Halaman - Perpustakaan tunanetra

BAB I PENDAHULUAN

A. PEMAHAMAN JUDUL

Perpustakaan tuna netra ialah suatu perpustakaan yang secara khusus menyediakan koleksi bahan-bahan pustaka dalam format khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan kaum tuna netra.

Dari segi ukuran, biasanya pepustakaan tuna netra dapat berukuran cukup besar, namun lingkup pelayananya tidak terlalu luas. Namun demikian sebaiknya perpustakaan ini menempati bangunan tersendiri.

Perpustakaan tunanetra tidak hanya menyediakan buku-buku braile, buku dalam cetakan besar, rekaman audio, dll, namun juga ikut memproduksi bahan-bahan tersebut sehingga dapat sebagai pusat informasi bagi organisasi Tuna netra, khususnya di jawa tengah. Selain itu juga berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan akan edukasi dan rekreasi bagi kaum Tuna Netra.

Seperti disebutkan diatas, kekhususan dari perpustakaan ini adalah fasiitasnya yang tersedia khusus didesain dan disediakan untuk kaum tuna netra. Namun demikian Perpustakaan ini tidak menutup kesempatan bagi khalayak umum untuk datang dan menggunakan fasilitas perpustakaan seluas luasnya.

B. LATAR BELAKANG

Manusia dikaruniai sedikitnya 5 macam indera untuk dapat menyerap berbagai informasi yang ada di dunia. Indera penglihatan, indera penciuman, indera pendengar, dan indera peraba.

Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi manusia. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatannya, sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian, dapat dipahami jika seseorang mengalami gangguan atau cacat pada indera penglihatannya , maka kemampuan aktifitasnya akan menjadi sangat terbatas, karena informasi yang mereka peroleh akan jauh Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi manusia. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatannya, sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian, dapat dipahami jika seseorang mengalami gangguan atau cacat pada indera penglihatannya , maka kemampuan aktifitasnya akan menjadi sangat terbatas, karena informasi yang mereka peroleh akan jauh

Mereka yang memiliki keterbatasan visual seringkali mengalami kesulitan dalam memperoleh informasi dibandingkan mereka yang normal. Padahal tak dapat dipungkiri dalam era globalisasi seperti saat ini, dimana arus informasi yang mengalir deras sangat mungkin menyebabkan mereka tertinggal. Karenanya perlu segera diupayakan fasilitas khusus bagi mereka yang ingin belajar dan memperoleh ilmu maupun informasi walaupun dalam keterbatasan yang dimiliki.

Para penvandang tuna netra sendiri sebenarnya rnenghendaki agar pemerintah membuka kesempatan belajar kepada seluruh masyarakat tanpa membedakan kemampuan fisik dan nonfisik. Hal itu mereka ungkapkan dalam aksi damai di depan gerbang Gedung MPR/ DPR, (Kompas Scnin 5 Mei 2003) Selain itu mereka juga meminta masyarakat agar tidak memandang rendah kaum yang memiliki perbedaan fisik dan nonfisik.

Hal ini menunjukkan adanva semangat yang tinggi untuk tetap belajar dan tidak ketinggalan informasi walaupun memiliki keterbatasan fisik. Namun kurangnya fasilitas yang informative dan sikap masyarakat yang kadang kala memandang rendah menjadi penghalang bagi mereka.

Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. seperti tertuang dalam UU No. 2 tahun 1989 pasal 5 bahwa Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian orang-orang yang menderita cacat atau kelainan juga mendapatkan perlindungan hak. seperti tertuang pada pasal 8 ayat ( 1) UU No. 2 tahun 1989 disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. seperti tertuang dalam UU No. 2 tahun 1989 pasal 5 bahwa Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian orang-orang yang menderita cacat atau kelainan juga mendapatkan perlindungan hak. seperti tertuang pada pasal 8 ayat ( 1) UU No. 2 tahun 1989 disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental

Mengutip Direktur Pendidikan Luar Biasa, Mudjito (1998), Selama ini anak-anak cacat cenderung mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan, sehingga akses memperoleh pekerjaan juga tidak mudah. Selanjutnva hal itu berimplikasi pada penghasilan dan berantai pada gizi dan kesehatan generasi penerusnya, dapat disimpulkan perlunya akses khusus yang dapat berfungsi sebagai pendidikan informative bagi mereka yang cacat.

Sarana pendidikan informative ini dapat diperoleh melalui fasilitas perpustakaan dimana dapat diperoleh sumber bacaan seperti buku, majalah,koran maupun sumber informasi lain seperti fasilitas multi media berupa internet, audio (kaset, cd,mp3) maupun video (vcd,dvd,dan kaset video).

Di sini, perpustakaan memiliki peran penting dalam upaya peningkatan sumber daya manusia. Perpustakaan merupakan salah situ sarana pelestari pustaka sebagai hasil budaya yang mempunyai fungsi sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menunjang pembangunan nasional (Keppres no 11 tahun 1983 )

Adapun fasilitas tersebut khususnya dalam format khusus bagi penyandang tuna netra masih sukar didapat pada perpustakaan umum. Di sini yang dimaksud dengan format khusus meliputi pelayanan perpustakaan bagi mereka yang tuna netra, format bacaan Braille atau cetakan besar, audio (buku elektronik, kaset, dll), video, sarana multi media yang khusus, maupun fungsi bangunan yang didesain khusus Adapun fasilitas tersebut khususnya dalam format khusus bagi penyandang tuna netra masih sukar didapat pada perpustakaan umum. Di sini yang dimaksud dengan format khusus meliputi pelayanan perpustakaan bagi mereka yang tuna netra, format bacaan Braille atau cetakan besar, audio (buku elektronik, kaset, dll), video, sarana multi media yang khusus, maupun fungsi bangunan yang didesain khusus

Direktur Pendidikan Luar Biasa, Mudjito menilai pemerintah lebih menekankan pendidikan hanya pada masalah pertumbuhan dan kompetisi. Asas keadilan dan kemanusiaan yang menyinggung pada anak-anak yang memiliki keterbatasan, dinilainya masih jauh dari cukup.

Di sini dapat disimpulkan bahwa keberadaan suatu perpustakaan yang dapat memfasilitasi kebutuhan penyandang tuna netra maupun cacat untuk memperoleh sumber pengetahuan informative dengan kondisi yang mendukung secara psikologis merupakan salah satu sarana utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencapai tujuan pembangunan nasional untuk membangun masyarakat Indonesia dan seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

C. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN

1. Permasalahan

Berdasarkan bahasan di depan, permasalahan yang muncul adalah merencanakan dan merancang Perpustakaan Tunanetra di Surakarta yang dapat memberikan kemudahan bagi para kaum tuna netra untuk memperoleh sumber informasi, baik melalui buku maupun sumber informasi lain (audio dan multi media, teknologi informasi/internet, dll) sehingga dapat membantu peningkatan kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh.

2. Persoalan

Dari permasalahan di atas, persoalan yang muncul adalah bagaimana menentukan

a. Tata site

b. Program ruang

c. Tampilan bangunan c. Tampilan bangunan

D. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan pembahasan ini adalah merencanakan dan merancang fasilitas publik berupa perpustakaan tunanetra di Surakarta dengan menggunakan pendekatan perilaku tunanetra.

Sedangkan sasaran yang ingin didapat adalah konsep perencanaan dan perancangan Perpustakaan Tunanetra yang meliputi konsep perilaku pelaku dan kegiatan, kebutuhan dan luas ruang, lokasi dan site, tata ruang, gubahan masa bangunan, fasad bangunan, tata lansekap, struktur dan utilitas.

E. LINGKUP PEMBAHASAN DAN BATASAN

Lingkup pembahasan berada di seputar disiplin ilmu arsitektur yang berkaitan dengan perpustakaan umum dan arsitektur perilaku. Studi keilmuan lain merupakan pendukung konsep Perpustakaan Tunanetra Surakarta. Sedangkan pembahasan dibatasi hanya pada kajian seputar perpustakaan umum dan arsitektur perilaku dan penerapannya pada bangunan perpustakaan Tunanetra Kota Surakarta.

F. STRATEGI DAN METODOLOGI RANCANG BANGUN

Di dalam strategi dan metodologi rancang bangun, pembahasan dilakukan dalam beberapa tahapan. Masing-masing tahapan terdiri atas metode yang hampir sama, yakni analisa dan sintesa. Menganalisa permasalahan yang ada kemudian menyimpulkannya sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai titik tolak penyusunan konsep perencanaan dan perancangan.

Berikut ini adalah tahapan-tahapan yang dilakukan:

1. Tahap I (PENGUNGKAPAN MAIN IDEA)

Main idea merupakan gagasan awal yang didapat dari suatu topik atau fenomena yang ingin disampaikan. Pengungkapan main idea berkembang dengan adanya studi pustaka dan eksplorasi.

a. Penjabaran Main idea Pada tahap ini, main idea yang di peroleh dari suatu topik disusun menjadi beberapa pustaka (kutub-kutub). Kutub-kutub yang telah ditentukan tersebut kemudian dijadikan sebagai materi eksplorasi, yang meliputi teori dan data terkait.

Dalam hal ini kutub-kutub yang menjadi materi eksplorasi adalah mengenai Tunanetra, Perpustakaan, dan kota Surakarta.

b. Eksplorasi Main Idea Eksplorasi dilakukan dengan menguraikan kutub-kutub yang telah ditentukan pada tahap penjabaran main idea. Masing-masing kutub dijabarkan dan diinteraksikan antara satu sama lain untuk mencari hubungan antar kutub yang meliputi permasalahan yang menjadi esensi pemicu yang nantinya dapat dijadikan sebagai strategi rancang bangun. Esensi-esensi pemicu menjadi penyelaras antara persepsi yang ada dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Proses eksplorasi ini juga menjadi dasar pemahaman-pemahaman yang diperlukan dalam proses selanjutnya, seperti pada penentuan judul dan proses pendekatan konsep rancang bangun, dsb.

c. Pengumpulan Data pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yakni:

§ Obervasi lapangan, merupakan kegiatan pengamatan langsung terhadap Perilaku Tunanetara untuk mengetahui kebutuhan dan

karakteristik seorang penyandang tunanetra. § Mencari data-data terkait dengan kondisi tunanetra di Surakarta, dan preseden – preseden bangunan atau fasilitas untuk

mewadahi kegiatan tunanetra yang telah ada di Surakarta. § Mencari data spesifik dan referensi pustaka untuk mendapatkan

masukan dalam bentuk landasan teori maupun preseden baik dari internet, media cetak/ elektronik, maupun buku acuan.

2. Tahap II (PERUMUSAN JUDUL DAN PENYUSUNAN KONSEP)

a. Studi Pustaka dan Eksplorasi Lanjut

Studi pustaka dan eksplorasi lanjut merupakan proses yang terus dilakukan hingga proses akhir untuk mengatasi permasalahan- permasalahan yang mengalami perkembangan. Studi pustaka dan proses eksplorasi dibutuhkan untuk menyelaraskan persepsi yang ditangkap dengan permasalahan yang berkembang.

b. Pengumpulan Data Tambahan Perkembangan permasalahan diikuti dengan diperlukannya data-data tambahan untuk mengeliminasi asumsi dengan data-data yang relevan.

c. Reduksi dan Analisa Data Selama proses pematangan dan penyusunan konsep berlangsung pemenggalan dan penyederhanaan sebagian data atau informasi akan sangat membantu terutama agar proses analisa lebih efisien. Beberapa aspek yang digunakan sebagai dasar dan proses analisa, yakni:

1) Kualitatif, dengan menentukan kriteria karakteristik yang sesuai dengan tuntutan yang memperhatikan hasil evaluasi yang telah dilakukan pada lingkungan objek observasi. Analisis ini digunakan pada: § Penentuan tapak berdasarkan potensi dan masterplan. § Penentuan ungkapan fisik desain bangunan yang sesuai

dengan karakteristik Tunanetra.

2) Kuantitatif, yang merupakan asumsi proyeksi untuk menghasilkan variabel-variabel pasti dari objek. Analisis ini digunakan pada: § Penentuan program kegiatan berdasarkan kelompok kegiatan

dan kebutuhan ruang § Penentuan besaran ruang dan organisasi ruang yang relevan dengan konfigurasi kegiatan.

3. Tahap III (STRATEGI DESAIN)

Pendekatan desain (design approach) merupakan tahapan manifestasi konsep ke dalam desain. Konsep makro dan mikro yang Pendekatan desain (design approach) merupakan tahapan manifestasi konsep ke dalam desain. Konsep makro dan mikro yang

4. Tahap IV (PRELIMINARY AND FINAL PRODUCT)

Tahap ini merupakan presentasi akhir dari perencanaan dan perancangan perpustakaan tunanetra di Surakarta. Preliminary product yang didapat dari design approach disatukan sehingga didapat final product. Final product yang disajikan meliputi design approach dan gambar main design maupun complementary design.

G. SISTMATIKA PENULISAN BAB I. PENDAHULUAN

Mengemukakan abstraksi mengenai uraian singkat permasalahan yang dihadapi, tindakan yang perlu dilakukan dan hal-hal yang ingin dicapai berdasarkan pembahasan secara keseluruhan. Kemudian garis besar uraian ini diterjemahkan ke dalam judul, pemahaman judul, latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan sasaran, kerangka teoritikal pustaka, strategi dan metodologi rancang bangun, dan pelaporan.

BAB II. TINJAUAN TEORI

Membahas dan menguraikan tinjauan perpustakkan (pemahaman, tugas dan fungsi, jenis kegiatan yang diwadahi, pelaku kegiatan Membahas dan menguraikan tinjauan perpustakkan (pemahaman, tugas dan fungsi, jenis kegiatan yang diwadahi, pelaku kegiatan

BAB III. TINJAUAN KOTA SURAKARTA

Menguraikan data mengenai Kota Surakarta, kondisi tunanetradi Surakarta, terutama data-data tentang fasilitas bagi tunanetra dan perpustakaan di Surakarta.

BAB IV. PERPUSTAKAAN TUNANETRA YANG DIRENCANAKAN

Mengemukakan gambaran perpustakaan tunanetra yang akan dibuat.

BAB V. ANALISA PENDEKATAN KONSEP

Menguraikan dasar pertimbangan umum, cakupan analisa (makro dan mikro), proses analisa (makro dan mikro), manifestasi pendekatan perilaku dan karakteristik tunanetra pada desain bangunan, serta sistem support bangunan.

BAB VI. KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

Merupakan penyusunan konsep perencanaan fisik Perpustakaan Tunanetra di Surakata berdasarkan hasil analisa dan jawaban untuk permasalahan dan persoalan yang telah dikemukakan sebelumnya.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Tunanetra

1. Pemahaman Tuna Netra Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi

manusia. Tidak berlebihan apabila dikemukakan bahwa sebagian besar informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatan, sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian, dapat difahami bila seseorang mengalami gangguan pada indera penglihatan, maka kemampuan aktifitasnya akan jadi sangat terbatas, karena informasi yang diperoleh akan jauh berkurang dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal.

secara umum tunanetra berarti rusak penglihatan. Tunanetra berarti buta,tetapi buta belum tentu sama sekali gelap atau sama sekali tidak dapat melihat. Ada anak buta yang sama sekali tidak ada penglihatan,anak semacam ini biasanya disebut buta total. Disamping buta total,masih ada juga anak yang mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat dipergunakan untuk membaca dan menulis huruf biasa. Istilah buta ini mencakup pengertian yang sama dengan istilah tunanetra atau istilah asingnya blind. Untuk memberikan pengertian yang tepat tentang buta itu, perlu dirumuskan pengertian sebagai berikut: Menurut Slamet Riadi adalah “Seseorang dikatakan buta jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk pendidikan “(Slamet Riadi , 1984, hal. 23). Menurut Pertuni tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisah penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meski pun dibantu dengan kacamata (kurang awas).

menurut White Conference pengertian tunanetra adalah sebagai berikut: menurut White Conference pengertian tunanetra adalah sebagai berikut:

b. Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata yang terbaik setelah mendapat perbaikan yang diperlukan atau mempunyai ketajaman penglihatan lebih dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan dalam lantang pandangnya sehingga luas

daerah penglihatanya membentuk sudut tiak lebih dari 20 o . Menurut Alana M. Zimbone, Ph. D. dalam bukunya yang berjudul

Teaching Children With Visual and Additional Disabilities (Alana, 1992:59) seseorang dikatakan buta total bila tidak mempunyai bola mata, tidak data membedakan terang dan gelap, tidak dapat memproses apa yang dilihat pada otaknya yang masih berfungsi.

Menurut DeMott (1982:272)dalam bukunya yang berjudul Exceptional Children and Youth istilah buta (Blind) diberikan pada orang yang sama sekali tidak memiliki penglihatan atau yang hanya memiliki persepsi cahaya. Siswa yang buta akan diajarkan Braille. Pengertian penglihatan sebagian (Partialy Sighted) adalah mereka yang memiliki tingkat ketajaman sentral antara 20/70 dan 20/200. Siswa yang digolongkan dalam klasifikasi ini membutuhkan bantuan khusus atau modifikasi materi, atau membutuhkan kedua-duanya dalam pendidikan di sekolah.

2. Penggolongan Tuna Netra Ada beberapa klasifikasi Tuna Netra menurut Dra. Anastasia

Widjajantin dan Drs Imanuel Hitipeuw (1995).

a. Berdasarkan tingkat ketajaman Penglihatan (Snellen Tes)

· 6/6 m – 6/16 m atau 20/70 feet – 20/200 feet Tuna netra ringan, masih dapat dikatakan normal. Mampu

mempergunakan fasilitas pendidikan umum. Masih dapat melihat benda kecil seperti mengamati uang logam atau korek api.

· 6/20 m – 6/60 m atau 20/70 feet – 20/200 feet · 6/20 m – 6/60 m atau 20/70 feet – 20/200 feet

· 6/60 m lebih atau 20/200 lebih pada tingkat ini tergolong tuna netra berat. Taraf ini masih

mempunyai tingkatan yaitu : Masih dapat menghitung jari pada jarak 6 m, masih dapat melihat gerakan tangan, hanya membedakan terang dan gelap.

· 6/60 m lebih atau 20/200 lebih Sudah tidak mampu melihat rangsangan cahaya dan tidak mampu

melihat apapun (buta total).

b. Berdasarkan saat terjadinya kebutaan

· Tuna netra sebelum dan sejak lahir Sejak dalam kandungan atau sebelum satu tahun sudah mengalami kebutaan. Tidak memiliki konsep penglihatan. Perlu adanya

bantuan dari orang dan lingkungan sekitar untuk melatih indera yang masih dimiliki.

· Tunanetra batita mengalami tunanetra pada usia dibawah 3 tahun. Konsep

penglihatan yang ada akan cepat hilang. Kesan visual (konsep benda dan lingkungan) tidak bermanfaat bagi kehidupan selanjutnya.

· Tunanetra balita Mengalami tunanetra pada usia dibawah 5 tahun. Pada usia ini konsep penglihatan yang telah terbentuk cukup berarti bagi

kehidupan selanjutnya. Kesan yang pernah terbentuk tidak hilang dan harus tetap dikembangkan.

· Tunanetra pada usia sekolah Meliputi tunanetra pada usia 6 – 12 tahun. Konsep penglihatan telah terbentuk dan telah memiliki banyak kesan visual, seperti rumah, wajah teman yang ceria.d1l. Tidak jarang mengalami goncangan jiwa yang Iebih hebat daripada tunanetra balita karena · Tunanetra pada usia sekolah Meliputi tunanetra pada usia 6 – 12 tahun. Konsep penglihatan telah terbentuk dan telah memiliki banyak kesan visual, seperti rumah, wajah teman yang ceria.d1l. Tidak jarang mengalami goncangan jiwa yang Iebih hebat daripada tunanetra balita karena

Tunanetra yang terjadi saat usia 13-19 tahun. Kesan visual yang dimiliki sangat dalam.Akan mengalami goncangan jiwa yang berat sebab terjadi konflik batin dan jasmani. Merasakan frustasi karena secara jasmani tak dapat lagi melihat padahal kebutuhannya masih sama saat masih dapat melihat. Membutuhkan bimbingan agar dapat berkemnbang secara utuh Sehingga dapat melakukan interaksi sosial dengan lingkungannya.

· Tunanetra dewasa Mengalami tunanetra pada usia 19 tahun ke atas. Telah memiliki

ketrampilan yang mapan dan kemungkinan pekerjaan yang diharapkan. Kebutaan merupakan pukulan yang cukup berat. tetapi sedikit yang mengkaibatkan goncangan jiwa, frustasi dan putus asa.

c. Berdasarkan kelemahan visual

· Kelemahan visual ringan Ketajaman penglihatan < 20/25 dan luas lantang pandang < 120°. Masih dapat melakukan tugas sehari-hari. Luas lantang pandang berkurang tidak berpengaruh terhadap kegiatan sehari-hari.

· Kelemahan visual sedang Ketajaman Penglihatan > 20/60 dan luas lantang penglihatan

600.Memerlukan kacamata untuk melakukan tugas sehari-hari. · Kelemahan visual parah Ketajaman penglihatan > 20/60 dan luas lantang penglihatan 20°. Penglihatan kacamata tidak berfungsi karena ketajaman visual dan

lantang pandang sudah sangat turun. · Kelemahan visual sangat parah Ketajaman penglihatan sangat rendah, hanya bisa membaca dan

menghitung jari pada jarak 5m dengan lantang pandang 10 o · Kelemahan visual yang mendekati buta total

Ketajaman penglihatan sangat rendah hanya bisa membaca Ketajaman penglihatan sangat rendah hanya bisa membaca

Tidak dapat menerima rangsangan cahaya. Dapat dikatakan buta.

Dari berbagai penggolongan tunanctra tersebut, dapat disimpulkan ada 3 bagian besar penyandang cacat visual, yakni:

a. Tunanetra total

b. Tunanetra kurang lihat (low vision)

c. Tunanetra plus (Tunanetra dengan cacat tambahan)

3. Perilaku Penyandang Tunanetra Penyandang tunanetra memiliki beberapa tingkat keterbatasan

penglihatan yang berbeda-beda. Dari hasil studi literature menurut buku Ortopedagogik Tunanetra dan melalui internet dengan studi banding The National Library Service for the Blind and Physically Handicapped (AILS), Andrew Heiskell Braille and Talking Book Library, serta wawancara dengan pakar tuna netra didapat karakteristik tunanetra yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat cacat visual yang dideritanya. Berikut ini perilaku/ karakteristik tunanetra menurut tingkat cacat visualnya.

a. Karakteristik Tunanetra Total

· Rasa curiga terhadap orang lain Keterbatasan akan rangsang visual menyebabkan tunanetra kurang mampu berorientasi terhadap lingkungannya.Mereka sering mengalami sakit hati, kecewa, dan rasa tidak senang akibat peristiwa seperti tabrakan dengan orang lain, terperosok lubang, dsb. Akibatnya mereka selalu berhati-hati dalam tindakan dan menaruh curiga terhadap orang lain.

· Mudah tersinggung · Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang lain

· Blindism Blindism adalah gerakan yang dilakukan tunanetra tanpa mereka

sadari. Tindakan ini tidak sedap dipandang mata, seperti selalu menggeleng-gelengkan kepala atau badan tanpa sebab, dll. Gerakan ini tak terkontrol oleh mereka sehingga sehingga orang lain akan pusing bila selalu melihat gerakan-gerakan tersebut.

· Rasa rendah diri. Perasaan yang muncul saat berinteraksi dengan orang awas (berdasarkan hasil wawancara): Merasa rendah diri, terisolir atau tersisih. Mereka sudah mencoba berbicara dengan orang awas, tetapi orang awas sulit diajak bicara. Merasa terisolir, jarang orang awas mau berbicara dengan tunanetra, jarang mau menyapa lebih dahulu.

Merasa maki, mencoba beradaptasi dengan kegiatan lingkungan, tetapi masyarakat tidak dapat menerimanya. Merasa sering diejek. mendapat belas kasihan.

· Tangan ke depan, badan rnembungkuk Bermaksud untuk melindungi tuhuh dari sentuhan benda atau terantuk benda tajarn Sutra melamun

Karena tidak dapat mengamati Iingkungan, mereka cenderung melamun.

· Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu objek Lamunan akan menimbulkan fantasi pada suatu objek yang pernah diperhatikan dengan rabaannya.Tidak jarang dapat menghasilkan lagu atau puisi yang indah.

· Kritis Keterbatasan dalam penglihatannya dan kekuatan berfantasi mengakibatkan tunanetra sering bertanya-tanya tentang hal yang belum dimengerti agar mereka tidak salah konsep.

· Pemberani Bertindak sungguh-sungguh tanpa ragu. Sering terjadi bila mereka mempunyai konsep dasar yang benar tenting gerak dan · Pemberani Bertindak sungguh-sungguh tanpa ragu. Sering terjadi bila mereka mempunyai konsep dasar yang benar tenting gerak dan

Berta Kurtzveil personal reader, suatu piranti yang mengubah tulisan menjadi format audio.

· Akibat dari kebutaannya, penderita pada umumnya memiliki kepekaan yang sangat tinggi pada pendengarannya dan seringkali dijumpai mereka yang memiliki ingatan luar biasa kuat untuk mengenali dan menghafal orang, benda, lingkungan yang pernah dijumpainya. Hal ini karena indcra mereka yang lain menjadi lebih terlatih

· Karenaa dapat dikatakan tidak mcmiliki indera penglihatan. kaum ini biasanya kurang meniperhatikan penampilan · Penderita dalam usia anak-anak, terutama yang belum mampu mandiri masih menggantungkan diri pada bantuan orang lain pada umumnya bersifat lebih sensitiv, menutup diri, dan menginginkan ruang-an personal yang pribadi.

· Penderita yang sudah lebih dewasa dan telah mampu mandiri pada umumnya masih cukup sensitive dengan orang lain. Namun bersikap lebih ekstrovert terbuka. mudah berinteraksi, ramah, dan menyukai ruang luar daripada ruang dalam yang tertutup

b. Karakteristik Tunanetra kurang lihat (partially sighted)

· Selalu mencoba mengadakan fixation atau melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda.

· Menanggapi rangsang cahaya yang datang padanya, terutama benda yang kena sinar, disebut visually function

· Bergerak dengan penuh percaya diri ·

Merespon warna, selalu memberi komentar pada warna benda yang dilihatnya.

· Dapat menghindari rintangan yang besar dengan sisa penglihatannya (selokan, bate besar, tumpukan kayu, penghalang jalan, d1l)

· Memiringkan kepala untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada dengan daya lihatnva.

· Mampu meneikuti gerak benda ·

Tertarik pada benda bergerak ·

Berjalan sering mcrnbentur atau menginJak benda kecil ·

Berjalan dengan menggeser kaki untuk mendeteksi kemungkinan ada benda kecil yang terinjak.

· Salah langkah karena salah mendeteksi linakungan. Mis: dinding kaca di Mal dikira jalan keluar schingga salah arti.

· Kesulitan mengenali benda jika warnanya tidak kontras. ·

sulit melakukan gerakan yang halos atau lernhut, karena gerakan semacam itu tak tertanokap oleh matanya

· Melihat benda secara global (tidak mendetail) ·

Koordinasi antara mata dan anggota badan lemah. (misal : memasukkan bola dalam gawang, mengiris sesuatu)

· Kondisi penglihatannya mungkin samar-samar atau ketajamannya sering naikturun

· Petunjuk penting yang berguna bagi low vision akin nampak membingungkan bagi yang melihat atau orang awas

· Sering tidak mampu mengontrol cahaya yang dibutuhkan untuk menggunakan penglihatannya dalam berbagai lingkungan.

· Mereka belajar menggunakan sisa penglihatnnya secara maksimum ·

Dapat melihat dengan bantuan alat khusus seperti : kacamata dan lensa kontak, teleskop kecil yang dipegang, kaca pernbesar. prisma dari lens fish eye, fixedfocus stand readers, dan closed circuit TV system.

Dari perilaku / karakteristik tunanetra tersebut diatas dapat disimpulkan kebutuhan mereka secara arsitektural sehingga dapat diperoleh respon arsitektural yang Sesuai.

4. Ekspresi Ruang Terhadap Tunanetra

Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi manusia. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatannya, sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian, dapat dipahami jika seseorang mengalami gangguan atau cacat pada indera penglihatannya , maka kemampuan aktifitasnya akan menjadi sangat terbatas, karma informasi yang mereka peroleh akan jauh berkurang dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal. Sehingga untuk mengenal ruang mereka hanya mengandalkan keempat indera mereka yang tersisa.

Dalam Perencanaan wadah bagi tuna netra, ada 3 konsep utama, yaitu

► Kenyamanan Menurut para ahli, ternyata konsep kenyamanan antara penyandang tunanetra dengan orang normal adalah sama. Malah penyandang tunanetra diuntungkan karena tidak mengenal konsep cahaya, warna, dan perspektif.

Oleh karena itu diasumsikan – dalam membaca pun konsep kenyamanan tidak jauh berbeda. Di sini, faktor pembentuk kenyamanan adalah: Penghawaan, yang tebagi menjadi penghawaan alami (penggunaan ventilasi) dan penghawaan buatan (penggunaan AC sebagai pengatur temperatur dan kelembaban dalam ruangan) serta akustik (penggunaan bahan-bahan akustik di dalam dan di luar ruangan, untuk meminimalisasi sumber- sumber bunyi internal dan eksternal), karena setelah kehilangan sensor visual, maka indera pendengaran dimaksimalkan penggunaanya untuk berkonsentrasi. Okeh karena itu, kepekaan pendengaranya mutlak harus dijaga.

► Kesederhanaan Yang dimaksud ‘kesederhanaan’ di sini adalah bahwa penyandang

tunanetra sebagai pelaku kegiatan utama dapat membawa dirinya dari tunanetra sebagai pelaku kegiatan utama dapat membawa dirinya dari

karena pergerakan dinamis dan mengandung unsure swadaya, maka indera pengganti indera penglihatan dalam dirinya harus dimaksimalkan, yaitu alat pendengaran dan alat peraba (dalam hal ini penggunaan tongkat sebagai detector, yang digunakan dengan cara mengetuk – ngetuk tongkat tersebut ke kiri dan ke kanan untuk memastikan keamanan jalan di depanya sebelum melangkah).

Untuk menterjemahkan kata ‘kesederhanaan’ dapat dilakukan dengan mengatur tata letak (lay out) secara linear/segaris atau pelletakan material-material yang berfungsi sebagai pembentuk sirkulasi.

Berdasarkan pengamatan, para penyandang tunanetra cenderung lebih berani dan luwes jika bergerak maju ke depan, dibandingkan jika berbelok ke kiri atau ke kanan. Malah mereka merasa jauh lebih sulit jika berjalan dengan arah memutar/melingkar.

Secara umum, harapan mereka dalam berjalan (terutama ke arah depan). adalah agar diletakkan benda-benda yang bisa disinggung / disentuh dalam jarak tertentu dengan tongkat mereka yang berfungsi sebagai detector., agar dapat memudahkan mobilitas penyandang tunanetra dalm bergerak. Benda-benda tersebut menurut responden, dapat berwujud tiang (listrik), pot bunga, tong sampah dll.

► Keamanan Kata ‘keamanan’ diartikan sebagai pergerakan yang bebas dan

leluasa serta terhindari dari hal-hal yang membahayakan, misalnya : tersandung, terpeleset, tabrakan/ bersinggungan dengan objek yang tidak diinginkan.

Sebelumnya, perlu diperhatikan karakteristik gerakan yang dilakukan oleh tunanetra, terutama dalam berjalan : kedua tanganya dijulurkan ke depan (bila tanpa tongkat), kaki diseret, bahu agak membungkuk nampak ragu-ragu dan sngat berhati-hati, muka tidak lurus ke depan , tetapi agak berpaling ke kiri dan ke kanan sambil mengetuk- ngetuk tongkat ke kiri dan ke kanan terhadap objek di bagian depanya.

(Ts. Soekini Pradopo, Diagnosa anak luar biasa, Penerbit Sinar Baru, Jakarta, 1998, h.47)

Sehingga untuk menjamin keselamatan mereka dalam bergerak di dalam ruangan perlu dilakukan beberapa hal yang menyangkut masalah teknis, antara lain: menghindari perencanaan peil(perbedaan tinggi lantai) yang terlalu sring dan berubah-ubah ataupun penggunaan railing atau bahan material lain, yang berfungsi selain sebagai penmgaman juga sebagai pembentuk sirkulasi , seperti yang banyak dipakai di pusat-pusat perbelanjaan di Amerika Serikat.

Warna kuning merupakan warna yang umum sebagai kode orientasi dan mobilitas bagi tunanetra partial (visual impairment people). Warna kuning ini biasanya dipakai pada tactile paving yang meunjukkan adanya persimpangan jalan atau jalur khusus tunanetra di tempat-tempat umum. Warna kuning dipilih sebagai warna Petunjuk tunanetra karena pada umumnya kontras dengan lingungan sekelilingnya sehingga mudah terlihat oleh tunanetra partial.

Warna abu-abu dalam panduan menentukan warna kontras adalah warna yang paling kontras dengan warna kuning. Maka agar warna bangunan terlihat kontras dan memudahkan bagi tunanetra partial dalam mengenali lingkungannnya, dipakailah kombinasi kedua warna ini.

Warna kuning terutama diapikasikan pada kolom-kolom, kusen pinto dan jendela, railing serta elemen bangunan yang memiliki potensi tak terlihat oleh tunanetra partial jika warnanya tidak kontras. Sedangkan warna abu-abu dipakai sebagai background Warna kuning, sehingga pada umumnya elemen bangunan yang berupa bidang berwarna abu-abu.

Pola berfungsi sebagai batasan untuk dijadikan pegangan dalam berorientasi. Setiap orang, termasuk tunanetra memiliki suatu pola/skema/ stuktur koonitif untuk mcngidentifikasi obyek dan mengorganisasikan dengan linukungannya. Disini desain perpustakaan mencoba menghadirkan bangunan yang secara skematis (polanya) telah ada di pikiran manusia dengan pola-pola yang sederhana.

5. Persyaratan Teknis Aksesibilitas Penyandang Tunanetra Berdasarkan Ketetapan Menteri Pekerjaan Umum Repulik Indonesia nomor 468/KPTS/1998

Dengan ditetapkanya Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia nomor 468/KPTS/1998 tanggal 1 desember 1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada bangunan Umum dan Lingkungan, dengan sendirinya telah mengakomodasi pula aspek – aspek tuntutan desain yang aksesibel bagi tuna netra. Namun pengungkapan data ini lebih diarahkan untuk menjadi pedoman dalam mennentukan persyaratan – persyaratan umum dalam memenuhi tuntutan aksesibilitas dalam suatu bangunan, sedangkan dalam menciptakan desain tempat pelatihan tuna netr yang direncanakan lebih mengacu pada pengimplementasian karakteristik dan sensitivitas indera penyandang tuna netra dalam melakukan orientasi dan mobilitas.

Persyaratan – Persyaratan teknis tersebut meliputi :

a. Ukuran Dasar Ruang

Ukuran dan detail penerapan standar

Gambar 2.1 Studi gerak tunanetra

b. Jalur Pedestrian

► Persyaratan · Permukaan

Permukaan jalan harus stabil, kuat,tahan cahaya, bertekstur halus tapi tidak licin. Hindari sambungan atau gundukan pada permukaan, kalaupun terpaksa ada, tingginya tidak harus lebih dari 1,25 cm. Apabila menggunakan karpet, maka ujungnya harus kencang dan mempunyai trim yang permanen.

· Kemiringan Kemiringan maksimum 7 o dan pada setiap jarak 9 m disarankan

terdapat pemberhentian untuk istirahat. · Area Istirahat

Terutama digunakan uintuk pengguna jalan penyandang cacat. · Pencahayaan

Berkisar antara 50-150 lux tergantung pada intensitas pemakaian, tingkat bahaya dan kebutuhan keamanan.

· Perawatan

Dibutuhkan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan

· Drainase dibuat tegak lurus dengan arah jalur yang berkedalaman maksimal

1,5 cm, mudah dibersihkan dan perletakan lubang dijauhkan dari tepi ramp.

· Ukuran Lebar minimum jalur pedestrian adalah 120 cm untuk jalur searah

160 cm untuk dua arah. Jalur pedestrian harus bebas dari pohon, tiang, rambu – rambu dan benda – benda pelengkap jalan yang menghalangi.

· Tepi Pengaman Penting bagi pemberhentian roda kendaraan dan tongkat tuna netra

ke arah yang berbahaya. Tepi pengaman dibuat setinggi minimum

10 cm dan lebar 15 cm sepanjang jalur pedestrian.

c. Jalur Pemandu

► Persyaratan · Tekstur ubin bermotif garis – garis menunjukkan arah perjalanan.

· Tekstur ubin peringatan (bulat) memberi peringatan terhadap adanya perubahan situasi disekitarnya.

· Daerah – daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu ( guiding blocks), adalah :

→ Didepan jalur lalu lintas kendaraan → Didepan pintu masuk/keluar dari dan menuju tangga atau

fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai. → Di pintu masuk/keluar pada terminal transportasi umum atau

area penumpang → Pada pedestrian yang menghubungkan antara jalan dan

bangunan → Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi

umum terdekat.

d. Area Parkir

► Persyaratan · Fasilitas parkir kendaraan

→ Tempat parkir penyandang cacat terletak pada route terdekat menuju bangunan/fasilitas yang dituju, dengan jarak maksimum 60 m.

→ Jika tempat parkir tidak berhubungan dengan bangunan, misalnya pada parkir taman an tempat terbuka lainya, maka tempat parkir harus diletakkan sedekat mungkin dengan gerbang masuk atau jalur pedestrian.

→ Area parkir harus cukup mempunyai ruang bebas disekitarnya sehingga pengguna parkir terutama penyandang cacat dapat dengan mudah masuk dan keluar dari kendaraanya.

→ Area parkir khusus penyandang cacat ditandai dengan simbol/tanda parkir penyandang cacat yang berlaku.

→ Ruang parkir mempunyai lebar 370 m untuk parkir tunggal atau 620 cm untuk parkir ganda dan sudah dihubungkan dengan ramp dan jalan menuju fasilitas – fasilits lainya.

· Daerah menaik turunkan penumpang → Kedalaman minimum dari daerah naik turun penumpang dari jalan atau jalur lalu lintas sibuk adalah 360 cm dan dengan panjang minimal 600 cm.

→ Dilengkapi dengan fasilitas Ramp, jalur pedestrian dan rambu penyandang cacat.

→ kemiringan maksimal 5 o dengan permukaan yang rata di semua bagian.

→ Diberi rambu penyandang cacat yang biasa digunakan untuk mempermudah dan membedakan dengan fasilitas serupa bagi umum.

e. Pintu

► Persyaratan · Pintu pagar ke tapak bangunan harus mudah dibuka dan ditutup

oleh penyandang cacat.

· Pintu keluar/masuk utama memiliki lebar minimal 90 cm, dan pintu – pintu yang kurang penting memiliki lebar minimal 80 cm.

· Di daerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya ramp atau perbedaan ketinggian lantai.

· Jenis pintu yang tidak dianjurkan panggunaanya adalah : penumpang

→ Pintu geser → pintu yang berat dan sulit untuk dibuka/ditutup → Pintu yang terbuka ke kedua arah (dorong dan tarik) → Pintu dengan bentuk pegangan yang sulit dioperasikan terutama

bagi tuna netra. · Penggunaan pintu otomatis diutamakan yang peka terhadap bahaya

kebakaran. Pintu tersebut tidak boleh membuka sepenuhnya dalam waktu lebih cepat dari 5 detik dan mudah untuk menutup kembali.

· Hindari bahan lantai yang licin di sekitar pintu. · alat – alat penutup pintu otomatis perlu dipasang agar dapat

menutup dengan sempurna, karena pintu yang terbuka sebagian dapat membahayakan penyandang cacat.

· Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan bagi penyandang cacat

f. Ramp

► Persyaratan · Kemiringan suatu Ramp di dalam bangunan tidak boleh melebihi

7 o , Perhitungan kemiringan tersebut tidak termasuk awalan atau akhiran ramp (curb ramp/landing). Sedangkan kemiringan suatu

ramp yang ada diluar bangunan maksimum 6 o . · Panjang mendatar suatu ramp (dengan kemiringan 7 o ) tidak boleh

lebih dari 900 cm. Panjang ramp dengan kemiringan yang lebih rendah dapat lebih panjang.

· Lebar minimum dari ramp adalah 95 cm tanpa tepi pengaman. Untuk ramp yang juga digunakan sekaligus untuk pejalan kaki dan · Lebar minimum dari ramp adalah 95 cm tanpa tepi pengaman. Untuk ramp yang juga digunakan sekaligus untuk pejalan kaki dan

· Permukaan datar awalan atau akhiran suatu ramp harus memiliki tekstur sehingga tidak licin walaupun dihari hujan.

· Lebar tepi pengaman ramp (slow crub) 10 cm. Apabila batasan langsung dengan lalu lintas jalan umum atau persimpangan harus

dibuat sedemikian rupa agar tidak menggangg7u jalan umum. · Ramp harus dilengkapi dengan pegangan rambatan (handrail) yang

dijamin kekuatanya dengan ketinggian yang sesuai.

g. Tangga

► Persyaratan · Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan seragam.

· Harus memiliki kemiringan tanjakan kurang dari 6 o . · Tidk terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan

pengguna tangga. · Harus dilengkapi dengan pegangan rambat (haildrail) minimum

pada salah satu sisi tangga. · Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65 – 80

cm dari lantai, bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu, dan bagian unungnya harus bulat atau dibelokkan dengan baik ke arah lantai, dinding atau tiang.

· Pengangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian ujung –

ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm. · Untuk tangga yang terletak diluar bangunan, harus dirancang

sehingga tidak ada air hujan yang menggenag pada lantainya.

h. Kamar Kecil · Toilet atau kamar kecil yang fleksibel harus dilengkapi dengan

rambu “penyandang cacat” pada bagian luarnya.

· Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk masuk dan keluar yang memudahkan gerak

penyandang cacat. · Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian

pengguana cacat netra (45-50 cm) serta memudahkan untuk mengakses fasilitas ini.

· Toilet atau kamar kecil harus dilengkapi dengan pegangan rambat (haildrail) yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan

perilaku cacat, sehingga memudahkanya untuk menggunakan fasilitas tersebut.

· Letak kertas, tissue, air, kran air,atau pencuran (shower) dan perlengkapan – perlengkapan seperti tempat sabun,dan pengering

tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah digunakan oleh orang lain yang memiliki keterbatasan fisik dan dijangkau oleh penyandang cacat.

· Kran pengungkit sebaiknya dipasang pada wastafel. · Bahan dan penyelesaian harus tidak licin. · Pintu harus mudah dibuka untuk memudahkan pengguna

khususnya tuna netra untuk membuka dan menutup. · Kunci – kunci atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa

dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat. · Pada tempat – tempat yang mudah dicapai seperti pada pintu

masuk, dianjurkan untuk menyediakan tombol pencahayaan darurat (emergency light button) bila sewaktu –wktu terjadi padam listrik.

i. Pancuran

► Persyaratan · Bilik pancuran (shower cubicles) harus memiliki tempat duduk

yang lebar dan tinggi disesuaikan dengan cara – cara memindahkan badan pengguna kursi roda.

· Bilik pancuran harus memiliki pegangan rambat (haildrail) pada posisi yang memudahkan pengguna bertumpu.

· Bilik pancuran dilengkapi dengan tombol alarm atau alat pemberi tanda lain yang bisa dijangkau pada waktu keadaan darurat.

· Kunci bilik pancuran dirancang dengan menggunakan tipe yang bisa dibuka dari luar pada kondisui darurat.

· Pintu bilik pancuran sebaiknya menggunakan pintu geser atau tipe bukaan keluar.

· Pegangan rambat dan setiap permukaan atau dinding yang berdekatan denganya harus bebas dari elemen – elemen yang

runcing atau membahayakan.

j. Wastafel

► Persyaratan · Wastafel harus dipasang sedemikian sehingga tinggi permukaanya

dan lebar depanya dapat dimanfaatkan oleh pengguna kursi roda dengan baik.

· Ruang gerak bebas cukup harus disediakan didepan wastafel. · Wastafel harus memiliki ruang gerak dibawahnya sehingga tidajk

menghalangi lutut dan kaki pengguna kursi roda. · Pemasangan ketinggian cermin dipertimbangkan terhadap penguna

kursi roda. k. Telepon · Telepon umum disarankan menggunakan tombol tekan, harus

terletak pada lantai yang aksesibel bagi semua orang termasuk penyandang cacat, orang tua, ibu – ibu hamil.

· Ketinggian telepon dipertimbangkan terhadap keterjangkauan gagang telepon (120-125 cm).

· Bagi pengguna yang memiliki pendengara kurang, perlu disediakan alat kontrol volume suara yang terlihat dan mudah dijangkau.

· Bagi tuna netra sebaiknya disediakan petunjuk telepon dalam huruf braile dan dilengkapi juga dengan isyarat bersuara (talking sign)

yuang terpasang dekat telepon umum.

· Panjang kabel gagang telepon harus memungkinkan pengguna kursi roda untuk menggunakan telepon dengan posisi yang

nyaman. · Bilik telepon dapat dilengkapi dengan kursi yang disesuaikan

dengan gerak pengguna.

l. Perlengkapan dan peralatan kontrol

► Persyaratan · Sistem alarm/peringatan

→ Harus tersedia peralatan peringatan yang terdiri dari sistem peringatan suara (vocal alarm), sistem peringatan bergetar (vibrating alarm) dan berbagai petunjuk serta penandaan untuk melarikan diri pada situasi darurat.

→ Stop kontak harus dipasang dekat tempat tidur untuk mempermudah sistem pengoperasian alarm, termasuk peralatan bergetar (vibrating deveces) di bawah bantal.

→ Semua pengontrol peralatan listrik harus dapat dioperasikan dengan satu tangan dan tidak memerluikan pegangan yang sangat kencang atau sampai memutar lengan.

· Tombol Stop Kontak Tombol dan stop kontak dipasang pada tempat posisi dan tingginya

sesuai dan mudah dijangkau oleh penyandang cacat.

m. Perabot

► Persyaratan · Sebagian perabot yang tersedia di dalam bangunan umum harus

dapat digunakan oleh penyandang cacat, termasuk dalam keadaan darurat.

· Dalam suatu bangunan yang digunkan oleh masyarakat banyak, seperti bangunan pertemuan, konferensi, pertunjukan dan kegiatan yang sejenis, maka jumlah tempat duduk yang aksesibel harus

disediakan

Tabel 2.1 Kapasitas Tempat Duduk yang Aksesibel Jumlah tempat duduk yang

Kapasitas total tempat duduk aksesibel

6+1 untuk setiap ratusan

n. Rambu

► Persyaratan · Penggunaan rambu terutama dibutuhkan pada :

→ Arah dan tujuan jalur pedestrian → KM/WC umum, telepon umum. → parkir khusus penyandang cacat → nama fasilitas dan tempat

· Persyaratan rambu yang digunakan : → Rambu huruf timbul atau huruf braile yang dapat dibaca oleh tuna netra dan penyandang cacat lain.

→ Rambu yang berupa gambar atau simbol yang mudah dan cepat ditafsirkan artinya.

→ Rambu yang berupa tanda dan simbol internasional. → Rambu yang menerapkan metode khusus (misalnya;

pembedaan perkerasan tanah, warna, kontras, dll) → Karakter dan latar belakang rambu harus dibuat dari bahan

yang tidak silau. Karakter dan simbol harus kontras dengan latar belakangnya, apakah karakter diatas gelap atau sebaliknya.

→ Proporsi huruf atau karakter Pada rambu harus mempunyai rasio lebar dan tinggi antara 3 : 5 dan 1: 1, serta ketebalan huruf antara 1: 5 dan 1: 10.

→ Tinggi karakter huruf dan angka pada rambu harus diukur sesuai dengan jarak pandang dari tempat rambu itu dibaca.

· Lokasi penempatan rambu : → Penempatan yang sesuai tepat serta bebas pandang tanpa penghalang.

→ satu kesatuan sistem dengan lingkungnya. → Cukup mendapat pencahayaan, termasuk penambahan lampu

pada kondisi gelap. → Tidak mengganggu arus (pejalan kaki, dll) dan sirkulasi

(buka/tutup pintu,dl).

B. Kajian Perpustakaan

1. Pemahaman Definisi perpustakaan yang muncul dari konsep keterkaitan

perpustakaan dengan buku mengatakan bahwa perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian atau sub bagian dari sebuah gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku, biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu serta digunakan untuk anggota perpustakaan. Definisi lain mengacu pada kumpulan buku / akomodasi fisik tempat buku dikumpul susunkan untuk keperluan bacaan, studi, kenyamanan, maupun kesenangan. Jadi dalam rancangan tempat ini, konsep perpustakaan mengacu pada bentuk fisik penyimpanan buku (dalam arti luas) maupun sebagai kumpulan buku yang disusun untuk keperluan membaca (Basuki. Sulistyo, 1994). Adapun definisi-definiosi lain mengenai perpustakaan, yaitu:

Perpustakaan adalah koleksi yang terdiri dari bahan-bahan tertulis, tercetak, maupun grafis lainnya seperti film, slide, piringan hitam, tape dalam ruangan atau gedung yang diatur dan diorganisasikan dengan sistem tertentu agar dapat digunakan untuk keperluan studi, penelitian, pembacaan dan lain-lain (Sumardji, 1988).

Perpustakaan adalah lembaga pengumpulan koleksi, termasuk tulisan, cetakan atau materi audio visual yang kemudian dikelola untuk pelayanan belajar dan penelitian bagi masyarakat umum (Encyclopedia Britanica, 1960).