INFEKSI RUBELLA PADA IBU HAMIL TRIMESTER I - IMPLEMENTASI PP NO 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKS.
INFEKSI RUBELA PADA IBU HAMIL TRIMESTER I :
IMPLEMENTASI PP NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN
REPRODUKSI
Ida Bagus Indrayoga Permana 1, A.A. Gede Raka Budayasa 1,
I Wayan Megadhana 1, I Dewa Made Sukrama 2
1
Bagaian/SMF Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar-Bali
2
Bagaian/SMF Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSU Sanjiwani Gianyar-Bali
ABSTRAK
Rubela adalah penyakit virus yang disebabkan oleh togavirus dari genu rubivirus yang
ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular. Jika infeksi virus rubela terjadi pada
kehamilan, khususnya trimester pertama, angka infeksi fetal mencapai 80% dengan risiko
cacat bawaan hingga 90% yaitu dengan congenital rubela syndrome (CRS). Congenital
rubela syndrome dapat mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir mati, prematur dan cacat
apabila bayi tetap hidup. Pasien wanita, 25 tahun, dengan riwayat gejala klinis menyerupai
gejala infeksi rubela saat usia kehamilan 8 minggu. Pasien saat diperiksa sedang hamil kedua,
anak pertama laki-laki berusia 2 tahun lahir spontan dibantu oleh tenaga kesehatan. Anak
pertama pasien juga memiliki riwayat gejala klinis menyerupai infeksi rubela empat minggu
sebelum timbul gejala yang sama pada pasien. Pemeriksaan serologi pertama pada pasien
saat usia kehamilan 8-9 minggu didapatkan antibodi IgM rubela positif dan antibodi IgG
rubela negatif. Pada pemeriksaaan serologi antibodi rubela kedua 3 minggu kemudian,
ditemukan IgG dan IgM posotif. Berdasarkan hasil pemeriksaan, pasien didiagnosis hamil
muda dengan infeksi rubela trimester pertama. Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan
terminasi kehamilan setelah dilakukan rapat tim dokter untuk menilai kelayakan terminasi
kehamilan serta konseling pada pasien dan keluarga pasien berlandaskan Peraturan
Pemerintah (PP) no. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi.
Kata kunci: infeksi; rubela; kehamilan; trimester pertama; kesehatan reproduksi
ABSTRACT
Rubella is a viral disease caused by togavirus of genus rubivirus characterized by a
maculopapular rash. If the rubella virus infection in the first trimester of pregnancy, fetal
infection rates reaching 80% in the risk of congenital defects by up to 90%, ie with
congenital rubela syndrome (CRS). Congenital rubela syndrome may result in abortion,
stillbirth, premature and flawed when the baby alive. A 25 years old women, has a history of
clinical symptoms resemble rubella-like symptoms infection during her 8 weeks pregnancy.
Patients was in her second pregnancy, the first male child was 2 years old, spontaneous birth,
assisted by skilled health personnel. The first child also had a history of clinical symptoms
resemble rubella-like infection, four weeks before symptoms similar to patients. The first
serology in patients, 8-9 weeks of pregnancy rubella IgM antibodies obtained positive and
negative rubella IgG antibodies. In the second rubella antibody serology examination, three
weeks later, was found IgG and IgM positive. Based on the results of the examination, the
patient diagnosed with young pregnancy and rubella infection first trimester. Management of
these patients performed termination of pregnancy after the meeting of a team of doctors to
assess the feasibility of termination of pregnancy as well as counseling to patients and their
families based on legal regulation, GR no. 61 of 2014 on reproductive health.
Keywords: infection; rubella; pregnancy; first trimester; reproductive health
PENDAHULUAN
Rubela adalah penyakit virus yang
disebabkan oleh togavirus dari genu
Rubivirus yang ditandai dengan timbulnya
ruam makulopapular.1 Infeksi biasanya
hanya menimbulkan sedikit keluhan atau
tanpa gejala pada anak-anak. Infeksi pada
orang dewasa dapat menimbulkan keluhan
demam, sakit kepala, lemas dan
konjungtivitis. Tujuh puluh persen kasus
infeksi rubela pada orang dewasa
menyebabkan terjadinya atralgia atau
artritis.1,2 Jika infeksi virus rubela terjadi
pada kehamilan, khususnya trimester
pertama sering menyebabkan congenital
rubela syndrome (CRS). Congenital
rubela syndrome dapat mengakibatkan
terjadinya abortus, bayi lahir mati,
prematur dan cacat apabila bayi tetap
hidup. Congenital rubela syndrome
merupakan
gabungan
beberapa
keabnormalan fisik yang berkembang di
bayi sebagai akibat infeksi virus rubela
maternal yang berlanjut dalam fetus.1,2
Berdasarkan data WHO, di Amerika
Serikat pada tahun 1964–1965 terdapat
12,5 juta kasus rubela, 2.000 kasus
dilaporkan dengan encephalitis, 11.250
dengan terapi atau abortus spontan, 2.100
kematian neonatal dan 20.000 kasus CRS
dengan gangguan pendengaran berjumlah
11.600, kebutaan 3.580 dan retardasi
mental 1.800.1,2 Data terakhir pada tahun
2004-2011, dilaporkan terdapat 4 kasus
CRS dari 293.655.405 total penduduk pada
saat itu. Untuk negara-negara di Asia
Tenggara sendiri, tercatat pada tahun 1999
terdapat 13 kasus CRS dengan angka
insiden tertinggi yaitu Indonesia dengan 7
kasus CSR yang tercatat.2,3
Diagnosis dari infeksi rubela primer
akut pada kehamilan sangat penting dan
membutuhkan
pemeriksaan
serologi.
Pemeriksaan serologi dengan ELISA
merupakan alat diagnosis rubela yang
paling
banyak
digunakan
untuk
menegakkan diagnosis rubela terutama
pada ibu hamil. Pemeriksaan serologi
dengan ELISA untuk mengukur IgG dan
IgM rubela-spesifik memberikan hasil
pemeriksaan yang sensitif dan akurat.4,5
Ketika infeksi maternal oleh rubela
terjadi pada trimester pertama, angka
infeksi fetal mencapai 80% dengan risiko
cacat bawaan hingga 90%.3,4 Infeksi rubela
yang terjadi pada ibu hamil trimester
pertama memberikan dampak buruk untuk
terjadinya kelainan bawaan yang dapat
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan. Oleh karena itu, infeksi pada
trimester pertama memberi pilihan untuk
dilakukannya terminasi kehamilan.6
Indonesia sebagai negara yang
berlandaskan hukum, mengatur tindakan
aborsi dalam undang-undang dan peraturan
pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 61
tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi
menjelaskan bahwa tindakan aborsi hanya
dapat dilakukan berdasarkan indikasi
kedaruratan medis atau hamil akibat
pemerkosaan. Indikasi kedaruratan medis
yang dimaksud meliputi kehamilan yang
mengancam nyawa dan kesehatan ibu;
dan/atau kehamilan yang mengancam
nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup di luar kandungan yang
dilaksanakan sesuai dengan standar.7 Pada
infeksi rubela maternal terutama infeksi
yang terjadi pada trimester pertama
memiliki kemungkinan besar terjadi
infeksi janin dengan cacat bawaan,
sehingga berdasarkan peraturan tersebut
terdapat indikasi untuk dilakukan terminasi
kehamilan. Namun kemungkinan kecil
bayi
lahir
normal
juga
harus
dipertimbangkan, oleh karena hal tersebut
perlu pemahaman lebih baik terhadap
infeksi rubela pada maternal sehingga
pasien mendapatkan pelayanan kesehatan
yang tepat dan sesuai standar.
ILUSTRASI KASUS
Pasien wanita berusia 25 tahun, datang
untuk memeriksakan kondisi kehamilan.
Pasien memiliki riwayat infeksi rubela.
Pasien mengatakan timbul gejala seperti
ruam kemerahan yang diikuti bintik-bintik
berisi
cairan
dengan
kemerahan
disekitarnya pada seluruh tubuh saat usia
kehamilan 8 minggu. Pasien mengatakan
anak pertamanya menderita keluhan yang
sama kurang lebih 4 minggu sebelum
timbul gejala pada pasien. Pasien
memeriksakan diri ke dokter dan
disarankan untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium dan didapatkan hasil positif
infeksi rubela akut. Pasien sudah memiliki
seorang anak laki-laki berumur 2 tahun,
riwayat lahir spontan dibantu oleh tenaga
kesehatan. Pasien saat ini sedang hamil
kedua, hari pertama haid terakhir (HPHT)
yaitu pada tanggal 21/07/2015 dengan
tafsiran persalinan (TP) yaitu tanggal
28/04/2016. Selama kehamilan ini, pasien
kontrol ke spesialis kandungan sebanyak
lebih dari 3 kali. Selama kontrol, tekanan
darah pasien dan denyut jantung janin
dikatakan normal. Saat kontrol pasien juga
melakukan pemeriksaan USG. Pasien
belum diberikan imunisasi TT. Pasien
tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi
sebelumnya. Pasien menyangkal memiliki
riwayat
penyakit
sistemik
yang
berhubungan dengan kehamilannya saat
ini, seperti penyakit asma, penyakit
jantung, kencing manis, dan tekanan darah
tinggi. Pasien mengatakan tidak memiliki
riwayat alergi terhadap makanan ataupun
obat-obatan tertentu. Pasien mengatakan
bahwa tidak ada keluarga pasien yang
memiliki riwayat penyakit sistemik, seperti
penyakit jantung, kencing manis, dan
tekanan darah tinggi. Namun ayah pasien
memiliki riwayat asma.
Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
darah pasien 110/70 mmHg, nadi 88
kali/menit, laju pernafasan 20 kali/menit,
suhu tubuh aksila 36,5°C, berat badan 60
kg, tinggi badan 163 cm, dengan status
umum pasien dalam batas normal.
Pemeriksaan obstetri tidak ditemukan luka
bekas operasi atau kelainan pada abdomen,
tinggi fundus uteri teraba setinggi simfisis,
dengan denyut jantung janin dalam batas
normal, tidak ditemukan kelainan pada
vulva/vagina. Pemeriksaan dalam tidak
dilakukan.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
ditemukan kantong kehamilan isi cukup,
dengan crown rump length (CRL) 50,2
mm ~ 11 minggu 5 hari dengan tafsiran
persalinan yaitu tanggal 4/5/2016, tidak
tampak massa pada adneksa, dan tidak
tampak cairan bebas.
Pemeriksaan
laboratorium
darah
lengkap ditemukan leukosit 9,6 K/uL
(normal: 4,5-11 K/uL), hemoglobin 11,3
g/dL (normal: 12-16 g/dL), hematokrit
33,7% (normal: 36-46%), MCV 88,6 fl
(normal: 80-94 fl), MCH 27,5 pg (normal:
27-32 pg), platelet 213 K/uL (normal: 150440 K/uL). Bleeding time (Duke) 2 menit
30 detik (normal: 1-3 menit), clotting time
(Lee & White) 10 menit (normal: 5-15
menit). Pada pemeriksaan urin lengkap
ditemukan warna jernih, berat jenis 1,010,
pH 7,0, protein negatif, glukosa negatif,
bilirubin negatif, urobilinogen normal,
keton negatif, nitrit negatif, eritrosit
negatif, leukosit +1. Pada pemeriksaan
swab vagina ditemukan bakteri gram
positif
dengan
tes
Human
Immunodeficiency Virus (HIV) antibodi
negatif. Pemeriksaan serologi pertama, 3
minggu sebelum datang ke rumah sakit,
ditemukan anti-Toxoplasma IgG positif,
anti-Toxoplasma IgM negatif, anti-Rubela
IgG negatif, anti-Rubela IgM positif, antiCMV IgG positif, anti-CMV IgM negatif,
anti-HSV IgG negatif, anti-HSV IgM
negatif. Pemeriksaan serologi kedua, 5 hari
sebelum datang ke rumah sakit, ditemukan
anti-Toxoplasma IgG positif, antiToxoplasma IgM negatif, anti-Rubela IgG
positif, anti-Rubela IgM positif, anti-CMV
IgG positif, anti-CMV IgM negatif, antiHSV IgG negatif, anti-HSV IgM negatif.
Pasien didiagnosis dengan G2P1001
umur kehamilan 12 minggu, tunggal/hidup
dengan riwayat infeksi rubela trimester I.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan
terminasi kehamilan. Rapat Tim Medis
menghasilkam keputusan sebagai berikut :
1) Setuju dilakukan terminasi kehamilan
berdasarkan indikasi kedaruratan medis
dengan pertimbangan risiko kelainan bayi
berat ~ 90% yaitu CRS; 2) Dibuat tim
kelayakan aborsi/terminasi kehamilan oleh
direktur rumah sakit, terdiri atas seorang
dokter spesialis kandungan, dokter
spesialis patologi klinik dan dokter
spesialis kejiwaan; 3) Terminasi kehamilan
dilakukan sesudah syarat administrasi
terpenuhi.
Terminasi
kehamilan
dilakukan
sebelas hari setelah pasien dirawat di
rumah sakit. Evaluasi sebelum insersi
misoprostol intravaginal I ditemukan
keluhan keluar darah pervagina, tekanan
darah 120/80 mmHg, nadi 82 kali/menit,
laju pernafasan 20 kali/menit, suhu aksila
36oC, dengan status umum dalam batas
normal, status ginekologi ditemukan tinggi
fundus uteri 1 jari di atas simfisis, tidak
terdapat kontraksi uterus, fleksus negatif,
fluor negatif, bukaan porsio negatif. Pasien
didiagnosis dengan G2P1001 umur
kehamilan 14-15 minggu, tunggah/hidup
dengan infeksi rubela. Tindakan terminasi
kehamilan dengan pemberian misoprostol
400 mg, rencana monitoring keluhan dan
tanda vital. Evaluasi sebelum insersi
misoprostol intravaginal II dilakukan
empat jam kemudian, ditemukan keluhan
keluar flek-flek darah tanpa disertai keluar
gumpalan daging, tekanan darah 120/70
mmHg, nadi 84 kali/menit, laju pernafasan
20 kali/menit, suhu aksila 36,8oC, status
umum dalam batas normal, status
ginekologi ditemukan tinggi fundus uteri 1
jari di atas simfisis, tidak terdapat
kontraksi uterus, fleksus negatif, fluor
negatif, bukaan porsio negatif. Pasien
didiagnosis dengan G2P1001 umur
kehamilan 14-15 minggu, tunggah/hidup
dengan infeksi rubela. Pemberian tindakan
terminasi kehamilan dengan misoprostol
400 mg, rencana monitoring keluhan dan
tanda vital. Dua jam kemudian pasien
mengeluh nyeri perut, keluar darah dari
kemaluan
berupa
gumpalan
darah
berwarna merah kehitaman dan jaringan,
tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 82
kali/menit, laju pernafasan 22 kali/menit,
suhu aksila 36,6oC, status umum pasien
dalam batas normal, status ginekologi
ditemukan tinggi fundus uteri 1 jari di atas
simfisis, kontraksi uterus positif, inspeksi
vulva/vagina ditemukan fleksus positif,
fluor positif, bukaan porsio positif, licin,
lividae positif, tampak keluar jaringan dari
ostium uteri eksterna (OUE). Pasien
didiagnosis dengan abortus inkomplit +
infeksi
rubela.
Tindakan
kuretase
diberikan tanpa anantesi umum. Sondase
13 cm, perdarahan ± 150 cc, uterus
antefleksi, dengan jaringan ± 150 mg. Drip
RL+oksitosin 20 IU~20 tetes per menit.
Monitoring keluhan dan tanda vital serta
edukasi pasien dan keluarga mengenai
rencana tindakan dan risiko. Hasil evaluasi
tidak menemukan tanda-tanda perdarahan
aktif.
DISKUSI
Virus rubela ditransmisikan melalui
pernapasan dan mengalami replikasi di
nasofaring dan di daerah kelenjar getah
bening. Viremia terjadi antara hari ke-5
sampai hari ke-7 setelah terpajan virus
rubela. Dalam ruangan tertutup, virus
rubela dapat menular ke setiap orang yang
berada di ruangan yang sama dengan
penderita. Masa inkubasi virus rubela
berkisar antara 14–21 hari. Masa penularan
1 minggu sebelum dan empat hari setelah
onset timbulnya ruam. Pada episode ini,
virus rubela sangat menular.1,4 Anamnesis
didapatkan pasien timbul gejala seperti
ruam kemerahan yang diikuti bintik-bintik
berisi
cairan
dengan
kemerahan
disekitarnya pada seluruh tubuh. Ruam
dikatakan mulai muncul pada umur
kehamilan 8-9 minggu yang diikuti dengan
munculnya bintik-bintik berisi cairan.
Pasien mengatakan anak pertamanya
menderita keluhan yang sama kurang lebih
4 minggu sebelum timbul gejala pada
pasien. Hal tersebut sesuai dengan teori
dimana virus rubela dapat ditransmisi
melalui pernapasan dimana pasien
mendapat pajanan dari anaknya yang
mengalami infeksi kemudian mengalami
replikasi dengan periode inkubasi 14-21
hari hingga timbulnya gejala klinis infeksi
rubela
berupa
ruam
disertai
makulopapular. Ketika infeksi maternal
terjadi pada trimester pertama, angka
infeksi fetal mencapai 80% dengan resiko
cacat bawaan hingga 90%.4 Infeksi
transplasenta janin dalam kandungan
terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi
rubela menyebabkan kerusakan janin
karena proses pembelahan terhambat.
Dalam rembihan (secret) tekak (faring)
dan urin bayi dengan CRS, terdapat virus
rubela dalam jumlah banyak yang dapat
menginfeksi bila bersentuhan langsung.
Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat
bertahan hingga beberapa bulan atau
kurang dari 1 tahun setelah kelahiran.1
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai
faktor, misalnya oleh kerusakan sel akibat
virus rubela dan akibat pembelahan sel
oleh virus. Infeksi plasenta terjadi selama
viremia ibu, menyebabkan daerah nekrosis
yang tersebar secara fokal di epitel vili
korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini
mengalami deskuamasi ke dalam lumen
pembuluh darah, mengindikasikan bahwa
virus rubela ditransfer ke dalam sirkulasi
janin sebagai emboli sel endotel yang
terinfeksi.
Hal
ini
selanjutnya
mengakibatkan infeksi dan kerusakan
organ janin. Selama kehamilan muda
mekanisme pertahanan janin belum
matang dan gambaran khas embriopati
pada awal kehamilan adalah terjadinya
nekrosis seluler tanpa disertai tanda
peradangan.1 Sel yang terinfeksi virus
rubela memiliki umur yang pendek. Organ
janin dan bayi yang terinfeksi memiliki
jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi
yang sehat. Virus rubela juga dapat
memacu terjadinya kerusakan dengan cara
apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi
setelah trimester pertama kehamilan,
frekuensi dan beratnya derajat kerusakan
janin menurun secara drastis. Perbedaan
ini terjadi karena janin terlindung oleh
perkembangan yang progresif respon imun
janin, baik yang bersifat humoral maupun
seluler, dan adanya antibodi maternal yang
dialihkan secara pasif.1
Gambar 1. Defects dan manifestasi klinis
CRS sesuai dengan umur kehamilan.1
Diagnosis akut dari infeksi rubela
primer akut pada kehamilan sangat penting
dan membutuhkan pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi dengan ELISA
untuk mengukur IgG dan IgM Rubelaspesifik mudah dilakukan, sensitif dan
akurat. Diagnosis infeksi rubela tegak
apabila : terdapat peningkatan 4 kali lipat
titer antibodi IgG antara akut dan spesimen
serum konvalesen; atau hasil positif pada
pemeriksaan serologi antibodi IgM rubelaspesifik; atau hasil positif kultur rubela
(isolasi virus rubela pada spesimen klinis
dari pasien).4,5 Pemeriksaan serologi
memberikan hasil terbaik antara 7 hingga
10 hari setelah onset timbunya ruam dan
harus diulang dua atau tiga minggu
kemudian. Kultur virus diambil dari sekret
hidung, darah, tenggorokan, urine atau
cairan serebrospinal mungkin memberikan
hasil positif dari satu minggu sebelum atau
dua minggu setelah onset munculnya
ruam.4,5
Tabel 1. Penafsiran hasil IgM dan IgG
ELISA untuk rubela1
IgM
IgG
Penafsiran
Tak ada perlindungan;
perlu pemantauan lebih
lanjut
≤ 15
Infeksi akut dini (
IMPLEMENTASI PP NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN
REPRODUKSI
Ida Bagus Indrayoga Permana 1, A.A. Gede Raka Budayasa 1,
I Wayan Megadhana 1, I Dewa Made Sukrama 2
1
Bagaian/SMF Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar-Bali
2
Bagaian/SMF Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSU Sanjiwani Gianyar-Bali
ABSTRAK
Rubela adalah penyakit virus yang disebabkan oleh togavirus dari genu rubivirus yang
ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular. Jika infeksi virus rubela terjadi pada
kehamilan, khususnya trimester pertama, angka infeksi fetal mencapai 80% dengan risiko
cacat bawaan hingga 90% yaitu dengan congenital rubela syndrome (CRS). Congenital
rubela syndrome dapat mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir mati, prematur dan cacat
apabila bayi tetap hidup. Pasien wanita, 25 tahun, dengan riwayat gejala klinis menyerupai
gejala infeksi rubela saat usia kehamilan 8 minggu. Pasien saat diperiksa sedang hamil kedua,
anak pertama laki-laki berusia 2 tahun lahir spontan dibantu oleh tenaga kesehatan. Anak
pertama pasien juga memiliki riwayat gejala klinis menyerupai infeksi rubela empat minggu
sebelum timbul gejala yang sama pada pasien. Pemeriksaan serologi pertama pada pasien
saat usia kehamilan 8-9 minggu didapatkan antibodi IgM rubela positif dan antibodi IgG
rubela negatif. Pada pemeriksaaan serologi antibodi rubela kedua 3 minggu kemudian,
ditemukan IgG dan IgM posotif. Berdasarkan hasil pemeriksaan, pasien didiagnosis hamil
muda dengan infeksi rubela trimester pertama. Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan
terminasi kehamilan setelah dilakukan rapat tim dokter untuk menilai kelayakan terminasi
kehamilan serta konseling pada pasien dan keluarga pasien berlandaskan Peraturan
Pemerintah (PP) no. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi.
Kata kunci: infeksi; rubela; kehamilan; trimester pertama; kesehatan reproduksi
ABSTRACT
Rubella is a viral disease caused by togavirus of genus rubivirus characterized by a
maculopapular rash. If the rubella virus infection in the first trimester of pregnancy, fetal
infection rates reaching 80% in the risk of congenital defects by up to 90%, ie with
congenital rubela syndrome (CRS). Congenital rubela syndrome may result in abortion,
stillbirth, premature and flawed when the baby alive. A 25 years old women, has a history of
clinical symptoms resemble rubella-like symptoms infection during her 8 weeks pregnancy.
Patients was in her second pregnancy, the first male child was 2 years old, spontaneous birth,
assisted by skilled health personnel. The first child also had a history of clinical symptoms
resemble rubella-like infection, four weeks before symptoms similar to patients. The first
serology in patients, 8-9 weeks of pregnancy rubella IgM antibodies obtained positive and
negative rubella IgG antibodies. In the second rubella antibody serology examination, three
weeks later, was found IgG and IgM positive. Based on the results of the examination, the
patient diagnosed with young pregnancy and rubella infection first trimester. Management of
these patients performed termination of pregnancy after the meeting of a team of doctors to
assess the feasibility of termination of pregnancy as well as counseling to patients and their
families based on legal regulation, GR no. 61 of 2014 on reproductive health.
Keywords: infection; rubella; pregnancy; first trimester; reproductive health
PENDAHULUAN
Rubela adalah penyakit virus yang
disebabkan oleh togavirus dari genu
Rubivirus yang ditandai dengan timbulnya
ruam makulopapular.1 Infeksi biasanya
hanya menimbulkan sedikit keluhan atau
tanpa gejala pada anak-anak. Infeksi pada
orang dewasa dapat menimbulkan keluhan
demam, sakit kepala, lemas dan
konjungtivitis. Tujuh puluh persen kasus
infeksi rubela pada orang dewasa
menyebabkan terjadinya atralgia atau
artritis.1,2 Jika infeksi virus rubela terjadi
pada kehamilan, khususnya trimester
pertama sering menyebabkan congenital
rubela syndrome (CRS). Congenital
rubela syndrome dapat mengakibatkan
terjadinya abortus, bayi lahir mati,
prematur dan cacat apabila bayi tetap
hidup. Congenital rubela syndrome
merupakan
gabungan
beberapa
keabnormalan fisik yang berkembang di
bayi sebagai akibat infeksi virus rubela
maternal yang berlanjut dalam fetus.1,2
Berdasarkan data WHO, di Amerika
Serikat pada tahun 1964–1965 terdapat
12,5 juta kasus rubela, 2.000 kasus
dilaporkan dengan encephalitis, 11.250
dengan terapi atau abortus spontan, 2.100
kematian neonatal dan 20.000 kasus CRS
dengan gangguan pendengaran berjumlah
11.600, kebutaan 3.580 dan retardasi
mental 1.800.1,2 Data terakhir pada tahun
2004-2011, dilaporkan terdapat 4 kasus
CRS dari 293.655.405 total penduduk pada
saat itu. Untuk negara-negara di Asia
Tenggara sendiri, tercatat pada tahun 1999
terdapat 13 kasus CRS dengan angka
insiden tertinggi yaitu Indonesia dengan 7
kasus CSR yang tercatat.2,3
Diagnosis dari infeksi rubela primer
akut pada kehamilan sangat penting dan
membutuhkan
pemeriksaan
serologi.
Pemeriksaan serologi dengan ELISA
merupakan alat diagnosis rubela yang
paling
banyak
digunakan
untuk
menegakkan diagnosis rubela terutama
pada ibu hamil. Pemeriksaan serologi
dengan ELISA untuk mengukur IgG dan
IgM rubela-spesifik memberikan hasil
pemeriksaan yang sensitif dan akurat.4,5
Ketika infeksi maternal oleh rubela
terjadi pada trimester pertama, angka
infeksi fetal mencapai 80% dengan risiko
cacat bawaan hingga 90%.3,4 Infeksi rubela
yang terjadi pada ibu hamil trimester
pertama memberikan dampak buruk untuk
terjadinya kelainan bawaan yang dapat
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan. Oleh karena itu, infeksi pada
trimester pertama memberi pilihan untuk
dilakukannya terminasi kehamilan.6
Indonesia sebagai negara yang
berlandaskan hukum, mengatur tindakan
aborsi dalam undang-undang dan peraturan
pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 61
tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi
menjelaskan bahwa tindakan aborsi hanya
dapat dilakukan berdasarkan indikasi
kedaruratan medis atau hamil akibat
pemerkosaan. Indikasi kedaruratan medis
yang dimaksud meliputi kehamilan yang
mengancam nyawa dan kesehatan ibu;
dan/atau kehamilan yang mengancam
nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup di luar kandungan yang
dilaksanakan sesuai dengan standar.7 Pada
infeksi rubela maternal terutama infeksi
yang terjadi pada trimester pertama
memiliki kemungkinan besar terjadi
infeksi janin dengan cacat bawaan,
sehingga berdasarkan peraturan tersebut
terdapat indikasi untuk dilakukan terminasi
kehamilan. Namun kemungkinan kecil
bayi
lahir
normal
juga
harus
dipertimbangkan, oleh karena hal tersebut
perlu pemahaman lebih baik terhadap
infeksi rubela pada maternal sehingga
pasien mendapatkan pelayanan kesehatan
yang tepat dan sesuai standar.
ILUSTRASI KASUS
Pasien wanita berusia 25 tahun, datang
untuk memeriksakan kondisi kehamilan.
Pasien memiliki riwayat infeksi rubela.
Pasien mengatakan timbul gejala seperti
ruam kemerahan yang diikuti bintik-bintik
berisi
cairan
dengan
kemerahan
disekitarnya pada seluruh tubuh saat usia
kehamilan 8 minggu. Pasien mengatakan
anak pertamanya menderita keluhan yang
sama kurang lebih 4 minggu sebelum
timbul gejala pada pasien. Pasien
memeriksakan diri ke dokter dan
disarankan untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium dan didapatkan hasil positif
infeksi rubela akut. Pasien sudah memiliki
seorang anak laki-laki berumur 2 tahun,
riwayat lahir spontan dibantu oleh tenaga
kesehatan. Pasien saat ini sedang hamil
kedua, hari pertama haid terakhir (HPHT)
yaitu pada tanggal 21/07/2015 dengan
tafsiran persalinan (TP) yaitu tanggal
28/04/2016. Selama kehamilan ini, pasien
kontrol ke spesialis kandungan sebanyak
lebih dari 3 kali. Selama kontrol, tekanan
darah pasien dan denyut jantung janin
dikatakan normal. Saat kontrol pasien juga
melakukan pemeriksaan USG. Pasien
belum diberikan imunisasi TT. Pasien
tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi
sebelumnya. Pasien menyangkal memiliki
riwayat
penyakit
sistemik
yang
berhubungan dengan kehamilannya saat
ini, seperti penyakit asma, penyakit
jantung, kencing manis, dan tekanan darah
tinggi. Pasien mengatakan tidak memiliki
riwayat alergi terhadap makanan ataupun
obat-obatan tertentu. Pasien mengatakan
bahwa tidak ada keluarga pasien yang
memiliki riwayat penyakit sistemik, seperti
penyakit jantung, kencing manis, dan
tekanan darah tinggi. Namun ayah pasien
memiliki riwayat asma.
Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
darah pasien 110/70 mmHg, nadi 88
kali/menit, laju pernafasan 20 kali/menit,
suhu tubuh aksila 36,5°C, berat badan 60
kg, tinggi badan 163 cm, dengan status
umum pasien dalam batas normal.
Pemeriksaan obstetri tidak ditemukan luka
bekas operasi atau kelainan pada abdomen,
tinggi fundus uteri teraba setinggi simfisis,
dengan denyut jantung janin dalam batas
normal, tidak ditemukan kelainan pada
vulva/vagina. Pemeriksaan dalam tidak
dilakukan.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
ditemukan kantong kehamilan isi cukup,
dengan crown rump length (CRL) 50,2
mm ~ 11 minggu 5 hari dengan tafsiran
persalinan yaitu tanggal 4/5/2016, tidak
tampak massa pada adneksa, dan tidak
tampak cairan bebas.
Pemeriksaan
laboratorium
darah
lengkap ditemukan leukosit 9,6 K/uL
(normal: 4,5-11 K/uL), hemoglobin 11,3
g/dL (normal: 12-16 g/dL), hematokrit
33,7% (normal: 36-46%), MCV 88,6 fl
(normal: 80-94 fl), MCH 27,5 pg (normal:
27-32 pg), platelet 213 K/uL (normal: 150440 K/uL). Bleeding time (Duke) 2 menit
30 detik (normal: 1-3 menit), clotting time
(Lee & White) 10 menit (normal: 5-15
menit). Pada pemeriksaan urin lengkap
ditemukan warna jernih, berat jenis 1,010,
pH 7,0, protein negatif, glukosa negatif,
bilirubin negatif, urobilinogen normal,
keton negatif, nitrit negatif, eritrosit
negatif, leukosit +1. Pada pemeriksaan
swab vagina ditemukan bakteri gram
positif
dengan
tes
Human
Immunodeficiency Virus (HIV) antibodi
negatif. Pemeriksaan serologi pertama, 3
minggu sebelum datang ke rumah sakit,
ditemukan anti-Toxoplasma IgG positif,
anti-Toxoplasma IgM negatif, anti-Rubela
IgG negatif, anti-Rubela IgM positif, antiCMV IgG positif, anti-CMV IgM negatif,
anti-HSV IgG negatif, anti-HSV IgM
negatif. Pemeriksaan serologi kedua, 5 hari
sebelum datang ke rumah sakit, ditemukan
anti-Toxoplasma IgG positif, antiToxoplasma IgM negatif, anti-Rubela IgG
positif, anti-Rubela IgM positif, anti-CMV
IgG positif, anti-CMV IgM negatif, antiHSV IgG negatif, anti-HSV IgM negatif.
Pasien didiagnosis dengan G2P1001
umur kehamilan 12 minggu, tunggal/hidup
dengan riwayat infeksi rubela trimester I.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan
terminasi kehamilan. Rapat Tim Medis
menghasilkam keputusan sebagai berikut :
1) Setuju dilakukan terminasi kehamilan
berdasarkan indikasi kedaruratan medis
dengan pertimbangan risiko kelainan bayi
berat ~ 90% yaitu CRS; 2) Dibuat tim
kelayakan aborsi/terminasi kehamilan oleh
direktur rumah sakit, terdiri atas seorang
dokter spesialis kandungan, dokter
spesialis patologi klinik dan dokter
spesialis kejiwaan; 3) Terminasi kehamilan
dilakukan sesudah syarat administrasi
terpenuhi.
Terminasi
kehamilan
dilakukan
sebelas hari setelah pasien dirawat di
rumah sakit. Evaluasi sebelum insersi
misoprostol intravaginal I ditemukan
keluhan keluar darah pervagina, tekanan
darah 120/80 mmHg, nadi 82 kali/menit,
laju pernafasan 20 kali/menit, suhu aksila
36oC, dengan status umum dalam batas
normal, status ginekologi ditemukan tinggi
fundus uteri 1 jari di atas simfisis, tidak
terdapat kontraksi uterus, fleksus negatif,
fluor negatif, bukaan porsio negatif. Pasien
didiagnosis dengan G2P1001 umur
kehamilan 14-15 minggu, tunggah/hidup
dengan infeksi rubela. Tindakan terminasi
kehamilan dengan pemberian misoprostol
400 mg, rencana monitoring keluhan dan
tanda vital. Evaluasi sebelum insersi
misoprostol intravaginal II dilakukan
empat jam kemudian, ditemukan keluhan
keluar flek-flek darah tanpa disertai keluar
gumpalan daging, tekanan darah 120/70
mmHg, nadi 84 kali/menit, laju pernafasan
20 kali/menit, suhu aksila 36,8oC, status
umum dalam batas normal, status
ginekologi ditemukan tinggi fundus uteri 1
jari di atas simfisis, tidak terdapat
kontraksi uterus, fleksus negatif, fluor
negatif, bukaan porsio negatif. Pasien
didiagnosis dengan G2P1001 umur
kehamilan 14-15 minggu, tunggah/hidup
dengan infeksi rubela. Pemberian tindakan
terminasi kehamilan dengan misoprostol
400 mg, rencana monitoring keluhan dan
tanda vital. Dua jam kemudian pasien
mengeluh nyeri perut, keluar darah dari
kemaluan
berupa
gumpalan
darah
berwarna merah kehitaman dan jaringan,
tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 82
kali/menit, laju pernafasan 22 kali/menit,
suhu aksila 36,6oC, status umum pasien
dalam batas normal, status ginekologi
ditemukan tinggi fundus uteri 1 jari di atas
simfisis, kontraksi uterus positif, inspeksi
vulva/vagina ditemukan fleksus positif,
fluor positif, bukaan porsio positif, licin,
lividae positif, tampak keluar jaringan dari
ostium uteri eksterna (OUE). Pasien
didiagnosis dengan abortus inkomplit +
infeksi
rubela.
Tindakan
kuretase
diberikan tanpa anantesi umum. Sondase
13 cm, perdarahan ± 150 cc, uterus
antefleksi, dengan jaringan ± 150 mg. Drip
RL+oksitosin 20 IU~20 tetes per menit.
Monitoring keluhan dan tanda vital serta
edukasi pasien dan keluarga mengenai
rencana tindakan dan risiko. Hasil evaluasi
tidak menemukan tanda-tanda perdarahan
aktif.
DISKUSI
Virus rubela ditransmisikan melalui
pernapasan dan mengalami replikasi di
nasofaring dan di daerah kelenjar getah
bening. Viremia terjadi antara hari ke-5
sampai hari ke-7 setelah terpajan virus
rubela. Dalam ruangan tertutup, virus
rubela dapat menular ke setiap orang yang
berada di ruangan yang sama dengan
penderita. Masa inkubasi virus rubela
berkisar antara 14–21 hari. Masa penularan
1 minggu sebelum dan empat hari setelah
onset timbulnya ruam. Pada episode ini,
virus rubela sangat menular.1,4 Anamnesis
didapatkan pasien timbul gejala seperti
ruam kemerahan yang diikuti bintik-bintik
berisi
cairan
dengan
kemerahan
disekitarnya pada seluruh tubuh. Ruam
dikatakan mulai muncul pada umur
kehamilan 8-9 minggu yang diikuti dengan
munculnya bintik-bintik berisi cairan.
Pasien mengatakan anak pertamanya
menderita keluhan yang sama kurang lebih
4 minggu sebelum timbul gejala pada
pasien. Hal tersebut sesuai dengan teori
dimana virus rubela dapat ditransmisi
melalui pernapasan dimana pasien
mendapat pajanan dari anaknya yang
mengalami infeksi kemudian mengalami
replikasi dengan periode inkubasi 14-21
hari hingga timbulnya gejala klinis infeksi
rubela
berupa
ruam
disertai
makulopapular. Ketika infeksi maternal
terjadi pada trimester pertama, angka
infeksi fetal mencapai 80% dengan resiko
cacat bawaan hingga 90%.4 Infeksi
transplasenta janin dalam kandungan
terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi
rubela menyebabkan kerusakan janin
karena proses pembelahan terhambat.
Dalam rembihan (secret) tekak (faring)
dan urin bayi dengan CRS, terdapat virus
rubela dalam jumlah banyak yang dapat
menginfeksi bila bersentuhan langsung.
Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat
bertahan hingga beberapa bulan atau
kurang dari 1 tahun setelah kelahiran.1
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai
faktor, misalnya oleh kerusakan sel akibat
virus rubela dan akibat pembelahan sel
oleh virus. Infeksi plasenta terjadi selama
viremia ibu, menyebabkan daerah nekrosis
yang tersebar secara fokal di epitel vili
korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini
mengalami deskuamasi ke dalam lumen
pembuluh darah, mengindikasikan bahwa
virus rubela ditransfer ke dalam sirkulasi
janin sebagai emboli sel endotel yang
terinfeksi.
Hal
ini
selanjutnya
mengakibatkan infeksi dan kerusakan
organ janin. Selama kehamilan muda
mekanisme pertahanan janin belum
matang dan gambaran khas embriopati
pada awal kehamilan adalah terjadinya
nekrosis seluler tanpa disertai tanda
peradangan.1 Sel yang terinfeksi virus
rubela memiliki umur yang pendek. Organ
janin dan bayi yang terinfeksi memiliki
jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi
yang sehat. Virus rubela juga dapat
memacu terjadinya kerusakan dengan cara
apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi
setelah trimester pertama kehamilan,
frekuensi dan beratnya derajat kerusakan
janin menurun secara drastis. Perbedaan
ini terjadi karena janin terlindung oleh
perkembangan yang progresif respon imun
janin, baik yang bersifat humoral maupun
seluler, dan adanya antibodi maternal yang
dialihkan secara pasif.1
Gambar 1. Defects dan manifestasi klinis
CRS sesuai dengan umur kehamilan.1
Diagnosis akut dari infeksi rubela
primer akut pada kehamilan sangat penting
dan membutuhkan pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi dengan ELISA
untuk mengukur IgG dan IgM Rubelaspesifik mudah dilakukan, sensitif dan
akurat. Diagnosis infeksi rubela tegak
apabila : terdapat peningkatan 4 kali lipat
titer antibodi IgG antara akut dan spesimen
serum konvalesen; atau hasil positif pada
pemeriksaan serologi antibodi IgM rubelaspesifik; atau hasil positif kultur rubela
(isolasi virus rubela pada spesimen klinis
dari pasien).4,5 Pemeriksaan serologi
memberikan hasil terbaik antara 7 hingga
10 hari setelah onset timbunya ruam dan
harus diulang dua atau tiga minggu
kemudian. Kultur virus diambil dari sekret
hidung, darah, tenggorokan, urine atau
cairan serebrospinal mungkin memberikan
hasil positif dari satu minggu sebelum atau
dua minggu setelah onset munculnya
ruam.4,5
Tabel 1. Penafsiran hasil IgM dan IgG
ELISA untuk rubela1
IgM
IgG
Penafsiran
Tak ada perlindungan;
perlu pemantauan lebih
lanjut
≤ 15
Infeksi akut dini (