Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion Pada Dokter Di Rumah Sakit "X" Kota Cikampek.

(1)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran self-compassion pada dokter

di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek. Penelitian ini dilakukan kepada populasi dokter yang

berjumlah 31 orang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Data penelitian dikumpulkan dengan alat ukur yang dibuat oleh Neff (2003), terdiri atas 26 item dan telah diterjemahkan oleh Missiliana R., M.Si., Psikolog, Drs. Paulus H. Prasetya, M.Si., Psikolog, dan Eveline Sarintohe, M.Si. Penghitungan validitas dan reliabilitas telah dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi dari Pearson dan Alpha Cronbach yang menghasilkan26 item valid dan reliabilitas 0.8181.

Berdasarkan hasil pengolahan data, didapatkan hasil bahwa sebesar 77,4% dari dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek menunjukkan self-compassion yang tinggi dan 22,6% sisanya menunjukkan self-compassion yang rendah. Artinya, sebagian besar dokter di

Rumah Sakit “X” Kota Cikampek mampu untuk peduli dan menghibur diri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan. Saran yang diberikan peneliti adalah untuk melakukan penelitian korelasi mengenai hubungan self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhinya dan memerhatikan jumlah sampel penelitian.


(2)

Abstract

The research was conducted to determine the degree of self-compassion of the doctors at the Hospital "X" Kota Cikampek. This research was carried out to the entire population of 31 doctors. The method that used in this research is descriptive method with survey

techniques. Data were collected by using measure instrument that was created by Neff (2003), which has been translated into Indonesian by Missiliana R., M.Si., Psikolog, Drs. Paulus H. Prasetya M.Si., Psikolog, and Eveline Sarintohe, M.Si. The validity and reliability calculation were done by using Pearson correlation and Cronbach Alpha of the 26 items is valid and reliability is high 0.8181.

Based on the results of data processing, showed that for 77.4% of doctors in the Hospital "X" Kota Cikampek indicate the degree of self-compassion is high and the remaining 22.6% reflects the degree of self-compassion is low. That is, most doctors at the Hospital "X" Kota Cikampek able to care and entertain themselves in the face of suffering, failure, and imperfection. Advice given researchers is to conduct research on the correlation of self-compassion relationship with the factors that affect it and pay attention to the amount of sample.


(3)

DAFTAR ISI JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN... iii

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR BAGAN ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Maksud Penelitian ... 9

1.3.2 TujuanPenelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

1.5 Kerangka Pikir ... 10


(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Self-Compassion ... 23

2.2 Komponen Self-Compassion ... 24

2.2.1 Self-Kindness ... 24

2.2.2 Common Humanity... 25

2.2.3 Mindfulness ... 25

2.2.4 Korelasi Antar Komponen... ... 26

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ... 27

2.3.1 Personality ... 27

2.3.2 Jenis Kelamin ... 29

2.3.3 Attachment ... 30

2.3.4 Early Family Experiences ... 32

2.4 Dampak Self-Compassion ... 34

2.4.1 Emotional Resillience... 34

2.4.2 Opting Out the Self-Esteem Game ... 35

2.4.3 Motivation and Personal Growth ... 36

2.5 Dokter ... 37

2.5.1 Tugas Dokter ... 37

2.5.2 Kewajiban Dokter ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 40

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 40

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 40


(5)

3.3.2 Definisi Operasional Self-Compassion ... 41

3.4 Alat ukur Self-Compassion... 41

3.4.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Self-Compassion ... 42

3.4.2 Prosedur Pengisian Alat Ukur ... 43

3.4.3 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 43

3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 44

3.4.4.1 Data Pribadi ... 44

3.4.4.2 Data Penunjang ... 44

3.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 44

3.5.1 Validitas Alat Ukur ... 44

3.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 45

3.5.3 Populasi Sasaran dan Karakteristik Populasi ... 45

3.5.3.1 Populasi Sasaran ... 45

3.5.3.1 Karakteristik Populasi ... 45

3.6 Teknik Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ... 47

4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 47

4.2. Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 47

4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Kerja ... 48

4.2 Hasil Penelitian ... 48

4.4 Gambaran Self-Compassion ... 48

4.5 Gambaran Self-Compassion dan Komponen Self-Kindness, Common Humanity, Mindfullness ... 49


(6)

4.3 Pembahasan ... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 57

5.2 Saran ... 57

5.2.1 Saran Teoritis ... 57

5.2.2 Saran Praktis ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

DAFTAR RUJUKAN ... 60 LAMPIRAN


(7)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir ... 21 Bagan 3.2 Rancangan Penelitian ... 40


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.4. 1 Kisi-kisi Alat Ukur Self-Compassion ... 42

Tabel 3.4.3 Sistem Penilaian Setiap Komponen Self-Compassion ... 43

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47

Tabel 4.2. Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 47

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Kerja ... 48

Tabel 4.4 Gambaran Self-Compassion ... 48

Tabel 4.5 Gambaran Self-Compassion dan Komponen Self-Kindness, Common Humanity, Mindfullness ... 49


(9)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Lembar Persetujuan

Kuesioner I (Attachment) Kuesioner II (Personality) Kuesioner III(Self-Compassion)

Daftar Panduan Pertanyaan Wawancara Survei Awal Lampiran 2 : Kisi-Kisi Alat Ukur

Lampiran 3 : Tabel Data Mentah

Lampiran 4: Tabel Hasil Cross Tabulation

Lampiran 5 : Tabel Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Lampiran 6 : Biodata Peneliti


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan hidup yang sangat penting dalam menunjang aktifitas sehari-hari. Hidup sehat tentulah dambaan setiap orang, sehingga manusia akan selalu berupaya untuk mendapatkan hidup sehat supaya aktivitasnya bisa berjalan dengan normal dan maksimal oleh karena itu manusia melakukan berbagai upaya demi mewujudkan hidup yang sehat. Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan setiap manusia, yang dalam prosesnya melibatkan tenaga-tenaga profesional di bidang kesehatan bersinergi dengan Rumah Sakit sebagai lembaga dan tempat para tenaga kesehatan khususnya dokter dan perawat dalam mengabdikan dirinya di bidang pelayanan jasa kemanusiaan.

Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta yang berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau kesehatan rujukan dan upaya kesehatan penunjang. Rumah sakit dalam menjalankan fungsinya seyogyanya senantiasa memerhatikan fungsi sosial dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Keberhasilan rumah sakit dalam menjalankan fungsinya ditandai dengan adanya mutu pelayanan prima rumah sakit. Mutu pelayanan rumah sakit sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yang paling dominan adalah dokter (Depkes RI, 2002 dalam Prihatini, 2007).

Dokter adalah profesi yang dianggap membanggakan oleh sebagian besar masyarakat. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya seorang dokter memiliki tanggung jawab besar yang harus dijalankan dan ini tidak semudah yang dipikirkan oleh masyarakat.


(11)

Dokter adalah seorang tenaga kesehatan yang menjadi tempat kontak pertama pasien untuk menyelesaikan masalah kesehatanya. Tanpa memandang jenis penyakit, usia, dan jenis kelamin, seorang dokter akan diminta untuk dapat menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien selain menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Efektif dalam hal ini bukan berarti hanya sekedar pemberian obat terhadap pasien akan tetapi tetap memerhatikan kondisi mental pasien sehingga pasien dapat sembuh dari penyakit fisiknya maupun mentalnya secara menyeluruh. Sebagai contoh pasien yang menderita sakit batuk dan tidak kunjung sembuh, biasanya akan mengalami keputusasaan sehingga tidak jarang terlintas dalam pikirannya lebih baik mati daripada penyakit yang tidak sembuh-sembuh.

Dokter harus dapat memberikan obat secara efektif guna mengurangi sakit batuk pasien tersebut selain memberikan masukan agar tidak berputus-asa. Tidak hanya efektif, seorang dokter juga harus dapat memberikan pelayanan medis secara efisien. Efisien yang dimaksud dalam dunia medis ialah pemberian obat yang tepat sesuai diagnosis terhadap pasien.

Dapat dijabarkan tugas seorang dokter sebagai berikut seorang dokter perlu memerhatikan pasien yaitu melakukan pemeriksaan kepada pasien untuk mendiagnosis penyakit pasien secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat untuk kesembuhan penyakit pasien, memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit, menangani penyakit akut dan kronik, tetap bertanggung-jawab atas pasien yang dirujukkan ke Dokter Spesialis atau dirawat di Rumah Sakit dan memantau pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan. Pekerjaan dokter, adalah praktik dari ilmu kedokteran yang penuh dengan risiko, karena pekerjaan tersebut bisa dikatakan menyangkut nyawa seseorang dalam hal ini katakan pasien. Risiko kegagalan suatu tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter atau tenaga medis lainnya bisa berakibat fatal, cacat permanen atau bahkan


(12)

3

bisa berujung ke kematian. Meskipun kegagalan medis itu persentasenya bisa tergantung oleh banyak faktor, baik dari pasien, dokter dan paramedis lain dan keadaan lingkungan, tapi risiko kegagalan itu tetap menuntut siapa pun yang terlibat di dalamnya untuk dapat bertanggung jawab secara profesional.

Dalam pelaksanaan tugasnya, dokter dituntut untuk cepat dan tepat dalam hal menangani pasien. Dokter pun bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang diambilnya. Disisi lain para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab, karena satu insiden pelanggaran medis saja mampu menimbulkan kerugian fisik hingga risiko hilangnya nyawa pasien. Seorang dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik dan memberikan tindakan yang sudah sepatutnya wajar dilakukan dan diperlukan untuk dapat meringankan, menyembuhkan bahkan menghilangkan penderitaan atau penyakit pasien.

Selain melaksanakan tugasnya, dokter juga harus mampu dalam membina hubungan sosialisasi dengan teman sejawatnya sehingga dapat bertukar pendapat mengenai kasus dari setiap pasien yang dihadapi oleh dokter tersebut. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sama seperti ia sendiri ingin diperlakukan dan tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Akan tetapi seorang dokter juga seorang manusia yang tidak hanya menyembuhkan, mengobati serta memberikan pelayanan kepada orang lain saja. Seorang dokter juga memiliki kewajiban sebagai seorang individu, yaitu harus menjalani dan memenuhi kebutuhan pribadinya dengan memberikan kepuasan pribadi dan memberikan perhatian kepada diri sendiri ketika sedang menghadapi kegagalan atau masalah. Dokter juga harus merasa iba, merasa kasihan, dan peduli terhadap diri sendiri, keadaan inilah yang lebih akrab dikenal dengan nama self-compassion. Dalam menjalankan kewajibannya, dokter harus dapat


(13)

membagi waktu untuk dirinya sendiri maupun pasien yaitu dengan bersikap tulus ikhlas dan memergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dokter pun wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan.

Dalam menjalankan kewajibannya seorang dokter perlu memberikan waktu yang lebih banyak untuk pasien yang sedang rawat jalan, pasien yang memerlukan pertolongan secepatnya misalnya pasien korban kecelakaan, sakit keras. Menurut Neff (2003a), “compassion for others adalah sikap terbuka akan penderitaan orang lain, adanya keinginan untuk meringankan penderitaan orang lain”. Dokter yang memiliki compassion for others akan lebih memahami keadaan dan bagaimana perasaan kelemahan tubuh yang dialami pasien. Dokter pun akan berusaha untuk memberikan pertolongan sesuai dengan keahlian profesi yang dimilikinya untuk mengurangi penderitaan yang dirasakan pasien. Tidak hanya pasien, dokter yang memiliki compassion for others dapat lebih mengerti kondisi dan keadaan yang dialami rekan sejawatnya.

Dokter yang dituntut untuk melakukan pekerjaannya secara sempurna tanpa ada kesalahan sedikit pun, setiap saat dapat berhadapan dengan kelelahan, ketidaksempurnaan keahlian yang dimiliki, dan bahkan keterbatasan sarana, dan sumber daya manusia, kelelahan emosional, frustrasi dan depresi yang disebabkan empati dan keterpakuan yang terus-menerus sebagai akibat dari tuntutan dan sifat pekerjaan yang terus-menerus memerhatikan orang lain lebih dikenal dengan sebutan compassion fatigue (Beth Hudnall Stamm, 2010). Dokter yang mengalami compassion for other serta compassion fatigue merupakan dokter yang memiliki jumlah pasien yang banyak dan cukup sulit untuk mengatur waktu untuk dirinya sendiri, hal ini biasanya terjadi ketika dokter berada dan melayani pasien di Rumah Sakit.

Rumah Sakit adalah tempat yang menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan. Sebagai suatu instansi yang memberikan pelayanan kesehatan, rumah sakit harus siap melayani masyarakat selama 24


(14)

5

jam. Begitu pula dengan Rumah Sakit “X” Kota Cikampek, yang siap melayani selama 24 jam. Untuk dapat melayani selama 24 jam, dibutuhkan tenaga medis yang siap melayani di luar jam kerja yang biasa yang tentunya tenaga medis yang dibutuhkan cukup banyak. Rumah Sakit Umum “X” Kota Cikampek merupakan Rumah Sakit terbesar di kota Cikampek dari dua rumah sakit yang ada.

Jumlah dokter yang terdapat di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek adalah 31 orang dokter yang terdiri atas 18 orang dokter umum dan 13 orang dokter spesialis. Para dokter di rumah sakit “X” tersebut memiliki jam kerja yang terdiri atas tiga shift yaitu pagi, siang dan malam. Shift pagi mulai pukul 07.00 hinggai pukul 14.00, shift sore pukul 14.00 hingga pukul 20.00, dan shift malam mulai pukul 20.00 hingga pukul 06.00. Satu shift kerja berlangsung selama 7 jam dan jumlah pasien yang datang setiap harinya berkisar 30-50 pasien per shift. Dokter spesialis maupun dokter umum juga memiliki jam kerja hingga 7 jam per hari dan menangani pasien rata-rata 25-60 per dokter. Jumlah pasien yang ditangani para dokter setiap harinya berasal dari pasien baru dan juga pasien yang masih dirawat dan ditangani dokter tersebut. Para dokter di Rumah Sakit Umum “X” tersebut tidak terikat dan tidak ditentukan oleh pihak rumah sakit untuk menangani berapa banyak orang pasien setiap shiftnya karena para dokter memiliki batasan waktu tersendiri.

Jenis penyakit yang ditangani para dokter itu bervariasi mulai dari penyakit ringan hingga penyakit yang sudah meradang atau penyakit berat, bahkan penyakit yang datang musiman seperti dyspepsia (sakit perut), diare, muntah-muntah, febris (demam), infeksi saluran pencernaan, maag kronis yang biasanya muncul pada saat memasuki bulan puasa. Selain itu, para dokter dan tenaga medis juga perlu berempati terhadap pasien, menangani pasien dengan baik.

Jumlah pasien yang banyak dan berbanding terbalik dengan jumlah tenaga medis khususnya dokter, menyebabkan dokter harus meluangkan tambahan waktu untuk menolong


(15)

dan mengobati pasiennya. Belum lagi jika dalam waktu bersamaan datang beberapa pasien dengan kondisi sakit yang serupa, misalnya korban kecelakaan, maka dokter harus cekatan dalam menanganinya dan segera mengambil tindakan. Terikat kode etik kedokteran Indonesia yang telah diuraikan sebelumnya, seorang dokter harus menolong, mengobati serta melayani penderita penyakit maka terkadang dokter di Rumah Sakit “X” tersebut rela meluangkan waktu lebih dari 7 jam per hari untuk melayani pasien, hal inilah yang dapat menyebabkan munculnya compassion fatigue.

Compassion fatigue yang juga dikenal sebagai secondary traumatic stress (STS) adalah keadaan menurunnya kondisi compassion seseorang dari waktu ke waktu. Keadaan ini biasanya terjadi karena seseorang lebih mengutamakan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan diri sendiri, dengan kata lain compassion for other lebih tinggi daripada self-compassion. Compassion fatigue tidak akan pernah muncul ketika seseorang menikmati pekerjaannya, melakukan pekerjaan karena dorongan ekonomi atau bahkan senang melakukan suatu kegiatan yang dilakukan selama bertahun-tahun.

Keadaan stres yang dialami oleh dokter karena compassion for other lebih tinggi dibanding self-compassion dapat mengakibatkan munculnya compassion fatigue dengan frekuensi lebih tinggi dialami oleh dokter. Ini dikemukakan oleh Neff (2011) “Ketika seseorang melakukan compassion for others perlu diimbangi dengan self-compassion agar tidak mengakibatkan compassion fatigue”. Nilai compassion fatigue yang tinggi bagi seorang dokter dapat berakibat kurang baik mengingat vitalnya tugas seorang dokter bagi pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien, bahkan dapat membahayakan penanganan pada pasien dan akan mengganggu pekerjaan dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasien.

Menurut Neff (2011) agar seseorang tidak mengalami compassion fatigue, ketika melakukan compassion for others perlu diimbangi dengan self-compassion. Mengembangkan self-compassion merupakan hal yang penting bagi dokter, karena tanpa memiliki kemampuan


(16)

7

ini kemungkinan besar para dokter tidak dapat mengembangkan rasa iba, rasa kasih, atau rasa ingin menghibur kepada para pasien. Self-compassion berarti menghibur diri sendiri dan peduli ketika diri sendiri menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan (Neff, 2003a). Individu yang memiliki self-compassion dilaporkan dapat memperlakukan diri sama baiknya sebagaimana yang bersangkutan memerlakukan orang lain (Neff, 2003a). Hal ini juga yang memerkuat alasan mengapa para dokter perlu mendalami self-compassion-nya, karena akan memberi kebaikan pada diri sendiri sama seperti kebaikan dirinya saat melayani pasien. Menurut Neff (2003a, 2003b) self-compassion terdiri atasi tiga komponen utama yang saling melengkapi dan saling berkaitan yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness.

Untuk memerjelas fenomena tersebut, dilakukan survei awal kepada sepuluh orang dokter di Rumah Sakit Umum “X” Kota Cikampek. Berdasarkan hasil wawancara kepada 10 dokter jaga, 40% diantaranya mengkritik diri secara wajar, misalnya ketika dokter yang merasa gagal dalam menangani pasiennya karena pasien tidak tertolong nyawanya atau salah memberikan diagnosa, mereka menerima kekurangan dan menyadari kesalahan yang mereka lakukan, hal tersebut dikenal dengan nama self-kindness. Self-kindness yaitu bersikap hangat dan memahami diri sendiri saat menghadapi penderitaan, kegagalan dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri (Neff, 2003). Sedangkan 60% lainnya mengkritik diri dan menyalahkan dirinya secara berlebihan, misalnya ketika salah melakukan diagnosis terhadap pasien, terkadang mereka merasa diri mereka bodoh karena tidak teliti dalam memeriksa dan menganggap diri mereka malas karena tidak banyak membaca tentang perkembangan-perkembangan penyakit sehingga mereka menyalahkan diri sendiri. Hal tersebut dinamakan self-judgement yaitu sikap individu yang mengkritik diri secara berlebihan saat mengalami kegagalan atau penderitaan (Neff, 2003).

Selain itu, dari 10 orang dokter di Rumah Sakit Umum “X” Kota Cikampek, 60% diantaranya menganggap kegagalan yang dialami sebagai kejadian yang wajar dan


(17)

menganggap bahwa semua manusia pasti mengalami kegagalan dalam hidup, misalnya ada pasien yang meninggal, semua dokter mengganggap kegagalan tersebut adalah manusiawi, karena dokter bukanlah tuhan yang selalu sempurna dalam menolong pasien. Hal ini dinamakan common humanity yaitu kesadaran individu bahwa kesulitan hidup dan kegagalan merupakan bagian dari kehidupan yang dialami oleh semua manusia, bukan hanya dialami oleh diri sendiri (Neff, 2003). Sedangkan 40% lainnya menganggap kegagalan yang dialami bukanlah suatu kejadian yang wajar, misalnya dokter melakukan kesalahan memberikan diagnosis yang dapat berakibat fatal, dokter merasa gagal karena seharusnya mereka dapat memberikan penanganan yang terbaik dan dokter menjadi terpuruk karena masalah tersebut memengaruhi pelayanannya terhadap pasien. Hal ini dinamakan isolation yaitu individu merasa terasing dan terpisah dari orang lain ketika mempertimbangkan ketidaksempurnaan yang mereka miliki (Neff, 2003).

Dari 10 dokter di Rumah Sakit Umum “X” Kota Cikampek, 50% diantaranya menghadapi kegagalan secara wajar dan tidak secara berlebihan, misalnya ketika sedang menghadapi kegagalan tidak menampilkan emosi yang berlebihan dan merugikan orang lain. Ketika dokter merasa sedih akibat kegagalannya, mereka tidak menyesali kegagalan tersebut berlarut-larut. Hal ini dinamakan mindfulness yaitu kemampuan individu untuk menerima dan melihat secara jelas perasaan dan pikiran diri sendiri saat mengalami kegagalan dengan apa adanya, tanpa disangkal atau ditekan (Neff, 2003). Sedangkan 50% lainnya menghadapi kegagalan secara tidak wajar dan berlebihan, contohnya ketika dokter yang menyesal berlarut-larut karena kegagalan yang ia lakukan kepada pasien sehingga menyebabkan kinerjanya terganggu dan kurang maksimal dalam memberikan penanganan. Hal ini dinamakan over-identification yaitu individu cenderung untuk merenungkan dan dihantui oleh pemikiran dan emosi negatif akan diri sendiri (Neff, 2003).


(18)

9

Melalui fenomena yang disebutkan di atas, terlihat adanya kesenjangan hasil wawancara, dan data survei awal. Dokter yang menjadi partisipan untuk survei awal menunjukkan hasil yang berbeda-beda dalam kemampuan compassion terhadap terhadap diri sendiri. Maka dapat disebutkan bahwa pada seluruh dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek akan terlihat adanya variasi gambaran self-compassion. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai self-compassion pada dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana self-compassion yang dimiliki oleh dokter yang ada di Rumah Sakit Umum “X” Kota Cikampek.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memeroleh gambaran self-compassion pada dokter yang ada di Rumah Sakit Umum “X” Kota Cikampek.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai derajat self-compassion pada dokter di Rumah Sakit Umum “X” Kota Cikampek dalam hubungannya dengan faktor-faktor yang memengaruhi bertujuan untuk memberikan informasi kepada dokter atau kepada peneliti lainnya yang dapat menambah pemahaman kajian dalam bidang Psikologi Klinis, mengenai self-compassion pada dokter dan dapat mengetahui dampak positif dan negatif yang dihasilkan dari self-compassion ini sehingga peningkatan pelayanan terhadap pasien oleh dokter maupun tenaga medis lainnya dapat lebih ditingkatkan.


(19)

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi yang dapat menambah pemahaman kajian dalam bidang Psikologi Klinis, mengenai self-compassion pada dokter.

 Sebagai informasi bagi pihak-pihak yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai derajat self-compassion pada dokter.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi dokter khususnya dalam memahami dan menyadari pentingnya self-compassion terhadap dirinya sendiri serta diharapkan mereka dapat mempertahankan dan mengetahui cara untuk meningkatkan self-compassion.

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan kualitas pelayanan, dan untuk dapat meningkatkan kinerja para dokter.

1.5 Kerangka Pikir

Seorang dokter yang diharapkan mampu menganalisis penyakit, mengurai, menyembuhkan, mencegah penyakit, memeriksa, memastikan sifat penyakit atau kekurangan yang diderita seseorang, memberikan nasihat mengenai perawatan dan pelaksanaan perawatan mendapatkan pengetahuannya dari pendidikan kedokteran yang dipelajari dan dicapainya selama bertahun-tahun dan telah dinyatakan lulus. Walaupun dokter dapat mengatasi kendala kesehatan yang dialami oleh pasiennya bukan berarti dokter tidak pernah sakit, dokter pun adalah seorang manusia yang tidak lepas dari penyakit. Penyakit yang dihadapi oleh seorang


(20)

11

dokter tidak jauh berbeda dengan penyakit yang diderita oleh pasien dan tentu ketika dokter mengalami sakit penyakit maka dokter akan berobat atau menyembuhkan dirinya sendiri dengan obat.

Tidak hanya tugas yang harus dilakukann seorang dokter juga memiliki kewajiban yang harus ditaati. Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia, kewajiban seorang dokter terdiri atas kewajiban umum, seperti : memerhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif), kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat serta kewajiban terhadap diri sendiri. Dalam melakukan penangan secara langsung terhadap pasien, seorang dokter memiliki tuntutan dan tugas-tugas yang harus dijalankan. Tuntutan dan tugas-tugas yang harus dihadapi oleh seorang dokter adalah melakukan pemeriksaan klinis dasar di sarana pelayanan kesehatan primer dan rumah sakit, melakukan prosedur-prosedur bidang kedokteran dan kesehatan, serta berperilaku yang sesuai dengan etika profesi dan moral yang berlaku di masyarakat. Dalam menghadapi tuntutan dan tugas-tugasnya tersebut seorang dokter juga harus dapat melakukan komunikasi yang baik dan efektif dengan pasien dan mengutamakan kepentingan masyarakat seperti memberikan pelayanan medis yang kompeten dan moral yang sepenuhnya disertai kasih sayang, melindungi hidup makhluk insani, bersikap tulus ikhlas dalam merawat pasien, menghormati apa yang menjadi hak-hak pasien serta menjaga kepercayaan pasien (Pedoman Penyelenggara Pendidikan Kedokteran, 2010).

Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang dokter terhadap pasien, dokter harus menjalankannya dengan sepenuh hati. M. Heffernan, at al (2010) menyebutkan bahwa para dokter memerlukan compassion, karena compassion merupakan komponen penting untuk perhatian yang akan diberikan oleh dokter. Compassion merupakan kemampuan dokter untuk memahami dan merasakan penderitaan yang dirasakan orang lain, terutama pasien. Compassion ini mencakup keinginan dokter untuk membantu orang yang


(21)

menderita dan kesediaan untuk bersikap tidak menghakimi orang lain (compassion for others). Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, dokter juga dapat mengalami compassion fatigue. Agar dokter tidak mengalami hal tersebut, maka dokter tidak boleh mengritik diri sendiri secara berlebihan atas ketidaksempurnaan dan kelemahan dirinya, kondisi ini disebut self-compassion.

Self-compassion berarti menghibur diri sendiri dan peduli ketika diri sendiri menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan.Individu yang memiliki self-compassion dilaporkan dapat memperlakukan diri mereka sama baiknya sebagaimana mereka memperlakukan orang lain (Neff, 2003a). Berdasarkan jurnal Neff, K. D. (2003a) "The development and validation of a scale to measure self-compassion”,self-compassion seseorang dibangun oleh tiga komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Ketiga komponen tersebut akan berpengaruh satu dengan yang lainnya dan memiliki peranan masing-masing dan akan dijabarkan secara perlahan sebagai berikut.

Self-kindnness merupakan kemampuan seseorang untuk memahami dan menyadari ketidaksempurnaan, kegagalan, dan kesulitan hidup yang tidak bisa dihindari, sehingga individu akan cenderung bersikap ramah terhadap diri ketika dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan, dari pada marah dan mengritik diri atas pengalaman menyakitkan yang menimpanya. Ketika seorang dokter cenderung bersikap hangat, lembut, dan ramah terhadap dirinya, mengerti kelemahan diri dan kegagalan yang dialami ketika menangani pasien di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek, maka dokter tersebut memiliki derajat self-kindness yang tinggi. Saat dokter mengalami kegagalan atau kelalaian dalam memberikan pelayanan pada pasien, dokter tersebut tidak akan mengritik seceara berlebihan kekurangan yang dimilikinya. Sedangkan dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek dengan derajat self-kindness yang rendah akan mengritik dirinya saat menghadapi kegagalan terutama kelalaian saat melayani


(22)

13

frustrasi, dan mengritik diri secara berlebihan, mengatakan kepada dirinya bahwa hal tersebut memalukan, atau menganggap dirinya bodoh karena tidak dapat menghindari kesalahan tersebut ketika mengalami kegagalan. Hal tersebut dinamakan self-judgement.

Common humanity merupakan kemampuan individu untuk memandang dan merasakan bahwa kesulitan hidup dan kegagalan dialami oleh semua orang. Para dokter perlu menyadari bahwa kesulitan hidup dan kegagalan, terutama kegagalan dalam pekerjaan mereka merupakan bagian dari kehidupan yang dialami oleh semua manusia, bukan hanya dialami oleh dirinya sendiri. Para dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek dengan derajat common humanity tinggi akan cenderung melihat ketidaksempurnaan dan kegagalan ketika melayani pasien adalah sesuatu yang dapat dialami oleh sebagian dokter di dunia ini dan bukan sesuatu yang terjadi pada dirinya sendiri saja. Sedangkan dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek dengan derajat common humanity rendah akan cenderung menganggap dirinya merupakan satu-satunya orang yang menderita, membuat kesalahan, ceroboh, bodoh, dan mengalami kegagalan dalam melayani pasien. Para dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek akan memiliki pandangan yang sempit dengan hanya fokus kepada ketidaksempurnaan diri tanpa bisa melihat hal lainnya sehingga mereka mengalami isolation, merasa terisolasi dan merasa hanya dirinya yang menderita serta hanya dirinya yang menghadapi situasi tidak adil.

Komponen terakhir adalah mindfulness. Mindfulness merupakan kemampuan individu untuk menerima dan melihat secara jelas perasaan dan pikiran diri sendiri dengan apa adanya, tanpa disangkal atau ditekan. Dengan kata lain menghadapi kenyataan, gambarannya adalah individu melihat sesuatu apa adanya, tidak lebih, tidak kurang untuk merespon terhadap suatu situasi di kegiatan pekerjaannya. dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek dengan derajat mindfulness tinggi, disaat melakukan kesalahan, iatidak akan melebih-melebihkan atau menyangkal kesalahannya itu, namun ia akan menghayati ketidaksempurnaan yang terjadi di


(23)

secara objektif suatu permasalahan dan tidak terpaku pada semua kesalahan dirinya. Sedangkan dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek yang derajat mindfulness-nya rendah akan mengalami over-identification, dimana dokter akan menghayati ketidaksempurnaan yang dimiliki dengan membesar-besarkannya dan menghakimi ketidaksempurnaannya dengan keras sebagai akibat dari kegagalan yang dialaminya. Dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek juga cenderung menganggap bahwa dirinya akan melakukan kesalahan yang sama di masa yang akan datang, sehingga dokter merasa takut, cemas, dan merasa dihantui oleh kegagalannya.

Menurut Neff (2003), ketiga komponen tersebut memiliki derajat interkorelasi yang tinggi. Self-compassion memerlukan ketiga komponen tersebut karena satu komponen berhubungan dengan komponen-komponen lainnya dan saling memengaruhi. Self-kindness membuat dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek memerhatikan kegagalannya saat ini dan dapat mengadopsi sudut pandang yang seimbang. Saat dokter mengritik diri secara berlebihan karena kegagalannya, ia akan terus mengingat kegagalannya itu sehingga ia akan fokus pada masa lalu atau ketakutan bahwa kegagalan itu akan terjadi di masa depan, dan ia tidak fokus pada kegagalan yang terjadi saat ini. Hal ini menunjukkan sikap melebih-lebihkan kegagalan atau mindfulness yang rendah. Terdapat hipotesis bahwa orang-orang yang bersikap baik kepada dirinya sendiri akan lebih mudah bertahan dalam menghadapi kekurangannya dengan menyadari hal itu (Neff, 2003).

Common humanity dapat meningkatkan self-kindness dan mindfulness pada dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek. Common humanity dapat meningkatkan derajat self-kindness karena saat mereka melihat kegagalan sebagai kejadian yang dialami semua dokter, mereka akan menyadari bahwa saat temannya yang lain mengalami kegagalan, mereka tidak mengritik atau menghakimi temannya tersebut, tetapi mereka menghibur temannya agar tidak


(24)

15

sama kepada dirinya sendiri saat menghadapi kegagalan, yaitu dengan memberikan empati dan kebaikan kepada dirinya sendiri. Common humanity juga dapat meningkatkan mindfulness karena dengan menyadari bahwa kegagalan adalah kejadian yang dialami semua dokter, para dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek tidak akan menganggap kekurangannya sebagai ancaman sehingga para dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek tidak akan menghindari atau melebih-lebihkan kegagalan yang dihadapinya.

Terakhir, mindfulness dapat meningkatkan self-kindness dan common humanity pada para dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek. Dengan melihat kegagalan secara objektif dapat membuat para dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek menghindari pemberian kritik yang berlebihan kepada diri sendiri dan membuat mereka menyadari bahwa semua dokter akan mengalami kegagalan. Jika para dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek melebih-lebihkan kegagalan yang dihadapi (overidentivication), hal itu akan membuat dokter memiliki perspektif yang sempit bahwa hanya dirinyalah yang mengalami kegagalan dan membuat menarik diri dari orang lain.

Ketiga komponen self-compassion cenderung berhubungan positif dan saling meningkatkan antar komponen. Untuk individu mencapai compassion baik pada dirinya sendiri maupun orang lain diperlukan ketiga komponen. Secara keseluruhan, terlihat bagaimana komponen positif self-compassion dapat meningkatkan satu sama lain dan ketidakhadiran salah satu komponen membuat komponen self-compassion lainnya menjadi lebih sulit (Neff, 2003).

Ketiga komponen yang membentuk self-compassion tersebut menurut Neff (2003) memiliki derajat interkorelasi yang tinggi. Setiap komponen saling berhubungan dengan komponen-komponen lainnya dan saling memengaruhi. Seseorang harus dapat menggabungkan ketiga komponen tersebut untuk membentuk self-compassion yang tinggi.


(25)

Jika ketiga komponen self-compassion tinggi, maka dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek tinggi, self-compassion pada dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek dapat dikatakan tinggi. Jika dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek yang rendah pada salah satu komponen, maka self-compassion dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek dikatakan rendah.

Selain ketiga komponen tersebut, self-compassion seorang dokter dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal pada diri seorang dokter terdiri atas personality, jenis kelamin (gender), attachment sedangkan faktor eksternal yaitu early family experiences. Faktor internal personallity yaitu neuroticism, agreeableness, extroversion, conscientiousness dan openness to experience. Adapun penjelasan faktor internal akan diuraikan sebagai berikut.

Kepribadian dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek menjadi faktor yang memengaruhi compassion-nya. Berdasarkan penelitian yang menguji hubungan self-compassion dengan The Big Five personality traits, didapatkan bahwa self-self-compassion berkaitan dengan menurunnya neuroticism dan meningkatnya agreebleness, extroversion, dan conscientiousness, meskipun self-compassion masih merupakan prediktor penting dari kekuatan psikologis dalam mengatur kepribadian. Trait openness to experience tidak berhubungan secara signifikan dengan self-compassion.

Disebutkan bahwa neuroticism memiliki hubungan dengan self-compassion. Semakin tinggi self-compassion dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek, maka semakin rendah level neuroticism-nya. Menurut Costa & McCrae (1997) neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman, mudah mengalami kecemasan, rasa marah, dan depresi. Hubungan ini bukan suatu hal yang mengejutkan, karena mengritik diri dan perasaan terasing yang menyebabkan


(26)

17

dokter memiliki masalah baik di dalam maupun di luar kehidupannya sebagai dokter, sehingga sering mengritik dirinya sendiri dan merasa bahwa hanya dirinya sendiri yang mengalami hal tersebut, hal tersebut menyebabkan self-compassion-nya rendah.

Agreeableness, extroversion, dan conscientiousness memiliki hubungan yang positif dengan self-compassion. Dokter yang memiliki derajat tinggi dalam agreeableness dan extroversion berorientasi pada sifat sosial sehingga hal itu dapat membantu mereka untuk bersikap baik pada diri sendiri dan melihat pengalaman yang negatif sebagai pengalaman yang dialami semua manusia. Dokter yang cenderung extroverted akan memiliki self-compassion yang tinggi karena mereka tidak terlalu khawatir dengan pandangan orang lain terhadap diri mereka, karena hal itu dapat mengarah pada rasa malu dan perilaku menyendiri. Selain itu, mereka pun menilai berbagai kritikan yang diterimanya sebagai hal yang positif. Misalnya, apabila dokter mendapat kritik dari para pasien, keluarga pasien, ataupun rekan sesama dokter mengenai cara kerjanya yang kurang memuaskan, dokter akan menerima kritik tersebut dengan senang hati dan ia akan berusaha untuk memperbaiki kesalahnnya. Dokter yang agreeableness akan memiliki sifat penuh perhatian, bersahabat dan optimis dalam melayani pasiennya.

Begitu pula dengan conscientiousness, menurut Costa & McCrae (1997), conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Hal ini dapat membantu dokter memperhatikan kebutuhan mereka dan merespons situasi yang sulit dengan sikap yang lebih bertanggung jawab, sehingga dapat merespons situasi itu tanpa memberikan kritik yang berlebihan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa self-compassion tidak berhubungan signifikan dengan openness to experience, karena trait itu mengukur karakteristik individu yang memiliki imajinasi yang


(27)

1992), sehingga memungkinkan dimensi traitini memiliki hubungan yang kurang signifikan dengan self-compassion.

Selain faktor personality yang telah dijabarkan sebelumnya, jenis kelamin seseorang juga dapat memengaruhi self-compassion (Neff, 2011). Menurut penelitian yang terdapat dalam Journal of Personality and Social Psychology, Vol 100(5), May 2011, 853-873. doi: 10.1037/a0021884perempuan cenderung memiliki derajat self-compassion yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal itu terjadi karena perempuan cenderung lebih sering menghakimi dan mengritik dirinya sendiri. Di waktu yang bersamaan, perempuan juga menunjukkan kepedulian yang lebih, empati, dan memberi lebih banyak kepada orang lain dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan cenderung bertindak sebagai caregivers, membuka hati mereka untuk orang lain tanpa pamrih, namun mereka kurang menanamkan rasa peduli terhadap diri sendiri.

Faktor internal lain yang memengaruhi self-compassion adalah attachment. Bortholomeuw dan Horowitz (dalam Neff dan McGehee, 2010) membagi tipe attachment ke dalam empat kelompok, yaitu secure attachment, preoccupied attachment, fearfull attachment, dan dismissing attachment. Dokter yang mengembangkan secure attachment, dicirikan dengan rasa kepercayaan serta kenyamanan dengan keintiman akan memiliki self-compassion yang tinggi. Jika seseorang mendapatkan insecure attachment dari orang tua mereka, mereka akan merasa tidak layak mendapatkan cinta dan kasih sayang, dan tidak bisa percaya kepada orang lain. Oleh karena itu tidak mengejutkan bila penelitian menyebutkan bahwa individu yang mendapatkan insecure attachment memiliki self-compassion yang lebih rendah daripada individu yang mendapatkan secure attachment (Neff, 2011). Jika individu merasa tidak layak mendapatkan kasih sayang, maka ia juga merasa tidak layak jika mendapatkan kasih sayang dari dirinya sendiri. Berdasarkan hal itu, Dokter di Rumah Sakit


(28)

19 Umum “X” Kota Cikampek yang mendapatkan insecure attachment dapat memiliki self-compassion yang lebih rendah dibandingkan dokter yang mendapatkan secure attachment.

Dokter yang menghayati preoccupied attachment, dicirikan dengan membutuhkan pembenaran dari orang lain tentang dirinya (Wei, Liao, et.al., 2011). Ketika dokter bergantung terhadap pembenaran dari orang lain, maka dokter akan sulit untuk melihat potensi dalam dirinya sehingga memiliki self-compassion yang lebih rendah. Fearfull attachment yang dimiliki oleh dokter dicirikan dengan ketidakpercayaan pada orang lain dan meragukan keberhargaan dirinya, sehingga mereka cenderung kurang mampu mengembangkan self-compassion. Dismissing style dicirikan dengan merendahkan kepentingan berelasi dan meningkatkan harga diri, namun hal ini tidak ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan self-compassion(Neff dan McGehee, 2010).

Faktor early family experiences juga merupakan faktor eksternal dari self-compassion. Schafer (1964, 1968) menyatakan bahwa empati dikembangkan melalui proses internalisasi saat masih anak-anak. Begitu juga Storolow, Brandchaft, dan Atwood (1987) menyatakan bahwa kemampuan untuk menyadari dan melakukan empati berkaitan dengan empati yang diberikan oleh pengasuh saat masih anak-anak. Artinya, dokter yang mendapatkan kehangatan dan hubungan yang saling mendukung antara anak dengan orang tua mereka. Hubungan yang baik dan harmonis antara anak dan orang tuanya cenderung akan memiliki self-compassion yang lebih tinggi. Sedangkan dokter yang tinggal dengan orang tua yang “dingin”, sering mengkritik dan tidak harmonis biasanya seorang anak cenderung akan memiliki self-compassion yang lebih rendah (Brown, 1999). Hal ini menjelaskan maternal criticism atau lebih dikenal sebagai kritikan yang berasal dari orang tua berpengaruh terhadap emosi orang tersebut dan tentu akan berpengaruh terhadap self-compassionnya.


(29)

baik terhadap dirinya saat mereka menghadapi kegagalan atau kesulitan. Orang tua yang sering mengkritik diri, akan menjadi model bagi dokter untuk melakukan hal yang sama dengan orang tuanya saat ia mengalami kegagalan. Sebaliknya, dokter yang melihat orangtuanya melakukan self-compassion pada saat mengalami masalah, akan cenderung dapat melakukan compassion terhadap dirinya. Dapat dikatakan modeling merupakan sikap panutan atau menurut dan mencontoh dari orang tua sehingga figure yang ada sekarang merupakan duplicate dari figure terdahulu.

Dokter di Rumah Sakit Umum “X” Kota Cikampek yang memiliki self-compassion tinggi, akan memahami keterbatasannya dalam menangani pasien, berempati terhadap pasien, dan menggantikan kritikan terhadap dirinya dengan memberikan respon yang lebih baik. Mereka dapat memberikan rasa aman dan perlindungan kepada dirinya dan menyadari bahwa kekurangan dan ketidaksempurnaan merupakan bagian dari kehidupannya, mereka melihat orang lain juga pernah mengalami kegagalan dan memiliki kekurangan masing-masing. Dokter melihat kegagalan tersebut secara objektif, tanpa menghindari atau melebih-lebihkan hal tersebut.

Sedangkan dokter di Rumah Sakit Umum “X” kota Cikampek yang memiliki self-compassion rendah, akan terus menerus mengritik diri secara berlebihan saat mengalami kegagalan dalam menangani pasien. Mereka hanya memperhatikan kekurangannya tanpa melihat kelebihan yang dimiliki, sehingga memiliki pandangan sempit bahwa hanya dirinya saja yang mengalami kegagalan itu. Kemudian, menghindari kegagalan yang terjadi dan menyesalinya berlarut-larut, mereka terlalu fokus pada kegagalan yang dihadapi di masa lalu tanpa memperhatikan keadaan saat ini.

Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat disusun ke dalam bentuk bagan sebagai berikut :


(30)

21

Bagan Kerangka Pikir

Skema1.1 Kerangka pikir Faktor internal dan Faktor eksternal

Faktor Internal :

Personality

Jenis Kelamin (Gender)

Attachment

Faktor External :

Maternal Critism Early Family experiences

Modeling of parents

Tinggi Dokter di Rumah

Sakit Umum “X” Kota Cikampek

Self-Compassion

Rendah

Komponen self-compassion Self-kindness


(31)

1.6 Asumsi Penelitian

 Dokter di Rumah Sakit Umum “X” Kota Cikampek berpeluang mengalami compassion fatigue.

Salah satu hal yang diperlukan untuk mengatasi compassion fatigue ialah self-compassion.

Self - compassion yang dimiliki Dokter di Rumah Sakit Umum“X” Kota Cikampek dibangun oleh tiga komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness dan ketiganya saling berhubungan.

Bila ketiga komponen tinggi maka self-compassion tinggi, dan bila ada salah satu, dua, atau ketiga komponen rendah maka self-compassion akan menjadi rendah.

Self-compassion dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang memengaruhi derajat self-compassion Dokter di Rumah Sakit Umum“X” Kota Cikampek adalah personality, jenis kelamin dan attachment. Faktor eksternal adalah early family experiences, yang meliputi maternal criticism,modeling of parents.


(32)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan simpulan dari penelitian yang telah dilakukan beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan kepada 31 dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek mengenai derajat self-compassion, didapatkan simpulan sebagai berikut:

1. Dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek lebih banyak memiliki self-compassion yang tergolong tinggi.

2. Ketiga komponen self-compassion yaitu self-kindness, common humanity, dan minfullness memiliki derajat yang tergolong tinggi.

3. Derajat self-compassion tidak berkaitan dengan faktor internal maupun eksternal. 4. Faktor usia dan lama bekerja berkaitan dengan derajat self-compassion, dokter dengan

usia di atas 30 tahun mampu meregulasi emosinya dan sudah lebih matang dalam menghadapi kegagalan. Lama bekerja di atas 4 tahun dokter sudah paham akan kinerjanya dan resiko atas pekerjaannya sehingga lebih dapat menerima kesalahan yang dilakukannya.

5.2 SARAN

5.2.1 Saran Teoritis

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka peneliti, mengajukan beberapa saran, yaitu :


(33)

1. Untuk penelitian selanjutnya yang berminat untuk meneliti self-compassion, disarankan agar peneliti meneliti dengan sampel yang homogen.

2. Bagi peneliti lainnya dapat melanjutkan penelitian ini dengan menjaring informasi yang lebih dalam mengenai compassion fatigue yang dialami subjek penelitian dalam kegiatan sehari-hari.

3. Selain sampel, peneliti selanjutnya diharapkan dapat memfokuskan penelitian terkait gambaran deskriptif personality dokter agar menghasilkan hasil yang mendalam. 5.2.2 Saran Praktis

1. Memberikan informasi kepada dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek mengenai derajat compassion yang mereka miliki terlebih dokter yang memiliki self-compassion yang rendah dan dapat disarankan untuk dapat lebih membuka dirinya, menerima setiap kesalahan yang diperbuatnya dan memperbaikinya serta dapat menghibur dirinya sehingga pandangannya menjadi lebih luas terhadap masalah ataupun kegagalan agar mereka dapat menyadari bahwa setiap orang juga pernah mengalami kegagalan.

2. Memberikan informasi kepada direktur di Rumah Sakit "X" Kota Cikampek mengenai self-compassion yang dimiliki, terlebih dokter yang memiliki self-compassion rendah untuk membantu meningkatkan compassion dan mempertahankan self-compassion dengan cara memberikan dukungan dan bimbingan kepada dokter, serta mampu menjalankan fungsi pengawasan yang baik agar dapat terwujudnya tenaga-tenaga kesehatan khususnya para dokter yang kompeten dan memiliki semangat melayani masyarakat.


(34)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI SELF-COMPASSION PADA

DOKTER DI RUMAH SAKIT “X” KOTA CIKAMPEK

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

oleh:

SHYNTIA METTA NRP: 0930019

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG


(35)

(36)

(37)

KATA PENGANTAR

Pujian, hormat, dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi hikmat dan kekuatan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion Terhadap Dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk dapat menempuh sidang sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha dan diharapkan dapat membantu responden penelitian untuk kedepannya.

Dalam proses penyusunan outline penelitian ini, peneliti banyak mengalami kesulitan baik dalam persiapan maupun pelaksanaannya, namun berkat adanya bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, maka kesulitan-kesulitan tersebut dapat diatasi dengan baik. Oleh sebab itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Lie Fun Fun, M.Psi., Psikolog, selaku ketua program studi S1 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

3. Missiliana R., M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing, memberi semangat, serta memberi masukan yang sangat berharga. 4. Dra. Sianiwati S. Hidayat, M.Si., Psikolog sebagai pembimbing pendamping yang

telah memberikan masukan yang sangat berharga, arahan, dan dorongan kepada peneliti.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi peneliti.


(38)

6. Seluruh partisipan yang telah bersedia bekerja sama dan memberikan waktunya untuk sumber data penelitian.

7. Seluruh staf TU Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha yang telah membantu penyelesaian administrasi peneliti selama berkuliah di Universitas Kristen Maranatha.

8. Papa, mama dan adik-adik peneliti (Maydha Karania dan Maitri Sutta Septiana) yang telah memberikan banyak dukungan dan doa kepada peneliti selama ini.

9. Budi Setiawan, S.Kom yang meluangkan waktunya untuk menemani dan memberikan banyak perhatian, semangat, serta doa kepada peneliti selama ini.

10. Sahabat-sahabat dekat peneliti Caryn D.A, S.Psi, Hana Vetriana, S.Psi, Anita, Idha, Wiwid yang selalu memberikan semangat, memberi masukan dan memberi dukungan. 11. Teman-teman peneliti dan semua pihak yang sudah mendukung peneliti selama proses

penyusunan laporan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Peneliti juga menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti dengan senang hati menerima kritik dan saran untuk penelitian yang lebih baik lagi.

Akhir kata, peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak lain yang memerlukannya.

Bandung, Juni 2016

Peneliti


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Brown KW, Ryan RM. 2003;84. The benefits of being present: Mindfulness and its

role in psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology. :822– 848.

Cassidy, J., & Shaver, P. R. (Ed.),“Handbook of attachment, theory,research, and.

clinical application”, The Guilford press, NY, 1999.

Neff, K. D. (2003). Self-Compassion. In M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Differences in Social Behavior (pp. 561-573). New York: Guilford Press. Breines, J. G. & Chen, S (2012). Self-compassion increases self-improvement motivation.

Personality and Social Psychology Bulletin.

Hollis-Walker, L., & Colosimo, K. (2011). Mindfulness, self-compassion, and happiness in non-meditators: A theoretical and empirical examination. Personality and Individual Differences, 50, 222-227.

Neff, Kristin. 2011. Self-Compassion : Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: HarperCollins Publishers.

Neff, K. D. 2003. Self-compassion. In S. Lopez (Ed.), The Encyclopedia of Positive Psychology University of Texas at Austin. (pp. 864-867).

Neff, K. D. 2003. The Development and Validation of a Scale to Measure Self- Compassion. University of Texas at Austin, Austin, Texas, USA.

Gawande, Atul. 2008. Kinerja Seorang Dokter. Jakarta : Serambi. Sugiyono (2005). Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Penerbit Kumar, Rajit. 1999. Research Methodology. London : Sage Publications


(40)

60

DAFTAR RUJUKAN

2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi revisi III. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Pengertian dokter, tugas dan kewajiban dokter

(http://somelus.wordpress.com/2008/11/26/pengertian-dokter-dan-tugas-dokter/ ), diakses 8 Juni 2013

Mandasari. 2012. Big Five Personality. (http://11014ems.blogspot.com/2012/07/1-sejarah-teori-big-five.html)

2009. Self-compassion Scale for Researcher. (http://www.self-compassion.org), diakses pada tanggal 18 Januari 2014

2014. Missiliana R, M.Si. Psikolog. Self-Compassiondan compassion for others pada mahasiswa Fakultas Psikologi UK. Maranatha. Laporan Penelitian. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha


(1)

(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Pujian, hormat, dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi hikmat dan kekuatan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion Terhadap Dokter di Rumah Sakit “X” Kota Cikampek. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk dapat menempuh sidang sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha dan diharapkan dapat membantu responden penelitian untuk kedepannya.

Dalam proses penyusunan outline penelitian ini, peneliti banyak mengalami kesulitan baik dalam persiapan maupun pelaksanaannya, namun berkat adanya bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, maka kesulitan-kesulitan tersebut dapat diatasi dengan baik. Oleh sebab itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Lie Fun Fun, M.Psi., Psikolog, selaku ketua program studi S1 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

3. Missiliana R., M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing, memberi semangat, serta memberi masukan yang sangat berharga. 4. Dra. Sianiwati S. Hidayat, M.Si., Psikolog sebagai pembimbing pendamping yang

telah memberikan masukan yang sangat berharga, arahan, dan dorongan kepada peneliti.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi peneliti.


(4)

6. Seluruh partisipan yang telah bersedia bekerja sama dan memberikan waktunya untuk sumber data penelitian.

7. Seluruh staf TU Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha yang telah membantu penyelesaian administrasi peneliti selama berkuliah di Universitas Kristen Maranatha.

8. Papa, mama dan adik-adik peneliti (Maydha Karania dan Maitri Sutta Septiana) yang telah memberikan banyak dukungan dan doa kepada peneliti selama ini.

9. Budi Setiawan, S.Kom yang meluangkan waktunya untuk menemani dan memberikan banyak perhatian, semangat, serta doa kepada peneliti selama ini.

10. Sahabat-sahabat dekat peneliti Caryn D.A, S.Psi, Hana Vetriana, S.Psi, Anita, Idha, Wiwid yang selalu memberikan semangat, memberi masukan dan memberi dukungan. 11. Teman-teman peneliti dan semua pihak yang sudah mendukung peneliti selama proses

penyusunan laporan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Peneliti juga menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti dengan senang hati menerima kritik dan saran untuk penelitian yang lebih baik lagi.

Akhir kata, peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak lain yang memerlukannya.

Bandung, Juni 2016

Peneliti


(5)

59

DAFTAR PUSTAKA

Brown KW, Ryan RM. 2003;84. The benefits of being present: Mindfulness and its

role in psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology. :822– 848.

Cassidy, J., & Shaver, P. R. (Ed.),“Handbook of attachment, theory,research, and.

clinical application”, The Guilford press, NY, 1999.

Neff, K. D. (2003). Self-Compassion. In M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Differences in Social Behavior (pp. 561-573). New York: Guilford Press. Breines, J. G. & Chen, S (2012). Self-compassion increases self-improvement motivation.

Personality and Social Psychology Bulletin.

Hollis-Walker, L., & Colosimo, K. (2011). Mindfulness, self-compassion, and happiness in non-meditators: A theoretical and empirical examination. Personality and Individual Differences, 50, 222-227.

Neff, Kristin. 2011. Self-Compassion : Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: HarperCollins Publishers.

Neff, K. D. 2003. Self-compassion. In S. Lopez (Ed.), The Encyclopedia of Positive Psychology University of Texas at Austin. (pp. 864-867).

Neff, K. D. 2003. The Development and Validation of a Scale to Measure Self- Compassion. University of Texas at Austin, Austin, Texas, USA.

Gawande, Atul. 2008. Kinerja Seorang Dokter. Jakarta : Serambi. Sugiyono (2005). Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Penerbit Kumar, Rajit. 1999. Research Methodology. London : Sage Publications


(6)

60

DAFTAR RUJUKAN

2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi revisi III. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Pengertian dokter, tugas dan kewajiban dokter (http://somelus.wordpress.com/2008/11/26/pengertian-dokter-dan-tugas-dokter/ ), diakses 8 Juni 2013

Mandasari. 2012. Big Five Personality. (http://11014ems.blogspot.com/2012/07/1-sejarah-teori-big-five.html)

2009. Self-compassion Scale for Researcher. (http://www.self-compassion.org), diakses pada tanggal 18 Januari 2014

2014. Missiliana R, M.Si. Psikolog. Self-Compassiondan compassion for others pada mahasiswa Fakultas Psikologi UK. Maranatha. Laporan Penelitian. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha