Pengembangan Model Pendidikan Nilai Berbasis Karakter ‘Ibad Al-Rahman dalam Upaya Membina Pribadi Akhlak Karimah (Studi Kasus pada SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya).

(1)

x DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN...i

PERNYATAAN...ii

ABSTRAK...iii

KATA PENGANTAR...iv

UCAPAN TERIMA KASIH...vii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL...xiii

DAFTAR GAMBAR...xiv

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...12

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...13

D. Asumsi Penelitian ...16

E. Metode Penelitian ... 20

F. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 22

BAB II PENDIDIKAN NILAI BERBASIS KARAKTER ‘IBAD AR RAHMAN DALAM RANGKA PEMBINAAN AKHLAK KARIMAH…..…….. 24

A. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 24

B. ‘Ibad al- Rahman ... 27


(2)

xi

2. Karakter Ibad al-Rahman ……….…… 31

C. Pendidikan Akhlak...46

1. Pengertian Pendidikan Akhlak ...46

2. Tujuan Pendidikan Akhlak... 49

3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ……….………….. 56

4. Proses Pendidikan Akhlak …..………...58

5. Evaluasi Pendidikan Akhlak .………..76

D. Hakikat Pendidikan Nilai………...79

1. Nilai dalam Pendidikan ...79

2. Nilai sebagai Materi Pendidikan...80

3. Hirarki Nilai dalam Pendidikan...82

4. Pendidikan Nilai dalam Sistem Pendidikan Nasional...87

5. Hubungan Pendidikan Nilai dengan Sekolah...88

6. Sasaran Pendidikan Nilai di Sekolah...91

7. Implementasi Pendidikan Nilai di Lingkungan Sekolah...92

8. Pendidikan Nilai Berbasis Karakter Ibad al-Rahman ………..99

BAB III METODE PENELITIAN...106

A. Definisi Operasional ………..106

B. Pendekatan Penelitian……….109

1. Metode Penelitian………...109

2. Sumber dan Jenis Data...112

3. Instrumen Penelitian………... 113


(3)

xii

C. Teknik Pengumpulan Data...118

1. Teknik Observasi...118

2. Teknik Wawancara...120

3. Teknik Dokumentasi... 122

4. Teknik Studi Pustaka...122

D. Tahapan-Tahapan Penelitian...123

1. Tahap Pralapangan...…...123

2. Tahap Pekerjaan Lapangan……...123

3. Tahap Analisis dan Interpretasi Data……...125

E. Validitas, Objektifitas dan Reliabilitas Penelitian...129

1. Validitas dan Objektifitas. ...129

2. Reliabilitas... 133

G. Kisi-kisi Penelitian...134

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………135

A. Gambaran Umum SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah...135

B. Deskripsi Hasil Penelitian……….…………..…………...135

1. Visi, misi dan program kerja SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam Pengembangan Model Pendidikan Nilai Berbasis Karakter ‘Ibad al-Rahman dalam Upaya Membina Pribadi Akhlak Karimah…….………...138

2. Situasi yang diciptakan SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam Pengembangan Model Pendidikan Nilai Berbasis Karakter ‘Ibad al-Rahman dalam Upaya Membina Pribadi Akhlak Karimah ……….……….. 155


(4)

xiii

3. Proses yang dilakukan SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam Pengembangan Model Pendidikan Nilai Berbasis Karakter ‘Ibad al-Rahman dalam Upaya

Membina Pribadi Akhlak Karimah

..………159

4. Dukungan masyarakat, orang tua dan siswa SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam Pengembangan Model Pendidikan Nilai Berbasis Karakter ‘Ibad al-Rahman dalam Upaya Membina Pribadi Akhlak Karimah ………..………162

5. Hasil yang diperoleh SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam Pengembangan Model Pendidikan Nilai Berbasis Karakter ‘Ibad al-Rahman dalam Upaya Membina Pribadi Akhlak Karimah ………..………164

C. Pembahasan Hasil Penelitian………...……….166

D. Temuan dan Pengembangan Pendidikan Nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam Upaya Membina Pribadi Akhlak Karimah SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya ………. 204

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ………. 217

A. Simpulan……...……….……….. 217

B. Saran-Saran ……… .……….. .218

Daftar Pustaka……….………...220

Riwayat Hidup Penulis……….227


(5)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan seharusnya mampu mengembangkan potensi yang dibawa manusia sejak lahir secara optimal. Pandangan tersebut relevan dengan pemahaman para ahli bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah proses perubahan sosial, personal development, proses adopsi, inovasi dalam pembangunan, pendidikan harus mendahului perubahan sosial (Toha, 1996:26). Marimba (1998:19) mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sementara itu, Hayat (2007:xi) mendefinisikan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis yang dilakukan tidak hanya untuk memanusiakan manusia, tetapi juga agar manusia menyadari posisisinya sebagai khalifatullah fil ardhi, yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan dirinya untuk menjadi manusia yang bertakwa, beriman, berilmu dan beramal saleh.

Sejalan dengan konsep pendidikan yang dikemukakan para ahli di atas, Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, sikap sosial, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.


(6)

Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa pendidikan seyogyanya mampu mengembangkan ragam potensi manusia yang dibawa sejak lahir, sehingga mengalami perubahan menuju terbentuknya pribadi-pribadi yang berkarakter unggul. Dalam pandangan Islam, potensi manusia yang dibawa sejak lahir tersebut adalah fitrah (Q.S.30:30). Terkait dengan makna fitrah, Haqqi (1137, Juz 7:31) mengemukakan bahwa salah satu makna fitrah yang terkandung pada ayat tersebut adalah suatu penerimaan Tauhid dan din Islam tanpa penolakan dan pengingkaran padanya (fithratu hahunaa al-Qaabiliyatu li al-Tauhidi wa diini al-Islaami min ghoiri ibaain anhu wa inkaarin lahu).

Potensi itu sendiri tidak akan menjadi nilai tambah jika tidak diwujudkan dalam bentuk pengamalan. Pendidikan merupakan jalan untuk melakukan perubahan dan pengembangan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia sehingga ia terlahir menjadi manusia dewasa dan berbudaya. Pendidikan dimaksud dilakukan di lingkungan keluarga, di sekolah, dan di masyarakat. Ki Hajar Dewantara mengistilahkan sebagai tripusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat). Namun demikian, pendidikan di lingkungan keluargalah yang pertama kali mewarnai potensi tersebut, dan sekaligus menjadi dasar-dasar pada perkembangan pendidikan selanjutnya.

Yalzan (1988:158) berpendapat bahwa dalam kehidupan keluarga seharusnya terjadi proses identifikasi, peneladanan, pertukaran pengalaman dan sebagainya, yang pada suatu saat mungkin dapat dijadikan pedoman bagi anaknya. Horton (1993:277) berpendapat bahwa diharapkan terjadi interaksi yang


(7)

harmonis antara orang tua dengan anak disertai situasi yang penuh ketenangan dan ketentraman

Untuk mencapai tingkat keluarga yang harmonis, bahkan dapat membantu manusia dalam proses peneguhan nilai-nilai yang bersifat Rabbaniyah dan Insaniyah, dibutuhkan sarana, prasarana dan suasana religius dalam keluarga. Sarana dimaksud dapat berupa alat fisik ataupun nonfisik, seperti halnya pendidikan sekolah (Madjid, 1988:127). Di samping itu, keluarga juga membutuhkan pemahaman keagamaan yang cukup untuk mendidik anaknya, pengetahuan umum yang memadai, biaya, dan lain sebagainya.

Pasca penyerapan nilai-nilai di lingkungan keluarga, seorang anak akan berhadapan dengan lingkungan pendidikan kedua yakni pendidikan sekolah. Sebagai lembaga pendidikan kedua, sekolah harus melanjutkan dasar-dasar pendidikan yang telah dikembangkan pada lembaga pendidikan pertama dan utama. Dasar-dasar pendidikan tersebut lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter/kepribadian anak dan sedikit pengembangan kognitifnya. Oleh karena itu sesuai fungsi dan perannya, maka pendidikan sekolah harus berorientasi pada pencapaian tujuan yang mampu berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan yang bersifat fisik dan nonfisik. Hal tersebut relevan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3 yang menjelaskan bahwa:


(8)

”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Berdasarkan rumusan tersebut, bahwa tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan bersumber pada keyakinan beragama. Artinya, semua proses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ke-Tuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya. Upaya sekolah dalam memelihara dan menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan Tujuan Pendidikan Nasional tersebut dapat dilakukan dalam berbagai pendekatan. Djahiri (1992:42) mengungkapkan bahwa:

”Sekolah dapat berperan dalam membina manusia yang utuh, antara lain fungsionalisasi guru selaku tenaga profesional pada saat melakukan tugas kewenangan pokoknya, yakni sejak tugas perencanaan sampai pasca evaluasi, penampilan personal sekolah/pendidikan dan terutama guru sebagai manusia lebih berketeladanan”.

Sementara Muhaimin (2004:306-307) mengungkapkan bahwa dalam mengejawantahkan core value yang tercantum dalam rumusan tujuan pendidikan nasional di atas, dibutuhkan suasana religius (Religius Athmosphere) di lingkungan sekolah. Terkait dengan hal tersebut, terdapat empat model penciptaan suasana religius di sekolah yaitu:

1. Model Struktural, penciptaan suasana religius yang disemangati oleh adanya peraturan-peraturan, pembangunan kesan, baik dari dunia luar


(9)

atas kepemimpinan atau kebijakan suatu lembaga pendidikan atau suatu organisasi. Sifatnya prakarsa atau instruksi pimpinan.

2. Model Formal yaitu penciptaan suasana religius yang didasari atas pemahaman bahwa pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-masalah kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja, sehingga pendidikan agama dihadapkan pada pendidikan non keagamaan. Sifatnya normatif, doktriner dan absolutis.

3. Model Mekanik yaitu penciptaan suasana religius yang didasari oleh pemahaman bahwa kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinnya.

4. Model Organik yaitu penciptaan suasana religius yang disemangati oleh adanya pandangan bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau sebagai sistem yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat agamis yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang religius.

Borba (2008:vii) yang mengutip ungkapan Aristoteles, bahwa manusia tidak menjadi bermoral dan bijak dengan sendirinya. Kalaupun akhirnya mereka bermoral dan bijak, itu berkat usaha sepanjang hidup yang dilakukan mereka sendiri dan masyarakat. Lebih lanjut Borba (2008:13) berpendapat bahwa:

“Sebagai orang tua dan guru, kita tidak bisa hanya duduk dan berharap agar anak-anak menjadi manusia yang penyayang dan baik hati. Terlalu banyak pengaruh lingkungan yang berbahaya bagi perkembangan moral anak. Namun, ada jalan keluar bagi kekhawatiran kita tersebut, yaitu apa


(10)

yang dikatakan peneliti: kita bisa mengubah anak kita karena tujuh kebajikan utama yang membangun kecerdasan moral itu bisa dipelajari-dan kita bisa mengajarkannya. Mengajarkan kebajikan tersebut secara terus menerus baik di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat kita merupakan cara terbaik membimbing anak menjadi baik dan bermoral”. Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, banyak hal yang dapat dilakukan para pendidik untuk menanamkan nilai-nilai kepada para peserta didiknya. Nilai-nilai tersebut baik yang bersifat Rabbaniyah maupun Insaniyah. Nilai-nilai Rabbaniyah merupakan substansi jiwa ke-Tuhan-an berupa inti keagamaan yang sangat mendasar dan harus ditanamkan pada seorang manusia, nilai tersebut meliputi iman, islam, ihsan, takwa, ikhlas, tawakal, syukur dan sabar. Sedangkan nilai-nilai insaniyah yaitu wujud nyata substansi jiwa ke-Tuhan-an dalam tingkah laku dke-Tuhan-an budi pekerti seseorke-Tuhan-ang sehari-hari, nilai tersebut meliputi silaturahmi, persaudaraan, persamaan, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat dan dermawan. (Madjid, 1998:130-136). Linda dan Eyre (1995:xxvii) mengemukakan terdapat dua nilai yaitu nilai-nilai nurani yang meliputi kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, disiplin diri dan kemurnian, Kedua nilai-nilai memberi yang meliputi: setia, hormat, cinta kasih, peka, baik hati dan adil.

Upaya-upaya pengembangan nilai-nilai religius di lingkungan sekolah tersebut tentu saja tidak terlepas dari perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang menggiring kepada proses globalisasi. Hal tersebut tentunya mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk para remaja usia sekolah. Dampak perkembangan IPTEK dan globalisasi tersebut bisa positif


(11)

maupun negatif. Salah satu pengaruh positifnya antara lain dikemukakan oleh Azra (1999:45) bahwa:

“Globalisasi mendorong terbukanya peluang-peluang strategis bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Globalisasi bidang ekonomi misalnya telah memungkinkan terjadinya perkembangan dan kemajuan signifikan dalam kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia, pada gilirannya mendorong peningkatan intensitas tertentu dalam kehidupan keberagamaan”.

Sementara Arifin (1995:8) mengemukakan bahwa:

“Perkembangan sains dan teknologi canggih sekarang lebih bersifat fasilitatif (memudahkan), kehidupan manusia yang hidup sehari-hari dengan berbagai problema yang semakin mengemelut. Teknologi menawarkan berbagai macam kesantaian dan kesenangan yang semakin bineka, memasuki ruang-ruang dan celah-celah kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga dengan kemajuan teknologi dapat memberikan andil terhadap sejumlah prestasi tertentu yang diraih sebagian peserta didik di sekolah-sekolah tertentu”

Sebagai contoh, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Tasikmalaya menjuarai Lomba Cerdas Cermat UUD 45 setelah mengalahkan SMAN 2 Bogor dan SMKN 1 Sukabumi pada tanggal 31 Januari 2008 di Bandung. (PR. 2 Pebruari 2008, hal 6). Prestasi lain yang membanggakan diperoleh peserta didik SMA Pribadi Kodya Bandung yang memenangkan Emas International Young Inventors Project Olympiade di Georgia tanggal 13 Maret 2008. Prestasi itu diperoleh atas karya Pendeteksi Tsunami Murah dengan harga murah sebesar Rp 120.000,00. (PR. 14 Maret 2008 hal 1). Demikian juga dua peserta didik SMA Pribadi Kodya Bandung yaitu Hilmy Ibrahim dan Dimas Purbawisnu yang berhasil menciptakan kursi roda eklektrik murah dan meraih juara pertama pada acara International Industrial Design Competition (IIDC) di Turki tahun 2007. (PR. 31 Maret 2008, 18).


(12)

Di sisi lain, pengaruh negatif globalisasi dewasa ini sulit dihindarkan oleh bangsa Indonesia, terlebih para remaja (peserta didik SMA) yang belum matang (masa transisi) menjadi lebih rapuh dan mudah terkontaminasi oleh budaya-budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Selain masa transisi tersebut, lebih lanjut Hurlock (1994:207-209) mengemukakan ciri-ciri masa remaja; periode penting, periode perubahan, periode bermasalah, periode mencari identitas, periode yang menimbulkan ketakutan, periode tidak realistik, dan periode ambang dewasa. Pendapat senada dikemukakan Elposito (1986:87) bahwa faktor lain yang menimbulkan problema eksternal bagi kehidupan pergaulan remaja adalah gejala tumbuhnya modernisasi dan teknologi yang seringkali diterima keliru oleh para remaja. Modernisasi yang sebenarnya dimaksudkan sebagai upaya pembaharuan cara berfikir dan bertindak berdasarkan ilmu pengetahuan, kadang-kadang ditafsirkan dengan sekulerisasi dan westernisasi.

Arifin (1995:8) berpendapat bahwa dampak-dampak negatif teknologi modern telah mulai menampakkan diri di depan mata kita, yang pada prinsipnya berkekuatan melemahkan daya mental-spiritual/jiwa yang sedang tumbuh dan berkembang dalam berbagai bentuk dan penampilannya. Kondisi inilah salah satunya yang mengakibatkan terjadinya berbagai penyimpangan para remaja yang berkisar usia 13 sampai dengan 21 akhir (Daradjat, 1986:10).

Penyimpangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh derasnya tayangan-tayangan di layar kaca, sehingga masyarakat (termasuk peserta didik SMA) dapat menikmati sajian-sajian hiburan dari mulai adegan percintaan, pemerkosaaan,


(13)

pembunuhan, perampokan, fornografi, minuman keras, penjualan narkotika, mistik yang dapat merusak aqidah masyarakat dan lain sebagainya. Borba (2008:5) mengemukakan bahwa tantangan semakin besar kerana pengaruh buruk muncul dari berbagai sumber yang mudah didapat anak-anak. TV, film, video permainan, musik pop, dan iklan memberikan pengaruh terburuk bagi moral mereka karena menyodorkan sinisme, pelecehan, materialisme, seks bebas, kekasaran dan pengagungan kekerasan. Adegan-adegan tersebut, tidak mustahil dilakukan oleh kalangan masyarakat terutama para remaja.

Sebagi contoh menurut Anwar (PR, 1 Nopember 2007, hal 20), kecenderungan para pelajar melakukan kekerasan melalui kegiatan geng motor karena mengadopsi perilaku anak muda AS yang terlibat dalam kelompok Delinguent Gang, Hate Gang, dan Stanic Gang (Pemuja Setan). Data lain menyebutkan bahwa enam anggota geng motor Bandung dituntut 10 bulan penjara oleh JPU di Sidang Anak Pengadilan Negeri Bandung, Senin, 14 Januari 2008. Keenam anggota geng tersebut seluruhnya berstatus pelajar SMA di kota Bandung. (PR, 15 Januari 2008, hal 18). Selain itu, menurut catatan kepolisian bahwa sepanjang tahun 2007 telah terjadi sembilan kasus geng motor yang sebagian besar dilakukan oleh kalangan pelajar di Bandung. (PR, 29 Oktober 2007, hal 22).

Data lain yang cukup mengkhawatirkan adalah sebanyak 1.1 juta korban narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahapeserta didik dengan prevalensi 3.9 %. Artinya 4 dari 100 orang penyalah guna narkoba adalah pelajar atau mahapeserta didik. Sementara di Jabar tahun lalu mencapai 600.000 orang.


(14)

(PR. 14 Maret 2008, hal 22). Bahkan data lain, yang sangat mencengangkan bahwa sebanyak 8845 peserta didik SD di Jakarta pakai narkoba. (Pos Metro, 22 Maret 2008 hal:4). Hal yang sama terjadi di AS bahwa penggunaan alkohol dan narkoba meningkat pada anak-anak dan remaja; studi terbaru menunjukkan 22 % murid kelas V SD setidaknya pernah mabuk satu kali dan rata-rata remaja mulai menggunakan mariyuana pada usia 12 tahun, (Borba, 2008:2).

Berdasarkan deskripsi di atas, terdapat dua sisi yang berbeda pada fenomena yang terjadi pada sebagian peserta didik SMA. Satu sisi ada sebagian peserta didik yang memiliki prestasi luar biasa, sudah barang tentu keberhasilan tersebut melalui proses pembinaan yang optimal semua pihak. Namun di sisi lain, ada juga sebagian peserta didik yang melakukan berbagai penyimpangan perilaku. Hal ini tentu saja tidak berarti pada sekolah tersebut tidak melakukan pembinaan, akan tetapi ada faktor lain yang mempengaruhi perilaku penyimpangan mereka. Faktor tersebut bisa bersifat internal maupun eksternal.

Oleh karena itu, maka pada beberapa sekolah diadakan berbagai kegiatan untuk mengantisipasi timbulnya perilaku-perilaku yang kurang baik sebagai dampak pengaruh globalisasi yang semakin sulit dibendung. Diantaranya di SMA Muthahari muncul istilah SC (Spiritual Camp) yang mencoba mengajarkan nilai-nilai agama dan budi pekerti secara praktik dalam bentuk kegiatan camp. (PR. 14 Pebruari 2008, hal 22).

SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya sebagai bagian integral dari civitas pendidikan yang diamanahi untuk mengembangkan potensi generasi muda bangsa, mencoba memadukan kegiatan-kegiatan


(15)

pendidikan secara formal dengan pendidikan pola pesantren, adapun tujuan jangka panjang yang diharapkannya adalah dapat membentuk generasi bangsa yang berakhlak karimah. Salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui penyusunan dan penerapan tata tertib di lingkungan kampus secara konsisten. Sejak pukul 03.00 shalat sunat Tahajud hingga pukul 22.00 (Lihat tata tertib santri). Melalui penerapan tata tertib tersebut secara konsisten, SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya telah menghasilkan para peserta didik yang memiliki kemampuan daya saing memadai. Antara lain kemampuan berbahasa Arab dan Inggris sebagai bagian pola pendidikan berbasis pesantren. Selain itu, ada sebagian alumninya yang mampu menembus Perguruan Tingi favorit di dalam dan luar negeri. Seperti ITB, UI, UGM bahkan di Universitas Kebangsaan Malaysia.

Dari sisi akhlaknya, berdasarkan pengamatan sepanjang studi pedahuluan diketahui bahwa para peserta didik SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya memperlihatkan akhlak karimah, walaupun masih ada sebagian kecil peserta didik yang terkadang berlaku kurang terpuji, seperti memakan makanan melebihi jatah yang ada. Namun demikian, bagi peserta didik yang melakukan pelanggaran tata tertib tersebut langsung mendapat hukuman yang setimpal.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis terhadap proses pendidikan di SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya serta beberapa kajian teoretis yang terkait dengan fenomena pendidikan nilai, penulis merasa penting dan tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang model pengembangan nilai dalam upaya pembinaan pribadi akhlak karimah yang


(16)

dilaksanakan di SMA Plus Pesantren Amanah Tasikmalaya. Dengan demikian, fokus permasalahan penelitian tersebut menjadi pijakan dan dasar pengembangan dalam penelitian dengan judul “Model Pendidikan Nilai Berbasis Karakter ‘Ibad al-Rahman dalam Upaya Membina Pribadi Akhlak Karimah (Studi Kasus di SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya)”.

B. Rumusan Masalah

Beradasarkan deskripsi latar belakang dan fokus masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana rumusan visi, misi dan program kerja SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam pengembangan model pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya membina pribadi akhlak karimah ?

2. Situasi apa yang diciptakan SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam pengembangan model pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya membina pribadi akhlak karimah? 3. Proses apa yang dilaksanakan SMA Plus Pesantren Amanah

Muhammadiyah Tasikmalaya dalam pengembangan model pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya membina pribadi akhlak karimah?

4. Bagaimana dukungan masyarakat, orang tua dan peserta didik SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam pengembangan model pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya membina pribadi akhlak karimah ?


(17)

5. Bagaimana evaluasi yang dilakukan SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam pengembangan model pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya membina pribadi akhlak karimah ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Produk akhir penelitian ini adalah tersusunnya model pengembangan operasional tentang pendidikan nilai ‘Ibad al-Rahman dalam upaya pembinaan pribadi akhlak karimah. Secara lebih rinci tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis:

a. Rumusan visi, misi dan program kerja SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam pengembangan model pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya membina pribadi akhlak karimah.

b. Situasi yang diciptakan SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam pengembangan model pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya membina pribadi akhlak karimah. c. Proses yang dilaksanakan SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah

Tasikmalaya dalam pengembangan model pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya membina pribadi akhlak karimah. d. Dukungan masyarakat, orang tua dan peserta didik SMA Plus Pesantren


(18)

pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya membina pribadi akhlak karimah.

e. Evaluasi yang dilakukan SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam pengembangan model pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya membina pribadi akhlak karimah. 2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis dan praktis bagi dunia pendidikan dalam membina dan mengembangkan akhlak peserta didik, khususnya pada jenjang SMA. Secara rinci penelitian ini diharapkan bermanfaat:

a. Manfaat Teoretik

Pengkajian konsep ataupun hasil-hasil setiap penelitian di lapangan diharapkan dapat mengembangkan bahan-bahan pemikiran untuk keperluan teoretik ataupun praktis. Adapun manfaat teoretik hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan yang dapat memperkaya pemahaman pendidikan umum.

Berkaitan dengan aspek-aspek pendidikan umum di atas, dewasa ini diperlukan suatu model yang cukup memadai mengenai pengembangan pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya pembinaan pribadi akhlak karimah di lingkungan sekolah. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembentukan model pengembangan pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya pembinaan pribadi akhlak karimah di sekolah.


(19)

b. Manfaat Praktis

1. Secara khusus dapat memberikan gambaran tentang kondisi objektif pengembangan pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman dalam upaya pembinaan pribadi akhlak karimah di lingkungan sekolah. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi rujukan para praktis pendidikan dalam melakukan pembinaan akhlak peserta didik.

2. Dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi para pelaku pendidikan di sekolah dalam mengoptimalkan peran dan fungsinya sebagai pengembangan pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman menuju terbentuknya generasi anak bangsa yang berakhlak karimah. Pengembangan nilai-nilai ‘Ibad al-Rahman tersebut diharapkan dapat tercapai sesuai dengan tujuan hakiki dari pendidikan umum.

3. Sebagai rujukan esensial bagi program pengembangan pendidikan umum yang dapat dilaksanakan semaksimal mungkin oleh lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan sekolah ataupun pendidikan luar sekolah.

4. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para stakeholder pendidikan, khususnya pemegang kebijakan dalam merumuskan program yang lebih tepat demi optimalnya proses pencapaian tujuan pendidikan nasional. 5. Dapat dijadikan penelitian awal dan rujukan ilmiah untuk

mengembangkan model pengembangan nilai di sekolah yang lebih komprehensif dan aplikabel.


(20)

D. Asumsi Penelitian

Masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, kenyataannya merupakan ciri yang umum dari periode perkembangan ini (Hurlock, 1994:206).

Nawawi (1993:168-171) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa pubertas yang memiliki ciri-ciri antara lain ada kecenderungan masa bersifat introverts, kecenderungan untuk lepas dari ketergantungan kepada orang lain, adanya pertumbuhan biologis yang sangat cepat, pertumbuhan rasa sosial. Hasyim (1985:117) menyebutkan bahwa kehidupan remaja memiliki ciri-ciri antara lain perasaan seksual semakin merangsang, kecenderungan mementingkan diri sendiri, cita-cita yang bergelora, berpikir kritis, masa penemuan diri, dan bisa dikatakan masa ini masa transisi. Arifin (1995:215-216) menyebutkan bahwa di samping ciri-ciri seperti yang dikemukakan para ahli di atas, ia menambahkan bahwa pada masa remaja ada kecenderungan meragukan kebenaran agama (ongeloef).

Kondisi remaja tersebut, memerlukan pendidikan yang dapat memberikan tuntutan yang cukup memadai, khususnya dari lembaga pendidikan tempat remaja mengembangkan potensi dirinya. Dalam hal ini, baik pendidikan keluarga yang merupakan basis pertama dan utama dalam kehidupan remaja, maupun lembaga


(21)

pendidikan formal/sekolah sebagai lembaga pendidikan kedua. Pendidikan dimaksud adalah proses internalisasi nilai-nilai kepribadian yang dapat dijadikan pegangan pada kehidupan pribadinya di kemudian hari.

Terkait dengan tuntutan yang dihadapi lingkungan pendidikan, Curtis dan Bidwell (1976:6) berpendapat bahwa tuntutan pendidikan di sekolah dasar dan menengah mencakup pengembangan hal-hal sebagai berikut:

1. Dari ketergantungan (dependence) ke arah kemandirian (independence) dalam semua area,

2. Sistem nilai untuk kehidupan masa mendatang, 3. Orientasi proses,

4. Evaluasi diri secara individual (Individual Self-evaluation), 5. Berbagai alternatif tujuan individu,

6. Struktur konten dasar sebagai persiapan untuk kehidupan dewasa, dan 7. Konten terstruktur untuk peningkatan pengetahuan kognitif.

Madjid (1997:128) berpendapat bahwa pada lingkungan keluarga, dituntut untuk dikembangkan dua dimensi hidup, yaitu penanaman rasa takwa kepada Allah (Rabbaniyah) dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama (Insaniyah). Sementara itu untuk melanjutkan pembentukan nilai-nilai kepribadian yang telah dilakukan keluarga, seyogyanya dilanjutkan oleh lembaga pendidikan sekolah. Menurut, Tafsir (2001:16) ada tiga strategi dalam rangka pengembangan rasa keimanan yang dapat diterapkan sekolah, yaitu: 1) Penciptaan suasana sekolah yang agamis; 2) Pengintegrasian konsep agama


(22)

dengan konsep ilmu dan 3) Kerjasama sekolah dengan orang tua dan masyarakat.

Dalam menciptakan suasana religius di sekolah, Bafadal (27 Agustus 1999) berpendapat sebagai berikut:

1. Menyediakan dan memfungsikan sarana dan prasarana peribadatan sekolah, seperti mesjid, mushala, dan ruang praktek ibadah berikut alat pendukungnya.

2. Merancang dan memberlakukan tata tertib di sekolah yang bermuatan keagamaan, seperti mengucapkan doa sebelum dan sesudah belajar, memberi salam kepada para pembina dan sesama teman setiap bertemu, menghargai dan hormat kepada kepala sekolah, guru, administrator dll. Serta pemberian sanksi bagi sikap yang kurang sopan dan bagi pelanggar tata tertib.

3. Mengoptimalkan kegiatan ekstra keagamaan dalam berbagai bentuk yang menyenangkan dan sekaligus menumbuhkan sikap keberagamaan peserta didik.

4. Mengembangkan media keagamaan, seperti majalah, buletin, leaflet serta newsletter keagamaan, kaligrafi, lukisan bernuansa keagamaan, buku-buku, modul serta fasilitas pendukung lainnya.

5. Memberikan tugas keagamaan kepada peserta didik mengenai praktek keagamaan di luar jam-jam pendidikan agama.

6. Menciptakan kebersamaan di antara sesama komponen sekolah untuk mendukung semua program-program pendidikan agama di sekolah.


(23)

Berdasarkan langkah-langkah dan strategi di atas, dimungkinkan dapat memudahkan pencapaian pembentukan pribadi peserta didik yang beriman, dalam arti membenarkan dengan kalbu dan menerima konsekuensi dari keyakinan itu, sehingga dirinya merasa aman dan tentram. Dengan kata lain, iman bukan sekedar perbuatan qalbu, akan tetapi terwujudkan dalam perilaku (Dahlan, 1992:74). Dalam konsep Henry (1952:73) karakteristik pribadi seperti itu relevan dengan tujuan pendidikan umum yang salah satunya adalah ’..., To develop an improve moral character...’ (mengembangkan dan meningkatkan karakter moral). Sementara Tafsir (2008:87) berpendapat bahwa seorang pribadi yang memiliki akhlak mulia tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Jujur (Q.S al-Zumar:33), Adil (Q.S al-Maidah:8), Amanah (Q.S al-Baqarah:283), Melakukan perbuatan merasa dilihat Allah (Q.S Ali- Imran : 172), Pemaaf (Q.S al- al-Baqarah:237), Menepati janji (Q.S Ali- Imran : 76), Sabar (Q.S Ali- Imran : 200), Penyantun (Q.S al-Layl:5-7).

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka model awal yang akan dikembangkan dalam penelitian ini tergambar dalam bagan sebagai berikut:


(24)

Penataan 1. Ruang/Fisik

2. Psikologis emosional 3. Sosial

Gambar 1.1

Model Awal Pendidikan Nilai Berbasis Karakter ‘Ibad al-Rahman

Berdasarkan gambar 1.1 di atas tampak bahwa peserta didik sebagai input proses pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibadar Rahman menjadi objek utama dari model yang dikembangkan. Proses pengembangan nilai tersebut melibatkan seluruh warga sekolah. Adapun pengembangan nilai tersebut dilakukan melalui penataan ruang/fisik, psikologi/emosional dan sosial dengan pribadi akhlak karimah sebagai output yang diharapkan terbentuk dari proses pengembangan nilai ‘Ibad al-Rahman tersebut.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif atau pendekatan naturalistik. Pendekatan ini pada hakekatnya mengacu pada kondisi lingkungan yang alamiah (natural). Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai human instrumen secara menyeluruh dan menyesuaikan diri ke dalam situasi yang wajar sesuai dengan lingkungan yang dimasuki. Pendekatan ini dipandang sangat cocok

Model Pendidikan Nilai Berbasis

‘Ibad al-Rahman

Seluruh Warga Sekolah

Pribadi Akhlak Karimah Peserta didik


(25)

dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pengambilan pendekatan ini didasari oleh alasan bahwa data tentang gejala-gejala yang akan diperoleh dari lapangan lebih banyak menyangkut perbuatan dan kata-kata responden dan sedapat mungkin tidak dipengaruhi unsur-unsur dari luar. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (1993:3) berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis dan lisan serta perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan variasi studi kasus. Alasan pemilihan metode ini adalah memusatkan diri pada pemecahan pada masalah-masalah masa sekarang, pada masalah-masalah aktual dan data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa. Oleh sebab itu, metode ini sering pula disebut metode analitik (Surahmad, 1989:140).

Sukmadinata (2008:72) mengungkapkan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling mendasar dan ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia. Metode deskriptif analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian, memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, dan lebih jauh menerangkan hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan. Oleh karena metode yang digunakannya metode deskriptif, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan hipotesis yang dirumuskan sejak awal,


(26)

melainkan hipotesis kerja mencuat, terumuskan dan mengembang seiring dengan proses penelitian. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Arikunto (1998:245) bahwa pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis.

Studi kasus umumnya menghasilkan gambaran yang longitudinal yakni hasil pengumpulan dan analisa kasus dalam satu jangka waktu. Kasus dapat terbatas pada satu orang, satu lembaga, satu peristiwa ataupun satu kelompok manusia dan kelompok objek lain-lain yang cukup terbatas, yang dipandang sebagai satu kesatuan. Sesuai dengan kekhasannya, bahwa pendekatan studi kasus dilakukan pada objek yang terbatas. Maka persoalan pemilihan sampel yang menggunakan pendekatan tersebut tidak sama dengan persoalan yang dihadapi oleh penelitian kuantitatif. Sebagai implikasinya, penelitian yang menggunakan pendekatan studi kasus hasilnya tidak dapat digeneralisasikan, dengan kata lain hanya berlaku pada kasus itu saja.

F. Lokasi dan Subyek Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di SMA Plus Pesantren Amanah Tasikmalaya yang beralamat di Jl. Sambong Jaya No 50 Kelurahan Sambong Jaya Kecamatan Mangkubumi Kota Tasikmalaya Telp. 0265-337014, Fax 0265-340349 Kode Pos 46181. Sedangkan subyek penelitianya adalah warga sekolah yang terdiri atas Kepala Sekolah, Pimpinan Pesantren, Komite Sekolah, Guru, Tata Usaha, Peserta didik, dan masyarakat sekitar kampus.

Adapun alasan penulis menetapkan SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya sebagai objek penelitian diantaranya dikarenakan


(27)

SMA tersebut sudah memiliki model pendidikan nilai yang dapat dijadikan pijakan pengembangan dengan menegaskan karakter ‘Ibad al-Rahman sebagai core value. Selain itu, kedudukannya sebagai sekolah modern yang terpadu di bawah naungan Ormas Muhammadiyah juga menjadi pertimbangan lain. Hal tersebut dikarenakan Muhammadiyah sebagai Ormas Islam, sudah memiliki model pendidikan yang khas sebagaimana sudah dikembangkan sejak KH. Ahmad Dahlan menyelenggarakan sekolah secara sederhana di rumahnya (Kauman), dengan memperkenalkan model pendidikan terpadu yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.


(28)

106 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul penelitian, terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan antara lain:

1. Model, adalah contoh, teladan, acuan, pola. (Echols, 1994:384). Adapun Model menurut Kaplan (1964:258) adalah something eminently worthy of imitation, an exemplar or ideal, yang artinya sesuatu yang ideal dan sangat wajar untuk ditiru. Sementara menurut Joyce dan Weil (Umar, 2006:18) mengemukakan bahwa model pada hakekatnya adalah rencana atau pola yang dapat digunakan dalam kegiatan tertentu. Adapun yang dimaksud model dalam penelitian ini adalah acuan atau pola yang dilakukan SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah dalam mengembangkan pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman sebagai upaya pembinaan pribadi akhlak karimah

2. Pengembangan (Development), yaitu hal, cara atau hasil kerja mengembangkan (Echols, 1994:179). Yang dimaksud pengembangan dalam penelitian adalah upaya merekonstruksi atau menyempurnakan model hasil penelitian empiris yang dipadukan dengan hasil kajian teoretis dan pemikiran peneliti sehingga melahirkan alternatif model baru yang dapat menjadi rujukan para praktisi pendidikan.

3. ‘Ibad al-Rahman, menurut Ismail Al-Buruswy (1137, Juz 19:240) adalah hamba yang tidak mengagung-agungkan dunia, syetan dan hawa nafsu.


(29)

107 Adapun Al-Maraghi (tt. Juz 19:36) adalah hamba Allah yang berhak menerima balasan pahala. Sedangkan menurut al-Rakhily (tt, Juz 19:105) adalah hamba Allah yang mukhlis, berjiwa rabbani yang akan memperoleh pembalasan yang baik dari Allah. Adapun sifat-sifat yang dimiliki ‘Ibad al-Rahman sebagai berikut:

1. Orang-orang yang senantiasa berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, rendah hati serta penuh wibawa.

2. Orang-orang yang bila disapa oleh orang-orang jahil mereka meninggalkan tempat menuju ke tempat lain dimana mereka tidak berinteraksi dengan sang jahil itu.

3. Orang-orang yang senantiasa ketika memasuki malam hari beribadah secara tulus demi untuk Tuhan Pemelihara mereka tanpa pamrih – dalam keadaan sujud dan berdiri yakni shalat.

4. Orang-orang yang apabila bernafkah yakni membelanjakan harta mereka, baik untuk dirinya, maupun untuk keluarga atau orang lain mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah ia yakni pembelanjaan mereka pertengahan antara keduanya.

5. Orang-orang yang memurnikan Tauhid, yang tidak menyembah dan bermohon kepada tuhan yang lain bersama Allah baik secara terang-terangan dalam bentuk menyekutukan-Nya maupun dalam bentuk tersembunyi dalam bentuk pamrih dan tidak tulus kepada-Nya,


(30)

108 6. Tidak melakukan penganiayaan yang berupa pembunuhan dengan mencabut jiwa manusia. Mereka tidak membunuh jiwa manusia yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan haq yakni sebab yang dibenarkan Allah, misalnya dalam bentuk membela nyawa, qishash atau peperangan menegakkan kebenaran, dan tidak berzina.

7. Tidak membunuh secara moral dengan melakukan perzinahan dan pelecehan seksual tetapi mereka mencukupkan diri dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui pernikahan yang sah semata-mata.

8. Orang-orang yang telah bertobat yakni menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya serta bermohon ampun kepada Allah, dan telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang benar dan tulus serta telah mengamalkan amal saleh yang sempurna.

9. Selalu menjaga identitas diri serta kehormatan lingkungannya dengan tidak melakukan sumpah palsu. Orang-orang yang tidak bersaksi palsu apapun akibatnya. Serta tidak menanggapi perkataan atau perbuatan yang tidak wajar.

10. Hati mereka selalu terbuka, siap menerima peringatan atau kritik yang membangun. Mereka tidak seperti orang-orang yang gelisah ketika mendengar ayat-ayat Allah dan berpaling darinya. Tidak


(31)

109 juga menolak saran atau kritik yang membangun. Shihab (2002:525-544)

4. Pribadi akhlak karimah adalah akhlak peserta didik setelah mengikuti proses pengembangan nilai-nilai ‘Ibad al-Rahman di SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya. Adapun yang dimaksud dengan judul “ Model Pengembangan Pendidikan Nilai Berbasis Karakter ‘Ibad al-Rahman dalam Upaya Pembinaan Pribadi Akhlak karimah” adalah segala upaya/kegiatan, baik bersifat fisik ataupun psikis yang dilakukan oleh SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya dalam rangka mengembangkan pendidikan nilai yang berbasis pada karakter utama ‘Ibad al-Rahman yang disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Furqan ayat 63-77sebagai upaya pembinaan pribadi akhlak karimah.

B. Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif atau pendekatan naturalistik. Pendekatan ini disebut juga mode of inquiry qualitative interactive, yaitu studi yang mendalam dengan menggunakan teknik pengumpulan data langsung dari orang dalam lingkungan alamiahnya (Sukmadinata, 2008:61). Pendekatan ini pada hakekatnya mengacu pada kondisi lingkungan yang alamiah (natural). Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai human instrument secara menyeluruh dan menyesuaikan diri ke dalam situasi yang wajar sesuai dengan lingkungan yang dimasuki.


(32)

110 Pendekatan ini dipandang sangat cocok dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pengambilan pendekatan ini didasari oleh alasan bahwa data tentang gejala-gejala yang akan diperoleh dari lapangan lebih banyak menyangkut perbuatan dan kata-kata responden dan sedapat mungkin tidak dipengaruhi unsur-unsur dari luar. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (1993:3) berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis dan lisan serta perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri.

Pendekatan kualitatif interaktif sengaja dipilih karena penulis menganggap bahwa karakteristiknya sangat cocok dengan masalah yang menjadi fokus penelitian. Alwasilah (2006:104-107) sejalan dengan pemikiran Guba dan Lincoln mengungkapkan bahwa terdapat 14 karakteristik pendekatan kualitatif yaitu: Latar alamiah, manusia sebagai instrumen, pemanfaatan pengetahuan non-proporsional, metode-metode kualitatif, sampel purposif, analisis data secara induktif, teori dilandaskan pada data di lapangan, desain penelitian mencuat secara alamiah, hasil penelitian berdasarkan negosiasi, cara pelaporan kasus, interpretasi idiografik, aplikasi tentatif, batas penelitian ditentukan fokus dan keterpercayaan dengan kriteria khusus.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan variasi studi kasus. Alasan pemilihan metode ini adalah memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah masa sekarang, aktual dan data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa.


(33)

111 Oleh sebab itu, metode ini sering pula disebut metode analitik (Surahmad, 1988:140).

Terkait dengan metode deskriptif, Sukmadinata (2008:72) mengungkapkan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling mendasar dan ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia. Metode deskriptif analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian, memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, dan lebih jauh menerangkan hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang diinginkan. Oleh karena metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan variasi metode studi kasus, maka dalam penelitian ini tidak menggunakan hipotesis yang dirumuskan di awal untuk diuji kebenarannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (1998:245) bahwa pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis. Kalaupun dalam perjalannnya terdapat hipotesis, ia mencuat sebagai bagian dari upaya untuk membangun dan mengembangkan teori berdasarkan data lapangan (grounded theory).

Studi kasus umumnya menghasilkan gambaran yang longitudinal yakni hasil pengumpulan dan analisis kasus dalam satu jangka waktu. Kasus dapat terbatas pada satu orang, satu lembaga, satu peristiwa ataupun satu kelompok manusia dan kelompok objek lain-lain yang cukup terbatas, yang dipandang sebagai satu kesatuan. Sesuai dengan kekhasannya, bahwa pendekatan studi kasus dilakukan pada objek yang terbatas. Maka persoalan pemilihan sampel yang


(34)

112 menggunakan pendekatan tersebut tidak sama dengan persoalan yang dihadapi oleh penelitian kuantitatif. Sebagai implikasinya, penelitian yang menggunakan pendekatan studi kasus hasilnya tidak dapat digeneralisasikan, dengan kata lain hanya berlaku pada kasus itu saja.

2. Sumber dan Jenis Data

Kata-kata dan tindakan yang dilakukan oleh warga SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah yang menjadi subjek penelitian menjadi sumber data utama dalam konteks penelitian ini. Selain itu, dimanfaatkan pula berbagai dokumen resmi yang mendukung seperti AD/ART Yayasan, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perangkat pembelajaran guru (silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran), tata tertib santri, buku sumber, data base peserta didikdan profile sekolah. Hal tersebut merujuk kepada ungkapan Moleong (1993:112) yang mengutip pemikiran Lofland dan Lofland bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, dan lain-lain. Sumber data yang diperlukan dapat diklasifikasikan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari subyek penelitian yaitu warga sekolah yang terdiri atas Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Guru, Tata Usaha, Siswa, dan Masyarakat sekitar kampus Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen resmi maupun tidak resmi yang berhubungan dengan materi penelitian dan mendukung data primer.

Pencatatan sumber data utama melalui wawancara dan pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha gabungan peneliti dari kegiatan melihat,


(35)

113 mendengar, dan bertanya terhadap subyek penelitian di SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah. Hal tersebut dilakukan secara sadar dan terarah karena memang direncanakan oleh peneliti. Terarah karena memang dari berbagai macam informasi yang tersedia tidak seluruhnya akan digali oleh peneliti. Bertujuan karena peneliti memiliki seperangkat tujuan penelitian yang diharapkan dicapai untuk memecahkan sejumlah masalah penelitian.

3. Instrumen Penelitian

Instrumen utama (key instrument) dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri, peneliti langsung menjadi pengamat dan pembaca situasi pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman yang berlangsung di SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah. Peneliti sebagai pengamat dimaksudkan bahwa peneliti tidak sekedar melihat berbagai peristiwa dalam situasi pendidikan, melainkan memberikan interpretasi terhadap situasi tersebut. Sebagai pengamat, peneliti berperanserta dalam kehidupan sehari-hari subjek penelitian pada setiap situasi yang diinginkan untuk dapat dipahami. Sedangkan yang dimaksud peneliti sebagai pembaca situasi adalah peneliti melakukan analisa terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dalam situasi tersebut, selanjutnya menyimpulkan sehingga dapat digali maknanya.

Guba dan Lincoln (Moleong, 1993:121-125) mengungkapkan bahwa ciri-ciri manusia sebagai instrumen mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Responsif. Manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan. Sebagai manusia ia bersifat interaktif terhadap orang dan lingkungannya. Ia


(36)

114 tidak hanya responsif terhadap tanda-tanda, tetapi ia juga menyediakan tanda-tanda kepada orang-orang. Tanda-tanda yang diberikannya biasanya dimaksudkan untuk secara sadar berinteraksi dengan konteks yang ia berusaha memahaminya. Ia responsif karena ia berusaha memahaminya. Ia responsif karena menyadari perlunya merasakan dimensi-dimensi konteks dan berusaha agar dimensi-dimensi itu menjadi ekplisit.

b. Dapat menyesuaikan diri. Manusia sebagai instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi pengumpulan data. Manusia sebagai peneliti dapat melakukan tugas pengumpulan data sekaligus.

c. Menekankan kebutuhan. Manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya dan memandang dunia ini sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang berkesinambungan dimana mereka memandang dirinya sendiri dan kehidupannya sebagai sesuatu yang riel, benar dan mempunyai arti. Pandangan yang menekankan keutuhan ini memberikan kesempatan kepada peneliti untuk memandang konteksnya dimana ada dunia nyata bagi subjek dan responden dan juga memberikan suasana, keadaan dan perasaan tertentu. Peneliti berkepentingan dengan konteks dalam keadaan utuh untuk setiap kesempatan.

d. Mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki oleh peneliti sebelum melakukan penelitian menjadi


(37)

dasar-115 dasar yang membimbingnya dalam melakukan penelitian. Dalam prakteknya, peneliti memperluas dan meningkatkan pengetahuannya berdasarkan pengalaman-pengalaman praktisnya. Kemampuan memperluas pengetahuannya juga diperoleh melalui praktek pengalaman lapangan dengan jalan memperluas kesadaran terhadap situasi sampai pada dirinya terwujud keinginan-keinginan tak sadar melebihi pengetahuan yang ada dalam dirinya, sehingga pengumpulan data dalam proses penelitian menjadi lebih dalam dan lebih kaya. e. Memproses data secepatnya. Kemampuan lain yang ada pada diri

manusia sebagai instrumen adalah memproses data secepatnya setelah diperolehnya, menyusunnya kembali, mengubah arah inkuiri atas dasar penemuannya, merumuskan hipotesis kerja sewaktu berada di lapangan, dan mengetes hipotesis kerja itu pada respondennya. Hal demikian akan membawa peneliti untuk mengadakan pengamatan dan wawancara yang lebih mendalam lagi dalam proses pengumpulan data itu.

f. Memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasikan dan mengikhtisarkan. Manusia sebagai instrumen memiliki kemampuan lainnya, yaitu kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami oleh subjek atau responden. Sering hal ini terjadi apabila informasi yang diberikan oleh subjek sudah berubah, secepatnya peneliti akan mengetahuinya, kemudian ia berusaha menggali lebih dalam lagi apa yang melatarbelakangi perubahan itu. Kemampuan


(38)

116 lainnya yang ada pada peneliti adalah kemampuan mengikhtisarkan informasi yang begitu banyak diceritakan oleh responden dalam wawancara. Kemampuan mengikhtisarkan itu digunakannya ketika suatu wawancara berlangsung.

g. Memanfaatkan kesempatan untuk mencari respons yang tidak lazim dan idiosinkratik. Manusia sebagai instrumen memiliki pula kemampuan untuk menggali informasi yang lain dari yang lain, yang tidak direncanakan semula, yang tidak diduga terlebih dahulu, atau yang tidak lazim terjadi. Kemampuan peneliti bukan menghindari melainkan justru mencari dan berusaha menggalinya lebih dalam. Kemampuan demikian tidak ada tandingannya dalam penelitian mana pun dan sangat bermanfaat bagi penemuan ilmu pengetahuan baru. 4. Sampling dan Satuan Kajian

Sampling dalam konteks penelitian kualitatif adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (constructions). Dengan demikian, tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi. Melainkan, untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Selain itu, sampling adalah untuk menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample).

Moleong (1993:65-166) mengungkapkan bahwa sampel bertujuan dapat diketahui dari ciri-cirinya sebagai berikut:


(39)

117 a. Rancangan sampel yang muncul, yaitu sampel tidak dapat ditentukan

atau ditarik terlebih dahulu.

b. Pemilihan sampel secara berurutan. Tujuan memperoleh variasi sebanyak-banyaknya hanya dapat dicapai apabila pemilihan satuan sampel dilakukan jika satuan sebelumnya sudah dijaring dan dianalisis. Setiap sampel berikutnya dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah diperoleh terlebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan atau diisi adanya kesenjangan informasi yang ditemui. Dari mana dan dari siapa ia mulai tidak menjadi persoalan, tetapi bila hal itu sudah berjalan, pemilihan berikutnya bergantung pada apa keperluan peneliti. Teknik sampling bola salju bermanfaat dalam hal ini, yaitu mulai dari satu menjadi makin lama makin banyak.

c. Penyesuaian berkelanjutan dari sampel. Pada mulanya, setiap sampel dapat sama kegunaannya. Namun, sesudah makin banyak informasi yang masuk dan makin mengembangkan hipotesis kerja maka sampel akan dipilih atas dasar fokus penelitian.

d. Pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan. Pada sampel bertujuan seperti ini, jumlah sampel ditentukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan. Jika maksudnya memperluas informasi yang dapat dijaring, penarikan sampel pun sudah dapat diakhiri. Jadi, kuncinya disini adalah jika sudah terjadi pengulangan informasi, penarikan sampel sudah harus dihentikan.


(40)

118 Satuan kajian biasanya ditetapkan juga dalam rancangan penelitian. Keputusan tentang penentuan sampel, besarnya, dan strategi sampling pada dasarnya bergantung pada penetapan satuan kajian. Satuan kajian itu dapat bersifat perseorangan, seperti siswa, guru, kepala sekolah, atau hal lainnya yang menjadi satuan kajian. Bila perseorangan itu sudah ditentukan sebagai satuan kajian maka pengumpulan data dipusatkan disekitarnya. Hal yang dikumpulkan adalah apa yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang mempengaruhinya, bagaimana sikapnya, dan seterusnya.

Dalam konteks penelitian ini, secara umum penelitian ditujukan pada proses pendidikan nilai yang berlangsung di sekolah terpadu SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah yang sedang dilaksanakan, sedangkan secara khusus mengkaji aktivitas pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman yang dilakukan oleh SMA Amanah Plus Pesantren Tasikmalaya. Dengan demikian, satuan kajian dalam konteks penelitian ini adalah warga sekolah yang meliputi kepala sekolah, pimpinan pesantren, guru, tata usaha, komite sekolah, siswa, dan masyarakat sekitar kampus.

C. Teknik Pengumpulan Data 1. Teknik Observasi

Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan adalah observasi partisipasi atau disebut juga pengamatan berperanserta, maksudnya peneliti mengamati sekaligus ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan responden. Peneliti berpartisipasi dalam kegiatan responden, dalam hal ini Kepala Sekolah, Pimpinan Pesantren, Guru, Tata Usaha, Komite Sekolah, Peserta didik dan Masyarakat


(41)

119 sekitar sekolah/pesantren. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara kedudukan peneliti sebagai orang luar (pengamat) dan sebagai orang yang ikut berpartisipasi dalam lingkungan pendidikan responden. Dalam kesempatan tertentu, selain bertindak sebagai pengamat pada saat guru mengajar di kelas, peneliti juga mencoba untuk mengambil alih peran sebagai pengajar di kelas responden, hal ini dilakukan untuk menguji konsistensi temuan yang mencuat pada saat peneliti berperan sebagai pengamat.

Selain sambil partisipasi, observasipun dilakukan secara terbuka, artinya diketahui oleh responden karena sebelumnya telah mengadakan survey terhadap responden dan kehadiran peneliti ditengah-tengah responden atas ijin responden. Seperti dalam melakukan observasi kelas, peneliti meminta ijin dan membuat janji waktu yang tepat dengan guru kelas sehingga proses pengamatan atas sepengetahuan guru bersangkutan. Apa yang dilakukan peneliti di atas relevan dengan ungkapan Moleong (1993:112) bahwa ciri khas penelitian kualitatif tidak bisa dipisahkan dari pengamatan berperanserta, namun peran penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya.

Selama melakukan pengamatan, peneliti mencatat setiap fenomena yang ditemukan dan sesampainya di rumah (pada malam hari) catatan yang dibuat pada saat di lapangan, langsung ditranskif ke dalam catatan lapangan yang dibagi menjadi dua bagian, yakni catatan deskriptif dan catatan reflektif. Selanjutnya, dalam rangka mengkonfirmasi dan menindaklanjuti temuan-temuan pada saat observasi yang sudah dituangkan ke dalam catatan lapangan, maka peneliti selanjutnya melakukan proses wawancara terhadap kepala sekolah, pimpinan


(42)

120 pesantren, guru, tata usaha, komite sekolah dan peserta didikyang sudah direncanakan sebelumnya.

2. Teknik Wawancara

Teknik wawancara diharapkan dapat menjaring sejumlah data verbal mengenai persepsi informan maupun responden tentang dunia empirik yang mereka hadapi. Pemikiran, tanggapan, maupun pandangan yang diverbalisasikan akan lebih mudah dipahami oleh peneliti dibandingkan dengan bahasa (ekspresi) tubuh. Oleh karena itu menurut Nasution (1996:69) teknik pengamatan saja tidak cukup memadai dalam melakukan suatu penelitian. Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth interview) dengan tetap berpegang pada pedoman wawancara yang telah dipersiapkan. Hal ini dilakukan agar arah percakapan tidak terlalu menyimpang dari data yang digali, juga untuk menghidari terjadinya bias penelitian. Untuk mendapatkan validitas informasi maka pada saat wawancara berlangsung, peneliti berusaha membina hubungan baik dengan cara menciptakan iklim saling menghargai, saling mempercayai, saling memberi dan menerima.

Menurut Alwasilah (2006:195) yang sejalan dengan pendapat Lincoln dan Guba bahwa terdapat lima langkah penting dalam melakukan wawancara, yakni:

a. Menentukan siapa yang akan diinterviu b. Menyiapkan bahan-bahan interviu c. Langkah-langkah pendahuluan

d. Mengatur kecepatan menginterviu dan mengupayakan agar tetap produktif.


(43)

121 Berdasarkan langkah-langkah yang diungkapkan oleh Alwasilah di atas, langkah awal yang dilakukan oleh peneliti adalah menentukan siapa yang akan di wawancara. Hal ini dilaksanakan setelah dilakukan observasi pendahuluan di sekitar lingkungan sekolah dan di kelas. Setelah orang yang akan diwawancara jelas, selanjutnya peneliti menyusun pedoman wawancara sebagai kompas dalam praktek wawancara agar senantiasa terarah kepada fokus penelitian. Dalam prakteknya, pertanyaan terlontar secara sitematis sesuai dengan pedoman, namun tidak jarang ditambahkan beberapa pertanyaan tambahan atas fenomena baru yang mencuat. Pedoman wawancara isinya mengacu kepada rumusan masalah, hasil observasi dan hasil wawancara sebelumnya. Sementara ruang lingkup pedoman wawancara berbeda setiap sasaran responden yang diwawancarai (lihat lampiran).

Waktu dan tempat wawancara ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan terwawancara. Di akhir kegiatan wawancara, peneliti tidak langsung menutup kegiatan wawancara, melainkan berpesan agar kiranya terwawancara bersedia kembali untuk diwawancarai pada kesempatan lain apabila terdapat fenomena-fenomena yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Dalam penelitian ini, teknik wawancara dilakukan untuk melengkapi data-data hasil observasi. Wawancara dilakukan terhadap subyek penelitian yang dalam hal ini kepala sekolah, pimpinan pesantren, guru, tata usaha, komite sekolah dan siswa. Teknik wawancara yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur, yakni wawancara yang dilakukan untuk menanyakan permasalahan-permasalahan seputar pertanyaan penelitian dalam


(44)

122 rangka memperjelas data atau informasi yang tidak jelas pada saat observasi/pengamatan berperanserta.

3. Teknik Dokumentasi

Dokumen dapat memberikan latar belakang yang luas mengenai pokok penelitian, dan dapat dijadikan triangulasi untuk mengecek kesesuaian data. Moleong (1993:161) mendefinisikan dokumen sebagai setiap bahan tertulis ataupun film. Dokumen dapat dipandang sebagai info yang dapat membantu dalam menganalisis dan menginterpretasi data.

Dalam konteks penelitian ini, teknik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui dokumen tentang proses pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman di SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya sebelum penelitian dilaksanakan. Dokumen diperoleh dari kepala sekolah, pimpinan pesantren, guru, komite sekolah, tata usaha, dan pembina berbentuk AD/ART Yayasan, tata tertib santri, rencana strategis sekolah, profil sekolah, KTSP, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), program kerja kepala sekolah, program kerja pembina ekskul, dan lain-lain.

4. Teknik Studi Pustaka

Studi pustaka dilaksanakan untuk mengumpulkan data ilmiah dari berbagai literatur yang berhubungan dengan karakteristik ‘Ibad al-Rahman, pendidikan umum, pendidikan nilai, pendidikan pada sekolah terpadu, strategi belajar mengajar, dan metode penelitian pendidikan

Dalam memperoleh data-data ilmiah ini, penulis mengkaji referensi-referensi kepustakaan dari perpustakaan UPI, perpustakaan UIN SGD,


(45)

123 perpustakaan Program Studi Pendidikan Umum SPS UPI, perpustakaan SMA Plus Pesantren Amanah Tasikmalaya. perpustakaan pribadi penulis, internet, majalah, koran dan sumber lainnya.

D. Tahapan-Tahapan Penelitian

Langkah-langkah penelitian dilakukan dengan mengikuti tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Moleong (1999:85-108) sebagai berikut:

1. Tahap Pralapangan

Tahap ini pada dasarnya merupakan orientasi lapangan, peneliti berusaha menjajagi hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, untuk mencoba menghubungkannya dengan masalah penelitian sebagaimana telah digambarkan oleh peneliti. Secara umum terdapat beberapa hal pokok yang dilakukan pada tahap ini, yakni menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus izin, menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, dan menyiapkan peralatan penelitian. Tahap ini pun sekaligus menjadi landasan bagi peneliti dalam mengatur strategi kegiatan untuk tahap berikutnya. Pada tahap ini, penelitian melakukan diskusi informal dengan beberapa warga sekolah, khususnya dengan kepala sekolah, pimpinan pesantren dan beberapa guru yang ada di sekolah.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Tahap ini disebut juga tahap eksplorasi karena pada tahap ini peneliti mulai menggali informasi/data secara intensif sesuai dengan teknik pengumpulan data yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pada tahap ini peneliti mulai


(46)

124 melibatkan diri pada latar penelitian (setting) dan membina hubungan baik dengan anggota sistem sosial bersangkutan.

Peneliti mencoba untuk memahami latar penelitian, mengembangkan hubungan yang akrab dengan responden, mempelajari bahasa responden, memetakan peranan, serta berperanserta sambil mengumpulkan data. Secara lebih rinci, berikut fokus utama yang menjadi sasaran pada tahap kedua ini:

a. Menggali model yang dikembangkan di SMA Plus Pesantren Amanah Taikmalaya dalam mengembangkan pendidikan nilai yang berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman.

b. Meneropong implementasi model yang dikembangkan sendiri oleh kepala sekolah, guru, pimpinan pesantren, komite sekolah dan tata usaha di SMA Plus Pesantren Amanah Tasikmalaya

c. Mengumpulkan data empiris yang dapat mendukung upaya perumusan model alternatif pendidikan nilai berbasis karakter ‘Ibad al-Rahman di lingkungan sekolah terpadu.

3. Tahap Analisis dan Interpretasi Data

Proses analisis dan interpretasi data dilakukan oleh peneliti baik di lokasi maupun di luar lokasi penelitian. Sekumpulan data hasil wawancara dan pengamatan yang bersifat abstrak dan fenomenologis langsung dianalisis dan diinterpretasikan dengan mengkodifikasi dan mengklasifikasi data kasus perkasus. Adapun khusus data-data yang dijaring melalui studi dokumentasi dianalisis di luar lokasi penelitian.


(47)

125 Proses analisis data dalam studi ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang berhasil dikumpulkan, baik dari hasil wawancara, pengamatan, maupun dari studi dokumentasi. Data-data tersebut sudah tentu masih berupa tumpukan data mentah yang tidak mungkin untuk ditransfer secara langsung ke dalam laporan penelitian. Tumpukan data tersebut diramu menjadi catatan lapangan yang di dalamnya dikelompokkan menjadi catatan deskpriptif dan catatan reflektif.

Proses pembuatan catatan lapangan memerhatikan hal-hal yang diungkapkan oleh Moleong (1993:100) sebagai berikut:

a. Pencatatan awal. Pencatatan ini dilakukan sewaktu berada di latar penelitian dengan jalan menuliskan hanya kata-kata kunci pada buku-nota.

b. Pembuatan catatan lapangan lengkap setelah kembali ke tempat tinggal. Pembuatan catatan ini dilakukan dalam suasana yang tenang dan tidak ada gangguan. Hasilnya sudah berupa catatan lapangan lengkap.

c. Apabila waktu ke lapangan penelitian kemudian teringat bahwa masih ada yang belum dicatat dan dimasukkan dalam catatan lapangan, dan hal itu dimasukkan.

Data yang sudah tertuang dalam catatan lapangan selanjutnya dianalisis untuk kepentingan pengembangan teori atau penemuan teori baru. Menurut Moleong (1993:103) analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,


(48)

126 menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Pengolahan dan penganalisaan data merupakan upaya menata data secara sistematis. Maksudnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti terhadap masalah yang sedang diteliti dan upaya memahami maknanya. Langkah pertama dalam pengolahan data yang sudah dituangkan dalam catatan lapangan adalah membuat koding atas fenomena yang ditemukan, selanjutnya membuat kategorisasi dan pengembangan teori.

Menurut Moleong (1993:190) proses berjalannya analisis data kualitatif sebagai berikut:

a. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.

b. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensitesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.

c. Berfikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hunbungan, serta membuat temuan-temuan umum.

Langkah pertama dalam pengolahan data yang sudah dituangkan dalam catatan lapangan adalah membuat koding atas fenomena yang ditemukan, selanjutnya membuat kategorisasi dan pengembangan teori. Analisis data adalah sebuah proses sistematik yang bertujuan untuk menyeleksi, mengkategori, membandingkan, mensintesa, dan menginterpretasi data untuk membangun suatu gambaran komprehenshif tentang fenomena yang sedang diteliti. Merriam


(49)

127 (1998:127) mengemukakan bahwa analisis data merupakan proses memberi makna terhadap suatu data. Data diringkas atau dipadatkan dan dihubungkan satu sama lain ke dalam sebuah narasi sehingga dapat memberi makna kepada para pembaca.

Mc. Millan dan Schumacher (2001:463) mengungkapkan bahwa proses analisis data kualitatif pada dasarnya berlangsung secara berulang (cyclical) dan terintegrasi ke dalam seluruh tahapan penelitian. Analisis data sudah dilakukan peneliti sejak penelitian berlangsung hingga masa akhir pengumpulan data. Karena itu, ketika menganalisis data penelitian ini, peneliti berulang ulang bergerak dari data deskriptif ke arah tingkat analisis yang lebih abstrak, kemudian kembali lagi pada tingkat abstraksi sebelumnya, memeriksa secara berulang analisis dan interpretasi yang telah dibuat, bernegosiasi kembali ke lapangan untuk memeriksa secara cermat data yang masih memerlukan tambahan informasi dan demikian seterusnya.

Dalam konteks penelitian ini, peneliti mengadaptasikan analisis data kualitatif sebagaimana disarankan oleh Mc. Millan dan Schumacher (2001:466), yaitu:

a. Inductive analysis, yaitu proses analisis data yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah cyclical untuk mengembangkan topik, kategori, dan pola-pola data guna memunculkan sebuah sintesa deskriptif yang lebih abstrak.

b. Interim analysis, yaitu melakukan analisis yang sifatnya sementara selama pengumpulan data. hal ini dilakukan dengan tujuan untuk


(50)

128 membuat berbagai keputusan dalam pengumpulan data dan mengidentifikasi topik dan pola-pola yang muncul secara berulang. Dalam analisis ini, teknik yang peneliti gunakan mengadopsi strategi yang disarankan Mc. Millan dan Schumacher, yaitu:

1) Meninjau semua data yang telah dikumpulkan yang berkaitan dengan topik. Penekanan yang diberikan disini bukanlah pada makna topik, tetapi pada upaya memperoleh sebuah perspektif global mengenai jajaran topik-topik data.

2) Mencermati makna-makna yang berulang dan bisa dijadikan sebagai tema atau pola-pola utama. Tema-tema bisa didapatkan dari bahasan dan percakapan dalam latar sosial, aktivitas yang berulang, perasaan, dan apa-apa yang dikatakan orang. Untuk membuat tema, peneliti memberi komentar terhadap temuan dalam catatan pengamatan, mengelaborasi hasil wawancara, dan mereflesikan rekaman data.

3) Berfokus kepada masalah utama yang menjadi fokus penelitian. Karena kebanyakan data kualitatif bersifat terlalu luas dan bisa memunculkan beberapa studi, maka penelitian harus mempersempit fokus untuk analisis datanya secara intensif.

Langkah terakhir setelah data dianalisis dan diinterpretasikan adalah memadukan data dengan teori-teori yang relevan dan konsepsi penulis tentang permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Dalam konteks penelitian ini, langkah terakhir penelitian diarahkan kepada proses pengembangan model


(51)

129 alternatif dari model yang dikembangkan SMA Plus Pesantren Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya.

Produk penelitian dituangkan dalam laporan penelitian dengan sistematika mengacu kepada Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah dari Universitas Pendidikan Indonesia edisi 2009. Selain itu, dalam rangka menyempurnakan laporan penelitian dilakukan proses bimbingan secara berkelanjutan dengan promotor, ko promotor dan anggota promotor.

E. Validitas, Objektifitas dan Reliabilitas Penelitian

Agar nilai kebenaran secara ilmiahnya dapat teruji serta memiliki nilai keajegan, maka dalam penelitian ini dilakukan uji validitas dan reliabilitas atas data yang ditemukan dari lapangan.

1. Validitas dan Objektifitas.

Menurut Alwasilah (2006:169) validitas adalah kebenaran dan kejujuran sebuah deskpripsi, kesimpulan, penjelasan, tafsiran dan segala jenis laporan. Ancaman terhadap validitas hanya dapat ditangkis dengan bukti, bukan dengan metode, karena metode hanyalah alat untuk mendapatkan bukti. Validitas dimaknai juga sebagai tingkat dimana berbagai konsep dan interpretasi yang dibuat peneliti memiliki kesamaan makna dengan makna-makna yang dikemukakan dipahami para partisipan. Peneliti dan partisipan memiliki kesepakatan tentang deskripsi atau kompoisisi dari berbagai peristiwa, terutama berkaitan dengan makna-makna dari berbagai peristiwa tersebut.

Pengujian validitas penelitian dapat dilakukan dengan beberapa teknik, Alwasilah (2006:175-184) mengungkapkan bahwa terdapat 14 teknik dalam


(1)

Arief, A. (2005). Reformasi Pendidikan Islam. Jakarta, CRSD Press,

Arifin, M. (1995) Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Bumi Aksara, Jakarta

Barizi A. (2009). Menjadi Guru Unggul. Jogjakarta: Ar-ruzz Media

BSNP. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

BSNP. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: BSNP Dinas Pendidikan Jabar. Tasik Juara Cerdas Cermat UUD 1945. Pikiran Rakyat (2

Pebruari 2008).

Djahiri, A. K. (1996). Menelusuri Dunia Afektif (Pendidikan Nilai dan Moral). Laboratorium IKIP: Bandung.

Dofiri, A (2007).. 4 Geng Motor Dibekuk, 5 Dikejar. Pikiran Rakyat (27 September 2007)

Dudung, dkk.. (2007). “Pendidikan Agama” dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung, Pedagogiana Press.

Echol, M. J. dan Shadily, H. (1994). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta, Gramedia. Fraenkel J. R. (1977). How to Teach About Values: An Analytic Approach. Prentice

Hall, Inc., New Jersey.

Ghanim, A.R. (1995). Bersikap Islami (Tinjauan Pedagogis dan Psiko-logis). Jakarta: Gema Insan Press.

Hawari, D. (1999) Psikiater, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. PT. Dana Bhakti Primaya, Yogyakarta.

Hakam. K.A. (2000). Pendidikan Nilai. Bandung: Value Press.

Hasan, M. H. ( 2005). Muhammad Tholhah Hasan Mendapat Penghargaan Doktor HC dari UIN Malang

. 30 April 2005


(2)

Hayat, B. (2007). “Kata Sambutan” dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung, Pedagogiana Press.

Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy. (2001). Al-Fikrut Tarbawy Inda Ibni Qayyim (Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim). Penerjemah : Muzaidi Hasbullah, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar

Henry B. N. (1952), The Fifty-First Yearbook of The National Society for The Study of Education, Part I General Education, Thr University Chicago Press, Chicago.

Hurlock, B. E. (1974). Personality Development. New York. McGraw-Hill Book ……… (1994). Developmental Psychology (Psikologi Perkem-bangan). Alih

bahasa: Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Gelora Aksara Pratama. http://baturbajang.blogspot.com/2010/06/pendidikan-akhlak-al-ghozali.html

Iriyanto, MS. (2007). Geng Motor Di Kalangan Pelajar. Pikiran Rakyat (29 Oktober 2007)

Keosoema, D. (2009). Pendidikan Kalakter di Zaman Keblinger Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidikan Karakter . Jakarta: Grasindo.

……….(2010). Pendidikan Karakter Integral. (Kompas, 11 Februari 2010) Khalifah, M dan Quthub, U. (2009). Menjadi Guru yang Dirindu; Bagaimana

menjadi guru yang memikat dan professional. Sukarakta: Ziyad Visi Media Latif, A. (2007). Pendidikan Berbasis Nilai Masyarakat. Bandung: Refika Aditama Langgulung, H. (1985). Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Al-husna. Mc. Millan, J. H. dan Schumacher. (2001). Research in Education A Conceptual

Introduction. Fith Edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc Madjid, N. (1997). Masyarakat Religius. Jakarta; Paramadina.

Mahroji, O.(2007). Terlibat Geng Motor, Dikeluarkan. Pikiran Rakyat (26 Oktober 2007).


(3)

Mahjuddin. (2009). Akhlak Tasawuf I Mukjizat Nabi Karomah Wali dan Ma’rifah Sufi. Jakarta: Kalam Mulia.

Majid, A. bin Masud (tt) Al-Qiyam Al-Islamiyah Al-Tarbawiyah wal Mujtama’ al-Muaashir. http://www.muhaddith.org.

Marimba, A. D. (1987). Pengantar Fifsafat Pendidikan Islam. Bandung; Al-Ma’arif. Masykur, K. (1994). Membina Moral dan Akhlak. Jakarta; Rineka Cipta.

Moleong, L.J. (1993). Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya: Bandung.

Miskawaih, Ibn. (1992). Filsafat Akhlak. Bandung: Mizan

Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Muhaimin. (2005). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi). Jakarta, Raja Grafindo Persada.

………(2009). Manajemen Pendidikan Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Kencana.

………(2009). Rekonstruksi Pendidikan Islam Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.

Musthafa, A A. (tt). Tafsir al-Maraghi.

Muhaimin dan Mudjib. (1993). Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung; Trigenda Karya.

Nasution, S. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito: Bandung. Nasution, T. (1986). Peranan Orang Tua Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar

Anak. Jakarta: PT. BPK. Gunung Mulia.

Nata, A. (1996). Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.


(4)

Nelson, B. H (1952). The Fifty-First Yearbook of The National Society for The Study of Education, Part 1 General Education. Chicago, The University Chicago Press.

Nursaitias, M. (2008). 6 Anggota Geng Motor Dituntut 10 Bulan Penjara. Pikiran Rakyat (15 Januari 2008).

Quthb, S. (2004). Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an Jilid 8. Jakarta: Gema Insani.

Quthb, M. (1988). Sistem Pendidikan Islam. Terjemahan Salman Harun, Bandung, Al-Ma’rif.

Rahmat, F. M. (2008). Ajarkan Budi Pekerti Melalui Praktik. Pikiran Rakyat (14 Pebruari 2008).

Richard & Eyre, dan Linda. (1995) Teaching Your Children Values (Mengajarkan Nilai-nilai Kepada Anak-anak). Alih Bahasa Aleks Tri Kantjono Widodo, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama.

Rosyada, D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana Risieri, F. (2000). Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Resosoedarmo, R.S. dkk, ((1993). Pengantar Ekologi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Syafe’i. A. (2010). Akhlakul Karimah dan Pengertianya.

http://sahabatnabi.Ocath.com/Enam_ sifat.htm#top.

Sauri, S. (2002). Pengembangan Strategi Pendidikan Berbahasa Santun. Disertasi Doktor pada SPS UPI Program Studi Pendidikan Umum/Nilai. Tidak diterbitkan.

Sumaatmadja, N. (1997). Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, N.S. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: UPI-Rosda Karya

Shihab M. Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 9, Jakarta: Lentera Hati.


(5)

……… (2009). Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 2, Jakarta: Lentera Hati.

……… (1996). Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan

Schaefer, C. (1997). How to Influence Children (Bagaimana Membimbing, Mendidik dan Mendisiplinkan Anak secara Efektif). Alih bahasa : Turman Sirait, Jakarta: Restu Agung.

Somad, A. (2007). Pengembangan Model Pembinaan Nilai-Nilai Keimanan dan Ketakwaan Siswa di Sekolah (Studi Kasus di SMA N 2 Kota Bandung). Disertasi Doktor pada SPS UPI Program Studi Pendidikan Umum/Nilai. Tidak diterbitkan

Sarnapi. (2008). Pendeteksi Tsunami Murah Karya Dhika dkk. Pikiran Rakyat (14 Maret 2008)

Sarnapi. (2008). Hilmi dan Dimas Ciptakan Kursi Roda Elektrik. Pikiran Rakyat (31 Maret 2008)

Satgas Anti Narkoba (SAN). (2008). 8845 Siswa SD Ibukota Pakai Narkoba. Pos Metro (22 Maret 2008)

Soelaeman, MI. (1994). Pendidikan dalam Keluarga. Bandung, CV. Alfabeta. Surachmad, W. (1988). Dasar dan Teknik Research. Bandung; Tarsito

Tafsir, A. (1988). Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung; Remaja Rosda Karya.

……… (1995). Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung; Remaja Rosda Karya.

……… (2001). Keterpaduan Rumah Tangga, Sekolah dan Masyarakat. Makalah, Bandung.

……… (2008). Pesan Moral Ajaran Islam. Bandung, Maestro. ……… (2010). Pendidikan Karakter. Makalah, Batam

Tholkhah, I. 2008. Menciptakan Budaya Beragama di Sekolah. Jakarta: Al Ghazali Center


(6)

Thoha, M. C. (1996). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Ulwan, A. N. (1988). Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. terjemahan Saeful

Kamalie, Jilid I dan II, Bandung, Asy-Syifa.

Universitas Pendidikan Indonesia. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI

Wahab, F.. (2010). Pendidikian Karakter Persepektif Islam. Makalah, Batam Ya’kub, H. (1996). Etika Islam. Bandung; CV. Dipongoro

Yalzan, M. (1988). Potret Rumah Tangga Islami. Terjemahan SA. Zemol, Bandung: Pustaka Mantiq.

Young, GG. (2008). Membaca Kepribadian Orang. Jogjakarta; Diva Press Group. Yulianingsih, Y. (2008). Pembinaan Nilai Disiplin di Lingkungan Pesantren (Studi

Deskriptif di Persatuan Islam No 67 Benda Nagarasari Kota Tasikmalaya). Tesis pada SPS UPI Program Studi Pendidikan Umum/Nilai. Tidak diterbitkan

Zayadi, A. (1997). Implikasi Pendidikan Umum Terhadap Komunikasi Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Mengembangkan Afeksi Siswa, Tesis, Pascasarjana IKIP, Bandung.