Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Keluarga pada Klien Perilaku Harga Diri Rendah Pasca Rawat Inap di Rsj Prof Dr Soerojo Magelang T1 462009082 BAB IV

(1)

32 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Setting Penelitian

4.1.1 Persiapan Penelitian

Peneliti melengkapi segala keperluan dalam pengambilan data seperti surat menyurat, baik untuk pengambilan data awal maupun untuk izin melakukan penelitian. Setelah itu, peneliti melakukan survey terhadap calon partisipanriset, dan kemudian mulai turun ke lapangan untuk memulai proses penelitian.

Penelitian dimulai sejak 20 Agustus 2013 dengan melakukan pemilihan calon partisipan di RSJ Prof dr. Soerojo Magelang yaitu melalui penelusuran dokumen rekammedik pasien rawat inap yang sudah pulang yang memenuhi kriteria sampel yaitu pasien dengan riwayat harga diri rendah.Rangkaian kegiatan pemilahan dan pemilihan calon partisipan sebagai berikut :

1. Pada awalnya ditemukan 15 calon partisipan riset, setelah dilakukan pemilihan dan analisa lebih dalam peneliti menetapkan lima calon partisipan yang akan menjadi partisipan penelitian ini.

2. Tanggal 25 Agustus 2013, peneliti mulai kunjungan ke rumah lima calon partisipan untuk meminta kesediaan dan


(2)

33 persetujuan keluarga sebagai partisipan penelitian, tetapi hanya dua calon partisipan yang menyetujui sebagai partisipan.Pada proses ini, hanya dua keluarga yang bersedia ikut serta untuk diwawancara selanjutnya calon partisipan diberikan informed consent dan menandatanganinya.

3. Tanggal 02 September 2013 peneliti memilih lagi tiga orang calon partisipan lainnya dan hanya satu orang yang bersedia,selanjutnya calon partisipan setelah diberikan informed consen tdan menandatanganinya.

4. Ketiga calon partisipan sudah sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan dan bersedia dan telah menandatangani informed consentsebagai tanda bahwa ketiga partisipan sebagai partisipan risetdan siap untuk diwawancara.

5. Setelah masing – masing partisipan bersedia menjadi partisipan maka peneliti melakukan kontrak pertemuan pertamanya yaitu pertemuan dengan partisipan I (ibu A) pada tanggal 29 Agustus 2013, partisipan II ( bapak B) pada 04 September 2013, partisipan III (ny.C).

4.1.2 Pelaksanaan Penelitian

Pertemuan dengan partisipan untuk pengambilan data dilakukan di rumah para partisipan berlangsung sejak


(3)

34 tanggal 25 Agustus 2013 sampai dengan06 Oktober 2013, secara rinci jadwal pertemuan tersebut sebagai berikut :

1. Subyek A

Wawancara

Ke Tanggal Jam Waktu

I 29 Agustus 2013 17.00-19.30 WIB 150 menit II 29 September 2013 12.00-13.00 WIB 90 menit III 04 Oktober 2013 17.30-18.00 WIB 60 menit

2. Subyek B

Wawancara

Ke Tanggal Jam Waktu

I 04 September 2013 10.30-12.15 WIB 105 menit II 01 Oktober 2013 13.45-15.05 WIB 80 menit III 06 Oktober 2013 16.00-16.45 WIB 45 menit

3. Subyek C

Wawancara

Ke Tanggal Jam Waktu

I 27 September 2013 18.30-19.00 WIB 30 menit II 28 September 2013 18.00-19.50 WIB 110 menit III 04 Oktober 2013 06.15-06.45 WIB 30 menit

Peralatan yang digunakan saat melakukan pengambilan data adalah panduan wawancara (interview


(4)

35 alat perekam suara telah mendapat persetujuan dari partisipanriset.

4.1.3 Gambaran umum Subyek 1. Subyek A

Identitas Pasien (Subyek A) Nama

Umur Pendidikan Jenis kelamin Agama

Status martial Alamat

: Tn. A :22 tahun :SMP :Laki-laki :Islam

:Belum menikah

:Bulu RT 3/6 ,Tegal Rejo ,Argomulyo. Salatiga.

Identitas Keluarga (Subyek A1) Nama

Umur Pendidikan Jenis kelamin Status martial Pekerjaan Alamat

: Ny. A :30 tahun :SMK :Perempuan :Menikah :Apoteker

: Bulu RT 3/6, Tegal Rejo, Argomulyo. Salatiga.


(5)

36 Subyek A1 adalah anak kedua dari empat bersaudara., sudah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan, tetapi sudah lama pisah dengan suaminya. Suami Ny.A kembali tinggal di Temanggung bersama keluarganya.Subyek A1 adalah kakak kandung dari subyek A (pasien) yang mengalami gangguan harga diri rendah. Subyek A1tinggal serumah dan merupakan orang terdekatdari subyek A, hal ini dibenarkan oleh ibunya dan subyek A sendiri.

Wawancara pertama dengan subyek A1 dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2013 pukul 17.00 WIB bertempat di ruang Apotek Rumah Sakit Paru Dr Ario Wirawan (RSPAW) Salatiga, saat partisipan menjalani dinas siang dengan pertimbangan bahwa menurut pengakuan A1 jika sore hari tidak terlalu ramai dan tidak banyak pekerjaan sehingga saat wawancara tidak terganggu. Wawancara kedua dilakukan hari Minggu, tanggal 29 September 2013 pukul 12.00 WIB, saat subyek A1 dinas pagi dengan pertimbangan pada hari Minggu tidak banyak pekerjaan sehingga saat wawancara tidak terganggu.Saat wawancara, subyekA1 memakai seragam dinasnya yaitu baju batik coklat lengan panjang dengan celana coklat panjang dan sepatu coklat. Subyek A1 memiliki ciri kulit yang sawo matang, badan pendek dan kurus dan berjilbab.


(6)

37 Hasil wawancara diantaranya subyek A1 mengatakan subyek A memiliki sifat yang sangat pendiam, jika diajak komunikasi selalu diam. Subyek A1 juga menyampaikan bahwa dalam keluarganya terdapat dua orang adik yang mengalami gangguan jiwa, akan tetapi hanya subyek A yang pernah dirawat di RSJ Magelang, sedangkan adik satunya hanya dirawat di rumah dan diberikan obat yang diperoleh dari rumah sakit terdekat.

Hasil penelusuran riwayat kesehatan jiwa keluarga tidak dijumpai adanya riwayat dari bapak, ibu maupun generasi di atasnya yang mengalami gangguan jiwa. subyek A1 menyampaikan bahwa subyek A baru pertama kali di rawat di RSJ Prof dr Soerojo Magelang dari tanggal 01 Februari 2013 dan atas perintah dokter diperbolehkan pulang pada tanggal 15 Februari 2013.

2. Subyek B

Identitas Pasien (Subyek B) Nama

Umur Pendidikan Jenis kelamin Agama

Status martial

: Tn. S : 38 tahun :SMK :Laki-laki :Islam


(7)

38 Alamat :Cabean RT 2/1 Mangunsari Sidomukti

Salatiga Identitas Keluarga (Subyek B1) Nama

Umur Pendidikan Jenis kelamin Status martial Pekerjaan Alamat

: Tn.B :35 Tahun :SMK :Laki-laki :Menikah : Petani

: Cabean RT 2/1 Mangunsari Sidomukti Salatiga

Subyek B1 anak keempat dari empat bersaudara, menikah dan sudah mempunyai seorang anak laki-laki, bekerja sebagai petani. Subyek B yang mengalami gangguan jiwa harga diri rendah adalah kakak dari subyek B1 dan merupakan anak ketiga.

Wawancara I dilakukan pada tanggal 04 September 2013 pukul 10.30 WIB di rumah Tn B, sedangkan wawancara ke II dilakukan pada tanggal 01 Oktober 2013 pukul 13.45 WIB.Wawancara dilakukan di ruang tamu yang luas, bersih dan rapi, tampak ada bebarapa foto di dinding rumah, suasana tenang dan juga sejuk karena di samping rumah


(8)

39 terdapat beberapa pohon dan dibelakang rumah terdapat sawah. Saat wawancara subyek B1 didampingi istrinya.

Subyek B1 memiliki tubuh yang tinggi, berkulit sawo matang. Saat wawancara subyekB1memakai baju kaos coklat yang ada sedikit robekan dibagian leher kanan dan dengan celana training panjang warna biru sedikit kotor, karena baru habis bekerja di sawah. Pada saat wawancara subyek B1 duduk di samping peneliti, subyek B1 duduk bersandar dikursi dengan melipat kaki sambil merokok. Saat wawancara subyek B1 kadang-kadang melihat ke arah peneliti dan kadang-kadang pandangan fokus ke depan.

Menurut keterangan subyekB1, subyek B memiliki tingkat kepercayaan diri rendah, pemalu, jika diajak bicara selalu menunduk, tidak bisa bertahan lama ketika berkomunikasi dengan orang lain, berbicara hanya 1-2 menit, B langsung pergi. Disampaikan pula oleh subyek B1 bahwa subyek B sudah menikah dan memiliki satu orang anak yang sekarang duduk di kelas 1 SMK, tetapi sejak subyek B mengalami gangguan jiwa, istrinya dan anaknya memilih untuk berpisah dengan alasan tidak mampu hidup bersama subyek B.

Saat ini istri subyek B tinggal di Jogja untuk kerja sedangkan anaknya tinggal di tempat budenya. Selama


(9)

40 subyek B dirawat di rumah sakit, istri dan anaknya tidak pernah menjenguk dan bahkan untuk saat ini komunikasi antara subyek B dan anak istrinya tidak pernah lagi. Sejak pasien dirawat di rumah sakit yang pertama kalinya sampai sekarang, baik selama di rumah sakit maupun setelah pulang dari rumah sakit, subyekB1 dan keluarga yang bertanggung jawab terhadap perawatan dan pemenuhan kebutuhan subyek B.

Subyek B1 juga mengatakan bahwa subyek B sudah tiga kali masuk Rumah Sakit Jiwa Prof dr Soerojo Magelang yaitu tahun 2004 untuk pertama kalinya, tahun 2010 dan yang terakhir yaitu pada tanggal 20 Juni 2013 dirawat selama 41 hari, dan diperbolehkan pulang oleh dokter pada tanggal 31 Juli 2013.

Dalam keluarga subyek B1 tidak ada riwayat gangguan jiwa pada anggota keluarga selain subyek B. Pada awal wawancara, subyek B1 mengatakan bahwa peneliti tidak diijinkan bertemu dengan subyek B, karena masih ada trauma dan ketakutan subyek B terhadap Rumah Sakit Jiwa Magelang.

Subyek B1 mengatakan awal dari subyek B mengalami gangguan jiwa karena faktor dari kepribadiannya


(10)

41 sendiri yang kurang percaya diri, pemalu, dan kondisi keluarga subyek B sendiri yang tidak memberi dukungan. 3. Subyek C

Identitas Pasien (Subyek C) Nama

Umur Pendidikan Jenis kelamin Agama

Status martial Alamat

: Ny.Z : 38 tahun : S1

: Perempuan. : Kristen : Menikah

: Jalan Margosari II No 94 RT 002/001 Identitas Keluarga (Subyek C1)

Nama Umur Pendidikan Jenis kelamin Status martial Pekerjaan Alamat

: Ny.R : 40 tahun. :S1

: Perempuan : Menikah. : Guru

: Jalan Margosari II No 94 RT 002/001

Subyek C1tinggal bersama suaminya memiliki satu orang anak perempuan,subyek C1 berprofesi sebagai guru SD di Pabelan. Subyek C1 adalah kakak dari subyek C yang


(11)

42 mengalami gangguan jiwa harga diri rendah. Subyek C1 yang bertanggung jawab semua kebutuhan sehari-hari. subyekC. SubyekC adalah anak yang bungsudari tiga bersaudara.

Wawancara dilakukan pada tanggal 27 September 2013 dan 28 September 2013 bertempat di rumah subyek C1. Pada saat melakukan wawancara yaitu pada tanggal 27 September 2013 pukul 18.30 WIB tepatnya di ruang tamu subyek, rumah tamu subyek tampak besar dan luas yang terbuat dari keramik. Pada saat wawancara, subyek C1 tidak didampingi suaminya karena sedang tidak berada di rumah. Pada tanggal 28 September 2013 pukul 18.30 WIB, subyek C1 didampingi suaminya dalam wawancara, tetapi dipertengahan wawancara suami C1 mengakhiri wawancara, karena sebelumnya sudah ada rencana untuk pergi.subyek C1 tampak sudah sangat terbuka, menceritakan semua tentang subyek C sejak awalmengalami gangguan jiwa.

Subyek C1 mengatakan jika subyek C sangat tertutup tidak pernah berbicara dengan anggota keluarga yang lainnya, lebih suka menyendiri. dan juga tidak suka dengan pertemuan dalam kelompok, biasanya subyek C langsung pergimenghindar jika diajak ke tempat yang ramai, misalnya pesta. Subyek C sejak kecil dimanja oleh ibunya,


(12)

43 sehingga sampai sekarang ini tidak bisa mandiri, biasa hidup nyaman, tidak pernah bekerja dan segala sesuatunya selalu dilakukan dan dibantu oleh ibunya, baik untuk makan atau ketika mau bepergian.

Menurut subyek C1, subyek C diperlakukan sebagai rata sehingga ketika ibunya meninggal menurut subyek C sangat kehilangan seorang figur yang sangat penting dalam hidupnya, akibatnya setelah ibunya meninggal subyek C tidak bisa berbuat sesuatu, lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar, kebutuhan makanan dan pakaiannya harus disiapkan oleh subyekC1.

Subyek C1 mengatakan bahwa kadang-kadang C masih menganggap kondisi dirinya sama seperti yang dulu ketika ibunya masih ada, sehingga makanannya harus diantar ke kamar dan tidak pernah mau mencuci sendiri, tempat makannya sehingga semuanya dilakukan oleh subyekC1. Disampaikan pula bahwa subyek C sudah menikah dan memiliki satu anak perempuan, saat ini tidak lagi tinggal bersama suami dan anaknya, karena kondisi suami C tidak mampu bertanggung jawab, harus selalu dituntun,tidak mampu untuk mengendalikan dirinya, sehingga keluarga suami C lebih memilih memisahkan antara subyek C dengan suaminya.


(13)

44 Subyek C sakit sejak tahun 2007, saat ibunya masih hidup subyek C tidak dirawat di rumah sakit tetapi selalu dirawat sendiri oleh ibunya dengan berobat jalan pada praktik swasta Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (dr. SpKJ). Setelah ibunya meninggal pada tahun 2007, maka perawatan dan pemenuhan kebutuhan subyek C dilakukan oleh subyek C1. Tahun 2009 subyek C pertama kali masuk dirawat di rumah sakit jiwa, tahun 2011 dirawat lagi untuk yang kedua kali dan terakhir dirawat tahun 2013 yaitu pada tanggal 4 Agustus 2013 sampai dengan 26 Agustus 2013.

4.2 Analisa Data

Setelah semua data yang dibutuhkan telah terkumpul, selanjutnya peneliti melakukan analisa data berdasarkan prosedur yang sudah ditetapkan.Analisa data ditinjau dari indikator wawancara dan berdasarkan setiap subyek berdasarkan indikator wawancara.

1. Subyek A

a. Dukungan emosional

Sebagai keluarga atau kakak subyek A, subyekA1 merasa kasihan (simpati) ketika melihat A jika hanya diam saja. Untuk mengatasi rasa kasihan terhadap A, A1 biasanya menyuruh A untuk ke kamar. Subyek A memiliki karakrter yang sangat pendiam.

“Kasian juga toh...kadang kalau sudah kasian gitu..tak suruh


(14)

45 “Orangnya itu pendiam bangat..( A1, 95)”

Dalam memberikan perhatian kepada subyek A, keluarga memang tidak bisa maksimal lagi, karena sudah sibuk dengan pekerjaan.

“……wong aku juga sibuk mba..kerja itu..ini,,ngurus anak…. kerja lagi …(A1, 268-269).”

Dalam kesehariannya setelah pulang dari RSJ Magelang, subyek A tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, karena pernah diejek oleh masyarakat. Jadi, sekarang ini keluarga hanya fokus pada interaksi subyek A di rumah. Dalam keluarga, keluarga sudah memberikan perhatian dan kasih sayang kepada subyek A, subyek A1 mengatakan dalam menunjukkan kasih sayangnya terhadap adiknya, subyek A1 biasanya memperhatikan dengan bentuk memberikan makanan, dan memberikan perhatian dengan menyuruh adiknya untuk makan dan mandi. Subyek A1 juga merasa kalau dengan kata-kata tidak cukup, jadi subyek menunjukkan bukti perhatiannya langsung dengan memberikan makanan. Hal ini dilakukan subyek A1 guna untuk membuat subyek A bahagia.

“Biasanya sih,dengan perhatian, perhatiannya itu dalam arti mau

ngasih apa gitu..kan biasanya seperti itu buat dia senang….. .misalnya kalau nanya…… wawan sudah mandi?... paling dia cuman geleng (sambil mempraktekkan menggeleng kepala) (A1,


(15)

46 Sudah ma’em?...gini aja (sambil mempraktekkan geleng kepala)…… nunduk-nunduk kepala saja…… tapi kaya apa ya... kurang berarti gitu kalau menurut aku…… jadinya paling tak bawain makanan, atau minuman….. ini wan….. di ma’em atau di minum, gitu……atau dulu itu sering saya ajak jalan-jalan gitu……. .( A1, 226-229)

Biasanya dalam bentuk nganu…., pertamanya perhatian.., trus

ngasih makanan.., kayak kesukaan dia gitu, yang terpenting itu biasanya dalam bentuk pertanyaan “udah mandi apa belum?”, trus yang kedua dengan bentuk makanan, misalnya memang sengaja beli untuk dia, dari hal kecil, misalnya ada punya satu macam ya dibagi gitu……kalau dia lihat ya dibagi separuh-separuh gitu aja (A1, 307-312)

Subyek A1 mengerti bahwa dengan perhatian dapat membantu kesembuhan dari subyekA, akan tetapi sekarang sudah tidak pernah lagi menanyakan apa yang dirasakan oleh subyekA, karena subyek A tidak pernah menjawab dan hal itu membuat subyek A1 sempat merasa putus asa, sehingga untuk saat ini subyek A1lebih memilih untuk diam. Dalam kesehariannya, subyek A1 mengatakan tidak pernah lagi cerita ataupun sharing kepada subyek A, hal itu dikarenakan subyek A yang selalu diam, jadi subyek A1 tidak pernah mengerti dan tahu apa yang dirasakan oleh subyek A, hal apa yang diinginkan dan apa saja yang sedang dihadapinya.

Subyek A1 dan keluarganya hanya bisa mengerti lewat ekspresi wajah subyek A., subyekA1 dan keluarga tidak pernah berusaha supaya subyek A mau cerita atapun sharing tentang apa yang dirasakan, sehingga tidak pernah diketahui keluhan subyek A.


(16)

47

“Mas wawan itu,kalau akhir-akhir ini dia tidak pernah cerita……

ndak belum mau cerita….. wong obatnya dia udah nda minum…….. tapi aku bersyukur kalau ada yang lucu……dia itu mau tertawa…….tertawanya sama aku maksudnya…… jadi kayak mandang aku….. .tapi pandangannya itu ada isinya... kalau tertawa itu ada yang lucu…… kalau dulu kan tertawa

sendiri... kalau sekarang kan tertawa tapi lihat aku…… jadi kan

perasaannya senang mba…… tapi kalau untuk cerita kepada kami nda pernah cerita mba….. wong dia tertutup... ya wes tak

diamke (A1, 254-267).”

“Ya gimana mba…….kalau itu mba, ndak pernah mba…..

yah….kan udah kayak putus asa mba….. soalnya dulu kan kalau diajak ngobrol..cuman diem..jadinya sampai sekarang tak diamke mba……ya mungkin kan mba…… begitu lebih bagus mba…… yah,wong aku juga sibuk mba…..kerja itu…...ini,,ngurus anak…… kerja lagi……. jadi untuk begitu kurang mba…… (A1, 265-269)”. Hu’m……. soalnya kalau kita coba tanya…… ya dia cuman diem……. apapun ndak pernah cerita mba…… yah kami taunya cuman tau dari ekspresi wajahnya (A1, 273-274).”

‘’Kalau sekarang gak mba…… tak diamke mba…… soale kan mba…… dulu itu ditanya tapi nda dijawab….. ya wes lah…… tak biarke……. sempat putus asa sih sebenarnya,tapi gimana, sebagai kakak nda boleh (A1, 281-283)’’

Subyek A1 memiliki keinginan untuk membantu subyek A dalam proses penyembuhan yaitu dengan cara membawa adiknya ke puskesmas, akan tetapi subyek A1 merasa takut jika hal itu jadi membebani subyek A.

“Ya sebenarnya aku nda pengen kaya gitu mba..tapi ya mau

kayak gimana…… dia juga begitu ya aku juga diem..nanti aku takut juga nanti banyak bicara jadi beban buat dia mba..yah tak

biarke wae mba..soalnya dia cuman diem…….(A1, 301-304)”

b. Dukungan informasional

Keluarga mengetahui jika subyekA kurang dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dalam masyarakat maupun dalam keluarga, sehingga seharusnya keluarga harus selalu mendukung dan selalu memulai supaya subyek A mau untuk


(17)

48 berkomunikasi dan bersosialisasi, akan tetapi subyek A1 mengatakan tidak pernah lagi berusaha supaya bisa berkomunikasi dengan baik dengan subyekA karenaadanya keputusasaan yang dirasakan subyek A1 karena subyek A yang selalu diam. Faktorkesibukan juga menjadi alasan keluarga. ‘’Ya gmana mba..kalau itu mba,,,ndak pernah mba..yah..kan udah kayak putus asa mba..soalnya dulu kan kalau diajak ngobrol..cuman diem, jadinya sampai sekarang tak diamke mba, ya mungkin kan mba..begitu lebih bagus mba..yah,,wong aku juga sibuk mba..kerja itu..ini,,ngurus anak..kerja lagi..jadi untuk begitu kurang mba (A1, 265-269)’’..

Dengan kondisi subyek A yang mau mengamuk, partisipan mengatakan ketika subyek A ada gejala mau ngamuk, dan bahkan ketika sudah mengamuk, subyekA1 memilih untuk mengancam subyek A dengan mengatakan bahwa subyek A akan dibawa lagi ke rumah sakit jiwa, hal itu sengaja dilakukan karenasubyek A1 tahu bahwa subyek A merasa trauma dan takut jika membicarakan soal rumah sakit jiwa atau dengan mengatakan untuk memanggil bapaknya yang sedang bekerja di pasar, karena subyek A takut terhadap bapaknya.

‘Maaf ya mba..belum bisa ketemu sama mas

Wawannya..takutnya jadi tegang mba...soalnya dia kan pikirnya kan dari Magelang, dia takut kalau dia dibawa lagi ke rumah sakit...takutnya jadi tegang mba. Cuman kan sekarang dia tu

obatnya gak mau minum mba (A1, 10-13)’.

biasanya..nganu..kalau pertama sih kita ngancam..kita bilangin

nanti tak bawa ke magelang..atau kita telpon bapa di pasar gitu


(18)

49 Dalam kesehariannya di lingkungan rumah, subyek A1 mengatakan jika dalam kehidupannya yang sekarang ini, keluarga sudah tidak pernah memberi nasihat ataupun arahan terhadap subyek A baik dalam pergaulan ke lingkungan sosial dan juga dalam hal bekerja, karena subyek A1 merasa sudah putus asa. Keluarga merasa putus asa, kerena awalnya keluarga sudah pernah mencoba untuk memberikan nasihat ataupun arahan, akan tetapi karena tidak adanya perubahan pada subyek A membuat keluarga merasa sudah capek dan putus asa.

‘’kalau sekarang sih mba..sudah tak diamke...sudah tidak pernah kasih nasihat..wong cuman diem o mbak..lah ya wes lah tak diamke mba..( A1, 339-340)’’

‘ndak tak kasih ek..gak tak kasih nasehat kegitu-gitu..tak diamke..( A1, 404)’

‘’dulu juga pernah tak kasih nasihat kayak gitu..diulangi lagi ikh..jadinya aku sendiri juga capek..kayak putus asa juga kan..ndak ada kemajuan gitu kan..ya udalah terserah aja lah..yang penting semampuku sebagai seorang kaka memberikan perhatian sama dia..( A1, 406-409)

Keluarga mengetahui mengenai pentingnya minum obat dan akibat yang ditimbulkan ketika subyek A tidak minum obat, akan tetapi A1 mengatakan subyekA sudah tidak mau minum obat walaupun sudah dijelaskan kepada subyek A apa yang akan terjadi ketika tidak minum obat.

‘‘udah tak kasih tau kayak gitu tapi tetap aja ndak mau..”wan

nanti yo ndak minum obat..kumat, gini-gini..harus dimakan..” udah

diam..dia ndak mau minum...( A1, 470-472)’’

“Obatnya ya sudah ada tempatnya..dan dia tau kok harus minum apa saja..kan dia pernah minum obat rutin..cuman dia saja ndak


(19)

50 minum..tapi dia aja ndak mau..soale dia kan pernah minum

sendiri..cuman dianya aja yang ndak mau (A1, 454-458)”

c. Dukungan instrumental

Meskipun subyek mengakui jika keluarga memiliki perekonomian yang kurang, subyek dan keluarga selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhan keluarga termasuk subyek A, baik kebutuhan makanan, pakaian dan perlengkapan lainnya di rumah. Subyek A1 juga memberikan kaos, baju, dan sandal.

“Kami itu orang susah mba.. A1, 164)”

‘Hu’mmm...tak kasih kaos..baju..sandal,,ke gitu-gitu (A1, 437)’ tak sediain kok..(460)’

Keluarga berusaha untuk tidak membeda-bedakan diantara keluarga, ketika keluarga ingin memberikan sesuatu, subyek A juga tidak akan ketinggalan. Seluruh kebutuhan subyek A selalu terpenuhi dalam pemberian dukungan materi, partisipan mengaku kadang-kadang memberikan uang kepada adiknya, sedangkan ibunya selalu memberikan uang terhadap subyek A dengan tujuan supaya dengan seperti itu, subyekA tidak merasa adanya perbedaan antara keluarganya dan untuk membuat subyekA senang.

‘tapi dia bisa masak sendiri..misalnya ada lauk..ada sayur..mesti dia masak sendiri..entah itu ubi ada digoreng, atau ada nasi..dia

goreng nasi..dia paling suka goreng nasi..( A1, 421-423)’

‘ada semua..kemaren itu baru beli lemari untuk adekku..dia juga dibeliin..kami sebisa mungkin tidak membeda bedakan..nanti takutnya dia bilang “kok wenndi dibeli, aku ndak” takutnya seperti


(20)

51 Subyek selalu menyediakan obat subyek A, karena subyek mengatakan sudah mengerti obat yang harus diminum, akan tetapi subyek A sendiri tidak pernah minum obatnya walaupun sudah disediakan.

“Obatnya ya sudah ada tempatnya..dan dia tau kok harus minum apa saja..kan dia pernah minum obat rutin..cuman dia saja ndak

mau minum..sebenarnya obatnya sudah tersedia,,cuman

minum..tapi dia aja ndak mau..soale dia kan pernah minum

sendiri..cuman dianya aja yang ndak mau (A1, 454-458)”

Subyek A1 dan ibu subyek sering memberikan uang kepada subyek A, dan subyek A1 mengatakan jika ibu subyek setiap hari selalu membrikan subyek A uang, hal ini juga dilakukan oleh keluarga supaya subyek A sendiri mau melakukan sesutu di rumah.

Iya kan ibuku ngasih uang mba kalau aku sih kadang-kadang mba...( A1, 418).

d. Dukungan penilaian

Melihat subyek A yang tidak pernah melakukan interaksi di lingkungan masyarakat karena adanya ejekan dari masyarakat sehingga keluarga memiliki ketakutan jika nantinya subyekA ngamuk dan hal itu membuat subyek A1 dan keluarga untuk tidak mendorong subyek A untuk melakukan interaksi ke lingkungan. ‘’Sekarang sudah ndak sama sekali..takutnya nanti di luar kan

gimana-gimana gitu mba.kan dulunya juga pernah

diejek..takutnya juga nanti dia ngamuk..gitu mba...( A1, 342-344).


(21)

52 Keluarga mengerti tentang pentingnya mendukung subyek A untuk bersosialisasi di lingkungan masyarakat, akan tetapi subyek A1 mengaku tidak pernah mendorong subyek A supaya bersosialisasi ke lingkungan masyarakat. Dalam hal dukungan sosial, keluarga memang sangat kurang, hal itu dari pengakuan A1 jika keluarga tidak memiliki pemikiran untuk memotivasi A untuk brinteraksi dalam lingkungan.

“kalau sekarang sih udah ndak mba..yah tak biarke wae mba..kalau mau keluar atau kemana gitu..belum pernah tak motivasi lagi..soalnya kan anaknya kayak gitu..kalau misalnya pas dia minum obat tak ajak..tapi kan kalau sekarang udah ndak lagi mba..(P1, 393-396)”

“kalau untuk masyarakat sih mba..kami udah berpikir kesitu.karna memang dia kan orangnya sudah tidak aktif..jadi tak biarkan saja mba.( A1,532-533)”

Dalam memberikan dorongan, subyek A1 mengaku sudah tidak memberikan dorongan lagi terhadap subyek A baik itu dalam hal bekerja. subyek lebih memberikan kebebasan terhadap adiknya.

‘’..Jadi untuk soal kesitu udah gak berani lagi..tak diamke mba pokoe..jadi kalau manurut aku..lebih baik dia diem dirumah

aja..iya kalau begitu bagusan mba..intinya gitu (A1,356-359)”

“iya sekarang udah ndak..kalau mau kerja ya kerja..kalau ndak

ya ndak..terserah dia aja...gitu mba.( A1, 517-518)”

Dorongan yang diberikan keluarga memang tidak banyak lagi terhadap A, keluarga tidak pernah memaksa sesuatu hal untuk A. Keluarga memberikan kebebasan terhadap A. Subyek A1 mengatakan, kadang-kadang tanpa disuruh subyek A mau melakukan sesuatu, misalnya nyuci bajunya sendiri, dan ketika


(22)

53 subyekA bekerja, walaupun kerjaan kecil seperti nyuci bajunya sendiri, partisipan mengaku sangat senang, tidak menjadi masalah yang dikerjakan itu maksimal subyek A1 mengaku memberikan pujian atau penilaian yang positif ketika adiknya subyek A, ketika melakukan pekerjaan di rumah.

“Ya senang..tiba-tiba dia nyapu..kita senang..tiba-tiba dia mau nyuci baju sendiri..tiba-tiba dia mandi..gitu aja kita udah senang..hu’mm.”mandi le..biar bersih” (A1, 496-499)”

“pernah sih dulu..”pake baju le,,nanti ganti baju...aku puji dia..cakep le..pokonya bagus..gini-gini...tapi sekarang kan memang udah ndak pernah lagi...( A1, 487-489)”

“Hu;m..nanti tak bilang “bagus le, udah bersih le” gitu-gitu..hal-hal yang kecil..( A1, 501-502)”

“iya..”iya le..trimakasih, bersih oo le, trimakasi”...tp kan kadang kalau kepepet gitu..dia mau..nanti tak bilang makasi ya wan..gitu...( A1, 504-505)”

2. Subyek

a. Dukungan Emosional

Keluarga mengaku berimpati atau merasa kasihan kepada subyek B karena belum ada yang bisa memperhatikan kakaknya secara maksimal.

“Yah..kalau sebagai keluarga ya pasti merasa gmana ya..ada rasa kasihan juga mba.kan kami juga pengennya bisa normal.tapi ya..kami juga tidak bisa berbuat banyak...tidak ada yang

mengurus maksimal..yah begitulah mba (B1, 615-618)”

Keluarga mengakui jika keluarga sayang terhadap subyek B, akan tetapi keluarga tidak dapat menunjukkan dan memberikan dukungan secara maksimal. Faktor kesibukan dan karena sudah memiliki keluarga sendiri yang menjadi alasan keluarga.


(23)

54 “Sebenarnya sih mba...kami keluarga sayang...cuman ya gimana ya mba.ya memang tidak ditunjukkan....karena sibuk itu mba..jadi memang memberikan kasih sayang dan perhatian itu udah ndak bisa maksimal..yah paling kami sediakan untuk makannya..itu mba contoh yang..yang benar nyata..itu mba poinya....( B1, 522-526)”

Keluarga tahu dan mengerti tentang pentingnya dukungan keluarga, akan tetapi keluarga tetap mengakui kalau untuk subyek B sendiri tidak bisa maksimal, partisipan yang sudah berkeluarga yang mengharuskan fokus terhadap keluarga dan pekerjaan. Subyek B1 mengerti jika butuh kesabaran dari keluarga untuk merawat subyek B.

“Iya.. Ya itu..faktor utamanya ya..faktor istri dan anaknya..jadi seperti itu..perawatannya memang kurang maksimal kalau di sini..ya mungkin kalau saya pribadi seperti itu yah harus punya kesabaran yang sangat besar sekali kan..yah tapi mau gimana lagi..orangnya seperti itu..yah memang harus orang yang betul-betul hebat kan harus tulus dan ikhlas kan yang menghadapi tu.. dan jujur kami dari keluarga juga sampai sekarang belum bisa maksimal melakukan itu..kami juga sibuk dengan keluarga dan pekerjaan kami...itu faktor utamanya yang bisa panjenengan bisa

ambil..dari kepribadiannya yang bersangkutan seperti

itu..kemudian ditambah faktor-faktor yang lain..anaknya istri dan

keluarga dari anak istrinya gitu...poinnya itu (B1, 144-155)”

“Iya..tapi sampai sekarang belum ada yang bisa...mau seperti

ini..seperti itu..kan belum ada yang nuntun dia (B1, 333-334)”.

Dalam pemberian dukungan kepada subyek B, dukungan dari subyek juga sangat penting sebagai keluarga, akan tetapi dukungan dan kepedulian dari anak dan istrinya akan jauh lebih bermanfaat, dalam kondisi ini tidak memungkinkan lagi anak dan istrinya untuk memberikan kepedulian dikarenakan subyek B dan anak istrinya sudah tinggal secara terpisah. Saat subyek B masuk


(24)

55 RSJ anak dan istrinya tidak pernah menjenguk ataupun memperhatikan. Anak subyek B yang ingin fokus terhadap sekolahnya dan istri subyek B yang sudah bekerja di Jogja.

“iya..istrinya kerja di jogja..anaknya ikut mbanya yang paling

kecil..itu..poinnya seperti itu (B1, 112-113)”

“Ndak pernah. Tapi anaknya bilang sama saya..saya jangan

diganggu dulu..tunggu saya belajar dulu..nanti habis itu

baru saya lihat bapak...( B1,428-430)”

“iya mba..masalahnya kami juga tidak bisa berbuat banyak ketika dia bilang kangen sama anaknya..sekarang ini kan anaknya sama budenya...dan dulunya kan sudah dibilang jangan diganggu dulu..dia mau fokus sama sekolahnya dulu..( B1, 507-510).

Dalam hal menghadapi masalah, subyek B1 mengatakan jika subyek B1 tidak tau masalah apa saja yang dihadapi oleh B selain masalah anak dan istri B sendiri. Subyek B1 mengakui bahwa sangat sulit untuk berkomunikasi dengan B, B tidak akan bisa tahan lama jika diajak untuk berbicara, jadi tidak bisa untuk

sharing ataupun cerita. Subyek B1 tidak tau perasaan B, apa

yang sedang dirasakan dan ataupun yang sedang dipikirkan, hal itu karena minimnya komunikasi dan susah untuk melakukan komunikasi.

‘’iya mba..sampai sekarang juga kami nda tau masalah yang dia hadapi Selain masalah istri dan anaknya..ndak pernah cerita

soale (B1, 494-495)’’

‘’kalau dulu sih mbak..pernah cerita..kangen sama anaknya (B1, 500)

‘’nanti kalau diajak bicara sebentar saja dia langsung pergi mba..gak tahan lama mba..soalnya kan memang kepribadiannya gitu mba...diajak bicara langsung pergi..begitu mba..bicara


(25)

56 b. Dukungan Informasional

Mengetahui bahwa subyek B sangat membutuhkan dukungan dari keluarga untuk proses peyembuhan. Partisipan mengaku jika awalnya keluarga sudah memberikan dukungan terhadap B, memberikan nasihat dan dorongan, akan tetapi subyek B tidak meresponi sehingga keluarga merasa jika tidak ada perubahan dan pada akhirnya keluarga berhenti memberi dorongan, keluarga lebih memilih untuk diam. Untuk sekarang ini keluarga lebih memilih untuk memberikan kebebasan kepada B tanpa adanya paksaan. Dengan kepribadian yang dimiliki oleh subyek B mengakibatkan keluarga mengalami kesusahan untuk memberikan dukungan, keluarga mengatakan sangat susah untuk berkomunikasi dengan adiknya, karena sesuai dengan kepribadian yang dimiliki, keluarga tidak akan bisa untuk berkomunikasi dengan baik karena keluarga mengatakan adiknya tidak akan tahan ketika diajak bicara.

‘’Gimana ya..susah mba...soalnya kan orangnya itu udah seperti itu..diajak bicara saja tidak tahan 1 menit..nanti langsung pergi..ya kami juga kan tidak mau paksa..masalahnya kalau dipaksa jadinya kan ngamu..ya kami nda mau seperti itu..ya..dibiarkan sajalah mba....kalau untuk seperti itu kami sudah tidak mau..wong kalau kadang kalau pemikirannya lagi bagus..ngomong sama

dianya gak tahan lama..apalagi saat-saat sekarang

ini...wahh..udah susah mba....jadi kami memang sudah tidak pernah kasih arahan, nasehat apalagi kan kondisinya yang

seperti sekarang mba...( B1, 166-172)”

“yah...sekarang ini kan mba...kalau untuk seperti itu memang sudah jarang mba...nanti kalau diajak bicara sebentar saja dia langsung pergi mba..gak tahan lama mba..soalnya kan memang


(26)

57 kepribadiannya gitu mba...diajak bicara langsung pergi..begitu mba..bicara baik-baik saja susah mba..apalagi kalau nasihat kayak gitu..wah,,malah pikiran dianya..nanti kan pikirnya jadi macem-macem..apalagi kondisinya kan sekarang kayak gitu

mba..( B1, 477-483)”

Keluarga mengetahui, jika subyek B memiliki kepercayaan diri yang rendah, dan juga keluarga mengakui jika selama ini belum ada dukungan yang diberikan keluarga untuk membangun kepercayaannya kembali, karena keluarga merasa tidak banyak waktu untuk subyek B.

“iya..kan selama ini untuk membangun kepercayaan dirinya sendiri dari pihak keluarga tidak ada..ya mohon maaf kan semua sudah cari kebutuhan sendiri-sendiri..sudah tidak seluruhnya keluarga untuk dia ya kan...yah..tapi kembali lagi karena faktor ekonomi juga..( B1,267-272)”

“gak pernah lagi mba..ya didiamke mba..kadang kita saja bingung..ngomong nanti dia anggap gimana..yah jadinya kayak gitu saja..didiamkan mba.. (B1, 312-314)”

“iya mba..dulu itu saat pemikirannya bagus yah bilangnya itu

pikiran saja..jangan terlalu dipikirin, Sudah sering itu

dibilangin..kalau melangkah itu tetaplah melangkah..tidak usah diingat-ingat lagi yang lalu...tidak usah berfikir lagi yang kebelakang..yang sudah ya sudah...tapi kalau sekarang sudah

ndak mba..ngajak ngomong aja kan sudah susah (B1, 337-342)”

c. Dukungan Instrumental

Keluarga selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan subyek B, misalnya seperti makanan dan rokok yang adiknya minta. Akan tetapi selain itu, subyek B1 mengatakan untuk saat ini sudah tidak lagi memberikan bantuan terhadap adiknya untuk kesembuhannya, seperti waktu luang untuk subyek B,


(27)

58 dikarenakan faktor dari adiknya sendiri dan faktor kesibukan keluarga.

“iya..masih..minta uang..minta rokok... Main sama anak saya (B1, 416)”

“kalau kami mba..selalu mendukung mba...ya itu kalau dia minta rokok atau uang kami kasih mba..kayak kemaren itu minta rokok..ya dikasi...cuman hal seperti itu mba..semampu kami ya kami lakukan tapi kembali lagi secara maksimal memang sudah ndak bisa lagi mba..tapi untuk hal-hal yang lain memang yah sudah ndak mba...( B1,528-533)”

“Gmana ya mba..binggung juga ya mba (garuk kepala), ya jujur saja mba, memang kalau sekarang ini kami sudah tidak melakukan apa-apa lagi mba..seperti tadi yang kami bilang mba..terkadang kami itu bingung mau melakukan apa..soalnya

dari kepribadiannya juga,,,nanti ngomong salah..dipikir

marah..nyuruh juga..yah gimana ya..jadi sekarang lebih baik diam mba...seperti itu mba..( B1, 622-628)”

“Makanya kan saya pernah bilang mba..kami tidak bisa maksimal..ya kayak gini..kami tidak lagi membantu dia..kami juga banyak kerjaan, kami sibuk mba..ya kan hidup kami juga kan mba bukan cuman dia..gitu mba..yah kalau untuk kesana memang ya..sudah ndak..kami tau dia butuh apa..karna kan memang sudah disarankan dari rumah sakit..tapi sampai sekarang kami

belum bisa mbak..( B1, 630-636)”

Keluarga mengetahui mengenai kepatuhan dalam minum obat, dari awal B pulang dari rumah sakit, keluarga sudah menyarankan untuk minum obat secara rutin, akan tetapi B tidak meresponinya dengan baik dan pada akhirnya keluarga berhenti untuk memberikan dorongan/dukungan dalam minum obat.

“Dari awal sudah kami kasi tau mba..dan ketika dia masih sadar..dikasi tau..kan dari rumah sakit juga kan sebenarnya dikasih tau mba..kalau obatnya harus diminum terus...tapi kan kami juga tidak mau memaksanya mba..kalau dia tidak mau minum obat..yah dibiarkan saja mba...kalau kami paksa,,yah bagitu mba,,,kami juga takut perasaannya..kami takut dia ngamuk.dia berpikir yang macem-macem..jadi dibiarkan sajalah


(28)

59 Dalam pemenuhan dukungan juga dalam mengontrol minum obat keluarga juga bisa memberikan secara maksimal, keluarga mengakui sudah tidak bisa mengawasi kakaknya, hal ini juga dikarenakan faktor keluarga yang sudah sibuk dengan pekerjaannya. Keluhan dari keluarga yang tidak ada perubahan terhadap B membuat keluarga kurang peduli dengan memberi kebebasan. Akan tetapi subyek B1 mengatakan, jika dari awal sudah disampaikan kepada B, bahwa harus minum obat secara rutin, akan tetapi B tidak melakukannya.

“Iya mba...masih..tapi itu mba kadang-kadang dia bosan katanya minum obat mba..( B1, 538-539)

“dari awal sudah kami kasi tau mba..dan ketika dia masih sadar..dikasi tau..kan dari rumah sakit juga kan sebenarnya dikasih tau mba..kalau obatnya harus diminum terus...tapi kan kami juga tidak mau memaksanya mba..kalau dia tidak mau minum obat..yah dibiarkan saja mba...kalau kami paksa,,yah bagitu mba,,,kami juga takut perasaannya..kami takut dia ngamuk.dia berpikir yang macem-macem..jadi dibiarkan sajalah

mba,,,terserah dia saja..(P2, 542-549)”

“yah..kalau untuk itu sih tidak selalu mba..soalnya memang seperti tadi yang saya katakan kami tidak bisa mengawasi dia mba..yah karena sibuk itu mba..yah dia minum atau tidak kami

ndak tau mba...( B1,552-555)”.

d. Dukungan penilaian

Keluarga sadar dengan kondisi B yang sangat tidak memungkinkan untuk bekerja, jadi keluarga tidak pernah lagi memberikan perhatian mengenai pekerjaan terhadap B dan bahkan tidak pernah mendorong B untuk bekerja.

“ya gimana ya mba..sekarang itu terserah dia lah mba..kami


(29)

60 “kalau sekarang ini tidak mba..untuk kerja..atau nuruh ndak pernah..kami tidak pernah lagi..dia mau ngapain..mau kerja..atau tidak..yah..kalau dia mau..silahkan..tapi untuk ngajak atau

nyuruh..sudah tidak mba..semaunya dia saja..( B1, 567-570)”

“Sebenarnya kan begitu.tapi kan untuk sekarang memang sudah tidak lagi mba..kan seperti itu mba..sekarang kan sering jalam-jalan..untuk kerja mencari kebutuhannya sendiri sudah tidak bisa..dan untuk itu juga kami sudah tau, dan kami sudah mengerti kondisinya seperti itu..kami juga tidak pernah lagi untuk menyuruh atau mendorong dia untuk kerja...ya kalau dia mau bantu-bantu

ya ndak papa..tapi kan selama ini belum pernah..( B1,578-584)”

Tidak hanya tidak memberikan dukungan atau dorongan dalam bekerja, subyek B1 mengatakan dalam bersosialisasi juga keluarga tidak pernah memberikan dorongan, yang menjadi alasan subyek B1 dan keluarga bahwa keluarga sudah mengerti dengan kondisi B, keluarga memberikan kebebasan tanpa adanya paksaan terhadap B sendiri.

“...Kalau untuk dorong sih memang sudah ndak..kami biarkan saja mba..kalau dia mau ya monggo..tapi kalau ndak ya ngak papa..terserah dia saja.. toh kan masyarakatnya juga sudah ngerti

mba...( B1, 591-595)”

Keluarga mengetahui tentang pentingnya memberikan pujian terhadap B, sehubungan dengan kondisinya. Akan tetapi subyek B1 mengaku tidak pernah memberikan pujian ataupun penilain yang positif, walaupun sudah disarankan, partisipan mengatakn jika tidak terbiasa membrikan pujian ataupun penilaian positif terhadap B.

Dipuji..haha (tertawa)..dulu dari rumah sakit sih mba..disarankan

bagitu..tapi memang..gimana ya mba...ndak pernag begitu mba...(


(30)

61 “Ndak pernah mba..(geleng kepala), ndak terbiasa kayak gitu ikh (B1, 612)”

3. Subyek C

a. Dukungan emosional

Partisipan adalah saudara kandung dari C sendiri, akan tetapi subyek C1 mengatakan jika tidak memiliki hubungan yang dekat dengan adiknya, karena partisipan mengatakan sudah tinggal terpisah dengan C mulai dari kecil.

“Kalau saya sih ndak..saya kan kurang dekat dengan dia..sama adek saya gak dekat sama dia.. (C1, 338-339)”.

‘’Oh..jadi gini..dulu itu didikannya itu sudah beda..jadi ini (menunjuk istrinya Ibu R) dari kecil sudah didik sama kakeknya..didesa..terus adek ini sam adek yang satu lagi sama ibu..jadi istri saya sama kakeknya didik secara mandiri..apa-apa sudah mandiri (C2, 340-343)’’

Dalam hal memberikan dukungan, subyek C1 merasa sudah memberikan yang terbaik, C1 merasa jika dukungan yang diberikan oleh C1 sudah cukup. Subyek C1 sendiri sudah merasa capek dan malas dalam hal memberikan dukungan terhadap adiknya subyek A.

Saya saja sekarang ini sudah cepek..males (C1, 441) Ya itu mba..kalau mba tanya tadi soal dukungan..ya itu mba..saya sudah memberikan yang terbaik...kayak gitu mba...intinya kalau saya pribadi kalau dukungan saya sudah cukup..(C1, 461-463)

Keluarga mengatakan sudah memberikan upaya yang sangat luar biasa, jadi jika subyek tidak memberikan dukungan terhadap C itu karena partisipan hanya ingin fokus terhadap


(31)

62 keluarganya sendiri. Subyek C1 merasa sudah memberikan usaha yang luar biasa terhadap C, akan tetapi karena tidak adanya perubahan sehingga membuat subyek C1 dan keluarga merasa bosan dan memilih untuk fokus ke keluarganya sendiri. “Kalau bicara soal upaya, materi ya sudah luar biasa..pemikiran, repotnya sudah luar biasa,,selama sekian tahun..begitu..ya itu

menurut pemandangan saya ya..wong saya yang

merasakan..orang lain kan gak tau..orang taunya saya gak mendukung..padahal semuanya saya sudah saya berikan (C2, 284-288)”

“Ya kayak gitu mba..saya juga bosan mba...Mba..kalau mba suruh pilih mba..ya sayah lebih pilih ya saya lebih pilih keluarga..nomer satu..ya saya mau fokus ke keluarga saya mba.. (C1, 450-453)”

Dan juga karena ada dalam pemikiran subyek C1 bahwa masih ada suami C yang seharusnya memberikan dukungan dan memperhatikannya dan juga subyek C1 mengatakan jika subyek C1 tidak mempunyai waktu yang banyak, karena harus kerja dan mengurus keluarganya sendiri.

Trus itu mba..kadang-kadang ada dalam pemikiran saya..wong

dia itu masih punya suami..kenapa harus saya..kenapa gak suaminya saja..gitu mba..kadang ada rasa capek gitu loh mba (C1, 367-368)

Saya tidak mau memperhatikan adik saya ya saya jangan dipaksa...saya masih banyak urusan keluarga, kerja juga, ndak banyak waktu buat dia (C1, 83-85)

Dari pengakuan subyek C1, subyek C1 sendiri sudah merasa bosan dengan keadaaan C sekarang ini, dan juga subyek C1 mengatakan kalau masih banyak hal yang ingin dilakukan


(32)

63 selain dari masalah adiknya sehingga tidak dapat memberikan perhatian yang maksimal terhadap C.

Saya saja sekarang ini sudah cepek..males mba...ya udalah tak biarkan (C1, 441-442)

Ya iya mba..soalnya kan hidup kami bukan cuman ini doank.. masih banyak mba..cuman ini aja gak kelar-kelar..bagaimana dengan orang lain...kalau dinilai kejam..bukan kejam..tapi ya mau harus gimana lagi (C1, 456-460).

Keluarga subyek C1 terhadap adiknya, dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh adiknya C, subyek C1 mengaku sudah tidak peduli dengan permasalahannya C, karena subyek C1 merasa sudah capek.

Ada permasalahan apa ya udah tidak peduli (C1, 148)

Kalau bicara soal upaya, materi ya sudah luar biasa..pemikiran, repotnya sudah luar biasa,,selama sekian tahun..begitu..ya itu menurut pemandangan saya ya (C1, 284-286).

b. Dukungan informasional

Keluarga mengerti dengan kondisi C yang sangat membutuhkan bantuan, baik bantuan nasihat, dorongan dan petunjuk. Partisipan mengatakan sudah berulang kali memberikan nasihat dan arahan kepada C, yang pada akhirnya C1 merasa capek, bosan dan juga subyek C1 sudah menyerah/putus asa dengan keadaan C. Sudah..berkali-kali..tapi kan berulang begitu, yah kami juga jadi bosan mba(C2,419-420

“Kami selalu..sampa kami capek..bukan cuman itu..tetangga juga,

gereja,, sampai capek..( C2,292-293)”

Ya kayak gitu mba..saya juga bosan mba...

Mba..kalau mba suruh pilih mba..ya sayah lebih pilih ya saya lebih pilih keluarga..nomer satu..ya saya mau fokus ke keluarga saya mba..( C1, 450-453).


(33)

64 Keluarga sudah mengarahkan C untuk mengikuti kegiatan terutama kegiatan dalam gereja supaya adiknya bisa melakukan hal-hal yang positif, akan tetapi C tidak meresponi dengan baik.

“Ya..kalau gak ya habiskan waktunya untuk hal yang positif..jadi

pikiranny gak kemana-mana..fokus, ada tujuan..( C2, 211-212)”

...Kemaren-kemaren itu ke gereja..jadi ada pengalaman rohani..kan banyak toh kegiatan rohani...karna kalau kesitu kan bisa fokus..kami sudah mengarahkan kesana..cuman kan karena dia itu sudah menutup diri..coba merangkul gereja untuk mengajak dia..tapi berkali-kali tidak jalan..soalnya pemikirannya cuman satu..bagi dia teman satu-satunya itu ya suaminya..gitu loh..kan gitu..makanya dia gak bisa menerima suaminya itu sudah gak sama-sama dengan dia..mertua gak bisa sama dia (C1, 239-246)

Subyek C1 mengatakan, jika dari awal, sudah memberitahukan kapada C supaya minum obat secara rutin, akan tetapi C tidak meresponi dengan baik dan tidak melakukannya. “Kemaren aja kan pas pulang..sudah tak bilangin harus minum obat..harus kontrol..tapi ya ndak mau..soalnya kami juga tau.jangan sampai lose kontrol..satu kali bolong ya nanti dampaknya gimana..wong kami sudah lama yang sama dia..( C1,

362-365)”

Pada awalnya subyek C1 sudah memberikan arahan kepada C, akan tetapi tidak adanya perubahan karena C tidak meresponi dengan baik.

“Ya itu tadi..kamu ini S1 kok kayak gini..tunjukkan..kalau kamu mau dihargai orang lain..kamu harus menghargai dirimu sendiri..udah gitu saja..aku sudah bilang aku ndak bisa merawat kamu 100 %, jalan satu-satunya kamu ke gereja..saya hatinya enak..kamu juga hatinya enak..gitu..itu dari gereja itu telpon aku..suruh mba Z gereja..nanti aku kasi tau “tadi ada telpon dari

gereja, nanti disuruh kegereja’ ya udah gitu...’kalau kamu ndak

tau tempatnya kamu disuruh ketempatnya pak nordi’,,ya udah


(34)

65 c. Dukungan instrumental

Untuk membantu kesembuhan C, keluarga selalu membantu C dalam bersosialisasi dengan mengarahkan C untuk mengikuti kegiatan di geraja. Akan tetapi C tidak meresponinya dengan baik.

“Wong kemaren itu dari pihak gereja sudah nyari..tak bilangin..zip..itu loh dipanggil pak pendetanya..disuruh pergi..yah dia ndak pergi cuman diem tok..

Lah kayak gitu..( C1, 72-77)”

Dalam memenuhi semua kebutuhan hidup C, partisipan dan keluarga menyediakan semua kebutuhan C, baik dari tempat tinggal, makanan dan pakaian.

“(Sambil menuju kamarnya adiknya) (disana tampak terlihat perlengkapan dapur, cangkir, gelas, piring, ada kursi, meja lemari, ada makanan biskuit roma, rinso, odol, sabun ada tempat nasi dan juga ada alkitab dan diluar tampak ada kamar mandi, baju

kotor dan baju yang digantung) (C1, 79-83)”

Keluarga tahu bahwa C memiliki bakat, dan keluarga sudah memfasilitasi supaya C dapat bekerja sesuai dengan bakat yang dimiliki, akan tetapi C tetap tidak mau melakukannya.

“Maksud kami,,kami sudah arahkan kesitu..beli manik-manik.. bahan-bahannya..alat sulam...sudah..kami sediakan..tapi ya

nyatanya dianya gak mau..( C2, 257-260)”

d. Dukungan penilaian

Subyek dalam memberikan dorongan untuk bersosialisasi, subyek C1 pada awalnya sudah memberikan dorongan kepada C, tapi karena tidak ada respon yang baik dari C sendiri dan juga


(35)

66 karena tidak adanya perubahan pada C mengakibatkan subyek C1 berhenti untuk memberikan dorongan dan juga subyek C1 merasa sudah malas dalam hal memberikan dorongan kepada adiknya.

Ya..kalau dulu-dulu sih..moso kamu mau hidup kayak gini terus..kamu pergi ke gereja..dari pada kamu kayak gini terus..gitu

(C1, 481-482)”

‘’Udah gak..saya sudah habis kesabaran..orang dia kayak gitu ok..pulang dari rumah sakit kemaren..udah tak kasi tau...kemaren saja tak ajak makan..tak ajak ditempat lumayan...ada banyak orang juga disekitar sini .

Subyek C1 mengatakan merasa senang jika C bisa melakukan hal-hal yang baik, akan tetapi subyek C1 tidak menunjukkan rasa senangnya dan juga tidak pernah memberikan suatu apresiasi kepada C, misalnya dengan memberikan suatu pujian.

“Yah aku senang mba..tapi aku ndak kasi apa-apa..ndak kasih hadian..dibiarin aja begitu..saya senang, tapi tidak saya tunjukkan (C1, 471-472)

“ndak pernah (sambil geleng kepada)...lagian ndak biasa mba..aku aja kurang dekat sama dia...bicara saja sudah

jaraang...gitu mba... (C1, 510-512)”

4.3 Uji Keabsahan Data

Dalam penelitian ini, dalam uji keabsahan data (kreadibilitas) peneliti menggunakan teknik triangulasi yaitu dengan triangulasi waktu waktu. Peneliti melakukan wawancara dengan subyek yang sama dengan waktu berbeda.


(36)

67 4.3.1 Triangulasi Waktu Subyek A

Peneliti melakukan triangulasi dengan sumber waktu, yaitu pada tanggal 4 Oktober 2013 pukul 17.30 tepatnya di ruang kerja subyek A1, pada saat wawancara jawaban subyek masih sama dengan wawancara sebelumnya, partisipan masih mengatakan, jika A sekarang ini masih diam di rumah dan belum pernah untuk bersosialisasi.

subyek juga mengatakan keluarga juga sampai sekarang belum memberikan dukungan ataupun motivasi supaya A mau bersosilisasi dengan lingkungan alasannya masih sama dengan ketika peniliti melakukan wawancara kedua kalinya, yaitu takut diejek dan menjadi beban sama A. Dari pihak keluarga juga tidak lagi memotivasi A mau untuk minum obat. Dan walapun subyek sudah mengerti tentang pentingnya dukungan, nasihat dan arahan, A1 mengaku belum memberikan hal-hal yang seperti itu terhadap A. Partisipan juga mengatakan putus asa dan malas, jadi subyek lebih memilih untuk diam.

“Ya..mau gimana mba hanes..sudah kayak gitu...kan sudah pernah tak ceritain itu..susah mba..sekarang kan lebih baik tak diamke mba..sudah merasa pie gitu mba”

“Ya kayak kemaren-kemaren itu mba...putus asa gitu...tapi sekarang ini aku ndak mau terlalu pusing lah mba..kan masih banyak hal yang harus aku kerjakan..anakku, keluarga dan juga kerja to mba..jangan sampe ndak fokus gara-gara itu..tapi ya namanya manusia ya mba...mesti pikiran..”

“Ho..o ya mba hanes...kadang itu aku tu jadi kayak malas gitu loh mba...nanti aku pikirnya..wong nanti jawannya


(37)

68 masih kayak gitu..nanti mesti kayak gitu lagi..jadinya pie ya mba”

“Iya mba hanes....yah...makanya sekarang ini tak diamke

dulu lah mba hanes...kadang kan kalau diam tenang juga mba..tapi kadang kayak beban...moso diemm trus..tapi nanti tak sapa juga ndak dibalas”

4.3.2 Triangulasi Waktu Subyek B

Wawancara pada 06 Oktober 2013 pukul 16.00, pada saat di rumah subyek B1 hendak pergi, sehingga wawancara tidak berlangsung lama. B1 mengatakan jika keadaan B masih belum ada perubahan. B sering keluar rumah keliling-keliling kampung. subyekB1 juga mengatakan belum pernah lagi berkomunikasi dengan subyek B karena subyekB1 memang sibuk kerja.

Subyek B1 juga mengatakan sekarang ini juga lebih baik untuk didiamkan saja, karena B1 dan keluarga juga takut kakaknya berpikir yang lain ketika diajak bicara, karena sesuai dengan kepribadian yang dimiliki kakaknya. Menurut B1 sampai sekarang ini masih belum ada yang bisa memperhatikan subyek B secara maksimal, karena semua keluarga yang sudah sibuk dengan keluarganya masing-masing. Anak dan istri subyek B juga yang tidak lagi pernah memberikan perhatian kepada B.

Subyek B1 juga merasa prihatin, akan tetapi tidak dapat berbuat banyak untuk kesembuhan kakaknya.


(38)

69 “yah masih sama mba, kayak gitu..masih suka jalan-jalan, jarang dirumah”

yah kami sebagai keluarga mba, memang sudah ndak bisa

berbuat banyak, kan sudah saya sudah pernah sampaikan, semuanya sudah sibuk, saya juga sibuk istri saya juga sibuk, ya memang kan sekarang ini juga kami sudah sibuk dengan kehidupan kami masing-masing dan keluarga masing-masing, belum ada mba yang bisa memperhatikan dia, kasih dukungan juga..ndak ada mba..terkadang juga kan kami juga bingung, wong diajak bicara saja susah,,ndak bisa mba (sambil geleng-geleng kepala). Yah memang saat ini kan kami biarkan saja mba..yah didiamkan lah mba...mau ngapain dia kadang memang kami ndak tau..begitu mba”

“Ya iya mba..tapi gimana mba? Kami ndak bisa berbuat banyak..ya kan mba..ya kami kan masih butuh hidup mba..kami kan bukan cuman untuk dia..kami masih banyak hal yang harus dikerjakan...lagian kan wong dia kayak gitu..sudah susah lah mba...ya itu faktor kepribadiannya mba...makanya sekarang kan susah mba...makanya kami sebenarnya kan sekarang lebih memilih untuk diam..biarkan saja lah mba...semaunya dia...”

4.3.3 Triangulasi Waktu Subyek C

Peneliti dan subyek C1, sebelumnya sudah saling kenal, jadi pada saat melakukan wawancara, peneliti tidak merasa kesulitan. Pada saat melakukan wawancara untuk yang ketiga kalinya, pada tanggal 04 September 2013 pukul 06.15 WIB bersamaan di warung pada saat beli makan, C1 mengaku jika C belum juga mandi, subyek mengaku tidak memotivasi C untuk mandi, karena subyek sudah malas dan bosan.Subyek C1 juga mengatakan merasa malas karena sudah mencium bau tidak enak.

“itu mba, belum mandi juga, kemaren waktu ngasi makan, kamarnya sudah bau, kukunya juga sudah kotor mba..kan


(39)

70 aku intip mba..kan kemaren mba sudah liat ada sedikit lubang, jadi aku bisa liat mba”

“ya ndak mba.aku sudah malas mba..biarin aja..wong dia pasti tau kok, dia kayak gitu mba”

“ndak mba, biarin aja”

Subyek C1tidak pernah lagi memberikan motivasi, subyek merasa sudah capek dan juga subyekmengatakan, jika dalam beberapa hari pulang telat, jadi kurang memperhatikan C. Subyek C1 melihat C hanya pada saat memberikan makanan kepada C. Subyek mengatakan belum pernah ngobrol sama C, karena C yang hanya tinggal di kamar dan C1 jarang melihat C keluar. C1 juga mengatakan sudah merasa bosan dan malas untuk berbicara dan memotivasi adiknya.

“iya ikh mba..akhir-akhir ini juga aku malas pulang cepat mba..jadi aku kurang memperhatikan dia, dan palingan juga kalau pulang dari sekolah ya saya kan istirahat mba..kan saya juga capek. Ya palingan kan pas kasih makan baru lihat dia. Yah aku juga sudah malas mba, kayak mba bilang motivasi atau apa..kesabaranku ya sudah habis to mba...yah,,tapi kayak gitu tetap tak kasih makan mba..(sambil

tertawa)..nanti kalau ngak dikasi makan,,dia pie

mba..(tertawa)..iya to mba...” 4.4 Pembahasan

Menurut Kumfo (1995) keluarga adalah sebagai sumber dukungan sosial yang dapat menjadi faktor kunci dalam penyembuhan klien ganguan jiwa. Walaupun anggota keluarga tidak selalu merupakan sumber positif dalam kesehatan jiwa, keluarga paling sering menjadi bagian penting dalam penyembuhan (dalam Videbeck, 2002). Jadi,


(40)

71 keluarga adalah sangat berperan penting bagi kesembuhan klien dengan memberikan berbagai dukungan. Salah satu nilai keluarga yang penting adalah menganggap keluarga sebagai tempat untuk memperoleh kehangatan, dukungan, cinta dan penerimaan (Friedman, 1998). Dukungan sosial yang diberikan menguatkan kepercayaan diri dan harga diri klien serta sebagai penguatan secara interpersonal terutama dalam menyelesaikan masalah (Videbeck, 2008).Terutama bagi individu dengan gangguan jiwa dengan harga diri rendah dukungan keluarga sangat penting guna untuk membangun tingkat kepribadian yang baik, sehingga bisa kembali di lingkungan sosial, karena individu dengan gangguan harga diri rendah mengalami gangguan dalam kepribadiannya, sehingga dukungan keluarga sangat dibutuhkan.

Menurut House ada empat bentuk dukungan yang diberikan keluarga yaitu: dukungan emosional, dukungan informasional, dukungan instrumental dan dukungan penilaian (dalam Setiadi, 2008). Pada ketiga partisipan dari hasil penelitian bahwa keluarga tidak memberikan dukungan secara maksimal kepada klien dengan harga diri rendah, hal ini bukan hanya faktor dari keluarganya sendiri akan tetapi dari faktor kepribadian yang yang dimiliki oleh setiap klien. Sifat yang dimiliki setiap klienyang seharusnya dibutuhkanusaha dan kesabaran dalam proses perawatan yang dilakukan oleh keluarga. Keluarga mengetahui mengenai pentingnya dukungan terhadap setiap subyek, akan tetapi keluarga merasa sudah bosan dan malas, karena tidak adanya


(41)

72 perubahan terhadap setiap subyek, hal ini membuat keluarga lebih memilih untuk diam. Dalam hal ini adanya motivasi dari keluarga sendiri, dapat mempengaruhi terhadap tingkat kesembuhan klien dengan harga diri rendah, seperti penelitian yang dilakukan oleh Yuliana (2010) mengenai motivasi keluarga dalam memberikan dukungan terhadap klien gangguan jiwa, mengatakan bahwa masih banyak keluarga dan lingkungan yang kurang memberikan dukungan terhadap klien gangguan jiwa, sehingga klien dengan gangguan jiwa semakin tidak bisa mempertahankan konsep diri yang positif sehingga kesembuhan pun akan sering terjadi.

. Dalam dukungan emosional hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kasih sayang, perhatian, kepedulian dan empati. Individu dengan harga diri rendah adalah individu yang kehilangan kasih sayang, perlakuan orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal yang mengancam (Yosep, 2007). Menurut Brehm & Kassin (1993) bahwa pemberian kasih sayang merupakan salah satu bentuk dukungan sosial yang berupa bantuan fisik, yaitu interaksi mendalam yang mencakup pemberian kasih sayang dan kesediaan mendengarkan permasalahan. Jadi, dengan adanya pemberian dukungan emosional maka akan membantu kesembuhan anggota keluarga yang sakit seperti yang dikatakan oleh Buchanan (1995) bahwa individu yang mendapat dukungan emosional telah terbukti jauh lebih sehat dari pada individu yang tidak mendapat dukungan (dalam Videbeck, 2008). Dengan


(42)

73 adanya pemberian dukungan emosional tidak hanya membuat lebih sehat akan tetapi dapat meningkatkan tingkat kepercayaan diri terutama bagi klien dengan harga diri rendah, seperti yang diungkapkan oleh Santrock (2003) salah satu cara untuk meningkatkan kepercayaan diri adalah dengan memberikan dukungan emosional.

Individu dengan harga diri rendah adalah individu dengan tingkat kepercayaan yang sangat rendah, sehingga dukungan emosional sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kepercayaan individu tersebut.Dalam melakukan perawatan dan memberikan kasih sayang, keluarga harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi karena dengan perilaku harga diri rendah keluarga bisa merasa memiliku suatu beban, seperti penelitian yang dilakukan oleh Papastavrou (2010) bahwa merawat individu dengan gangguan jiwa adalah situasi yang sangat kompleks yang dapat mengakibatkan emosional, fisik, beban sosial dan ekonomi bagi keluarga. Dengan beban yang dirasakan keluarga dapat mempengaruhi keluarga dalam memberikan pelayanan, keluarga tidak bisa memberikan dukungan yang efesien untuk memberikan layanan yang memuaskan.

Jadi, individu dengan harga diri rendah saat kembali ke lingkungan rumah, dukungan kasih sayang yang dari keluarga sangat dibutuhkan dalam proses pemulihan. Keberadaan keluarga dapat membuat rasa aman dan nyaman sehingga menambah kepercayaan diri


(43)

74 karena meyakini bahwa ada keluarga yang selalu mencintai, memperhatikannya dan selalu siap untuk memberi dukungan.

Dalam penelitian ini ditemukan hasil bahwa ketiga subyek A1, B1,C1 tidak memberikan dukungan emosional secara maksimal. Dari hasil wawancara yang menjadi alasan tidak bisa memberikan perhatiaan dan kepedulian yang maksimal adalah karena sibuk dengan pekerjaan dan keluarga masing-masing. Bentuk kepedulian dan kasih sayang keluarga hanya ditunjukkan dengan menyediakan makanan yaitu pada subyekA1, B1,C1. Ketiga subyek mengaku tidak memiliki banyak waktu untuk memberikan perhatian karena sibuk dengan pekerjaan dan keluarga masing-masing. Jika fokus keluarga dalam memberikan kasih sayang dan bentuk kepedulian hanya dalam memberikan makanan, maka hal itu tidak akan bisa membangun tingkat kepercayaan diri, karena tidak adanya hubungan langsung secara pribadi

Pada klien gangguan jiwa lingkungan keluarga berperan dalam merawat untuk meningkatkan keyakinan pasien akan kesembuhan dirinya, peran keluarga yang baik dengan memberikan motivasi dalam proses penyembuhan dan rehabilitasi diri, karena dengan suasana di dalam keluarga yang mendukung maka akan menciptakan perasaan positif dan perasaan berarti bagi klien itu sendiri (Nurdiana, 2007). Salah satunya adalah dengan gangguan konsep diri harga diri rendah, pasien dengan harga diri rendah sangat membutuhkan dukungan dari keluarga karena jika dalam keluarga tidak terpenuhinya interaksi yang


(44)

75 memuaskan atau mengakibatkan frustasi maka hal itu akan mengakibatkan tekanan psikis (Potter, 2005).

Individu dengan harga diri rendah timbul dari kurangnya kepercayaan pada kemampuan dirinya sendiri. Orang yang tidak menyenangi dirinya, merasa bahwa dirinya tidak akan mampu mengatasi persoalan. Orang yang kurang percaya diri akan cenderung menghindari komunikasi. Individu tersebut takut orang lain mengejeknya dan menyalahkannya, sehingga akan lebih banyak diam. Dalam situasi seperti ini, ketika individu tersebut berada di rumah, dukungan keluarga sangat berarti, keluarga yang harus menopang dan berusaha dalam mengembangkan kepercayaannya (Rakhmat, 2003). Maka dari hal itu, sangat diperlukan dukungan dari keluarga berupa nasihat ataupun arahan, supaya dapat membantu dalam meningkatkan tingkat kepercayaan diri.

Menurut House dukungan keluarga secara informasional adalah bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan oleh informasi ini dapat disampaikan kepada orang lain yang mungkin menghadapi persoalan yang sama tau hampir sama (dalam Setiadi, 2008). Akan tetapi berbeda dengan penelitian ini, dalam penelitian ini setiap subyek tidak lagi menerapkan betapa pentingnya memberikan arahan kepada setiap klien dengan harga diri rendah,


(45)

76 subyek A1, B1, C1 tidak lagi memberikan nasihat ataupun arahan dikarenakan subyek mengaku sudah putus asa, merasa bosan dan malas, sehingga subyek memilih untuk diam, hal ini karena faktor pemberi dukungan dan faktor penerima dukungan. Penerima dukungan yang memiliki sifat yang tidak cepat merespon apa yang dikatakan oleh pemberi dukungan.

Subyek A1, C1, mengaku sudah merasa bosan dan malas memberikan arahan, partisipan mengatakan sudah berulang kali memberikan nasihat dan arahan, akan tetapi tetap tidak ada perubahan terhadap subyek, hal itu yang mengakibatkan subyek merasa bosan dan lebih memilih untuk diam. Pada subyek B1 mengaku tidak pernah memberikan nasihat ataupun arahan, hal ini karena kondisi subyek yang sangat tidak memungkinkan untuk diberikan arahan, dan juga karena partisipan B1 ingin fokus pada keluarga sendiri dan pekerjaan yang menjadi alasan subyek.

Pentingnya peran keluarga dalam gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Salah satunya adalah keluarga sebagai tempat dimana individu melalui hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga sebagai “institusi’ pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement dan Buchanan, 1982). Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini


(46)

77 merupakan persiapan individu untuk berperan dimasyarakat. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota. Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah (Sulinger, 1998). Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dukungan keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah, jika ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat.

Dukungan keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu dalam menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat (dalam Tamer, 2009).

Pada saat melakukan penelitian, sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh keluarga, keluarga mengerti tentang pentingnya motivasi dan dukungan dari keluarga tapi keluarga tidak mampu untuk memberikannya disebabkan oleh beberapa faktor. Seharusnya keluarga lebih mempertahankan motivasi dan terus memberikan dukungan terhadap keluarga dengan harga diri rendah karena akan dapat membantu kesembuhan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Mary dkk (2005) mengenai rumah, dukungan sosial dan skizofrenia, hasil dari


(47)

78 penelitian ini mengatakan bahwa individu dengan skizofrenia ketika berada lingkungan rumah, penderita akan merasa lebih aman, dan juga akan memiliki peluang yang besar untuk dapat berkontribusi lebih banyak, memiliki pengalaman bersosialisasi ketika penderita menerima dukungan dari keluarga dan juga teman. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa individu dengan gangguan jiwa sangat membutuhkan dukungan dan motivasi.

Dari hasil penelitian ketigasubyek A1, B1,C1 memiliki pengalaman yang sama dalam memberikan motivasi, di mana semua partisipan tidak lagi memberikan motivasi terhadap keluarga yang mengalamai gangguan jiwa harga diri rendah dengan alasan keluarga sudah merasa putus asa dan capek karena ketika keluarga memberikan motivasi ataupun dukungan keluarga dengan gangguan jiwa tidak merespon dengan baik dan juga karena faktor dari kepribadian pasiennya sendiri.

Dalam hal ini dukungan yang sudah diberikan oleh keluarga termasuk dukungan untuk tetap rutin minum obat, bersosialisasi dan kegiatan sehari-harinya termasuk dalam bekerja. Selain dari minum obat secara rutin, keluarga juga harus mendukung dan memberikan arahan supaya ikut serta dalam kegiatan sehari-hari karena hal itu akan melatih klien aktif, karena salah satu gejala dari individu dengan harga diri rendah adalah penurunan produktivitas dan perasaan tidak mampu


(48)

79 (Yosep, 2007). Jadi, untuk melatih kemampuan, keluarga harus secara perlahan untuk mengikut sertakan dalam kegiatan keseharian.

Dukungan instrumentalyaitu dukungan keluarga yang berupa barang dan jasa yang dapat membantu kegiatan individu. Bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan-persolan yang dihadapinya, atau menolong secara langsung kesulitan yang dihadapinya, misalnya dengan menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan dan lain-lain.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyaningsih (2013) mengenai gambaran proses pemulihan penderita gangguan mental mengatakan bahwa dalam proses pemulihan gangguan mental butuh dukungan keluarga terutama dalam aktivitas, kebutuhan sehari-hari, pengawasan obat dan kontrol kesehatan dan juga dalam bidang financialpenderita membutuhkan adanya perhatian lebih menyangkut fasilitas kontrol kesehatan dan keterlibatan untuk berfikir atau konflik dalam rumah tangga. Dalam penelitian ini hal yang sama selalu dilakukan oleh ketiga subyek, subyek A1, B1,C1 selalu menyediakan semua kebutuhan hidup setiap klien, begitu juga dengan obat klien, dari awal sudah menyediakan dan sudah memberikan arahan agar minum obat secara rutin, akan tetapi faktor dari kliennya sendiri yang tidak mau minum obat, hingga akhirnya subyek berhenti untuk mengontrol, supaya tetap minum obat, hal ini terdapat pada ketiga subyek.


(49)

80 Individu dengan harga diri rendah memiliki karakteristik sulit untuk bergaul atau susah untuk bersosialisasi (Yosep, 2007), maka keluarga yang berperan penting dalam membantu individu untuk bisa bersosialisasi dimasyarakat, yang mana di awali dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Prinda (2010) tentang hubungan antara dukungan keluarga dengankeberfungsian sosial pada pasien skizofreniapasca perawatan di rumah sakit bahwa semakin tinggi dukungan keluarga, semakin tinggi pula keberfungsian sosial pasien, sebaliknya semakin rendah dukungan keluarga, semakin rendah pula keterfungsian sosial pasien Skizofrenia pascaperawatan di Rumah Sakit. Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Wan dkk (2011) mengenai evaluasi dukungan sosial keluarga terhadap harga diri dalam kepuasan hidup, dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan yang kuat dengan kepuasan hidup dalam meningkatkan kesehatan fisik dan mental seseorang dan juga ketika diberikan dukungan keluarga maka juga akan meningkatkan harga diri yang mana dapat meningkatkan kesejahteraan, kepuasan hidup dan juga dalam pergaulan dengan teman-teman baik dalam hal dunia kerja.

Jadi, keluarga memiliki peranan penting dalam membangun kesehatan mental klien dengan harga diri rendah dan juga dalam bersosialisasi. Akan tetapi dalam penelitian ini, semua partisipan tidak lagi memberikan dukungan sosialisasi. Pada subyek A1 dan B1 tidak pernah memberikan dorongan terhadap subyek untuk bersosialisi di


(50)

81 masyarakat sedangkan subyek C1 merasa sudah bosan dalam memberikan dorongan, sehingga untuk saat ini subyek C1 tidak pernah memberikan dorongan kepada subyek C untuk bersosialisasi. Ketika tidak adanya dukungan dari keluarga, maka pasien dengan gangguan jiwa pun tidak akan mampu untuk bersosialisasi diluar lingkungan rumah, karena awal dari sosialisasi diawali dan dilakukan oleh keluarga atau dari dilingkungan rumah, ketika tidak mampu di lingkungan rumah, di lingkungan luar juga tidak akan mampu, karena tidak memiliki dasar yang kuat dari keluarga. Selain dukungan untuk bersosialisasi ketiga partisipan juga tidak lagi memberikan motivasi kepada setiap subyek untuk mau beraktivitas atau melakukan pekerjaan di rumah, setiap partisipan tidak mau memaksa dan lebih memberikan kebebasan kepada subyek.

Tidak hanya pentingnya dalam melibatkan setiap klien dalam suatu kegiatan, akan tetapi setiap penilaian yang positif juga sangat perlu diberikan kepada klien ketika berhasil atau mampu melakukan suatu kegiatan guna untuk membangun kepercayaan diri. Akan tetapi dari semua dukungan yang diberikan oleh keluarga, dukungan penilaian atau penghargaan adalah hal yang paling jarang diberikan. Hal ini disebabkan keluarga merasa tidak terbiasa untuk mengungkapkannya (Wurtiningsih, 2012).

Dalam dukungan penilaian tugas keluarga adalah keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing dan menengahi


(51)

82 pemecahan masalah sebagai sumber dan validator identitaskeluarga.Menurut House penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita. Penilaian ini bisa positif dan negatif yang berpengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka penilaian yang sangat membantu adalah penilaian positif (dalam Setiadi, 2008). Individu dengan harga diri rendah sering kali sulit mengakui sifat positif yang dimiliki. Individu tersebut juga kurang memiliki keterampilan memecahkan masalah sehingga membutuhkan bantuan untuk merumuskan suatu perubahan yang diharapkan. Untuk itu diperlukan umpan balik yang positif dari pihak keluarga ketika berada di lingkungan rumah karena umpan balik positif dapat meningkatkan harga diri dan menolong pengulangan perilaku yang diharapkan (Townsend, 1998).

Dengan adanya umpan balik positif atau penghargaan yang diberikan oleh keluarga, maka hal ini akan memberikan rasa nyaman terhadap klien dengan harga diri rendah, dan juga sebagai bentuk dari kasih sayang dari keluarga (Bastable, 2002). Untuk itu, penilaian yang positif sangat penting diberikan oleh keluarga terhadap anggota keluarga dengan harga diri rendah untuk membantu meningkatkan harga dirinya. Memberikan umpan balik terhadap gangguan jiwa hal itu merupakan menguatkan upaya klien untuk berinteraksi dengan orang lain dan memberikan informasi yang positif yang spesifik tentang


(52)

83 perbaikan perilaku, dengan adanya penilaian positif dapat meningkatkan tingkat harga diri. Selain itu juga, memberikan pujian terhadap orang lain dapat meningkatkan perasaan yang positif (Vidbeck, 2008). Akan tetapi hal yang berbeda dilakukan oleh setiap keluarga ketika melakukan penelitian, yaitu subyek B1 dan C1 mengatakan jika tidak terbiasa memberikan pujian walaupun sudah mengerti tentang pentingnya memberikan suatu penilaian yang positif, sedangkan pada subyekA1 mengaku jika awalnya sering memberikan pujian terhadap subyek A jika mau melakukan pekerjaan, hal itu dilakukan semata untuk membuat subyek A senang.


(1)

78 penelitian ini mengatakan bahwa individu dengan skizofrenia ketika berada lingkungan rumah, penderita akan merasa lebih aman, dan juga akan memiliki peluang yang besar untuk dapat berkontribusi lebih banyak, memiliki pengalaman bersosialisasi ketika penderita menerima dukungan dari keluarga dan juga teman. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa individu dengan gangguan jiwa sangat membutuhkan dukungan dan motivasi.

Dari hasil penelitian ketigasubyek A1, B1,C1 memiliki pengalaman yang sama dalam memberikan motivasi, di mana semua partisipan tidak lagi memberikan motivasi terhadap keluarga yang mengalamai gangguan jiwa harga diri rendah dengan alasan keluarga sudah merasa putus asa dan capek karena ketika keluarga memberikan motivasi ataupun dukungan keluarga dengan gangguan jiwa tidak merespon dengan baik dan juga karena faktor dari kepribadian pasiennya sendiri.

Dalam hal ini dukungan yang sudah diberikan oleh keluarga termasuk dukungan untuk tetap rutin minum obat, bersosialisasi dan kegiatan sehari-harinya termasuk dalam bekerja. Selain dari minum obat secara rutin, keluarga juga harus mendukung dan memberikan arahan supaya ikut serta dalam kegiatan sehari-hari karena hal itu akan melatih klien aktif, karena salah satu gejala dari individu dengan harga diri rendah adalah penurunan produktivitas dan perasaan tidak mampu


(2)

79 (Yosep, 2007). Jadi, untuk melatih kemampuan, keluarga harus secara perlahan untuk mengikut sertakan dalam kegiatan keseharian.

Dukungan instrumentalyaitu dukungan keluarga yang berupa barang dan jasa yang dapat membantu kegiatan individu. Bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan-persolan yang dihadapinya, atau menolong secara langsung kesulitan yang dihadapinya, misalnya dengan menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan dan lain-lain.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyaningsih (2013) mengenai gambaran proses pemulihan penderita gangguan mental mengatakan bahwa dalam proses pemulihan gangguan mental butuh dukungan keluarga terutama dalam aktivitas, kebutuhan sehari-hari, pengawasan obat dan kontrol kesehatan dan juga dalam bidang financialpenderita membutuhkan adanya perhatian lebih menyangkut fasilitas kontrol kesehatan dan keterlibatan untuk berfikir atau konflik dalam rumah tangga. Dalam penelitian ini hal yang sama selalu dilakukan oleh ketiga subyek, subyek A1, B1,C1 selalu menyediakan semua kebutuhan hidup setiap klien, begitu juga dengan obat klien, dari awal sudah menyediakan dan sudah memberikan arahan agar minum obat secara rutin, akan tetapi faktor dari kliennya sendiri yang tidak mau minum obat, hingga akhirnya subyek berhenti untuk mengontrol, supaya tetap minum obat, hal ini terdapat pada ketiga subyek.


(3)

80 Individu dengan harga diri rendah memiliki karakteristik sulit untuk bergaul atau susah untuk bersosialisasi (Yosep, 2007), maka keluarga yang berperan penting dalam membantu individu untuk bisa bersosialisasi dimasyarakat, yang mana di awali dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Prinda (2010) tentang hubungan antara dukungan keluarga dengankeberfungsian sosial pada pasien skizofreniapasca perawatan di rumah sakit bahwa semakin tinggi dukungan keluarga, semakin tinggi pula keberfungsian sosial pasien, sebaliknya semakin rendah dukungan keluarga, semakin rendah pula keterfungsian sosial pasien Skizofrenia pascaperawatan di Rumah Sakit. Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Wan dkk (2011) mengenai evaluasi dukungan sosial keluarga terhadap harga diri dalam kepuasan hidup, dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan yang kuat dengan kepuasan hidup dalam meningkatkan kesehatan fisik dan mental seseorang dan juga ketika diberikan dukungan keluarga maka juga akan meningkatkan harga diri yang mana dapat meningkatkan kesejahteraan, kepuasan hidup dan juga dalam pergaulan dengan teman-teman baik dalam hal dunia kerja.

Jadi, keluarga memiliki peranan penting dalam membangun kesehatan mental klien dengan harga diri rendah dan juga dalam bersosialisasi. Akan tetapi dalam penelitian ini, semua partisipan tidak lagi memberikan dukungan sosialisasi. Pada subyek A1 dan B1 tidak pernah memberikan dorongan terhadap subyek untuk bersosialisi di


(4)

81 masyarakat sedangkan subyek C1 merasa sudah bosan dalam memberikan dorongan, sehingga untuk saat ini subyek C1 tidak pernah memberikan dorongan kepada subyek C untuk bersosialisasi. Ketika tidak adanya dukungan dari keluarga, maka pasien dengan gangguan jiwa pun tidak akan mampu untuk bersosialisasi diluar lingkungan rumah, karena awal dari sosialisasi diawali dan dilakukan oleh keluarga atau dari dilingkungan rumah, ketika tidak mampu di lingkungan rumah, di lingkungan luar juga tidak akan mampu, karena tidak memiliki dasar yang kuat dari keluarga. Selain dukungan untuk bersosialisasi ketiga partisipan juga tidak lagi memberikan motivasi kepada setiap subyek untuk mau beraktivitas atau melakukan pekerjaan di rumah, setiap partisipan tidak mau memaksa dan lebih memberikan kebebasan kepada subyek.

Tidak hanya pentingnya dalam melibatkan setiap klien dalam suatu kegiatan, akan tetapi setiap penilaian yang positif juga sangat perlu diberikan kepada klien ketika berhasil atau mampu melakukan suatu kegiatan guna untuk membangun kepercayaan diri. Akan tetapi dari semua dukungan yang diberikan oleh keluarga, dukungan penilaian atau penghargaan adalah hal yang paling jarang diberikan. Hal ini disebabkan keluarga merasa tidak terbiasa untuk mengungkapkannya (Wurtiningsih, 2012).

Dalam dukungan penilaian tugas keluarga adalah keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing dan menengahi


(5)

82 pemecahan masalah sebagai sumber dan validator identitaskeluarga.Menurut House penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita. Penilaian ini bisa positif dan negatif yang berpengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka penilaian yang sangat membantu adalah penilaian positif (dalam Setiadi, 2008). Individu dengan harga diri rendah sering kali sulit mengakui sifat positif yang dimiliki. Individu tersebut juga kurang memiliki keterampilan memecahkan masalah sehingga membutuhkan bantuan untuk merumuskan suatu perubahan yang diharapkan. Untuk itu diperlukan umpan balik yang positif dari pihak keluarga ketika berada di lingkungan rumah karena umpan balik positif dapat meningkatkan harga diri dan menolong pengulangan perilaku yang diharapkan (Townsend, 1998).

Dengan adanya umpan balik positif atau penghargaan yang diberikan oleh keluarga, maka hal ini akan memberikan rasa nyaman terhadap klien dengan harga diri rendah, dan juga sebagai bentuk dari kasih sayang dari keluarga (Bastable, 2002). Untuk itu, penilaian yang positif sangat penting diberikan oleh keluarga terhadap anggota keluarga dengan harga diri rendah untuk membantu meningkatkan harga dirinya. Memberikan umpan balik terhadap gangguan jiwa hal itu merupakan menguatkan upaya klien untuk berinteraksi dengan orang lain dan memberikan informasi yang positif yang spesifik tentang


(6)

83 perbaikan perilaku, dengan adanya penilaian positif dapat meningkatkan tingkat harga diri. Selain itu juga, memberikan pujian terhadap orang lain dapat meningkatkan perasaan yang positif (Vidbeck, 2008). Akan tetapi hal yang berbeda dilakukan oleh setiap keluarga ketika melakukan penelitian, yaitu subyek B1 dan C1 mengatakan jika tidak terbiasa memberikan pujian walaupun sudah mengerti tentang pentingnya memberikan suatu penilaian yang positif, sedangkan pada subyekA1 mengaku jika awalnya sering memberikan pujian terhadap subyek A jika mau melakukan pekerjaan, hal itu dilakukan semata untuk membuat subyek A senang.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Harga Diri pada Klien Pasca Gagal Ginjal Kronik T1 462012013 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Harga Diri pada Klien Pasca Gagal Ginjal Kronik T1 462012013 BAB IV

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Keluarga pada Klien Perilaku Harga Diri Rendah Pasca Rawat Inap di Rsj Prof Dr Soerojo Magelang

0 0 76

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Keluarga pada Klien Perilaku Harga Diri Rendah Pasca Rawat Inap di Rsj Prof Dr Soerojo Magelang T1 462009082 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Keluarga pada Klien Perilaku Harga Diri Rendah Pasca Rawat Inap di Rsj Prof Dr Soerojo Magelang T1 462009082 BAB II

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Keluarga pada Klien Perilaku Harga Diri Rendah Pasca Rawat Inap di Rsj Prof Dr Soerojo Magelang T1 462009082 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Keluarga pada Klien Perilaku Harga Diri Rendah Pasca Rawat Inap di Rsj Prof Dr Soerojo Magelang

0 0 18

ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HALUSINASI DI WISMA AMARTA PUTRA RSJ. PROF DR. SOEROJO MAGELANG - Elib Repository

0 5 41

ANALISIS TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK SOSIALISASI TERHADAP KEMAMPUAN KLIEN HARGA DIRI RENDAH DALAM BERSOSIALISASI DI WISMA DWARAWATI RSJ Prof. Dr. SOEROJO MAGELANG - Elib Repository

0 0 15

ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DALAM PENURUNAN TANDA DAN GEJALA HARGA DIRI RENDAH DI WISMA DWARAWATI RSJ PROF. DR. SOEROYO MAGELANG - Elib Repository

0 0 20