Perubahan Tekanan Darah pada Mahasiswa FK USU Angkatan 2012 Penderita Obesitas dan Non-Obesitas Setelah Melakukan Aktivitas Fisik

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Tekanan Darah

2.1.1. Definisi Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan hasil perkalian curah jantung dan tahanan
vaskuler perifer. Peningkatan curah jantung dan atau resistensi vaskuler perifer
menyebabkan peningkatan tekanan darah. Jika curah jantung meningkat
sementara resistensi vaskuler perifer menurun dan sebaliknya, maka tekanan
darah tidak akan meninggi (Nelson, 2007).
Tekanan sisitolik adalah tekanan pada pembuluh darah yang lebih besar
ketika jantung berkontraksi. Tekanan sistolik menyatakan puncak tekanan yang
dicapai selama jantung menguncup atau tekanan yang terjadi bila otot jantung
berdenyut memompa untuk mendorong darah keluar melalui arteri. Dimana
tekanan ini berkisar antara 95-140mmHg (Beevers,2002).
Tekanan diastolik adalah tekanan yang terjadi ketika jantung rileks di

antara tiap denyutan. Tekanan diastolik menyatakan tekanan terendah selama
jantung mengembang. Dimana tekanan ini berkisar antara 60-95 mmHg
(Beevers,2002).

2.1.2. Klasifikasi Tekanan Darah
Dari laporan Seventh Report of the Joint National Commitee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
VII) tahun 2003, tekanan darah di kategorikan:

a. Tekanan darah normal (normotensi jika tekanan sistolik ≤ 120 mmHg
dan tekanan diastolik ≤ 80 mmHg)
b. pra-hipertensi (jika tekanan sistolik 120-139 mmHg atau tekanan
diastolik 80-89 mmHg)
c. tahap hipertensi 1 (hipertensi ringan jika tekanan sistolik 140-159
mmHg atau tekanan diastolik 90-99 mmHg)

Universitas Sumatera Utara

5


d. tahap hipertensi 2 (jika tekanansistolik ≥ 160 mmHg atau tekanan
diastolik ≥ 100 mmHg)
Tekanan darah dapat terlalu tinggi (hipertensi jika di atas 140/90 mmHg)
atau terlalu rendah (hipotensi jika di bawah 100/60 mmHg). Hipotensi berat
berkepanjangan yang menyebabkan penyaluran darah ke seluruh jaringan tidak
adekuat dikenal sebagai syok sirkulasi (Sherwood, 2011).

2.1.3. Resistensi aliran darah
Resistensi merupakan hambatan aliran darah dalam pembuluh, tetapi tidak
dapat diukur secara langsung dengan cara apapun. Sebaliknya resistensi harus
dihitung dari pengukuran aliran darah dan perbedaan tekanan darah antara dua
titik di dalam pembuluh. Bila perbedaan tekanan antara dua titik adalah 1
ml/detik, resistensinya dikatakan sebesar 1 satuan resistensi perifer , biasanya
disingkat PRU (peripheral resistance unit)(Guyton and Hall,2007).
Satuan fisik dasar yang disebut satuan CGS (sentimeter, gram, detik)
dipakai untuk menyatakan resistensi. Satuan ini adalah dyne detik/sentimeter5.
Resistensi dalam satuan ini dapat dihitung dengan rumus berikut (Guyton and
Hall, 2007) :

R


1333  mmHg
ml / det

Keterangan

:

R

: resistensi aliran darah dalam dyne detik/cm5

mmHg

: menyatakan tekanan darah

ml/detik

: menyatakan kecepatan aliran darah


Universitas Sumatera Utara

6

2.1.4. Tekanan arteri rerata (Mean Arterial Pressure)
Tekanan arteri rerata adalah gaya pendorong utama yang mengalirkan
darah ke jaringan. Tekanan ini dipantau dan diatur di tubuh, bukan tekanan
sistolik atau diastolik arteri atau tekanan nadi dan juga bukan tekanan di bagian
lain pohon vascular (Sherwood, 2011).
Tekanan ini harus diatur secara ketat karena dua alasan. Pertama, tekanan
ini harus cukup tinggi untuk menjamin tekanan pendorong yang optimal, tanpa
tekanan ini, otak dan jaringan lainnya tidak akan menerima aliran yang memadai.
Kedua, tekanan harus tidak terlalu tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah serta kemungkinan pecahnya pembuluh darah halus. Oleh karena
itu, peningkatan atau penurunan tekanan ini akan berpengaruh kepada homeostatis
tubuh (Sherwood, 2011).
Tekanan arteri rerata sedikit kurang daripada nilai-nilai tengah antara
tekanan sistole dan diastole. Besar nilai pada orang dewasa sekitar 90 mmHg yang
sedikit lebih kecil dari rata-rata tekanan sistole dan diastole. Tekanan arteri rerata
dapat ditentukan dengan rumus berikut (Sherwood, 2011):

Tekanan arteri rerata (mmHg) = tekanan diastole (mmHg) + 1/3 tekanan nadi.

2.1.5. Faktor yang mempengaruhi tekanan darah
Menurut Kozier (2009), ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
tekanan darah, diantaranya adalah:
1. Umur
Bayi yang baru lahir memiliki tekanan sistolik rata-rata 73 mmHg.
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia
hingga dewasa. Pada orang lanjut usia, arterinya lebih keras dan kurang
fleksibel terhadap darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan
sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat karena dinding pembuluh darah
tidak lagi retraksi secara fleksibel pada penurunan tekanan darah.

Universitas Sumatera Utara

7

2. Jenis Kelamin
Berdasarkan Journal of Clinical Hypertension, Oparil menyatakan
bahwa perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan

wanita lebih cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga
menyebabkan risiko wanita untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih
tinggi.
3. Olahraga
Aktivitas fisik meningkatkan tekanan darah.
4. Obat-obatan
Banyak obat-obatan yang dapat meningkatkan atau menurunkan
tekanan darah.
5. Ras
Pria Amerika Afrika berusia di atas 35 tahun memiliki tekanan darah
yang lebih tinggi daripada pria Amerika Eropa dengan usia yang sama.
6. Obesitas
Obesitas, baik pada masa anak-anak maupun dewasa merupakan faktor
predisposisi hipertensi.

2.1.6. Metode pengukuran tekanan darah
Tekanan darah tiap orang sangat bervariasi. Tekanan darah akan dapat
meningkat jika seseorang merasa cemas atau stres. Jadi cobalah untuk serileks
mungkin ketika dilakukan pengukuran (Smeltzer and Bare, 2001).
Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung atau tidak

langsung. Pada metode langsung, pengukuran dilakukan dengan menggunakan
kateter arteri yang dimasukkan ke dalam arteri dan dihubungkan ke manometer.
Walaupun hasilnya sangat tepat, tetapi metode pengukuran ini sangat berbahaya.
Sedangkan pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan alat
sphygmomanometer dan stetoscope (Smeltzer and Bare, 2001).
Adapun cara pengukuran tidak langsung dimulai dengan membalutkan
manset sphygmomanometer dengan kencang pada lengan atas. Tekanan dalam
manset dinaikkan dengan cara memompanya, tekanan dinaikkan sampai denyut

Universitas Sumatera Utara

8

arteri radialis atau brachialis menghilang. Hilangnya denyutan menunjukkan
bahwa tekanan sistolik darah telah dilampaui dan arteri brakialis telah tertutup.
Manset dikembangkan lagi sebesar 20 sampai 30 mmHg diatas titik hilangnya
denyutan arteri radialis. Kemudian manset dikempiskan perlahan, dan dilakukan
pembacaan secara auskultasi maupun palpasi. Dengan palpasi kita hanya dapat
mengukur tekanan sistolik. Sedangkan dengan auskultasi kita dapat mengukur
tekanan sistolik dan diastolik dengan lebih akurat dengan menggunakan

stetoscope (Smeltzer and Bare, 2001).
Auskultasi dengan stetoscope dilakukan dengan meletakkan diafragma
stetoscope pada daerah arteri brakialis, tepat dibawah lipatan siku (rongga
antekubital). Saaat tekanan manset diturunkan perlahan, pemeriksa mendengarkan
bunyi detak pertama yang menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyi tersebut
dikenal dengan bunyi Korotkoff yang terjadi bersamaan dengan detak jantung,
dan akan terus terdengar sampai tekanan dalam manset turun di bawah tekanan
diastolik dan bunyi akan menghilang (Smeltzer and Bare, 2001).

2.2.

Obesitas

2.2.1. Definisi Obesitas
Obesitas dapat diartikan sebagai kelebihan lemak tubuh. Penanda
kandungan lemak tubuh yang digunakan adalah indeks massa tubuh (BMI).
Obesitas biasanya dinyatakan dengan adanya 25% lemak tubuh total atau lebih
pada pria dan sebanyak 35% atau lebih pada wanita (Guyton and Hall, 2007).

2.2.2. Faktor Genetik Sebagai Penyebab Obesitas

Obesitas jelas menurun dalam keluarga. Namun peran genetik yang pasti
untuk menimbulkan obesitas masih sulit ditentukan, karena anggota keluarga
umumnya memiliki kebiasaan makan dan pola aktivitas fisik yang sama. Akan
tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa 20% sampai 25% kasus obesitas dapat
disebabkan faktor genetik (Guyton and Hall, 2007).

Universitas Sumatera Utara

9

Gen dapat berperan dalam obesitas dengan menyebabkan kelainan satu
atau lebih jaras yang mengatur pusat makan, pengeluaran energi, dan
penyimpanan lemak. Ketiga penyebab monogenik (gen tunggal) dari obesitas
adalah mutasi MCR-4, yaitu penyebab monogenik tersering untuk obesitas yang
ditemukan sejauh ini; defisiensi leptin kongenital yang diakibatkan mutasi gen,
yang sangat jarang dijumpai; dan mutasi reseptor leptin, yang juga jarang ditemui.
Semua bentuk penyebab monogenik tersebut hanya terjadi pada sejumlah kecil
persentase dari seluruh kasus obesitas. Banyak variasi gen sepertinya berinteraksi
dengan faktor lingkungan untuk mempengaruhi jumlah dan distribusi lemak
(Guyton and Hall, 2007).


2.2.3. Penurunan Aktivitas Fisik dan Pengaturan Makan yang Tidak Baik
sebagai Penyebab Obesitas
Faktor penyebab obesitas sangat kompleks. Dari berbagai faktor tersebut
gaya hidup tidak aktif dapat dikatakan sebagai penyebab utama obesitas. Aktivitas
fisik dan latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan massa otot dan mengurangi
massa lemak, sebaliknya aktivitas fisik yang tidak adekuat dapat menyebabkan
pengurangan massa otot dan peningkatan massa lemak. Oleh karena itu,
peningkatan aktivitas fisik merupakan cara yang efektif untuk mengurangi
simpanan lemak tubuh (Guyton and Hall, 2007).
Faktor lain yang juga sangat penting sebagai penyebab obesitas adalah
perilaku makan yang tidak baik. Perilaku makan yang tidak baik ini diduga
disebabkan oleh beberapa sebab, diantaranya adalah karena faktor lingkungan dan
sosial. Hal ini terbukti dengan peningkatan prevalensi obesitas yang cepat dalam
kurun waktu 20 sampai 30 tahun terakhir, sehingga memperkuat peran faktor
lingkungan sebagai penyebab dari obesitas, karena perubahan genetik tidak dapat
timbul secepat itu. Penyebab lain yang mengakibatkan perilaku makan yang tidak
baik adalah karena faktor psikologis, dimana sering kali dijumpai berat badan
orang meningkat selama atau setelah orang tersebut mengalami stress (Guyton
and Hall, 2007).


Universitas Sumatera Utara

10

2.2.4. Pengukuran Obesitas
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mendefinisikan obesitas, tetapi
cara yang paling sering digunakan adalah IMT (indeks massa tubuh) atau BMI
(body mass index) yang dapat dihitung dengan rumus:

BMI 

Ket:

BB ( kg )
TB( m 2 )

BB= berat badan dalam kilogram
TB= tinggi badan dalam meter kuadrat
Tetapi BMI bukan merupakan suatu pengukuran langsung terhadap

adipositas dan terutama pada individu dengan BMI yang tinggi akibat besarnya
massa otot. Cara yang lebih baik mendefinisikan obesitas adalah dengan cara
mengukur persentase lemak tubuh total yang mana dikatakan obese jika dengan
adanya 25% lemak tubuh total atau lebih pada pria dan sebanyak 35% atau lebih
pada wanita (Guyton and Hall, 2007).
Cara untuk mengukur persentase lemak tubuh total dapat dilakukan
dengan berbagai cara, seperti pengukuran tebal lipatan kulit, impedansi
bioelektrik, atau pengukuran berat badan di dalam air. Namun, metode-metode
tersebut sangat jarang digunakan karena BMI merupakan cara termudah dan
tersederhana sehingga sering digunakan untuk menilai obesitas (Guyton and Hall,
2007).
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT yang diusulkan untuk penduduk Asia dewasa
(IOTF, WHO 2000)
Kategori
Underweight

IMT (Kg/m2)

Risk of Comorbidities

30,0 Kg/m2

Berbahaya

Universitas Sumatera Utara

11

Tabel 2.2. Klasifikasi Obesitas berdasarkan BMI, Lingkar Pinggang, dan Risiko
Penyakit (NIH, 1998)
Disease risk
(relative to normal weight
and waist circumference
BMI
2

(kg/m )
Underweight
Normal

>40 in (>102 cm)

Women ≤35 in (≤88 cm)

>35 in (>88 cm)

6 dan membutuhkan
penggunaan otot-otot besar secara ritmis) minimal 3 kali/minggu
dengan waktu minimal 20 menit per sesi.
Contoh: Jogging 8,1 km/jam (8,0 METs), lari 11,3 km/jam (11,5
METs), basket-game (8,0 METs), sepak bola kompetisi (10,0 METs),
tenis-tunggal (8,0 METs).
2. Adekuat : aktivitas fisik sedang (moderate-intensity physical activity)
minimal 3 jam dan terbagi dalam minimal 5 sesi seminggu dengan
intensitas aktivitas sedang (3-6 METs).
Contoh: jalan 4,8 km/jam (4,5 METs), badminton-santai (4,5 METs),
bersepeda- lahan datar, dan pelan 16,1-19,3 km/jam (6,0 METs),
dansa-slow (3,0 METs), tenis double (5,9 METs).

3. Inadekuat : Aktivitas fisik ringan (low intensity physical activity): 0-3
METs.

Universitas Sumatera Utara

13

Kategori vigorous dan adekuat dikelompokkan sebagai aktif dan kategori
inadekuat dikelompokkan sebagai pasif.

2.3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik
Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik
(Karim, 2002), diantaranya adalah:
a. Umur
Aktivitas fisik remaja sampai dewasa meningkat sampai mencapai
maksimal pada usia 25-30 tahun, kemudian akan terjadi penurunan kapasitas
fungsional dari seluruh tubuh, kira-kira sebesar 0,8-1% per tahun, tetapi bila
rajin berolahraga penurunan ini dapat dikurangi sampai separuhnya.
b. Jenis kelamin
Sampai pubertas biasanya aktivitas fisik remaja laki-laki hampir sama
dengan remaja perempuan, tapi setelah pubertas remaja laki-laki biasanya
mempunyai nilai yang jauh lebih besar.
c. Penyakit / kelainan pada tubuh
Berpengaruh terhadap kapasitas jantung paru, postur tubuh, obesitas,
hemoglobin / sel darah dan serat otot. Bila ada kelainan pada tubuh seperti di
atas akan mempengaruhi aktivitas yang akan dilakukan. Seperti kekurangan
sel darah merah, maka orang tersebut tidak di perbolehkan untuk melakukan
olah raga yang berat. Obesitas juga menjadikan kesulitan dalam melakukan
aktivitas fisik.

2.4.

Hubungan Tekanan Darah Dengan Obesitas
Mekanisme terjadinya hipertensi pada obesitas telah lama diketahui,

namun mekanisme yang pasti bagaimana terjadinya hingga saat ini belum jelas.
Tetapi sebagian besar penelitian memfokuskan pada beberapa hal seperti: a) efek
langsung obesitas terhadap hemodinamik meliputi peningkatan volume darah,
peningkatan curah jantung dan peningkatan isi sekuncup (stroke volume); b)
adanya mekanisme yang menghubungkan obesitas dengan peningkatan resistensi
perifer seperti disfungsi endotel, resistensi insulin, aktivitas saraf simpatis, adanya

Universitas Sumatera Utara

14

subtansi yang dikeluarkan oleh adiposa seperti Interleukin-6 (IL-6) dan TNF-α
(Poirir, 2006).
Pada obesitas, pertambahan ukuran dan jumlah sel adiposa dapat
menyebabkan dan menimbulkan gangguan metabolisme. Selain sebagai tempat
penyimpanan lemak, sel adiposa merupakan organ yang memproduksi molekul
biologi aktif (adipokin) seperti sitokin proinflamasi, hormon anti inflamasi dan
substansi biologi lain. Obesitas menyebabkan ekspresi sitokin proinflamasi
meningkat di dalam sirkulasi sehingga menyebabkan inflamasi dinding vaskular.
Mekanisme inflamasi pada hipertensi diduga melalui peningkatan beberapa
mediator, termasuk molekul adhesi lekosit, kemokin, faktor pertumbuhan spesifik,
heat shock protein, endotelin-1 dan angiotensin (Gantini, 2005).
Selain itu, pada obesitas yang diikuti dengan peningkatan metabolisme
lemak, akan menyebabkan peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS)
di sirkulasi maupun di sel adiposa. ROS dapat merangsang mediator inflamasi,
mengaktivasi matriks metaloproteinase, menginduksi apoptosis, menyebabkan
agregrasi trombosit, dan menstimulasi otot polos. ROS juga berperan dalam
memodulasi tonus pertumbuhan dan remodeling vaskular. Peningkatan ROS
dalam sel adiposa akan menyebabkan terganggunya keseimbangan reaksi reduksi
oksidasi, sehingga terjadi penurunan enzim antioksidan dalam sirkulasi. Keadaan
ini disebut stres oksidatif (Furukawa, 2004).
Stres oksidatif diyakini memiliki peran penting dalam patofisiologi
terjadinya hipertensi, sindroma metabolik, maupun aterosklesrosis. Stres oksidatif
dapat menyebabkan disfungsi endotel dan hipertensi, melalui perangsangan
inaktivasi Nictric oxide (NO) yang dimediasi oleh ROS. Nitric oxide merupakan
senyawa endothelium derived relaxing factor yang berperan penting dalam
pengaturan homeostasis vaskular. Penurunan NO berhubungan dengan disfungsi
endotel (Stern,2004).
Pada obesitas juga terjadi peningkatan Free Fatty Acid (FFA), peningkatan
insulin, peningkatan leptin, aldosterone, dan peningkatan aktivitas renin
angiotensin akan menstimulasi peningkatan aktivitas system saraf simpatis.

Peningkatan sistem saraf simpatis, leptin, aldosteron, aktivitas System Renin

Universitas Sumatera Utara

15

Angiotensin (RAS) kemudian akan menyebabkan retensi cairan dan natrium yang

kemudian akan menyebabkan hipertensi. Dan peningkatan aldosteron dan aktivasi
Renin Angiotensin (RA), serta peningkatan Endotelin-1 dan penurunan aktivitas

NO akan menimbulkan vasokontriksi yang kemudian akan mempredisposisi
terjadinya hipertensi (Aneja, 2004).
Subyek dengan obesitas mempunyai kandungan FFA yang tinggi, karena
adiposa viseral mempunyai aktivitas lipolysis yang tinggi sehingga meningkatkan
pelepasan FFA (Ellis, 1995). Kelebihan FFA selanjutnya akan dihantarkan ke
hati. Peristiwa ini akan mengaktivasi jaras aferen hati yang kemudian
mengakibatkan aktivasi simpatis dan resistensi insulin. Pada subyek obesitas,
aktivitas nervus aferen renalis akan distimulasi, yang kemudian mengakibatkan
peningkatan tekanan intra renal mendahului aktivasi mekano reseptor renal.
Aktivasi simpatis jangka panjang dapat meningkatkan tekanan darah dengan cara
vasokonstriksi perifer dan peningkatan reabsorbsi Natrium (Na) di tubulus ginjal
(Aneja, 2004).
Obesitas diketahui berhubungan dengan hiperleptinemia sirkulasi. Leptin
merupakan sebuah protein yang dikoding oleh gen obesitas yang akan
memodulasi metabolisme lipid, hemopoesis, fungsi sel b pankreas, dan
angiogenesis. Leptin secara langsung akan menurunkan distensibilitas arteri,
mempengaruhi tonus dan pertumbuhan pembuluh darah serta menstimulasi
proliferasi sel otot polos vaskular. Selain itu leptin juga akan meregulasi aktivitas
saraf simpatis dan vasomotion termasuk mekanisme dependen dan independen
NO. Stimulasi simpatis renal jangka panjang oleh leptin mengakibatkan
peningkatan tekanan

darah, melalui aktivitas vasokonstriksi dan peningkatan

reabsorbsi natrium di tubulus ginjal. Leptin akan menstimulasi sitokin
profibriogenik di ginjal yang akan diaugmentasi oleh faktor pertumbuhan lain
seperti angiotensin II. Semua hal tersebut mempunyai peran dalam peningkatan
tekanan darah (Rahmouni, 2004).

Universitas Sumatera Utara