KONSEP GENDER TERHADAP PERAN PEREMPUAN D

KONSEP GENDER TERHADAP PERAN PEREMPUAN
DALAM BUDAYA JAWA
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah
Kajian Gender
Dosen Pengampu:
Fathonah K. Daud M.Phil

Oleh:
Sayyidah Nafisah NIM: 2013. 01.01.208

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2016


 

KONSEP GENDER TERHADAP PERAN PEREMPUAN DALAM
BUDAYA JAWA

Oleh: Sayyidah Nafisah
I.

Pendahuluan
Gender masih menjadi isu yang familiar dalam kehidupan masyarakat di

berbagai Negara. Munculnya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan gender
merupakan salah satu pemicu munculnya gagasan kesetaraan di semua aspek
kehidupan baik di ranah domestik maupun publik. Keluarga, sebagai sub sistem
dari masyarakat, memiliki fungsi strategis dalam menanamkan

nilai-nilai

kesetaraan dalam setiap aktivitas dan pola hubungan antar anggota keluarga,
karena dalam keluargalah semua terstruktur, peran, fungsi sebuah sistem berada.
Budaya paternalistik yang selama ini berkembang di masyarakat akhirnya
membagi gender secara deskriminatif dan struktural, hal ini mengakibatkan
perempuan hanya ditempatkan pada kelompok masyarakat nomor dua. Pepatah
Jawa yang mengatakan bahwa fungsi perempuan hanya macak, manak, dan masak
merupakan sebuah konotasi yang dapat diartikan bahwa perempuan itu adalah

makhluk yang bernyawa tapi tidak berjiwa.
Stereotip-stereotip inilah yang terpatri dalam perempuan inilah yang lambat
laun membentuk opini bahwa perempuan hanya bisa berkiprah di bawah ketiak
laki-laki, ataupun perempuan hanya mampu dimaknai eksitensinya pada wilayah
realitas fisiknya saja.
Pencitraan para perempuan Jawa sangat lekat dengan persoalan sumur yang
secara sosial dapat diterima oleh masyarakat itu sendiri. Fenomena yang demikian
itu menjadi biasa bagi masyarakat.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini akan diuraikan beberapa
pandangan orang Jawa mengenai istilah, makna, peran wanita dalan budaya Jawa,
serta bagaimana konsep gender terhadap perempuan dalam budaya Jawa.


 

II.

Pengertian Perempuan dalam Budaya Jawa
Istilah perempuan dalam kamus besar bahasa Indonesia1 adalah seseorang


yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan, serta menyusui.
Berbeda lagi dengan istilah perempuan dalam masyarakat Jawa, dalam
masyarakat Jawa ada beberapa istilah perempuan, dan istilah tersebut
mengandung pengertian tersendiri, bahkan membawa konsekuensi ideologi istilah
tersendiri. Istilah-istilah tersebut diantaranya seperti2:
A. Wadon
Secara etimologi kata wadon berasal dari bahasa Kawi yakni “wadu”
yang artinya kawula atau abdi. Istilah ini sering diartikan bahwa perempuan
ditakdirkan di

dunia ini sebagai seorang abdi (pelayan) sang guru laki

(suami). Pengabdian seorang perempuan harus mengikuti setiap tataran
“kehidupan”. Secara naratif, hal tersebut mengandung konsekuensi logis,
bahwa jika seorang suami meninggal, sang istri harus melanjutkan
pengabdiannya di alam kubur, dan begitu pula seterusnya.
B. Wanito
Ada istilah lain selain perempuan, yaitu wanito. Istilah wanito berasal
dari dua kata bahasa Jawa yakni wani (berani) dan toto (teratur). Dalam
pengertian ini wanito memiliki dua makna, yaitu wani ditoto (berani / mau

diatur) dan wani noto (berani / mau mengatur). Dalam istilah wani ditoto
memberi pengertian bahwa perempuan harus tetap tunduk dan mau untuk
diatur suami, sedangkan istilah wani noto memberi pengertian bahwa seorang
perempuan harus berani mengatur rumah tangga, mendidik anak, serta yang
paling penting adalah memenuhi kebutuhan biologis sang suami.
                                                            

 Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional),
1140. 
2
Hartanto Roedy El-Sawa, “Wanita Dalam Budaya Jawa”Dalam
http://rudiindri.blogspot.co.id/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html. Diakses pada hari Sabtu,
28 Mei 2016, pada pukul 16.00 WIB. 

1


 

C. Estri

Istilah estri berasal dari bahasa Kawi yakni “estren”, yang artinya
penjurung (pendorong), dan hangestreni yang berarti mendorong. Dengan
demikian sebutan estri pada manusia itu harus bisa menjadi pendorong dan
mampu memberi dorongan (motivasi) kepada sang suami, terlebih ketika sang
suami kurang bersemangat.
D. Putri
Kata putri yang berarti “anak perempuan”, dalam Budaya Jawa kata
putri merupakan akronim dari kata putus tri perkawis (gugurnya tiga perkara),
istilah tersebut memberi pengertian bahwa seorang perempuan dalam
kedudukan putri dituntut untuk menjalankan kewajibannya, baik sebagai
wadon, wanita, maupun estri.
Dari semua istilah perempuan dalam masyarakat Jawa3, memberi pengertian
bahwa kedudukan seorang perempuan tidak sejajar dengan laki-laki.
III. Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Budaya Jawa
Berbicara tentang kedudukan perempuan dalam budaya Jawa berada dalam
posisi di bawah laki-laki. karena dalam Budaya Jawa peran laki-laki dikonsepkan
pekerja publik (luar rumah), sedangkan perempuan dikonsepkan pekerja domestik
(di dalam rumah tangga). Dalam masyarakat Jawa dikenal istilah “konco
wingking” (tema belakang) yaitu seorang istri. Hal teresbut menunjukkan bahwa
perempuan tidak sejajar dengan laki-laki, perempuan melakukan pekerjaan di

belakang (di dapur). Batasan wilayah kerja perempuan dalam masyarakat Jawa
sangat sempit, sejak masih kecil, anak perempuan telah ditancapkan dengan tugastugas domestik, meliputi sumur, dapur dan kasur. Sambil menanti jodoh, gadis
Jawa biasanya diajari berdandan, memasak dan kegiatan yang berhubungan
dengan melayani suami. Ada masa gadis Jawa di mana dituntut untuk persiapan
berumah tangga, biasanya mereka yang sudah dirasa cukup umur untuk itu
                                                            
 Asaku Walisongo, “Wanita dalam Budaya Jawa” Dalam 

3

http://contohlengkap.com/2012/02/wanita-dalam-budaya-jawa.html. (Diakses pada 28 Mei 2016). 


 

kemudian di”pingit”, yaitu larangan untuk keluar rumah.4 Budaya ini pula yang
menghambat pendidikan perempuan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam hal ini
R.A. Kartini, seorang pelopor emansipasi perempuan Indonesia, menyatakan
bahwa faktor utama yang mendorong perjuangan R.A. Kartini yaitu lingkungan
Jawa. Hal ini tergambarkan melalui surat Kartini yang menyatakan bahwa Budaya

masyarakat Jawalah yang mengkungkung wanita. Beliau sangat tidak setuju
dengan adat istiadat Jawa. Anak-anak gadis terantai pada adat istiadat lama, hanya
boleh mendapatkan sedikit kemajuan di bidang pendidikan. Adat di negeri ini
pada saat itu melarang keras para anak gadis pergi keluar rumah. Apalagi sampai
pergi ke tempat lain, tidak boleh.5
Perempuan dalam Budaya masyarakat Jawa, didudukkan dan diperankan
sebagai keluarga dan masyarakat. Dalam rumah tangga, perempuan Jawa biasanya
dituntut untuk melakukan 3 M, yaitu Macak, Manak, dan Masak.
A. Macak
Macak berarti seorang perempuan harus berhias diri, berdandan
maupun berbusana yang baik agar senantiasa terlihat cantik. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk bukti dalam melayani suami.
B. Manak
Manak maksudnya mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui,
sampai pada memelihara dan mendidik anak. Manak di sini erat kaitannya
dengan macak, karena dengan berhias diri dan menjaga kecantikannya, akan
memiliki daya tarik bagi suami.
C. Masak
Masak berarti mengurusi urusan dapur. Telah disebutkan di awal,
bahwa perempuan merupakan teman belakang (di dapur). Masak dalam hal

                                                            
4

Hartanto Roedy El-Sawa, “Wanita Dalam Budaya Jawa” dalam
http://rudiindri.blogspot.co.id/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html (diakses pada tanggal 28
Mei 2016). 
5

 R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, Yogyakarta: Narasi, 2011,16. 


 

ini tidak hanya mengolah dan menyediakan makanan dan minuman, tetapi
juga mengatur anggaran belanja setiap bulan dengan baik. hal ini
menunjukkan sebagai wujud berbakti kepada suami. Dalam menghidangkan
makan dan minum, sang istri sepatutnya memperhatikan selera sang suami. 6
Perempuan dalam Budaya masyarakat Jawa telah diketahui hanya terbatas
di wilayah domestik (rumah tangga). Adapun peran dan kedudukan perempuan
dalam hal ini sebagai berikut :

1.

Sebagai Anak Perempuan atau menantu
Anak perempuan sebelum menikah memiliki kewajiban untuk berbakti

kepada kedua orang tua. Setelah menikah anak perempuan tersebut juga
mengabdi kepada mertua sebagai menantu.
2.

Sebagai Istri
Sebelum perempuan menjadi seorang istri, tentunya terjadi proses

pernikahan. Dalam Budaya Jawa prosesi yang harus dilalui seorang
perempuan dan laki-laki untuk melangkah menuju jenjang pernikahan,
diantaranya :
a.

Ngalamar (meminang)
Meminang di sini berarti si laki-laki mendatangi rumah si


perempuan untuk meminta izin menikahi sang putri.
b.

Ngenger (ikut calon mertua)
Mungkin adat ini juga ada di daerah tertentu di Jawa, ngenger ini

biasanya seorang laki-laki beberapa waktu ikut ke pihak calon mertua
untuk membantu pekerjaan sang calon mertua, dan pihak putri belajar
menyediakan hidangan untuk calon suami yang telah membantu pekerjaan
orang tuanya.
c.

Ningseti

                                                            
6

Asaku

Walisongo,


“Wanita

dalam

Budaya

Jawa”

dalam

http://www.contohlengkap.com/2012/02/wanita-dalam-budaya-jawa.html(diakes pada tanggal 28
Mei 2016). 


 

Setiap daerah di Jawa memiliki adat masing-masing yang kadang
berbeda dari daerah satu dengan daerah yang lainnya. Misal saja daerah
Tuban dan Rembang, prosesi ini biasanya disebut ‘ngemblok’ yaitu pihak
keluarga perempuan membawakan beberapa makanan (adat) kepada pihak si
laki-laki. dan kedua keluarga bertemu di rumah perempuan dan melakukan
diskusi terkait kesiapan pernikahan putra-putri mereka.
d.

Nukoni

Biasanya sebelum hari pernikahan, pihak laki-laki datang ke
perempuan dengan membawa sejumlah uang untuk biaya-biaya pernikahan.
e.

Sasrahan

Dari pihak laki-laki menyerahkan calon pengantin laki-laki kepda pihak
perempuan. Waktu malam menjelang hari pernikahan esok harinya. Biasanya
calon pengantin perempuan telah dirias sederhana dan didudukkan si ruang
tengah agar dapat dilihat tamu-tamu perempuan yang sudah datang. Calon
pengantin laki-laki disuruh menemui tamu laki-laki yang berada di depan.
f.

Akad Nikah (Ijab Qobul)

Ijab Qobul sebagaiamana biasanya, biasanya setelah acara akad Nikah
kemudian diakhiri walimahan.7
Demikian proses pernikahan dalam masyarakat Budaya jawa, setelah
terlaksana, perempuan di situ berpindah status menjadi seorang istri. Ketika
belum menikah perempuan harus mengabdi penuh kepada orang tua, namun
berbeda ketika telah menjadi seorang istri, kedudukan istri ditempatkan
sebagai pihak yang harus berbakti kepada suami dan harus dilayani,
dihormati serta ditaati.
3.

Sebagai seorang Ibu
Ketika sudah menikah, maka si perempuan tidak hanya sebagai istri,

akan tetapi juga siap menjadi seorang ibu dari anak-anaknya. Dalam Budaya
Jawa sangat menjunjung hak Ibu. Hak orang tua untuk dituruti perintahnya
sangat besar, bahkan disamakan dengan raja yang menjadi teladan bagi
                                                            
7

Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup Secara Islami dengan Budaya di Pulau Jawa,
(Bandung : PT Al ma’arif, 1980), 126-129. 


 

rakyatnya. 8selain itu kedudukan Ibu juga penting sebagai pendidik pertama
sang anak.
IV.

Konsep Gender Terhadap Perempuan dalam Budaya Jawa
Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum perempuan dan laki-

laki, yang kemudian dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Gender
bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang
kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan dan kita tampilkan.9 Konsep
gender berkaitan dengan dua hal, diantaranya femininitas dan maskulinitas.
Perempuan selalu digambarkan dengan kedamaian, keteduhan, lemah lembut,
emosional, dan lebih mengandalkan insting. Berbeda dengan kaum laki-laki yang
cenderung kuat, bersifat sebagai pelindung, dan rasional. Konsep gender ini
merupakan hasil dari konstruksi sosial dan budaya yang telah didapatkan dari
lingkungan sejak lahir. Bukan harga mati, bisa juga terjadi pertukaran peran
gender antara laki-laki dan perempuan.
Budaya Jawa memandang perempuan tidak jauh berbeda dengan pendapatpendapat yang beredar bahwa kaum perempuan tidak lain hanyalah seorang
pelayan yang kedudukannya di bawah kaum laki-laki. Bagi masyarakat Jawa,
anak perempuan harus memahami konsep unggah-ungguh (sopan santun).
Mengingat bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat dengan adat dan budaya
yang sangat patriarkis, dalam adat yang beredar perempuan dilarang atau bahkan
diharamkan tertawa lebar sampai terlihat semua giginya. Ia harus bisa menjadi
lakon yang baik dan menuruti semua perintah dari orang tuanya. Budaya
patriarkis inilah yang kemudian hidup dan berperan besar untuk terus
menyudutkan perempuan dengan peran gendernya.
Selain mengenai sopan santun, anggapan bahwa anak perempuan kurang
layak untuk mendapatkan hak pendidikan tinggi juga masih kental dalam
masyarakat Jawa. Prioritas atas hak pendidikan tinggi akan diberikan kepada anak
                                                            
8

Asaku Walisongo, “Wanita dalam Budaya Jawa” dalam
http://www.contohlengkap.com/2012/02/wanita-dalam-budaya-jawa.html (diakes pada tanggal
28 Mei 2016). 
9
Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan Praktik Kritik Sastra
Feminis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 4. 


 

laki-laki jika dalam satu keluarga terdapat anak laki-laki dan perempuan.10
Mengapa demikian? Karena pendidikan tinggi merupakan sesuatu yang
kondisional, melihat dulu bagaimana kondisi kemampuan keluarga. Jika terlahir
dari keluarga yang mampu, maka bisa meraih pendidikan yang sama. Namun, jika
hal tersebut terjadi di kalangan keluarga yang tidak berkecukupan, solusi utama
adalah dengan memberi pendidikan tinggi kepada anak laki-laki sebagai
pemimpin keluarga kelak. Karena mayoritas masyarakat mengatakan: “Anak
perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya akan kembali ke
dapur juga.” Ungkapan ini seringkali berlalu lalang di telinga. Mungkin
ungkapan-ungkapan misoginis Budayaonal Jawa juga banyak ditujukan kepada
kaum perempuan, seperti Masak, Macak, Manak (M3). Kaum perempuan masih
dicitrakan sebagai “Konco Wingking” yang sama sekali tidak berhak atas
masalah-masalah publik. Lalu, apakah demikian adalah hal yang benar?
Menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki dan menganggapnya
tidak berhak untuk berkecimpung dalam dunia publik merupakan salah satu
bentuk

kungkungan

terhadap

perempuan.

Tidak

sepatutnya

perempuan

diperlakukan seperti itu. pada dasarnya, antara laki-laki dan perempuan memiliki
hak yang sama dalam semua aspek, baik dalam hal pendidikan maupun hak karir.
Pandangan-pandangan terkait perempuan yang timpang saat ini masih
banyak sekali dijumpai, terutama dalam masyarakat Jawa Budayaonal. Mereka
sangat memegang teguh keyakinan terhadap nenek moyang. Namun, sebagian
dari mereka telah menerapkan teori kesetaraan gender dalam mendidik anak-anak
mereka.
V.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan

dalam Budaya Jawa diidentikkan dengan sifat-sifat yang lemah dan nrimo,
sehingga karakter perempuan Jawa sudah terbentuk seperti itu. Hal itu bisa dilihat
dari definisi perempuan menurut masyarakat Jawa seperti wadon yang secara
etimologi diartikan sebagai kawula atau abdi. Selain dilihat dari segi definisinya,
                                                            
10

Perempuan, Gender, dan Budaya patriarki dalam http://warna-warni-dunia-phierda-perempuangender-dan-budaya-patriarki. (Diakses Pada 28 Mei 2016).  


 

juga dapat dilihat dari aspek kedudukan dan peran perempuan dalam Budaya
Jawa, karena dalam Budaya Jawa peran laki-laki dikonsepkan pekerja publik
(luar rumah), sedangkan perempuan dikonsepkan pekerja domestik (di dalam
rumah tangga).
Dalam masyarakat Jawa dikenal istilah “konco wingking” (tema belakang)
yaitu seorang istri. Hal teresbut menunjukkan bahwa perempuan tidak sejajar
dengan laki-laki, perempuan melakukan pekerjaan di belakang (di dapur).
Batasan wilayah kerja perempuan dalam masyarakat Jawa sangat sempit.
VI.

Kritik dan Saran
Walaupun perempuan Jawa identik dengan sifat lemah dan nrimo, kita juga

harus melihat sisi yang lain dari perempuan seperti, perempuan yang tidak hanya
bekerja dalam ranah domestik, perempuan yang menjadi tulang punggung
keluarga, dan perempuan yang sudah menunjukkan jatidirinya ke ranah publik.
Oleh karena itu, janganlah kita memandang perempuan dengan sebelah mata,
karena pada dasarnya di dalam diri perempuan terdapat sifat-sifat yang kuat.

10 
 

Daftar Pustaka
Akbar, Muhammad Ali. Perbandingan Hidup Secara Alami dengan Budaya
di Pulau Jawa. (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980).
Asaku

Walisongo,

“Wanita

dalam

Budaya

Jawa”

dalam

http://contohlengkap.com/2012/02/wanita-dalam-budaya-jawa.html.
(diakes pada tanggal 28 Mei 2016).
Dalam

http://rudiindri.blogspot.co.id/2013/07/wanita-dalam-budaya-

jawa.html. (Diakses pada 28 Mei 2016.)
Hartanto Roedy

El-Sawa,

“Wanita

Dalam Budaya

Jawa”

dalam

http://rudiindri.blogspot.co.id/2013/07/wanita-dalam-budayajawa.html (diakses pada tanggal 28 Mei 2016).
Kartini, R.A.. Habis Gelap Terbitlah Terang. (Yogyakarta: Narasi, 2010).
Perempuan, Gender, dan Budaya patriarki dalam http://warna-warni-dunia-phierdaperempuan-gender-dan-budaya-patriarki. (Diakses Pada 28 Mei 2016).

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. Gender dan Inferioritas Perempuan
Praktik Kritik Sastra Feminis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Sugono, Dendi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional).

11