i LOMBA KARYA TULIS ILMIAH MAHASISWA TIN

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH MAHASISWA TINGKAT NASIONAL JUDUL KARYA TULIS: DENGUE FEVER SCORING SYSTEM (DeringS), STRATEGI MANDIRI DETEKSI DINI DEMAM DENGUE

Diusulkan oleh:

Nuzul Sri Hertanti (09/282482/KU/13290) Erawati Werdiningsih

(09/281907/KU/13170)

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Karya Tulis Ilmiah : Dengue Fever Scoring System (DeringS), Strategi

Mandiri Deteksi Dini Demam Dengue

2. Nama Penulis

: Nuzul Sri Hertanti

(09/282482/KU/13290

(09/281907/KU/13170) Asal Institusi

Erawati Werdiningsih

: Universitas Gadjah Mada

Fakultas

: Kedokteran

Program Studi

: Ilmu Keperawatan

Contact Person : Nuzul Sri Hertanti (081904192021)

3. Dosen Pembimbing

: Haryani, S.Kp., M.Kes

NIP

Asal Institusi

: Universitas Gadjah Mada

Contact Person

Yogyakarta, 5 September 2013

ii

ABSTRAK

Demam Dengue (DD) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk ( Aedes aegypti atau Aedes albopictus ) yang terinfeksi virus dengue. Penyakit ini telah merugikan manusia pada lebih dari 100 negara wilayah tropis dan subtropis di seluruh dunia, termasuk Indonesia. DD dapat berkembang menjadi DBD yang menyebabkan pendarahan luar biasa dan dapat menyebabkan syok bahkan kematian. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Pada tahun 2010, kasus DBD di Indonesia mencapai sekitar 140.000 kasus dan menyumbang sekitar 15% kasus DBD dunia. Banyak manifestasi klinis dan keabnormalan hasil laboratorium pada DD yang juga ditemukan pada penyakit infeksi lain, sehingga terkadang keluarga mengabaikan gejala demam yang muncul dan dibawa ke layanan kesehatan dalam kondisi yang sudah buruk. Pada dasarnya tidak ada penanganan spesifik untuk DD, tetapi deteksi dini dan akses pada pelayanan kesehatan yang tepat dapat menurunkan fatality rates di bawah 1%. Oleh karena itu perlu diidentifikasi perbedaan karakteristik DD dengan penyakit endemis tropis yang lain sehingga dapat dilakukan tindakan deteksi dini dan penanganan segera. Salah satu upaya terpenting ialah pencegahan dan deteksi dini yang berfokus pada masyarakat dengan program pemeriksaan mandiri Dengue Fever Scoring System (DeringS). Tujuan dari program ini adalah untuk melaksanakan deteksi dini DD agar mendapatkan penanganan yang tepat dan segera. Metode literatur review digunakan dalam mengembangkan gagasan terkait program ini. Program DeringS dirancang sebagai usaha peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan dalam mencegah, mengurangi, dan mengendalikan penyakit infeksi tropis yaitu

DD/DBD di Indonesia dan diaplikasikan dalam bentuk scoring sebagai instrumen dari deteksi dini penyakit tersebut. DeringS melibatkan peran aktif masyarakat sebagai objek dan pelaksana utama, selanjutnya kerjasama dilakukan antara pihak kader kesehatan di masyarakat, pihak puskesmas maupun pemerintah. Interpretasi dari scoring DeringS dijadikan acuan waktu untuk selanjutnya merujuk penderita DD ke sarana pelayanan kesehatan. Program ini dapat menjadi suatu inovasi solutif yang mudah, murah dan mandiri untuk mendeteksi dini DD dan diharapkan program ini dapat menjadi kebijakan nasional di Indonesia.

Kata kunci: Demam Dengue, deteksi dini, pemeriksaan mandiri, infeksi tropis.

iii

KATA PENGANTAR

Kenyataan saat ini bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus dengue semakin menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat khususnya daerah perkotaan. Demam Dengue (DD) pada dasarnya kurang berbahaya dari pada Demam Berdarah Dengue (DBD). Akan tetapi DD berulang dapat mengakibatkan terjadinya DBD. Ditinjau dari sektor kesehatan, DD dapat berkembang menjadi DBD yang menyebabkan pendarahan luar biasa dan dapat menyebabkan syok bahkan kematian.

Realita yang ada ternyata banyak penderita yang terlambat mengakses pelayanan kesehatan, sehingga sudah mengalami perburukan kondisi. Salah satu rekomendasi yang dicanangkan oleh departemen kesehatan adalah perlunya dilakukan tindakan deteksi dini dan penanganan segera. Program DeringS ini diharapkan dapat memberikan kemandirian pada pasien dalam melakukan deteksi dini DD sehingga dapat menghindari terjadinya keterlambatan penanganan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut membantu membangun gagasan ini terutama kepada dosen pembimbing Haryani, S.Kp., M.Kes yang telah memberikan saran dalam penyusunan proposal ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu saran dan kritik sangat diharapkan agar gagasan ini dapat berkembang dengan lebih baik sebagai langkah pendidikan karakter yang lebih baik lagi.

Penulis

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alur Pelaksanaan DeringS ......................................................... 16 Gambar 2. Alur Teknis Masyarakat dalam Pelaksanaan Program ................ 18

vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Demam Dengue (DD) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk ( Aedes aegypti atau Aedes albopictus ) yang terinfeksi virus dengue. Ada 4 serotype virus di Indonesia yaitu D-1, D-2, D-3 dan D-4, tetapi terbanyak adalah serotype D-3 dan D-2 (Depkes, 2012). Infeksi oleh salah satu jenis serotype ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain sehingga akan menimbulkan dampak yang lebih serius (CDC, 2013).

Demam Dengue (DD) pada dasarnya kurang berbahaya dari pada Demam Berdarah Dengue (DBD). Akan tetapi DD berulang dapat mengakibatkan terjadinya DBD. Demam dengue dan bentuk seriusnya, seperti DBD dan sindroma syok dengue, merupakan penyakit yang telah merugikan manusia pada lebih dari

100 negara wilayah tropis dan subtropis di seluruh dunia (Gibbons & Vaughn, 2002), termasuk Indonesia (WHO, 2013). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO,

2013) mencatat bahwa kasus DBD di dunia semakin meningkat. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD

setiap tahunnya (Depkes, 2012). Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, semakin menjadi ancaman

kesehatan bagi masyarakat khususnya daerah perkotaan (WHO, 2010). Di Indonesia, sekitar 70 persen kota dan kabupaten merupakan daerah endemik DBD. Provinsi Jakarta dan Bali menjadi penyumbang terbesar kasus DBD (Anna,

2011). Memasuki awal tahun 2004 di Indonesia, jumlah kasus DBD mengalami

peningkatan yang cukup bermakna. Sejak tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 5 Maret 2005 secara kumulatif, jumlah kasus DBD yang dilaporkan dan telah ditangani sebanyak 26.015 kasus, dengan kematian mencapai 389 jiwa (Depkes, 2012). Pada tahun 2010, kasus DBD di Indonesia mencapai sekitar 140.000 kasus.

Indonesia merupakan penyumbang sekitar 15 persen kasus DBD dunia (Anna, 2011).

Tingginya angka kejadian dengue tidak hanya memberikan beban berat pada sektor kesehatan namun juga pada sektor ekonomi. Penelitian di delapan negara pada periode tahun 2001-2005 (532.000 kasus) melaporkan perkiraan pengeluaran

untuk menangani masalah dengue mencapai US$ 440 juta (WHO, 2009). Ditinjau dari sektor kesehatan, DD dapat berkembang menjadi DBD yang

menyebabkan pendarahan luar biasa dan dapat menyebabkan syok bahkan kematian. Diperkirakan 500.000 orang dengan dengue berat membutuhkan hospitalisasi setiap tahunnya, proporsi terbanyak adalah anak-anak, dan sekitar

2.5% diantaranya meninggal (WHO, 2012). Kendala utama dalam pelayanan penderita DBD adalah keterlambatan

keluarga membawa penderita ke sarana pelayanan kesehatan, sehingga memperbesar risiko terjadinya kematian (Dinkes Jateng, 2005). Menurut WHO

(2009), dilaporkan bahwa case fatality rate di Indonesia terutama di daerah perkotaan masih tinggi hingga mencapai 3-5%. Pada dasarnya tidak ada penanganan spesifik untuk DD, tetapi deteksi dini dan akses pada pelayanan

kesehatan yang tepat dapat menurunkan fatality rates di bawah 1% (WHO, 2012). Demam Dengue merupakan infeksi yang umum terjadi di Asia dan seringkali

ditandai dengan penyakit demam akut yang tidak jelas etiologinya ( Chadwick et al. , 2006) . Banyak manifestasi klinis dan keabnormalan hasil laboratorium pada DD yang juga ditemukan pada penyakit infeksi lain, sehingga terkadang keluarga mengabaikan gejala demam yang muncul dan dibawa ke layanan kesehatan dalam kondisi yang sudah buruk ( Pickard et al., 2004) . Oleh karena itu perlu diidentifikasi perbedaan karakteristik DD dengan penyakit endemis tropis yang lain sehingga dapat dilakukan tindakan deteksi dini dan penanganan segera (Chang et al ., 2009). Pemberantasan dengue mau tidak mau harus bertumpu pada peran serta masyarakat bukan hanya mendesak peran tunggal tenaga kesehatan. Semakin tidak menentunya keadaan cuaca juga turut mempersulit prediksi lonjakan kasus sehingga salah satu upaya terpenting ialah pencegahan dan deteksi

dini yang berfokus pada masyarakat (Depkes, 2012).

Dengue Fever Scoring System (DeringS) merupakan suatu program alternatif sebagai usaha deteksi dini terjadinya DD. Program ini diharapkan mampu mendukung program pemerintah untuk menurunkan kejadian luar biasa (KLB)

DBD. Selain itu, program ini juga akan lebih melibatkan masyarakat untuk peduli dan mampu mengenali tanda dan gejala terjadinya DD. Melalui program DeringS, masyarakat yang berisiko dilatih untuk peka dan mampu mengontrol risiko sehingga tidak berujung pada komplikasi, peningkatan beban ekonomi, serta kematian.

B. Rumusan Masalah Bagaimana kemanfaatan DeringS sebagai strategi deteksi dini demam dengue dalam upaya pencegahan tropical disease di Indonesia?

C. Tujuan Tujuan yang diharapkan dari adanya program Pemeriksaan Mandiri DeringS ini diantaranya adalah:

1. Mengembangkan alternatif-alternatif terbaik dalam proses deteksi dini DD pada masyarakat yang berisiko tinggi

2. Mendorong kesadaran masyarakat untuk peka terhadap gejala DD yang terjadi dengan cara melakukan pemeriksaan mandiri

3. Mengembangkan program pemeriksaan mandiri dan edukasi DD pada tataran pelayanan kesehatan dasar.

D. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari program Pemeriksaan Mandiri (DeringS) ini antara lain:

1. Terbentuknya suatu program deteksi dini DD pada masyarakat secara mandiri, guna mencegah terjadinya komplikasi DD yang lebih parah

2. Terbentuknya sikap masyarakat yang sadar terhadap potensi peningkatan risiko dan komplikasi berkaitan dengan DD.

3. Terbentuknya program deteksi dini DD yang bekerjasama dengan pelayanan kesehatan dasar, sehingga dapat menghemat biaya dan menghindari terjadinya penumpukan pasien pada setting pelayanan akut.

4. Terbentuknya program pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan optimal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Dengue Demam Dengue (DD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai sekarang ini dikenal empat serotype virus dengue yaitu DENV 1, DENV 2, DENV 3, dan DENV 4 (Tawatsin & Thavara, 2010). DD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang hampir ditemukan hampir diseluruh penjuru dunia. Di beberapa negara tropis dan subtropics, DD merupakan endemis yang terjadi sepanjang tahun pada musim penghujan karena kondisi tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan optimal populasi nyamuk Aedes aegypti (CDC, 2010). Aedes aegypti termasuk nyamuk-nyamuk aedes yang aktif pada

waktu siang hari (Sembel, 2009).

1. Patofisiologi DD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu

arthropod-borne virus atau virus yang disebabkan oleh artropoda. Virus ini termasuk genus Falvivirus dari family Flaviviridae. Vektor utama penyakit ini adalah nyamuk Aedes Aegepty atau Aedes albopictus dengan cirri-ciri: a) sayap dan badan nyamuk bergaris putih, b) berkembang biak di air jernih, c) jarak terbang ± 100 meter, d) nyamuk betina bersifat multiple bitters dan e) tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi.

Nyamuk yang menjadi vektor ialah nyamuk yang terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya) dan virus ini dapat ditularka secara transovarial dari nyamuk ke telur-telurnya. Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus akan dipindahkan melalui air liur nyamuk.

Infeksi virus terjadi melalui gigitan nyamuk, virus memasuki aliran darah manusia untuk kemudian bereplikasi. Selanjutnya antibodi akan teraktifasi dan terbentuk kompleks virus-antibodi dengan virus sebagai antigennya (WHO, 2003).

2. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis utama demam dengue yang menjadi pembeda dengan

diagnosa lainnya ialah Fever-Arthralgia-Rash syndrome (Ooi & Gubler, 2011) yaitu timbulnya gejala demam muncul tiba-tiba (39-40 0 C), demam bifasik,

berlangsung selama 3-5 hari, nyeri sendi (artralgia) dan ruam pada kulit. Gejala lain yang dapat muncul yaitu sakit kepala berat, mialgia, nyeri pada retro orbital, tidak nafsu makan, dan gangguan gastrointestinal berupa nyeri

abdomen dan konstipasi (Nimmannitya, 2009). Beberapa gejala lain yang muncul diantaranya nyeri pada faring, rhinitis

dan btuk ringan. Mual muntah dapat terjadi pada hari kedua hingga keenam (Michael et al ., 2009). Ruam pada kulit umumnya terlihat pada area wajah, leher dan dada. Selanjutnya pada hari ketiga atau keeempat dapat muncul maculopapular . Ruam mulai terlihat pada dada kemudian menyebar pada ekstrimitas dan wajah yang disertai dengan rasa gatal dan hyperaesthesia (Nimmannitya, 2009).

3. Pemeriksaan dini demam dengue Infeksi virus dengue dapat asimtomatis atau dapat menimbulkan demam

undifferentiated , demam dengue (DD), atau demam berdarah dengue (DBD) dengan rembesan plasma yang dapat menimbulkan syok (sindrom syok

dengue/DSS). Pemeriksaan demam dengue dapat dilakukan melalui pemeriksaan secara fisik maupun pemeriksaan penunjang laboratorium.

a. Pemeriksaan fisik. Gejala klinis dari demam dengue biasanya tergantung dengan usia pasien. Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mengetahui gejala klinis yang muncul seperti demam tinggi yang mendadak, sakit kepala berat, nyeri tulang atau sendi, nyeri tekan perut, mual dan muntah, dan ruam (WHO, 2003). Demam akut yang

dialami pasien dengan suhu badan mencapai 39-40 0

C. Demam terjadi hingga 5-6 hari dan terjadi dengan pola bifasik (dengan dua puncak demam). Gejala lain seperti anoreksia akan menyertai sesuai dengan progresifitas penyakit dan diikuti pula dengan kelemahan (Nimmannitya, 2009). Ruam terlihat pada wajah, leher dan dada.

Bintik-bintik merah juga dapat terlihat pada hari ketiga atau keempat. Perdarahan kulit (ptekie) tidak umum terjadi. Pada beberapa epidemic, demam dengue dapat disertai dengan komplikasi perdarahan seperti epitaksis, perdarahan gusi, perdarahan gastrointestinal, hematuria dan menoragia (WHO, 2004).

b. Pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang diidentifikasi pada pasien yang diduga mengalami demam dengue perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan enzim hati dan pemeriksaan serologi Pemeriksaan darah lengkap untuk mengkonfirmasi adanya peningkatan hematokrit, trombositopenia, dan leukositopenia (WHO, 2004). Peningkatan

hematokrit terjadi ≥ 20% dari nilai normal. Penemuan laboratorium yang signifikan selama kondisi akut demam yaitu leukositopenia. Biasanya leukositopenia ditemukan pada hari ke 2-3 setelah onset demam. Trombositopenia ringan sampai sedang juga ditemukan pada

demam dengue. Angka trombosit menunjukkan ≤ 100.000/mm 3 . Pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit

dan terjadi sebelum suhu turun. Trombositopenia biasanya ditemukan antara hari ketiga sampai ketujuh (Hadinegoro et al ., 2006). Adanya ruam pada wajah, uji positif tornikuet dan leukositopenia merupakan tanda yang membedakan demam dengue dengan diagnosis penyakit lainnya. Pemeriksaan enzim hati dilakukan untuk mengetahui peningkatan enzim hati yaitu SGPT dan SGOT (WHO, 2004). Diagnosis demam dengue akan lebih pasti ditegakkan dengan tes serologi antibody dan isolasi virus atau deteksi antigen dengue dengan reaksi rantai polimerase (PCR) (Nimmannitya, 2009)

B. Pendapat Terdahulu Terkait Demam Dengue Menegakan diagnosis yang berhubungan dengan virus dengue perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan darah lengkap (Michael et al ., 2009). Metode tersebut yang digunakan petugas medis dalam menentukan apakah B. Pendapat Terdahulu Terkait Demam Dengue Menegakan diagnosis yang berhubungan dengan virus dengue perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan darah lengkap (Michael et al ., 2009). Metode tersebut yang digunakan petugas medis dalam menentukan apakah

Pemeriksaan penjunjang yang dilakukan mencakup pemeriksaan darah lengkap terhadap sel darah merah, sel darah putih dan trombosit (Turgeon, 2004). Pemeriksaan darah lengkap tersebut diantaranya adalah pemeriksaan jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit (Barbara, 1984). Tes tambahan lainnya sebaiknya dilakukan jika ada indikasi seperti tes fungsi hepar, glukosa, serum elektrolit, urea dan kreatinin, bikarbonat atau laktat, enzim jantung dan EKG. Pemeriksaan trombosit dapat digunakan sebagai alat bantu untuk diagnosis dengue karena menunjukkan sensitivitas yang tinggi mulai dari hari keempat demam sebesar 67.7% bahkan pada hari ke-5 sampai hari ke-7 menunjukkan angga 100% (Agus et al ., 2011). Spesifitas yang sangat tinggi pada penggunaan trombositopenia sebagai parameter disebabkan karena jarangnya penyakit infeksi yang disertai dengan penurunan trombosit sampai dibawah 150.000/mm3. Dengan demikian pemeriksaan trombosit harian akan sangat membantu diagnosis dengue karena meningkatkan sensitivitas dan spesifitasnya (Dacie & Lewis, 1977). Penggunaan parameter gabungan trombositopeni dan leukopeni menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi daripada sensitivitas masing-masing. Sensitivitas ini terus meningkat dan mencapai 100% pada hari ke-

5 dampai ke-7 panas. Spesifitas kombinasi trombisitopeni dan leukopeni umumnya cukup tinggi >80% bahkan pada specimen hari ke-5 dan ke-7 mencapai

100% (Agus et al ., 2011).

Uji serologis sering dipakai dan dipergunakan sebagai gold standar yaitu dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI test). Akan tetapi uji HI tidak spesifik menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Mac Elisa pada tahun terakhir ini merupakan uji serologi yang banyak dipakai. Tes tersebut akan mengetahui kendungan IgM dalam serum pasien. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti dengan IgG. Uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnosis untuk pengelolaan kasus. Uji Mac Elisa mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI. Saat ini sudah banyak merek dangang kit uji infeksi dengue dengan uji IgM atau IgG Elisa.

Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekuler diagnosis infeksi virus dengue dapat dilakukan dengan uji reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Cara ini merupakan diagnosis yang sangat sensitive dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang bearsal dari darah, jaringan tubuh manusia dan nyamuk.

Selain program pendeteksian dini terhadap penyakit DD, selanjutnya telah diupayakan beberapa program pencegahan dengan prinsip pemberantasan vektor yang berbasis masyarakat untuk menurunkan angka penderita DD (Gubler, 2010). Beberapa program tersebut diantaranya, 1) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN); 2) Program Pemberdayaan Juru Pemantau Jentik (Jumantik); 3) Fogging dan 4) Abatisasi selektif. Program PSN yang dilakukan dengan metode 3M plus dan abatisasi selektif dilakukan oleh masyarakat (Depkes, 2004). Pemberdayaan Jumantik dilakukan dengan pemantauan jumlah jentik yang ada di setiap rumah warga di daerah beresiko (Pranoto, 2011). Fogging dilakukan dengan pencampuran obat nyamuk dan solar dengan tekanan tinggi dibuat menjadi butir- butir kecil berbentuk asap, fogging tidak mematikan telur atau jentik sehingga dalam pelaksanaannya harus disertai dengan PSN (Sutaryo, 2005).

BAB III METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan dalam mengembangkan gagasan Pemeriksaan Mandiri Dengue Fever Scoring System (DeringS) adalah menggunakan literature review . Metodologi yang dilakukan bertujuan untuk mengeksplorasi permasalahan aktual terkait dengan DD, mengembangkan gagasan yang akan diambil, dan mencari relevansinya dengan sistem yang sudah ada dan bagaimana memodifikasi sistem tersebut agar menjadi lebih baik lagi.

Literatur yang digunakan sebagai landasan teori didapatkan dari text book maupun jurnal. Jurnal yang mendukung penulisan ini antara lain berjudul Dengue Fever Scoring System: New Strategy for the Early Detection of Acute Dengue Virus Infection in Taiwan (Chang et al, 2009); Distinguishing dengue fever from other infections on the basis of simple clinical and laboratory features: application of logistic regression analysis (Chadwick, 2006); dan Sensitivity and specificity of immunocytochemical assay for detection of Dengue virus 3 infection in mosquito (Widiastuti, 2011).

Penggunaan text book digunakan untuk meninjau hal-hal yang dapat dijadikan acuan dalam kerangka pikir penyusunan gagasan. Tahap yang selanjutnya dilakukan adalah dengan meninjau kembali gagasan yang ada menggunakan hasil riset terbaru atau evidance based yang telah ada melalui jurnal. Peninjauan dilakukan dengan menelaah fenomena terbaru dalam memanajemen DD, khususnya untuk meninjau cara deteksi dini DD bagi masyarakat yang berisiko tinggi.

Selama proses pembentukan gagasan hingga tahap penyusunan prosedur juga dilakukan konsultasi pakar bidang keperawatan medikal bedah. Konsultasi pakar dilakukan bertujuan untuk menambah informasi terkait dengan data-data yang dibutuhkan, mendapatkan pertimbangan gagasan terkait penerapan gagasan di lapangan, sehingga relevansi gagasan dapat ditingkatkan.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Analisis Kondisi Kekinian Saat ini pemeriksaan laboratorium dipercaya sebagai alat pendeteksi pasti yang cepat untuk mengetahui infeksi virus Dengue. Pemeriksaan laboratorium tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga golongan pemeriksaan yaitu isolasi dan identifikasi virus, deteksi antigen, dan tes serologi. Metode reverse transcription polymerase chain reaction (PCR) dinyatakan sebagai pemeriksaan yang sangat sensitif dan spesifik serta dapat mendeteksi viremia oleh virus Dengue pada hari kedua demam, namun hanya laboratorium tertentu saja yang dapat melakukan metode diagnosis molekular ini (Chow, 1997; Vaughn, 1997; Widiastuti et al .,

2011). Selain itu, masyarakat melakukan pemeriksaan tersebut saat kondisi sudah parah dan pemeriksaan dilakukan sebagai prosedur indikasi anjuran dokter. Jika

dianalisis dari segi keekonomisan, biaya untuk melakukan pemeriksaan dengan metode reverse transcription PCR sangat mahal, sehingga sulit untuk dijadikan sebagai metode pendeteksi dini infeksi Dengue untuk semua lapisan masyarakat.

Diperlukan suatu metode pendeteksi infeksi Dengue yang dapat digunakan oleh semua lapisan masyarakat. Deteksi dini perlu dilakukan sebagai strategi pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dapat mengakibatkan kematian. Menyikapi kondisi tersebut, penulis berinisiatif untuk menciptakan suatu gagasan berupa metode deteksi dini demam Dengue yang mengkombinasikan konsep health promotion dan community empowerment . Hal ini dirasa penting karena untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kegiatan deteksi dini kesehatan diperlukan keterlibatan langsung dari masyarakat itu sendiri.

Hingga saat ini strategi utama pemerintah untuk mengurangi jumlah penderita DD ialah penyusunan sejumlah program dengan prinsip pemberantasan vector (Gubler, 2010). Strategi pemberantasan vektor ini pada prinsipnya sama dengan strategi umum yang telah dianjurkan oleh WHO yaitu dengan mengadakan penyesuaian tentang ekologi vektor penyakit di Indonesia. Strategi tersebut terdiri Hingga saat ini strategi utama pemerintah untuk mengurangi jumlah penderita DD ialah penyusunan sejumlah program dengan prinsip pemberantasan vector (Gubler, 2010). Strategi pemberantasan vektor ini pada prinsipnya sama dengan strategi umum yang telah dianjurkan oleh WHO yaitu dengan mengadakan penyesuaian tentang ekologi vektor penyakit di Indonesia. Strategi tersebut terdiri

1. Pengelolaan lingkungan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) Pengelolaan lingkungan meliputi berbagai kegiatan untuk mengkondisikan

lingkungan sebagai upaya pencegahan dengan mengurangi perkembangbiakan vektor yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus sehingga mengurangi kontak antar vektor dengan manusia (Widoyono, 2008). Penggerakan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan di daerah endemik dan sporadic (Sitio, 2008). Upaya pemberantasan sarang nyamuk dilakukan dengan metode 3M yang selanjutnya berkembang menjadi 3M plus (Subargus,

2010). Kegiatan 3M plus tersebut ialah kegiatan 3M diperluas dengan beberapa

cara lain yaitu: (a) mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali, (b) memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar, (c) menutup lubang lubang pada potongan bambu/pohon, (d) memelihara ikan pemakan jentik, (e) memasang kawat kassa, (f) mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruangan yang memadai, (g) menggunakan kelambu pada saat tidur siang, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, dan (h) menghindari kebiasaan menggantung

pakaian dalam ruangan rumah (Depkes, 2004).

2. Abatisasi selektif merupakan kegiatan memberikan atau menaburkan larvasida ke dalam penampungan air yang positif terdapat jentik aedes. Larvasida yang dimaksud berupa butiran pasir temefos 1% dilakukan untuk memberantas jentik nyamuk Aedes aegypti selama 8-12 minggu (WHO, 2004).

3. Fogging merupakan kegiatan menyemprot dengan insektisida ( malation losban ) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per 1 dukuh (Widoyono, 2008).

4. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yaitu kegiatan reguler tiga bulan sekali, dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan 4. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yaitu kegiatan reguler tiga bulan sekali, dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan

5. Pemanfaatan Juru Pemantau Jentik (Jumantik) yaitu pengorganisasian sejumlah kader yang berperan dalam memantau keberadaan jentik di rumah- rumah penduduk. Program ini bahkan telah diperluas hingga adanya Jumantik Cilik yang merupakan pengaplikasian program Jumantik yang telah ada sebelumnya dengan pembaharuan sasaran program yang berbasis sekolah maupun Jumantik plus yaitu pengadaan kader pemantau jentik sekaligus pemanfaatan vektor biologis berupa ikan cupang/ Ctenops vitatus (Pranoto, 2011).

B. Program Dengue Fever Scoring System (DeringS) Program Dengue Fever Scoring System (DeringS) merupakan suatu strategi yang mudah, murah, dan mandiri guna deteksi dini DD pada masyarakat. Program ini sebagai bentuk kombinasi health promotion dan community empowerment terhadap DD pada masyarakat yang berisiko. Tujuan dari program ini adalah untuk melaksanakan deteksi dini DD agar mendapatkan penanganan yang tepat dan segera. Oleh karena itu diharapkan dapat menghindari terjadinya perburukan kondisi penderita.

1. Sasaran program DeringS Sasaran program ini adalah seluruh masyarakat yang berada di daerah

berisiko terjadinya DD maupun DBD. Masyarakat dapat mengakses layanan ini melalui puskesmas maupun kader kesehatan setempat.

2. Pelaksana/pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program DeringS Pelaksanaan program ini (pemeriksaan mandiri) dilakukan oleh

masyarakat secara mandiri di rumah masing-masing. Jadi ketika ada salah seorang anggota keluarga yang mengalami demam maka anggota keluarga masyarakat secara mandiri di rumah masing-masing. Jadi ketika ada salah seorang anggota keluarga yang mengalami demam maka anggota keluarga

a. Masyarakat Dalam pelaksanaan program ini masyarakat mempunyai peran utama

sebagai objek sekaligus pelaksana utama. Masyarakat diharapkan mampu melakukan pemeriksaan mandiri untuk deteksi dini DD pada anggota keluarganya sehingga tidak terjadi keterlambatan penanganan. Selain itu, masyarakat juga dapat didukung untuk turut berperan aktif dalam mengakses informasi terkait program DeringS.

b. Kader Kesehatan Kader kesehatan turut berperan penting dalam program DeringS. Kader kesehatan dalam program ini berperan sebagai 1) penyalur informasi dari puskesmas ke masyarakat sasaran; 2) mengikuti sosialisasi program DeringS; 3) melakukan pencatatan dan evaluasi terkait hasil program DeringS yang kemudian akan dilaporkan kepada pihak puskesmas khususnya perawat komunitas.

c. Pihak Puskesmas

1) Tugas perawat Dalam pelaksanaan program ini, dibutuhkan minimal satu perawat baik itu perawat profesional (perawat S-1) maupun perawat vokasional (perawat D-3) khususnya perawat komunitas. Tugas perawat dalam program ini antara lain sebagai edukator yaitu 1) pemberi informasi/sosialisasi terkait program DeringS baik kepada kader maupun masyarakat; 2) perawat memberikan 1) Tugas perawat Dalam pelaksanaan program ini, dibutuhkan minimal satu perawat baik itu perawat profesional (perawat S-1) maupun perawat vokasional (perawat D-3) khususnya perawat komunitas. Tugas perawat dalam program ini antara lain sebagai edukator yaitu 1) pemberi informasi/sosialisasi terkait program DeringS baik kepada kader maupun masyarakat; 2) perawat memberikan

2) Tugas dokter Minimal dibutuhkan satu dokter untuk menunjang kelancaran program ini. Dalam program ini, dokter bertugas untuk 1) melakukan pemeriksaan lanjutan terkait kondisi pasien; 2) memberikan rujukan untuk pemeriksaan diagnostik atau pemeriksaan laboratorium yang lengkap jika diperlukan; 3) memberikan pengobatan yang sesuai dengan kondisi peserta program.

3. Gambaran program DeringS Program yang ditawarkan DeringS antara lain:

a. Deteksi Dini Klien melaksanakan DeringS di rumah masing-masing secara mandiri

setelah mendapatkan informasi mengenai program tersebut. Program DeringS dilakukan untuk menilai apakah demam yang dialami merupakan DD atau bukan sehingga dapat dideteksi secara dini. Skoring dilakukan oleh salah satu anggota keluarga yang dinilai mampu. Sebelum melakukan pemeriksaan mandiri, klien harus sudah membaca leaflet dan memahami prosedur program tersebut. Sehingga klien dapat dengan mudah mengikuti prosedur atau langkah-langkah DeringS sebagai berikut:

1) Klien mendapatkan leaflet melalui puskesmas atau posyandu. Leaflet berisi mengenai pengertian DD dan DBD, cara penyebaran DD dan DBD, gejala yang tampak pada penderita, perawatan yang diperlukan oleh penderita, kolom skoring, serta petunjuk pengisian.

2) Saat ada anggota keluarga yang demam (biasanya anak-anak), anggota keluarga yang lain dapat melakukan penilaian/skoring sesuai petunjuk dengan mengisi kolom yang tertera pada leaflet.

3) Selanjutnya klien menjumlahkan skor pada masing-masing kolom dan membuat total skor. Jika total skor mencapai ≥ 6 maka klien 3) Selanjutnya klien menjumlahkan skor pada masing-masing kolom dan membuat total skor. Jika total skor mencapai ≥ 6 maka klien

K lien dengan skor ≥ 6 merupakan klien yang dicurigai mengalami DD.

b. Edukasi Masyarakat dapat memanfaatkan layanan edukasi dan konsultasi.

Pemberi edukasi adalah perawat atau kader posyandu, sehingga edukasi dapat diperoleh di puskesmas atau posyandu. Edukasi yang diberikan antara lain meliputi pengertian DD dan DBD, cara penyebaran DD dan DBD, gejala yang tampak pada penderita, perawatan yang diperlukan oleh penderita, peningkatan kewaspadaan terutama saat musim hujan, serta penguatan program pemerintah yang lainnya seperti halnya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M plus.

4. Prosedur Program DeringS Program DeringS difokuskan untuk diterapkan di layananan kesehatan

dasar yaitu puskesmas. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung program pemerintah dalam rangka pengoptimalan fungsi puskesmas dan sebagai wujud salah satu program wajib puskesmas yaitu pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak menular.

Pemerintah

Dinas Kesehatan

Puskesmas

Perawat Komunitas

DeringS

Kader Kesehatan

Masyarakat

Gambar 1. Alur Pelaksanaan DeringS Alur pelaksanaan DeringS berdasarkan Gambar 1 mempertegaskan alur koordinasi dan komando program DeringS dari pemerintah khususnya dinas

kesehatan kepada puskesmas dan jajaran di bawahnya yaitu kader kesehatan dan masyarakat. Program DeringS menitikberatkan pada tujuan pemberdayaan masyarakat yang melibatkan berbagai elemen penting dimulai dari pemerintah, pihak puskesmas, kader kesehatan setempat dan masyarakat itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan diharapkan dapat berperan dalam pembuat kebijakan terkait program DeringS sebagai program utama deteksi dini DD. Setelah program ini disetujui sebagai suatu prosedur deteksi dini, selanjutnya pihak Dinas Kesehatan mengadakan sosialisasi program khusus kepada pihak Puskesmas dalam hal ini diutamakan ialah perawat komunitas. Sosialisasi dapat dilakukan melalui rapat koordinasi dinas kesehatan dengan pihak puskesmas. Peran perawat komunitas dalam program ini ialah mengedukasi kader kesehatan maupun masyarakat dalam pelaksanaan program DeringS. Setelah program diterapkan, perawat berperan dalam mengevaluasi pelaksanaan DeringS.

Kader kesehatan di daerah setempat berperan dalam mengedukasi langsung masyarakat melalui forum kemasyarakatan seperti posyandu atau kegiatan kemasyarakatan lainnya. Diharapkan kader memiliki kemampuan persuasif terhadap masyarakat agar memiliki motivasi tinggi dalam mengikuti program DeringS. Masyarakat berperan sebagai sasaran sekaligus pelaksana utama DeringS. Setelah masyarakat paham mengenai prosedur kerja DeringS, selanjutnya program ini siap untuk diaplikasikasikan secara mandiri oleh setiap keluarga. Kondisi yang berbeda ketika program ini belum disahkan sebagai suatu kebijakan, program ini tetap dapat dijalankan dengan sasaran pihak Puskesmas. Sosialisasi program dilakukan peneliti kepada pihak Puskesmas suatu daerah untuk dicoba diaplikasikan pada masyarakat di daerah tersebut. Diharapkan setelah diterapkan, monitoring keefektifan program dapat dipantau. Selanjutnya program DeringS ini dapat menjadi program yang diusulkan kepada pihak pemerintah menjadi program nasional dengan tujuan deteksi dini DD yang mudah, murah dan mandiri. Teknis alur program DeringS yang dilakukan oleh masyarakat dapat dilihat pada Gambar 2.

Masyarakat pengunjung puskesmas/posyandu

Mengambil leaflet

Mendapat edukasi program

Deteksi dini di rumah mengisi kolom skoring

Skor DeringS ≥ 6

Berkunjung ke puskesmas

Klarifikasi interpretasi skor

Pemeriksaan lanjutan

Rujukan cek lab

Penanganan medis Gambar 2. Alur Teknis Masyarakat dalam Pelaksanaan Program

Berdasarkan Gambar 2 dijelaskan alur teknis pelaksanaan program DeringS oleh masyarakat dari awal mereka mendapatkan sosialisasi hingga mendapatkan penanganan medis yang sesuai dengan kondisi pasien. Salah satu bentuk sosialisasi program ini dilakukan melalui leaflet yang dibagikan pada pasien saat mereka berkunjung ke puskesmas. Selain itu, sosialisasi program ini juga dapat dilakukan dengan perantara kader-kader kesehatan yang ada di masing-masing daerah melalui kegiatan posyandu. Kader kesehatan akan menghimbau masyarakat untuk datang ke puskesmas guna mengetahui lebih lanjut program DeringS.

Leaflet yang dibagikan di puskesmas terdiri atas informasi mengenai pengertian DD dan DBD, cara penyebaran DD dan DBD, gejala yang tampak Leaflet yang dibagikan di puskesmas terdiri atas informasi mengenai pengertian DD dan DBD, cara penyebaran DD dan DBD, gejala yang tampak

Apabila jumlah skor DeringS ≥6, maka individu tersebut diminta segera mengunjungi puskesmas untuk mendapatkan klarifikasi interpretasi skor dari perawat dan mendapatkan pemeriksaan lanjutan dari dokter. Berdasarkan hasil pemeriksaan lanjutan yang dilakukan dokter, pasien akan mendapatkan rujukan pemeriksaan laboratorium dan penanganan medis sesuai dengan gejala yang muncul. Dengan begitu, penanganan gejala DD dapat dilakukan sejak dini sehingga perburukan gejala bahkan kematian dapat dicegah.

C. Analisis Program DeringS dengan Program Sebelumnya Program pemeriksaan untuk mendeteksi DD yang telah ada dapat dikelompokkan dalam tiga golongan pemeriksaan yaitu isolasi dan identifikasi virus, deteksi antigen, dan tes serologi. Isolasi dan identifikasi virus mempunyai nilai ilmiah tertinggi karena penyebab infeksi dapat dipastikan melalui metode ini (Syahrurachman, 1988). Keberhasilan metode isolasi dan identifikasi virus tergantung pada kecepatan, ketepatan, pengolahan dan pengiriman bahan. Hal ini disebabkan karena virus Dengue relatif labil terhadap suhu dan faktor-faktor risiko kimiawi tertentu, selain itu virus Dengue mempunyai masa viremia yang sangat singkat. Isolasi virus dapat dilakukan pada nyamuk, biakan sel atau bayi mencit.

Deteksi antigen merupakan metode deteksi dini dengue dengan mencari bagian tertentu dari virus Dengue yang menimbulkan penyakit. Bagian tertentu tersebut berupa peptide maupun asam nukleat. Metode yang digunakan dalam deteksi antigen dapat berupa immunofluorecence, immunoperoxydase , atau polymerase chain reaction (PCR). Metode PCR dinyatakan lebih sensitif karena dapat mendeteksi antigen yang sangat sedikit dalam darah dan dalam waktu yang Deteksi antigen merupakan metode deteksi dini dengue dengan mencari bagian tertentu dari virus Dengue yang menimbulkan penyakit. Bagian tertentu tersebut berupa peptide maupun asam nukleat. Metode yang digunakan dalam deteksi antigen dapat berupa immunofluorecence, immunoperoxydase , atau polymerase chain reaction (PCR). Metode PCR dinyatakan lebih sensitif karena dapat mendeteksi antigen yang sangat sedikit dalam darah dan dalam waktu yang

viremia oleh virus Dengue pada hari kedua demam (Chow, 1997; Vaughn, 1997). Uji serologi merupakan jenis pemeriksaan yang paling sering dilakukan. Uji

serologi digolongkan dalam dua jenis yaitu uji serologi klasik dan modern. Uji hambatan hemaglutinasi, uji pengikatan komplemen dan uji netralisasi merupakan beberapa jenis dari uji serologi klasik (Syahrurachman, 1988; Soebandrio, 1988). Uji serologi yang lebih modern yaitu enzyme linked immunosorbent assay

(ELISA), immunoblot dan immunochromatography (Wiradharma, 1999). Pemeriksaan laboratorium bukanlah metode yang paling sempurna dalam

pendeteksi Dengue. Setiap pemeriksaan memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Berikut analisis peneliti terkait kelemahan dari pemeriksaan laboratorium yang dirangkum pada Tabel 1.

Tabel 1. Kelemahan Pemeriksaan Laboratorium dalam Pendeteksian DD

Isolasi dan Identifikasi

Uji Serologi Virus

Deteksi Antigen

1. tidak cukup sensitif 1. hasil positif hanya diperlukan untuk

1. waktu yang

menunjukkan bahwa isolasi cukup lama

untuk mendeteksi

pasien sedang atau yaitu 7-14 hari.

jumlah antigen

yang sangat sedikit

baru saja terinfeksi

di dalam sirkulasi

2. pengambilan serum dilakukan oleh

2. hanya dapat

2. hanya dapat

paling sedikit dua laboratorium

dilakukan oleh

kali dengan jarak tertentu saja

laboratorium

tertentu saja

minimal 7 hari

3. memerlukan

3. memerlukan prosedur invasif

3. memerlukan

prosedur invasif untuk mendapatkan

prosedur invasif

untuk mendapatkan bahan uji

untuk mendapatkan

bahan uji

bahan uji

4. biaya mahal

4. biaya sangat mahal 4. biaya mahal

Berdasarkan Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa pendeteksian DD menggunakan pemeriksaan laboratorium tidak sepenuhnya bisa diaplikasikan untuk semua lapisan masyarakat. Metode laboratorium membutuhkan biaya yang banyak serta waktu yang tidak sebentar. Waktu yang diperlukan untuk isolasi cukup lama yaitu

7-14 hari, sehingga metode ini hanya dapat dilakukan oleh laboratorium tertentu saja (Syahrurachman, 1988; Soebandrio, 1988; Soedarmo, 1983).

Tidak semua metode laboratorium sensitif dalam mendeteksi DD. Deteksi antigen khususnya immunofluorecence dan immunoperoxydase tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah antigen yang sangat sedikit di dalam sirkulasi. Selain itu, metode tersebut lebih sering digunakan untuk mendeteksi antigen di jaringan pada penelitian post mortem. Meskipun metode reverse transcription PCR dinyatakan lebih sensitif, akan tetapi metode ini hanya dapat dilakukan di laboratorium tertentu saja dan biayanya sangat mahal. Oleh karena itu, metode reverse transcription PCR sulit untuk dijadikan sebagai metode deteksi dini utama DD untuk semua kasus pada masyarakat luas.

Kelemahan uji serologi telah dipaparkan pada Tabel 1. Diantara beberapa jenis uji serologi klasik, uji netralisasi sebenarnya merupakan uji yang terbaik. Akan tetapi tekniknya sulit, sehingga jarang dipakai. Uji hambatan hemaglutinasi dan uji pengikatan komplemen lebih mudah dilakukan, namun hasilnya tidak spesifik. Hasil positif dari uji hambatan hemaglutinasi dan uji pengikatan komplemen hanya menunjukkan bahwa pasien sedang atau baru saja terinfeksi oleh Flaviviridae, namun tidak dapat memastikan apakah penyebab infeksi tersebut adalah virus Dengue, bahkan serotipe tertentu (Vaughn, 1997; Soebandrio, 1988) . World Health Organization /WHO (2003), sebelumnya pernah menggunakan metode uji hambatan hemaglutinasi sebagai standar untuk mengklasifikasikan respon antibodi (Wiradharma, 1999). Klasifikasi tersebut meliputi respon primer (infeksi primer), respon sekunder (infeksi sekunder) dan respon bukan Dengue. Diperlukan pengambilan bahan paling sedikit dua kali yaitu serum fase akut dan serum fase konvalesens (menjelang pasien pulang) dengan jarak minimal 7 hari untuk melakukan metode tersebut. Oleh karena itu, metode ini agak sulit untuk digunakan sebagai panduan pemberian terapi pada kasus-kasus yang meragukan.

Program deteksi dini demam dengue yang ditawarkan peneliti mencoba untuk memberikan solusi inovatif terhadap beberapa kelemahan ketiga jenis pemeriksaan laboratorium yang sudah ada. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa program Dengue Fever Scoring System (DeringS) yang ditawarkan peneliti Program deteksi dini demam dengue yang ditawarkan peneliti mencoba untuk memberikan solusi inovatif terhadap beberapa kelemahan ketiga jenis pemeriksaan laboratorium yang sudah ada. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa program Dengue Fever Scoring System (DeringS) yang ditawarkan peneliti

Analisis peneliti terhadap kelebihan DeringS yang pertama yaitu kemudahan penerapan program. Kemudahan yang ditawarkan adalah mudah dalam melakukan deteksi dini demam dengue. Masyarakat hanya perlu mengisi lembar check list DeringS dengan komponen check list yang mudah dipahami maksudnya. Pengisian lembar dapat dilakukan dimanapun dan siapapun dapat mengisi lembar tersebut, tidak perlu mendatangkan tenaga kesehatan ahli sehingga deteksi dini dapat dilakukan lebih awal sebelum kondisi dengue lebih parah. Pengisian lembar check list DeringS juga tidak memakan waktu yang lama, sehingga efisien waktu. Program ini juga dapat membantu masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari tempat pelayanan kesehatan. Mereka hanya perlu datang ke puskesmas jika skor check list DeringS lebih dari 6 untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terkait kondisi demam dengue yang dialami.

Keunggulan yang selanjutnya dari segi ekonomis, program DeringS merupakan metode deteksi dini demam dengue yang murah. Berbeda dengan program deteksi yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, seperti metode reverse transcription PCR yang memerlukan biaya besar. Program DeringS dapat didapatkan secara gratis di puskesmas. Selanjutnya masyarakat dapat memperbanyak sendiri lembar check list DeringS jika sudah habis dipakai untuk mendeteksi.

Analisis keunggulan program DeringS yang lain yaitu mandiri. Program ini sebagai kombinasi dari konsep health promotion dan community empowerment

dalam melakukan deteksi dini. Luaran utama yang diharapkan dari program ini adalah dapat memandirikan masyarakat untuk melakukan deteksi dini demam dengue. Kemandirian masyarakat dapat dicapai dengan memberikan kemudahan dalam melaksanakan program serta adanya dukungan dari beberapa pihak terkait seperti tenaga kesehatan, kader kesehatan, kelompok yang ada di lingkungannya, tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Kemandirian tersebut akan meningkatkan pengetahuan dan mengubah sikap serta perilaku terhadap kondisi kesehatan mereka. Masyarakat yang pada awalnya terlalu mengabaikan tanda gejala klinis demam, diharapkan dapat lebih sadar. Masyarakat yang terlalu sensitif terhadap sedikit saja perubahan dalam dirinya sehingga langung ke rumah sakit padahal tidak sakit, diharapkan dapat mengontrol sensitifitasnya dengan program DeringS, sehingga dapat efisien secara finansial maupun waktu.