Hotel Bisnis Batang Kuis Chapter III VII

BAB III
LANDASAN TEORI

3.1.

Pengertian Supply Chain1
Istilah supply chain pertama kali digunakan oleh beberapa konsultan logistik

pada sekitar tahun 1980-an, yang kemudian oleh para akademisi dianalisis lebih lanjut
pada tahun 1990-an. Supply chain atau dapat diterjemahkan “rantai pasokan” adalah
rangkaian hubungan antar perusahaan atau aktivitas yang melaksanakan penyaluran
pasokan barang atau jasa dari tempat asal sampai ke pembeli atau pelanggan. Supply
chain menyangkut hubungan yang terus-menerus mengenai barang, uang, dan
informasi. Barang umumnya mengalir dari hulu ke hilir, uang mengalir dari hilir ke
hulu, sedangkan informasi mengalir baik dari hulu ke hilir maupun dari hilir ke hulu.
Dilihat secara horizontal, ada lima komponen utama atau pelaku dalam supply chain,
yaitu supplier (pemasok), manufacturer (pabrik pembuat barang), distributor (pedagang
besar), retailer (pengecer), dan customer (pelanggan). Secara vertikal ada beberapa
komponen utama supply chain, yaitu buyer (pembeli), transporter (pengangkut),
warehouse (penyimpan), seller (penjual), dan sebagainya.
Dengan demikian, manajemen supply chain pada hakikatnya adalah perluasan,

pengembangan konsep, dan arti dari manajemen logistik. Kalau manajemen logistik
mengurusi arus barang, termasuk pembelian, pengendalian tingkat persediaan,
pengangkutan, penyimpanan, dan distribusi dalam satu perusahaan, maka manajemen
supply chain mengurusi hal yang sama, tetapi meliputi antar perusahaan yang
1

Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Strategi Manajemen Pembelian dan Supply Chain,
Cetakan Pertama (Jakarta: PT Grasindo, 2005), hh. 60-62.

Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan arus barang, mulai dari bahan mentah sampai barang jadi yang
dibeli dan digunakan oleh pelanggan.
Pada hakikatnya manajemen supply chain adalah integrasi lebih lanjut dari
manajemen logistik antar perusahaan yang terkait, dengan tujuan lebih meningkatkan
kelancaran arus barang, meningkatkan keakuratan perkiraan kebutuhan, meningkatkan
efisiensi penggunaan ruangan, kendaraan, dan fasilitas lain, mengurangi tingkat
persediaan barang, mengurangi biaya, dan lebih meningkatkan layanan lain yang
diperlukan oleh pelanggan akhir.


3.2.

Pengukuran Kinerja Supply Chain Output2
Beberapa parameter pengukuran kinerja supply chain output adalah sebagai

berikut:
a. Penjualan, yaitu total pendapatan.
b. Keuntungan, yaitu total pendapatan dikurangi dengan pengeluaran.
c. Tingkat pemenuhan, yaitu jumlah order yang dapat dipenuhi atau selesai dengan
segera.
d. Pengiriman tepat waktu (on time deliveries), yaitu mengukur kinerja item, order,
atau pengiriman produk.
e. Backorder/stockout, yaitu mengukur kinerja item, order, atau ketersediaan produk.
f. Waktu respon pelanggan (customer response time), yaitu jumlah waktu antara
pemesanan hingga pengiriman order.

2

BM Beamon, Measuring Supply Chain Performance (Ohio: International Journal of Operations &
Production Management, University of Cincinnati, 1999).


Universitas Sumatera Utara

g. Manufacturing lead time, yaitu total jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
memproduksi satu item atau batch.
h. Kesalahan pengiriman, yaitu jumlah kesalahan pengiriman yang terjadi.
i.

Keluhan pelanggan (customer complaints), yaitu jumlah keluhan yang disampaikan
oleh pelanggan.

3.3.

Model SCOR (Supply Chain Operations Reference)

3

SCOR adalah suatu model acuan dari operasi supply chain. Seperti halnya
kerangka yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, SCOR pada dasarnya juga
merupakan model yang berdasarkan proses. Model ini mengintegrasikan tiga elemen

utama dalam manajemen yaitu business process reengineering, benchmarking, dan
process measurement kedalam kerangka lintas fungsi dalam supply chain. Ketiga
elemen tersebut memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Business process reengineering pada hakekatnya menangkap proses kompleks yang
terjadi saat ini (as is) dan mendefinisikan proses yang diinginkan (to be).
b. Benchmarking adalah kegiatan untuk mendapatkan data kinerja operasional dari
perusahaan sejenis. Target internal kemudian ditentukan berdasarkan kinerja best in
class yang diperoleh.
c. Process measurement berfungsi untuk mengukur, mengendalikan, dan memperbaiki
proses-proses supply chain.

3

I Nyoman Pujawan, Supply Chain Management, Edisi Pertama, Cetakan Pertama (Surabaya: Penerbit
Guna Widya, 2005), hh. 242-244.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.1. Lima Proses Inti Supply Chain
pada Model SCOR

Sumber: Supply Chain Council
Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.1, SCOR membagi proses-proses
supply chain menjadi 5 proses inti yaitu plan, source, make, deliver, dan return. Kelima
proses tersebut berfungsi seperti yang diuraikan, yaitu:
a. Plan, yaitu proses yang menyeimbangkan permintaan dan pasokan untuk
menentukan tindakan terbaik dalam memenuhi kebutuhan pengadaan, produksi, dan
pengiriman. Plan mencakup proses menaksir kebutuhan distribusi, perencanaan dan
pengendalian persediaan, perencanaan produksi, perencanaan material, perencanaan
kapasitas, dan melakukan penyesuaian (alignment) supply chain plan dengan
financial plan.
b. Source, yaitu proses pengadaan barang maupun jasa untuk memenuhi permintaan.
Proses yang dicakup termasuk penjadwalan pengiriman dari supplier, menerima,
mengecek, dan memberikan otorisasi pembayaran untuk barang yang dikirim
supplier, memilih supplier, mengevaluasi kinerja supplier, dan sebagainya. Jenis
proses bisa berbeda tergantung pada apakah barang yang dibeli termasuk stocked,
make to order, atau engineer to order products.

Universitas Sumatera Utara

c. Make, yaitu proses untuk mentransformasi bahan baku/komponen menjadi produk

yang diinginkan pelanggan. Kegiatan make atau produksi bisa dilakukan atas dasar
ramalan untuk memenuhi target stok (make to stock), atas dasar pesanan (make to
order), atau engineer to order. Proses yang terlibat disini antara lain adalah
penjadwalan produksi, melakukan kegiatan produksi dan melakukan pengetesan
kualitas, mengelola barang setengah jadi (work in process), memelihara fasilitas
produksi, dan sebagainya.
d. Deliver, yang merupakan proses untuk memenuhi permintaan terhadap barang
maupun jasa. Biasanya meliputi order management, transportasi, dan distribusi.
Proses yang terlibat diantaranya adalah menangani pesanan dari pelanggan, memilih
perusahaan jasa pengiriman, menangani kegiatan pergudangan produk jadi, dan
mengirim tagihan ke pelanggan.
e. Return, yaitu proses pengembalian atau menerima pengembalian produk karena
berbagai alasan. Kegiatan yang terlibat antara lain identifikasi kondisi produk,
meminta otorisasi pengembalian cacat, penjadwalan pengembalian, dan melakukan
pengembalian. Post-delivery customer support juga merupakan bagian dari proses
return.
SCOR memiliki tiga hierarki proses. Tiga hierarki tersebut menunjukkan bahwa
SCOR melakukan dekomposisi proses dari yang umum ke yang detail seperti halnya
model Chan & Li. Tiga level tersebut adalah:
a. Level 1 adalah level tertinggi yang memberikan definisi umum dari lima proses

diatas (plan, source, make, deliver, dan return).

Universitas Sumatera Utara

b. Level 2 dikatakan sebagai configuration level dimana supply chain perusahaan bisa
dikonfigurasi berdasarkan sekitar 30 proses inti. Perusahaan bisa membentuk
konfigurasi saat ini (as is) maupun yang diinginkan (to be).
c. Level 3 dinamakan process element level, mengandung definisi elemen proses,
input, output, metrik masing-masing elemen proses.
Dengan melakukan analisis dan dekomposisi proses, SCOR bisa mengukur
kinerja supply chain secara obyektif berdasarkan data yang ada serta bisa
mengidentifikasikan dimana perbaikan perlu dilakukan untuk menciptakan keunggulan
bersaing. Implementasi SCOR tentu saja membutuhkan usaha yang tidak sedikit untuk
menggambarkan proses bisnis saat ini maupun mendefinisikan proses yang diinginkan.
4

Model SCOR (Supply Chain Operations Reference) menetapkan dua kategori

utama, yaitu: (1) Customer Facing, berkaitan dengan evaluasi kinerja pelanggan, dan
(2) Internal Facing, berkaitan dengan evaluasi kinerja internal perusahaan. Kategori

Customer Facing terdiri dari tiga atribut kinerja (performance attribute), yaitu: (1)
Supply chain delivery reliability, (2) Supply chain responsiveness, dan (3) Supply chain
flexibility. Kategori Internal Facing terdiri dari dua atribut kinerja (performance
attribute), yaitu: (1) Supply chain cost, dan (2) Supply chain asset management
efficiency.

4

Vincent Gaspersz, All in One 150 Key Performance Indicators and Balanced Scorecard, Malcolm
Baldrige, Lean Six Sigma Supply Chain Management, Cetakan Pertama (Bogor: Tri-Al-Bros Publishing,
2013), hh. 880-881.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3.1. Pengukuran Kinerja Mengikuti Model SCOR
Kategori 1: Customer Facing
Metrik Kinerja
Definisi
Persentase order terkirim sesuai jadwal
Delivery performance

dan sepenuhnya pada pelanggan
Persentase jumlah permintaan dikirim
Fill rate
Supply chain
dalam 24 jam dari menerima pesanan
delivery reliability
Persentase order yang terkirim tepat
waktu dan sepenuhnya, sesuai dengan
Perfect order fulfillment
pesanan secara sempurna tanpa ada
kesalahan
Supply chain
Order fulfillment lead Jumlah hari dari menerima pesanan
responsiveness
time
sampai pengiriman pada pelanggan
Jumlah hari untuk meraih 20%
Supply chain
perubahan pesanan yang tidak terencana
Production flexibility

flexibility
tanpa biaya pinalti
Kategori 2: Internal Facing
Atribut Kinerja
Metrik Kinerja
Definisi
Biaya langsung dan tidak langsung
Supply chain management
untuk perencanaan, sumber, dan
cost
pengiriman produk dan jasa
Biaya langsung dari material dan tenaga
Supply chain cost Cost of goods sold
kerja untuk memproduksi sebuah
produk atau jasa
Biaya material langsung dikurangi dari
Value-added productivity pendapatan dan dibagi dengan jumlah
pekerja, seperti penjualan per pekerja
Biaya langsung dan tidak langsung
Warranty/returns

terkait dengan pengembalian karena
Supply chain cost
processing cost
cacat, pemeliharaan yang direncanakan,
dan kelebihan persediaan
Jumlah hari terkait kas sebagai modal
Cash to cash cycle time
kerja
Supply chain Asset
Management
Inventory days of supply
Jumlah hari
Efficiency
Pendapatan dibagi dengan total aset
Asset turns
termasuk modal kerja dan aset tetap
Sumber: Russell and Taylor, 2006
Atribut Kinerja

3.3.1. Metrik pada Model SCOR 5
Seperti halnya model Chan & Li yang memiliki berbagai dimensi untuk
pengukuran kinerja, SCOR juga menggunakan beberapa dimensi umum, yaitu:
5

I Nyoman Pujawan, op.cit., hh. 244-248.

Universitas Sumatera Utara

a. Reliability
b. Responsiveness
c. Flexibility
d. Costs
e. Assets
Tabel 3.2. Performance Metrics Level 1
Customer Facing

Performance Attribute
Delivery performance

Reliability Responsiveness Flexibility


Fill rate by line item
Perfect order fulfillment
Order fulfillment lead time
Supply chain response time
Production flexibility
Supply chain management
costs
Costs of goods sold
Value added productivity
Warranty cost or return
processing cost
Cash to cash cycle time
Inventory days of supply
Asset turns
Sumber: Supply Chain Council






Internal
Facing
Costs Assets











Tabel 3.2 menunjukkan 13 metrik level 1 yang ada pada model SCOR. Metrikmetrik tersebut ada yang customer facing, artinya penting bagi pelanggan, dan ada juga
internal facing, yang berarti penting untuk monitoring internal tetapi tidak langsung
menjadi perhatian pelanggan. Sebagai contoh, model SCOR sangat berkepentingan
terhadap kinerja rantai pasok. Dan berpengaruh terhadap resiko Keterlambatan dan
kerusakan sewaktu proses pengiriman yang menjadi perhatian penting bagi konsumen
sehingga delivery performance adalah metrik yang customer facing. Sebaliknya,

Universitas Sumatera Utara

pelanggan tidak perlu repot memonitor jumlah persediaan yang dimiliki perusahaan,
tetapi secara internal perusahaan sangat berkepentingan untuk mengendalikan jumlah
persediaan yang cukup tetapi tidak berlebihan. Maka, inventory days of supply, yang
merupakan ukuran tingkat persediaan, merupakan metrik yang internal facing.
Perusahaan-perusahaan yang tergolong best in class memiliki kinerja supply
chain yang secara signifikan lebih bagus dibandingkan dengan perusahaan rata-rata.
Tabel 2.3 menunjukkan perbedaan kinerja supply chain antara perusahaan-perusahaan
bagus dengan mereka yang berada pada tingkat rata-rata. Sebagai contoh, perusahaan
best in class mampu mengirim 93% dari pesanan pelanggan sesuai jadwal, sementara
perusahaan rata-rata hanya mampu mencapai angka 69%.
Tabel 3.3. Penjelasan Metrik Supply Chain serta Benchmark Kinerja
Metrik

Penjelasan

Delivery performance

Persentase order terkirim sesuai jadwal
Persentase jumlah permintaan dipenuhi
tanpa menunggu, diukur tiap jenis produk
(line items)
Persentase order yang terkirim komplit dan
tepat waktu
Waktu antara pelanggan memesan sampai
pesanan tersebut mereka terima
Persentase pengeluaran untuk warranty
terhadap nilai penjualan
Lamanya persediaan cukup untuk memenuhi
kebutuhan kalau tidak ada pasokan lebih
lanjut

Fill rate by line item
Perfect order
fulfillment
Order fulfillment lead
time
Warranty cost or
return processing cost
Inventory days of
supply

Best in
class
93%

Ratarata
69%

97%

88%

92,4%

65,7%

135 hari

225 hari

1,2%

2,4%

55 hari

84 hari

Berapa kali suatu asset bisa digunakan untuk
4,7 kali
memperoleh revenue dan profit
Sumber: Supply Chain Council, seperti dikutip Vollmann et all, 2005, p.105

Asset turns

1,7 kali

3.3.2. Beberapa Contoh Perhitungan

Universitas Sumatera Utara

Untuk memberikan gambaran lebih jelas, berikut akan didefinisikan beberapa
metrik tersebut dan contoh perhitungannya.

3.3.3. Inventory Days of Supply
Metrik ini mengukur kecukupan persediaan dengan satuan waktu (hari). Jadi,
inventory days of supply adalah lamanya rata-rata (dalam hari) suatu perusahaan bisa
bertahan dengan jumlah persediaan yang dimiliki (apabila tidak ada pasokan lebih
lanjut). Metrik ini berada pada klasifikasi asset. Kinerja supply chain dikatakan bagus
apabila mampu memutar asset dengan cepat (dengan kata lain memiliki asset turn over
yang tinggi). Dengan demikian, maka semakin pendek inventory days of supply,
semakin bagus kinerja asset suatu supply chain. Contoh perhitungan inventory days of
supply:
Perusahaan rata-rata menyimpan suatu komponen sebanyak 150 unit. Kebutuhan ratarata komponen tersebut per tahun adalah 4000 unit. Jumlah hari kerja dalam setahunn
adalah 250. Dengan kata lain, rata-rata kebutuhan komponen per hari adalah 4000 / 250
unit = 16 unit sehingga jumlah hari rata-rata yang bisa ditutupi oleh persediaan yang
dimiliki adalah 150 / 16 = 9,375 hari. Perhitungan inventory days of supply ini bisa
dilakukan per jenis barang atau secara agregat untuk sekelompok atau keseluruhan
persediaan yang dimiliki perusahaan. Apabila perhitungan dilakukan secara agregat,
rata-rata persediaan maupun rata-rata kebutuhan (konsumsi) sama-sama diwujudkan
dalam satuan uang (nilai persediaan dalam rupiah).
3.3.4. Cash to Cash Cycle Time

Universitas Sumatera Utara

Metrik ini mengukur kecepatan supply chain mengubah persediaan menjadi
uang. Semakin pendek waktu yang dibutuhkan, semakin bagus bagi supply chain.
Perusahaan yang bagus biasanya memiliki siklus cash to cash pendek. Dell Computers,
yang menjual produk langsung ke pelanggan akhir tanpa menyimpan produk akhir,
memiliki cash to cash cycle time negatif, sekitar -10 sampai -20 hari (Vollmann et all,
2005, p.108). Ada tiga komponen dalam perhitungan cash to cash cycle time, yaitu:
a. Rata-rata account receivable (dalam hari) yang merupakan ukuran seberapa cepat
pelanggan membayar barang yang sudah diterima.
b. Rata-rata account payable (dalam hari) yang mengukur kecepatan perusahaan
membayar ke pemasok untuk material/komponen yang sudah diterima.
c. Rata-rata persediaan (dalam hari, yaitu inventory days of supply).
Dengan tiga komponen tersebut, cash to cash cycle time bisa dihitung sebagai
berikut:
Cash to cash cycle time = inventory days of supply + average days of account
receivable - average days of account payable
Metrik ini pada dasarnya mengukur kesehatan finansial suatu supply chain.
Untuk memperpendek cash to cash cycle time, perusahaan bisa melakukan salah satu
atau kombinasi dari tiga cara berikut:
Menurunkan tingkat persediaan, melakukan negosiasi term pembayaran ke supplier
(supaya lebih lama), dan melakukan negosiasi dengan pelanggan (supaya mereka
membayar lebih cepat). Menurut Vollmann et al. (2005), cash to cash cycle time
mengintegrasikan siklus yang terjadi di tiga fungsi yaitu pengadaan (purchasing),
produksi (manufacturing), dan penjualan/distribusi (sales/distribution).

Universitas Sumatera Utara

3.4.

Metode House of Risk (HOR)6
Salah satu metode terbarukan dalam menganalisis risiko adalah modifikasi

model Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) untuk pengukuran risiko secara
kuantifikasi dan model House of Quality (HOQ) untuk memprioritaskan mana agen
risiko yang harus ditangani lebih dahulu dan untuk memilih tindakan yang paling efektif
untuk mengurangi risiko potensial yang ditimbulkan oleh agen risiko.
Pada tahap kuantifikasi, pertama-tama mendefinisikan proses dasar yang akan
dianalisis untuk mengidentifikasi risiko yang akan terjadi dan konsekuensi jika risiko
terjadi. Para agen risiko dan probabilitas juga akan dinilai pada metode ini. Model ini
didasarkan pada manajemen risiko yang fokus pada tindakan pencegahan, yaitu
mengurangi kemungkinan agen risiko terjadi. Maka dari itu perlu dilakukan identifikasi
kejadian risiko dan agen risiko. Biasanya, satu agen bisa menyebabkan risiko lebih dari
satu kejadian risiko. Misalnya, masalah dalam sistem produksi pemasok dapat
mengakibatkan kekurangan bahan, meningkatnya hasil yang tidak sesuai dan
ketidakmampuan pemasok dalam memenuhi pesanan.
Metode yang terkenal adalah FMEA, penilaian risiko melalui perhitungan Risk
Priority Number (RPN) dengan tiga faktor, yaitu probabilitas terjadinya, tingkat
keparahan dari dampak yang muncul dan deteksi. Tidak seperti di model FMEA, pada
metode HOR hanya menetapkan probabilitas untukagen risiko dan tingkat keparahan
dari risiko. Karena salah satu agen risiko dapat menginduksi sejumlah kejadian risiko,
maka perlu kuantitas potensi risiko agregat dari agen risiko. Jika Oj adalah probabilitas

6

I Nyoman Pujawan, op.cit., hh. p.954-955

Universitas Sumatera Utara

terjadinya risiko, j adalah agen risiko, Si adalah keparahan dampak jika i adalah
riskevent (kejadian risiko) terjadi, dan Rij adalah korelasi antara j agen risiko dan i
kejadian risiko. Kemungkinan agen risiko (j) akan mendorong kejadian risiko (i) maka
ARPj (potensi risiko agregat j agen risiko) dapat dihitung sebagai berikut:
Mengadaptasi model House of Quality (HOQ) untuk menentukan agen risiko harus
diberikan prioritas sebagai tindakan pencegahan. Peringkat A diberikan untuk setiap
agen 12 risiko berdasarkan besarnya nilai ARPj untuk setiap j agen risiko. Oleh karena
itu, jika agen risikonya banyak, perusahaan dapat memilih terlebih dahulu beberapa dari
mereka yang dianggap memiliki potensi besar untuk menimbulkan kejadian risiko.
Model dengan dua penyebaran, disebut House of Risk (HOR), yang merupakan
modifikasi dari HOQ :
(1) HOR1 digunakan untuk menentukan tingkat prioritas agen risiko yang harus
diberikan sebagai tindakan pencegahan.
(2) HOR2 adalah prioritas dalam pengambilan tindakan yang dianggap efektif.

3.4.1 Menentukan Severity dan Occurrence
Untuk menentukan prioritas dari suatu bentuk kegagalan maka sebelumnya
harus

mendefinisikan terlebih dahulu tentang Severity dan Occurrence, serta hasil

akhirnya pada HOR 1 adalah penyebab risiko tertinggi.
1. Severity

Universitas Sumatera Utara

Severity adalah langkah pertama untuk menganalisa risiko yaitu menghitung seberapa
besar dampak atau intensitas kejadian mempengaruhi proses operasional.
2. Occurrence
Occurrence adalah kemungkinan bahwa risiko tersebut akan terjadi dan menghasilkan
bentuk kegagalan selama proses operasional.

3.5.

Risiko Rantai Pasok (Supply Chain Risk)
Dalam dunia bisnis saat ini rantai pasokan dapat berada di seluruh dunia untuk

memenuhi keinginan pelanggan dengan harga produk yang terendah dan kualitas
tertinggi.
Rantai pasokan meliputi keseluruhan faktor yang dapat menciptakan kekacauan
dan gangguan. Masalah mengenai pemasok, pemogokan, masalah kualitas, dan isu-isu
risiko logistik operasional internal yang memerlukan tingkat mitigasi yang berbeda.
Zsidisin (2003) menyatakan bahwa risiko dalam konteks rantai pasokan dapat
didefinisikan sebagai terjadinya potensi kejadian yang berhubungan dengan pasokan
masuk di mana hasilnya adalah ketidakmampuan dalam kegiatan pembelian di
organisasi untuk memenuhi permintaan pelanggan (p.15).
Komunitas bisnis saat ini menghadapi kondisi yang semakin berisiko. Kompetisi yang
ketat, ketidakstabilan internal yang disebabkan oleh pemogokan karyawan dan teknis,
kegagalan lainnya, perubahan makro-ekonomi dan politik, bencana alam dan bencana
buatan manusia merupakan sumber risiko yang dihadapi para pebisnis saat ini. Dalam
konteks supply chain, risiko yang meningkat sebagian karena kompleksitas jaringan
sebagai akibat dari perusahaan outsourcing yang kegiatannya lebih banyak untuk pihak

Universitas Sumatera Utara

luar. Sebuah studi yang dilakukan oleh Finch (2004) mengungkapkan bahwa jaringan
antar-organisasi meningkatkan risiko para perusahaan besar, terutama jika mitra adalah
usaha kecil dan menengah. Craighead et al. (2007) berpendapat bahwa struktur supply
chain yang meliputi faktor-faktor seperti kepadatan, kompleksitas dan kekritisan yang
mendasar dapat meningkatkan keparahan gangguan supply chain (p.131). Selain itu,
faktor-faktor seperti efisiensi dari pangkalan logistik, globalisasi supply chain, siklus
produk yang diperpendek dan kapasitas komponen utama yang terbatas juga dapat
meningkatkan risiko supply chain (Norrman dan Jansson, 2004, p.434).
Risiko adalah fungsi dari tingkat ketidakpastian dan dampak dari suatu peristiwa
(Sinha et al., 2004, p.154).Seperti yang ditunjukkan oleh Goh et al. (2007) ada dua jenis
risiko supply chain berdasarkan sumbernya, yaitu risiko yang timbul dari internal
jaringan supply chain dan orang-orang dari lingkungan eksternal (p.164). Menurut Tang
(2006a), risiko supply chain diklasifikasikan ke dalam dua hal yaitu operasional dan
gangguan dari risiko tersebut (p.451). Risiko Operasional yang berkaitan dengan
ketidakpastian yang melekat dalam supply chain yang meliputi permintaan, pasokan,
dan ketidakpastian biaya. Disisi lain gangguan risiko, adalah gangguan yang disebabkan
oleh alam dan bencana buatan manusia seperti banjir, gempa bumi, tsunami, dan krisis
ekonomi. Kedua hal tersebut dapat
mengganggu dan menghambat bahan baku, informasi, dan arus kas, yang pada akhirnya
bisa merusak penjualan, peningkatanbiaya, atau keduanya.
Untuk bertahan hidup dalam lingkungan bisnis yang berisiko ini, sangat penting
bagi perusahaan untuk memiliki supply chain manajemen risiko yang tepat. Jika tidak
dapat ditangani, maka gangguan di supply chain dapat mengakibatkan semakin

Universitas Sumatera Utara

tingginya penundaan yang dapat pula menyebabkan tingkat layanan yang buruk dan
biaya tinggi (Blackhurst et al., 2005, p.4067). Menurut Norrman dan Jansson (2004),
fokus dari manajemen risiko supply chain adalah untuk memahami dan mencobauntuk
menghindari, pengaruh yang sangat buruk dari bencana atau gangguan bisnis sekecil
apapun dan semua itu dapat diatur di dalam supply chain (p.434). Tujuan dari
manajemen risiko supply chain adalah untuk mengurangi kemungkinan kejadian risiko
dan untuk meningkatkan ketahanan, yaitu, kemampuan untuk pulih dari gangguan.
Sheffi dan Rice (2005) menunjukkan bahwa ketahanan supply chain dapat
ditingkatkan dengan baik dengan meningkatkan fleksibilitas (p.41). Risiko di dalam
supply chainmeliputi aliran utama (material, informasi, dan uang tunai) antaraorganisasi
dan oleh sebab itu, risiko supply chain dapat melampaui batas-batas dari satu
perusahaan.

3.6.

Tiga Jenis Aktivitas 7
Salah satu proses penting dalam pendekatan lean adalah identifikasi aktivitas-

aktivitas mana yang memberikan nilai tambah dan mana yang tidak. Seyogyanya
aktivitas-aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah dikurangi atau bahkan
dihilangkan. Namun, sering kali kita bisa jumpai di lapangan ada aktivitas-aktivitas
yang sebenarnya tidak memberikan nilai tambah namun tidak bisa dihilangkan. Dalam
konteks ini kita akan membedakan aktivitas-aktivitas menjadi tiga, yaitu:

7

I Nyoman Pujawan, op.cit., h. 222.

Universitas Sumatera Utara

a. Aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah (non-value adding) dan bisa
direduksi atau dihilangkan.
b. Aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah tapi perlu dilakukan (necessary but
non value adding).
c. Aktivitas yang memang memberikan nilai tambah (value adding).
Aktivitas produksi, yaitu mengubah bahan baku menjadi produk setengah jadi
atau produk jadi adalah kegiatan yang memberikan nilai tambah. Nilai tambah tersebut
harus dikaitkan dengan perspektif pelanggan. Artinya, perubahan bahan baku menjadi
produk jadi adalah sesuatu yang punya nilai bagi pelanggan karena produk tersebut
punya fungsi atau bisa dimanfaatkan oleh pelanggan. Kegiatan memindahkan material
tidak memberikan nilai tambah, namun seringkali tidak bisa dihilangkan, kecuali
dengan melakukan perombakan dramatis pada tata letak fasilitas produksi. Demikian
juga halnya dengan kegiatan transportasi dan penyimpanan. Kedua kegiatan ini tidak
memberikan nilai tambah, namun sering kali harus dilakukan.
Pada lingkungan manufaktur atau logistik dimana yang dominan adalah aktivitas
fisik, aktivitas non value adding biasanya dominan. Secara umum, menurut Hines dan
Taylor (2000), rasio ketiga jenis aktivitas diatas adalah sebagai berikut:
a. 5% aktivitas yang memberikan nilai tambah.
b. 60% aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah (dan mungkin bisa dikurangi).
c. 35% aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah, namun perlu dilakukan.
3.7

Root Cause Analysis (RCA) 8

8

Meiryanti Ramadhani, dkk, Sistem Pendukung Keputusan Identifikasi Penyebab Susut Distribusi Energi
Listrik Menggunakan Metode FMEA (Surabaya: Politeknik Elektronika Negeri, ITS, 2009).

Universitas Sumatera Utara

RCA digunakan untuk mengidentifikasi akar penyebab terjadinya risiko. RCA
merupakan suatu metode evaluasi terstruktur untuk mengidentifikasi akar penyebab
(root cause) suatu kejadian yang tidak diharapkan (undesired outcome) dan langkahlangkah yang diperlukan untuk mencegah terulangnya kembali kejadian yang tidak
diharapkan (undesired outcome).
RCA merupakan suatu metode yang membantu dalam menemukan kejadian apa
yang terjadi, bagaimana kejadian itu terjadi, dan mengapa kejadian itu terjadi. RCA juga
memberikan

pengetahuan

dari

masalah-masalah

sebelumnya,

kegagalan,

dan

kecelakaan. Salah satu metode untuk mendapatkan akar permasalahan adalah dengan
bertanya why (mengapa) beberapa kali sehingga tindakan yang sesuai dengan akar
penyebab masalah yang ditemukan, akan menghilangkan masalah.
Root Cause(s) adalah bagian dari beberapa faktor (kejadian, kondisi, faktor
organisasional) yang memberikan kontribusi atau menimbulkan kemungkinan penyebab
dan diikuti oleh akibat yang tidak diharapkan, jika dieliminasi atau dimodifikasi akan
bisa mencegah akibat yang tidak diharapkan. Ciri khas multiple root cause memberikan
kontribusi untuk akibat yang tidak diharapkan. Langkah-langkah RCA (Chlander,
2004), antara lain:
a. Mengidentifikasi dan memperjelas definisi undesired outcome (suatu kejadian yang
tidak diharapkan).
b. Mengumpulkan data.
c. Menempatkan kejadian-kejadian dan kondisi-kondisi pada event and causal factor
table.

Universitas Sumatera Utara

d. Lanjutkan pertanyaan “mengapa?” untuk mengidentifikasi root causes yang paling
kritis.

3.8

Diagram Sebab Akibat (Cause and Effect Diagram)9
Diagram ini dikenal dengan istilah diagram tulang ikan (fish bone diagram)

yang diperkenalkan pertama sekali oleh Prof. Kaoru Ishikawa pada tahun 1942.
Diagram ini berguna untuk menganalisis dan menemukan faktor-faktor yang
berpengaruh secara signifikan di dalam menentukan karakteristik kualitas output kerja.
Disamping itu, diagram ini berguna untuk mencari penyebab-penyebab yang
sesungguhnya dari suatu masalah. Dalam hal ini, metode sumbang saran (brainstorming
method) akan cukup efektif digunakan untuk mencari faktor-faktor penyebab terjadinya
penyimpangan kerja secara detail.
Untuk mencari faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan kualitas hasil
kerja, maka selalu terdapat 5 faktor penyebab utama yang signifikan dan perlu
diperhatikan, yaitu manusia (man), metode kerja (work method), mesin atau peralatan
kerja (machine/equipment), bahan baku (raw material), dan lingkungan kerja (work
environment).
Langkah-langkah pembuatan cause and effect diagram adalah sebagai berikut:
a. Gambarkanlah panah dengan kotak di ujung kanan dan tentukan masalah yang
hendak diperbaiki/diamati dan usahakan adanya tolak ukur yang jelas dari
permasalahan tersebut sehingga perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan dapat
dilakukan.

9

Rosnani Ginting, Sistem Produksi, Edisi Pertama (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hh. 307-309.

Universitas Sumatera Utara

b. Tentukan faktor-faktor penyebab utama (main causes) yang diperkirakan merupakan
sumber terjadinya penyimpangan atau yang mempunyai akibat pada permasalahan
tersebut. Gambarkan anak panah (cabang-cabang) yang menunjukkan faktor
penyebab ini dengan mengarah pada panah utama.
c. Cari faktor-faktor yang lebih terperinci secara nyata dan berpengaruh atau
mempunyai akibat pada faktor-faktor penyebab utama tersebut. Tuliskan detail
faktor tersebut pada bagian kiri dan kanan, kemudian gambar cabang faktor-faktor
utama dan buatlah anak panah (ranting) menuju ke arah panah cabang tersebut.
d. Periksalah apakah semua item yang berkaitan dengan karakteristik output benarbenar sudah dicantumkan dalam diagram.
e. Carilah faktor-faktor penyebab yang paling dominan.
Contoh cause and effect diagram dapat dilihat pada Gambar 2.4. Faktor
penyebab yang ditunjukkan pada Gambar 2.4 adalah tenaga kerja, mesin, modal,
material, metode, dan manajerial.
Sebab

Tenaga kerja

Mesin

Akibat

Modal

Masalah

Material

Metode

Manajerial

Gambar 3.2. Cause and Effect Diagram
Sumber: Aini, 2012

Universitas Sumatera Utara

3.9

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)10
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah sebuah teknik menganalisa

yang mengkombinasikan antara teknologi dan pengalaman dari orang dalam
mengidentifikasi penyebab kegagalan dari produk atau proses dan perencanaan untuk
penghilangan penyebab kegagalannya. Dengan kata lain FMEA dapat dijelaskan
sebagai sebuah kelompok aktivitas yang meliputi:
a. Mengenali dan mengevaluasi kegagalan dari produk atau proses dan efek yang
ditimbulkan.
b. Mengidentifikasi tindakan yang dapat mengeliminasi atau mengurangi kemungkinan
kegagalan.
c. Mendokumentasikan proses.
FMEA sering menjadi langkah awal dalam mempelajari kehandalan sistem.
Kegiatan FMEA melibatkan banyak hal, seperti review berbagai komponen, rakitan, dan
subsistem untuk mengidentifikasi mode-mode kegagalannya, penyebab kegagalannya,
serta dampak kegagalan yang ditimbulkan. Untuk masing-masing komponen, berbagai
mode kegagalannya berikut dampaknya pada sistem ditulis pada sebuah FMEA
worksheet.
FMEA pada awalnya dibuat oleh Aerospace Industry pada tahun 1960-an.
FMEA mulai digunakan oleh Ford pada tahun 1980-an, AIAG (Automotive Industry
Action Group), dan American Society for Quality Control (ASQC) menetapkannya
sebagai standar pada tahun 1992. Saat ini FMEA merupakan salah satu core tools dalam
ISO/TS 16949:2002 (Technical Specification for Automotive Industry).
10

Nurlailah Badariah, dkk, Analisa Supply Chain Risk Management Berdasarkan Metode Failure
Mode and Effects Analysis (FMEA) (Jakarta: Jurusan Teknik Industri, Universitas Trisakti, 2011).

Universitas Sumatera Utara

FMEA adalah pendekatan sistematik yang menerapkan suatu metode pentabelan
untuk

membantu

proses

pemikiran

yang

digunakan

oleh

engineers

untuk

mengidentifikasi mode kegagalan potensial dan efeknya. FMEA merupakan teknik
evaluasi tingkat keandalan dari sebuah sistem untuk menentukan efek dari kegagalan
dari sistem tersebut. Kegagalan digolongkan berdasarkan dampak yang diberikan
terhadap kesuksesan suatu misi dari sebuah sistem.
Cara kerja FMEA secara umum adalah dengan mengidentifikasi kegagalan yang
mungkin terjadi, memberikan skala prioritas dari setiap kegagalan, serta melakukan
tindakan perbaikan. Sehingga diharapkan tidakan tersebut dapat mencegah terjadinya
kegagalan. Dapat di simpulkan bahwa filosofi dasar dari FMEA adalah “cegah sebelum
terjadi”.
FMEA baik sekali digunakan pada sistem manajamen mutu untuk jenis industri
manapun. Standar ISO/TS-16949 (standar sistem manajemen mutu untuk industri
otomotif) mensyaratkan dilakukannya FMEA pada saat perancangan produk maupun
perancangan proses produksi. ISO-9001 tidak secara eksplisit

mensyaratkan

dilakukannya FMEA. Meski begitu, baik sekali bila perusahaan menerapkannya untuk
memenuhi persyaratan tentang tindakan pencegahan.

3.9.1. Tahapan FMEA 11
Tahapan FMEA sendiri adalah sebagai berikut (Manggala, 2005):
a. Menentukan komponen dari sistem/alat yang akan dianalisis.

11

Dyadem Engineering Corporation, Guidelines for Failure Mode and Effects Analysis, For Automotive,
Aerospace and General Manufacturing Industries (Kanada: CRC Press, 2003).

Universitas Sumatera Utara

b. Mengidentifikasi potential failure mode atau kegagalan dari proses yang diamati.
Tahapan ini difokuskan pada kegagalan-kegagalan yang terjadi selama proses yang
terkait dengan produk. Prosesnya dilakukan dengan menganggap material/part input
dalam kondisi baik, mendengarkan apa kata pelanggan, menggunakan pengalaman,
data, logika, serta mencari informasi apakah terdapat proses yang sama sebagai
pembanding.
c. Mengidentifikasi akibat (potential effect) yang ditimbulkan dari potential failure
mode. Akibat dari kegagalan harus mempertimbangkan hal-hal berikut: akibat pada
proses-proses berikutnya, akibat pada pelanggan akhir, dan akan mempengaruhi
angka severity.
d. Mengidentifikasi penyebab (potential cause) dari failure mode yang terjadi pada
proses yang berlangsung.
e. Menetapkan nilai-nilai (dengan jalan observasi lapangan dan brainstorming) dalam
point:
1) Keseriusan akibat kesalahan terhadap proses lokal, lanjutan dan terhadap
konsumen (severity).
2) Frekuensi terjadinya kesalahan (occurrence).
3) Alat kontrol akibat potential cause (detection).
4) Nilai RPN (Risk Potential Number) didapatkan dengan jalan mengalikan nilai
SOD (Severity, Occurrence, Detection).
f. Nilai RPN menunjukkan keseriusan dari potential failure. Semakin tinggi nilai
RPN, maka menunjukkan semakin bermasalah. Tidak ada angka acuan RPN untuk

Universitas Sumatera Utara

melakukan perbaikan. Segera lakukan perbaikan terhadap potential cause, alat
kontrol, dan efek yang diakibatkan.
Dalam menyelesaikan masalah yang ada, ditentukan dengan menghitung nilai
resiko prioritas (RPN) yang merupakan perkalian antara nilai keparahan (severity),
kejadian (occurence), dan deteksi (detection).
Variabel-variabel dari RPN, yaitu severity, occurence, dan detection dijelaskan
sebagai berikut:
a.

Severity (S)
Severity adalah tingkat keparahan atau efek yang ditimbulkan oleh mode

kegagalan terhadap keseluruhan proses atau sistem. Severity rate antara 1 sampai 10.
Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki dampak yang sangat besar
terhadap proses atau sistem. Penilaian keparahan atau severity rate dapat dilihat pada
Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Severity Rate
Efek
Tidak ada
Sangat
kecil
Kecil
Minor

Sedang

Kriteria

Peringkat

Kegagalan terlihat jelas oleh operator dan tidak memiliki pengaruh
pada lead time produksi kertas
Tidak ada efek berkelanjutan, gangguan sangat kecil pada lead time
produksi kertas
Efek dapat terlihat, tetapi hanya efek yang kecil, gangguan kecil pada
lead time produksi kertas
Dampak pada proses hilir dan atau lokal, gangguan minor pada lead
time produksi kertas
Dampak dapat terlihat sepanjang proses, gangguan sedang pada lead
time produksi kertas

1
2

3
4

5

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3.4. Severity Rate (Lanjutan)
Efek
Cukup
tinggi
Tinggi

Kriteria
Peringkat
Gangguan pada proses selanjutnya, gangguan cukup tinggi pada lead
6
time produksi kertas
Gangguan berarti pada proses, gangguan tinggi pada lead time

Sangat

Gangguan berarti dan berdampak secara finansial, gangguan sangat

tinggi

tinggi pada lead time produksi kertas

Berbahaya
Sangat
berbahaya

7

produksi kertas

8

Gangguan menyebabkan kemungkinan efek berbahaya yang tinggi,

9

gangguan berbahaya pada lead time produksi kertas
Gangguan menyebabkan kemungkinan besar

efek

berbahaya,

10

gangguan sangat berbahaya pada lead time produksi kertas

Sumber: Dyadem Engineering Corporation, 2003
b.

Occurence (O)
Occurence adalah tingkat keseringan terjadinya kerusakan atau kegagalan.

Occurence berhubungan dengan estimasi jumlah kegagalan kumulatif yang muncul
akibat suatu penyebab tertentu pada proses atau sistem. Occurence rate antara 1 sampai
10. Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki nilai kumulatif yang tinggi
atau sangat sering terjadi. Penilaian frekuensi kegagalan atau occurence rate dapat
dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Occurence Rate
Kriteria

Peringkat

Hampir pasti tidak mungkin
Kegagalan mustahil/terkecil yang terjadi

1

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3.5. Occurence Rate (Lanjutan)
Kriteria
Kemungkinan jarang

Peringkat
2

Kemungkinan kegagalan jarang terjadi
Kemungkinan sangat sedikit

3

Kemungkinan kegagalan sangat sedikit terjadi
Kemungkinan sedikit

4

Kemungkinan kegagalan sedikit terjadi
Kemungkinan kadang-kadang

5

Kemungkinan kegagalan kadang-kadang terjadi
Kemungkinan sedang

6

Kemungkinan kegagalan sedang
Kemungkinan cukup sering

7

Kemungkinan kegagalan cukup sering terjadi
Kemungkinan sering

8

Kemungkinan kegagalan sering terjadi
Kemungkinan sangat sering

9

Kemungkinan kegagalan sangat sering terjadi
Kemungkinan selalu

10

Kegagalan hampir selalu terjadi
Sumber: Dyadem Engineering Corporation, 2003

c.

Detection (D)
Detection diberikan pada sistem pengendalian yang digunakan saat ini yang

memiliki kemampuan untuk mendeteksi penyebab atau mode kegagalan. Detection rate
berkisar antara 1 sampai 10. Penilaian deteksi atau detection rate dapat dilihat pada
Tabel 3.6.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3.6. Detection Rate
Kemungkinan

Kriteria

Mendeteksi
Hampir pasti
Sangat tinggi
Tinggi

Peringkat

Alat kontrol hampir pasti dapat mendeteksi adanya kegagalan
Alat kontrol sangat mungkin dapat mendeteksi adanya
kegagalan

1
2

Alat kontrol sangat efektif untuk mendeteksi adanya kegagalan

3

Alat kontrol efektif untuk mendeteksi adanya kegagalan

4

Sedang

Alat kontrol cukup efektif untuk mendeteksi adanya kegagalan

5

Agak rendah

Alat kontrol kurang efektif untuk mendeteksi adanya kegagalan

6

Agak tinggi

Rendah
Sangat rendah
Jarang
Hampir pasti
tidak mungkin

Kemampuan alat kontrol rendah untuk mendeteksi adanya
kegagalan

7

Alat kontrol sulit mendeteksi kegagalan

8

Alat kontrol sangat sulit untuk mendeteksi adanya kegagalan

9

Alat kontrol hampir pasti tidak mungkin dapat mendeteksi
adanya kegagalan

10

Sumber: Dyadem Engineering Corporation, 2003
3.10. Metode Kaizen (5W+1H) 12
Searah dengan perkembangan kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan dan
ekonomi, lingkungan manufaktur mengalami pergeseran kearah yang lebih maju. Agar
mampu bertahan dan bahkan bersaing dalam kondisi persaingan yang ketat ini, para
pelaku bisnis hendaknya mampu terus-menerus menyempurnakan proses produksi dan
produk itu sendiri untuk dapat menciptakan keunggulan baru.
Strategi yang bisa digunakan oleh perusahaan berkaitan dengan perbaikan terusmenerus dalam penyempurnaan proses produksi dan produk tersebut melalui Kaizen.
12

Herdiyan Ferdiansyah, Usulan Rencana Perbaikan Kualitas Produk Penyangga Duduk Jok Sepeda
Motor dengan Pendekatan Metode Kaizen (5W+1H) di PT. Ekaprasarana (Jakarta: Universitas
Gunadarma, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Kaizen merupakan konsep payung yang mencakup teori-teori praktis, seperti Gugus
Kendali Mutu, JIT, Sistem Saran, Kanban, Total Quality Management (TQM), yang
kesemuanya ini saling berkaitan. Konsep payung Kaizen dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 3.3. Konsep Payung Kaizen
Sumber: Masaki Imai, 1994

Kaizen (5W+1H) merupakan pendekatan Kaizen yang biasanya digunakan
untuk menyusun langkah-langkah perbaikan apabila sebab-sebabnya telah diketahui,
kemudian memilih langkah-langkah perbaikan dengan mengacu pada (what) apa yang
harus dicapai, (why) mengapa rencana perbaikan tersebut dilakukan, (where) dimana
rencana perbaikan tersebut dilaksanakan, (when) kapan rencana perbaikan tersebut
dilaksanakan, (who) siapa yang bertanggung jawab terhadap tindakan tersebut, dan
(how) bagaimana melaksanakan rencana perbaikan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

3.10. Teknik Sampling 13
Sampling adalah metode pengumpulan data yang sangat populer karena
manfaatnya yang demikian besar dalam penghematan sumber daya waktu dan biaya
dalam kegiatan pengumpulan data. Sampling sering dilawankan dengan sensus yaitu
suatu pengumpulan data secara menyeluruh yaitu seluruh sumber data ditelusuri dan
setiap elemen data yang dibutuhkan diambil.
Sampling ialah proses penarikan sampel dari populasi melalui mekanisme
tertentu melalui makna karakteristik populasi yang dapat diketahui atau didekati. Kata
mekanisme tertentu mengandung makna bahwa baik jumlah elemen yang ditarik
maupun cara penarikan harus mengikuti atau memenuhi aturan tertentu agar sampel
yang diperoleh mampu merepresentasikan karakteristik populasi dari mana sampel
tersebut diambil atau ditarik.
Secara garis besar metode penarikan sampel dapat diklasifikasi atas dua bagian
yaitu :
1.

Probability sampling (penarikan sampel yang terkait dengan faktor probabilitas)

2.

Nonprobability sampling (penarikan sampel yang tidak terkait dengan faktor

probabilitas)
Perbedaan prinsipil dari ke dua tipe sampling ini selain dalam hal
teknis/mekanisme pelaksanaan, juga dari sasaran pokok. Probability sampling lebih
melihat kemungkinan area baru untuk diteliti sedangkan non-probability sampling lebih
ditekankan pada eksplorasi dan kelayakan penerapan suatu ide.
13

Sinulingga,Sukaria. Metode Penelitian. 2013. Medan : USU Press

Universitas Sumatera Utara

3.10.1. Nonprobability Sampling
Berbeda halnya dengan probability sampling, pada non-probability sampling,
setiap elemen populasi yang akan ditarik menjadi anggota sampel tidak berdasarkan
probabilitas yang melekat pada setiap elemen tetapi berdasarkan karakteristik khusus
masing-masing elemen. Hal ini mengindikasikan bahwa temuan-temuan dari analisis
terhadap sampel terpilih tidak dimaksudkan untuk digeneralisasi tetapi untuk
mendapatkan informasi awal yang cepat dengan cara yang murah. Dalam banyak
kejadian non-probability sampling sering merupakan metode yang terpaksa dilakukan
karena kondisi tertentu metode lain tidak mungkin digunakan.
3.10.2 Purposive Sampling
Purposive sampling adalah metode sampling non-probability yang menggunakan
orang-orang tertentu (specific target-group) sebagai sumber data/informasi. Orangorang tertentu yang dimaksud di sini adalah individu atau kelompok yang karena
pengetahuan, pengalaman, jabatan, dan lain-lain yang dimilkinya menjadikan individu
atau kelompok tersebut perlu dijadikan sumber informasi. Individu atau kelompok
khusus ini langsung dicatat namanya sebagai responden tapa melalui proses seleksi
secara random. Misalnya, jika penelitian terkait adalah mengenai pengaruh kandungan
teknologi dalam produk terhadap kepuasan pelanggan makan orang-orang di
Departemen R dan D baik secara individu maupun secara kelompok karena
pengetahuannya yang mendalam tentang teknologi produksi perlu dijadikan sumber
data. Biasanya jumlah responden dalam purposive sampling sangat terbatas.

Universitas Sumatera Utara

Purposive sampling dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu judgement sampling dan
quota sampling. Judgement sampling adalah suatu tipe pertama purposive sampling
dimana responden terlebih dahulu dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu karena
kemampuannya atau kelebihannya diantara orang-orang lain dalam memberikan data
dan informasi yang bersifat khusus yang dibutuhkan peneliti. Judgement sampling
sering juga digunakan apabila populasi sangat besar atau juga terlalu kecil.
Quota sampling adalah tipe kedua purposive sampling, dimana kelompok-kelompok
tertentu dijadikan responden (sumber data/informasi) untuk memenuhi kuota yang telah
ditetapkan. Pada umumnya, sejak awal penelitian kuota telah ditetapkan untuk masingmasing kelompok berdasarkan gambaran (persentase/proporsi kelompok) dalam
populasi.

Universitas Sumatera Utara

3.10. Jurnal Internet
3.10.1. Pengelolaan Risiko pada Supply Chain Dengan Menggunakan Metode
House Of Risk (HOR) (Studi Kasus di PT. XYZ)
Semakin ketatnya persaingan terutama dalam sektor industri, perusahaan
dituntut untuk berkompetisi menjadi perusahaan yang lebih unggul. Dalam perusahaan,
Supply Chain Management (SCM) merupakan suatu hal yang
sangat penting untuk diperhatikan karena melibatkan semua elemen yang berpartisipasi
dalam suatu pergerakan usaha, mulai dari pemasok (supplier), perusahaan manufaktur,
hingga customer. Secara umum semua kegiatan yang terkait dengan aliran material,
aliran informasi, dan
aliran finansial di sepanjang supply chain adalah kegiatan-kegiatan dalam cakupan
SCM. Beberapa kegiatan utama yang masuk dalam klasifikasi SCM adalah: kegiatan
merancang produk (product development), kegiatan mendapatkan bahan baku
(procurement), kegiatan merencanakan produksi dan persediaan (planning & control),
kegiatan melakukan produksi (production), dan kegiatan melakukan pengiriman
(distribution). Klasifikasi kegiatan tersebut biasanya tercermin dalam bentuk pembagian
departemen atau divisi pada suatu perusahaan manufaktur
(Pujawan, 2005).
Setiap aktivitas bisnis perusahaan mempunyai suatu risiko. Menurut Walters,
2006 risiko merupakan ancaman yang mungkin terjadi untuk mengacaukan aktivitas
normal atau menghentikan sesuatu yang telah direncanakan. Berdasarkan penelitian
oleh Hendricks dan Singhal (2003) diketahui bahwa gangguan pada supply chain
berdampak negatif dalam jangka panjang terhadap perusahaan dan banyak perusahaan

Universitas Sumatera Utara

yang tidak mampu pulih secara cepat dari dampak negatif tersebut. PT. XYZ merupakan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana merupakan perusahaan yang bergerak
dibidang produksi, perdagangan serta distribusi garam. Dibidang pembuatan garam, PT.
XYZ memproduksi tiga jenis garam, yaitu: Produk turunan garam, Garam curai, dan
Garam industri. PT. XYZ sebagai perusahaan BUMN, dituntut untuk dapat memenuhi
kebutuhan garam dalam negeri. Selain itu PT. XYZ harus mampu bersaing dengan
berbagai perusahaan garam swasta yang menghasilkan garam dengan
3.10.1.2. Landasan Teori
Pada suatu supply chain terdapat tiga aliran yaitu aliran material, aliran
finansial, dan aliran informasi. Aliran material merupakan aliran barang/produk yang
mengalir dari hulu (upstream) kehilir (downstream). Pada aliran finansial/uang
mengalir dari hilir ke hulu,sedangkan aliran Informasi bisa terjadi dari hulu ke hilir
ataupun sebaliknya. Alur supply chain dalam perusahaan dapat diawali dengan order
dan negosiasi yang dilakukan dengan pihak customer.
HOR fase 1 merupakan tahapan awal dapat metode House Of Risk, dimana
HOR fase 1 ini merupakan fase identifikasi risiko yang digunakan untuk menentukan
agen risiko yang harus diberikan prioritas untuk tindakan pencegahan. Langkah-langkah
dalam HOR fase 1 ini yaitu identifiaksi risiko dan penilaian risiko yang meliputi
penilaian tingkat dampak (severity), penilaian tingkat kemunculan (occurance),
penilaian korelasi (correlation) dan perhitungan nilai Aggregate Risk Potential (ARP),
sehingga dapat diketahui agen risiko yang akan diberi tindakan pencegahan dengan
mengurutkan nilai ARP.

Universitas Sumatera Utara

Penilaian risiko meliputi penilaian tingkat dampak (severity) dari kejadian risiko
yang telah diidentifikasi, penilaian tingkat kemunculan kejadian (occurance) dari agen
risiko, dan penilaian tingkat korelasi (correlation) antara kejadian risiko dan agen risiko.
Identifikasi risiko pada supply chain perusahaan didapatkan dari hasil wawancara
dengan pihak perusahaan yaitu Kepala Divisi Pengadaan, Kepala Divisi Produksi
Garam lahan, dan Kepala Divisi Pemasaran. Terdapat 46 risiko yang diidentifikasi yang
telahdikonfirmasi kepada pihak perusahaan dengan menggunakan metode SCOR yang
telah dikembangkan oleh Karningsih (2011) yang dikelompokkan berdasarkan plan,
source, make, deliver, dan return. Selanjutnya
3.10.1.3. Kesimpulan
Dari hasil pengolahan data dan analisis data yang telah dilakuakan, terdapat
beberapa kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut:
1.

Berdasarkan

hasil

penelitian

awal,

identifikasi

risiko

yang

dilakukanmenggunakan metode pengembangan Supply Chain Operations
Reference (SCOR) dengan lima aktivitas yaitu plan, source, make, deliver, dan
return, diperoleh 46 risiko yang terjadi dalam supply chain perusahaan yang
masingmasing terbagi yaitu: 12 risiko yang terjadi pada aktivitas plan, 10 risiko
yang terjadi pada aktivitas source, 12 risiko yang terjadi pada aktivitas make, 7
risiko yang terjadi pada aktivitas deliver, dan 5 risiko yang terjadi pada aktivitas
return.
2.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai identifikasi agen risiko/ penyebab
terjadinya risiko-risiko tersebut dengan melakukan wawancara kepada pihak
perusahaan yaitu Kepala Divisi Pengadaan, Kepala Divisi Produksi Garam

Universitas Sumatera Utara

Olahan, dan Kepala Divisi Pemasaran, terdapat 27 agen risiko yang dapat
menyebabkan terjadinya risiko dalam supply chain pe