PERUBAHAN IKLIM ANTROPOGENIK DAN KE TIDA

PERUBAHAN IKLIM ANTROPOGENIK DAN KE-TIDAKSETIMBANGAN ENERGI BUMI
Pembebanan ke-tidak-setimbangan energi pada sistem iklim terdiri dari komponen
daya radiatif (DR) alami dan antropogenik; yang mengintervensi secara langsung
dan/atau tidak langsung – pertukaran energi bumi-atmosfer. Intervensi langsung adalah
dengan merubah laju pengemisian/pemencaran dan penyerapan radiasi; dan tidak
langsung adalah dengan merubah albedo dan panas laten komponen-komponen,
menjadi prekursor pembentukan komponen DR langsung, dan menjadi nukleus
pembentukan awan – di Bumi dan atmosfer. Status pengetahuan saintifik paling baik
adalah untuk DR gas rumah kaca (GRK); pengetahuan kebanyakan komponen lain
berada pada tingkat rendah, sebagian sedang dan sangat rendah. DR antropogenik
emisi dari GRK, terutama CO2, sejak era industrial (1750) telah mempengaruhi iklim
secara signifikan. DR antopogenik gabungan (DR positif dan negatif) pertama kalinya
dihasilkan (1,6 [-1,0, +0,8] watt per meter persegi (W/m2), > 500% DR alami – indikasi
sangat kuat pengaruh antropogenik. Ke-tidak-setimbangan energi bumi (EB)
mengalami peningkatan ajeg sejak 1960, mencapai +0,85 W/m2 saat ini – yang sangat
besar, dibandingkan dengan sejarah panjang Bumi yang mengelola kesetimbangan
sebesar sepersekian (fraksi kecil) dari 1 W//m 2 – dan menjadi penegasan pengaruh
antropogenik yang signifikan.

1. PENDAHULUAN
Sistem iklim Bumi (SIB) merupakan proses interaktif diantara atmosfer, hidrosfer,

litosfer, dan biosfer, yang mengatur iklim dan perubahan iklim. Perubahan iklim yang
terjadi saat ini merupakan pengaruh eksternal pada SIB – yang disebut sebagai climate
forcings – yang bersumber baik dari alam maupun kegiatan manusia (antropogenik).
Evolusi sains iklim dan perubahan iklim dalam beberapa dekade belakangan, dan yang
terus berlanjut, memberikan semakin banyak bukti tentang pengaruh antropogenik
pada perubahan iklim (Forster et al., 2007; Hansen et al., 2011).
Forcing antropogenik utama adalah emisi gas rumah kaca (GRK) – karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O) dan halokarbon (berbagai spesies CFC, HFC,
PFC dan seyawa SF6). Forcing antropogenik lainnya adalah emisi partikel aerosol dan
perubahan tata guna lahan. Forcings alami termasuk letusan gunung berapi dan
perubahan radiasi matahari. Forcings antropogenik menyebabkan perubahan komposisi
atmosfer dan perubahan pada berbagai aspek biosfer – yang mempengaruhi
pertukaran energi diantara Bumi dan atmosfer.
SIB berevolusi dengan waktu dipengaruhi oleh dinamika internal dan forcings. Climate
forcings antropogenik pada SIB telah terjadi selama lebih dari dua abad menyebakan
perubahan bujet energi bumi (EB) selama abad ke-20 (Myhre et al., 2001). Bujet EB
yang merupakan kesetimbangan relatif pertukaran energi antara bumi dan atmosfer
mengalami ke-tidak-setimbangan akibat forcings yang sebagian besar adalah
antropogenik (NRC, 2001). Ke-tidak-setimbangan ini merupakan penyebab utama
perubahan iklim yang sedang terjadi yang termasuk, kenaikan suhu bumi dan fluktuasi

pada variabel iklim. Perubahan iklim juga erat dikaitkan dengan perubahan-perubahan
lainnya – frekuensi hujan, berkurangnya lapisan salju dan es laut, peningkatan frekuensi
siang dan malam yang panas, kenaikan permukaan laut, pengasaman laut yang luas
(AAC, 2010), dan kejadian iklim ekstrem (IPCC, 2012).
1

2. SISTEM IKLIM BUMI (SIB)
Radiasi matahari merupakan sumber utama energi SIB. Kesetimbangan radiasi Bumi
secara fundamental bergantung pada: 1) radiasi matahari (orbit Bumi dan matahari); 2)
proporsi radiasi matahari yang dipantulkan (yang disebut albedo), dan; 3) pantulan
radiasi gelombang panjang dari permukaan Bumi (Forster et al., 2007).
Jumlah energi yang sampai pada bagian paling atas atmosfer (PAA) pada permukaan
yang berhadapan dengan matahari pada siang hari adalah sebesar 1.370 Watt per
detik per meter persegi (W/dtk.m 2), dan jumlah energi (W/dtk.m2) yang sampai pada
seluruh bumi adalah seperempatnya. Kira-kira 30% matahari yang sampai di PAA
dipantulkan ke angkasa. Kira-kira dua per tiga dari pemantulan tersebut adalah oleh
awan dan partikel kecil (aerosol). Permukaan cerah di Bumi – terutama salju, es dan
gurun – memantulkan satu per tiga dari sisa cahaya matahari tersebut. Perubahan
paling dramatis pada pemantulan aerosol terjadi ketika gunung berapi meletus dan
melontarkan material ke atmosfer (Forster et al., 2007). Hujan dapat menguras aerosol

dari atmosfer dalam beberapa minggu. Namun, aerosol letusan gunung berapi yang
mencapai awan yang paling tinggi mempunyai waktu tinggal yang lebih lama di
atmosfer dan akan mempengaruhi iklim selama satu-dua tahun (Forster et al., 2007).
Beberapa jenis aerosol buatan manusia juga mempunyai daya pantul yang signifikan
(Forster et al., 2007).
Energi yang tidak dipantulkan diserap oleh permukaan Bumi dan atmosfer. Jumlah ini
kira-kira adalah 240 W/ m2. Untuk mensetimbangkan energi yang masuk, Bumi harus
meradiasikan sejumlah energi yang sama ke angkasa – dengan emisi radiasi
gelombang panjang. Segala sesuatu di Bumi mengemisikan radiasi gelombang panjang
terus-menerus (IPCC, 2007). Pada ketinggian 5 km di atas permukaan, pada temperatur
-19oC, 240 W/ m2 energi dilepaskan ke angkasa.
Gas rumah kaca (GRK) yang menyerap sebagian radiasi gelombang panjang dari
permukaan dan memantulkannya kembali – yang menyebabkan efek menghangatkan –
merupakan faktor utama yang mengelola rata-rata suhu Bumi pada 14 oC. Fenomena
tersebut disebut sebagai efek GRK alami (Forster et al., 2007). GRK penting adalah, uap
air dan karbon dioksida. Awan juga berperan dalam penghentian gelombang panjang
meskipun efek tersebut diimbangi oleh pemantulannya, dengan demikian awan
mempunyai efek keseleruhan mendinginkan (Forster et al., 2007). Kegiatan manusia
meningkatkan intensitas penghangatan tersebut melalui emisi GRK – dimana kenaikan
jumlah GRK, CO2 sebesar hampir 40% pada era industrial telah diketahui disebabkan

kegiatan manusia (Forster et al., 2007; World Bank, 2010; NRC, 2001).
Dengan bentuk bumi yang lonjong, lebih banyak energi matahari yang mencapai
permukaan di tropik dibandingkan di permukaan dengan luas yang sama pada lintang
yang lebih tinggi, dimana sinar matahari dipancarkan ke atmosfer dengan sudut yang
lebih rendah. Energi ditransportasikan dari wilayah khatulistiwa ke lintang yang lebih
tinggi melalui sirkulasi atmosferik dan lautan, termasuk sistem badai (Forster et al.,
2007). Energi juga dibutuhkan untuk menguapkan air dari laut dan permukaan daratan,
dan energi yang disebut ini panas laten, dilepaskan ketika uap air mengalami
kondensasi di awan. Sirkulasi atmosferik kebanyakannya didorong oleh pelepasan
panas laten. Sirkulasi atmosferik kemudian mendorong sebagian besar sirkulasi laut
melalui angin pada permukaan laut dan melalui perubahan pada suhu laut dan salinitas
melalui presipitasi dan penguapan.

2

Bagan 1. Ranah-ranah SIB – atmosfer, cirosfer, daratan, lautan dan gunung berapi. Variabelvariabel penting untuk tiap-tiap ranah ditunjukkan di dalam kotak – suhu, kelembaban, awan
dan lain-lainya. Garis putus-putus pada matahari dan gunung berapi menunjukkan bahwa
energi matahari dan material gunung berapi merupakan faktor eksternal SIB – Bumi dan iklim
Bumi tidak mempengaruhi matahari dan aktivitas gunung berapi (hubungan satu arah, bukan
timbal balik); Bumi mempengaruhi aktifitas gunung berapi hanya dalam jangka waktu yang

sangat panjang (NRC, 2005).

Perputaran bumi mempengaruhi kecenderungan pola sirkulasi atmosferik yang
dominan timur-barat dibandingkan utara-selatan. Angin barat di lintang-tengah adalah
faktor dominan dalam sistem cuaca skala-besar yang membawa panas ke kutub-kutub.
Sistem iklim ini adalah sistem-sistem migrasi tekanan tinggi dan rendah yang familiar
dan front dingin dan panas yang terkait dengannya. Suhu yang kontras di daratan dan
lautan dan halangan seperti pegunungan dan lapisan es menyebabkan kecenderungan
sistem sirkulasi atmosferik skala-planet untuk bertumpu pada daratan kontinen dan
gunung meskipun amplitudonya dapat berubah seiring waktu (Forster et al., 2007).
Perubahan-perubahan pada berbagai aspek SIB seperti, luas tutupan lapisan es,
distribusi dan jenis vegetasi serta suhu atmosfer dan lautan, akan mempengaruhi fiturfitur sirkulasi atmosfer dan laut skala-besar (IPCC,2007).
Mekanisme umpan balik dalam SIB dapat memperbesar (umpan balik positif) atau
memperkecil (umpan balik negatif) efek-efek perubahan yang disebabkan oleh forcing.
Kontribusi umpan balik terhadap perubahan iklim tergantung pada “sensitifitas iklim” 1
(NRC, 2001). Umpan balik akan berkontribusi sebesar 60% pada penghangatan iklim
yang diprediksi (NRC, 2001). Misalnya, peningkatan konsentrasi GRK yang
memanaskan iklim dan mencairkan es dan salju. Pencairan ini mengakibatkan
terjadinya permukaan yang lebih gelap dan permukaan air di bawah salju dan es yang
menyerap lebih banyak panas matahari, yang meningkatkan penghangatan, yang

menyebabkan lebih banyak salju dan es mencair, dan seterusnya, dalam siklus swapenegasan (self-reinforcing) (Forster et al., 2007). Putaran (loop) umpan balik tersebut
semakin meningkatkan penghangatan yang diawali oleh peningkatan konsentrasi GRK.
Mekanisme umpan balik positif lainnya diantaranya adalah, efek penghangatan pada
uap air stratosfer, awan, karbon dioksida di laut, penurunan frekuensi hujan, dan
1 Perubahan temperatur yang akan terjadi setelah atmosfer dan laut berada pada kesetimbangan per
satuan forcing (Hansen et al., 2011).

3

desertifikasi. Sedangkan umpan balik negatif – dimana penghangatan iklim direspon
oleh komponen-komponen biosfer dan atmosfer dengan proses-proses yang kemudian
menyebabkan pendinginan iklim; diantaranya adalah, peningkatan produktifitas primer,
radiasi black body, peluruhan kimiawi akibat cuaca (chemical weathering), dan pompa
solubilitas laut.

3. CLIMATE FORCING
Climate forcing adalah ke-tidaksetimbangan energi yang
dibebankan pada SIB oleh pengaruh
eksternal alami maupun
antropogenik (NRC, 2005; Forster et

al., 2007). Forcing (daya) ini dapat
diklasifikan sebagai radiatif
(langsung dan tidak langsung) atau
nonradiatif (NRC, 2005). Daya
radiatif langsung mempengaruhi
bujet radiatif bumi secara langsung
misalnya, penambahan karbon
dioksida yang akan langsung
berpengaruh pada penyerapan dan
pengemisian radiasi gelombang
panjang (NRC, 2005). Daya radiatif
tidak langsung menyebabkan ketidak-setimbangan radiatif dengan
merubah komponen-komponen SIB
yang kemudian (hampir langsung)
menyebabkan perubahan pada fluks
radiatif misalnya, pengaruh aerosol
Bagan 2. Rangkuman daya radiative komponenpada efisiensi presipitasi awan (NRC,
komponen utama, pada 2005 relatif terhadap 1795.
2005). Daya nonradiatif
Daya radiatif termasuk dari kegiatan manusia dan

menyebabkan ke-tidak-setimbangan
alam (IPCC, 2007b)
energi yang tidak secara langsung
melibatkan radiasi misalnya, peningkatan fluks evapotranspirasi irigasi pertanian (NRC,
2005).

4

3.1. DAYA RADIATIF (DR) LANGSUNG
Studi perubahan iklim jangka panjang telah menekankan suhu sebagai indeks
utama perubahan iklim. Konsep DR merupakan cara mengkuantifikasi dan
membandingkan kontribusi agen-agen yang berbeda – alami dan antropogenik –
yang mempengaruhi suhu permukaan dengan merubah kesetimbangan antara –
fluks radiasi matahari yang masuk ke dan radiasi gelombang panjang infra merah
yang keluar – dari SIB (NRC, 2005; Le Treut et al., 2007). Definisi DR yang digunakan
saat ini oleh IPCC berdasarkan Ramaswamy et al. (2001) adalah ‘perubahan netto
iradiasi (matahari plus gelombang panjang; dalam W/m 2) (ke bawah minus ke ke
atas) di troposfer setelah temperatur stratosfer menyesuaikan dengan
kesetimbangan dengan temperatur permukaan dan troposfer dan pada keadaan
tetap dengan harga tetap’.

Tabel 1. Agen DR, mekanisme forcing, efek forcing dan status pengetahuan

Agen DR-langsung

Mekanime forcing

Gas rumah kaca dengan waktu
tinggal panjang di atmosfer
(long lived greenhouse gasesLLGHGs): CO2, CH4, N2O, dan
senyawa-senyawa halokarbon

Penyerapan radiasi
gelombang panjang
infra merah

+

Terkarakterisasi
dan dipahami
dengan baik


Ozone stratosfer

Penyerapan radiasi
inframerah dan ultra
violet

-

Sedang

Partikel aerosol (termasuk
material gunung berapi)

Pemencaran (dominan)
dan penyerapan radiasi

-

Sedang-rendah


Perubahan tata guna lahan

Perubahan albedoemissivitas

-

Sedang-rendah

Matahari

Irradiasi

+

Liquid water cloud

Perubahan albedoemissivitas

Ozon troposfer

Uap air stratosfer

Efek
forcing
netto

Status
pemahaman
saintifik

Rendah
-

DR merupakan parameter sederhana untuk mengkuantifikasi dan meranking
pengaruh-pengaruh yang berbeda terhadap perubahan iklim; ukuran ini memberikan
pengukuran yang terbatas dan tidak mencoba untuk mewakili respon iklim
keseluruhan (Le Treut et al., 2007). Namun demikian, karena sensitifitas iklim dan
aspek-aspek respon iklim lainnya terhadap forcing eksternal masih belum adekuat,
DR mempunyai kelebihan – dapat dihitung dengan lebih mudah dan bisa
dikomparasikan, dibandingkan dengan estimasi respon iklim (Le Treut et al., 2007).
Studi-studi sejak Working Group I Third Assessment Report (TAR; Ramaswamy et al.,
2001) memberikan tingkat kepercayaan sedang bahwa kesetimbangan respon
temperatur rata-rata global untuk suatu DR adalah kira-kira sama (dengan
perbedaan dalam batas 25%) (Le Treut et al., 2007).

5

Daya radiatif dihitung berdasarkan konsentrasi suatu gas relatif terhadap konsentrasi
awal (IPCC menggunakan konsentrasi awal tahun 1750) dan konstanta transfer
radiatif (Tabel 2).
Daya radiatif dapat dihubungkan dengan relasi linear pada perubahan temperatur
permukaan global rata-rata ( ∆ TS ¿ : ∆ TS=RF , dimana
adalah parameter
sensitifitas iklim dan RF adalah nilai DR. Nilai tipikal λ adalah 0.8 K/(W/m2) yang
akan menghasilkan 3K untuk penggandaan CO2 (Ramaswamy et al., 2001; Le Treut et
al., 2007).
Estimasi DR antropogenik gabungan adalah 1,6 [-1,0, +0,8] 2 W/m2 mengindikasikan
bahwa kegiatan manusia sejak 1750 sangat mungkin telah menyebabkan perubahan
temperatur substansial pada iklim (Le Treut et al., 2007). Kesimpulan tersebut dibuat
dengan membandingkannya dengan DR gabungan alami (iradiasi matahari dan
aerosol gunung berapi) untuk periode 1950-2005, yang hanya seperlima dari DR
yang diestimasi tersebut (Le Treut et al., 2007).
Peningkatan konsentrasi GRK degan waktu tinggal panjang di atmosfer (long lived
greenhouse gases-LLGHGs) (CO2, CH4, N2O, CFC, HFC, PFC dan SF6) mempunyai DR
gabungan sebesar +2,63 [ +0,26] W/m2. Peningkatan sebesar 9% pada merupakan
akumulasi konsentrasi sejak 1998 (Le Treut et al., 2007).
Tabel 2. Persamaan perhitungan daya radiatif yang
disederhanakan (Ramaswamy et al., 2001 dalam IPCC,
2007b)

Konsentrasi CO2 global ratarata pada tahun 2005
adalah sebesar 379 ppm,
dengan DR +1,66 [+ 0,17]
W/m2. Emisi pembakaran
bahan bakar fosil dan
manfuaktur semen dari
periode terdahulu
kemungkinan berkontribusi
kira-kira tiga per empat dari
DR saat ini, dengan sisanya
dikontribusikan oleh
perubahan tata guna
lahan(Le Treut et al., 2007).
Untuk dekade 1995 sampai
2005, laju peningkatan
konsentrasi atmosfer dan
DR CO2 adalah sebesar 1,9
ppm/thn dan 20% berturutturut (Le Treut et al., 2007):
laju tersebut merupakan
yang yang terbesar dalam
200 tahun terakhir. Dari
1999 sampai 2005, emisi
dari bahan bakar fosil dan
produksi semen meningkat
dengan laju kira-kira 3%/thn

(Le Treut et al., 2007).
Konsentrasi global rata-rata CH4 pada tahun 2005 adalah sebesar 1.774 ppb,
mengkontribusikan DR sebesar +0,48 [+ 0,05] W/m2. Dalam dua dekade
belakangan, laju peningkatan CH4 di atmosfer secara umum telah menurun.
6

Penyebab penurunan tersebut belum dipahami dengan baik. Selain itu
konsentrasi radikal hidroksil (OH) yang merupakan prekursor penambatan CH 4
yang utama juga tidak akan berubah untuk
jangka waktu yang panjang yang berarti bahwa
emisi total CH4 tidak akan bertambah.

Grafik 1. Konsentrasi atmosferik LLGHGs
non halokarbon dalam 2.000 tahun
terakhir (IPCC, 2007)

Nitrous oksida meningkat secara linear dan terus
menerus (0,26%/thn) dan sampai pada konsentrasi
sebesar 319 ppb pada tahun 2005, dan
mengkontribusikan DR sebesar +0,16 [+ 0,02] W/m2.
Studi-studi baru-baru ini menegaskan peran
signifikan wilayah tropikal dalam emisi yang
mempengaruhi gradien konsentrasi spasial (Le Treut
et al., 2007).

Tabel 3. Konsentrasi dan DR LLGHGs saat. Perubahan sejak 1998 juga ditunjukkan
(IPCC, 2007b)
Spesies
CO2
CH4
N2O
CFC-Total
HCFC-Total
Gas-gas
Montreal
Gas-gas Kyoto
lainnya
Halokarbon
LLGHGs-Total

Konsentrasi
Perubahan
sejak 1998
379 + 0,65
+13 ppm
ppm
1.774 +1,8
+11 ppb
ppb
319 +1,12
+5 ppb
ppb
2005

Daya radiatif
2
Perubahan sejak
2005 (W/m )
1998 (%)
1,66
+13
0,48

-

0,16

+11

0,268
0,039
0,320

-1
+33
-1

0,017

+69

0,337
2,63

+1
+9

Gabungan gas-gas Protokol Montreal (khlorofluorokarbon (CFC),
hidrokhlorofluorokarbon (HCF)), dan khlorokarbon) mengkontribusikan DR sebesar
+0,32 [+ 0,03] W/m2 pada tahun 2005. DR-nya mencapai puncak pada tahun 2003
dan saat ini mulai menurun.
Konsentrasi kebanyakan gas-gas Protokol Kyoto (hidrofluorokarbon (HFC),
perfluorokarbon (SF6) telah meningkat secara signifikan, dengan faktor antara 4,3
dan 1,3 berturut-turut diantara tahun 1998 dan 2005. Total DR pada tahun 2005
adalah +0,07 [+ 0,002] W/m2, dengan laju peningkatan yang besar, kira-kira
10%/thn.
Gas reaktif, OH, merupakan spesies kimia kunci yang mempengaruhi waktu tinggal
dan nilai DR CH4, HFC, HCFC dan ozon; juga berperan dalam pembentukan sulfat,
nitrat dan beberapa spesies aerosol organik. Estomasi konsentrasi global rata-rata
OH tidak menunjukkan perubahan netto yang terdeteksi diantara tahun 1979 dan
2004.
Berdasarkan studi chemical transport model (CTM) yang lebih baik daripada yang
dihasilkan pada Third Assessment Report (2001), peningkatan DR ozon troposfir
diestimasi sebesar +0,35 [ - 0,1, +0,3] W/m2. Indikasi peningkatan ozon ditemukan
pada lintang rendah.

7

Tren semakin berkurangnya ozon stratosfer yang diamati selama periode 1980 dan
1990 sudah tidak terjadi lagi. Namun demikian, hal ini tidak sepenuhnya
menjelaskan indikasi pemulihan ozon. DR untuk gas ini adalah -0,05 [ + 0,10] W/m2.
Perubahan (dalam rentang beberapa persen) kolom global rata-rata ozon oleh siklus
11-tahun iradiasi ultraviolet matahari saat ini dapat dipahami dengan lebih baik.
Namun, masih ada ketidakpastian terkait perubahan profil ozon. Hubungan empiris
antara ionisasi sinar kosmik yang dimodulasi matahari di atmosfer dan tutupan awan
rendah global rata-rata masih ambigu.
Berdasarkan studi CTM, DR uap air stratosferik yang meningkat akibat oksidasi CH 4
diestimasi sebesar +0,07 [ + 0,05] W/m2. Pemahaman penyebab antropogenik
peningkatan uap air yang dapat berkontribusi pada DR masih sangat terbatas.
Dengan perkiraan model dan observasi, total DR aerosol direct diestimasi sebesar
-0,5 [ + 0,4] W/m2.
Model-model atmosferik telah mengalami perkembangan dan banyak yang sekarang
mampu mengakomodir komponen-komponen aserosol yang penting. Peningkatan
dalam pengukuran in situ, yang berbasis satelit dan permukaan telah memungkinkan
verifikasi model-model aerosol global. Estimasis terbaik dan rentang ketidak-pastian
DR aerosol direct didapatkan dari studi pemodelan dan pengamatan, (Le Treut et al.,
2007).
Nilai DR untuk spesies individual aerosol direct mempunyai ke-tidak-pasti-an yang
lebih besar.Estimasinya adalah: sulfat -0,4 [ +0,2] W/m2; organik karbon dari bahan
bakar fosil -0,05 [ +0,05] W/m2; karbon hitam dari bahan bakar fosil +0,2 [+0,15]
W/m2; pembakaran biomasa +0,03 [+0,12] W/m2; nitrat -0,1 [+0,1] W/m2; dan debu
mineral -0,1 [+0,2] W/m2. Untuk pembakaran biomasa, estimasinya sangat
terpengaruh oleh awan di atasnya. Untuk pertama kalinya estimasi dihasilkan untuk
nitrat dan aerosol debu mineral. Studi-sudi pemodelan yang mengikutkan lebih
banyak spesies aerosol atau dihalangi pada pengamatan satelit cenderung
memberikan hasil DR yang lebih rendah. Aspek-aspek lain dari interaksi aerosolawan (mis. waktu tinggal awan efek semi-langsung) tidak dianggap sebagai DR.
Konsentrasi global rata-rata aerosol stratosfer berada pada tingkat yang paling
rendah di tahun 2005, sejak pengukuran satelit dimulai pada 1980an. Hal ini dapat
dikaitkan dengan tidak adanya letusan gunung berapi yang signifikan sejak Gunung
Pinatubo pada tahun 1991. Aerosol dari kejadian gunung berapi menyebabkan DR
negatif sementara; namun demikian, pengetahuan tentang DR terkait dengan
letusan sebelum Gunung Pinatubo masih terbatas.
Sinar matahari mengalami peningkatan pada era industrial, dan menyebabakan DR
positif kecil +0,12 [-0,06, +0,18] W/m2. Iradiasi matahari yang dimonitor dari
angkasa dalam tiga dekade terakhir mengungkapkan siklus mapan sebesar 0,08 %
(siklus minimum sampai maksimum) tanpa tren signifikan pada siklus minimum.
3.2. DAYA RADIATIF TIDAK LANGSUNG
Aerosol non-direct berinteraksi dengan awan dengan beberap cara, khususnya
sebagai nukleus kondensasi awan dan nukleus es. Interaksi-interaksi tersebut
biasanya disebut sebagai efek tidak langsung aerosol (NRC, 2005). DR dari efek
albedo awan (Twomey effect), dalam konteks liquid water clouds diestimasi sebesar
-0,7 [ – 1,1, +0,4] W/m2.

8

Hansen et al. (2011) menyatakan bahwa sebagian besar pemodelan iklim
mengasumsikan pencampuran panas ke laut yang dalam yang terlalu efisien,
sehingga estimasi forcing negatif menjadi terlalu rendah untuk agen aerosol nondirect (melalui perubahan awan).
Perubahan tutupan/tata guna lahan termasuk deforestasi, urbanisasi, irigasi dan
desertifikasi, dan pertanian – dapat menyebabkan perubahan signifikan pada DR
(NRC, 2005). Perubahan tutupan dan tata guna lahan merupakan faktor penting pada
skala regional, meskipun merupakan faktor yang tidak signifikan dibandingkan
komposisi atmosfir dalam seratur tahun terakhir (Hansen et al., 2011).
Perubahan pada kelembaban tanah juga dapat merubah kesetimbangan energi
permukaan kontinental (NRC, 2005). Ketika kandungan air di tanah tinggi, sebagian
besar energi radiatif diserap permukaan tanah untuk evaporasi dan transpirasi air.
Fluks panas latennya besar, fluks panas sensibel-nya kecil (dapat mencapai negatif
di wilayah kering), temperatur tanah-permukaan relatif rendah, dan oleh sebab itu,
radiasi gelombang panjang yang diemisikan permukaan tanah relatif rendah. Hal ini
dapat dikontraskan dengan kondisi dimana tanah kering dimana tidak ada fluks
panas laten, dan fluks panas sensibel-nya kecil – radiasi gelombang panjang yag
diemisikan relatif tinggi.
Perubahan pada tutupan lahan, sebagian besar karena deforestasi, telah
meningkatkan albedo permukaan dengan DR -0,2 [+0,2] W/m2. Aerosol karbon hitam
yang terdeposisi pada salju telah mengurangi albedo permukaan dengan DR +0,1
[+0,1] W/m2. Karakteristik perubahan permukaan lainnya yang dapat mempengaruhi
iklim dengan proses-proses yang tidak dapat dikuantifikasi masih dalam tahap
pemahaman yang sangat rendah.
Jejask kondensasi (condensation trail) penerbangan persisten mengkontribusikan DR
sebesar +0,01 [-0,007, +0,02] W/m2.
Tabel 4. Agen DR-tidak langsung: mekanisme forcing, efek forcing neto dan status pemahaman
saintifik

Agen DR-tidak
langsung

Aerosol non-direct

Mekanime forcing

Efek
forcing
netto

Interaksi dengan awan, menjadi
nukleus kondensasi awan,
memperpanjang waktu tinggal
awan, menyerap radiasi matahari,
menambah ketebalan optik awan

Rendah

Jejak kondensasi
penerbangan

Efek pada awan cirrus

Perubahan tutupan
dan tata guna lahan

Perubahan albedo dan emisifitas,
perubahan panas laten yang
dipengaruhi oleh kandungan air
tanah.

+

Ozon troposfer dan
stratosfer

Meningkatkan OH di troposfer, dan
mengurangi waktu tinggal metana
dan memfasilitasi aerosol sebagai
nukleus

-

9

Status
pemahaman
saintifik

Sangat rendah

3.3. DAYA RADIATIF TOTAL
GRK merupakan kontributor
terbesar pada DR keseluruhan,
berada jauh di atas kelompok agen
DR lainnya. Iradiasi matahari
mengkontribusikan porsi sangat
kecil relatif terhadap GRK.
Peningkatan aerosol antropogenik
menyebabkan penurunan daya
radiatifnya dari tahun ke tahun,
terutama sejak 1950an. Penurunan
ini juga termasuk efek tidak
langsung aerosol antropogenik
awan pada awan, yang tidak
disertakan dalam perhitungan IPCC
Grafik 2. DR global berdasarkan kelompok agen
Assessment Report 4 (Le Treut et
DR, 1880-2005 (Hansen et al., 2011)
al., 2007; Hansen et al., 2011).
Pemodelan yang diilustrasikan pada Grafik
3 menunjukkan climate forcing
antropogenik, dimana forcing GRK
diimbangi dengan forcing negatif aerosol.

4. KE-TIDAK-SETIMBANGAN
ENERGI BUMI
Ke-tidak-setimbgangan energi Bumi
merupakan konsekuensi langsung climate
forcing neto – fraksinya yang belum direspon temperatur permukaan. Ke-tidaksetimbangan ini merupakan ukuran yang
Grafik 3. Climate forcing antropogenik tahun
penting untuk mengukur climate forcing
2005 (Hansen et al., 2011)
neto yang sedang terjadi di Bumi (Hansen
et al., 2005). Sebagian besar ke(tidak)setimbangan energi merupakan respon forcing di
permukaan dan laut; atmosfer merupakan variabel kecil karena kapasitas penyimpanan
energinya yang kecil, dan dianggap sebagai produk dari perubahan temperatur
permukaan (Hansen et al., 2011).
Umpan balik positif meningkatkan respon iklim dan umpan balik negatif mengurangi
respon (Hansen et al., 2011). Umpan balik merubah jumlah energi matahari yang
diserap Bumi atau panas yang diradiasikan ke angkasa (Hansen et al., 2011). Asumsi
bahwa pengaruh umpan balik pada respon global rata-rata adalah fungsi dari
perubahan temperatur adalah aproksimasi yang berguna untuk kuantifikasi
ke(tidak)setimbangan. Kebanyakan umpan balik mengakibatkan respon yang terjadi
hampir langung, mis., perubahan konsentrasi uap air atmosfer dan CO 2, transpirasi dan
pertumbuhan tumbuhan; umpan balik dengan respon lambat menghasilkan respon
yang terjadi dalam skala waktu dekade, milenia, hingga lebih lama lagi, mis.,
perubahan lapisan es dan GRK dengan waktu tinggal panjang (Hansen et al, 2011).
Sekitar 40% respon kesetimbangan dicapai dalam lima tahun, karena inertia efektif
yang kecil. Hanya 60% yang dicapai dalam seratus tahun. Respon menyeluruh hanya
dicapai dalam seribu tahun (Hansen et al., 2011).
Variabel perhitungan ke-tidak-setimbangan energi Bumi termasuk, perolehan energi
dari – laut, gabungan non-laut, di laut di kedalaman > 4000m, dan di laut pada
10

kedalaman diantara 2000 dan 4000 m. Laut mempunyai kapasitas penyimpanan energi
yang besar di kedalaman sampai 700 m. Estimasi perolehan energi pada kedalaman
700 m pertama adalah 0,64 + 0,11 W/m2 (tingkat kepercayaan 90%) untuk periode
1993-2008. Perolehan energi atmosfer adalah 5 X 10 21 J (periode 1961-1993) (Le Treut
et al., 2007); 2,5 X 1021 J (1961-2003) (Hansen et al., 2011). Perolehan energi di daratan
sampai kedalaman 200 m untuk periode 1901-2000 bervariasi: 15,9 X 10 21 J (Beltrami
et al., 2001); 13 X 1021 (Beltrami et al., 2001); 10,3 X 1021 (Huang, 2006); 12,6 X 1021 J
(Hansen et al., 2011). Estimasi perolehan energi di kedalaman di bawah 4000 m adalah
0,027 + 0,009 W/m2; di antara 2000 – 4000 m, 0,068 + 0,0061 W/m2 (Purkey dan
Johnson, 2010). (Referensi-referensi dikutip dalam Hansen et al., 2011).
Penyimpanan energi di laut mendominasi ke-tidak-setimbangan energi selama 1993 –
2008 (Hansen et al., 2011). Perubahan energi di bawah 700 m dan 4000 m merupakan
suplemen terbesar penyimpanan energi di permukaan (s/d kedalaman 700 m) (Hansen
et al., 2011). Menurut Levitus et al. (2009) 15-20 persen perolehan energi laut
diperoleh di kedalaman lebih dari 700 m.
Ke-tidak-setimbangan untuk suatu skenario forcing dan pencampuran di laut (fungsi
respon iklim), dihitung berdasarkan persamaan Green:

Persamaan ini menyatakan bahwa ke-tidak-setimbangan merupkan bagian dari climate
forcing yang belum direspon oleh temperatur permukaan. ∆ T eq , ∆ T dan F pada
persamaan ini adalah fungsi waktu. Perubahan temperatur kesetimbangan ( ∆ T eq ¿
merespon climate forcing pada waktu t – untuk umpan balik dengan respon cepat –
merupakan hasil dari climate forcing pada waktu t dan umpan balik cepat sensitifitas
iklim, S X F, dengan S ~ ¾ oC per W/m2. ∆ T adalah temperatur permukaan global
pada waktu t dihitung dengan persamaan Green. Ke-tidak-setimbangan energi yang
dihitung dari persamaan di atas sesuai dengan simulasi model iklim global (Hansen et
al., 2011). Namun persamaan tersebut hanya hanya dapat mengakomodir umpan balik
dengan respon cepat dan valid hanya untuk skala waktu dekade sampai abad, periode
yang cukup panjang tanpa perlu mempertimbangkan perubahan pada lapisan es
(Hansen et al., 2011). Climate forcing, F, termasuk semua perubahan pada gas-gas
dengan waktu tinggal panjang dan juga yang dihasilkan dari umpan balik siklus karbon
yang lambat (terkait dengan perubahan temperatur laut dan pencairan permafrost)
(Hansen et al., 2011).
Pemodelan Hansen et al. (2005) yang sebagian besar mengakomodir GRK dan aerosol
antropogenik mengestimasi ke-tidak-setimbangan energi Bumi – penyerapan energi
permukaan yang lebih besar dari yang dilepaskan ke angkasa – sebesar 0,85 + 0,15
W/m2 dalam sepuluh tahun terakhir (tanpa interupsi letusan gunung berapi besar).
Dalam model tersebut ke-tidak-setimbangan sebelum 1960 tidak pernah melebihi satu
per sepuluh W/m2 dan terus meningkat dengan ajeg, kecuali pada periode letusan
gunung berapi yang besar. Ke-tidak-setimbangan energi Bumi saat ini adalah besar
menurut standar sejarah Bumi. Misalnya, ke-tidak-setimbangan sebesar 1 W/m 2 selama
10.000 tahun terakhir selama Holocene cukup untuk mencairkan es ekivalen dengan
kenaikan permukaan laut setinggi 1 km atau meningkatkan temperatur laut di bagian
di atas termoklin hingga mencapai lebih dari 100 oC (Hansen et al., 2005). Hal ini jelas
menunjukkan bahwa dalam skala waktu panjang, planet ini berada pada
kesetimbangan energi tidak lebih dari fraksi kecil dari 1 W/m 2 (Hansen et al., 2005).
Interpretasi alternatif dari laju tinggi penyimpanan energi di laut adalah bahwa hal itu
bukan disebabkan oleh forcing tapi dari fluktuasi atmosfer-laut. Namun, jika suatu
11

fluktuasi menghantar air dingin ke permukaan laut untuk mengurangi fluks energi
keluar, permukaan laut akan mendingin – di sisi lain pada faktanya penghangatan
terjadi permukaan laut (Hansen et al., 2005).
Perubahan iklim yang sedang terjadi mungkin mempunyai efek-efek yang tidak
diinginkan melalui umpan balik dengan respon lambat, mis., yang terkait dengan
lapisan es dan ketinggian permukaan laut (Hansen et al, 2011). Isu-isu tersebut harus
dievaluasi dengan pemantauan kontinyu kesetimbangan massa lapisan es. Stabilisasi
permukaan laut mungkin membutuhkan ke-tidak-setimbangan energi negatif yang
moderat. Hal-hal tersebut hanya akan menjadi isu praktikal setelah GRK telah dikurangi
sampai (atau mendekati) kondisi kesetimbangan energi. (Hansen et al., 2011)

5. KESIMPULAN
5.1. CLIMATE FORCINGS
Perubahan iklim yang terjadi saat ini merupakan pengaruh eksternal pada sistem
iklim Bumi – yang disebut sebagai climate forcings – yang bersumber baik dari alam
maupun kegiatan manusia (antropogenik).
Climate forcing termasuk daya radiatif langsung dan tidak langung – mempengaruhi
bujet radiatif bumi.
Total rerata forcings global kemungkinan besar adalah negatif. Peningkatan aerosol
stratosfer dan troposfer yang mengurangi fluks radiasi gelombang pendek
merupakan penyebab utama forcing negatif permukaan. Hal ini dikontraskan
dengan peningkatan LLGHG yang merupakan kontributor utama total DR positif
antropogenik.
5.2. DAYA RADIATIF
Agen daya radiatif bersumber dari alam dan emisi antropogenik. Kompleksitas dan
derajat ketidakpastian mekanisme forcing bervariasi secara substansial (Myhre et al.,
2001).
Mekanisme forcing langsung adalah, iradiasi, penyerapan, pemencaran dan
pengemisian radiasi infra merah dan ultravilolet. Iradiasi ke permukaan Bumi adalah
melalui radiasi gelombang pendek dan dari Bumi ke angkasa melalui radiasi
gelombang panjang.
Mekanisme forcing tidak langsung adalah melalui, perubahan albedo, perubahan
panas laten tanah, reaksi kimia yang membentuk prekursor, dan pemfasilitasian
kondensasi awan.
Studi-studi sejak Working Group I Third Assessment Report (TAR; Ramaswamy et al.,
2001) memberikan tingkat kepercayaan sedang bahwa kesetimbangan respon
temperatur rata-rata global untuk suatu DR adalah kira-kira sama (dengan
perbedaan dalam batas 25%) (Le Treut et al., 2007).
Forcing antropogenik utama adalah emisi gas rumah kaca (GRK) – karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O) dan halokarbon (berbagai spesies CFC,
HFC, PFC dan seyawa SF6). DR antropogenik dimulai dari era industrial (1750) sangat
mungkin telah menyebabkan perubahan temperatur substansial pada iklim (Le Treut
et al., 2007).
12

GRK masih merupakan penyumpang radiasi positif terbesar. CO 2 masih tetap
merupakan kontributor terbesar pada daya radiatif, disusul CH 4, N2O dan halokarbon.
Kompleksitas dan ketidakpastian mekanisme forcing sangat bervariasi. GRK dengan
waktu tinggal panjang terkarakterisasi dan dipahami dengan baik; tingkat
pemahaman untuk komponen lainnya adalah diantara sangat rendah sampai
sedang.
Banyak aspek dalam perubahan iklim – termasuk hujan, keanekaragaman hayati dan
permukaan laut – yang sekarang belum dikaitkan secara kuantitatif dengan daya
radiatif.
5.3. KE-TIDAK-SETIMBANGAN ENERGI BUMI
Ke-tidak-setimbangan menjadi ukuran yang penting untuk mengukur net forcing dan
implikasinya. Ke-tidak-setimbangan saat ini sebesar 0,85 W/m2 adalah sangat besar
menurut standar sejarah bumi yang dalam waktu panjang berada pada
kesetimbangan energi sepersekian (fraksi kecil) dari 1 W//m 2.
Faktor yang mempengaruhi ke-tidak-setimbangan adalah, climate forcing dan umpan
baliknya. Umpan balik merubah jumlah energi matahari yang diserap Bumi atau
panas yang diradiasikan ke angkasa (Hansen et al., 2011). Umpan balik positif
meningkatkan respon iklim dan umpan balik negatif mengurangi respon (Hansen et
al., 2011).
Variabel perhitungan ke-tidak-setimbangan energi Bumi termasuk, perolehan energi
dari laut, jumlah gabungan non-laut, di laut di kedalaman > 4000m, dan di laut pada
kedalaman diantara 2000 dan 4000 m. Penyimpanan energi di laut mendominasi ketidak-setimbangan energi selama 1993 – 2008. Atmosfer merupakan variabel kecil
karena kapasitas penyimpanan energinya yang kecil.
Respon dari 60% umpan balik terjadi dalam skala dekade, sisanya sampai dengan
skala milenia.
Perubahan iklim yang sedang terjadi mungkin mempunyai efek-efek yang tidak
diinginkan melalui umpan balik dengan respon lambat. Dua variabel utama yang
harus diperhatikan adalah, kesetimbangan massa lapisan es dan stabilisasi
permukaan laut. Hal-hal tersebut hanya akan menjadi isu praktikal setelah GRK telah
dikurangi sampai (atau mendekati) kondisi kesetimbangan energi. (Hansen et al.,
2011)
REFERENSI
Australian Academy of Science (AAC), 2010. The science of climate change: questions
and answers. Australian Academy of Science, Canberra, Australia.
Forster, P., V. Ramaswamy, P. Artaxo, T. Berntsen, R. Betts, D.W. Fahey, J. Haywood, J.
Lean, D.C. Lowe, G. Myhre, J. Nganga, R. Prinn, G. Raga, M. Schulz and R. Van Dorland,
2007: Changes in Atmospheric Constituents and in Radiative Forcing. In: Climate
Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. [Solomon, S., D.
Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.Tignor and H.L. Miller (eds.)].
Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
13

Hansen J., Sato M., Koch, D., Novakov T., Nazarenko L., Willis, L. A., Ruedy, R., Del
Genio, L. A, Perlwitz, J., Schmidt, G. A., Lo, K., Menon, S., Russell, G. and Tausnev N.,
2005. Earth’s energy imbalance: confirmation and implications. Science, June, 308 (3)
pp. 1431-1435.
Hansen, J., Sato, M., von Schuckmann , K. and Kharecha, P., 2011. Earth’s energy
imbalance and implications. Atmos. chem. phys., 11, 13421–13449.
IPCC, 2012. Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to Advance Climate
Change Adaptation. A Special Report of Working Groups I and II of the
Intergovernmental Panel on Climate Change [Field, C.B., V. Barros, T.F. Stocker, D. Qin,
D.J. Dokken, K.L. Ebi, M.D. Mastrandrea, K.J. Mach, G.-K. Plattner, S.K. Allen, M. Tignor,
and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, UK, and New York, NY,
USA.
Le Treut, H., R. Somerville, U. Cubasch, Y. Ding, C. Mauritzen, A. Mokssit, T. Peterson and
M. Prather, 2007: Historical Overview of Climate Change. In: Climate Change 2007:
The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. [Solomon, S., D. Qin, M.
Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge
University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
Levitus, S., Antonov, J., Boyer, T., Locarnini, R. A., Garcia, H. E., and Mishonov, A. V.,
2009. Global ocean heat content 1955–2008 in light of recently revealed
instrumentation problems. Geophys. Res. Lett., 36, L07608,
doi:10.1029/2008GL037155, http://www.nodc.noaa.gov/OC5/3M HEAT CONTENT/ basin
data.html, 1955–2010, 2009.
Myhre, G., Myhre, A. and Frode, S., 2001. Historical evolution of radiative forcing of
climate. Atmospheric environment, 35, pp. 2361-2373.
National Research Council (NRC), 2001, Climate change science: an analysis of some
key questions. National Academy Press, Washington, D.C. US.
National Research Council (NRC), 2005. Radiative forcing of climate change: expanding
the concept and addressing uncertainties. National Academy Press, Washington, D.C.
US.
Ramaswamy V., Boucher, O., Haigh, J., Hauglustaine, D., Haywood J., Myhre, G.,
Nakajima, T., Shi, G.Y., Solomon, S., Betts, R., Charlson, R., Chuang, C., Daniel, J.S., Del
Genio, A., van Dorland, R., Feichter, J., Fuglestvedt, J., 2001: Radiative forcing of climate
change. In: Climate Change 2001 The physical science basis. Contribution of Working
Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change. [Joos, F. and Srinivasan, J.(eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge,
United Kingdom and New York, NY, USA.
World Bank, 2010. World development report 2010 : development and climate change.
The World Bank, Washington, D.C. US. DOI : 10.1596/978-0-8213-7989-5.

14