INTEGRASI POLITIK DAN AGAMA DALAM ISLAM

INTEGRASI POLITIK DAN AGAMA DALAM ISLAM
PENDAHULUAN
Ditulis setelah penulisan makalah selesai
PEMBAHASAN
1. Negara dan konstitusi1.
Ketika membahas masalah literatur tentang negara, politik pada umumnya
kita selalu berorientasi dan merujuk kepada literature Yunani dan Barat 2. Padahal
dalam tradisi islam sendiri terdapat konsep negara yang bahkan telah memenuhi
kriteria syarat terbentuknya negara modern.
Dalam khazanah Islam diskursus negara diderivasi dari beberapa kalimat.
Negara atau bangsa dalam bahasa Arab disebut Qawmiyyah, dari qaum yang
berarti kinsfolk (karib kerabat), race (ras), people (orang sebagai kelompok) dan
nation (bangsa)3. Juga diambil dari kata Daulat atau (dawlah) yang artinya Negara
atau pemerintahan4. Kemudian secara khusus gagasan Islam mengenai komunitas
diambil dari terminologi “ummah” yaitu masyarakat atau bangsa, yang konsep
dasarnya adalah Islam. yang artinya bahwa suatu komunitas yang tunduk kepada
tuhan dan masuk dalam kesepakatan damai. konsep ini menggambarkan hubungan
yang fundamental antara manusia dengan tuhan, serta Kesatuan agama dan
kekuasaan5. Jadi Negara adalah sekelompok masyarakat yang mengikat diri
dalam satu kesatuan.
Sedikitnya terdapat tiga syarat suatu komunitas bisa terbentuknya negara.

Pertama, apabila terdapat wilayah teritorial. Kedua, adanya pemerintah yang
mengatur dan di taati. Dan yang ketiga adalah adanya alat kekuasaan serta rakyat6.
Negara adalah suatu bangunan masyarakat yang, mengakui satu undang-undang,
dan menjalankan kehidupan sesuai dengan sistem yang satu, dan diantara
masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa dan agama yang kuat, serta
adanya perasaan solidaritas secara umum7. Jadi Negara sebuah institusi politik
yang mana didalamnya terdapat unsur rakyat, pemerintah, wilayah dan UndangUndang.
1 Sri Soemantri Martosoewignyo menyamakan arti konstitusi dengan undang-undang
dasar. Berbeda dengan L.J. Vanapeldoorn mengatakan bahwa konstitusi lebih luas daripada
undang-undang dasar. Cakupannya tidak hanya undang-undang dasar yang tertulis, tetapi juga
yang tidak tertulis. Lihat Abdul Muin sAlim. Op.Cit. hlm 48
2 Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern Dalam Islam,2010, (Yokyakarta:
LKIS),hlm.1
3 Rifyat ka’bah, Politik dan Hukum Dalam al-Qur’an, 2005, (Jakarta: Khairul Bayan)
hlm, 39.
4 Ibid hlm 50.
5 Antony Black,pemikiran Politik Islam, 2001(Jakarta: Serambi), hlm 44.
6 Iman Toto K Raharjo dan Soko Sudarso, Bung Karno Masalah Pertahanan dan
Keamanan,2010,(Jakarta: Gramedia Widia Sarana), hlm 162.
7 M.Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, 2001,(Jakarta: Gema Insani Press), hlm 6.


Negara selalu terkait erat dengan konstitusi. Istilah konstitusi berasal dari
bahasa Perancis,”constituer” yang berarti membentuk. Pemakaian istilah
konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan
menyatakan suatu negara8. Dalam bahasa latin merupakan gabungan dari dua kata
“constitution” yang berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama, dan bentuk
jamak dari “constitutiones” yang berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan. Jadi
suatu komunitas masyarakat bisa dikatakan menjadi sebuah negara apabila
didalamnya sudah terdapat wilayah, rakyat, pemerintah dan konstitusi.
Terdapat beberapa fungsi pokok konstitusi. Ia merupakan hukum dasar
dan menjadi norma sekaligus sebagai sumber hukum. Kemudian memuat
pengorganisasian jabatan-jabatan kenegaraan, lembaga-lembaga yang memerintah
dan tujuan yang hendak dicapai. juga berfungsi sebagai dasar struktural bagi
system politik serta dasar keabsahan kekuasaan9. Jadi konstitusi merupakan
seperangkat landasan hukum, aturan lembaga politik serta bentuk legitimasi
kekuasaan.
Maka untuk lebih jelasnya perlu melihat sekilas potret sejarah bagaimana
pengejewetahan negara dan konstitusi dalam Islam. Muhammad SAW adalah
merupakan agent of chance konstelasi politik di Yasrif (Madinah). Pertama kali
yang dilakukannya adalah menghilangkan sekat-sekat primordial dan sektarian

dengan semangat ukhuwwah Islamiyyah. yaitu suatu spirit persaudaraan dengan
prinsip keislaman, pola keislaman serta nafas keislaman. dengan demikian
persatuan dan kesatuan yang merupakan salah satu simbol kekuatan dan
peradaban bisa terjalin erat.
Setelah terjalinnya persatuan Muhammad SAW bermusyawarah dengan
berbagai kelompok elemen masyarakat untuk merumuskan constitution of medina
“Piagam Madinah”. Proses ini merupakan serangkaian dari “bai’at al –aqabah
kedua atau bai’at al –Aqabah kubra. Pada awal perumusannya terjadi dialog dari
salah seorang dari Yasrif bertanya kepada nabi:
“Rasulullah, kami dengan orang-orang itu, yakni orang-orang Islam, terikat oleh
perjanjian, yang sudah akan kami putuskan, tetapi apa jadinya kalau kami lakukan itu
lalu kelak Tuhan memberiikan kemenangan pada tuan, lalu tuan akan kembali kepada
masyarakat tuan dan meninggalkan kami. Sambil tersenyum Muhammad Saw
menjawab, ”tidak. Darah (kalian) ialah darah(ku). Kehormatan (kalian) adalah
kehoratanku, aku bagian dari kalian dan kalian adalah bagian dari diriku. Aku
memerangi siapa saja yang kalian perangi dan berdamai dengan orang-orang yang
kalian berdamai dengannya10”.

Isi dari kesepakatan itu menunjukkan perlindungan, serta telah merambah
wilayah politik, karena menyangkut perlindungan diantara kedua belah pihak.

Ikrar ini menjadi fakta contrac sosial/persekutuan, yang dengan demikian kaum
muslimin dapat mempertahankan diri.11
Kemudian ada dua hal penting yang dilakukan oleh rasulullah di Yasrif
(kemudian menjadi Madinah). pertama adalah membangun masjid Quba” yang
8 Muhammad Alim.Op.cit. hlm 61.
9 Abdul Muin Salim. Op.cit. hal 48.
10 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,2003(Jakarta: Lentera Antar
Nusa),hlm 171.
11 Muhammad Ali, Op.cit. hlm 74.

mana fungsinya tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai wadah
untuk mewujudkan masyarakat yang egaliter dengan menghilangkan sekat-sekat
suku, ras dan lainnya. kedua, menyatukan persaudaraan yang menurut haekal,
persaudaraan adalah dasar peradaban Islam12.
Diantara klausal piagam Madinah adalah “memperoleh pertolongan dan
persamaan tanpa penganiayaan dan tidak menolong musuh mereka” (pasal 16),
saling bahu membahu dalam perang yang dilakukan bersama kaum muhajirin dan
anshor (pasal 18), bersama-sama menanggung biaya perang.(pasal 24), hak-hak
dan kewajibanyang sama juga diberlakukan terhadap kaum Islam. (pasal 26)13.
Secara keseluruhan constitution of medina (piagam Madinah) setidaktidaknya terdapat lima makna utama yaitu, pertama, penempatan nama Allah di

posisi teratas, kedua, adanya kesepakatan dalam perjanjian (sosial contract),
ketiga, kemajemukan peserta, keempat, keanggotaan terbuka (open memberiship),
dan kelima, adanya kesatuan dalam kebhinekaan (unity in diversity)14.
Negara Madinah secara konstitusional di deklarasikan pada hari jum’at
tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun ke-14 kenabian atau tahun pertama Hijrah
(bertepatan dengan 27 September 622 M) di masjid Quba’ 15. Secara historis the
constitution of medina (piagam Madinah) merupakan sebagai manifesto politik
pertama yang tertulis (written constuitution) di dunia sebagai sebuah konstitusi16.
Dengan demikian Muhammad SAW berhasil membangun komunitas
dengan wadah “ummat”, di (Yasrif) Madinah. Juga menurut pandang politik
modern telah memenuhi kriteria dan syarat sebuah negara dalam yang ditandai
dengan lahirnya “piagam Madinah”. Jadi negara dalam tradisi Islam tidak hanya
sebatas dalam law in the books, tetapi betul-betul telah dilaksanakan dalam law in
action.
2. Politik Islam (as-siyasah as-syar’iyyah)
Diskursus as-siyasah as-syar’iyyah merupakan pembahasan yang masih
masih terus berkembang. Karena ia senantiasa terlibat dalam pergulatan sosial dan
pergumulan budaya maka kajian ini lebih bersifat kontektual, bergantung
perbedaan tempat dan waktu. Meskipun demikian syari’ah tidak serta merta
menjadi relatif karena memiliki kemutlakan yang tidak akan pernah berubah

dalam mewujudkan keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah17.
Maka sebelum masuk pada pokok pembahasan, terlebih dahulu sampaikan
beberapa definisi politik Islam. secara bahasa politik Islam diambil dari kalimat
sya-sya, yasyu-su syiya-syatan adalah mengatur, mengendalikan, mengurus atau
membuat keputusan18. Berkaitan dengan ini as-siyasah diambil dari sebuah hadith:
12 Muhammad Husain Haekal, Op.cit. hlm 181.
13 Muhammad Alim, Op.cit. hlm 79.
14 Ibid, hlm 81.
15 Masjid Quba’ adalah masjid pertama di bangun setelah kenabian Muhammad Saw.
Masjid in di bangun bukan hanya semata-mata untuk ibadah, melainkan sebagai pusat pemersatu
umat Islam dan menghilangkan sekat ras, suku dan golongan.
16 Muhammad Ali hlm 77.
17 H.A. Djazuli. Op.Cit. hlm. 1.
18 H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah, 2003, (Bandung: Kencana), hlm 25.

"‫ "كانت بنوا إسرئيل تسوسهم النبياء‬yang artinya: Bani Isra’il dikendalikan

oleh nabi-nabi mereka19. juga as-siyasah bisa berarti memimpin
sesuatu dengan cara membawa kemaslahatan . Jadi politik adalah


pengendalian dan pengaturan dalam mencapai tujuan.
Adapun secara istilah politik menurut ibnu Taimiyah adalah berkaitan
dengan pemegang kekuasaan , yang berkewajiban menyampaikan amanat kepada
yang berhak. Dan berhubungan dengan rakyat. Ibnu Aqil sebagaimana dikutip Ibn
al-Qayyim menyatakan: politik adalah segala perbuatan yang membawa manusia
kepada lebih dekat kepada kemaslahatan dari kemafsadatan, sekalipun rasul tidak
menetapkannya dan (bahkan) Allah SWT tidak menentukannya20. berkenaan
dengan kekuasaan dan administrasi dalam masyarakat sipil. Sementara dalam
Ensiklopedi “Al-Ulum As-Siyasah” dikatakan bahwa politik Islam adalah segala
aktifitas manusia yang berkaitan dengan penyelesaian berbagai konflik dan
menciptakan keamanan bagi masyarakat21. Jadi politik Islam adalah keharusan
menjalankan amanah bagi pemegang kekuasaan/pemerintah, dalam mengatur/
mengeluarkan kebijakan umum (public policies), mengendalikan dan mengambil
keputusan (decision making) untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. 
Adapun yang menjadi batasan obyek kajiannya. politik Islam mencakup
hubungan antara pemerintah/penguasa dengan rakyatnya yang diatur melalui
formulasi undang-undang (syari’ah)22. Pengaturan hubungan sesama warga
negara, juga warga negara dengan lembaga negara dan mekanisme hubungan
sesama lembaga negara23. Jadi politik Islam kajiannya seputar komunikasi antar
sesama lembaga pemerintah dan rakyat.

Mengenai istilah Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik dalam
terminologi al-Qur’an diketahui dalam tiga istilah. Pertama, sulthan24 secara
harfiyyah berarti “kekuatan dan paksaan” adapun secara istilah adalah
kemampuan fisik untuk melaksanakan pengaruh dan atau memaksa terhadap
orang lain. Kedua, mulk secara harfiyyah berarti “ keabsahan dan kemampuan”
kemudian secara istilah adalah kekuasaan sebagai obyek hak (pemilikan)25.
Ketiga, hukm26 yang berarti memberi kekang, dan mencegah seseorang dari yang
diingininya27. Juga Ibn Manzhur memberikan arti ilmu dan pengetahuan dan
memutuskan dengan adil28. Dikatakan demikian, karena pengetahuan dan
keputusan yang adil mempunyai kemampuan mencegah seseorang berbuat
kerusakan. Jadi pemerintah selaku pemangku kekuasaan politik memiliki
19 H.R. Muslim.
20 H.A. Djazuli. Op.Cit. hlm. 27
21 Yusuf Qardhawi, Meluruskan dikotomi Agama dan Politik, 2008 (Jakarta: Pustaka alkautsar), hlm 19.
22 Yususf Qardhawi, Legalitas Politik Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syari’ah,
2008,(Bandung: Pustaka Setia), hlm. 29.
23 H.A. Djazuli, op.cit, hlm 29.
24 Q.S. An-Nisa’, 4: 90, Q.S. Al-Hasyr, 59: 6, Q.S. Al-Isra’ 17:33.
25 Abdul Muin SAlim. Op.cit. hal. 92.
26 Q.S. Al-Qalam,68: 36-38, dan 48. Q.S. Al-Maidah, 5: 50, dan 95.

27 Ibid. hal. 160.
28 Begitu juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada cara lain untuk mengetahui
keadilan dan kezaliman kecuali dengan ilmu. Lihat, Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam,
2004, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 181

wewenang dan otoritas secara de jure dan de facto untuk mengatur dan
menjalankan fungsi amar ma’ruf nahi munkar.
Dari pembahasan ini tampak jelas korelasi antara agama dan politik
berjalin berkelindan. Ini berbeda dengan pandangan pemikir Arab kontemporer
Muhammad Abed al-Jabiri. Ia menyatakan bahwa politik dan agama adalah
sesuatu yang berbeda dengan mengatakan:
“Adalah memisahkan agama dan politik dalam arti menghindari fungsionalisasi agama
untuk tujuan-tujuan politik dengan pertimbangan bahwa agama adalah mutlak dan
permanen sedangkan politik bersifat relatif dan berubah: politik digerakkan oleh
kepentingan individu dan kelompok sedangkan agama harus dipisahkan dalam hal ini,
jika tidak agama akan kehilangan substansi dan ruhnya29.

Ia juga menambahkan bahwa substansi agama adalah mempersatukan, sedangkan
politik adalah mengelompokkan. Karena jika agama dan politik menjadi satu
ikatan akan membawa dampak negatife. Misalnya ketika terjadi pertikaian dan

peperangan yang mendorong sektarianisme secara otomatis akan membawa
bakteri perselisihan kedalam ranah agama30. Jadi syari’ah atau agama akan
terkontaminasi jika masuk keranah politik. Hal ini tentu berseberangan dengan
pendapat jumhur ulama’ bahwa politik merupakan bagian dari agama.
Diakui memang Islam sebagai agama universal secara mantuq tidak
disebutkan “as-siyasah as-syar’iyyah” tetapi secara mafhum dapat diketahui
bahwa teks Al-Qur’an membicarakan banyak mengenai bidang kehidupan sosial,
ekonomi juga politik31. Artinya agama tidak hanya sedar ritual keagamaan saja
tetapi juga mengatur seluruh dimensi kehidupan.
Juga Ibnu Aqil berkata” bahwa politik adalah perbuatan manusia yang
lebih dekat pada kebaikan dan jauh dari kerusakan, meskipun perbuatan tersebut
belum dilakukan oleh rasul dan tidak ada pula wahyu yang menjelaskannya 32.
Lebih tegas lagi komentar Ibn al-Qayyim:
“Politik syar’I adalah kebenaran yang sesuai dengan realitas, sementara mereka
menyangka bahwa politik itu tidak mengandung kaidah-kaidah syari’at. Demi Allah
SWT. Sesungguhnya politik itu tidak bertentangan dengan risalah yang dibawa
rasulullah SAW…”33.

Jadi politik dan agama/ syari’ah merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan, memang politik dan agama adalah sesuatu yang berbeda tetapi tidak

berarti harus berpisah atau dipisahkan, demikian halnya jasad dan ruh adalah
sesuatu yang berbeda tetapi harus menyatu dalam jasad seseorang maka itu
dinamakan manusia. Begitu pula agama dan politik merupakan satu kesatuan
yang utuh dalam bentuk formulasi syari’at (hukum Islam) itu sendiri menjadi
sistem Politik Islam (as-siyasah as-syar’iyyah).

29Muhammad Abed Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah,
2001(Yokyakarta: Fajar pustaka) hlm 112.
30 Ibid hlm 113.
31 Hamid Fahmy Zarkasyi, Identitas dan Problem Politik Islam, “ Islamia: Jurnal
Pemikiran dan Peradaban Islam”Vo. 2, No. 2 ( (Jakarta: INSIST, 2009)hlm, 5
32 Yususf Qardhawi, LegAlitas Politik Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syari’ah,
2008,(Bandung: Pustaka Setia)hlm, 61.
33 Ibid hlm 63.

Adapun landasan normatif dalam menjalankan politik bisa berkaca kepada
pelaku Sejarah politik/politikus masa lampau yang tertuang dalam kisah-kisah AlQur’an. Misalnya: Pemberian kerajaan yang besar kepada keluarga ibrahim34,
pengangkatan Thalut sebagi raja35, pemberian hikmah dan kerajaan kepada
Daud36, anugerah kerajaan kepada Dzulqarnain dan memperoleh jalan untuk
mencapai segala sesuatu37, ratu Balqis sebagai raja yang adil dan egaliter 38,
anugerah berupa kepemimpinan orang-orang mesir yang tertindas39. Juga ada
contoh perilaku politik yang tercela. Misalnya Celaan kepada raja yang dzalim,
Fir’aun seorang pemimpin yang tiran dan memecah belah umat40. Dengan
demikian teks (al-Qur’an dan Hadith) dalam memberikan petujuk dan landasan
berpolitik tidak hanya sebatas sedeteran teori-teori, tetapi juga memberikan
gambaran masa lalu sebagi ibrah berupa sejarah yang otentisitas dan
kevaliditasannya laraibafiih (tidak diragukan sama sekali).
Maka pengejewetahan politik Islam adalah upaya menjalankan
amanah41yang diembannya. Berupa mewujudkan tujuan politik yang hendak
dicapai oleh seluruh rakyat yang terangkum dalam
ideologi 42 Negara.
Diantaranya adalah memelihara ketertiban sosial dan keamanan negara secara
institusional. Dalam hal ini berkaitan erat dengan lembaga peradilan yang
menjalankan fungsi yudisial dan lembaga al-hisbat43. Kemudian dibidang
pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara mentransformasikan
aturan-aturan, ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama melalui system pendidikan dan
pengajaran. Dengan demikian diharapkan terciptanya kesatuan sikap, cara
berfikir, cara bermasyarakat. Sehingga terbina kehidupan bersama dalam suasana
persaudaraan dan solidaritas sosial yang tinggi serta masyarakat yang unggul 44.
Selain itu juga menciptakan kesejahteraan social dengan cara mendorong
peningkatan produksi dan membangun sarana dan prasarana produksi, juga
diperlukannya institusi penangan zakat, dimana zakat tidak hanya sebatas ibadah
sosial, tetapi juga dalam konteks politik dan ekonomi pembangunan sebagai
indikator keberhasilan produksi dan pendapatan masyarakat, juga upaya untuk
34 QS.An-Nisa, 4: 54.
35 QS.Al-Baqarah, 2: 247.
36 QS.Al- Baqarah, 2: 251.
37 QS.Al- Kahfi,: 84.
38 QS.An- Naml, 27: 251.
39 QS.Al- Qashas, 28: 4.
40 QS.Al- Qashas, 4: 4
41 Amanah menurut Thanthawi Jauhari (1287- 1359 H), adalah segala yang
dipercayakan orang berupa perkataan, perbuatan, harta, pengetahuan, atau segala nikmat yang ada
pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Sementara Al-Maraghi membedakan
amanah menjadi tiga. Pertama, tanggungjawab manusia kepada Allah. Kedua, tanggungjawab
menusia kepada sesamanya. Dan yang ketiga, tanggungjawab manusia kepada dirinya sendiri.
42 Tentang ideology ini Dalier Noer menjelaskan sebagai “ cita-cita yang dalam dan luas
yang bersifat jangka panjang, malah dalam hal-hal dasar diyakini bersifat universal”. Jadi seluruh
cita-cita masyarakat terangkum dalam sebuah ideology (ajaran-ajaran agama atau filsafat atau
ajaran filsafat dan pemikiran manusia, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama) bangsa sebagai
haluan dalam berpolitik. Maka dalam politik Islam peran agama menjadi titik sentral dalam
mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara.
43 Al-hisbat adalah institusi yang menangani kewajiban amar ma’ruf nahi munkar yang
memiliki kekuasaan memerintahkan warga masyarakat agar melakukan perbuatan-perbuatan yang
baik dan memcegah mereka dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama
44 Ibid hlm. 207.

menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dan miskin. Maka meningkatkan
mutu pendidikan, menjaga stabilitas nasional dan menciptakan kesejahteraan
social merupakan cita-cita pokok yang mesti dilaksanakan. Akan tetapi ketigatiganya akan menjadi konsep yang kosong dan tidak memiliki substansi jika tidak
dibarengi dengan keadilan yang merupakan kaedah pokok dari maqashid asysyari’ah45. Dan tema ini akan dikaji dalam pembahasan selanjutnya.
Dengan demikian politik Islam merupakan salah satu bentuk pengaturan,
pengendalian dan pengarahan kehidupan umat, terkait dengan keharusan moral
dan politis untuk senantiasa mewujudkan keadilan, rahmat dan kemaslahatan yang
berasaskan rambu-rambu syari’ah.
3. Keadilan Dalam Politik Islam.
Terdapat banyak ragam definisi keadilan. Hobbes mengemukakan bahwa
keadilan adalah perjanjian yang dibuat kemudian di ingkari, itulah ketidak adilan.
Demikian Nietshe memahami keadilan sebagai kebenaran yang diakui kuat, Hume
menyatakan keadilan adalah” suatu kebaikan palsu. Stoa berpendapat bahwa
keadialan adalah”, menyamakan semua orang. Hal senada juga diungkapkan Plato
bahwa keadilan adalah, ”mensejajarkan semua orang. Sementara Dewey
mendefinisikan bahwa keadilan adalah: “kebaikan biasanya dianggap kebaikan
yang tidak dapat berubah, bahkan persaingan adalah wajar dan adil dalam
kapitalisme kompetitif individualistic. Dari berbagai pernyataan tersebut diatas
terdapat perbedaan yang cukup mencolok. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
tolak ukur/standar sebagai landasannya. Maka benar apa yang di katakan
Friedman bahwa “adalah kegagalan kegagalan dalam menentukan standar
keadilan yang mutlak kecuali dengan dasar-dasar agama”.46
A.M Syaefuddin mengatakan begitu pentingnya asas keadilan dalam
hukum Islam sehingga termaktub lebih dari seribu kali, dan menempati posisi
terbanyakk ketiga setelah kalimat Allah dan ilmu pengetahuan. Begitu juga
Muhammad Daud Ali menyebutkan asas yang sangat penting dalam hukum Islam
karena itu asas keadilan dapat di katakan sebagai asas semua asas hukum Islam47.
Syari’ah merupakan neraca untuk menimbang semua persoalan moral,
semua masalah tingkah laku baik yang baik maupun yang buruk. Dilain pihak
akal dengan berbagai variasinya memberiikan definisi dan bentuk yang
bertentangan kepada keadilan karena gagalnya mencapai keadilan itu sendiri,
tetapi wahyu dengan standar keadilannya yang mutlak tidak hanya mencapai
tetapi juga merupakan sumber yang abadi bagi keadilan.
Keadilam mulak hanya ada dalam syari’ah48. Ia menyatukan hukum
sebagai “adanya” dengan hukum sebagai ”seharusnya”. Artinya hukum tidak
memihak (tidak pandang bulu) dan adanya keharusan untuk menegakkan
45 Umar Chepra, Islam dan Tantangan Ekonomi, 2000, (Jakarta: Gema Insani
Press), hlm. 211.
46 Muslehuddin, Op.cit. hlm 79.
47 Muhammad Alim, hlm 315.
48 Q.S.2:17, Q.S. 16:90, Q.S.5: 9

supremasi hukum.. Jadi stabilitas dalam hukum. Antara adanya hukum dan
pelaksanaannya adalah menggambarkan tujuan tertinggi hukum yang tidak lain
kecuali adalah keadilan49.
Dalam surat al-Maidah ayat 105, terdapat kata “amanah” menurut Razi,
terdiri atas segala bentuk yang harus dilaksanakan seseorang, dimana yang paling
utama adalah keadilan, fakta keadilah mutlak diketahui hanya oleh Allah 50. Lawan
dari keadilan adalah dzulm misalnya masalah pelanggaran 51, pengertian salah52.
Jadi keadilan adalah kebaikan yang tidak mengandung pelanggaran, kekejaman,
kesalahan maupun dosa53.
Keadilan adalah hak setiap manusia dan menjadi dasar bagi setiap
hubungan individu. Oleh karena itu merupakan hak semua orang untuk meminta
perlindungan kepada penguasa yang sah, dan menjadi kewajiban bagi para
pemimpin atau penguasa untuk menegakkan keadilan dan dan memberiikan
jaminan keamanan yang cukup bagi warganya54.

PENUTUP

49 Ibid, hlm 79.
50 Q.S. 2: 216
51 Q.S. 2: 59, Q.S, 42:41
52 Q.S, 10:46.
53 Ibid, hlm 80-81.
54 Yefrizawati, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam, hlm 7

DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Muhammad Abed. 2001. Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah.
Yokyakarta: Fajar pustaka.
Armas, Adnin. 2003.

Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal.

Jakarta: Gema Insani Press.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2005. Kebebasan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Black,Antony. 2001. pemikiran Politik Islam. Jakarta: Serambi.
H.A. Djazuli. 2003. Fiqih Siyasah. Bandung: Kencana.
Haekal,Muhammad Husain. 2003. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Lentera
Antar Nusa.
Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani Press.
Imarah, Muhammad. 1998. Islam Versus Barat. Jakarta: Rabbani Press.
K Raharjo, Iman Toto dan Soko Sudarso. 2010. Bung Karno Masalah Pertahanan
dan Keamanan. Jakarta: Gramedia Widia Sarana.
Ka’bah, Rifyat. 2005. Politik dan Hukum Dalam al-Qur’an. Jakarta: Khairul
Bayan.
Muhammad, Ali Abdul Mu’ti. 2010. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Muslehuddin, 1991. Filsafat hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. Yokyakarta:
Tiara Wacana.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Sistem Pemerintahan Islam. Bangil: Penerbit AlIzzah.
Qardhawi, Yusuf. 2008. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik. Jakarta:
Pustaka al-kautsar.
______________. 2008. Legalitas Politik Dinamika Perspektif Nash dan AsySyari’ah. Bandung: Pustaka Setia.
Shihab, Muhammad Quraish. 2007. wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Rais, M.Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Sa’fan, Kamil. 2009. Kontroversi Khilafah dan Negara Islam. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Abdul Salim, Mu’in. 1994. Fiqih Siyasah konsepsi kekuasaan Politik Dalam AlQur’an. Jakarta: Rajawali Press.
Salim, M. Arskal. 1998. Etika Intervensi Negara Perspektif Etika Politik Ibnu
Taimiyyah. Jakarta: Logos.
Thomas, Linda dan Shan Waring. 2007. Bahasa Masyarakat dan Kekuasaan.
Yokyakarta: Pustaka Pelajar.