FILSAFAT ILMU PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM

“Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam”
Karya : Dr. ADIAN HUSAINI, et.al
1. Intisari dari buku “Filsafat Ilmu : Perspektif Barat dan Islam”
Bab awal buku ini, “Sekularisasi Ilmu”, Sekularisasi ilmu dimulai dari
filusuf barat bernama Rene Descrates yang memformulasikan sebuah prinsip
“ aku berpikir maka aku ada (Cogito Ergo Sum). Dengan prinsip ini,
descrates telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur
kebenaran atau sumber ilmu. Bab ini menyinggung filsafat pada zaman PreSocratic hingga revolusi ilmiah saat ini. Dijelaskan pula, Sekularisasi ilmu
juga menghasilkan paham ateisme yang di pelopori oleh Ludwig Feurbach ,
paham ini menganggap prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia.
Dan hal ini telah menyebabkan teologi Kristen telah mengalami pergeseran
paradigm (paradigm shift) .
Bab selanjutnya berisi argument bahwa Filsafat Islam itu”Islami” dari
empat segi : pertama, dari sisi masalah-masalah yang dibahas; kedua, dari
aspek konteks sosio kulturalnya; ketiga, dari sudut faktor-faktor pemicu serta
tujuan-tujuannya; dan keempat, dari kenyataan bahwa para pelakunya hidup
dibawah naungan kekuasaan Islam. Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi
kelahiran ilmu dalam Islam terbagi kedalam empat periode. Pertama, turunya
wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam. Kedua, lahirnya kesabaran
bahwa wahyu yang turun tersebut mengandung struktur ilmu pegetahuan.
Ketiga, lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam yang ditunjukkan dengan

adanya komunitas ilmuan. Keempat, lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam.
Bab-bab selanjutnya berbicara tentang beberapa konsep ilmu di dalam
Islam. Konsep-konsep ilmu ini membahas ilmu mulai dari definisi, pemetaan,
objek, sumber-sumber ilmu, prinsip-prinsip dasar, epistemologi Islam,
metodologi, adab dan terakhir Islamisasi ilmu pengetahuan. Begitu banyak
definisi ilmu dan tidak sembarang orang bisa mendefinisikannya, seorang
bernama Plato sampai pada definisi sebagai berikut : “Ilmu adalah keyakinan

sejati yang dibenarkan”. Dalam hal ini kita dapat memecahnya menjadi :
keyakinan, kebenaran, dan nalar. Hal-hal ini adalah tiga syarat yang harus
dipenuhi untuk proposisi apa pun agar memenuhi syarat sebagai ilmu. Objek
ilmu dalam Islam tidak semata-semata berkaitan dengan objek fisik atau yang
tampak pada indera dan pikiran manusia, namun ia mencakup objek fisik
(‘alam al-sahadah) dan metafisik (‘alam al-ghayb).
Sumber-sumber ilmu dalam epistimologi islam terdiri dari : 1). Wahyu
berupa al-Qur’an dan hadits Rasulullah 2) akal (‘aql) dan kalbu (qalb), dan
3) indra. Dalam bab “Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam” misalnya,
Dr. Syamsuddin Arif menekankan bahwa perlunya sikap kritis dan hati-hati
seorang muslim dalam mengambil sumber ilmu. Dengan kata lain, ilmu harus
dicari dari sumber yang otoritatif yang memiliki pandangan hidup Islam.

Metodelogi ilmiah dalam islam adalah sesuatu yang menjadi keperluan
utama para sarjana dalam mengkaji dan mengetahui agama lain. Metodelogi
yang mapan diambil dari ilmu hadist, ilmu ushul al-fiqh, dan tafsir. Dalam
buku ini Ilmu dan adab dalam islam adalah dua hal yang saling berintegrasi,
yang saling menguatkan satu sama lainnya. Keduanya ibarat koin yang tak
terpisahkan dan kebermaknaan yang satu tergantung pada yang lainnya. Ilmu
tanpa adab ibarat pohon tanpa buah, adab tanpa ilmu ibarat orang yang
berjalan tanpa petunjuk arah. Dengan demikian, ilmu dan adab harus
bersinergi, tidak boleh dipisah-pisahkan. Dalam pendidikan Islam, tujuan
pendidikan hakikatnya adalah membentuk manusia yang beradab, dan di
Indonesia, konsep ini sebenarnya adalah bagian dari pilar bangsa, yaitu dalam
sila kedua Pancasila.
Dijelaskan di dalam bagian bab yang terakhir, islamisasi ilmu banyak
dikemukakan oleh berbagai pakar pendidikan Islam, seperti Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Ismail Raji Al-Faruqi, Seyyed Hossein Nasr, Ja’far Syekh
idris, hingga Ziauddin Sardar. Kelimanya sama-sama mengkritisi tentang
sekularisasi ilmu pengetahuan yang tanpa melihat kondisi kaum muslim.
Pengkriitisi pertama adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang
kemudian diikuti oleh pakar-pakar ilmu pendidikan yang lainnya.


2. Garis Besar Isi Buku dan Opini Pembaca Tentang Buku.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan peradaban barat telah banyak
menghasilkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang bermanfaat bagi
manusia, akan tetapi dibalik keberhasilan itu peradaban barat juga banyak
menghasilkan bencana, baik kepada manusia, alam maupun etika. Beberapa
penyebab dari bencana itu adalah Ilmu yang berkembang di dunia barat
berdasarkan pada rasio pancaindra, jauh dari wahyu dan tuntutan ilahi. Salah
satu contoh dalam buku ini yang menunjukkan kejamnya peradaban ini
adalah praktek vivisection dalam dunia kedokteran. praktek vivisection ini
dikenal dengan praktek memotong hidup-hidup, yaitu cara cara menyiksa
hewan hidup karena dorongan bisnis untuk menguji obat-obatan agar dapat
mengurangi daftar panjang segala jenis penyakit manusia.Daftar kerusakan
tersebut tentunya masih banyak, sehingga ilmu pengetahuan yang terbaratkan
itu (westernized ) harus dikembalikan ke tujuan semula , sebagimana islam
turun ke bumi untuk membawa rahmat bagi alam. Dan disinilah Islamisasi
ilmu pngetahuan muncul untuk membenahi kerusakan-kerusakan ilmu
pengetahuan dalam peradaban barat itu.
Bab awal buku ini adalah “Sekularisasi Ilmu”, Bab ini menyinggung
filsafat pada zaman Pre-Socratic hingga revolusi ilmiah saat ini. Dijelaskan
pula, terjadinya sekularisasi dan westernisasi ilmu yang mengandalkan rasio

dalam mengukur kebenaran. Tidak hanya itu Sekularisasi ilmu juga
menghasilkan paham ateisme yang di pelopori oleh Ludwig Feurbach
Bab-bab selanjutnya berbincang tentang konsep ilmu di dalam Islam.
Tiap-tiapnya membahas definisi, pemetaan metodologi, dan epistemologi
Islam, prinsip-prinsip, adab dan Islamisasi ilmu. Dalam bab Epistimologi
islam mengakui empat sumber ilmu sekaligus, yaitu indera, akal, intuisi dan
wahyu. Masing-masing sumber tersebut memilki kadar kemampuan yang
berbeda sehingga mereka tidak bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara
proporsional. Secara operasional, pengembangan epistimologi islam telah
dikenalkan dan diaplikasikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, melalui
perumusan konsep worldview Islam yang selanjutnya diturunkan dalam
bentuk rumusan-rumusan epistimologis.

Dalam bab “Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam” misalnya, Dr.
Syamsuddin Arif menekankan bahwa perlunya sikap kritis dan kehati-hatian
seorang

muslim

dalam


mengambil

sumber

ilmu

dengan

melakukan .screening atau check and recheck.
Ilmu dan adab dalam Islam juga menjadi salah satu isu penting dalam
buku ini, karena dalam konsep Islam, ilmu dan adab tidak bisa dipisahkan.
Berilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa buah (dimurkai), sementara beradab
tanpa ilmu ibarat orang yang berjalan tanpa petunjuk arah (kesesatan).
Yang menarik dari buku ini terletak pada bagian akhir bab, dimana
pada bagian akhir tersebut buku ini menjelaskan tentang islamisasi ilmu
pengetahuan. Sebuah paparan yang memberikan penjelasan tentang proses
dilakukannya islamisasi ilmu pengetahuan, dari sebuah keadaan ilmu yang
hakikatnnya sudah menyimpang dari tujuan awalnya. Dijelaskan di dalam
bagian ini, islamisasi ilmu telah banyak dikemukakan oleh berbagai pakar

pendidikan Islam, diantaranya seperti Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
Ismail Raaji Al-Faruqi, Seyyed Hossein Nasr, Ja’far Syekh idris, hingga
Ziauddin Sardar. Kelima pakar pendidikan ini sepakat mengkritisi sekularisasi
pengetahuan, dimana pengkritisian tersebut pertama kali di cetuskan oleh
Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Hal yang menarik adalah, di antara
kelima tokoh tersebut, Syed Hussein Nasr tampaknya agak menyimpang dari
konsep Islamisasi Ilmu. Ia mengajukan Sains Sakral sebagai solusi
sekularisasi ilmu. Sains sakral bisa dikatakan sebagai manifestasi darii filsafat
perennial.

Dan karena tidak sesuai dengan pemikiran islam, gagasan

perennial ini mendapat kritik yang tajam dari Al-Attas.
Dari apa yang sudah dipaparkan diatas sedikit banyak pembaca
mengambil anggapan bahwa buku Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam
karya Dr. Adian Husaini, et. al. ini masih cukup ringan untuk dibaca. Berisi
seperti kumpulan-kumpulan makalah sebanyak 12 bab dengan 8 penulis yang
kompeten dibidangnya, membuat buku ini dapat dijadikan rujukan dalam
menjawab pertanyaan yang muncul dalam filsafat ilmu perspektif barat
maupun Islam. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang mengalami islamisasi

dirasa cukup memberikan asupan kepada membaca untuk menyelami filsafat

ilmu barat maupun islam lebih dalam lagi. Yang disayangkan dalam buku
ini,tidak semua bab dalam buku ini yang mencantumkan penutup dari bab
tersebut, masih ada sebagian bab yang tidak ada penutup atau kesimpulannya.
Tetapi hal tersebut tentu saja tidak membuat buku ini menjadi kurang nikmat
dan bermanfaat.
3. Pertanyaan Lanjutan
a. Mengapa hanya kabar sadiq yang diakui sebagai sumber ilmu?
b. Mengapa tidak semua informasi bisa dan atau harus di terima?
c. Lantas kapan suatu proposisi, statement, informasi, pernyataan, ucapan,
pengakuan, kesaksian, kabar, mesti ditolak?
d. Apa patokan dan ukurannya?