ANALISIS PENGARUH INFLASI IHSG DAN JUMLA
ANALISIS PENGARUH INFLASI, IHSG DAN JUMLAH UANG
BEREDAR TERHADAP PERTUMBUHAN SUKUK KORPORASI PADA
PASAR MODAL SYARIAH DI INDONESIA
Rizka Hendriyani
Manajemen Keuangan Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract
Indonesia is one of the countries with the largest Muslim population in the
world. This potential should be a big market for the banking industry or other
Islamic financial institutions. One of the sharia financial industry that has
developed long enough is the sharia capital market industry which has three kinds
of products issued, namely sharia mutual funds, sharia shares, and Islamic bonds
(sukuk). Corporate sukuk is one of the instruments in sharia capital market as an
alternative financing for the company. However, the growth of corporate sukuk
fairly quite slow when compared with sukuk that issued by states also bonds that
issued by corporations or countries. One of the factors that influence the growth
of corporate sukuk is macroeconomic. The purpose of this study is to analyze the
effect of inflation, Indonesian Composite Index (IHSG) and money supply (M2) to
the value of corporate sukuk using the model of Regression Analysis. The type of
data taken time series from January 2014 to October 2015. The results of
empirical studies have found that inflation doesn’t have a significant influence to
the value of corporate sukuk, but in the other hand IHSG and M2 have significant
influence to the value of corporate sukuk.
Keywords : Macroeconomic, Corporate Sukuk, Sharia Capital Market.
1.
PENDAHULUAN
Pasar modal memiliki peran besar bagi perekonomian suatu negara karena
pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus, fungsi ekonomi dan keuangan.
Dengan adanya pasar modal diharapkan aktivitas perekonomian dapat meningkat
karena pasar modal merupakan alternatif pendanaan bagi perusahaan-perusahaan
sehingga perusahaan dapat beroperasi dengan skala yang lebih besar dan pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahaan dan kemakmuran
masyarakat luas (Tjiptono dan Hendy, 2001: 2).
Pasar modal terbagi menjadi pasar modal konvensional dan pasar modal
syariah. Salah satu instrumen yang dapat digunakan perusahaan untuk
memperoleh dana ialah dengan sukuk. Sukuk merupakan salah satu instrumen
dari pasar modal syariah. Sukuk adalah sebuah produk diperuntukkan
menghimpun dana dari investor dengan menggunakan underlying asset yang
dapat berupa ijarah (sewa), mudharabah (bagi-hasil), musyarakah, atau yang
lainnya (Nurul dan Mustafa, 2008: 140).
Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia mempunyai
pasar yang sangat besar bagi perkembangan pasar modal syariah khususnya sukuk.
Sehingga apabila perusahaan menerbitkan sukuk maka perusahaan memiliki
potensi pasar yang lebih luas karena mempunyai peluang mendapatkan investor
muslim maupun konvensional. Dengan banyaknya jumlah sukuk yang diterbitkan
perusahaan maka perusahaan dapat meningkatkan produktivitas dan memperluas
usahanya yang berimbas pada peningkatan pendapatan perusahaan dan
kemakmuran masyarakat luas, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan
pasar industri keuangan syariah akan semakin besar karena efek dari peningkatan
penerbitan sukuk.
Secara umum sukuk telah berkembang dengan baik di Indonesia. Pada tahun
2002, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002
tentang obligasi syariah atau sukuk. Obligasi syariah atau sukuk adalah suatu surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh
emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Pengembangan sukuk tersebut didorong oleh inisiasi sektor swasta. Diawali
penerbitan sukuk mudārabah pada tahun 2002 oleh Indosat dengan nilai 175
miliar. Pada akhir Desember 2010, telah mencapai 47 penerbit sukuk dengan nilai
emisi total 7.815 miliar. Hingga Oktober 2015 jumlah nilai emisi sukuk sudah
mencapai 14.483,40 miliar dengan jumlah series sebanyak 80 sukuk.
Gambar 1.1. Perkembangan Sukuk Korporasi Tahun 2010-Okt 2015
Sumber: Statistik Pasar Modal OJK, 2017
Namun pertumbuhan sukuk korporasi masih lambat bila dibandingkan
dengan obligasi, sukuk berharga syariah negara (SBSN), dan surat utang negara
(SUN). Anggota Dewan Syariah Nasional dan Praktisi Ekonomi Syariah
Gunawan Yasni mengakui bahwa sukuk korporasi memang stagnan. Berbeda
dengan sukuk negara yang tumbuh cukup baik bahkan lebih baik dari Malaysia
(Republika).
Kegiatan investasi yang merupakan bagian dari kegiatan perekonomian
memerlukan iklim yang kondusif. Iklim investasi kondusif cenderung dikaitkan
dengan perbaikan kondisi makroekonomi dalam negeri. Sehingga apabila kondisi
makroekonomi baik maka akan berdampak pada kegiatan investasi menjadi
positif (Antonio, Hafidhoh & Fauzi, 2013).
Pertumbuhan nilai sukuk terjadi bukan tanpa sebab. Dengan kata lain
pertumbuhan sukuk ini ditentukan dan dipengaruhi oleh variabel-variabel
makroekonomi. Banyak penelitian yang mengkaji kaitannya dengan stabilitas
makroekonomi. Oleh karena itu penulis juga tertarik untuk meneliti dan
menganalisis pengaruh indikator variabel makroekonomi yang terdiri dari Inflasi,
IHSG, dan Jumlah Uang Beredar terhadap pertumbuhan sukuk korporasi.
2. LANDASAN TEORI
2.1. Sukuk
Istilah sukuk atau obligasi syariah sudah dikenal sejak abad pertengahan,
dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan Internasional.
Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk. Ia digunakan oleh para pedagang
pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang
timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya (Mochammad,
2008: 342).
Sukuk dapat juga disebut sebagai obligasi syariah adalah surat berharga
sebagai instrumen investasi yang diterbitkan berdasar suatu transaksi atau akad
syariah yang melandasinya (underlying transaction), yang dapar berupa ijarah
(sewa), mudharabah (bagi-hasil), musyarakah, atau yang lain (Nurul dan
Mustafa, 2007: 139).
2.2. Sukuk Korporasi
Sebagaimana definisi di atas, sukuk adalah surat bukti kepemilikan
terhadap suatu aset/proyek tertentu. Sukuk tidak hanya digunakan oleh
pemerintah sebagai salah satu cara mengurangi defisit APBN atau memperoleh
dana untuk menyelesaikan suatu proyek. Sukuk juga digunakan oleh perusahaan
atau korporasi sebagai salah satu bentuk pembiayaan dan diversifikasi portofolio
aset korporasi atau untuk mencari dana dalam bentuk pasiva (Abdul, 2017: 196).
2.3. Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya hargaharga secara umum dan terus-menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme
pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi
masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu
konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya
ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan
proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu (Wikipedia).
Inflasi merupakan risiko yang paling ditakuti oleh pemegang
obligasi/sukuk karena inflasi akan menurunkan ukuran bunga dan keuntungan
sebagaimana yang ditetapkan di awal perjanjian. Turunnya nilai mata uang akan
melibatkan pembeli kareena ia akan kehilangan uang sebanyak yang dibayarkan
untuk membeli obligasi (Hulwati, 2006: 153).
2.4. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Indeks saham adalah harga saham yang dinyatakan dalam angka indeks.
Indeks saham digunakan untuk tujuan analisis dan menghindari dampak negatif
dari penggunaan harga saham dalam rupiah. Sedangkan Indeks harga saham
adalah indikator atau cerminan pergerakan harga saham. Indeks merupakan
salah satu pedoman bagi investor untuk melakukan investasi di pasar modal,
khususnya saham (Muhammad, 2006).
Jika IHSG rata-rata mengalami peningkatan, maka menggambarkan
kondisi perekonomian Indonesia sedang membaik. Sedangkan penurunan nilai
IHSG menggambarkan kondisi perekonomian sedang memburuk, meskipun
terkadang teori tersebut tidak selalu pasti atau sama. (Basyariah, 2014).
2.5. Jumlah Uang Beredar (M2)
Uang beredar dapat didefinisikan dalam arti sempit (M1) dan dalam arti
luas (M2). M1 meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral
(giro berdenominasi Rupiah), sedangkan M2 meliputi M1, uang kuasi
(mencakup tabungan, simpanan berjangka dalam rupiah dan valas, serta giro
dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter
yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan
satu tahun (Bank Indonesia).
Dalam efek substitusi atau substitution effect, semakin banyak uang yang
diterima seseorang, akan semakin besar hasrat orang tersebut untuk menukarkan
uangnya dengan barang dan jasa yang dapat memberi nilai tambah kegunaan
yang lebih besar. Dalam skala yang luas, dalil ini juga berlaku di pasar.
Penambahan jumlah uang beredar di pasar, akan meningkatkan hasrat
masyarakat menukarkan uangnya ke dalam bentuk lain yang memberi nilai
tambah, seperti barang dan jasa. Kecenderungan demikian akan mempengaruhi
sektor riil, berupa peningkatan produksi dan kegiatan investasi yang semakin
meluas (Aulia, 2008: 6).
3. METODOLOGI
3.1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dimana data yang
digunakan ialah data sekunder berupa data deret waktu bulanan (time series) dari
bulan Januari 2014 sampai Oktober 2015. Data Jumlah Uang Beredar (M2) dan
Inflasi diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan IHSG diperoleh dari
Yahoo Finance. Dan data Jumlah Nilai Emisi Sukuk Korporasi didapat dari
Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
3.2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah berupa studi
dokumentasi, dimana data-data diperoleh dari situs resmi yang dipublikasikan
oleh Yahoo Finance, BPS dan OJK. Dalam penelitian ini metode analisis yang
digunakan ialah metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan model Regresi
Linear Berganda dan data-data pada penelitian ini akan diolah dengan
menggunakan perangkat lunak (software) SPSS.
3.3. Operasional Variabel Penelitian
Di dalam penelitian ini terdapat tiga variabel independen, yaitu: Inflasi,
IHSG dan Jumlah Uang Beredar (M2). Sedangkan variabel dependen dalam
penelitian ini adalah pertumbuhan sukuk korporasi dimana dalam penelitian ini
pertumbuhan sukuk korporasi dapat dilihat dari total keseluruhan jumlah nilai
emisi sukuk korporasi di Indonesia.
3.4. Perumusan Model
Dalam analisa ini digunakan rumus regresi berganda sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4
Keterangan:
Y
= Nilai Emisi Sukuk
a
= Kostanta
b1-b3 = Koefisien Regresi
x1
= Inflasi
x2
= IHSG
x3
= M2 (Jumlah Uang Beredar)
4.
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode regresi linier
berganda. Untuk mendapatkan model yang tepat, maka regresi linier berganda
tersebut harus bebas dari masalah asumsi klasik.
4.1. Uji Asumsi Klasik
4.1.1. Uji Normalitas
Syarat dari suatu data dapat dikatakan terdistribusi normal adalah apabila
nilai Assymp. Sig. lebih besar dari 0,05.
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N
22
Normal
Parametersa
Mean
.0000000
Most Extreme
Differences
Absolute
.122
Positive
.122
Negative
-.111
Std. Deviation
2.10807897E2
Kolmogorov-Smirnov Z
.570
Asymp. Sig. (2-tailed)
.901
a. Test distribution is Normal.
Dari hasil pengujian statistik Kolmogorov-Smirnov dapat dilihat bahwa
niali Assymp. Sig. (2-tailed) berada diatas 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa
data pada penelitian terdistribusi normal.
4.1.2. Uji Autokorelasi
Pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai Assymp. Sig. yaitu harus
lebih besar dari 0,05, maka kesimpulannya pada data tidak terjadi autokorelasi.
Tabel 2. Hasil Uji Autokorelasi
Runs Test
Unstandardized
Residual
Test Valuea
-21.05769
Cases < Test Value
11
Cases >= Test Value
11
Total Cases
22
Number of Runs
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Median
9
-1.092
.275
Dari hasil pengujian autokorelasi menggunakan Run test menunjukkan
bahwa nilai Assymp. Sig. yang diperoleh berada di atas 0,05. Maka dapat
disimpulkan bahwa pada data tidak terjadi autokorelasi.
4.1.3. Uji Multikolinearitas
Salah satu cara mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah dengan
melihat nilai Tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor ). Syarat dari lulus uji
multokolinearitas nilai Tolerance harus ≥ 0,10 dan nilai VIF harus ≤ 10.
Tabel 3. Hasil Uji Multikolinearitas
Coefficientsa
Unstandardized
Coefficients
Model
B
1 (Constant)
Standardized
Coefficients
Std. Error
Collinearity
Statistics
Beta
t
Sig. Tolerance
VIF
3253.494
1156.097
2.814 .011
53.460
44.792
.066 1.194 .248
.886 1.128
Ihsg
-.748
.155
-.268 -4.824 .000
.886 1.129
m2
.003
.000
.936 17.864 .000
.999 1.001
Inflasi
a. Dependent Variable: nilai_emisi
Dari uji multikolinearitas dapat dilihat bahwa nilai Tolerance semua
variable > 0,10 dan nilai VIF semua variable < 10. Hal ini menunjukkan bahwa
pada model regresi tidak terjadi multikolinearitas.
4.1.4. Uji Heteroskedastisitas
Model dikatakan bebas dari heteroskedastisitas jika t-hitung < t-tabel
dengan tingkat signifikansi di atas 0,05.
Tabel 4. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Coefficientsa
Unstandardized
Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Standardized
Coefficients
Std. Error
-332.309
696.239
11.747
26.975
ihsg
-.073
m2
.000
inflasi
a. Dependent Variable: abs_res1
Beta
t
Sig.
-.477
.639
.098
.435
.668
.093
-.176
-.778
.446
.000
.370
1.740
.099
Hasil dari pengujian heteroskedastisitas dengan uji glesjer menunjukkan
bahwa nilai signifikansi semua variable independen berada di atas 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa pada model regresi tidak terdapat heteroskedastisitas.
4.2.Uji Hipotesis
4.2.1. Uji F
Kriteria dari uji F adalah nilai F-hitung > F-tabel atau nilai probabilitas
signifikansinya
BEREDAR TERHADAP PERTUMBUHAN SUKUK KORPORASI PADA
PASAR MODAL SYARIAH DI INDONESIA
Rizka Hendriyani
Manajemen Keuangan Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract
Indonesia is one of the countries with the largest Muslim population in the
world. This potential should be a big market for the banking industry or other
Islamic financial institutions. One of the sharia financial industry that has
developed long enough is the sharia capital market industry which has three kinds
of products issued, namely sharia mutual funds, sharia shares, and Islamic bonds
(sukuk). Corporate sukuk is one of the instruments in sharia capital market as an
alternative financing for the company. However, the growth of corporate sukuk
fairly quite slow when compared with sukuk that issued by states also bonds that
issued by corporations or countries. One of the factors that influence the growth
of corporate sukuk is macroeconomic. The purpose of this study is to analyze the
effect of inflation, Indonesian Composite Index (IHSG) and money supply (M2) to
the value of corporate sukuk using the model of Regression Analysis. The type of
data taken time series from January 2014 to October 2015. The results of
empirical studies have found that inflation doesn’t have a significant influence to
the value of corporate sukuk, but in the other hand IHSG and M2 have significant
influence to the value of corporate sukuk.
Keywords : Macroeconomic, Corporate Sukuk, Sharia Capital Market.
1.
PENDAHULUAN
Pasar modal memiliki peran besar bagi perekonomian suatu negara karena
pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus, fungsi ekonomi dan keuangan.
Dengan adanya pasar modal diharapkan aktivitas perekonomian dapat meningkat
karena pasar modal merupakan alternatif pendanaan bagi perusahaan-perusahaan
sehingga perusahaan dapat beroperasi dengan skala yang lebih besar dan pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahaan dan kemakmuran
masyarakat luas (Tjiptono dan Hendy, 2001: 2).
Pasar modal terbagi menjadi pasar modal konvensional dan pasar modal
syariah. Salah satu instrumen yang dapat digunakan perusahaan untuk
memperoleh dana ialah dengan sukuk. Sukuk merupakan salah satu instrumen
dari pasar modal syariah. Sukuk adalah sebuah produk diperuntukkan
menghimpun dana dari investor dengan menggunakan underlying asset yang
dapat berupa ijarah (sewa), mudharabah (bagi-hasil), musyarakah, atau yang
lainnya (Nurul dan Mustafa, 2008: 140).
Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia mempunyai
pasar yang sangat besar bagi perkembangan pasar modal syariah khususnya sukuk.
Sehingga apabila perusahaan menerbitkan sukuk maka perusahaan memiliki
potensi pasar yang lebih luas karena mempunyai peluang mendapatkan investor
muslim maupun konvensional. Dengan banyaknya jumlah sukuk yang diterbitkan
perusahaan maka perusahaan dapat meningkatkan produktivitas dan memperluas
usahanya yang berimbas pada peningkatan pendapatan perusahaan dan
kemakmuran masyarakat luas, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan
pasar industri keuangan syariah akan semakin besar karena efek dari peningkatan
penerbitan sukuk.
Secara umum sukuk telah berkembang dengan baik di Indonesia. Pada tahun
2002, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002
tentang obligasi syariah atau sukuk. Obligasi syariah atau sukuk adalah suatu surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh
emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Pengembangan sukuk tersebut didorong oleh inisiasi sektor swasta. Diawali
penerbitan sukuk mudārabah pada tahun 2002 oleh Indosat dengan nilai 175
miliar. Pada akhir Desember 2010, telah mencapai 47 penerbit sukuk dengan nilai
emisi total 7.815 miliar. Hingga Oktober 2015 jumlah nilai emisi sukuk sudah
mencapai 14.483,40 miliar dengan jumlah series sebanyak 80 sukuk.
Gambar 1.1. Perkembangan Sukuk Korporasi Tahun 2010-Okt 2015
Sumber: Statistik Pasar Modal OJK, 2017
Namun pertumbuhan sukuk korporasi masih lambat bila dibandingkan
dengan obligasi, sukuk berharga syariah negara (SBSN), dan surat utang negara
(SUN). Anggota Dewan Syariah Nasional dan Praktisi Ekonomi Syariah
Gunawan Yasni mengakui bahwa sukuk korporasi memang stagnan. Berbeda
dengan sukuk negara yang tumbuh cukup baik bahkan lebih baik dari Malaysia
(Republika).
Kegiatan investasi yang merupakan bagian dari kegiatan perekonomian
memerlukan iklim yang kondusif. Iklim investasi kondusif cenderung dikaitkan
dengan perbaikan kondisi makroekonomi dalam negeri. Sehingga apabila kondisi
makroekonomi baik maka akan berdampak pada kegiatan investasi menjadi
positif (Antonio, Hafidhoh & Fauzi, 2013).
Pertumbuhan nilai sukuk terjadi bukan tanpa sebab. Dengan kata lain
pertumbuhan sukuk ini ditentukan dan dipengaruhi oleh variabel-variabel
makroekonomi. Banyak penelitian yang mengkaji kaitannya dengan stabilitas
makroekonomi. Oleh karena itu penulis juga tertarik untuk meneliti dan
menganalisis pengaruh indikator variabel makroekonomi yang terdiri dari Inflasi,
IHSG, dan Jumlah Uang Beredar terhadap pertumbuhan sukuk korporasi.
2. LANDASAN TEORI
2.1. Sukuk
Istilah sukuk atau obligasi syariah sudah dikenal sejak abad pertengahan,
dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan Internasional.
Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk. Ia digunakan oleh para pedagang
pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang
timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya (Mochammad,
2008: 342).
Sukuk dapat juga disebut sebagai obligasi syariah adalah surat berharga
sebagai instrumen investasi yang diterbitkan berdasar suatu transaksi atau akad
syariah yang melandasinya (underlying transaction), yang dapar berupa ijarah
(sewa), mudharabah (bagi-hasil), musyarakah, atau yang lain (Nurul dan
Mustafa, 2007: 139).
2.2. Sukuk Korporasi
Sebagaimana definisi di atas, sukuk adalah surat bukti kepemilikan
terhadap suatu aset/proyek tertentu. Sukuk tidak hanya digunakan oleh
pemerintah sebagai salah satu cara mengurangi defisit APBN atau memperoleh
dana untuk menyelesaikan suatu proyek. Sukuk juga digunakan oleh perusahaan
atau korporasi sebagai salah satu bentuk pembiayaan dan diversifikasi portofolio
aset korporasi atau untuk mencari dana dalam bentuk pasiva (Abdul, 2017: 196).
2.3. Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya hargaharga secara umum dan terus-menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme
pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi
masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu
konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya
ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan
proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu (Wikipedia).
Inflasi merupakan risiko yang paling ditakuti oleh pemegang
obligasi/sukuk karena inflasi akan menurunkan ukuran bunga dan keuntungan
sebagaimana yang ditetapkan di awal perjanjian. Turunnya nilai mata uang akan
melibatkan pembeli kareena ia akan kehilangan uang sebanyak yang dibayarkan
untuk membeli obligasi (Hulwati, 2006: 153).
2.4. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Indeks saham adalah harga saham yang dinyatakan dalam angka indeks.
Indeks saham digunakan untuk tujuan analisis dan menghindari dampak negatif
dari penggunaan harga saham dalam rupiah. Sedangkan Indeks harga saham
adalah indikator atau cerminan pergerakan harga saham. Indeks merupakan
salah satu pedoman bagi investor untuk melakukan investasi di pasar modal,
khususnya saham (Muhammad, 2006).
Jika IHSG rata-rata mengalami peningkatan, maka menggambarkan
kondisi perekonomian Indonesia sedang membaik. Sedangkan penurunan nilai
IHSG menggambarkan kondisi perekonomian sedang memburuk, meskipun
terkadang teori tersebut tidak selalu pasti atau sama. (Basyariah, 2014).
2.5. Jumlah Uang Beredar (M2)
Uang beredar dapat didefinisikan dalam arti sempit (M1) dan dalam arti
luas (M2). M1 meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral
(giro berdenominasi Rupiah), sedangkan M2 meliputi M1, uang kuasi
(mencakup tabungan, simpanan berjangka dalam rupiah dan valas, serta giro
dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter
yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan
satu tahun (Bank Indonesia).
Dalam efek substitusi atau substitution effect, semakin banyak uang yang
diterima seseorang, akan semakin besar hasrat orang tersebut untuk menukarkan
uangnya dengan barang dan jasa yang dapat memberi nilai tambah kegunaan
yang lebih besar. Dalam skala yang luas, dalil ini juga berlaku di pasar.
Penambahan jumlah uang beredar di pasar, akan meningkatkan hasrat
masyarakat menukarkan uangnya ke dalam bentuk lain yang memberi nilai
tambah, seperti barang dan jasa. Kecenderungan demikian akan mempengaruhi
sektor riil, berupa peningkatan produksi dan kegiatan investasi yang semakin
meluas (Aulia, 2008: 6).
3. METODOLOGI
3.1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dimana data yang
digunakan ialah data sekunder berupa data deret waktu bulanan (time series) dari
bulan Januari 2014 sampai Oktober 2015. Data Jumlah Uang Beredar (M2) dan
Inflasi diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan IHSG diperoleh dari
Yahoo Finance. Dan data Jumlah Nilai Emisi Sukuk Korporasi didapat dari
Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
3.2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah berupa studi
dokumentasi, dimana data-data diperoleh dari situs resmi yang dipublikasikan
oleh Yahoo Finance, BPS dan OJK. Dalam penelitian ini metode analisis yang
digunakan ialah metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan model Regresi
Linear Berganda dan data-data pada penelitian ini akan diolah dengan
menggunakan perangkat lunak (software) SPSS.
3.3. Operasional Variabel Penelitian
Di dalam penelitian ini terdapat tiga variabel independen, yaitu: Inflasi,
IHSG dan Jumlah Uang Beredar (M2). Sedangkan variabel dependen dalam
penelitian ini adalah pertumbuhan sukuk korporasi dimana dalam penelitian ini
pertumbuhan sukuk korporasi dapat dilihat dari total keseluruhan jumlah nilai
emisi sukuk korporasi di Indonesia.
3.4. Perumusan Model
Dalam analisa ini digunakan rumus regresi berganda sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4
Keterangan:
Y
= Nilai Emisi Sukuk
a
= Kostanta
b1-b3 = Koefisien Regresi
x1
= Inflasi
x2
= IHSG
x3
= M2 (Jumlah Uang Beredar)
4.
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode regresi linier
berganda. Untuk mendapatkan model yang tepat, maka regresi linier berganda
tersebut harus bebas dari masalah asumsi klasik.
4.1. Uji Asumsi Klasik
4.1.1. Uji Normalitas
Syarat dari suatu data dapat dikatakan terdistribusi normal adalah apabila
nilai Assymp. Sig. lebih besar dari 0,05.
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N
22
Normal
Parametersa
Mean
.0000000
Most Extreme
Differences
Absolute
.122
Positive
.122
Negative
-.111
Std. Deviation
2.10807897E2
Kolmogorov-Smirnov Z
.570
Asymp. Sig. (2-tailed)
.901
a. Test distribution is Normal.
Dari hasil pengujian statistik Kolmogorov-Smirnov dapat dilihat bahwa
niali Assymp. Sig. (2-tailed) berada diatas 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa
data pada penelitian terdistribusi normal.
4.1.2. Uji Autokorelasi
Pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai Assymp. Sig. yaitu harus
lebih besar dari 0,05, maka kesimpulannya pada data tidak terjadi autokorelasi.
Tabel 2. Hasil Uji Autokorelasi
Runs Test
Unstandardized
Residual
Test Valuea
-21.05769
Cases < Test Value
11
Cases >= Test Value
11
Total Cases
22
Number of Runs
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Median
9
-1.092
.275
Dari hasil pengujian autokorelasi menggunakan Run test menunjukkan
bahwa nilai Assymp. Sig. yang diperoleh berada di atas 0,05. Maka dapat
disimpulkan bahwa pada data tidak terjadi autokorelasi.
4.1.3. Uji Multikolinearitas
Salah satu cara mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah dengan
melihat nilai Tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor ). Syarat dari lulus uji
multokolinearitas nilai Tolerance harus ≥ 0,10 dan nilai VIF harus ≤ 10.
Tabel 3. Hasil Uji Multikolinearitas
Coefficientsa
Unstandardized
Coefficients
Model
B
1 (Constant)
Standardized
Coefficients
Std. Error
Collinearity
Statistics
Beta
t
Sig. Tolerance
VIF
3253.494
1156.097
2.814 .011
53.460
44.792
.066 1.194 .248
.886 1.128
Ihsg
-.748
.155
-.268 -4.824 .000
.886 1.129
m2
.003
.000
.936 17.864 .000
.999 1.001
Inflasi
a. Dependent Variable: nilai_emisi
Dari uji multikolinearitas dapat dilihat bahwa nilai Tolerance semua
variable > 0,10 dan nilai VIF semua variable < 10. Hal ini menunjukkan bahwa
pada model regresi tidak terjadi multikolinearitas.
4.1.4. Uji Heteroskedastisitas
Model dikatakan bebas dari heteroskedastisitas jika t-hitung < t-tabel
dengan tingkat signifikansi di atas 0,05.
Tabel 4. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Coefficientsa
Unstandardized
Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Standardized
Coefficients
Std. Error
-332.309
696.239
11.747
26.975
ihsg
-.073
m2
.000
inflasi
a. Dependent Variable: abs_res1
Beta
t
Sig.
-.477
.639
.098
.435
.668
.093
-.176
-.778
.446
.000
.370
1.740
.099
Hasil dari pengujian heteroskedastisitas dengan uji glesjer menunjukkan
bahwa nilai signifikansi semua variable independen berada di atas 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa pada model regresi tidak terdapat heteroskedastisitas.
4.2.Uji Hipotesis
4.2.1. Uji F
Kriteria dari uji F adalah nilai F-hitung > F-tabel atau nilai probabilitas
signifikansinya