Hubungan Modified Graeb Score Dengan Kematian Dalam 14 Hari Pertama Pada Penderita Stroke Perdarahan Intraventrikular
29
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STROKE PERDARAHAN INTRAVENTRIKULAR
2.1.1. Definisi
Stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular (Sacco dkk, 2013).
Stroke hemoragik adalah suatu tanda klinis yang berkembang
cepat akibat disfungsi neurologis yang disebabkan oleh kumpulan
darah setempat pada parenkim otak atau sistem ventrikular yang
tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).
Perdarahan intraventrikular dapat terjadi secara primer atau
berhubungan
dengan
perdarahan
intraserebral,
perdarahan
subarakhnoid maupun cedera otak traumatik. Definisi perdarahan
intraventrikular primer dikemukakan pertama kali oleh Sanders pada
tahun 1881, yaitu terdapatnya darah hanya dalam sistem ventrikular
atau yang berkembang sampai 15mm dari dinding ventrikel, tanpa
adanya ruptur atau laserasi pada dinding ventrikel. (Tucker dkk,
2011;
Giray
dkk,
2009;
Srivastava
dkk,
2014)
Universitas Sumatera Utara
30
Perdarahan
intraventrikular
primer
disebut
juga
sebagai
perdarahan intraserebral non-traumatik yang terbatas pada sistem
ventrikel, sedangkan perdarahan intraventrikular sekunder muncul
akibat perdarahan yang berasal dari parenkim maupun rongga
subarakhnoid yang meluas ke sistem ventrikel (Hameed dkk, 2005;
Tucker dkk, 2011).
2.1.2. Epidemiologi
Berdasarkan data dari National Centre of Health Statistic
(NCHS), prevalensi terjadinya stroke di AS yang berusia ≥ 20 tahun
dilaporkan sebanyak 7.000.000 jiwa per tahun (3,0%). Data yang
diambil dari Centres for Disease Control and Prevention (CDC)
menunjukkan 2,7% laki-laki dan 3,3% wanita yang berusia ≥ 18 tahun
memiliki riwayat stroke, dimana sebesar 2,3% stroke terjadi pada ras
kulit putih non-hispanik, 4,0% pada ras kulit hitam non-hispanik, 1,6%
pada Asian/Pasific islander, 2,6% pada ras hispanis, 6,0% pada
American Indian/Alaska native dan 4,6% ras campuran.
Menurut
data yang diambil dari National Institutes of Neurological Disorders
and Stroke (NINDS) sebanyak 795.000 penduduk mengalami stroke
baik baru maupun berulang setiap tahunnya, 610.000 penduduk
merupakan kasus serangan pertama dan 185.000 merupakan kasus
berulang. Dari keseluruhan jenis stroke, 87% merupakan iskemik,
10% merupakan perdarahan intraserebral dan 3% merupakan
perdarahan subarakhnoid (Roger dkk, 2011).
Universitas Sumatera Utara
31
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan
dilaporkan
sebesar
7
per
mil.
Prevalensi
stroke
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi terdapat di
Sulawesi Utara (10,8%), diikuti D.I Yogyakarta (10,3%), Bangka
Belitung dan DKI Jakarta masing-masing sebesar 9,7 per mil.
Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan
pendidikan rendah (16,5%). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi
dibandingkan di desa (8,2%). Prevalensi stroke lebih tinggi dijumpai
pada masyarakat yang tidak bekerja (11,4%). Prevalensi stroke
berdasarkan diagnosis atau gejala lebih tinggi pada kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing sebesar
13,1 dan 12,6 per mil (Kementrian kesehatan, 2013).
Dari 562 pasien stroke pada 25 RS di Sumatera Utara,
didapatkan jenis kelamin perempuan sebanyak 296 (52,7%) dan lakilaki sebanyak 266 (47,3%). Rerata usia adalah 59 (20–95) tahun.
Sebagian besar pekerjaan pasien adalah ibu rumah tangga sebanyak
200 (35,6%).
Keluhan utama penurunan kesadaran didapati
sebanyak 198 (35,3%), hemiparesis sinistra sebanyak 134 (23,8%)
dan hemiparesis dekstra sebanyak 133 (23,7%). Faktor risiko
hipertensi dilaporkan sebanyak 497 (88,4%), diabetes melitus
sebanyak 155 (27,6%), penyakit jantung sebanyak 98 (17,4%),
dislipidemia sebanyak 161 (28,6%) dan merokok sebanyak 193
(34,3%). Pasien yang mempunyai riwayat stroke sebelumnya
dilaporkan sebanyak 86 (15,3%) dan adanya riwayat stroke keluarga
Universitas Sumatera Utara
32
sebanyak 70 (12,5%). Hasil CT Scan kepala yang menunjukkan
infark dijumpai sebanyak 302 (53,7%), hemoragik sebanyak 152
(27%), infark hemoragik sebanyak 12 (2,1%) dan 96 (17,1%) tidak
menjalani CT Scan kepala. Pada penelitian ini outcome pasien yang
hidup dijumpai sebanyak 470 subjek (83,6%). Hasil outcome dari
penelitian Misbach dkk adalah hidup membaik (59,9%), hidup tidak
membaik (1,6%), hidup memburuk (4,3%), hidup dengan status tak
tercatat (5,1%), meninggal dunia (23,3%) dan tidak ada data/tidak
diketahui (9,7%) (Rambe dkk, 2013).
Perdarahan
intraventrikular
terjadi
pada
30%-50%
kasus
perdarahan intraserebral spontan. Perdarahan intraventrikular primer
merupakan kasus yang jarang dan dilaporkan sebesar 3% dari
semua perdarahan intraserebral spontan (Staykov dkk, 2009;
Hameed dkk, 2005). Sebuah penelitian yang dilakukan di Thailand
didapatkan rata-rata usia penderita perdarahan intraventrikular
adalah 52 ± 24 dengan perbandingan antara wanita : pria adalah 1 :
3 (Chiewvit dkk, 2009).
Stroke perdarahan memiliki morbiditas dan mortalitas tertinggi
pada setiap subtipe stroke. Dari 750.000 kasus stroke di AS, 15%
diantaranya adalah perdarahan intraserebral dan 5% merupakan
perdarahan subarakhnoid. Sekitar 45% merupakan perdarahan
intraserebral spontan dan 25% dari perdarahan subarakhnoid meluas
ke
ventrikel.
Pasien
dengan
perdarahan
intraserebral
dan
Universitas Sumatera Utara
33
perdarahan intraventrikular memiliki tingkat mortalitas sebesar 50%80%. Pasien dengan perdarahan intraventrikular dua kali lebih sering
menyebabkan outcome yang buruk dan hampir tiga kali lebih sering
menyebabkan
kematian
dibandingkan
tanpa
perdarahan
intraventrikular. Perdarahan intraventrikular sekunder menyebabkan
kematian pada 32% sampai 43% kasus (Hinson dkk, 2010; Morgan
dkk, 2013).
Sebuah penelitian
meta-analisis
yang dilakukan di Cina
menyatakan bahwa perdarahan intraventrikular merupakan faktor
risiko yang telah terbukti terhadap buruknya prognosis, dan
mortalitasnya
diperkirakan
mencapai
50%-80%.
Perdarahan
intraventrikular sekunder dan perdarahan supratentorial spontan
memiliki mortalitas dan prognosis buruk rata-rata sebesar 72% dan
86%. Outcome sering diperberat dengan adanya hidrosefalus akut,
efek massa dari darah di ventrikel dan hidrosefalus kronik (Li dkk,
2013).
2.1.3. Faktor Risiko
Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai
faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai faktor risiko yang kuat
terhadap timbulnya stroke. Faktor risiko timbulnya stroke tersebut
diantaranya : (Sjahrir, 2003; Goldstein dkk, 2006)
Universitas Sumatera Utara
34
I. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Ras dan suku bangsa
d. Faktor keturunan
e. Berat badan lahir rendah
II. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Perilaku
1. Merokok
2. Diet tidak sehat : lemak, garam berlebihan, asam urat,
kolesterol, kurang asupan buah
3. Penyalahgunaan alkohol
4.
Obat-obatan
:
narkoba
(kokain),
antikoagulan,
antiplatelet,
amfetamin, pil kontrasepsi
5. Kurang aktifitas gerak
b. Fisiologis
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus
4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan
7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit
Universitas Sumatera Utara
35
perdarahan
8. Kelainan anatomi pembuluh darah
9. Stenosis karotis asimtomatik
Tabel 1. Faktor Risiko Perdarahan Intraventrikular
Faktor Risiko
Frekuensi (%)
Jenis kelamin (pria : wanita)
1,4 : 1
Hipertensi
44-80
Diabetes melitus
8-33
Merokok
8-33
Alkohol
15
Riwayat stroke iskemik
15-17
Penggunaan antiplatelet
8-15
Penggunaan antikoagulan
4
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage
Chapter 46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third
Edition. Cambridge University Press. NewYork.
2.1.4. Etiologi
Etiologi dari perdarahan intraventrikular bervariasi dan pada
beberapa pasien tidak diketahui penyebabnya. Caplan dkk (2009)
menyatakan bahwa perdarahan intraventrikular primer tersering
berasal dari perdarahan akibat hipertensi pada arteri parenkim yang
sangat kecil dari jaringan yang sangat dekat dengan sistem
ventrikular.
Etiologi
lain
yang
mendasari
perdarahan
intraventrikular
diantaranya adalah anomali pembuluh darah serebral, malformasi
pembuluh darah termasuk angioma kavernosa dan aneurisma
serebri yang merupakan penyebab tersering pada usia muda. Pada
orang dewasa, perdarahan intraventrikular disebabkan karena
adanya penyebaran perdarahan akibat hipertensi primer dari struktur
Universitas Sumatera Utara
36
periventrikel. Perdarahan intraventrikular juga dapat terjadi pada
trauma dan tumor yang biasanya melibatkan pleksus koroideus
(Hinson dkk, 2010).
Tabel 2. Etiologi Perdarahan Intraventrikular Primer
Primary Intraventricular Hemorrhage
Head trauma
Insertion/removal of a ventricular catheter
Intraventricular vascular malformation, aneurysm, tumor
Bleeding diasthesis (polycythemia vera, hemophilia C, thrombocytopenia)
Moyamoya disease
Arteritis
Anticoagulation
Dural arteriovenous fistula
Unknown
Secondary Intraventricular Hemorrhage
Extension of intracerebral hematoma or subarachnoid hemorrhage caused by :
Hypertension
Cerebral aneurysm
Head trauma
Arteriovenous malformation
Vasculitis
Coagulation disorder
Hemorrhagic transformation of an ischemic infarct
Tumor
Extension of germinal matrix hematoma (premature infants)
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage Chapter
46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third Edition. Cambridge
University Press. NewYork.
2.1.5. Patofisiologi
Perdarahan intraventrikular primer merupakan perdarahan
yang terbatas pada sistem ventrikuler yang bersumber dari
intraventrikel
atau
lesi
yang
bersebelahan
dengan
ventrikel,
contohnya trauma intraventrikular, aneurisma, malformasi pembuluh
darah dan tumor yang biasanya melibatkan pleksus koroideus.
Sekitar 70% dari perdarahan intraventrikular sekunder terjadi akibat
Universitas Sumatera Utara
37
perluasan
dari
perdarahan
intraparenkim
atau
perdarahan
subarakhnoid ke dalam sistem ventrikel (Hanley dkk, 2009).
Sistem ventrikel otak merupakan low-pressure pathway yang
berfungsi dalam pergerakan cairan serebrospinal. Sistem ini sering
pecah akibat darah yang masuk melalui defek pada dinding arteri
dan
akibat
tindakan
pembedahan
pada
kasus
perdarahan
intraserebral spontan. Defek pada pembuluh darah yang dapat
menyebabkan perdarahan pada otak diantaranya adalah aneurisma,
arteriovenous malformation, small vessel microaneurysm, profil
koagulopati atau peningkatan tekanan darah (Hanley dkk, 2009).
Setelah perdarahan inisial terjadi, tiga risiko utama yang akan
mempengaruhi kejadian selanjutnya yaitu rebleeding, vasokonstriksi
dan hidrosefalus. Sekali dinding luar pembuluh darah yang abnormal
rusak, pembuluh darah ini akan rentan terhadap rebleeding.
Perdarahan kemudian akan mengancam hidup karena terjadi
peningkatan tekanan intrakranial dan sejumlah darah yang terdapat
dalam sistem cairan serebrospinal. Darah dalam sistem ini dapat
menyumbat membran absorbtif dan akan menyebabkan hidrosefalus
serta dilatasi seluruh sistem ventrikular (Caplan, 2009).
2.1.6. Gambaran Klinis
Sindroma klinis perdarahan intraventrikular menyerupai
gejala perdarahan subarakhnoid yaitu nyeri kepala yang mendadak,
kaku kuduk, muntah dan letargi. Pada saat yang sama didapatkan
Universitas Sumatera Utara
38
peningkatan
refleks
dan
respon
plantar
yang
simetris.
Bila
perdarahan terutama terdapat pada satu ventrikel, akan dijumpai
tanda fokal yang asimetris (Caplan, 2009).
klinis
dari
perdarahan
intraventrikular
Beberapa gambaran
yang
sering
dijumpai
diantaranya adalah : (Tabel 3)
Tabel 3. Gambaran Klinis Pada Perdarahan Intraventrikular
Gejala dan Tanda Klinis
Penurunan kesadaran
Mual/muntah
Nyeri kepala
Agitasi
Koma
Kejang
Iritasi meningeal
Defisit nervus kranialis
Hemiparesis
Refleks ekstensor plantar
Refleks tendon dalam yang asimetrIs
Frekuensi (%)
77-92
42-80
69-77
20
20-35
7-23
12-33
8-47
8-33
12-40
27
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage
Chapter 46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third
Edition. Cambridge University Press. NewYork.
Gambaran klinis pada perdarahan intraventrikular dapat
berbeda tergantung dari jumlah perdarahan dan daerah kerusakan
otak disekitarnya. Pada perdarahan intraventrikular yang berat
dijumpai tanda penurunan kesadaran, kejang baik fokal maupun
general dan tanda-tanda kompresi batang otak (Paciaroni dkk, 2012).
2.1.7. Pemeriksaan Diagnostik Pencitraan
Rekomendasi pemeriksaan diagnostik pencitraan menurut
Misbach, dkk (2011) pada pasien dengan kecurigaan stroke adalah
Universitas Sumatera Utara
39
segera melakukan CT Scan kepala (ESO, Class I) atau pilihan
alternatif
dengan
Magnetic
Resonance
Imaging
(MRI)
otak
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence A). Jika ada fasilitas MRI ≥ 1,5
T, gunakan sekuens Diffusion Weighted Imaging (DWI) dan T2weighted gradient echo (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A).
Pemeriksaan CT Scan merupakan strategi utama yang efektif
pada pencitraan pasien stroke akut tetapi tidak sensitif untuk
perdarahan
lama.
Secara
umum,
CT
Scan
kurang
sensitif
dibandingkan MRI, tetapi keduanya sama-sama spesifik untuk
mendeteksi adanya perdarahan atau tidak (Misbach dkk, 2011).
Rekomendasi persyaratan untuk CT Scan kepala pada stroke
akut : (Misbach dkk, 2011)
1. CT Scan kepala tanpa kontras.
2. Peralatan generasi ketiga atau keempat.
3. Ketebalan potongan 5-10 mm, dengan irisan yang terputusputus.
4. Potongan harus dibuat pada bidang oblik untuk mencegah
radiasi ke mata.
Kriteria diagnostik pada CT Scan kepala yang menunjukkan
adanya perdarahan adalah adanya gambaran hiperdens pada
Universitas Sumatera Utara
40
substansia alba atau grisea, dengan atau tanpa terkenanya
permukaan kortikal (40-90 Hounsfield Units) (Misbach dkk, 2011).
Perdarahan intraventrikular pada gambaran CT Scan kepala
(Gambar 1) menunjukkan gambaran hiperdens dalam sistem
ventrikel, bisa juga tampak pelebaran pada sistem ventrikel bila telah
terjadi hidrosefalus (Arboix dkk, 2012)
Gambar 1. Perdarahan Intraventrikular Pada Gambaran CT Scan
Kepala.
Diunduh dari : Arboix, A., Garcia-Eroles, L., Vicens, A., Olivers, M., Masson,
J. 2012. Spontaneous Primary Intraventricular Hemorrhage : Clinical
Features and Early Outcome. ISRN Neurology
Gambar 2. Perdarahan Intraventrikular Pada Gambaran T1 weighted
& T2 weighted MRI Otak.
Diunduh dari : Balachandran, G. 2009. Intraventricular Hemorrhage.
Radiopaedia.org
Universitas Sumatera Utara
41
Kriteria diagnostik perdarahan pada MRI otak dibagi berdasarkan
beberapa kategori : (Tabel 4)
Tabel 4. Kriteria Diagnostik Perdarahan MRI Otak Pada Stroke Akut
KATEGORI
Hiperakut
Akut
Subakut
Kronik
WAKTU
T1 weighted
Jam,
terutama Hipointens
oksihemoglobin
dengan
edema
disekitarnya
Hari,
terutama Hipointens
deoksihemoglobin
dengan
edema
disekitarnya
Minggu, terutama Hiperintens
methemoglobin
Hipointens
Tahun,
hemosiderin
T2 weighted
Hiperintens
Hipointens, dikelilingi oleh
batas hiperintens
Hipointens, subakut dini
dengan lebih dominan
methemoglobin
intraselular, hiperintens,
subakut lanjut dengan
lebih
dominan
methemoglobin
ekstraselular
Hipointens atau batas
hipointens
disekelilingi
kavitas cairan hiperintens
Dikutip dari : Misbach, J., Lamsudin, R., Aliah, A., Basyiruddin A., Suroto., Alfa,
A.Y., dkk. 2011. Guideline Stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Jakarta
2.1.8. Penatalaksanaan
Terapi konvensional perdarahan intraventrikular berpusat pada
tatalaksana
hipertensi
dan
peningkatan
tekanan
intrakranial
bersamaan dengan koreksi koagulopati dan mencegah komplikasi
seperti perdarahan ulang dan hidrosefalus. Apabila tekanan darah
sistolik > 200 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) > 150
mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu dengan pemantauan tekanan
darah setiap 5 menit. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg
Universitas Sumatera Utara
42
atau MAP > 130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda
peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan
intrakranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan
pemantauan tekanan perfusi serebral ≥ 60 mmHg (Misbach dkk,
2011).
Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial meliputi
(Misbach dkk, 2011) :
1. Tinggikan posisi kepala 20o-30o.
2. Posisi pasien hendaklah menghindari penekanan vena
jugular.
2. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik.
3. Hindari hipertermia.
4. Jaga normovolemia.
5. Osmoterapi atas indikasi :
a. Manitol 0,25-0,50 gr/KgBB, selama > 20 menit, diulang
setiap 4-6 jam dengan target ≤310 mOsm/L (AHA/ASA,
Class III, Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya
diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
Universitas Sumatera Utara
43
b. Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1
mg/kgBB i.v.
6. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (PCO2 35-40
mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan
dilakukan tindakan operatif.
7. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi
yang
adekuat
dapat
mengurangi
naiknya
tekanan
intrakranial dengan cara mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction,
buckling ventilator (AHA/ASA, Class III-IV, Level of
evidence C). Agen non-depolarized seperti vencuronium
atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamin dan
blok pada ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class
III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan kritis
tekanan intrakranial
sebaiknya diberikan relaksan otot
sebelum suction atau lidokain sebagai alternatif.
Hidrosefalus akut dapat terjadi setelah hari pertama, namun
lebih sering dalam 7 hari pertama. Dengan insidensi kira-kira 20%
dari kasus. Dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase
eksternal ventrikel), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi
perdarahan ulang atau infeksi (AHA/ASA, Class IV-V, Level of
evidence C). Hidrosefalus kronik perlu dilakukan pengaliran cairan
serebrospinal secara temporer atau permanen seperti pemasangan
Universitas Sumatera Utara
44
ventrikulo peritoneal shunt (AHA/ASA, Class I, level of evidence B)
(Misbach dkk, 2011).
Drainase ekstraventrikel dengan fibrinolisis muncul sebagai
solusi dalam menghilangkan bekuan darah sehingga mencegah
terjadinya komplikasi hidrosefalus dan inflamasi. Penelitian Cloth
Lysis : Evaluating Accelerated Resolution of IVH (CLEAR-IVH) yang
dilakukan pada 100 pasien (placebo, n = 22, mendapatkan terapi, n
= 78), diberikan dosis 0,3 sampai 3mg setiap 8 sampai 12 jam
menunjukkan hasil bahwa pada kelompok yang mendapatkan terapi
recombinant Tissue Plasmingen Activator (rTPA) membantu dalam
terbukanya sistem ventrikular bagian bawah dan sekali bekuan
darah hilang, proses lisis bekuan darah lebih cepat dibandingkan
dengan kelompok placebo. Pada penelitian CLEAR III menunjukkan
bahwa dosis rendah rTPA (1 mg) dapat diberikan secara aman pada
pasien dengan perdarahan intraventrikular dengan bekuan darah
yang stabil dan dapat meningkatkan rata-rata lisis (Hinson dkk,
2010).
Evakuasi secara bedah pada penelitian Surgical Trial in
Intracerebral Hemorrhage (STICH) yang dilakukan pada 902 pasien
yang menunjukkan hasil baik dilaporkan sebesar 31% pada pasien
tanpa perdarahan intraventrikular dan 15% pada pasien dengan
perdarahan
intraventrikular
(p= 25% - ≤ 50% terisi darah, 3 = > 50% - ≤ 75% terisi
darah, 4 = > 75% - 100% terisi darah), ventrikel ke-tiga dan keempat (0 = tidak ada darah, 2 = ≤ 25% - ≤ 50% terisi darah, 4 = > 50
– 100% terisi darah), occipital horn kanan & kiri (0 = tidak ada darah,
1 = ≤ 25% - ≤ 50% terisi darah, 2 = > 50% - 100% terisi darah),
temporal horn kanan & kiri (0 = tidak ada darah, 1 = ≤ 25% - ≤ 50%
terisi darah, 2 = > 50% - 100% terisi darah) dan setiap pelebaran
pada ventrikel masing-masing diberi nilai 1, dengan total nilai adalah
32 (Tabel 6) (Morgan dkk, 2013).
Universitas Sumatera Utara
50
Tabel 6. Penilaian Modified Graeb Score (mGS)
Diunduh dari : Morgan, T., Dawson, J., Spengler, D., Lees, K., Aldrich, C.,
Mishra, N. 2013. The Modified Graeb Score an Enhanced Tool for
Intraventricular Hemorrhge Measurement and Predictor Outcome. Stroke.
44 : 635-641
2.4. Modified Graeb Score dan Kematian Pada Stroke Perdarahan
Intraventrikular
Modified
menentukan
tingkat
berdasarkan
ukuran
perdarahan dan terdapatnya dilatasi pada setiap ventrikel.
mGS
keparahan
Graeb
pada
Score
digunakan
perdarahan
untuk
intraventrikular
merupakan perangkat yang dapat dipercaya dan valid dalam menilai
tingkat keparahan perdarahan intraventrikular. mGS mudah diaplikasikan
dan dapat juga digunakan sebagai monitoring pada penderita perdarahan
intraventrikular yang mendapat terapi trombolitik (Hwang dkk, 2011;
Morgan dkk, 2013).
Terdapatnya perdarahan dalam sistem ventrikel memiliki hubungan
yang signifikan dengan meningkatnya resiko outcome yang buruk (OR =
1,12; 95% CI, 1,05 – 1,19, p = < 0,0001) dan volume perdarahan secara
langsung berkorelasi dengan kemungkinan terjadinya kematian (p =
0,005) (Morgan dkk, 2013; Hwang dkk, 2011).
Universitas Sumatera Utara
51
Menurut Hameed dkk (2005) terdapatnya akumulasi darah pada
semua ventrikel merupakan suatu faktor prognostik yang buruk (RR = 4,3;
95% CI, 1,6 – 11,6, p = 0,025). Perluasan perdarahan ke ruang
intraventrikular berhubungan dengan kematian sebesar 28 (71,8%), p =
0,003) (Chiewwit dkk, 2009).
Akumulasi perdarahan pada sistem ventrikel berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas dalam beberapa cara. Pada fase akut, perluasan
perdarahan pada sistem ventrikel menyebabkan kerusakan pada Reticular
Activating System (RAS) dan thalamus yang menyebabkan penurunan
kesadaran, selain itu bekuan darah yang memblok cairan serebrospinal
menyebabkan hidrosefalus obstruktif. Hal ini merupakan kondisi yang
mengancam jiwa yang menyebabkan semakin berkurangnya perfusi
serebral dan secara potensial berhubungan dengan efek massa dan
edema serebri (Hinson dkk, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Hansen dkk (2016), setiap kenaikan 1
poin dari mGS berhubungan secara signifikan terhadap resiko outcome
yang buruk (mRS ≥ 4, termasuk kematian) (OR = 1,18, 95% CI, 1,10 –
1,25, p = < 0,001). Setiap kenaikan 1 poin mGS berhubungan secara
signifikan terhadap resiko kelangsungan hidup dalam 30 hari (OR = 1,22,
95% CI, 1,15 – 1,28, p = < 0,001).
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di Universitas Padjajaran
Bandung, dari 16 sampel yang diteliti didapatkan bahwa mGS memiliki
hubungan yang signifikan terhadap outcome perdarahan intraventrikular
(R = 0.921, p = 0,000) (Husni dan Arifin, 2013).
Universitas Sumatera Utara
52
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada penelitian
yang dilakukan oleh Staykov dkk (2009) menunjukkan tidak dijumpai
korelasi
yang
signifikan
antara
tingkat
keparahan
perdarahan
intraventrikular yang dinilai dengan Graeb Score atau volume perdarahan
intraventrikular absolut dengan outcome pada hari ke-90 dan 180 (p =
0,18).
Universitas Sumatera Utara
53
2. 5. KERANGKA TEORI
STROKE PERDARAHAN
INTRAVENTRIKULAR
VOLUME PERDARAHAN
mGS dapat digunakan untuk
menilai
perkiraan
volume
perdarahan
intraventrikular
(Morgan, dkk 2013; Husni & Arifin,
2013)
PENATALAKSANAAN
mGS
KONSERVATIF
Graeb score memiliki tingkat akurasi
yang baik dalam memprediksi
outcome (Hwang dkk, 2011)
Setiap
kenaikan
skor
mGS
meningkatkan
12%
terjadinya
outcome buruk (Morgan dkk, 2013)
P ↑ volume perdarahan yang dinilai
dengan mGS me↑ prediksi outcome
buruk & kematian secara signifikan
(Husni & Arifin, 2013)
Peningkatan/penurunan
volume
perdarahan selama 6 hari onset tidak
berhubungan
dengan
outcome
(Hwang dkk, 2011)
Perkembangan volume perdarahan
dalam 24 jam pertama menunjukkan
adanya hubungan dengan tingkat
keparahan dan kematian (Hwang
dkk, 2011)
Volume perdarahan secara langsung
berkorelasi dengan kemungkinan
terjadinya kematian (Morgan dkk,
2013; Hwang dkk, 2011)
Akumulasi darah pada sistem
ventrikel
merupakan
faktor
prognostik
yang
buruk
&
berhubungan
secara
dengan
kematian (Chiewvit dkk, 2009)
OPERATIF
mGS memiliki hubungan yang
signifikan terhadap outcome (Husni
dan Arifin, 2013)
Terdapat perbedaan yang tidak
signifikan antara kelompok EVD dan
non-EVD terhadap insiden outcome
buruk (Hwang dkk, 2011)
Tidak
dijumpai
korelasi
yang
signifikan antara tingkat keparahan
yang dinilai dengan graeb score atau
volume perdarahan absolut dengan
outcome hari ke-90 & 180 (Staykov
dkk, 2009)
KEMATIAN
Universitas Sumatera Utara
54
2. 6. KERANGKA KONSEP
STROKE PERDARAHAN
INTRAVENTRIKULAR
MODIFIED GRAEB
SCORE
OUTCOME/
KEMATIAN
PENATALAKSANAAN :
- KONSERVATIF
- OPERATF
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STROKE PERDARAHAN INTRAVENTRIKULAR
2.1.1. Definisi
Stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular (Sacco dkk, 2013).
Stroke hemoragik adalah suatu tanda klinis yang berkembang
cepat akibat disfungsi neurologis yang disebabkan oleh kumpulan
darah setempat pada parenkim otak atau sistem ventrikular yang
tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).
Perdarahan intraventrikular dapat terjadi secara primer atau
berhubungan
dengan
perdarahan
intraserebral,
perdarahan
subarakhnoid maupun cedera otak traumatik. Definisi perdarahan
intraventrikular primer dikemukakan pertama kali oleh Sanders pada
tahun 1881, yaitu terdapatnya darah hanya dalam sistem ventrikular
atau yang berkembang sampai 15mm dari dinding ventrikel, tanpa
adanya ruptur atau laserasi pada dinding ventrikel. (Tucker dkk,
2011;
Giray
dkk,
2009;
Srivastava
dkk,
2014)
Universitas Sumatera Utara
30
Perdarahan
intraventrikular
primer
disebut
juga
sebagai
perdarahan intraserebral non-traumatik yang terbatas pada sistem
ventrikel, sedangkan perdarahan intraventrikular sekunder muncul
akibat perdarahan yang berasal dari parenkim maupun rongga
subarakhnoid yang meluas ke sistem ventrikel (Hameed dkk, 2005;
Tucker dkk, 2011).
2.1.2. Epidemiologi
Berdasarkan data dari National Centre of Health Statistic
(NCHS), prevalensi terjadinya stroke di AS yang berusia ≥ 20 tahun
dilaporkan sebanyak 7.000.000 jiwa per tahun (3,0%). Data yang
diambil dari Centres for Disease Control and Prevention (CDC)
menunjukkan 2,7% laki-laki dan 3,3% wanita yang berusia ≥ 18 tahun
memiliki riwayat stroke, dimana sebesar 2,3% stroke terjadi pada ras
kulit putih non-hispanik, 4,0% pada ras kulit hitam non-hispanik, 1,6%
pada Asian/Pasific islander, 2,6% pada ras hispanis, 6,0% pada
American Indian/Alaska native dan 4,6% ras campuran.
Menurut
data yang diambil dari National Institutes of Neurological Disorders
and Stroke (NINDS) sebanyak 795.000 penduduk mengalami stroke
baik baru maupun berulang setiap tahunnya, 610.000 penduduk
merupakan kasus serangan pertama dan 185.000 merupakan kasus
berulang. Dari keseluruhan jenis stroke, 87% merupakan iskemik,
10% merupakan perdarahan intraserebral dan 3% merupakan
perdarahan subarakhnoid (Roger dkk, 2011).
Universitas Sumatera Utara
31
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan
dilaporkan
sebesar
7
per
mil.
Prevalensi
stroke
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi terdapat di
Sulawesi Utara (10,8%), diikuti D.I Yogyakarta (10,3%), Bangka
Belitung dan DKI Jakarta masing-masing sebesar 9,7 per mil.
Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan
pendidikan rendah (16,5%). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi
dibandingkan di desa (8,2%). Prevalensi stroke lebih tinggi dijumpai
pada masyarakat yang tidak bekerja (11,4%). Prevalensi stroke
berdasarkan diagnosis atau gejala lebih tinggi pada kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing sebesar
13,1 dan 12,6 per mil (Kementrian kesehatan, 2013).
Dari 562 pasien stroke pada 25 RS di Sumatera Utara,
didapatkan jenis kelamin perempuan sebanyak 296 (52,7%) dan lakilaki sebanyak 266 (47,3%). Rerata usia adalah 59 (20–95) tahun.
Sebagian besar pekerjaan pasien adalah ibu rumah tangga sebanyak
200 (35,6%).
Keluhan utama penurunan kesadaran didapati
sebanyak 198 (35,3%), hemiparesis sinistra sebanyak 134 (23,8%)
dan hemiparesis dekstra sebanyak 133 (23,7%). Faktor risiko
hipertensi dilaporkan sebanyak 497 (88,4%), diabetes melitus
sebanyak 155 (27,6%), penyakit jantung sebanyak 98 (17,4%),
dislipidemia sebanyak 161 (28,6%) dan merokok sebanyak 193
(34,3%). Pasien yang mempunyai riwayat stroke sebelumnya
dilaporkan sebanyak 86 (15,3%) dan adanya riwayat stroke keluarga
Universitas Sumatera Utara
32
sebanyak 70 (12,5%). Hasil CT Scan kepala yang menunjukkan
infark dijumpai sebanyak 302 (53,7%), hemoragik sebanyak 152
(27%), infark hemoragik sebanyak 12 (2,1%) dan 96 (17,1%) tidak
menjalani CT Scan kepala. Pada penelitian ini outcome pasien yang
hidup dijumpai sebanyak 470 subjek (83,6%). Hasil outcome dari
penelitian Misbach dkk adalah hidup membaik (59,9%), hidup tidak
membaik (1,6%), hidup memburuk (4,3%), hidup dengan status tak
tercatat (5,1%), meninggal dunia (23,3%) dan tidak ada data/tidak
diketahui (9,7%) (Rambe dkk, 2013).
Perdarahan
intraventrikular
terjadi
pada
30%-50%
kasus
perdarahan intraserebral spontan. Perdarahan intraventrikular primer
merupakan kasus yang jarang dan dilaporkan sebesar 3% dari
semua perdarahan intraserebral spontan (Staykov dkk, 2009;
Hameed dkk, 2005). Sebuah penelitian yang dilakukan di Thailand
didapatkan rata-rata usia penderita perdarahan intraventrikular
adalah 52 ± 24 dengan perbandingan antara wanita : pria adalah 1 :
3 (Chiewvit dkk, 2009).
Stroke perdarahan memiliki morbiditas dan mortalitas tertinggi
pada setiap subtipe stroke. Dari 750.000 kasus stroke di AS, 15%
diantaranya adalah perdarahan intraserebral dan 5% merupakan
perdarahan subarakhnoid. Sekitar 45% merupakan perdarahan
intraserebral spontan dan 25% dari perdarahan subarakhnoid meluas
ke
ventrikel.
Pasien
dengan
perdarahan
intraserebral
dan
Universitas Sumatera Utara
33
perdarahan intraventrikular memiliki tingkat mortalitas sebesar 50%80%. Pasien dengan perdarahan intraventrikular dua kali lebih sering
menyebabkan outcome yang buruk dan hampir tiga kali lebih sering
menyebabkan
kematian
dibandingkan
tanpa
perdarahan
intraventrikular. Perdarahan intraventrikular sekunder menyebabkan
kematian pada 32% sampai 43% kasus (Hinson dkk, 2010; Morgan
dkk, 2013).
Sebuah penelitian
meta-analisis
yang dilakukan di Cina
menyatakan bahwa perdarahan intraventrikular merupakan faktor
risiko yang telah terbukti terhadap buruknya prognosis, dan
mortalitasnya
diperkirakan
mencapai
50%-80%.
Perdarahan
intraventrikular sekunder dan perdarahan supratentorial spontan
memiliki mortalitas dan prognosis buruk rata-rata sebesar 72% dan
86%. Outcome sering diperberat dengan adanya hidrosefalus akut,
efek massa dari darah di ventrikel dan hidrosefalus kronik (Li dkk,
2013).
2.1.3. Faktor Risiko
Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai
faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai faktor risiko yang kuat
terhadap timbulnya stroke. Faktor risiko timbulnya stroke tersebut
diantaranya : (Sjahrir, 2003; Goldstein dkk, 2006)
Universitas Sumatera Utara
34
I. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Ras dan suku bangsa
d. Faktor keturunan
e. Berat badan lahir rendah
II. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Perilaku
1. Merokok
2. Diet tidak sehat : lemak, garam berlebihan, asam urat,
kolesterol, kurang asupan buah
3. Penyalahgunaan alkohol
4.
Obat-obatan
:
narkoba
(kokain),
antikoagulan,
antiplatelet,
amfetamin, pil kontrasepsi
5. Kurang aktifitas gerak
b. Fisiologis
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus
4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan
7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit
Universitas Sumatera Utara
35
perdarahan
8. Kelainan anatomi pembuluh darah
9. Stenosis karotis asimtomatik
Tabel 1. Faktor Risiko Perdarahan Intraventrikular
Faktor Risiko
Frekuensi (%)
Jenis kelamin (pria : wanita)
1,4 : 1
Hipertensi
44-80
Diabetes melitus
8-33
Merokok
8-33
Alkohol
15
Riwayat stroke iskemik
15-17
Penggunaan antiplatelet
8-15
Penggunaan antikoagulan
4
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage
Chapter 46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third
Edition. Cambridge University Press. NewYork.
2.1.4. Etiologi
Etiologi dari perdarahan intraventrikular bervariasi dan pada
beberapa pasien tidak diketahui penyebabnya. Caplan dkk (2009)
menyatakan bahwa perdarahan intraventrikular primer tersering
berasal dari perdarahan akibat hipertensi pada arteri parenkim yang
sangat kecil dari jaringan yang sangat dekat dengan sistem
ventrikular.
Etiologi
lain
yang
mendasari
perdarahan
intraventrikular
diantaranya adalah anomali pembuluh darah serebral, malformasi
pembuluh darah termasuk angioma kavernosa dan aneurisma
serebri yang merupakan penyebab tersering pada usia muda. Pada
orang dewasa, perdarahan intraventrikular disebabkan karena
adanya penyebaran perdarahan akibat hipertensi primer dari struktur
Universitas Sumatera Utara
36
periventrikel. Perdarahan intraventrikular juga dapat terjadi pada
trauma dan tumor yang biasanya melibatkan pleksus koroideus
(Hinson dkk, 2010).
Tabel 2. Etiologi Perdarahan Intraventrikular Primer
Primary Intraventricular Hemorrhage
Head trauma
Insertion/removal of a ventricular catheter
Intraventricular vascular malformation, aneurysm, tumor
Bleeding diasthesis (polycythemia vera, hemophilia C, thrombocytopenia)
Moyamoya disease
Arteritis
Anticoagulation
Dural arteriovenous fistula
Unknown
Secondary Intraventricular Hemorrhage
Extension of intracerebral hematoma or subarachnoid hemorrhage caused by :
Hypertension
Cerebral aneurysm
Head trauma
Arteriovenous malformation
Vasculitis
Coagulation disorder
Hemorrhagic transformation of an ischemic infarct
Tumor
Extension of germinal matrix hematoma (premature infants)
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage Chapter
46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third Edition. Cambridge
University Press. NewYork.
2.1.5. Patofisiologi
Perdarahan intraventrikular primer merupakan perdarahan
yang terbatas pada sistem ventrikuler yang bersumber dari
intraventrikel
atau
lesi
yang
bersebelahan
dengan
ventrikel,
contohnya trauma intraventrikular, aneurisma, malformasi pembuluh
darah dan tumor yang biasanya melibatkan pleksus koroideus.
Sekitar 70% dari perdarahan intraventrikular sekunder terjadi akibat
Universitas Sumatera Utara
37
perluasan
dari
perdarahan
intraparenkim
atau
perdarahan
subarakhnoid ke dalam sistem ventrikel (Hanley dkk, 2009).
Sistem ventrikel otak merupakan low-pressure pathway yang
berfungsi dalam pergerakan cairan serebrospinal. Sistem ini sering
pecah akibat darah yang masuk melalui defek pada dinding arteri
dan
akibat
tindakan
pembedahan
pada
kasus
perdarahan
intraserebral spontan. Defek pada pembuluh darah yang dapat
menyebabkan perdarahan pada otak diantaranya adalah aneurisma,
arteriovenous malformation, small vessel microaneurysm, profil
koagulopati atau peningkatan tekanan darah (Hanley dkk, 2009).
Setelah perdarahan inisial terjadi, tiga risiko utama yang akan
mempengaruhi kejadian selanjutnya yaitu rebleeding, vasokonstriksi
dan hidrosefalus. Sekali dinding luar pembuluh darah yang abnormal
rusak, pembuluh darah ini akan rentan terhadap rebleeding.
Perdarahan kemudian akan mengancam hidup karena terjadi
peningkatan tekanan intrakranial dan sejumlah darah yang terdapat
dalam sistem cairan serebrospinal. Darah dalam sistem ini dapat
menyumbat membran absorbtif dan akan menyebabkan hidrosefalus
serta dilatasi seluruh sistem ventrikular (Caplan, 2009).
2.1.6. Gambaran Klinis
Sindroma klinis perdarahan intraventrikular menyerupai
gejala perdarahan subarakhnoid yaitu nyeri kepala yang mendadak,
kaku kuduk, muntah dan letargi. Pada saat yang sama didapatkan
Universitas Sumatera Utara
38
peningkatan
refleks
dan
respon
plantar
yang
simetris.
Bila
perdarahan terutama terdapat pada satu ventrikel, akan dijumpai
tanda fokal yang asimetris (Caplan, 2009).
klinis
dari
perdarahan
intraventrikular
Beberapa gambaran
yang
sering
dijumpai
diantaranya adalah : (Tabel 3)
Tabel 3. Gambaran Klinis Pada Perdarahan Intraventrikular
Gejala dan Tanda Klinis
Penurunan kesadaran
Mual/muntah
Nyeri kepala
Agitasi
Koma
Kejang
Iritasi meningeal
Defisit nervus kranialis
Hemiparesis
Refleks ekstensor plantar
Refleks tendon dalam yang asimetrIs
Frekuensi (%)
77-92
42-80
69-77
20
20-35
7-23
12-33
8-47
8-33
12-40
27
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage
Chapter 46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third
Edition. Cambridge University Press. NewYork.
Gambaran klinis pada perdarahan intraventrikular dapat
berbeda tergantung dari jumlah perdarahan dan daerah kerusakan
otak disekitarnya. Pada perdarahan intraventrikular yang berat
dijumpai tanda penurunan kesadaran, kejang baik fokal maupun
general dan tanda-tanda kompresi batang otak (Paciaroni dkk, 2012).
2.1.7. Pemeriksaan Diagnostik Pencitraan
Rekomendasi pemeriksaan diagnostik pencitraan menurut
Misbach, dkk (2011) pada pasien dengan kecurigaan stroke adalah
Universitas Sumatera Utara
39
segera melakukan CT Scan kepala (ESO, Class I) atau pilihan
alternatif
dengan
Magnetic
Resonance
Imaging
(MRI)
otak
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence A). Jika ada fasilitas MRI ≥ 1,5
T, gunakan sekuens Diffusion Weighted Imaging (DWI) dan T2weighted gradient echo (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A).
Pemeriksaan CT Scan merupakan strategi utama yang efektif
pada pencitraan pasien stroke akut tetapi tidak sensitif untuk
perdarahan
lama.
Secara
umum,
CT
Scan
kurang
sensitif
dibandingkan MRI, tetapi keduanya sama-sama spesifik untuk
mendeteksi adanya perdarahan atau tidak (Misbach dkk, 2011).
Rekomendasi persyaratan untuk CT Scan kepala pada stroke
akut : (Misbach dkk, 2011)
1. CT Scan kepala tanpa kontras.
2. Peralatan generasi ketiga atau keempat.
3. Ketebalan potongan 5-10 mm, dengan irisan yang terputusputus.
4. Potongan harus dibuat pada bidang oblik untuk mencegah
radiasi ke mata.
Kriteria diagnostik pada CT Scan kepala yang menunjukkan
adanya perdarahan adalah adanya gambaran hiperdens pada
Universitas Sumatera Utara
40
substansia alba atau grisea, dengan atau tanpa terkenanya
permukaan kortikal (40-90 Hounsfield Units) (Misbach dkk, 2011).
Perdarahan intraventrikular pada gambaran CT Scan kepala
(Gambar 1) menunjukkan gambaran hiperdens dalam sistem
ventrikel, bisa juga tampak pelebaran pada sistem ventrikel bila telah
terjadi hidrosefalus (Arboix dkk, 2012)
Gambar 1. Perdarahan Intraventrikular Pada Gambaran CT Scan
Kepala.
Diunduh dari : Arboix, A., Garcia-Eroles, L., Vicens, A., Olivers, M., Masson,
J. 2012. Spontaneous Primary Intraventricular Hemorrhage : Clinical
Features and Early Outcome. ISRN Neurology
Gambar 2. Perdarahan Intraventrikular Pada Gambaran T1 weighted
& T2 weighted MRI Otak.
Diunduh dari : Balachandran, G. 2009. Intraventricular Hemorrhage.
Radiopaedia.org
Universitas Sumatera Utara
41
Kriteria diagnostik perdarahan pada MRI otak dibagi berdasarkan
beberapa kategori : (Tabel 4)
Tabel 4. Kriteria Diagnostik Perdarahan MRI Otak Pada Stroke Akut
KATEGORI
Hiperakut
Akut
Subakut
Kronik
WAKTU
T1 weighted
Jam,
terutama Hipointens
oksihemoglobin
dengan
edema
disekitarnya
Hari,
terutama Hipointens
deoksihemoglobin
dengan
edema
disekitarnya
Minggu, terutama Hiperintens
methemoglobin
Hipointens
Tahun,
hemosiderin
T2 weighted
Hiperintens
Hipointens, dikelilingi oleh
batas hiperintens
Hipointens, subakut dini
dengan lebih dominan
methemoglobin
intraselular, hiperintens,
subakut lanjut dengan
lebih
dominan
methemoglobin
ekstraselular
Hipointens atau batas
hipointens
disekelilingi
kavitas cairan hiperintens
Dikutip dari : Misbach, J., Lamsudin, R., Aliah, A., Basyiruddin A., Suroto., Alfa,
A.Y., dkk. 2011. Guideline Stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Jakarta
2.1.8. Penatalaksanaan
Terapi konvensional perdarahan intraventrikular berpusat pada
tatalaksana
hipertensi
dan
peningkatan
tekanan
intrakranial
bersamaan dengan koreksi koagulopati dan mencegah komplikasi
seperti perdarahan ulang dan hidrosefalus. Apabila tekanan darah
sistolik > 200 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) > 150
mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu dengan pemantauan tekanan
darah setiap 5 menit. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg
Universitas Sumatera Utara
42
atau MAP > 130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda
peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan
intrakranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan
pemantauan tekanan perfusi serebral ≥ 60 mmHg (Misbach dkk,
2011).
Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial meliputi
(Misbach dkk, 2011) :
1. Tinggikan posisi kepala 20o-30o.
2. Posisi pasien hendaklah menghindari penekanan vena
jugular.
2. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik.
3. Hindari hipertermia.
4. Jaga normovolemia.
5. Osmoterapi atas indikasi :
a. Manitol 0,25-0,50 gr/KgBB, selama > 20 menit, diulang
setiap 4-6 jam dengan target ≤310 mOsm/L (AHA/ASA,
Class III, Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya
diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
Universitas Sumatera Utara
43
b. Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1
mg/kgBB i.v.
6. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (PCO2 35-40
mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan
dilakukan tindakan operatif.
7. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi
yang
adekuat
dapat
mengurangi
naiknya
tekanan
intrakranial dengan cara mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction,
buckling ventilator (AHA/ASA, Class III-IV, Level of
evidence C). Agen non-depolarized seperti vencuronium
atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamin dan
blok pada ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class
III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan kritis
tekanan intrakranial
sebaiknya diberikan relaksan otot
sebelum suction atau lidokain sebagai alternatif.
Hidrosefalus akut dapat terjadi setelah hari pertama, namun
lebih sering dalam 7 hari pertama. Dengan insidensi kira-kira 20%
dari kasus. Dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase
eksternal ventrikel), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi
perdarahan ulang atau infeksi (AHA/ASA, Class IV-V, Level of
evidence C). Hidrosefalus kronik perlu dilakukan pengaliran cairan
serebrospinal secara temporer atau permanen seperti pemasangan
Universitas Sumatera Utara
44
ventrikulo peritoneal shunt (AHA/ASA, Class I, level of evidence B)
(Misbach dkk, 2011).
Drainase ekstraventrikel dengan fibrinolisis muncul sebagai
solusi dalam menghilangkan bekuan darah sehingga mencegah
terjadinya komplikasi hidrosefalus dan inflamasi. Penelitian Cloth
Lysis : Evaluating Accelerated Resolution of IVH (CLEAR-IVH) yang
dilakukan pada 100 pasien (placebo, n = 22, mendapatkan terapi, n
= 78), diberikan dosis 0,3 sampai 3mg setiap 8 sampai 12 jam
menunjukkan hasil bahwa pada kelompok yang mendapatkan terapi
recombinant Tissue Plasmingen Activator (rTPA) membantu dalam
terbukanya sistem ventrikular bagian bawah dan sekali bekuan
darah hilang, proses lisis bekuan darah lebih cepat dibandingkan
dengan kelompok placebo. Pada penelitian CLEAR III menunjukkan
bahwa dosis rendah rTPA (1 mg) dapat diberikan secara aman pada
pasien dengan perdarahan intraventrikular dengan bekuan darah
yang stabil dan dapat meningkatkan rata-rata lisis (Hinson dkk,
2010).
Evakuasi secara bedah pada penelitian Surgical Trial in
Intracerebral Hemorrhage (STICH) yang dilakukan pada 902 pasien
yang menunjukkan hasil baik dilaporkan sebesar 31% pada pasien
tanpa perdarahan intraventrikular dan 15% pada pasien dengan
perdarahan
intraventrikular
(p= 25% - ≤ 50% terisi darah, 3 = > 50% - ≤ 75% terisi
darah, 4 = > 75% - 100% terisi darah), ventrikel ke-tiga dan keempat (0 = tidak ada darah, 2 = ≤ 25% - ≤ 50% terisi darah, 4 = > 50
– 100% terisi darah), occipital horn kanan & kiri (0 = tidak ada darah,
1 = ≤ 25% - ≤ 50% terisi darah, 2 = > 50% - 100% terisi darah),
temporal horn kanan & kiri (0 = tidak ada darah, 1 = ≤ 25% - ≤ 50%
terisi darah, 2 = > 50% - 100% terisi darah) dan setiap pelebaran
pada ventrikel masing-masing diberi nilai 1, dengan total nilai adalah
32 (Tabel 6) (Morgan dkk, 2013).
Universitas Sumatera Utara
50
Tabel 6. Penilaian Modified Graeb Score (mGS)
Diunduh dari : Morgan, T., Dawson, J., Spengler, D., Lees, K., Aldrich, C.,
Mishra, N. 2013. The Modified Graeb Score an Enhanced Tool for
Intraventricular Hemorrhge Measurement and Predictor Outcome. Stroke.
44 : 635-641
2.4. Modified Graeb Score dan Kematian Pada Stroke Perdarahan
Intraventrikular
Modified
menentukan
tingkat
berdasarkan
ukuran
perdarahan dan terdapatnya dilatasi pada setiap ventrikel.
mGS
keparahan
Graeb
pada
Score
digunakan
perdarahan
untuk
intraventrikular
merupakan perangkat yang dapat dipercaya dan valid dalam menilai
tingkat keparahan perdarahan intraventrikular. mGS mudah diaplikasikan
dan dapat juga digunakan sebagai monitoring pada penderita perdarahan
intraventrikular yang mendapat terapi trombolitik (Hwang dkk, 2011;
Morgan dkk, 2013).
Terdapatnya perdarahan dalam sistem ventrikel memiliki hubungan
yang signifikan dengan meningkatnya resiko outcome yang buruk (OR =
1,12; 95% CI, 1,05 – 1,19, p = < 0,0001) dan volume perdarahan secara
langsung berkorelasi dengan kemungkinan terjadinya kematian (p =
0,005) (Morgan dkk, 2013; Hwang dkk, 2011).
Universitas Sumatera Utara
51
Menurut Hameed dkk (2005) terdapatnya akumulasi darah pada
semua ventrikel merupakan suatu faktor prognostik yang buruk (RR = 4,3;
95% CI, 1,6 – 11,6, p = 0,025). Perluasan perdarahan ke ruang
intraventrikular berhubungan dengan kematian sebesar 28 (71,8%), p =
0,003) (Chiewwit dkk, 2009).
Akumulasi perdarahan pada sistem ventrikel berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas dalam beberapa cara. Pada fase akut, perluasan
perdarahan pada sistem ventrikel menyebabkan kerusakan pada Reticular
Activating System (RAS) dan thalamus yang menyebabkan penurunan
kesadaran, selain itu bekuan darah yang memblok cairan serebrospinal
menyebabkan hidrosefalus obstruktif. Hal ini merupakan kondisi yang
mengancam jiwa yang menyebabkan semakin berkurangnya perfusi
serebral dan secara potensial berhubungan dengan efek massa dan
edema serebri (Hinson dkk, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Hansen dkk (2016), setiap kenaikan 1
poin dari mGS berhubungan secara signifikan terhadap resiko outcome
yang buruk (mRS ≥ 4, termasuk kematian) (OR = 1,18, 95% CI, 1,10 –
1,25, p = < 0,001). Setiap kenaikan 1 poin mGS berhubungan secara
signifikan terhadap resiko kelangsungan hidup dalam 30 hari (OR = 1,22,
95% CI, 1,15 – 1,28, p = < 0,001).
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di Universitas Padjajaran
Bandung, dari 16 sampel yang diteliti didapatkan bahwa mGS memiliki
hubungan yang signifikan terhadap outcome perdarahan intraventrikular
(R = 0.921, p = 0,000) (Husni dan Arifin, 2013).
Universitas Sumatera Utara
52
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada penelitian
yang dilakukan oleh Staykov dkk (2009) menunjukkan tidak dijumpai
korelasi
yang
signifikan
antara
tingkat
keparahan
perdarahan
intraventrikular yang dinilai dengan Graeb Score atau volume perdarahan
intraventrikular absolut dengan outcome pada hari ke-90 dan 180 (p =
0,18).
Universitas Sumatera Utara
53
2. 5. KERANGKA TEORI
STROKE PERDARAHAN
INTRAVENTRIKULAR
VOLUME PERDARAHAN
mGS dapat digunakan untuk
menilai
perkiraan
volume
perdarahan
intraventrikular
(Morgan, dkk 2013; Husni & Arifin,
2013)
PENATALAKSANAAN
mGS
KONSERVATIF
Graeb score memiliki tingkat akurasi
yang baik dalam memprediksi
outcome (Hwang dkk, 2011)
Setiap
kenaikan
skor
mGS
meningkatkan
12%
terjadinya
outcome buruk (Morgan dkk, 2013)
P ↑ volume perdarahan yang dinilai
dengan mGS me↑ prediksi outcome
buruk & kematian secara signifikan
(Husni & Arifin, 2013)
Peningkatan/penurunan
volume
perdarahan selama 6 hari onset tidak
berhubungan
dengan
outcome
(Hwang dkk, 2011)
Perkembangan volume perdarahan
dalam 24 jam pertama menunjukkan
adanya hubungan dengan tingkat
keparahan dan kematian (Hwang
dkk, 2011)
Volume perdarahan secara langsung
berkorelasi dengan kemungkinan
terjadinya kematian (Morgan dkk,
2013; Hwang dkk, 2011)
Akumulasi darah pada sistem
ventrikel
merupakan
faktor
prognostik
yang
buruk
&
berhubungan
secara
dengan
kematian (Chiewvit dkk, 2009)
OPERATIF
mGS memiliki hubungan yang
signifikan terhadap outcome (Husni
dan Arifin, 2013)
Terdapat perbedaan yang tidak
signifikan antara kelompok EVD dan
non-EVD terhadap insiden outcome
buruk (Hwang dkk, 2011)
Tidak
dijumpai
korelasi
yang
signifikan antara tingkat keparahan
yang dinilai dengan graeb score atau
volume perdarahan absolut dengan
outcome hari ke-90 & 180 (Staykov
dkk, 2009)
KEMATIAN
Universitas Sumatera Utara
54
2. 6. KERANGKA KONSEP
STROKE PERDARAHAN
INTRAVENTRIKULAR
MODIFIED GRAEB
SCORE
OUTCOME/
KEMATIAN
PENATALAKSANAAN :
- KONSERVATIF
- OPERATF
Universitas Sumatera Utara