Untitled Document
Karya Ilmiah
Bank Syariah sebagai Alternatif Pembiayaan UKM
di Indonesia
Oleh:
Hanna Meilani Damanik, SE. M.M
(Dosen Tetap Fakultas Ekonomi – Universitas HKBP Nommensen)
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2017
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................................... i
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
Prinsip, Potensi dan Perkembangan Bank Syariah ................................... 3
Permasalahan Bank Syariah ...................................................................... 5
Potensi Bank Syariah Untuk Mendukung UKM ...................................... 6
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 10
Kesimpulan ............................................................................................... 10
Saran ....................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Babak baru dalam dunia perbankan Syariah Indonesia dimulai sejak Mei 1992
dimana sejak saat itu Bank Syariah eksis di Indonesia, tepatnya dengan mulai
beroperasinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) atas prakarsa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang didukung oleh sekelompok pengusaha dan cendekiawan
muslim. Walaupun jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, kehadiran
bank syariah di Indonesia relatif lambat. Hal ini disebabkan karena masih ada
perbedaan pendapat diantara umatIslam sendiri tentang konsep bunga yang
merentang dari anggapan haram (dilarang), subhat( meragukan) hingga halal
(dibolehkan). Sementara itu dari sisi aspek hukum pun pada saat itu masih kurang
menunjang karena peraturan perbankan yang ada tidak memuat tentang bank
syariah.
Permasalahan tersebut akhirnya terpecahkan dengan Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999. Kedua Undang-Undang
tersebut akhirnya menjadi dasar hukum dual banking system di Indonesia, yakni
terselenggaranya dua system perbankan menggunakan konsep konvensional dan
syariah secara berdampingan yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
Bank Indonesia sebagai Pembina perbankan Indonesia juga memberikan
dukungan atas perkembangan bank syariah di Indonesia selama ini. Sebagai
pelaksanaan UU No. 10 Tahun 1998, pada 2 Mei 1998 secara bersamaan Bank
Indonesia menerbitkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yang masingmasing untuk bank umum syariah (Nomor 32/34/KEP/DIR) dan untuk bank
perkreditan syariah (N. 32/36/KEP/DIR). Terakhir Bank Indonesia membentuk
biro khusus yakni Biro Perbankan Syariah yang bertugas melakukan penelitian,
pengembangan, pengaturan, pengawasan dan perizinan bank syariah, baik untuk
bank umum maupun bank perkreditan rakyat. Biro ini memulai kegiatannya sejak
Mei 2001.Selama beberapa waktu lamanya kehadiran BMI telah diikuti dengan
lahirnya BPRS, bank syariah lain dan bank umum konvensional yang membuka
cabang syariah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa saat ini bank syariah juga
termasuk sebagai salah satu alternatif pembiayan bagi perekonomian Indonesia.
Sekalipun pangsa pasarnya masih sangat rendah, pembiayaannya fokus pada
Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas, perlu adanya kajian tentang
peranan bank syariah dalam mendukung pengembangan UKM sebagai bagian dari
pengembangan pembiayaan alternatif.
Dengan mengacu pada kinerja bank
syariah selama ini serta peluangnya di masa depan kajian ini mengajukan
sejumlah rekomendasi untuk mendukung pengembangan UKM di masa
mendatang. Dengan demikian, diharapkan di masa depan akan semakin banyak
UKM yang memperoleh pembiayaan dari perbankan syariah.
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah studi literatur yang
menyangkut berbagai ketentuan, studi yang telah dilakukan sebelumnya serta data
yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga dan juga informasi dari berbagai
narasumber.
PEMBAHASAN
Prinsip, Potensi dan Perkembangan Bank Syariah
Dibandingkan dengan bank konvensional, bank syariah mempunyai keunikan
yang secara prinsip dapat mendukung UKM antara lain : lebih luwes dalam
penyediaan agunan; lebih luwes dalam penetapan imbalan; dan lebih luas dalam
menyediakan fasilitas meliputi bidang perbankan dan lembaga pembiayaan seperti
anjak piutang, modal ventura, sewa beli, dan pegadaian.
Sejak 1992, bank syariah merupakan alternatif pembiayaan bagi UKM di
Indonesia. Hingga September 2001, jaringannya masih sangat terbatas, yakni : 2
bank umum syariah (dengan 32 kantor cabang), 3 bank konvensional ( dengan 12
kantor cabang syariah) serta 81 BPRS. Secara finansial pun, pangsa pasar bank
syariah terhadap perbankan nasinal sangat kecil.
Pada Agustus 2001, asset
(dibanding seluruh bank) mencapai Rp. 2,37 triliun (0,23%); dana pihak ketiga Rp.
1,53 triliun (0,21%) dan pembiayaan Rp. 1.87 triliun (0,55%). Jika dibandingkan
dengan Malaysia, pangsa pasar Indonesia hanya sepersepuluhnya.
Kualitas Pembiayaan bank syariah relatif baik.Sampai dengan akhir Agustus 2001,
kredit bermasalahnya lebih rendah dibandingkan bank konvensional.
Bahkan
dalam tiga tahun terakhir, PT BMI dapat menurunkan kredit bermasalahnya
secara signifikan tanpa rekapilitasi dari pemerintah,
Selain itu bank syariah
mendukung UKM karena sekitar 85% pembiayaannya tarsalur utuk sektor UKM
(dengan plafon hingga Rp. 2 miliar).
Salah satu penyebab besarnya persentase
pembiayaan bank syariah terhadap
UKM diduga karena dibanding dengan bank konvensional, lembaga ini lebih
mengutamakan kelayakan usaha ketimbang agunan. Mereka yang tidak dapat
dilayani oleh bank konvensional inilah yang merupakan calon nasabah potensial
bank syariah.Selain itu, pasar bank syariah dapat ditingkatkan paling tidak hingga
tiga kali lipat dalam waktu dekat.Hal ini dikarenakan 45% masyarakat
menganggap system bunga bertentangan dengan ajaran agama.
Banyak
diantaranya yang belum menjadi nasabah bank syariah, sekalipun mereka tinggal
di sekitar kantor bank syariah. Sangat mungkin selama ini mereka menyimpan
kekayaannya “di bawah kasur” atau menginvestasikannya dalam bentuk asset
yang tidak bergerak.
Berdasarkan penelitian Bank Indonesia di pulau Jawa bank syariah berpotensi
untuk berkembang di Indonesia antara lain karena didukung oleh banyaknya
jumlah penduduk yang beragama Islam dan bank syariah berpotensi untuk
dikembangkan pada delapan belas wilayah dengan potensi ekonomi tinggi dan
basis keislaman yang kuat. Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan jaringan
bank syariah yang ada saat ini, masih banyak daerah potensial yang belum ada
jaringan bank syariahnya.
Selain penambahan jumlah kantor jaringan bank syariah bisa dilakukan dengan
kerjasama antar bank syariah antara lain dengan memanfaatkan Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS) atau lembaga lain yang menjalankan syariah Islam
misalnya Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai penyalur pembiayaan bank
umum syariah/ koperasi syariah.
Dengan berkembangnya bank syariah yang
sehat dan memberikan pelayanan yang kompetitif akan mendorong aliran modal
dari investor internasional khususnya dari lembaga atau pihak-pihak yang dalam
penyaluran dananya menyaratkan transaksi dengan prinsip syariah misalnya
Islamic Development Bank (IDB) atau bank syariah yang berhasil di negara lain.
Permasalahan Bank Syariah
Dengan masih kurangnya perangkat perundang-undangan , maka perbankan
syariah terpaksa menyesuaikan produk-produknya dengan hukum perbankan
konvensional. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat adanya menjadi tersamar
dan perbankan syariah tampil seperti perbankan konvensional. Mengingat adanya
keunikan bank syariah, upaya menyesuaikan prinsip syariah ke dalam ketentuan
perbankan
konvensional
tidak dapat
diakomodasi
sepenuhnya
sehingga
kemampuan untuk membiayai UKM menjadi terbatas.
Terkait masalah permodalan, kalangan perbankan syariah menyarankan agar Bank
Indonesia (BI) membedakan peraturan tentang kecukupan modal bank (Capital
Adequacy Ratio/ CAR) karena adanya perbedaan perhitungan mengenai hak dan
kewajiban
bank dan nasabah
antara bank syariah dan bank konvensional
Perkembangan kerjasama antarbank syariah terhambat karena masih sedikitnya
jumlah bank syariah serta masih sangat kecilnya asset dan portofolio pembiayaan
syariah dalam perbankan nasional.
Apalagi sejauh ini belum berkembang
instrument pasar uang dengan prinsip syariah, di luar yang sudah disiapkan Bank
Indonesia.
Akibatnya alokasi dana untuk pembiayaan UKM menjadi tidak
optimal.
Sampai saat ini sumberdaya manusia yang terdidik dan berpengalaman di bidang
perbankan syariah relatif masih sedikit, baik untuk bank pelaksana maupun bank
sentral.
Lembaga akademik dan pelatihan di bidang ini pun masih
terbatas.Sebagian besar masyarakat masih belum memahami bank syariah,
padahal pengetahuan tentang bank syariah merupakan kunci keberhasilan
pengembangan bank syariah.
Oleh karena itu baik insan perbankan syariah
(secara internal)maupun pemerintah perlu lebih meningkatkan pndidikan dan
pelatihan
maupun
bank syariah, baik bekerjasama dengan lembaga di dalam negeri
manca
negara.
Potensi Bank Syariah untuk Mendukung UKM
Pada periode Januari 2008 hingga Januari 2009 terdapat3 Bank Umum Syariah
(BUS) , 25 Unit /Divisi Usaha Syariah(UUS/DUS) dan 115 BPRS yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia. Pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah
untuk sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tercatat sebesar Rp.
18,38 Triliun (67,82% dari total pembiayaan) sedangkan pembiayaan untuk
sektok non-UKM sebesar Rp. 8,72 Triliun (32,18% dari total pembiayaan). Hal
ini menunjukkan peranan bank syariah dalam memberdayakan UMKM khususnya
dalam hal pembiayaan sudah cukup tinggi meski pangsa pasar masih sangat kecil
2,79 % dari total kredit perbankan nasional.
Terbatasnya alternatif penempatan dana bagi bank syariah telah memaksa BMI
untuk menyalurkan fasilitas pembiayaan baru, dimana mayoritas diberikan dalam
bentuk mudharabah. Distribusi pembiayaan terkonsentrasi pada tiga sektor yaitu
bisnis jasa, perkebunan dan konstruksi yang mencakup 60% dari total pembiayaan,
sedangkan sektor ekonomi lainnya kurang dari 10% . Jangka waktu pembiayaan
sebagian besar (50%) kurang dari tiga tahun, sedangkan yang lebih dari lima
tahun mencapai 3% dan jangka waktu tiga hingga lima tahun mencapai 18%.
Tampaknya paduan system perbankan syariah dengan kegiatan UKM merupakan
sinergi.
Contohnya Bank Syariah Mandiri (BSM) yang memposisikan diri
sebagai pendukung pembiayaan usaha kecil-menengah dan koperasi (UKMK)
membuktikannya dengan penyaluran pembiayaan yang sebagian besar (90%)
teralokasi untuk UKM yang sebagian besarnya dalam bentuk murabahah (jualbeli) serta sebagian kecil dalam bentuk musyarakah (kerjasama bagi hasil/modal
ventura) dan mudharabah (investasi).
Salah satu penyebab cukup besarnya persentase pembiayaan bank syariah
terhadap UKM diduga karena lembaga ini lebih mengutamakan kelayakan usaha
atau proyek dibanding nilai agunan. Pada hal agunan tersebut justru menjadi
faktor penghambat akses UKM terhadap bank konvensional, bukan karena UKM
tidak mempunyai asset melainkan karena nilai asset yang dimiliki tidak bankable.
Mereka yang tidak dapat dilayani oleh bank konvensional inilah sesungguhnya
yang merupakan calon nasabah yang potensial bagi bank syariah.Dengan
demikian jika ingin mendukung keuangan UKM salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan mendukung perkembangan bank syariah. Dengan kata
lain penguatan dan perluasan jaringan bank syariah kiranya akan dapat
meningkatkan akses UKM terhadap pembiayaan.
Dalam tahun-tahun terakhir ini, dana yang terkumpul di bank konvensional
banyak yang menganggur (idle) sedangkan sektor riil tidak banyak menerima
kucuran dana antara lain karena perbankan konvensional yang saat ini masih
mendominasi perbankan nasional lebih menyukai penanaman dana dalam bentuk
SBI (Sertifikat Bank Indonesia).
Sementara itu fasilitas yang mirip dengan
ituyaitu SWBI (Sertifikat Wadiah Bank Indonesia) kurang dimanfaatkan oleh
perbankan syariah karena lebih berorientasi pada pembiayaan investasi di sektor
riil sebagai salah satu prinsip untuk menghindari praktik kegiatan yang bersifat
spekulatif. Selain itu transaksi keuangan yang tak didasarkan pada usaha riil akan
melahirkan pertumbuhan semu dan menambah tekanan inflasi.
Berbeda dengan kondisi tersebut, pada bank syariah walaupun dana yang dapat
dihimpun masih relatif sedikit kalau hanya dilihat dari rasio ini saja tampaklah
bahwa penyauran dana dari bank syariah hampir tiga kali lipat bank konvensional.
Dengan kecenderungan ini maka dapat diharapkan apabila semakin banyak bank
syariah dana akan semakin termobilisasi dan akhirnya tersalur untuk pembiayaan
sektor riil, suatu aspek yang sangat dinantikan oleh dunia usaha untuk
menggerakkan roda perekonomian yang mandek selama beberapa tahun
belakangan ini.
Hal ini akan lebih mendukung UKM karena sesuai dengan
prinsip syariah sebagai lembaga intermediasi yang menerima dan menyalurkan
dana. Produk pembiayaan syariah bukan hanya terkait dengan bidang perbankan
melainkan dapat mencakup anjak piutang (hiwalah), modal ventura (musyarakah),
sewa-beli (Ijarah muntahiya bittamlik, ijarah wa iqtina ) dan pegadaian (rahn).
Dengan bervariasinya produk syariah, masyarakat diberi kesempatan untuk
memilih produk yang diminatinya sesuai kebutuhan.
Dengan berkembangnya bank-bank syariah yang sehat dan memberikan
pelayanan yang kompetitif, kiranya akan dapat mendorong peningkatan aliran
modal masuk dari investor internasional khususnya dari lembaga atau pihak –
pihak yang dalam penyaluran dananya menyaratkan pola transaksi dengan prinsip
syariah , misalnya IDB atau negara lain yang bank syariahnya sudah berhasil.
Untuk itu dapat dilakukan berbagai cara antara lain (a) pembiayaan dengan syarat
lunak, (b) peningkatan sumber dana (modal atau kredit), misalnya kerjasama
dengan Malaysia dan Brunai Darussalam
dikaitkan dengan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI), antara lain dengan promosi bank syariah dan pendirian cabang
di luar negeri, (c) mengupayakan sumberdana
dari lembaga donor yang
menyaratkan prinsip syariah dalam penyalurannya terutama IDB.
Secara umum IDB dapat membiayai proyek berupa loan financing, leasing,
installment, sale, equity, Istishna’a, profit sharing, dan technical assistance. Di
antara proyek-proyek tersebut mungkin ada yang bisa langsung berhubungan
dengan UKM ( sebagai nasabah bank syariah) ataupun UKM sekedar sebagai sub
kontraktor dalam penarikan dananya. Oleh karena itupemerintah kiranya dalam
mempertimbangkan perizinan bank Islam negara lain untuk membuka cabangnya
di Indonesia atau bekerjasama dengan perbankan syariah Indonesia.
Demikian pula masuknya bank asing juga kiranya akan mempercepat proses
pembentukan peraturan yang lebih mendekati pelaksanaan syariah. Keterbatasan
pengalaman,
sumberdaya
manusia,
modal
serta
kemampuan
manajerial
diharapkan akan teratasi dengan mendatangkan mereka yang telah lebih dulu
mengembangkan bank syariah.
Dengan bertambahnya bank Islam di masa
mendatang, nasabah muslim termasuk UKM akan mempunyai banyak pilihan
dimana harus menaruh uangnya atau dari bank mana mereka akan memiliki akses
terhadap berbagai bentuk pembiayaan yang ditawarkan bank syariah.
Untuk mencapai tujuan pengembangan perbankan syariah, perlu strategi
pengembangan yang diarahkan untuk meningkatkan kompetensi usaha yang
sejajar dengan system perbankan
konvensional
dan dilakukan secara
komprehensif dengan mengacu pada analisis kekuatan dan kelemahan perbankan
syariah saat ini. Dengan pijakan tersebut Bank Indonesia telah menyusun strategi
pengembangan perbankan syariah yang pada dasarnya mengacu pada empat
langkah utama, yakni : (1) penyusunan dan penyempurnaan landasan hukum dan
ketentuan operasional bank syariah yang mengacu pada standar internasional, (2)
perizinan yang mendukung upaya perluasan jaringan kantor bank syariah dan
pengawasan yang berorientasi kehatihatian; (3) pengembangan instrument
moneter dan pasar keuangan syariah, (4) meningkatkan pemahaman masyarakat
dan pengembangan SDM perbankan syariah.
Sekalipun demikian dalam jangka panjang langkah-langkah strategis tersebut
kiranya dapat mengarah pada pembenukan lembaga pembiayaan syariah, yang
tidak
sekedar
konvensional.
melakukan
penyesuaian
terhadap
ketentuan
perbankan
KESIMPULAN DAN SARAN
Adapun kesimpulan dalam kajian ini dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Dibandingkan dengan bank konvensional bank syariah mempunyai
keunikan yang secara prinsip dapat mendukung UKM antara lain : lebih
luwes dalam penyediaan agunan dan penetapan imbalan, dan lebih luas
menyediakan fasilitas meliputi bidang perbankan dan pembiayaan seperti
anjang piutang, modal ventura, sewa-beli dan pegadaian
2. Kualitas Pembiayaan bank syariah relatif baik.
Sampai dengan akhir
Agustus 2001, kredit bermasalahnya lebih rendah dibandingkan bank
konvensional.
Bahkan dalam tiga tahun terakhir, PT BMI dapat
menurunkan kredit bermasalahnya secara signifikan tanpa rekapilitasi dari
pemerintah, Selain itu bank syariah mendukung UKM karena sekitar 85%
pembiayaannya tarsalur utuk sektor UKM (dengan plafon hingga Rp. 2
miliar).
3. Dengan masih kurangnya perangkat perundang-undangan , maka
perbankan syariah terpaksa menyesuaikan produk-produknya dengan
hukum perbankan konvensional. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat
adanya menjadi tersamar dan perbankan syariah tampil seperti perbankan
konvensional.
Mengingat adanya keunikan bank syariah, upaya
menyesuaikan prinsip syariah ke dalam ketentuan perbankan konvensional
tidak dapat diakomodasi sepenuhnya sehingga kemampuan
untuk
membiayai UKM menjadi terbatas.
4. Perkembangan kerjasama antarbank syariah terhambat karena masih
sedikitnya jumlah bank syariah serta masih sangat kecilnya asset dan
portofolio pembiayaan syariah dalam perbankan nasional. Apalagi sejauh
ini belum berkembang instrument pasar uang dengan prinsip syariah, di
luar yang sudah disiapkan Bank Indonesia. Akibatnya alokasi dana untuk
pembiayaan UKM menjadi tidak optimal.
5. Tenaga terdidik dan berpengalaman di bidang perbankan syariah relatif
masih sedikit, baik untuk
bank pelaksana
maupun bank sentral.
Lembaga akademik dan pelatihan di bidang ini pun masih terbatas.
Sebagian besar masyarakat masih belum memahami bank syariah, padahal
pengetahuan tentang bank syariah merupakan kunci keberhasilan
pengembangan bank syariah.
Berdasarkan kesimpulan diatas, saran yang dapat diusulkan adalah sebagai
berikut :
1. Perlu ada Undang-Undang Pembiayaan Syariah yang sesuai dengan
prinsip syariah sehingga peluang pembiayaan (termask UKM) akan
menjadi lebih besar meskipun dengan modal yang ada saat ini, karena hak
dan kewajiban bank dengan nasabah dalam bank syariah berbeda dengan
hak dan kewajiban bank dan nasabah pada bank konvensional.
2. Pemerintah dan BI perlu memfasilitas pola kerjasama BUS dan BPRS dan
lembaga keuangan syariah lainnya utnuk mengatas masalah likuiditas dan
memperluas jaringan bank syariah.
3. Pemerintah perlu mengupayakan sumberdana dari lembaga donor yang
menyaratkan prinsip syariah sperti IDB.
Selain itu pemerintah perlu
mengundang bank syariah negara lain untuk membuka cabang ataupun
melakukan kerjasama dengan Malaysia dan Brunai Darussalam dikaitkn
dengan Tenaga Kerja Indonesia.
4. Bank Indonesia perlu menerbitkan contoh-contoh perjanjian baku yang
dipakai bank syariah dalam bertransaksi dengan para nasabahnya secara
transparan dan jelas sehingga dapat meningkatkan rasa aman dan
kepercayaan diri baik bagi nasabah maupun bank syariah.
5. Mengingat pemahaman masyarakat terhadap bank syariah masih belum
memadai maka pemerintah dan BI perlu melakukan sosialisasi tentang
sifat, produk dan perbedaan bank syariah dengan bank konvensional
dengan melibatkan tokoh masyarakat termasuk tokoh agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir. 1999. „ MencegahBangkrutnya Bank Syariah‟ Republik. 16
Februari.
Abraham L. U Udovitchdalam Thomas A. Timberg .Islamic Banking in
Indonesia . Jakarta, tanpatahun
Agus Wahid. 2000. „ Saatnya Indonesia Menggandeng IDB‟. Republika. 25 Juli
Bank Indonesia.RingkasanPokok-PokokHasilPenelitian“ Potensi,
PreferensidanPerilakuMasyarakatterhadap Bank Syariah di PulauJawa”.
Desember 2000
Bank Muamalat Indonesia, Tbk. 2000.Annual Report 2000/
Mulya E. Siregar. 2001.‟ Bank Syariah :SolusiPerbankanNasional?”
MajalahPengembanganPerbankan. No. 89/2001. Mei-Juni
Sutan Remy. 1999. PerbankanIslam danKedudukannyadalam Tata
HukumPerbankan Indonesia. Jakarta : PT PustakaUtamaGrafiti.
Undang-Undang No. 7 tahun 1992, 25 Maret 1992 tentangPerbankan. UU
Undang-UndangPerbankan No. 1 Tahun 1998, 10 November 1998,
tentangPerubahanUndang-Undang No. 7 tahun 1992 tentangPerbankan
Undang-Undang No. 23/1999, 17 Mei 1999 tentang Bank Indonesia
YoyokWidoyoko. 2001.” PotensiKemitraan Bank Syariahdengan UKM.”Bisnis
Indonesia. 29 Oktober
ZainulArifin. 2002. Dasar-DasarManajemen Bank Syariah, PerebitAlvabet,
Jakarta
Bank Syariah sebagai Alternatif Pembiayaan UKM
di Indonesia
Oleh:
Hanna Meilani Damanik, SE. M.M
(Dosen Tetap Fakultas Ekonomi – Universitas HKBP Nommensen)
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2017
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................................... i
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
Prinsip, Potensi dan Perkembangan Bank Syariah ................................... 3
Permasalahan Bank Syariah ...................................................................... 5
Potensi Bank Syariah Untuk Mendukung UKM ...................................... 6
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 10
Kesimpulan ............................................................................................... 10
Saran ....................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Babak baru dalam dunia perbankan Syariah Indonesia dimulai sejak Mei 1992
dimana sejak saat itu Bank Syariah eksis di Indonesia, tepatnya dengan mulai
beroperasinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) atas prakarsa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang didukung oleh sekelompok pengusaha dan cendekiawan
muslim. Walaupun jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, kehadiran
bank syariah di Indonesia relatif lambat. Hal ini disebabkan karena masih ada
perbedaan pendapat diantara umatIslam sendiri tentang konsep bunga yang
merentang dari anggapan haram (dilarang), subhat( meragukan) hingga halal
(dibolehkan). Sementara itu dari sisi aspek hukum pun pada saat itu masih kurang
menunjang karena peraturan perbankan yang ada tidak memuat tentang bank
syariah.
Permasalahan tersebut akhirnya terpecahkan dengan Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999. Kedua Undang-Undang
tersebut akhirnya menjadi dasar hukum dual banking system di Indonesia, yakni
terselenggaranya dua system perbankan menggunakan konsep konvensional dan
syariah secara berdampingan yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
Bank Indonesia sebagai Pembina perbankan Indonesia juga memberikan
dukungan atas perkembangan bank syariah di Indonesia selama ini. Sebagai
pelaksanaan UU No. 10 Tahun 1998, pada 2 Mei 1998 secara bersamaan Bank
Indonesia menerbitkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yang masingmasing untuk bank umum syariah (Nomor 32/34/KEP/DIR) dan untuk bank
perkreditan syariah (N. 32/36/KEP/DIR). Terakhir Bank Indonesia membentuk
biro khusus yakni Biro Perbankan Syariah yang bertugas melakukan penelitian,
pengembangan, pengaturan, pengawasan dan perizinan bank syariah, baik untuk
bank umum maupun bank perkreditan rakyat. Biro ini memulai kegiatannya sejak
Mei 2001.Selama beberapa waktu lamanya kehadiran BMI telah diikuti dengan
lahirnya BPRS, bank syariah lain dan bank umum konvensional yang membuka
cabang syariah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa saat ini bank syariah juga
termasuk sebagai salah satu alternatif pembiayan bagi perekonomian Indonesia.
Sekalipun pangsa pasarnya masih sangat rendah, pembiayaannya fokus pada
Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas, perlu adanya kajian tentang
peranan bank syariah dalam mendukung pengembangan UKM sebagai bagian dari
pengembangan pembiayaan alternatif.
Dengan mengacu pada kinerja bank
syariah selama ini serta peluangnya di masa depan kajian ini mengajukan
sejumlah rekomendasi untuk mendukung pengembangan UKM di masa
mendatang. Dengan demikian, diharapkan di masa depan akan semakin banyak
UKM yang memperoleh pembiayaan dari perbankan syariah.
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah studi literatur yang
menyangkut berbagai ketentuan, studi yang telah dilakukan sebelumnya serta data
yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga dan juga informasi dari berbagai
narasumber.
PEMBAHASAN
Prinsip, Potensi dan Perkembangan Bank Syariah
Dibandingkan dengan bank konvensional, bank syariah mempunyai keunikan
yang secara prinsip dapat mendukung UKM antara lain : lebih luwes dalam
penyediaan agunan; lebih luwes dalam penetapan imbalan; dan lebih luas dalam
menyediakan fasilitas meliputi bidang perbankan dan lembaga pembiayaan seperti
anjak piutang, modal ventura, sewa beli, dan pegadaian.
Sejak 1992, bank syariah merupakan alternatif pembiayaan bagi UKM di
Indonesia. Hingga September 2001, jaringannya masih sangat terbatas, yakni : 2
bank umum syariah (dengan 32 kantor cabang), 3 bank konvensional ( dengan 12
kantor cabang syariah) serta 81 BPRS. Secara finansial pun, pangsa pasar bank
syariah terhadap perbankan nasinal sangat kecil.
Pada Agustus 2001, asset
(dibanding seluruh bank) mencapai Rp. 2,37 triliun (0,23%); dana pihak ketiga Rp.
1,53 triliun (0,21%) dan pembiayaan Rp. 1.87 triliun (0,55%). Jika dibandingkan
dengan Malaysia, pangsa pasar Indonesia hanya sepersepuluhnya.
Kualitas Pembiayaan bank syariah relatif baik.Sampai dengan akhir Agustus 2001,
kredit bermasalahnya lebih rendah dibandingkan bank konvensional.
Bahkan
dalam tiga tahun terakhir, PT BMI dapat menurunkan kredit bermasalahnya
secara signifikan tanpa rekapilitasi dari pemerintah,
Selain itu bank syariah
mendukung UKM karena sekitar 85% pembiayaannya tarsalur utuk sektor UKM
(dengan plafon hingga Rp. 2 miliar).
Salah satu penyebab besarnya persentase
pembiayaan bank syariah terhadap
UKM diduga karena dibanding dengan bank konvensional, lembaga ini lebih
mengutamakan kelayakan usaha ketimbang agunan. Mereka yang tidak dapat
dilayani oleh bank konvensional inilah yang merupakan calon nasabah potensial
bank syariah.Selain itu, pasar bank syariah dapat ditingkatkan paling tidak hingga
tiga kali lipat dalam waktu dekat.Hal ini dikarenakan 45% masyarakat
menganggap system bunga bertentangan dengan ajaran agama.
Banyak
diantaranya yang belum menjadi nasabah bank syariah, sekalipun mereka tinggal
di sekitar kantor bank syariah. Sangat mungkin selama ini mereka menyimpan
kekayaannya “di bawah kasur” atau menginvestasikannya dalam bentuk asset
yang tidak bergerak.
Berdasarkan penelitian Bank Indonesia di pulau Jawa bank syariah berpotensi
untuk berkembang di Indonesia antara lain karena didukung oleh banyaknya
jumlah penduduk yang beragama Islam dan bank syariah berpotensi untuk
dikembangkan pada delapan belas wilayah dengan potensi ekonomi tinggi dan
basis keislaman yang kuat. Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan jaringan
bank syariah yang ada saat ini, masih banyak daerah potensial yang belum ada
jaringan bank syariahnya.
Selain penambahan jumlah kantor jaringan bank syariah bisa dilakukan dengan
kerjasama antar bank syariah antara lain dengan memanfaatkan Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS) atau lembaga lain yang menjalankan syariah Islam
misalnya Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai penyalur pembiayaan bank
umum syariah/ koperasi syariah.
Dengan berkembangnya bank syariah yang
sehat dan memberikan pelayanan yang kompetitif akan mendorong aliran modal
dari investor internasional khususnya dari lembaga atau pihak-pihak yang dalam
penyaluran dananya menyaratkan transaksi dengan prinsip syariah misalnya
Islamic Development Bank (IDB) atau bank syariah yang berhasil di negara lain.
Permasalahan Bank Syariah
Dengan masih kurangnya perangkat perundang-undangan , maka perbankan
syariah terpaksa menyesuaikan produk-produknya dengan hukum perbankan
konvensional. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat adanya menjadi tersamar
dan perbankan syariah tampil seperti perbankan konvensional. Mengingat adanya
keunikan bank syariah, upaya menyesuaikan prinsip syariah ke dalam ketentuan
perbankan
konvensional
tidak dapat
diakomodasi
sepenuhnya
sehingga
kemampuan untuk membiayai UKM menjadi terbatas.
Terkait masalah permodalan, kalangan perbankan syariah menyarankan agar Bank
Indonesia (BI) membedakan peraturan tentang kecukupan modal bank (Capital
Adequacy Ratio/ CAR) karena adanya perbedaan perhitungan mengenai hak dan
kewajiban
bank dan nasabah
antara bank syariah dan bank konvensional
Perkembangan kerjasama antarbank syariah terhambat karena masih sedikitnya
jumlah bank syariah serta masih sangat kecilnya asset dan portofolio pembiayaan
syariah dalam perbankan nasional.
Apalagi sejauh ini belum berkembang
instrument pasar uang dengan prinsip syariah, di luar yang sudah disiapkan Bank
Indonesia.
Akibatnya alokasi dana untuk pembiayaan UKM menjadi tidak
optimal.
Sampai saat ini sumberdaya manusia yang terdidik dan berpengalaman di bidang
perbankan syariah relatif masih sedikit, baik untuk bank pelaksana maupun bank
sentral.
Lembaga akademik dan pelatihan di bidang ini pun masih
terbatas.Sebagian besar masyarakat masih belum memahami bank syariah,
padahal pengetahuan tentang bank syariah merupakan kunci keberhasilan
pengembangan bank syariah.
Oleh karena itu baik insan perbankan syariah
(secara internal)maupun pemerintah perlu lebih meningkatkan pndidikan dan
pelatihan
maupun
bank syariah, baik bekerjasama dengan lembaga di dalam negeri
manca
negara.
Potensi Bank Syariah untuk Mendukung UKM
Pada periode Januari 2008 hingga Januari 2009 terdapat3 Bank Umum Syariah
(BUS) , 25 Unit /Divisi Usaha Syariah(UUS/DUS) dan 115 BPRS yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia. Pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah
untuk sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tercatat sebesar Rp.
18,38 Triliun (67,82% dari total pembiayaan) sedangkan pembiayaan untuk
sektok non-UKM sebesar Rp. 8,72 Triliun (32,18% dari total pembiayaan). Hal
ini menunjukkan peranan bank syariah dalam memberdayakan UMKM khususnya
dalam hal pembiayaan sudah cukup tinggi meski pangsa pasar masih sangat kecil
2,79 % dari total kredit perbankan nasional.
Terbatasnya alternatif penempatan dana bagi bank syariah telah memaksa BMI
untuk menyalurkan fasilitas pembiayaan baru, dimana mayoritas diberikan dalam
bentuk mudharabah. Distribusi pembiayaan terkonsentrasi pada tiga sektor yaitu
bisnis jasa, perkebunan dan konstruksi yang mencakup 60% dari total pembiayaan,
sedangkan sektor ekonomi lainnya kurang dari 10% . Jangka waktu pembiayaan
sebagian besar (50%) kurang dari tiga tahun, sedangkan yang lebih dari lima
tahun mencapai 3% dan jangka waktu tiga hingga lima tahun mencapai 18%.
Tampaknya paduan system perbankan syariah dengan kegiatan UKM merupakan
sinergi.
Contohnya Bank Syariah Mandiri (BSM) yang memposisikan diri
sebagai pendukung pembiayaan usaha kecil-menengah dan koperasi (UKMK)
membuktikannya dengan penyaluran pembiayaan yang sebagian besar (90%)
teralokasi untuk UKM yang sebagian besarnya dalam bentuk murabahah (jualbeli) serta sebagian kecil dalam bentuk musyarakah (kerjasama bagi hasil/modal
ventura) dan mudharabah (investasi).
Salah satu penyebab cukup besarnya persentase pembiayaan bank syariah
terhadap UKM diduga karena lembaga ini lebih mengutamakan kelayakan usaha
atau proyek dibanding nilai agunan. Pada hal agunan tersebut justru menjadi
faktor penghambat akses UKM terhadap bank konvensional, bukan karena UKM
tidak mempunyai asset melainkan karena nilai asset yang dimiliki tidak bankable.
Mereka yang tidak dapat dilayani oleh bank konvensional inilah sesungguhnya
yang merupakan calon nasabah yang potensial bagi bank syariah.Dengan
demikian jika ingin mendukung keuangan UKM salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan mendukung perkembangan bank syariah. Dengan kata
lain penguatan dan perluasan jaringan bank syariah kiranya akan dapat
meningkatkan akses UKM terhadap pembiayaan.
Dalam tahun-tahun terakhir ini, dana yang terkumpul di bank konvensional
banyak yang menganggur (idle) sedangkan sektor riil tidak banyak menerima
kucuran dana antara lain karena perbankan konvensional yang saat ini masih
mendominasi perbankan nasional lebih menyukai penanaman dana dalam bentuk
SBI (Sertifikat Bank Indonesia).
Sementara itu fasilitas yang mirip dengan
ituyaitu SWBI (Sertifikat Wadiah Bank Indonesia) kurang dimanfaatkan oleh
perbankan syariah karena lebih berorientasi pada pembiayaan investasi di sektor
riil sebagai salah satu prinsip untuk menghindari praktik kegiatan yang bersifat
spekulatif. Selain itu transaksi keuangan yang tak didasarkan pada usaha riil akan
melahirkan pertumbuhan semu dan menambah tekanan inflasi.
Berbeda dengan kondisi tersebut, pada bank syariah walaupun dana yang dapat
dihimpun masih relatif sedikit kalau hanya dilihat dari rasio ini saja tampaklah
bahwa penyauran dana dari bank syariah hampir tiga kali lipat bank konvensional.
Dengan kecenderungan ini maka dapat diharapkan apabila semakin banyak bank
syariah dana akan semakin termobilisasi dan akhirnya tersalur untuk pembiayaan
sektor riil, suatu aspek yang sangat dinantikan oleh dunia usaha untuk
menggerakkan roda perekonomian yang mandek selama beberapa tahun
belakangan ini.
Hal ini akan lebih mendukung UKM karena sesuai dengan
prinsip syariah sebagai lembaga intermediasi yang menerima dan menyalurkan
dana. Produk pembiayaan syariah bukan hanya terkait dengan bidang perbankan
melainkan dapat mencakup anjak piutang (hiwalah), modal ventura (musyarakah),
sewa-beli (Ijarah muntahiya bittamlik, ijarah wa iqtina ) dan pegadaian (rahn).
Dengan bervariasinya produk syariah, masyarakat diberi kesempatan untuk
memilih produk yang diminatinya sesuai kebutuhan.
Dengan berkembangnya bank-bank syariah yang sehat dan memberikan
pelayanan yang kompetitif, kiranya akan dapat mendorong peningkatan aliran
modal masuk dari investor internasional khususnya dari lembaga atau pihak –
pihak yang dalam penyaluran dananya menyaratkan pola transaksi dengan prinsip
syariah , misalnya IDB atau negara lain yang bank syariahnya sudah berhasil.
Untuk itu dapat dilakukan berbagai cara antara lain (a) pembiayaan dengan syarat
lunak, (b) peningkatan sumber dana (modal atau kredit), misalnya kerjasama
dengan Malaysia dan Brunai Darussalam
dikaitkan dengan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI), antara lain dengan promosi bank syariah dan pendirian cabang
di luar negeri, (c) mengupayakan sumberdana
dari lembaga donor yang
menyaratkan prinsip syariah dalam penyalurannya terutama IDB.
Secara umum IDB dapat membiayai proyek berupa loan financing, leasing,
installment, sale, equity, Istishna’a, profit sharing, dan technical assistance. Di
antara proyek-proyek tersebut mungkin ada yang bisa langsung berhubungan
dengan UKM ( sebagai nasabah bank syariah) ataupun UKM sekedar sebagai sub
kontraktor dalam penarikan dananya. Oleh karena itupemerintah kiranya dalam
mempertimbangkan perizinan bank Islam negara lain untuk membuka cabangnya
di Indonesia atau bekerjasama dengan perbankan syariah Indonesia.
Demikian pula masuknya bank asing juga kiranya akan mempercepat proses
pembentukan peraturan yang lebih mendekati pelaksanaan syariah. Keterbatasan
pengalaman,
sumberdaya
manusia,
modal
serta
kemampuan
manajerial
diharapkan akan teratasi dengan mendatangkan mereka yang telah lebih dulu
mengembangkan bank syariah.
Dengan bertambahnya bank Islam di masa
mendatang, nasabah muslim termasuk UKM akan mempunyai banyak pilihan
dimana harus menaruh uangnya atau dari bank mana mereka akan memiliki akses
terhadap berbagai bentuk pembiayaan yang ditawarkan bank syariah.
Untuk mencapai tujuan pengembangan perbankan syariah, perlu strategi
pengembangan yang diarahkan untuk meningkatkan kompetensi usaha yang
sejajar dengan system perbankan
konvensional
dan dilakukan secara
komprehensif dengan mengacu pada analisis kekuatan dan kelemahan perbankan
syariah saat ini. Dengan pijakan tersebut Bank Indonesia telah menyusun strategi
pengembangan perbankan syariah yang pada dasarnya mengacu pada empat
langkah utama, yakni : (1) penyusunan dan penyempurnaan landasan hukum dan
ketentuan operasional bank syariah yang mengacu pada standar internasional, (2)
perizinan yang mendukung upaya perluasan jaringan kantor bank syariah dan
pengawasan yang berorientasi kehatihatian; (3) pengembangan instrument
moneter dan pasar keuangan syariah, (4) meningkatkan pemahaman masyarakat
dan pengembangan SDM perbankan syariah.
Sekalipun demikian dalam jangka panjang langkah-langkah strategis tersebut
kiranya dapat mengarah pada pembenukan lembaga pembiayaan syariah, yang
tidak
sekedar
konvensional.
melakukan
penyesuaian
terhadap
ketentuan
perbankan
KESIMPULAN DAN SARAN
Adapun kesimpulan dalam kajian ini dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Dibandingkan dengan bank konvensional bank syariah mempunyai
keunikan yang secara prinsip dapat mendukung UKM antara lain : lebih
luwes dalam penyediaan agunan dan penetapan imbalan, dan lebih luas
menyediakan fasilitas meliputi bidang perbankan dan pembiayaan seperti
anjang piutang, modal ventura, sewa-beli dan pegadaian
2. Kualitas Pembiayaan bank syariah relatif baik.
Sampai dengan akhir
Agustus 2001, kredit bermasalahnya lebih rendah dibandingkan bank
konvensional.
Bahkan dalam tiga tahun terakhir, PT BMI dapat
menurunkan kredit bermasalahnya secara signifikan tanpa rekapilitasi dari
pemerintah, Selain itu bank syariah mendukung UKM karena sekitar 85%
pembiayaannya tarsalur utuk sektor UKM (dengan plafon hingga Rp. 2
miliar).
3. Dengan masih kurangnya perangkat perundang-undangan , maka
perbankan syariah terpaksa menyesuaikan produk-produknya dengan
hukum perbankan konvensional. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat
adanya menjadi tersamar dan perbankan syariah tampil seperti perbankan
konvensional.
Mengingat adanya keunikan bank syariah, upaya
menyesuaikan prinsip syariah ke dalam ketentuan perbankan konvensional
tidak dapat diakomodasi sepenuhnya sehingga kemampuan
untuk
membiayai UKM menjadi terbatas.
4. Perkembangan kerjasama antarbank syariah terhambat karena masih
sedikitnya jumlah bank syariah serta masih sangat kecilnya asset dan
portofolio pembiayaan syariah dalam perbankan nasional. Apalagi sejauh
ini belum berkembang instrument pasar uang dengan prinsip syariah, di
luar yang sudah disiapkan Bank Indonesia. Akibatnya alokasi dana untuk
pembiayaan UKM menjadi tidak optimal.
5. Tenaga terdidik dan berpengalaman di bidang perbankan syariah relatif
masih sedikit, baik untuk
bank pelaksana
maupun bank sentral.
Lembaga akademik dan pelatihan di bidang ini pun masih terbatas.
Sebagian besar masyarakat masih belum memahami bank syariah, padahal
pengetahuan tentang bank syariah merupakan kunci keberhasilan
pengembangan bank syariah.
Berdasarkan kesimpulan diatas, saran yang dapat diusulkan adalah sebagai
berikut :
1. Perlu ada Undang-Undang Pembiayaan Syariah yang sesuai dengan
prinsip syariah sehingga peluang pembiayaan (termask UKM) akan
menjadi lebih besar meskipun dengan modal yang ada saat ini, karena hak
dan kewajiban bank dengan nasabah dalam bank syariah berbeda dengan
hak dan kewajiban bank dan nasabah pada bank konvensional.
2. Pemerintah dan BI perlu memfasilitas pola kerjasama BUS dan BPRS dan
lembaga keuangan syariah lainnya utnuk mengatas masalah likuiditas dan
memperluas jaringan bank syariah.
3. Pemerintah perlu mengupayakan sumberdana dari lembaga donor yang
menyaratkan prinsip syariah sperti IDB.
Selain itu pemerintah perlu
mengundang bank syariah negara lain untuk membuka cabang ataupun
melakukan kerjasama dengan Malaysia dan Brunai Darussalam dikaitkn
dengan Tenaga Kerja Indonesia.
4. Bank Indonesia perlu menerbitkan contoh-contoh perjanjian baku yang
dipakai bank syariah dalam bertransaksi dengan para nasabahnya secara
transparan dan jelas sehingga dapat meningkatkan rasa aman dan
kepercayaan diri baik bagi nasabah maupun bank syariah.
5. Mengingat pemahaman masyarakat terhadap bank syariah masih belum
memadai maka pemerintah dan BI perlu melakukan sosialisasi tentang
sifat, produk dan perbedaan bank syariah dengan bank konvensional
dengan melibatkan tokoh masyarakat termasuk tokoh agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir. 1999. „ MencegahBangkrutnya Bank Syariah‟ Republik. 16
Februari.
Abraham L. U Udovitchdalam Thomas A. Timberg .Islamic Banking in
Indonesia . Jakarta, tanpatahun
Agus Wahid. 2000. „ Saatnya Indonesia Menggandeng IDB‟. Republika. 25 Juli
Bank Indonesia.RingkasanPokok-PokokHasilPenelitian“ Potensi,
PreferensidanPerilakuMasyarakatterhadap Bank Syariah di PulauJawa”.
Desember 2000
Bank Muamalat Indonesia, Tbk. 2000.Annual Report 2000/
Mulya E. Siregar. 2001.‟ Bank Syariah :SolusiPerbankanNasional?”
MajalahPengembanganPerbankan. No. 89/2001. Mei-Juni
Sutan Remy. 1999. PerbankanIslam danKedudukannyadalam Tata
HukumPerbankan Indonesia. Jakarta : PT PustakaUtamaGrafiti.
Undang-Undang No. 7 tahun 1992, 25 Maret 1992 tentangPerbankan. UU
Undang-UndangPerbankan No. 1 Tahun 1998, 10 November 1998,
tentangPerubahanUndang-Undang No. 7 tahun 1992 tentangPerbankan
Undang-Undang No. 23/1999, 17 Mei 1999 tentang Bank Indonesia
YoyokWidoyoko. 2001.” PotensiKemitraan Bank Syariahdengan UKM.”Bisnis
Indonesia. 29 Oktober
ZainulArifin. 2002. Dasar-DasarManajemen Bank Syariah, PerebitAlvabet,
Jakarta