Untitled Document

(1)

Karya Ilmiah

PAJAK PENGHASILAN ATAS ROYALTI,

IMBALAN JASA TEKNIK DAN

FRANCHISE

Oleh:

Hendrik ES Samosir, SE.Ak, M.Ak.

(

Dosen Tetap Fakultas Ekonomi – Universitas HKBP Nommensen

)

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

BAB I PENDAHULUAN... 1

BAB II PEMBAHASAN ... 3

II.1. Kerangka Teori... 3

II.2. Metode Pengumpulan Data ... 14

II.3. Pembahasan... 15

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

III.1. Kesimpulan ... 25

III.2. Saran... 26


(3)

BAB I PENDAHULUAN

Dunia telah berada dalam era millennium ketiga yang ditandai oleh kemajuan yang pesat di bidang tehnologi komunikasi dan informasi yang telah mendorong berlangsungnya globalisasi dunia dengan cepat dan dinamis. Perdagangan dan teknologi adalah kekuatan besar yang mempengaruhi proses transformasi global. Kemajuan komunikasi dan transportasi telah memberikan kontribusi dan ikut mematangkan iklim yang kondusif terhadap hubungan ekonomi internasional. Kemajuan tersebut juga ikut mendorong munculnya format-format baru dalam menjalankan aktivitas bisnis dalam rangka memperlancar arus barang dan jasa, meluaskan pasar, menghilangkan distorsi dari jaringan distribusi dan membangun image bagi pelanggan dan calon pelanggannya.

Dalam beberapa hal negara-negara berkembang memang belum bisa menciptakan sendiri tehnologi yang mereka butuhkan dalam rangka menjalankan usahanya. Kondisi ini akhirnya menyebabkan mereka, mau tidak mau harus menggunakan tehnologi ciptaan negara maju. Hal tersebut dapat kita lihat dari pemanfaatan technical advise dari pihak asing atau penggunaan lisensi atas hal memanfaatkan tehnologi tertentu yang dimiliki pihak asing tersebut dalam bentuk kerjasama antara pihak Indonesia dengan asing berupa perjanjian bantuan teknik (technical assistance agreement) dan perjanjian lisensi (license agreement).

Dewasa ini franchise (waralaba) sebagai salah satu bentuk perjanjian lisensi semakin marak berkembang di Indonesia terutama bisnis franchise (waralaba) mancanegara. Sebut saja Mc Donals, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, Hoka-Hokba Bento dan nama beken lainnya. Tidak ikut ketinggalan bisnis franchise dalam negeri pun mulai berkembang seperti Es Teler 77, Ayam Bakar Wong Solo, Ny.Suhartini dan lain sebagainya. Bisnis ini cepat berkembang mungkin karena kepraktisannya melayani konsumen dengan harga yang relatif terjangkau dan melambangkan gaya hidup modern terutama di kota metropolitan seperti Jakarta.


(4)

Dengan demikian atas pemanfaatan bisnis franchise (waralaba) sudah tentu ada sejumlah imbalan berupa uang yang harus dibayar kepada pihak asing maupun antar pihak dalam negeri. Imbalan yang terkait dalam bisnis franchise bisa bermacam-macam jenisnya antara lain royalti, imbalan jasa teknik, dan penghasilan dari usaha keseluruhannya merupakan objek pengenaan Pajak Penghasilan (PPh).

Namun demikian, tidak mudah untuk menentukan royalti, jasa teknik, dan penghasilan dari usaha sebagai objek PPn. Bahkan sering terjadi dispute antara Wajib Pajak dengan fiskus dalam menentukan royalti, jasa teknik, penghasilan dari usaha sebagai objek pajak (PPh).

Tidak terbatas pada aspek Pajak Penghasilan saja, aspek pajak lain yang tidak kalah menarik untuk dibahas adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Misalnya dikaitkan dengan franchise, untuk pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutama yang berkaitan dengan penyerahan jasa pemanfaatan barang tidak berwujud dalam negeri dikenakan pajak maka begitu juga pemanfaatan barang tidak berwujud dari luar negeri. Atas penyerahan tersebut sering timbul dispute misalnya mengenai tarif apakah berlaku hal yang sama baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Hal-hal demikian yang menjadikan topik mengenai royalti, imbalan jasa teknik, dan penghasilan dari usaha dalam bisnis frachise menarik untuk dikaji lebih lanjut.

PERMASALAHAN POKOK

Berkaitan dengan hal-hal diatas, maka begitu banyak permasalahan yang timbul dan menarik untuk dibahas. Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk mengidentifikasi sejumlah penghasilan yang mungkin ada dalam bisnis franchise serta apa saja yang merupakan objek-objek pajak yang timbul dari bisnis franchise dan perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sejumlah penghasilan yang timbul dalam bisnis franchise yang meliputi royalti.


(5)

BAB II PEMBAHASAN

11.1 Kerangka Teori A. Franchise

1. Pengertian Franchise

Menurut Joseph Moncuso dan Donal Borolan (1995) secara sederhana menyebutkan franchising (waralaba), sebagai istilah yang menunjukkan hubungan antara dua pihak untuk mendistribusikan barang atau jasa.

Dalam kegiatan franchising paling tidak, terikat dua pihak yang saling berhubungan yakni:

a. Franchisor (penjual) yaitu pihak yang memperkenalkan pemegang (pembeli) franchise menggunakan nama dagang, produk, teknik dan proses franchise dengan mengharuskan diikutinya standar melalui persetujuan lisensi.

b. Franchisee (pembeli) yaitu pihak yang membeli suatu bisnis dan menarik manfaat dari pelanggan akan nama dagang, sistem teruji dan pelayanan yang dapat disediakan penjual (pemilik franchise).

2. Jenis-jenis Francise

Joseph Moncuse Donald Boroian, menyebutkan tiga jenis franchise: a. Franchising Formal Bisnis (yang sering disebut dengan franchising

saja)

Manajer atau pemilik franchise (franchisor) mengizinkan seseorang memasarkan produk atau jasa menggunakan nama, merek dagang dan format bisns franchisor. Produk yang dijual tersebut umumnya tidak disediakan franchise tapi adakalanya bahan atau alat-alat disediakan (dengan imbalan) oleh franchisor (untuk fast food misalnya Mac Donald).


(6)

Berhubungan dengan distribusi produk dengan pemberikan lisensi pemegang franchise untuk memasarkan produk dari perusahaan (franchisor) pada wilayah tertentu misalnya dalam industri otomotif (mobil), elektronika, komputer, dan sebagainya. Selanjutnya, pemegang franchise wilayah tersebut dapat men-subfranchisekan lagi pada orang lain untuk bagian-bagian wilayah yang lebih baik lagi. c. Franchising Konversi

Franchise konversi sebetulnya adalah franchising format bisnis yang diadaptasikan untuk mengangkat nama pendiri bisnis dalam iklan, misalnya Century 21.

3. Penghasilan yang diterima/ diperoleh dari bisnis franchise

Dari pemegang (franchise), pemilik (franchisor) dapat memperoleh penghasilan dalam beberapa bentuk sebagai berikut:

a. Uang franchise awal (initial franchise fee)

b. Uang franchise terus menerus (continuing franchise fee) c. Kenaikan harga produk

4. Metode-metode Franschising

Ada beberapa metode franchising yaitu: a. Lisensi master

Dilakukan dengan memberikan lisensi kepada sebuah perusahaan atau orang di wilayah negara tertentu dan memberinya hak operasi untuk seluruh wilayah tersebut dan dapat memberikan sub-franchise di wilayah tersebut atau wilayah yang lebih kecil kepada franchise yang mengoperasikannya.

b. Operasi anak perusahaan (subsidiary company)

Franchising dengan mengoperasikan anak perusahaan lebih bersifat bentuk legal sarana beroperasi (cabang sebagai bagian dari perusahaan franchisor, anak perusahaan sebagai badan hukum tersendiri).

c. Operasi cabang

Sementara franchisor dapat membuka cabang di suatu negara yang memanfaatkannya dalam wilayah tersebut.


(7)

d. Lisensi langsung

Lisensi langsung (direct licencing) merupakan pemberian franchise langsung kepada pemilik unit operasional dan dukungan langsung terutama antar negara yang berdekatan wilayahnya.

B. Royati

1. Pengertian Royalti menurut UU Domestik

Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h UU PPh, pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu sehubungan dengan penggunaan:

a. Hak atas hak tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dangan, formula, atau rahasia perusahaan;

b. Hak atas harta berwujud, misalnya hal atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig) dan sebagainya

c. Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama

2. Pengeritan Royalti Menurut OECD Model

Menurut OECD Model Pasal 12 ayat 2, royalti berarti setiap jenis pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan atau atas hak


(8)

untuk menggunakan setiap hak cipta kesusasteraan, kesenian atau kerja ilmiah, termasuk fim sinematografi, paten, merek dagang, pola atau model, perencanaan, rumus rahasia, atau cara pengolahan, atau untuk informasi di bidang industri, perdagangan atau pengalaman ilmu pengetahuan.

3. Pengertian Royalti Menurut UN Model

Menurut UN Model Pasal 12 ayat 3, royalti berarti setiap jenis pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan atau atas hak untuk menggunakan setiap hak cipat kesusteraan, kesenian atau kerja ilmiah, termasuk sinematografi, paten, merk dagang, pola atau model, perencanaan, rumus rahasia, atau cara pengolahan, atau untuk penggunaan atau hak untuk menggunakan alat-alat perlengkapan industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan atau untuk informasi di bidang industri, perdagangan atau pengalaman ilmu pengetahuan.

C. Imbalan Jasa Teknik

1. Pengertian Imbalan Jasa Teknik menurut UU Pajak Domestik

Pengertian Imbalan Jasa Teknik menurut UU Pajak Domestik diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009 , tentang Jumlah Bruto sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

2. Pengertian Imbalan Jasa Teknk menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty)

Menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty), pada umumnya secara implisit telah tercakup dalam kalimat “furnishing of services”. Yaitu kegiatan yang dianggap memenuhi kriteria Badan Usaha Tetap (BUT) bila telah memenuhi uji waktu.

Khusus dalam Tax Treaty antara Indonesia dengan Pakistan, Swiss, Jerman, Luxemburg, dan Venezuela jasa teknik diatur secara tersendiri dan


(9)

pemajakannya dilakukan melalui pemotongan oleh pihak lain (withholding) serta dengan penerapan reduced rate.

D. Bussiness Profit

1. Bussiness profit menurut OECD Model Menurut OECD Model pasal 7:

“Laba perusahaan dari satu Negara pihak pada Persetujuan (Contracting States) hanya akan dikenai pajak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya (The Other Contracting States) melalui suatu bentuk usaha tetap. Apabila perusahaan itu menjalankan usaha seperti dimaksud diatas, laba perusahaan dapat dikenai pajak di Negara lainnya tetapi hanya sebesar bagian laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap”.

OECD Model menganut attribution principle artinya adalah bahwa yang dianggap laba usaha yang diperoleh dari kegiatan usaha di Negara sumber oleh perusahaan yang merupakan penduduk dari Negara domisili adalah laba yang berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap saja.

2. Bussiness profit menurut UN Model Menurut UN Model pasal 7:

“Laba perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan (Contracting States) hanya akan dikenai pajak di Negara itu kecuali jika perusahaan tersebut menjalankan usahanya di Negara pihak pada Persetujuan lainnya (The Other Contracting States) melalui suatu bentuk usaha tetap. Apabila perusahaan itu menjalankan usaha seperti dimaksud di atas, laba perusahaan dapat dikenai pajak di Negara lainnya tetapi hanya sebesar bagian laba yang dianggap berasal dari:

a. Bentuk usaha tetap

b. Penjualan barang-barang atau barang dagangan di Negara lainnya, yang jenisnya sama atau serupa seperti yang dijual melalui bentuk usaha tetap tersebut; atau


(10)

c. Kegiatan usaha lainnya yang dilakukan di Negara lain yang sejenisnya sama atau serupa seperti yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap tersebut.

Sedangkan UN Model menganut force of attraction principle artinya yang dianggap sebagai laba usaha dari usaha bentuk usaha tetap bukan hanya laba dari kegiatan yang langsung dilakukan oleh betuk usaha tetap, tetapi juga laba yang berasal dari kegiatan yang dilakukan di luar bentuk usaha tetap oleh kantor pusatnya.

E. Bentuk Usaha Tetap

1. Pengertian BUT menurut UU PPh

Berdasarkan pasal 2ayat (5) UU PPh ada beberapa kriteria sehingga dapat dikatakan adanya suatu BUT, yaitu:

Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa:

a. Tempat kedudukan manajemen b. Cabang perusahaan

c. Kantor perwakilan d. Gedung kantor e. Pabrik

f. Bengkel

g. Pertambangan dan penggalian sumber, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan

h. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan i. Proyek kontruksi, instalasi,atau proyek perakitan

j. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan


(11)

k. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas

l. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia

2. Pengertian BUT menurut OECD Model

Menurut OECD Model pasal 5 BUT didefinisikan sebagai suatu tempat usaha tetap di salah satu negara dimana seluruh atau sebagian usaha dari suatu perusahaan dari negara lainnya dijalankan yang meliputi: a. Suatu tempat kedudukan manajemen

b. Suatu kantor cabang c. Suatu pabrik

d. Suatu bengkel

e. Suatu lokasi tambang, sumur minyak bumi atau gas, suatu penggalian atau tempat eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.

BUT juga meliputi bangunan, kontruksi, proyek perakitan atau proyek instalasi selama lebih dari 12 bulan

3. Pengertian BUT menurut UN Model

Menurut UN Model pasal 5 BUT didefinisikan sebagai suatu tempat usaha di salah satu negara dimana seluruh atau sebagian usaha dari suatu perusahaan dari negara lainnya dijalankan yang meliputi:

a. Suatu tempat kedudukan manajemen b. Suatu cabang

c. Suatu kantor d. Suatu pabrik e. Suatu bengkel

f. Suatu lahan pertanian g. Suatu gudang


(12)

h. Suatu lokasi tambang, sumur minyak bumi atau gas, suatu penggalian atau tempat eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.

BUT juga meliputi:

a. Bangunan, konstruksi, proyek perakitan atau instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut, asalkan bangunan dan konstruksi serta kegiatan pengawasannya berlangsung selama lebih dari 6 bulan

b. Pemberikan jasa, termasuk jasa konsultan yang diberikan oleh suatu perusahaan melalui karyawannya atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan untuk keperluan tersebut, sepanjang kegiatan itu berlangsung untuk proyek yang sama, atau yang berkaitan, di negara tersebut selama lebih dari 6 bulan dalam kurun waktu 12 bulan

F. Aspek Pajak Penghasilan 1. Objek PPh Pasal 23

Berdasarkan UU PPh pasal 23 ayat 1 atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:

a. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas:

1. Dividen segaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; 2. Bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f; 3. Royalti

4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf e;

b. Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi


(13)

c. Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas:

1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

2. Objek PPh Pasal 26

Berdasarkan UU PPh Pasal 26 ayat 1 atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

a. Dividen;

b. Bunga, termasuk premium, diskonto, premi swal dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

c. Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

d. Imbalan sehubungan dengan pengenaan jasa, pekerjaan dan kegiatan;

e. Hadiah dan penghargaan

f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya

G. Aspek Pajak Pertambahan Nilai 1. Objek Pajak Pertambahan Nilai

Objek Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D UU Nomor 11 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 42 tahun 2009 adalah sebagai berikut:


(14)

a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

b. Impor Barang Kena Pajak;

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;

g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya akan digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain;

h. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjual belikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

2. Barang Kena Pajak

Di dalam pasal 1 huruf c dan huruf b yang baru UU No.42 Tahun 2009, pengertian Barang Kena Pajak dirumuskan sebagai berikut:

“ Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini” .

3. Jasa Kena Pajak

Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009, Jasa Kena Pajak didefinisikan sebagai berikut:

“ Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atas hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau


(15)

permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini” .

4. Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean

Berdasarkan dasar hukum yaitu pasal 3A ayat (3) dan pasal 11 ayat (4) UU PPN dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 yang berlaku 1 April 2010 adalah sebagai berikut:

a. Saat mulai pemanfaatan adalah ditentukan oleh perbuatan/ peristiwa hukum yang lebih dahulu dilakukan atau diketahui ada diantara 5 perbuatan hukum yang dilakukan pada:

1. Saat secara nyata BKP Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut digunakan;

2. Saat harga perolehannya dinyatakan sebagai utang;

3. Saat harga jual atau penggantian ditagih oleh pihak yang menyerahkan;

4. Saat harga perolehan dibayar sebagian atau seluruhnya;

5. Saat ditandatangani surat perjanjian dalam hal saat butir (1) sampai dengan (4) tidak diketahui

b. BKP tidak berwujud dapat berupa hak patent, hak oktroi, hak cipta dan merek dagang

c. Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, dapat berupa:

1. Jasa berasal dari luar Daerah Pabean yang melekat atau ditujukan pada barang tidak bergerak yang terletak di Dalam Daerah Pabean. Misalnya maket gedung hotel yang terletak di Jakarta, dibuat di Singapura.

2. Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau ditujukan untuk Barang Bergerak yang berada atau dimanjaatkan didalam Daerah Pabean. Misalnya rig disewa dari pengusaha di Hongkong untuk kegiatan pencarian sumber-sumber minyak di lepas pantai Laut Jawa.


(16)

3. Jasa yang dilakukan secara fisik di dalalm Daerah Pabean (penyerahan oleh Pengusaha dari luar Daerah Pabean). Misalnya jasa konsultan, pengacara, kantor akuntan publik, jasa surveyor yang dilakukan oleh pengusaha dari luar Daerah Pabean tetapi dilakukan di dalam Daerah Pabean.

d. Cara penghitungan pajak terutang

1. 10% dari jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan dalam hal:

i. Jumlah yang dibayarkan belum termasuk PPN

ii. Tidak diketemukan surat perjanjian untuk pembayaran dimaksud

iii. Ada surat perjanjian tetapi tidak ada penegasan bahwa dalam harga kontrak sudah termasuk PPN

2. 10/110 dari jumlah pembayaran yang dinyatakan sudah termauk PPN

e. Orang Pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

II.2. METODE PENGUMPULAN DATA

Makalah ini bersifat deskripsi analisis. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan berasal dari kepustakaan atau literatur yang meliputi pengumpulan bahan-bahan bacaan dari buku-buku literatur, referensi, dan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang beserta peraturan pelaksanaannya.


(17)

II.3. PEMBAHASAN

A. Perlakuan Pajak Penghasilan 1. Initial Franchise Fee

Kontrak franchise pada umumnya memuat initial franchise fee yang akan dibebankan oleh franchisor kepada franchise untuk menagih semua biaya awal sebagai akibat penyediaan franchise tersebut. Sebagai biaya awal dapat meliputi biaya operasi percobaan dan menjalankan operasi sebagai pengujian bahwa sistem (formula) dapat berjalan dengan baik. Selebihnya termasuk biaya penyusunan struktur organisasi untuk menyediakan berbagai pelayanan seperti perekrutan, pelatihan dan jasa lainnya bagi franchise. Selanjutnya, beberapa biaya yang mungkin masih ditanggung franchisor termasuk:

 Pembuatan logo perusahaan, disain toko, dan tata ruang

 Penyiapan petunjuk operasional dan pencetakannya

 Pembuatan fasilitas pelatihan

 Professional fee, seperti akuntansi jasa hukum dan pendaftaran hak milik intelektural dan industri (HAKI, Patent) serta penyiapan dokumen hukum

 Jasa konsultasi

 Biaya perekrutan dan seleksi franchise

 Biaya lainnya

Dengan mengabaikan implikasi pajak bagi pihak yang memberikan jasa kepada franchisor, maka biaya-biaya tersebut merupakan jumlah yang akan dimintakan kembali (recovery) dari franchise. Apakah franchisor akan mengutip mark up tergantung pada kebijakan manajemennya.

Disamping itu, kadangkala pada tahap awal operasi franchise, franchisor dapat memberikan paket berupa jasa teknik, penjualan barang dan penjualan atau persewaan peralatan. Ada juga yang memberikan ‘ turn key operation’ dengan melengkapi perabotan toko dan suku cadang


(18)

serta keperluan lainnya sehingga bisnis siap dioperasikan. Sehubungan dengan perabotan, perlengkapan suku cadang, barang dan jasa teknik tersebut, franchisor dapat menghitung dalam jumlah terpisah atau digabungkan dengan initial franchise fee. Pemisahan hitungan akan lebih menjelaskan transaksi, karena pada hakikatnya keduangan merupakan transaksi yang berbeda (penjualan atau pemberikan jasa, dan penutupan franchise). Hal ini berarti kontrak penutupan franchise sangat menentukan untuk menentukan jenis penghasilan yang diperoleh franchisor pada tahap awal operasi franchise. Dalam kontrak harus dirinci secara jelas mana penghasilan yang merupakan intial franchise fee, penjualan barang/peralatan, persewaan peralatan, dan pemberian jasa teknik.

a. Initial franchise fee dan penjualan barang/peralatan

Berdasarkan karakteristik initial franchise fee yang diterima oleh franchisor, maka dapat dikatakan bahwa penghasilan tersebut merupakan penghasilan dari usaha. Apabila franchisor merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri, maka atas penghasilan berupa initial franchise fee dan penjualan barang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh. Dalam hal franchisor merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri, maka penghasilan dari usaha tersebut hanya akan dikenakan pajak di Indonesia apabila franchisor menjalakan usaha di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap. Dari berbagai metode franchise yang ada, maka metode franchise dengan operasi cabang dapat dipastikan akan menimbulkan suatu bentuk usaha tetap di Indonesia. Dalam hal demikian, makan kewajiban pajak franchisor di Indonesia, diperlakukan sama dengan kewajiban pajak Wajib Pajak Dalam Negeri.

Terhadap franchisor yang merupakan penduduk dari negara yang memiliki P3B dengan Indonesai, maka penghasilan kantor cabang sebagai bentuk usaha tetap yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya


(19)

mengacu kepada Pasal yang terkait dengan penghasilan dari usaha dalam P3B yang bersangkutan yang umumnya meliputi:

 Penghasilan dari kantor cabang

 Penghasilan kantor pusat dari penjualan barang-barang atau barang dagangan di Indonesai yang jenisnya sama atau serupa seperti yang dijual melalui kantor cabang

 Penghasilan kantor pusat dari kegiatan atau usaha lainnya yang dilakukan di Indonesia yang jenisnya sama atau serupa seperti yang dilakukan melalui kantor cabang.

Sedangkan terhadap franchisor dari negara yang tidak memiliki P3B dengan Indonesia, maka penghasilan yang merupakan objek pajak bagi kantor cabang meliputi:

 Penghasilan dari usaha atau kegiatan kantor cabang dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai

 Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh kantor cabang di Indonesia

 Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara kantor cabang dengan harga atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

b. Persewaan peralatan

Adakalanya peralatan yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee tidak dilakukan dalam bentuk penjualan melainkan dalam bentuk persewaan. Dalam kasus ini, apabila franchisor merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri, maka franchisee harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan sehubungan dengan penggunaan harga sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto penghasilan tersebut. Dalam hal franchisor merupakan Wajib Pajak Luar Negeri, maka pengenaan pajaknya mengacu kepada P3B yang


(20)

bersangkutan atau sesuai dengan Pasal 26 UU PPh. Perlakuan sesuai ketentuan P3B Indonesia dengan negara treaty partner atas hak penggunaan peralatan memiliki perbedaan antara satu P3B dengan P3B lainnya sesuai dengan kesepakatan. Sebagian P3B memperlakukan penghasilan atas hak penggunaan peralatan sebagai royalti sedangkan sebagian P3B yang lain memperlakukannya sebagai penghasilan dari usaha.

1) Penggunaan peralatan yang dikategorikan sebagai royalti

Terhadap imbalan atas hak penggunaan peralatan yang dikategorikan sebagai royalti, maka franchise wajib memotong PPh Pasal 26 dengan tarif sesuai P3B yang bersangkutan atas jumlah bruto transaksi dan bersifat final. Namun, perlakuan terhadap royalti tersebut berubah menjadi penghasilan dari usaha bentuk usaha tetap bila royalti ini mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap itu.

Yang dimaksud dengan efektif disini adalah bahwa timbulnya sautu bentuk usaha tetap berhubungan erat dengan pembayaran royalti. Misalnya, disamping menyewakan peralatannya, franchisor juga melakukan kegaitan pemberian jasa yang menimbulkan bentuk usaha tetap. Dengan adanya bentuk usaha tetap tersebut, maka pembayaran royalti atas hak menggunakan peralatan menjadi mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap yang ada di Indonesia. Akibatnya adalah perlakuan royalti berubah dari passive income menjadi business income, sebab ia harus digabungkan dengan laba usaha dari bentuk usaha tetap. Penghasilan royalti tersebut harus digabung dengan penghasilan-penghasilan bentuk usaha tetap lainnya serta dikenakan pajak atas basis neto dengan menerapkan tarif progesif. Adapun PPh Pasal 26 yang sudah dipotong oleh franchisee dapat dikreditkan oleh bentuk usaha tetap franchisor tersebut.


(21)

Perlakuan yang berbeda terjadi bilamana royalty tersebut dibebankan kepada kantor cabang franchisor di Indonesia yang dari awal sudah merupakan bentuk usaha tetap. Royalti yang dibayar oleh kantor cabang kepada kantor pusatnya atas penggunaan peralatan tersebut bukan merupakan objek pajak bagi kantor pusat dan di sisi lain bukan merupakan biaya bagi kantor cabang franchisor. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya bentuk usaha tetap berupa kantor cabang merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran royalti tersebut hanya merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan.

2. Penggunaan peralatan yang dikategorikan sebagai penghasilan dari usaha

Terhadap imbalan atas hak penggunaan peralatan yang menurut P3B dikategorikan sebagai penghasilan dari usaha, maka penghasilan tersebut hanya akan dikenakan pajak di Indonesia apabila franchisor menjalankan usaha di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap. Jadi, apabila penyewaan peralatan oleh franchisor tidak dilakukan melalui bentuk usaha tetap, maka penghasilan tersebut hanya dikenai pajak di negara franchisor menjadi penduduk.

Perlu juga diperhatikan bahwa untuk menerapkan pengenaan tarif PPh Pasal 26 atau tidak dikenakannya pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam P3B bersangkutan, franchisor wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di negara tempat kedudukan (residence) franchisor kepada franchisee di Indonesia dan franchisee harus menyampaikan fotocopi Surat Keterangan Domisili tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat dimana ia terdaftar sebagai Wajib Pajak. Asli Surat Keterangan Domisili yang berlaku selama satu tahun tersebut menjadi dasar bagi franchisee untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B


(22)

yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari franchisor.

Dalam hal franchisor merupakan penduduk dari negara yang tidak memiliki P3B dengan Indonesia, maka atas penghasilan dari penggunaan peralatan tersebut dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dari jumlah bruto transaksi bersifat final.

c. Imbalan Jasa Teknik

1) Pemberian jasa teknik dalam tahap awal, yang dapat pula berlangsung sampai periode waktu tertentu, merupakan objek PPh Pasal 23 dalam hal franchisor merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri. PPh yang harus dipotong oleh franchisee atas penghasilan jasa teknik tersebut adalah sebesar jumlah bruto transaksi dikalikan tarif ekfektif 2 %.

2) Dalam hal franchisor merupakan Wajib Pajak Luar Negeri, maka pengenaan PPh atas imbalan jasa teknik tersebut diperlakukan sebagai berikut:

a) Franchisor merupakan penduduk dari negara treaty partner Apabila franchisor merupakan penduduk dari negara treaty partner, maka penghasilan dari pemberian jasa teknik hanya akan dikenai pajak di Indonesia jika jasa tersebut dilakukan di Indonesia dan melewati tes waktu sebagaimana diatur dalam P3B yang bersangkutan. Ini berarti bahwa apabila franchisor melakukan pemberikan jasa teknik tidak di Indonesia, maka Indonesia tidak berhak untuk mengenakan pajak atas imbalan jasa teknik. Lebih jauh, apabila pemberian jasa oleh franchisor di Indonesia kurang dari tes waktu seperti yang disebutkan dalam P3B yang bersangkutan, imbalan jasa teknik tersebut tidak dikenakan pajak di Indonesia sebab kegiatan itu tidak menimbulkan bentuk usaha tetap. Jangka waktu penghitungan


(23)

tes waktu untuk pemberian jasa teknik tidak harus secara terus menerus. Tes waktu pemberian jasa dihitung mulai hari pertama, kemudian dari sana dilihat dalam rentang waktu 12 bulan. Jika selama itu pemberian jasa melebihi jasa melebihi tes waktu yang ditentukan dalam P3B, ia akan dianggap sebagai bentuk usaha tetap. Jangka waktu penghitungan tes waktu untuk pemberian jasa teknik tidak harus secara terus menerus. Tes waktu pemberian jasa dihitung mulai hari pertama, kemudian dari sana dilihat dalam rentang waktu 12 bulan. Jika selama itu pemberian jasa melebihi jasa melebihi tes waktu yang ditentukan dalam P3B, ia akan dianggap sebagai bentuk usaha tetap.

Apabila dalam kurun waktu yang sama dikirim lebih dari satu orang, penghitungan waktu jumlah tenaga ahli tersebut tidak berpengaruh. Artinya, bila dalam taraf pertama jasa teknik ini diberikan selama satu bulan dua orang tenaga ahli, penghitungan waktunya adalah tetap satu bulan.

Dalam hal pemberian jasa teknik di Indonesia menimbulkan adanya suatu bentuk usaha tetap, maka imbalan sehubungan jasa teknik tersebut dikenakan pajak di Indonesia dan dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif efektif sebesar 6% dari jumlah bruto transaksi. PPh Pasal 23 yang dipotong tersebut merupakan pembayaran pajak pendahuluan bagi franchisor dan dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh. b) Franchisor bukan penduduk dari negara treaty partner

Apabila franchisor merupakan penduduk dari negara yang tidak memiliki P3B dengan Indonesia, maka atas imbalan jasa teknik yang diberikan kepada franchisee dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dari jumlah bruto transaksi.


(24)

2. Continuing Franchise Fee

Continuing franchisee fee merupakan pembayaran yang berkelanjutan atas jasa (penyerahan hak) oleh franchisor. Jasa tersebut pada umumnya dihitung sebesar persentase tertentu dari penghasilan dari (penjual) franchise. Persentase tersebut dapat tetap besarnya (flat rate) atau meningkat (gradual) sesuai dengan perjanjian, misalnya untuk memberikan masa pertumbuhan kepada franchisee. Hak yang dimaksud dalam hal ini adalah hak sehubungan dengan penggunaan nama dagang, produk, teknik dan proses franchise, termasuk sistem pelayanan dengan mengharuskan diikutinya standar melalui persetujuan lisensi.

Berdasarkan penjelasan Pasal 4 (1) huruf h UU PPh, continuing franchise fee jelas merupakan penghasilan royalty bagi franchisor. Implikasinya adalah franchisee sebagai pihak yang membayar penghasilan tersebut harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto transaksi bila franchisor merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri.

Continuing franchise fee juga memenuhi definisi royalti sebagaimana tersebut dalam P3B Indonesia dengan negara treaty partner. Persetujuan lisensi atas penggunaan hak untuk menggunakan nama dagang, produk, teknik dan proses franchise merupakan dasar hukum yang kuat dalam mengkategorikan penghasilan tersbut sebagai penghasilan royalti. Dengan diperlakukannya continuing franchise sebagai royalti, maka perlakuan pajak terhadap franchisor yang merupakan Wajib Pajak Luar Negeri sama dengan perlakuan hak atas penggunaan peralatan yang dikategorikan sebagai royalti.

B. Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai

Perlakuan PPN atas aktivitas bisnis yang menggunakan format franchise pada dasarnya tetap mengacu pada karakteristik penyerahan barang/jasa yang dapat dikenakan PPN. Karakteristik suatu penyerahan dapat dikenakan PPN adalah apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:


(25)

1. Penyerahan Barang Kena pajak/Jasa Kena Pajak 2. Di dalam daerah pabean

3. Dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan 4. Penyerahan harus dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak

Dari karakteristik tersebut dapat dipahami bahwa barang yang diserahkan oleh franchisor maupun franchisee harus merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Demikian pula, jasa yang diserahkan harus merupakan jasa yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Ini berarti jika barang/jasa yang diserahkan franchisor dan franchisee tersebut merupakan barang/jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN sebagaimana tercantum dalam PP No.144 Tahun 2000, maka atas penyerahan barang/jasa tersebut tidak dikenakan PPN.

Berkaitan dengan franchisee sebagai hak untuk menggunakan nama dagang, produk, teknik dan proses franchisee dalam suatu perjanjian lisensi menurut UU PPh jelas merupakan barang tidak berwujud. Merujuk kepada memori penjelasan Pasal 1 huruf b UU No.42 Tahun 2009 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan barang tidak berwujud adalah antar lain hak atas merek dagang, hak paten, dan hak cipta. Meskipun demikian, karena franchisee tidak termasuk dalam jenis barang yang tidak dikenakan PPN, maka dapat disimpulkan bahwa franchise merupakan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.

Sebagai konsekuensi dari dikenakannya PPN atas royalty sehubungan dengan franchisee sebagai barang kena pajak, maka franchisor sebagai pihak yang melakukan penyerahan franchisee kepada franchisee harus dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak sepanjang franchisor tidak tergolong sebagai pengusaha kecil. Ini berarti meskipun barang/jasa yang diserahkan oleh franshisor dikecualikan dari pengenaan PPN, sepanjang franchisor tersebut tidak tergolong sebagi pengusaha kecil, maka ia harus dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.


(26)

Terhadap franchisee yang berasal dari franchisor yang berkedudukan di luar daerah pabean, maka pengenaan PPN nya merupakan tanggung jawab renteng dari franchisee yang berkedudukan di dalam daerah pabean sebagai bentuk pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean tanpa memperhatikan apakah franchisee merupakan pengusaha kena pajak atau bukan. Sejalan dengan perlakuan ini, pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang diberikan oleh franchisor tersebut juga harus dikenakan PPN.

Berkaitan dengan impor barang kena pajak yang dilakukan oleh franchisee dari franchisor, tanpa memperhatikan apakah franchisee merupakan pengusaha kena pajak atau tidak, tetap dikenakan PPN impor.


(27)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

III.1. Kesimpulan

1. Franchise merupakan aktiva tak berwujud berupa hak untuk menggunakan nama dagang, produk, teknik dan proses, serta pelayanan yang dinyatakan dalam suatu perjanjian lisensi.

2. Initial franchisee fee pada dasarnya merupakan penghasilan dari usaha karena penghasilan ini tidak terkait dengan pembayaran imbalan tertentu sehubungan dengan penggunaan hal melainkan terkait dengan penerimaan atas sejumlah biaya awal yang dengan atau tanpa markup sebagai akibat penyediaan franchise.

3. Penyediaan barang dan atau peralatan yang mengiringi initial franchisee fee dikategorikan sebagai penghasilan dari usaha.

4. Persewaan peralatan yang disediakan oleh franchisor dapat dikategorikan sebagai penghasilan sewa, royalti, atau penghasilan dari usaha tergantung dari status franchisor apakah merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Luar Negeri dan keberadaan atau pengaturan P3B dengan negara franchisor menjadi penduduk.

5. Continuing franchisee fee merupakan penghasilan royalti yang pengenaan pajaknya tergantung dari status franchisor apakah merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Luar Negeri dan keberadaan atau pengaturan P3B dengan negara franchisor menjadi penduduk.

6. Franchisor yang berkedudukan di dalam daerah pabean, tanpa memperhatikan apakah melakukan penyerahan barang/jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN harus dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

7. Imbalan royalti yang dibayarkan sehubungan dengan franchisee baik yang berasal dari dalam maupun dari luar daerah pabean merupakan objek PPN.


(28)

III.2. Saran

1. Perlu diterbitkan peraturan perpajakan yang secara tegas menyatakan bahwa franshisor tidak tergolong sebagai pengusaha kecil yang berkedudukan di dalam daerah pabean harus dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

2. Perlu dibuktikan peraturan perpajakan yang menegaskan jenis barang tidak berwujud yang dikenakan pajak menurut UU PPN.


(29)

DAFTAR PUSTAKA

Gunadi., 1999. Pajak Dalam Aktivitas Bisnis, Jakarta: Abdi Tandur

Gunadi., 1999. Pajak Internasional, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Gunadi., 2009. Akuntansi Pajak sesuai Undang-undang Pajak baru, Jakarta: PT.Gramedia Widiasara

Gunadi., 2013. Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan, Jakarta: Penerbit Bee Media Indonesia

Sukardji, Untung., 2009. Pajak Pertambanan Nilai, Jakarta: Raja Grafindo Persada Surahmat, Rachmanto., 2011. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Jakarta:

Penerbit Salemba Empat

Waluyo., 2010.Akuntansi Pajak, Jakarta: Penerbit Salemba Empat

Waluyo., 2011. Perpajakan Indonesia Edisi 9, Buku 2, Jakarta: Penerbit Salemba Empat

Waluyo., 2013. Perpajakan Indonesia Edisi 11, Buku 1,Jakarta: Penerbit Salemba Empat

Direktorat Jenderal Pajak. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2007

Direktorat Jenderal Pajak. Undang-undang Republik Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas barang Mewah sebagai telah dibuah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009

Direktorat Jenderal Pajak. Himpunan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dan Surat Edaran Direktorat Jenderal pajak

Ikatan Akuntan Indonesia., 2009. Standar Akuntansi Keuangan Tahun 2009, Jakarta:Penerbit Salemba Empat

Smith,J.M.;K.F. Skousen.; E.K. Stice; dan J.D.Stice., 1995. Intermediate Accounting. 12thed South Western College Publishing


(30)

(1)

23 1. Penyerahan Barang Kena pajak/Jasa Kena Pajak

2. Di dalam daerah pabean

3. Dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan 4. Penyerahan harus dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak

Dari karakteristik tersebut dapat dipahami bahwa barang yang diserahkan oleh franchisor maupun franchisee harus merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Demikian pula, jasa yang diserahkan harus merupakan jasa yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Ini berarti jika barang/jasa yang diserahkan franchisor dan franchisee tersebut merupakan barang/jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN sebagaimana tercantum dalam PP No.144 Tahun 2000, maka atas penyerahan barang/jasa tersebut tidak dikenakan PPN.

Berkaitan dengan franchisee sebagai hak untuk menggunakan nama dagang, produk, teknik dan proses franchisee dalam suatu perjanjian lisensi menurut UU PPh jelas merupakan barang tidak berwujud. Merujuk kepada memori penjelasan Pasal 1 huruf b UU No.42 Tahun 2009 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan barang tidak berwujud adalah antar lain hak atas merek dagang, hak paten, dan hak cipta. Meskipun demikian, karena franchisee tidak termasuk dalam jenis barang yang tidak dikenakan PPN, maka dapat disimpulkan bahwa franchise merupakan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.

Sebagai konsekuensi dari dikenakannya PPN atas royalty sehubungan dengan franchisee sebagai barang kena pajak, maka franchisor sebagai pihak yang melakukan penyerahan franchisee kepada franchisee harus dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak sepanjang franchisor tidak tergolong sebagai pengusaha kecil. Ini berarti meskipun barang/jasa yang diserahkan oleh franshisor dikecualikan dari pengenaan PPN, sepanjang franchisor tersebut tidak tergolong sebagi pengusaha kecil, maka ia harus dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.


(2)

Terhadap franchisee yang berasal dari franchisor yang berkedudukan di luar daerah pabean, maka pengenaan PPN nya merupakan tanggung jawab renteng dari franchisee yang berkedudukan di dalam daerah pabean sebagai bentuk pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean tanpa memperhatikan apakah franchisee merupakan pengusaha kena pajak atau bukan. Sejalan dengan perlakuan ini, pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang diberikan oleh franchisor tersebut juga harus dikenakan PPN.

Berkaitan dengan impor barang kena pajak yang dilakukan oleh franchisee dari franchisor, tanpa memperhatikan apakah franchisee merupakan pengusaha kena pajak atau tidak, tetap dikenakan PPN impor.


(3)

25 BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

III.1. Kesimpulan

1. Franchise merupakan aktiva tak berwujud berupa hak untuk menggunakan nama dagang, produk, teknik dan proses, serta pelayanan yang dinyatakan dalam suatu perjanjian lisensi.

2. Initial franchisee fee pada dasarnya merupakan penghasilan dari usaha karena penghasilan ini tidak terkait dengan pembayaran imbalan tertentu sehubungan dengan penggunaan hal melainkan terkait dengan penerimaan atas sejumlah biaya awal yang dengan atau tanpa markup sebagai akibat penyediaan franchise.

3. Penyediaan barang dan atau peralatan yang mengiringi initial franchisee fee dikategorikan sebagai penghasilan dari usaha.

4. Persewaan peralatan yang disediakan oleh franchisor dapat dikategorikan sebagai penghasilan sewa, royalti, atau penghasilan dari usaha tergantung dari status franchisor apakah merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Luar Negeri dan keberadaan atau pengaturan P3B dengan negara franchisor menjadi penduduk.

5. Continuing franchisee fee merupakan penghasilan royalti yang pengenaan pajaknya tergantung dari status franchisor apakah merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Luar Negeri dan keberadaan atau pengaturan P3B dengan negara franchisor menjadi penduduk.

6. Franchisor yang berkedudukan di dalam daerah pabean, tanpa memperhatikan apakah melakukan penyerahan barang/jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN harus dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

7. Imbalan royalti yang dibayarkan sehubungan dengan franchisee baik yang berasal dari dalam maupun dari luar daerah pabean merupakan objek PPN.


(4)

III.2. Saran

1. Perlu diterbitkan peraturan perpajakan yang secara tegas menyatakan bahwa franshisor tidak tergolong sebagai pengusaha kecil yang berkedudukan di dalam daerah pabean harus dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

2. Perlu dibuktikan peraturan perpajakan yang menegaskan jenis barang tidak berwujud yang dikenakan pajak menurut UU PPN.


(5)

27 DAFTAR PUSTAKA

Gunadi., 1999. Pajak Dalam Aktivitas Bisnis, Jakarta: Abdi Tandur

Gunadi., 1999. Pajak Internasional, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Gunadi., 2009. Akuntansi Pajak sesuai Undang-undang Pajak baru, Jakarta: PT.Gramedia Widiasara

Gunadi., 2013. Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan, Jakarta: Penerbit Bee Media Indonesia

Sukardji, Untung., 2009. Pajak Pertambanan Nilai, Jakarta: Raja Grafindo Persada Surahmat, Rachmanto., 2011. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Jakarta:

Penerbit Salemba Empat

Waluyo., 2010.Akuntansi Pajak, Jakarta: Penerbit Salemba Empat

Waluyo., 2011. Perpajakan Indonesia Edisi 9, Buku 2, Jakarta: Penerbit Salemba Empat

Waluyo., 2013. Perpajakan Indonesia Edisi 11, Buku 1,Jakarta: Penerbit Salemba Empat

Direktorat Jenderal Pajak. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2007

Direktorat Jenderal Pajak. Undang-undang Republik Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas barang Mewah sebagai telah dibuah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009

Direktorat Jenderal Pajak. Himpunan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dan Surat Edaran Direktorat Jenderal pajak

Ikatan Akuntan Indonesia., 2009. Standar Akuntansi Keuangan Tahun 2009, Jakarta:Penerbit Salemba Empat

Smith,J.M.;K.F. Skousen.; E.K. Stice; dan J.D.Stice., 1995. Intermediate Accounting. 12thed South Western College Publishing


(6)