HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN SELF EFFICACY PADA MAHASISWA PBSB UIN SUNAN AMPEL SURABAYA.

(1)

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN SELF EFFICACY

PADA MAHASISWA PBSB UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program

Strata Satu Psikologi (S. Psi)

Umi Khumairoh B07211066

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

(3)

F

t

r I

i

SKRIPSI

HUBUNGAI\I KECERDASAI\I EMOSIONAL DENGA}I SEL F E FFICACT PADA MAIIASISWA PBSB I]IN SUNAN AMPEL SURABAYA

Yang disusun oleh Umi Khumairoh

8,07211066

Telah dipertahankan di depan penguji Pada tanggal25 Agustus 2015

De.lqry '.. ,':. ..al r ''

dan Kesehatan i

'i-.

Sholeh, M.Pd

4 1990021001a

Soffi, , Psikolog

Nip. 197 t22001

Rizma Fithri, S.Psi, M.Si Nip. 1 97403 121999032001

Penguji

III

.-D?.

Susunan Tim Penguji

Lucky Abrorry, M.Psi Nip. 1 97910012006041 00s


(4)

x ABSTRACT

This research aim to describe and analyze the relationship between emotional intelligence with self efficacy at PBSB students in Sunan Ampel state Islamic University Surabaya.This research is a correlation using data collection techniques such as self-efficacy scale and the scale of emotional intelligence. The subject of the research were 53 students of a total population 53 student because it is a population research of the technique sampling populations.

The results showed that there was a relationship of emotional intelligence with self efficacy at PBSB students in Sunan Ampel state Islamic University Surabaya.


(5)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dengan self efficacy pada mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala self efficacy dan skala kecerdasan emosional. Subjek penelitian berjumlah 53 mahasiswa dari jumlah populasi sebanyak 53 mahasiswa PBSB, karena merupakan penelitian populasi melalui teknik pengambilan sampling penelitian populasi,sehingga seluruh jumlah populasi dijadikan subjek penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan kecerdasan emosional dengan self efficacy pada mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Surabaya.


(6)

vi

DAFT bAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRACT ... x

INTISARI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang penelitian ... 1

B. Rumusan masalah ... 10

C. Tujuan penelitian ... 10

D. Manfaat penelitian ... 10

E. Keaslian penelitian ... 12

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ... 16

A. Self efficacy ... 16

B. Kecerdasan emosional... 24

C. Mahasiswa PBSB ... 32

D. Hubungan kecerdasan emosional dengan self efficacy ... 36

E. Kerangka teoritis ... 40

F. Hipotesis ... 43

BAB III: METODE PENELITIAN ... 44

A. Variabel dan definisi operasional ... 44

B. Populasi, sample dan teknik sampling ... 45

C. Teknik pengumpulan data ... 47

D. Validitas dan reliabilitas ... 50

E. Analisis data ... 54

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Deskripsi subjek ... 58

B. Deskripsi dan reliabilitas data ... 61

C. Hasil ... 64

D. Pembahasan ... 66

BAB V: PENUTUP ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 70


(7)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dapat mendukung majunya suatu bangsa. Dunia pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang saling berkompetensi dalam lingkup pekerjaan atau studi. Salah satu usaha yang paling umum dan paling sering ditempuh oleh seseorang dalam mengembangkan dirinya adalah dengan menempuh sistem pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena cukup banyak orang yang beranggapan bahwa untuk menjadi seseorang yang berhasil dalam hidupnya orang itu harus berpendidikan, khususnya pendidikan formal. Salah satunya adalah pendidikan formal di perguruan tinggi.

Perguruan tinggi sebagai institusi tertinggi dituntut untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas, berpotensi dan memiliki keterampilan dalam bidangnya masing-masing. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan bukan saja mampu menyerap mata kuliah yang diterimanya melainkan mampu mengembangkan apa yang diterima dosen secara kreatif. Mahasiswa juga diharapkan dapat sukses dalam menjalani kehidupan diperguruan tinggi dan mempunyai prestasi yang optimal.

Untuk mencapai semua itu ada kalanya mahasiswa akan mengalami permasalahan dalam kehidupan sehari-harinya, mahasiswa akan menghadapi kendala-kendala yang bervariasi dalam proses penyelesaian tugas-tugas akademik yang diberikan oleh dosen. Pada akhirnya


(8)

2

kendala tersebut dapat menyebabkan mahasiswa menjadi cemas dan stress sehingga mahasiswa menjadi ragu untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu keyakinan diri terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk bertindak dalam mewujudkan target akademik yang diharapkan atau yang dikenal dengan istilah self

efficacy. Self efficacy berhubungan dengan cara berpikir individu dalam

menghadapi masalah dan arah berpikir individu dalam menghadapi masalah secara optimis atau pesimis. Nantinya, self efficacy dapat menentukan cara menghadapi hambatan dalam proses penyelesaian tugas-tugas akademik.

Berdasarkan permasalahan ini peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana self efficacy mahasiswa, khususnya pada mahasiswa penerima beasiswa PBSB UIN Sunan Ampel.

Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB). PBSB adalah sebuah program afirmatif perluasan akses santri untuk melanjutkan studi melalui suatu program yang terintegrasi mulai dari proses kerjasama, pengelolahan, sistem seleksi khusus bagi santri serta pemberian bantuan pembiayaan yang diperlukan bagi santri yang memenuhi syarat, sampai dengan pembinaan masa studi dan pengabdian paska lulus. PBSB bertujuan untuk memperluas akses bagi santri berprestasi yang memiliki kematangan pribadi, kemampuan penalaran, dan prestasi untuk memperoleh pendidikan tinggi, melalui tindakan afirmatif dalam seleksi masuk perguruan tinggi.

Mahasiswa PBSB adalah mahasiswa yang lolos seleksi Program Beasiswa Santri berprestasi dan memenuhi persyaratan PBSB. Salah satu persyaratan menjadi mahasiswa PBSB adalah mahasiswa PBSB yang


(9)

3

mempunyai prestasi pendidikan yang tinggi. Melalui program ini Mahasiswa PBSB diharapkan dapat terus mengembangkan kemampuannya baik di bidang akademik maupun non akademik. Mahasiswa PBSB mempunyai kewajiban setelah lulus dan menjadi sarjana wajib kembali ke daerah untuk mengabdikan ilmu dan keterampilan yang didapat demi mengembangkan pesantren dan membina masyarakat sekitarnya.

Berdasarkan hasil wawancara yang di lakukan peneliti terhadap beberapa mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel yang dilakukan pada tanggal 29 Mei 2015 sampai 19 Juni 2015, dapat dijelaskan bahwa mahasiswa PBSB ditengarahi memiliki self efficacy yang positif. Hal ini bisa dibuktikan dengan perilaku mahasiswa PBSB sehari-sehari, mahasiswa PBSB memiliki keyakinan tehadap kemampuan yang dimiliki saat mengerjakan tugas, kesulitan dan hambatan yang mahasiswa PBSB temui tidak membuat mahasiswa PBSB menjadi malas ataupun putus asa, mahasiwa PBSB tetap berusaha untuk tetap menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan baik. Untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi, mahasiswa PBSB selalu mendiskusikan masalah tersebut bersama-sama bahkan mengadakan kajian yang diadakan dua kali seminggu untuk membahas materi kuliah yang dirasa sulit dan masalah-masalah yang menjadi hambatan bagi mahasiswa PBSB. Sehingga hambatan atau kegagalan yang dirasakan mahasiswa PBSB tidak menjadi penghalang bagi mahasiswa PBSB untuk selalu menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Ketika didalam kelas antusias mahasiswa PBSB dalam berdiskusi sangat terlihat, tidak ada seseorang pun yang terlihat pasif dalam kelas, mahasiswa


(10)

4

PBSB semua aktif dalam mengikuti perkuliahan. Jika ada kendala saat berdiskusi, mahasiswa PBSB tidak segan-segan untuk mendiskusikannya dengan dosen mata kuliah tersebut. Sebagai mahasiswa PBSB yang memiliki kegiatan yang cukup banyak juga tidak membuat mahasiswa PBSB meninggalkan tugas kuliah yang menjadi kewajiban mahasiswa PBSB. Mahasiswa PBSB tetap mampu menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

Self Efficacy mahasiswa PBSB juga dapat dilihat dari keaktifan

mahasiswa PBSB mengikuti beberapa perlombaan seperti lomba karya tulis ilmiah, paduan suara, lomba menulis cerpen, lomba cerdas cermat, pidato, MSQ, dan lain-lain. Mahasiswa PBSB juga pernah mendapat juara satu dalam lomba I’m President se-Indonesia. Selain itu beberapa mahasiswa PBSB juga ada yang didelegasikan YIPC ke India. Mahasiswa PBSB juga ada beberapa yang lolos tes mengikuti program KKN internasional ke Thailand.

Selain itu dalam mengembangkan self Efficacy mahasiswa PBSB juga aktif di berbagai kegiatan yang terdapat dalam CSSMora. CSSMora yaitu sebuah organisasi yang dikhususkan untuk mahasiswa PBSB, terdapat beberapa macam kegiatan yang diselenggarakan oleh CSSMora, yaitu kegiatan CSS mengajar, parenting hijriah, CSS mengabdi, CSS gathering, diklat penulisan ilmiah, pelatihan fotografi, pelatihan desain grafis, workshop blog, dan lain-lain. Terdapat juga beberapa macam kegiatan yang diperuntukkan untuk mengembangkan sumber daya mahasiswa seperti, kegiatan kajian komunal,diklat penulisan makalah dan presentasi, kajian


(11)

5

bahasa, CSSMora challenge, Friendly match dan lain-lain. Kegiatan ini dapat meningkatkan self efficacy yang dimiliki mahasiswa karena melalui kegiatan-kegiatan ini mahasiswa PBSB akan semakin yakin dengan kemampuan yang mahasiswa PBSB miliki karena terus diasah melalui kegiatan yang telah diadakan CSSMora.

Keyakinan diri atau yang biasa disebut Self-Efficacy menurut Bandura dalam Gufron (2011) adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Sementara itu, Baron dan Byrne (1991) dalam Gufron (2011) mendefinisikan Self-efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan dan kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Bandura dan Wood dalam Gufron (2011) menjelaskan Self-efficacy mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi. Senada dengan teori diatas Alwisol (2011) mendefinisikan bahwa Self Efficacy

adalah persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu, self efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.

Self-efficacy pada individu terjadi apabila individu dapat belajar

mengenali diri sendiri dengan mencatat sebanyak mungkin aspek positif yang dimiliki, serta menerima diri sendiri secara apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Karena dengan itu akan tumbuh keyakinan dari dalam dirinya sendiri yang dapat membantu melakukan aktivitasnya


(12)

6

sehingga tidak ada hambatan atau halangan apapun. Sumber-sumber

Self-efficacy sendiri antara lain: mastery experience (pengamalan keberhasilan),

vicarious experience atau modelling (meniru), social persuasion,

physikological dan emotional state.

Pengaruh Self-efficacy pada cara berfikir individu akan mampu mengarahkan motivasi dan tindakannya untuk mencapai suatu hasil yang bersifat positif bagi individu. Bandura dalam Artha & Supriyadi (2013) menyatakan bahwa individu yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuan yang dimiliki ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit akan menganggap hal tersebut sebagai tantangan yang harus dikuasai, mempertahankan komitmen diri dalam mencapai tujuan, memperoleh kembali upaya-upaya ketika menghadapi kegagalan, ketika menghadapi situasi yang mengancam mampu mengontrol dirinya, sehingga dapat menghasilkan pencapaian diri serta dapat mengurangi stress dan tidak mudah depresi. Sedangkan individu yang meragukan kemampuan dirinya akan menganggap tugas-tugas tersebut sebagai ancaman, memiliki harapan yang rendah, memiliki komitmen yang rendah terhadap tujuan yang dicapai, cepat menyerah dan kurang berusaha ketika menghadapi tugas yang sulit, serta lambat untuk bangkit kembali setelah mengalami kegagalan sehingga individu tersebut mudah mengalami stress dan depresi.

Oleh karena itu self efficacy menjadi sangat penting bagi mahasiswa. Untuk semakin meningkatkan self effficacy yang dimiliki, Mahasiswa PBSB tidak hanya harus meningkatkan kecerdasan intelektual yang dimiliki tetapi juga harus meningkatkan kecerdasan emosionalnya juga. Kecerdasan


(13)

7

emosional yang baik dapat meningkatkan self efficacy yang mahasiswa PBSB miliki. Hal ini senada dengan pendapat Bandura (1986) yang menyatakan bahwa salah satu sumber dari self efficacy adalah kondisi emosi. Suasana hati atau mood dapat mempengaruhi penilaian seseorang akan kemampuan diri. Suasana hati yang positif dapat meningkatkan keyakinan akan kemampuan diri sedangkan suasana hati yang negatif akan menurunkan kepercayaan diriseseorang, karena individu yang berada dalam suasana hati yang buruk cenderung akan meragukan kemampuan yang dimilikinya.

Guna untuk mengatasi suasana hati tersebut individu dituntut untuk dapat memiliki kecerdasan emosional. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 29 Mei 2015 sampai 19 Juni 2015, diketahui bahwa mahasiswa PBSB merupakan mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosional yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari keseharian mahasiswa PBSB, mahasiswa PBSB tidak pernah menunjukkan adanya tindakan agresi, mahasiswa PBSB selalu tenang dalam menghadapi masalah-masalah yang mahasiswa PBSB temui dan tidak pernah putus asa. Mahasiwa PBSB selalu mendiskusikan masalah mahasiswa PBSB baik itu masalah pribadi maupun masalah yang berkaitan dengan perkuliahan. Setiap sebulan sekali mahasiswa PBSB mengadakan Sharing tentang masalah-masalah yang yang mahasiswa PBSB hadapi. Ketika salah satu mahasiswa PBSB mendapat kesulitan, mahasiswa PBSB yang lain tidak segan-segan untuk membantu permasalahan tersebut. Misal ketika salah satu dari mahasiswa PBSB mendapat cobaan salah satu keluarganya meninggal dunia, mahasiswa


(14)

8

PBSB yang lain tidak akan tinggal diam, mahasiswa PBSB akan mengumpulkan dana dan mengunjungi rumah dari mahasiwa PBSB sedang mengalami cobaan tersebut. Dengan kecerdasan emosional yang mahasiswa PBSB miliki ini diharapkan dapat meningkatkan self efficacy yang yang dimiliki mahasiswa PBSB.

Sekitar Tahun 1990-an Peter Salovey dalam buku Emotional Intelligence oleh Goleman (1997) mengkaji ulang mengenai makna cerdas. Berdasarkan hasil penelitiannya bertahun-tahun ternyata ada hal yang lebih mempengaruhi kesuksesan ataupun prestasi belajar serta hasil belajar seseorang selain kecerdasan intelektual yaitu kecerdasan emosional. Menurut Goleman kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 15% bagi kesuksesan, sedangkan 85% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.

Studi yang dilakukan Goleman dalam Winarno (2008) menyatakan kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain agar dapat memotivasi diri dan mengelola emosi yang terdapat dalam diri sendiri dan orang lain secara efektif. Kecerdasan emosional dapat diamati ketika seseorang memperlihatkan kemampuan yang terdiri dari kesadaran diri, pengelolaan diri, kepekaan sosial dan pengelolaan hubungan pada waktu yang tepat dengan frekuensi yang cukup untuk dapat efektif pada situasi tertentu.


(15)

9

Goleman (1997) juga menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi furstasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir dan berempati.

Sedangkan menurut Salovey dan Mayer (1990) dalam Winarno (2008) menyatakan bahwa emotional intelligence menunjukkan pemahaman akan perasaan diri sendiri, empati terhadap perasaan orang lain dan penataan emosi sedemikan rupa sehingga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kehidupan kita. Lebih lanjut Salovey & Mayer dalam Dunggio (2014) menjelaskan bahwa Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memonitor diri sendiri dan perasaan orang lain, untuk membedakan antara mahasiswa PBSB, dan menggunakan informasi untuk membimbing pemikiran dan tindakan seseorang. Kecerdasan emosional meliputi kemampuan untuk memahami, menilai, dan mengekspresikan emosi, untuk mengakses atau menghasilkan perasaan, memfasilitasi pikiran, untuk memahami emosi dan mengetahui emosi, untuk mengatur emosi, untuk mempromosikan emosi dan pengetahuan intelektual.

Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa mahasiswa PBSB tidak hanya harus mempunyai kecerdasaran intelektual yang baik tetapi juga harus mempunyai kecerdasan emosional yang baik pula agar dapat meningkatkan self efficacy yang dimiliki. Hal ini senada dengan hasil penelitian Yapono dan Suharnan (2013) yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional yang berkembang dengan baik akan mempertinggi


(16)

10

tingkat Self efficacy yang dimiliki seseorang. Dalam penelitian Prastadila dan Paramitha (2013) juga dijelaskan bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan self efficacy yang artinya semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi pula self

efficacy nya. Dengan permasalahan diatas, peneliti berminat meneliti lebih

dalam tentang hubungan kecerdasan emosional dengan self-efficacy pada mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Surabaya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan self-efficacy pada mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan self efficacy pada mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Surabaya.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.


(17)

11

1. Manfaat secara teoritis

a. Menambah khasanah informasi dan hasil penelitian dalam bidang psikologi, khususnya psikologi pendidikan.

b. Memberikan informasi tambahan mengenai hubungan kecerdasan emosional dengan self efficacy khususnya pada mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Surabaya.

c. Membuka peluang bagi penelitian selanjutnya untuk topik yang sejenis, khususnya di lingkup masyarakat Indonesia.

2. Manfaat secara praktis

a. Mampu memberikan suatu masukan bagi masyarakat dan yang lainnya, sehingga mahasiswa PBSB memperoleh pengetahuan bahwa kecerdasan emosional berhubungan dengan tingkat self

efficacy yang dimiliki mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel

Surabaya.

b. Dapat membentuk dan mengembangkan kecerdasan emosional yang dimiliki agar mampu mengendalikan, mengatur emosi dan memotivasi diri sehingga terhindar dari masalah rendahnya self

efficacy.

c. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya pengetahuan tentang masalah kecerdasan emosional dan self efficacy.


(18)

12

E. Keaslian Penelitian

Untuk mendukung penelitian ini, peneliti menemukan beberapa kajian riset terdahulu mengenai variabel self-efficacy dan kecerdasan emosional yang dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian ini. Dalam penelitian-penelitian terdahulu ini menunjukkan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan self-efficacy.

Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Ema Uzlifatul Jannah yang dimuat di Jurnal Psikologi Indonesia. Sept. 2013, Vol. 2, No. 3, hal 278 -

287 dengan judul “Hubungan Antara Self-Efficacy Dan Kecerdasan

Emosional Dengan Kemandirian Pada Remaja”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dan kecerdasan emosional dengan kemandirian remaja dengan menggunakan desain penelitian kuantitatif dan menggunakan model skala Likert dengan variabel

self-efficacy kecerdasan emosional. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X -

XI MA Bahrul Ulum Kupang Jetis Mojokerto tahun ajaran 2012-2013. Analisis data menggunakan regresi dan parsial. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan terdapat hubungan antara self-efficacy dan kecerdasan emosional dengan kemandirian.

Penelitian yang dilakukan oleh Isna Ni Made Wahyu Indrariyani

Artha & Supriyadi dengan judul “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dan

Self Efficacy dalam Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja Awal”

yang dimuat dalam Jurnal Psikologi Udayana, Vol. 1, No. 1, 190-202. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1 SMA Negeri Denpasar sebanyak 129


(19)

13

orang dengan menggunakan teknik simple random sampling. Penelitian ini menggunakan tiga buah skala pengukuran, yaitu skala kecerdasan emosi, skala self efficacy, dan skala penyesuaian diri. Berdasarkan hasil analisa regresi ganda diperoleh nilai koefisien korelasi R = 0,772, F regresi = 93,211, p = 0,000, yang berarti ada hubungan antara kecerdasan emosi dan

self efficacy dalam pemecahan masalah penyesuaian diri remaja awal.

sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dan self efficacy dalam pemecahan masalah penyesuaian diri remaja awal.

Penelitian yang dilakukan oleh Pitra Prastadila & Pramesti Pradna

Paramita dengan judul “Hubungan antara Emotional Intelligence dengan Self Efficacy Guru yang Mengajar di Sekolah Inklusi Tingkat Dasar” yang

dimuat dalam Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 2, No. 1, April 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara emotional intelligence dengan self efficacy guru yang mengajar di sekolah inklusi tingkat dasar. Penelitian ini dilakukan pada guru yang mengajar di sekolah inklusi dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 46 orang yang terdapat di 5 sekolah. Pengumpulan data berupa kuesioner yaitu kuesioner emotional intelligence yang terdiri dari 49 butir dan self efficacy guru yang diadaptasi dari teacher's sense of efficacy scale oleh Moran & Hoy dan terdiri dari 19 butir. Analisa data dilakukan dengan teknik statistik korelasi product moment dari Pearson dengan bantuan program statistik SPSS versi 16.0. Dari analisis data penelitian diperoleh nilai korelasi antara emotional intelligence dengan self efficacy sebesar


(20)

14

0,000 dengan p sebesar 0,77. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara emotional intelligence dengan self

efficacy guru yang mengajar di sekolah inklusi yang artinya semakin tinggi

emotional intelligence maka semakin tinggi pula self efficacy nya.

Penelitian yang dilakukan Farid Yapono & Suharnan dengan judul

“Konsep-Diri, Kecerdasan Emosi Dan Efikasi-Diri” yang dimuat dalam Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 2, No. 3, hal 208 – 216. Penelitian membahas hubungan konsep-diri dan kecerdasan emosi dengan efikasi diri. Penelitian melibatkan 100 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di kota Jombang Jawa Timur untuk mengisi skala Efikasi-diri Global (ED-G), skala konsep-diri dan skala kecerdasan emosi. Data-data hasil pengukuran dianalisis dengan regresi ganda. Hasil analisis menunjukkan: 1) efikasi-diri dapat diprediksi melalui konsep-diri dan kecerdasan emosi; 2) konsep-diri tidak berhubungan dengan efikasi-diri; 3) kecerdasan emosi berhubungan positif dengan efikasi-diri. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa Kecerdasan emosi yang berkembang dengan baik akan mempertinggi tingkat efikasi-diri.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Kenny Nur Fitri dan Anita

Zulkaida dengan judul “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Self Efficacy Dalam Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa” yang dimuat

dalam jurnal Psikologi. Vol 4 ISSN:1858-2559. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan self

efficacy belief dalam penyelesaian tugas akhir pada mahasiswa. Jumlah


(21)

15

emosional dan self efficacy belief. hasil korelasi menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dengan self efficacybelief dalam penyelesaian tugas akhir pada mahasiswa.

Pada penelitian-penelitian sebelumnya meneliti tentang kecerdasan emosional dan self efficacy yang dihubungkan dengan variabel-varibel lain misalnya kemandiran, konsep diri, pemecahan masalah penyesuaian diri remaja, dll. Dalam penelitian ini peneliti mencoba menghubungkan antara kecerdasan emosional dan self efficacy pada mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam penelitian ini variabel terikat menggunakan self

efficacy dan variabel bebas menggunakan kecerdasan emosional, serta

subjek penelitianya adalah mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Surabaya. Penelitian kali ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang dilakukan berbagai pihak. Hal ini karena penelitian terdahulu menggunakan beberapa variabel lain yang berbeda-beda, meskipun terdapat variabel yang hampir sama tetapi tempat dan subjek penelitian pada penelitian sebelumnya berbeda dengan penelitian kali ini.


(22)

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Self-efficacy

1. Pengertian Self-efficacy

Bandura (dalam Gufron, 2011) dijelaskan sebagai tokoh yang memperkenalkan istilah self-eficacy. Bandura mendefinisikan bahwa

self-efficacy adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya

dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Sementara itu, Baron dan Byrne (1991) dalam Gufron (2011) mendefinisikan self-efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan dan kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Bandura dan Wood dalam Gufron (2011) menjelaskan self-efficacy mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi. Senada dengan teori diatas Alwisol (2011) mendefinisikan bahwa self efficacy adalah persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu, self efficacy

berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.

Bandura (1997) dalam Friedman & Schustack (2006) menambahkan bahwa Self efficacy adalah keyakinan tentang seberapa jauh seseorang mampu melakukan suatu perilaku dalam situasi tertentu.


(23)

17

Bandura menjelaskan self efficacy positif adalah keyakinan untuk mampu melakukan perilaku yang dimaksud. Tanpa self efficacy orang bahkan enggan mencoba melakukan suatu perilaku. Self-efficacy

dikatakan positif ketika keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa ia percaya mempunyai kuasa untuk menciptakan apa yang ia inginkan atau harapkan. Sedangkan, self-efficacy yang negatif ketika keyakinan yang dimiliki seseorang membuat dirinya lemah atau melemahkan dirinya sendiri. Penelitian mengungkapkan bahwa orang yang secara sederhana percaya bahwa ia dapat menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan baik, seringkali mengerahkan usaha yang cukup untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sebaliknya, orang yang memiliki self-efficacy yang negatif seringkali menyerah dalam menghadapi kesulitan.

Menurut Bandura (1997) self efficacy menentukkan apakah seseorang akan menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa seseorang dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan dan kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi perilaku dimasa depan. Self-efficacy merupakan keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah secara efektif. Self-efficacy juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi-diri tinggi memiliki komitmen memecahkan masalah dan tidak akan menyerah ketika menyadari strategi yang sedang digunakan tidak berhasil.


(24)

18

Menurut Bandura (1994) dalam Yapono dan Suharnan (2013) dijelaskan bahwa individu dengan efikasi-diri tinggi akan efektif menghadapi tantangan, memiliki kepercayaan penuh dengan kemampuan diri, cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan. Hal ini senada dengan pendapat Cervone & Pervin (2012) yang menyatakan bahwa dengan self efficacy diri yang lebih tinggi seseorang cenderung memilih untuk berupaya mengerjakan tugas yang sulit, gigih dalam berupaya, tetap tenang dan tidak cemas ketika menghadapi tugas dan mengelola pemikiran dalam pola analitis. Sebaliknya, seseorang yang memiliki self efficacy yang cenderung rendah dapat gagal bahkan dalam upaya menjalankan aktivitas yang berharga, mudah menyerah ketika menghadapi tugas yang sulit, cenderung cemas pada pelaksanaan tugas, sering sekali terganggu, serta gagal berpikir dan berperilaku secara tenang dan analitis.

Bandura (1997) mengatakan bahwa Self-efficacy pada dasarnya adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Menurut Bandura,

self-efficacy tidak berkaitan dengan kecakapan yang dimiliki, tetapi

berkaitan dengan keyakinan individu mengenai hal yang dapat dilakukan dengan kecakapan yang ia miliki seberapapun besarnya.

Seseorang dengan self-efficacy yang tinggi percaya bahwa seseorang tersebut mampu melakukan sesuatu untuk mengubah


(25)

19

kejadian-kejadian disekitarnya, sedangkan seseorang dengan

self-efficacy rendah menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu

mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya. self-efficacy

merupakan salah satu aspek pengetahuan diri yang paling berpengaruh dalam kehidupan menusia sehari-hari karena self-efficacy yang dimiliki ikut mempengaruhi individu dalam menentukkan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, termsuk didalamnya erkiraan terhadap tantangan yang akan dihadapi.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy

adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan-kemampuannya dalam mengatasi beraneka ragam situasi yang muncul dalam hidupnya.

self-efficacy tidak berkaitan dengan kecakapan yang dimiliki, tetapi

berkaitan dengan keyakinan individu mengenai hal yang dapat dilakukan dengan kecakapan yang dimiliki seberapun besarnya.

Self-efficacy pada individu terjadi apabila individu dapat belajar

mengenali diri sendiri dengan mencatat sebanyak mungkin aspek positif yang dimiliki, serta menerima diri sendiri secara apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Karena dengan itu akan tumbuh keyakinan dari dalam dirinya sendiri yang dapat membantu melakukan aktivitasnya sehingga tidak ada hambatan atau halangan apapun.

2. Aspek-aspek Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997) dalam Gufron (2011), self-efficacy


(26)

20

lainnya berdasarkan tiga dimensi. Berikut ini adalah tiga dimensi tersebut:

a. Dimensi tingkat (magnitude)

Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka self-efficacy individu mungkin akan terbatas pada tugas yang mudah, sedang, atau bahkan meliputi tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang berada di luar batas kemampuan yang dirasakannya.

b. Dimensi kekuatan (strength)

Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan dalam usahanya. Meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi tingkat, yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.


(27)

21

c. Dimensi generalisasi (generality)

Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang mana individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya. Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi self-efficacy adalah dimensi tingkat (magnitude), dimensi kekuatan (strength) dan dimensi generalisasi (generality).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-efficacy

Self-efficacy merupakan keyakinan seseorang terhadap dirinya

akan mampu melaksanakan tingkah laku yang diperlukan dalam suatu tugas yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy yang diperspektifkan oleh individu merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam performasi yang akan datang dan kemudian dapat pula menjadi faktor yang ditentukan oleh pola keberhasilan atau kegagalan performasi yang pernah dialami.

Bandura (1997) dalam Gufron (2011) mengemukakan ada empat faktor yang menjadi sumber penting yang digunakan individu dalam membentuk self-efficacy, yaitu:

a. Mastery experience (Pengalaman keberhasilan)

Keberhasilan yang sering didapatkan akan meningkatkan


(28)

22

menurunkan self-efficacynya. Apabila keberhasilan yang didapat seseorang lebih banyak karena faktor-faktor di luar dirinya, biasanya tidak akan membawa pengaruh terhadap peningkatan self-efficacy. Akan tetapi, jika keberhasilan tersebut didapatkan dengan melalui hambatan yang besar dan merupakan hasil perjuangannya sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh pada peningkatan

self-efficacynya

b. Vicarious experience atau modeling (meniru)

Pengalaman keberhasilan orang lain yang memliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan self-efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Self-efficacy tersebut didapat melalui social models yang biasanya terjadi pada diri seseorang yang kurang pengetahuan tentang kemampuan dirinya sehingga mendorong seseorang untuk melakukan modelling. Namun self-efficacy yang didapat tidak akan terlalu berpengaruh bila model yang diamati tidak memiliki kemiripan atau berbeda dengan model

c. Verbal persuasion (persuasi verbal)

Verbal persuasion (persuasi verbal) yaitu individu dapat

bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa ia dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapinya. Persuasi verbal ini dapat mengarahkan individu untuk berusaha lebih gigih untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Akan tetapi self-efficacy yang tumbuh


(29)

23

dengan metode ini biasanya tidak bertahan lama, apalagi kemudian individu mengalami peristiwa traumatis yang tidak menyenangkan.

d. Physiological & emotional state

Kecemasan dan stres yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegangan atau tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan samatic lainnya.

Self-efficacy biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan

kecemasan sebaliknya self-efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi pula.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sumber-sumber

self-efficacy antara lain: mastery experience (pengamalan keberhasilan),

vicarious experience atau modelling (meniru), social persuasion,

physikological dan emotional state.

4. Karakteristik individu dengan Self Efficacy tinggi dan rendah Penghayatan yang kuat mengenai self efficacy akan mendorong prestasi manusia akan kesejahteraan pribadi dalam banyak cara. Seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi akan mempresepsikan bahwa mereka mampu mengintegrasikan kemampuannya untuk dapat melewati dan menyelesaikan kejadian atau usaha dan perjuangannya sehingga mencapai suatu hasil yang baik dan sesuai dengan harapan mereka. Demikian sebaliknya, seseorang dengan


(30)

24

self efficacy yang rendah akan mempersepsikan bahwa kemampuan

yang mereka miliki belum tentu dapat membuat mereka berhasil melewati setiap peristiwa atau menyelesaikan usahanya untuk mendapatkan hasil sesuai harapan mereka. Yang penting di sini bukanlah jumlah dari kemampuan yang dimiliki tetapi kemampuan seseorang untuk dapat mengintegrasikan kemampuan tersebut. Self

efficacy tidak berfokus pada jumlah kemampuan yang dimiliki individu

tetapi pada keyakinan tentang apa yang mampu dilakukan dengan apa yang dimiliki pada berbagai variasi situasi dan keadaan. Academic self

efficacy merupakan kontributor yang penting untuk mencapai suatu

prestasi dalam bidang akademik, apapun kemampuan yang mendasarinya (Pudjiastutik, et all, 2012).

B. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Ada berbagai definisi dari para ahli tentang kecerdasan emosional, antara lain menurut Goleman (2000) dalam Hastuti (2003) dijelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal perasaan diri sendiri dan orang lain untuk memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi dengan baik dalam diri kita dan hubungan kita. Kemampuan ini saling berbeda dan melengkapi dengan kemampuan akademik murni yaitu kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ.


(31)

25

Lebih lanjut Goleman (1997) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan dan frustasi, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, tidak melebih-lebihkan kesenangan, serta mengatur keadaan jiwa dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir dan berempati Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sementara itu, Salovey dan Mayer dalam Goleman (1995) dan diteruskan oleh Prawira (2014), menggunakan istilah kecerdasan emosional untuk menggambarkan sejumlah ketrampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan kehidupan.

Patton (1998) dalam Ifham dan Helmi (2002) memberi definisi mengenai kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif, dan meraih keberhasilan. Goleman juga menyatakan bahwa kecerdasan emosi bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat.


(32)

26

Hal ini diperkuat dengan pendapat Goleman dalam Papalia & Diane (2008) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional bisa jadi lebih penting bagi kesuksesan dalam pekerjaan dan yang lain dibandingkan kecerdasan intelektual. Menurut Goleman dalam Papalia & Diane (2008) menyatakan bahwa kecerdasan emosional bisa jadi memainkan peran dalam kemampuan mendapatkan dan menggunakan pengetahuan implisit, kecerdasan emosional menjadi sangat penting bagi kemampuan bekerja secara efektif dalam tim, untuk menyadari diri, merespons dengan tepat perasaan sendiri dan perasaan orang lain.

Sedangkan Khosravi et al dalam Dunggio (2014) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari kemampuan untuk memahami, menilai, dan mengekspresikan emosi secara akurat dan adaptif, kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan emosional, kemampuan untuk mengakses dan menghasilkan perasaan dimana menfasilitasi kegiatan kognitif dan tindakan adaptif, dan kemampuan mengatur emosi dalam diri sendiri dan orang lain.

Menurut Mayer & Salovey dalam Dunggio (2014) Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memonitor diri sendiri dan perasaan orang lain, untuk membedakan antara mahasiswa PBSB, dan menggunakan informasi untuk membimbing pemikiran dan tindakan seseorang. Kecerdasan emosional meliputi kemampuan untuk memahami, menilai, dan mengekspresikan emosi, untuk mengakses atau menghasilkan perasaan ketika memfasilitasi pikiran, untuk memahami


(33)

27

emosi dan mengetahui emosi, untuk mengatur emosi, untuk mempromosikan emosi dan pengetahuan intelektual.

Empat cabang model kecerdasan emosional yakni 1). Mengidentifkasi emosi, cabang ini termasuk sejumlah keterampilan seperti kemampuan untuk mengenali perasaan, mengekspresikan emosi yang tepat, dan membedakan antara ekspresi yang nyata dan palsu. 2). Menggunakan emosi, termasuk kemampuan untuk menggunakan emosi untuk mengarahkan perhatian pada peristiwa-peristiwa penting, untuk menghasilkan emosi yang memfasilitasi pengambilan keputusan, untuk menggunakan perubahan suasana hati sebagai sarana untuk mengingat banyak sudut pandang, dan memanfaatkan emosi yang berbeda untuk mendorong perbedaan pendekatan untuk pemecahan masalah (misalnya, menggunakan suasana hati bahagia untuk membantu menghasilkan daya cipta, ide-ide baru). 3). Memahami emosi merupakan kemampuan untuk memahami emosi yang kompleks dan rangkaian emosional, bagaimana transisi emosi dari satu tahap ke tahap lainnya, kemampuan untuk mengenali penyebab emosi, dan kemampuan untuk memahami hubungan antara emosi. 4).Mengelola emosi, termasuk kemampuan untuk tetap sadar terhadap emosi seseorang, bahkan menyenangkan orang-orang, kemampuan untuk menentukan apakah emosi jelas atau khas, dan kemampuan untuk memecahkan masalah memuat emosi tanpa harus menekan emosi negative.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk memahami


(34)

28

emosi sendiri dan emosi orang lain, mampu mengendalikan perasaan dan emosi, mampu bertahan ketika menghadapi frustasi, mampu memotivasi diri sendiri, serta dapat mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri maupun orang lain dan mampun menjalin hubungan dengan orang lain.

2. Aspek-aspek kecerdasan emosional

Salovey dan Mayer dalam Goleman (1995) dan diteruskan oleh Prawira (2014) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional terbagi ke dalam lima wilayah utama, yaitu kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi diri dan mengekspresikan emosi diri sendiri, kemampuan memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Secara lebih jelas hal tersebut dijelaskan oleh Goleman dalam Mustaqim (2008) sebagai berikut:

a. Kesadaran Diri (Self Awareness)

Self Awareness adalah kemampuan untuk mengetahui apa

yang dirasakan dalam dirinya dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri sendiri dan kepercayaan diri yang kuat. b. Pengaturan Diri (Self Management)

Self Management adalah kemampuan seseorang dalam

mengendalikan dan menangani emosinya sendiri sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, memiliki


(35)

29

kepekaan pada kata hati, serta sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

c. Motivasi (Self Motivation)

Self Motivation merupakan hasrat yang paling dalam untuk

menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu pengambilan inisiatif serta bertindak sangat efektif, dan mampu untuk bertahan dan bangkit dari kegagalan dan frustasi.

d. Empati (Empathy/Social awareness)

Empathy merupakan kemampuan merasakan apa yang

dirasakakan orang lain, mampu memahami perspektif orang lain dan menumbuhkan hubungan saling percaya, serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe hubungan.

e. Ketrampilan Sosial (Relationship Management)

Relationship Management adalah kemampuan untuk

menangani emosi dengan baik ketika berhubungan sosial dengan orang lain, mampu membaca situasi dan jaringan sosial secara cermat, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, serta bekerja sama dalam tim.

Goleman lebih lanjut mengatakan bahwa yang termasuk dimensi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan mengontrol diri, memacu, tetap tekun, serta dapat memotivasi diri. Kemampuan tersebut


(36)

30

mencakup pengelolaan bentuk emosi baik yang positif maupun yang negatif.

Cooper dan Sawaf dalam Asrori (2009) membagi kecerdasan emosi dalam empat aspek, meliputi:

a. Ketrampilan emosi; ketrampilan emosi adalah kemampuan untuk mengelola emosi secara tepat dan efektif.

b. Keyakinan diri; keyakinan diri adalah kepercayaan yang besar yang dimiliki seseorang terhadap dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sehingga individu dapat menerima keadaan dirinya sendiri.

c. Sudut pandang; sudut pandang adalah bagaimana seorang individu memandang atau mempersepsikan sesuatu yang berkaitan dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya.

d. Kreativitas; kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan hal-hal baru, menghasilkan ide-ide baru, mencari alternative baru sehingga dapat merubah sesuatu menjadi baik.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengetahui perasaan sendiri sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangannya, kemampuan menangani emosi sendiri, kemampuan memotivasi diri untuk terus maju, kemampuan merasakan emosi dan kepribadian orang lain, dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain.


(37)

31

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat dilakukan melalui proses pembelajaran. Menurut Goleman (1999) dalam Ifham dan Helmi (2002), ada 2 faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, faktor tersebut terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini penjelasan masing-masing faktor:

a. Faktor internal.

Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang, otak emosional dipengaruhi oleh keadaan amigdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prefrontal dan hal-hal lain yang berada pada otak emosional.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi individu untuk atau mengubah sikap. Pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.


(38)

32

C. Mahasiswa PBSB

Mahasiswa PBSB adalah mahasiswa yang menerima beasiswa dari program beasiswa santri berprestasi yang biasa disingkat dengan nama PBSB. Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) adalah sebuah program afirmatif perluasan akses santri untuk melanjutkan studi melalui suatu program yang terintegrasi mulai dari proses kerjasama, pengelolahan, sistem seleksi khusus bagi santri serta pemberian bantuan pembiayaan yang diperlukan bagi santri yang memenuhi syarat, sampai dengan pembinaan masa studi dan pengabdian paska lulus.

Tujuan dari program ini adalah

1. Sebagai bentuk perlindungan sosial bagi santri melalui upaya memperluas akses bagi santri berprestasi yang memiliki kematangan pribadi, kemampuan penalaran, dan prestasi untuk memperoleh pendidikan tinggi, melalui tindakan afirmatif dalam seleksi masuk perguruan tinggi.

2. Sebagai bentuk pemberdayaan sosial bagi pesantren melalui upaya meningkatkan kualitas SDM pondok pesantren dibidang sains, teknologi serta sosial kemasyarakatan agar dapat mengoptimalkan peran pembangunan.

3. Sebagai upaya penguatan pesantren sebagai lembaga pendidikan, dakwah dan pengembangan masyarakat, PBSB diharapkan dapat menjadi jembatan pembentukan jaringan kerjasama antara dunia pendidikan tinggi dengan pondok pesantren.


(39)

33

Sebagai mahasiswa PBSB ada banyak tanggung jawab yang harus di lalui mahasiswa, mahasiswa harus mampu mengembangkan keterampilan dan kompetensi keilmuanya. Mahasiswa PBSB juga mempunyai kewajiban setelah lulus dan menjadi sarjana wajib kembali ke daerah untuk mengabdikan ilmu dan keterampilan yang didapat demi mengembangkan pesantren dan membina masyarakat sekitarnya. (Panduan Seleksi Calon Peserta Program Beasiswa Santri Berprestasi Tahun 2014)

Salah satu universitas yang melaksanakan program ini adalah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Prodi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah. Prodi BKI berkeinginan keras untuk ikut serta dalam mempersiapkan dunia pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didiknya dalam menjawab kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Pada tahun akademik 2012/2013, BKI telah membuat komitmen untuk menjawab tantangan dan isue-isue negatif tentang kualitas SDM pada masyarakat luas dengan memfokuskan diri sebagai mitra pondok pesantren. Kondisi ini yang membuat jurusan BKI sangat antusias dalam rangka menggalakkan eksplorasi potensi para santri dalam berkarya di dunia dakwah dengan frame konseling dan psikologi

Tujuan dan Sasaran Jurusan BKI Melalui PBSB adalah

1. Memacu mutu pendidikan dan potensi diri para santri secara integrative dalam proses pembelajaran yang berkelanjutan baik tekstual maupun kontekstual

2. Memfasilitasi keinginan para santri dalam aktualisasi diri pada dunia dakwah dan konseling


(40)

34

3. Memperkuat kemitraan BKI dengan pondok pesantren dalam mengangkat citra pendidikan pesantren yang berkarakter.

Adapun yang menjadi fokus sasaran yang diharapkan secara kelembagaan adalah:

1. Pengembangan model konseling berbasis konseling

2. Pendalaman materi terapiutik dalam berbagai setting yang digali dari nilai-nilai keagamaan dan spiritual

3. Mengakses beberapa konsep kekinian yang digali dari buku-buku manuskrip yang ada di berbagai pesantren di Indonesia.

Adapun sasaran secara personal adalah:

1. Memfasilitasi para santri dalam mengolah diri dan mengembangkan diri dalam ranah dakwah dan konseling

2. Mengembangkan beberapa ketrampilan personal baik yang bersifat life

skills maupun generic skills.

Dalam mencapai sasaran dan tujuan program PBSB UIN Sunan Ampel, mahasiswa PBSB juga mempunyai suatu organisasi yang disebut dengan CSS MoRA.

Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (CSS MoRA UIN Sunan Ampel Surabaya) adalah organisasi mahasiswa Progam Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) yang berada di UIN Sunan Ampel Surabaya. Di samping itu, terdapat pula organisasi CSS MoRA tingkat nasional. Dan antara keduanya mempunyai hubungan koordinatif. CSS MoRA UIN


(41)

35

Sunan Ampel Surabaya selama ini bertempat di Jl. Wonocolo Pabrik Kulit No.16 Surabaya. (www.cssmorauinsa.org)

Adapun visi dan misi dari organisasi ini adalah VISI

“Menjadikan Organisasi sebagai Media Aktualisasi, Membangun Progresifitas Pemikiran, dan Menumbuhkan Kepekaan Sosial”

MISI

1. Membangun kesolidan serta keeratan emosional internal anggota yang kokoh

2. Meningkatkan budaya keilmiahan terhadap anggota CSS MoRA UIN Sunan Ampel Surabaya

3. Mewadahi sekaligus meningkatkan potensi akademik, minat dan bakat anggota CSS MoRA UIN Sunan Ampel Surabaya

4. Menumbuhkan budaya abdi pesantren kepada anggota CSS MoRA UIN Sunan Ampel Surabaya

5. Menguatkan jejaring eksternal guna menguatkan mitra kerjasama yang kuat

6. Menumbuhkan sifat kepedulian sosial anggota CSS MoRA UIN Sunan Ampel Surabaya melalui penyelenggaraan progam-progam pengabdian masyarakat

7. Menanamkan sikap hablum minallah, hablum minannas, dan hablum

mina’alam

8. Mengembangkan sumber daya manusia anggota CSS MoRA UIN Sunan Ampel Surabaya


(42)

36

Melalui organisasi ini mahasiswa PBSB dapat lebih meningkatkan

self efficacy yang dimiliki dan juga kecerdasan emosionalnya, karena dalam

organisasi ini banyak sekali kegiatan-kegiatan yang diadakan misalnya: kegiatan CSS mengajar, parenting hijriah, CSS mengabdi, CSS gathering, diklat penulisan ilmiah, pelatihan fotografi, pelatihan desain grafis, workshop blog, dan lain-lain. Terdapat juga beberapa macam kegiatan yang diperuntukkan untuk mengembangkan sumber daya mahasiswa seperti, kegiatan kajian komunal,diklat penulisan makalah dan presentasi, kajian bahasa, CSSMora challenge, Friendly match dan lain-lain. Melalui kegiatan-kegiatan ini mahasiswa PBSB akan semakin yakin dengan kemampuan yang mahasiswa PBSB miliki karena terus diasah melalui kegiatan yang telah diadakan CSSMora. Melalui kegiatan ini juga mahasiswa PBSB diharapkan dapat melatih kecerdasan emosional yang mahasiswa PBSB miliki. (www.cssmorauinsa.org)

D. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Self Efficacy

Self-efficacy merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri

atau self-knowledge yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari. Hal ini disebabkan self-efficacy yang dimiliki ikut mempengaruhi individu dalam menentukkan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, termasuk didalamnya perkiraan berbagai kejadian yang akan dihadapi.


(43)

37

Self-efficacy adalah keyakinan seseorang mengenai

kemampuan-kemampuannya dalam mengatasi beraneka ragam situasi yang muncul dalam hidupnya. Self-efficacy tidak berkaitan dengan kecakapan yang dimiliki, tetapi berkaitan dengan keyakinan individu mengenai hal yang dapat dilakukan dengan kecakapan yang dimiliki seberapun besarnya. Bandura dan Wood dalam Gufron (2011) menjelaskan self-efficacy

mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi. Self Efficacy juga diartikan sebagai suatu keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dihadapi sehingga dapat mengatasi rintangan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu ditandai dengan adanya kepercayaan diri dalam mengatasi situasi yang tidak menentu, keyakinan mencapai target, keyakinan akan kemampuan kognitif, menumbuhkan motivasi dan dapat mengatasi tantangan yang ada.

Bandura (1986) menjelaskan konsep dasar teori self Efficacy adalah pada masalah adanya keyakinan bahwa pada setiap individu mempunyai kemampuan mengontrol pikiran, perasaan dan perilakunya. Kemampuan mengontrol pikiran, perasaan dan perilaku ini sesuai dengan pengertian kecerdasan emosional. Dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan emosional adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui perasaan sendiri sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangannya, mampu menangani emosi sendiri, mampu memotivasi diri untuk terus maju, mampu merasakan emosi dan kepribadian orang lain, dan


(44)

38

mampu menjalin hubungan dengan orang lain. Jadi berdasarkan teori diatas dapat dijelaskan bahwa seseorang yang mempunyai self efficacy adalah seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik.

Menurut Bandura (1986) salah satu sumber dari self efficacy adalah kondisi emosi. Suasana hati atau mood dapat mempengaruhi penilaian seseorang akan kemampuan diri. Suasana hati yang positif dapat meningkatkan keyakinan akan kemampuan diri sedangkan suasana hati yang negatif akan menurunkan kepercayaan diri seseorang, karena individu yang berada dalam suasana hati yang buruk cenderung akan meragukan kemampuan yang dimilikinya.

Guna untuk mengatasi suasana hati tersebut individu dituntut untuk dapat memiliki kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional didefinisikan oleh Cooper dan Sawaf (2001) dalam Fitri dan Zulkaida (2011) sebagai kemampuan untuk merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi. Kecerdasan emosional menuntut pemilik perasaan untuk dapat menanggapi dengan tepat emosi yang sedang dirasakan, kemudian kehidupan sehari-hari. Salah satu komponen dari kecerdasan emosional adalah motivasi diri.

Menurut Goleman (2005) dalam Fitri dan Zulkaida (2011) motivator yang paling berdaya guna adalah motivator dari dalam diri sendiri. Individu yang memiliki motivasi dapat mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif serta dapat bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Hal tersebut tentu berpengaruh terhadap keyakinan diri individu tersebut sehingga dapat menimbulkan sikap yang optimis dan dorongan untuk memenuhi standar


(45)

39

keberhasilan. Dijelaskan juga menurut Boyatzis, Goleman & Hay (2002) dalam Prastadila dan Paramita (2013) bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan emosional juga akan memiliki kompetensi seperti

self-confidence dimana seseorang tersebut memiliki keyakinan yang kuat

mengenai dirinya dan kemampuannya maka akan mempengaruhi keyakinannya juga dalam menyelesaikan tugas serta untuk mengh asilkan

Permormance yang mempengaruhi kehidupannya yang disebut self-efficacy.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai self-efficacy dituntut untuk memiliki kecerdasan emosional. Hal Ini sesuai dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Yapono dan Suharnan (2013) yang mengatakan bahwa Kecerdasan emosi yang berkembang dengan baik akan mempertinggi tingkat Self efficacy yang dimiliki seseorang. Dalam penelitian Prastadila dan Paramitha (2013) juga dijelaskan bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara

emotional intelligence dengan self efficacy yang artinya semakin tinggi

emotional intelligence maka semakin tinggi pula self efficacy nya..

Jadi apabila mahasiswa mempunyai kecerdasan emosional yang baik maka mahasiswa tersebut akan mempunyai self efficacy yang baik pula. Hal ini dapat mendukung mahasiswa agar dapat lebih optimal mengembangkan kompetensi yang dimiliki serta dapat mencapai prestasi dengan lebih baik serta akan terhindar dari kesulitan-kesulitan seperti kegagalan akademik, frustasi, stress, dan lain-lain.


(46)

40

E. Kerangka Teoritik

Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) adalah sebuah program afirmatif perluasan akses santri untuk melanjutkan studi melalui suatu program yang terintegrasi mulai dari proses kerjasama, pengelolahan, sistem seleksi khusus bagi santri serta pemberian bantuan pembiayaan yang diperlukan bagi santri yang memenuhi syarat, sampai dengan pembinaan masa studi dan pengabdian paska lulus. PBSB bertujuan untuk memperluas akses bagi santri berprestasi yang memiliki kematangan pribadi, kemampuan penalaran, dan prestasi untuk memperoleh pendidikan tinggi, melalui tindakan afirmatif dalam seleksi masuk perguruan tinggi.

Mahasiswa yang menjadi peserta PBSB adalah mahasiswa PBSB yang lulus seleksi khusus dan mempunyai prestasi pendidikan yang tinggi. Melalui program ini mahasiswa PBSB diharapkan dapat terus mengembangkan kemampuannya baik di bidang akademik maupun non akademik. Mahasiswa PBSB mempunyai kewajiban setelah lulus dan menjadi sarjana wajib kembali ke daerah untuk mengabdikan ilmu dan keterampilan yang didapat demi mengembangkan pesantren dan membina masyarakat sekitarnya. Agar mahasiswa PBSB mampu mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal sehingga mampu mengabdikan ilmu dan kompetensinya dilingkungan pesantren di daerahnya paska lulus. Mahasiswa PBSB idealnya harus mempunyai self-Efficacy yang tinggi.

Pengaruh self-efficacy pada cara berfikir mahasiswa akan mampu mengarahkan motivasi dan tindakannya untuk mencapai suatu hasil yang bersifat positif bagi individu. Bandura dalam Artha & Supriyadi (2013)


(47)

41

menyatakan bahwa individu yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuan yang dimiliki ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit akan menganggap hal tersebut sebagai tantangan yang harus dikuasai, mempertahankan komitmen diri dalam mencapai tujuan, memperoleh kembali upaya-upaya ketika menghadapi kegagalan, ketika menghadapi situasi yang mengancam mampu mengontrol dirinya, sehingga dapat menghasilkan pencapaian diri serta dapat mengurangi stress dan tidak mudah depresi. Sedangkan individu yang meragukan kemampuan dirinya akan menganggap tugas-tugas tersebut sebagai ancaman, memiliki harapan yang rendah, memiliki komitmen yang rendah terhadap tujuan yang dicapai, cepat menyerah dan kurang berusaha ketika menghadapi tugas yang sulit, serta lambat untuk bangkit kembali setelah mengalami kegagalan sehingga individu tersebut mudah mengalami stress dan depresi. Oleh karena itu self

efficacy menjadi sangat penting bagi mahasiswa.

Dalam meningkatkan self efficacy pada mahasiswa kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk meningkatkan self efficacy, mahasiswa khususnya mahasiswa PBSB perlu memiliki kecerdasan emosional yang baik. Dijelaskan menurut Menurut Bandura (1986) bahwa salah satu sumber dari self efficacy adalah kondisi emosi. Suasana hati atau mood dapat mempengaruhi penilaian seseorang akan kemampuan diri. Suasana hati yang positif dapat meningkatkan keyakinan akan kemampuan diri sedangkan suasana hati yang negatif akan menurunkan kepercayaan diri seseorang, karena individu yang berada dalam suasana hati yang buruk cenderung akan meragukan kemampuan yang dimilikinya.


(48)

42

Guna untuk mengatasi suasana hati tersebut individu dituntut untuk dapat memiliki kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional didefinisikan oleh Cooper dan Sawaf (2001) dalam Fitri dan Zulkaida (2011) sebagai kemampuan untuk merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi. Kecerdasan emosional menuntut pemilik perasaan untuk dapat menanggapi dengan tepat emosi yang sedang dirasakan.

Lebih lanjut Goleman (1997) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan dan frustasi, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, tidak melebih-lebihkan kesenangan, serta mengatur keadaan jiwa dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir dan berempati Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan self efficacy pada mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Surabaya.


(49)

43

Gambar 1. Skema hubungan antar variabel

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan self-efficacy pada mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Surabaya, artinya semakin tinggi kecerdasan emosional mahasiswa, maka semakin tinggi self-efficacynya. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional mahasiswa maka semakin rendah self-efficacynya.

Kecerdasan Emosional

Self Efficacy

Kesadaran diri Pengaturan diri Motivasi Empati Keterampilan

sosial


(50)

44

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut Hatch dan Farhady (Sugiyono, 2011) variabel didefinisikan sebagai atribut

seseorang atau obyek, yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan

yang lain atau satu obyek dengan obyek yang lain. Variabel juga dapat merupakan atribut dari bidang keilmuan variabel lain ingin diketahui. Dalam penelitian ini variabel yang menjadi obyek penelitian adalah:

Variabel bebas (X) : Kecerdasan Emosional Variabel terikat (Y) : Self Efficacy

Definisi operasional kedua variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk memahami emosional dan perasaan sendiri, mampu mengelola dan mengendalikan emosional sendiri, mampu memotivasi diri sendiri untuk terus maju, kemampuan merasakan emosional dan kepribadian orang lain serta mampu menjalin hubungan dengan orang lain, yang diukur dengan skala kecerdasan emosional.


(51)

45

2. Self Efficacy

Self Efficacy adalah keyakinan individu mengenai kemampuan

dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu dan untuk mengatasi hambatan. Self-efficacy

mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi, yang diukur dengan skala

self efficacy

B. Populasi, Sample dan Teknik Sampling

Populasi adalah keseluruhan penduduk atau individu yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama.

Populasi dapat pula didefinisikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011).

Adapun karakteristik populasi yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan

2. Mahasiswa PBSB BKI UIN Sunan Ampel Surabaya

3. Terlibat sebagai anggota organisasi CSS MoRA UIN Sunan Ampel Surabaya


(52)

46

Dari karakteristik diatas dapat dijelaskan bahwa Populasi dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Prodi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah yang aktif dalam keorganisasian CSS MoRA UIN Sunan Ampel yaitu mahasiswa PBSB semester 4 dan 6. Dengan rincian mahasiswa PBSB semester 4 berjumlah 34 mahasiswa sedangkan mahasiswa PBSB semester 6 berjumlah 22 mahasiswa, dengan jumlah total ada 56 mahasiswa. (Database Anggota CSSMora 2014).

Dalam hal ini mahasiswa semester 2 dan 8 tidak dijadikan sebagai subjek penelitian karena untuk semester 2 masih belum aktif dalam organisasi CSSMoRA, mahasiswa PBSB semester 2 masih dianggap magang dalam organisasi CSSMoRA, hal ini sesuai dengan program kerja dari CSSMora yang menjelaskan bahwa mahasiswa semester baru hanya magang dalam keorganisasian CSSMoRA dengan tujuan Memberikan pengetahuan dan pengalaman seputar tugas-tugas kepengurusan di CSS MoRA UIN Sunan Ampel. Sedangkan untuk semester 8 tidak dijadikan subjek karena sudah menjadi anggota pasif dari organisasi CSSMoRA. (Proker CSS MoRA UIN Sunan Ampel 2015)

Sampel adalah bagian dari sebuah populasi yang dianggap dapat mewakili dari populasi tersebut . Dalam penelitian ini digunakan sampel dari semua populasi yakni semua mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel Prodi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah semester 4 dan 6 dengan jumlah 56 mahasiswa. Tetapi dikarenakan 3 mahasiswa dari semester 6 ada yang pergi keluar negeri untuk KKN Internasional di


(53)

47

Thailand maka sampel yang diambil dalam penelitian ini berkurang menjadi 53 mahasiswa.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian populasi karena semua subjek dari populasi dijadikan sampel penelitian.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dengan metode skala psikologi. Metode skala adalah suatu metode yang berisi pernyataan-pernyataan sikap. Pernyataan sikap terdiri dari dua macam yaitu pernyataan yang favorable (mendukung) dan pernyataan yang unfavorable (tidak mendukung). Skala penelitian ini menggunakan skala pilihan yang mengaju pada Skala Likert agar subyek mudah mengerjakannya.

Bentuk skala Likert menggunakan lima kategori pilihan jawaban, yaitu Selalu (SL), Sering (SR), Kadang-kadang (KD), Jarang (JR), dan Tidak pernah (TP). Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Self Efficacy dan skala Kecerdasan Emosional. Adapun perinciannya sebagai berikut:


(54)

48

1. Skala Self Efficacy

Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek Self Efficacy yang di uraikan oleh Bandura, yakni: dimensi tingkat (magnitude), dimensi kekuatan (strength) dan dimensi generalisasi (generality).

Tabel 1.

Blue Print skala Self Efficacy

No. Dimensi Indikator Favourable Unfavourable Jumlah Bobot 1. Tingkat

(magnitude)

Berpandangan

optimis dalam mengerjakan tugas

1,20,32, 53,60 10,33,36,42,54 10 16,66%

Melihat tugas yang sulit sebagai suatu tantangan

2,13,24,41,47 9,15,21,28,48 10 16,66%

2. Kekuatan

(strength)

a. Percaya dan

mengetahui

keunggulan yang dimiliki

3,16,26,39,55 7,12,37,50,56 10 16,66%

b. Memiliki motivasi yang baik terhadap dirinya sendiri

4,22,31,43,49 11,18,27,44,57 10 16,66%

3. Generalisasi

(generality)

Komitmen dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dalam berbagai situasi

5,30,34,51,58 17,35,40,46,52 10 16,66%

c. Menyikapi situasi yang berbeda dengan baik dan berpikir positif

8,19,29,38,45 6,14,23,25,59 10 16,66%

Jumlah 60 100 %

2. Skala Kecerdasan Emosional

Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek Kecerdasan Emosional yang diuraikan oleh Goleman, yakni: Kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan ketrampilan social.


(55)

49

Tabel 2.

Blue Print skala Kecerdasan Emosional

No. Dimensi Indikator Favourable Unfavourable Jumlah Bobot 1. a. Kesadaran

b. diri c.

Mengenal dan merasakan

emosional sendiri

1,19,42 5,36,43 6 10%

d. Memahami perasaan yang timbul

21,31,41 20,26,44 6 10%

2. e. Pengaturan f. diri

g. Kemampuan menangani agar perasaan dapat terungkap dengan selaras

3, 25, 27 18,22,47 6 10%

Memiliki perasaan yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain

37,45,46 4,30,48 6 10%

3. h. Motivasi i.

j. Kemampuan menata emosional sebagai alat untuk mencapai tujuan

23,49,50 15,28,51 6 10%

k. Optimis dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan

2,6,33 16,38,52 6 10%

4. Empati l. Mampu memahami perasaan orang lain

14, 29, 39, 8,24,56 6 10%

m. Mampu mendengarkan orang lain

7,53,54 13,34,55 6 10%

5. Ketrampilan social

n. Mampu bergaul dan membangun

persahabatan

10, 57,58 32, 40,59 6 10%

o. Dapat hidup selaras dengan kelompok dan bersikap senang berbagi rasa dan bekerja sama

12,17,35 9,11,60 6 10%


(56)

50

D. Validitas dan Reliabilitas

Salah satu upaya untuk mencapai hasil yang akurat dan objektif dari suatu pengukuran adalah alat ukur yang digunakan harus valid dan reliabel (Azwar,2011). Oleh sebab itu perlu dilaksanakan uji coba terhadap suatu alat ukur yang selanjutnya dilakukan pengujian terhadap daya beda dan reliabilitasnya. Uji coba pada penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa PBSB semester 2 yang berjumlah 30 mahasiswa, dengan rincian 13 mahasiswa laki-laki dan 17 mahasiswa perempuan. Pada tanggal 24-26 Juni 2015 di PESMA dan PESMI UIN Sunan Ampel Surabaya.

1. Validitas

Menurut Azwar (2011) validitas seringkali dikonsepkan sebagai sejauh mana skala itu mampu mengukur atribut yang seharusnya diukur. Validitas dalam pengertiannya yang paling umum adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya.

Penilaian kevalidan masing-masing butir pertanyaan dapat dilihat dari nilai corrected item-total correlation masing-masing butir pertanyaan. Biasanya digunakan batasan corrected item-total

correlation > 0.30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi

minimal 0.30 daya bedanya dianggap memuaskan, item yang memiliki harga corrected item-total correlation kurang dari 0.30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya beda rendah. (Azwar, 2012). Untuk mempermudah perhitungan maka digunakan program SPSS 16.00 for windows


(1)

68

meningkatkan keyakinan akan kemampuan diri sedangkan suasana hati yang

negatif akan menurunkan kepercayaan diri seseorang, karena individu yang

berada dalam suasana hati yang buruk cenderung akan meragukan

kemampuan yang dimilikinya.

Guna untuk mengatasi suasana hati tersebut individu dituntut untuk

dapat memiliki kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional didefinisikan

oleh Cooper dan Sawaf (2001) dalam Fitri dan Zulkaida (2011) sebagai

kemampuan untuk merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan

daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi. Kecerdasan emosional

menuntut pemilik perasaan untuk dapat menanggapi dengan tepat emosi

yang sedang dirasakan, kemudian kehidupan sehari-hari. Salah satu

komponen dari kecerdasan emosional adalah motivasi diri.

Menurut Goleman (2005) dalam Fitri dan Zulkaida (2011) motivator

yang paling berdaya guna adalah motivator dari dalam diri sendiri. Individu

yang memiliki motivasi dapat mengambil inisiatif dan bertindak secara

efektif serta dapat bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Hal tersebut

tentu berpengaruh terhadap keyakinan diri individu tersebut sehingga dapat

menimbulkan sikap yang optimis dan dorongan untuk memenuhi standar

keberhasilan. Dijelaskan juga menurut Boyatzis, Goleman & Hay (2002)

dalam Prastadila dan Paramita (2013) bahwa seseorang yang memiliki


(2)

69

keyakinannya juga dalam menyelesaikan tugas serta untuk mengh asilkan

Permormance yang mempengaruhi kehidupannya yang disebut self-efficacy.

Hal ini senada dengan hasil penelitian Yapono dan Suharnan (2013)

yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional yang berkembang dengan

baik akan mempertinggi tingkat Self efficacy yang dimiliki seseorang.

Dalam penelitian Prastadila dan Paramitha (2013) juga dijelaskan bahwa

terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional

dengan selfefficacy yang artinya semakin tinggi kecerdasan emosional maka

semakin tinggi pula self efficacy nya.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya dan didukung

oleh teori-teori yang sejalan dengan penelitian kali ini terbukti bahwa hasil

penelitian ini menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara

kecerdasan emosi dengan self efficacy pada mahasiswa PBSB UIN Sunan


(3)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya

dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

kecerdasan emosi dengan self efficacy pada mahasiswa PBSB UIN Sunan

Ampel Surabaya.

Harga korelasi dari hasil analisis data bersifat positif, jadi menunjukkan

adanya arah hubungan yang berbanding lurus. Artinya semakin tinggi

kecerdasan emosi akan diikuti dengan semakin tinggi pula self efficacy pada

mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel. Sebaliknya, semakin rendah harga

kecerdasan emosi akan diikuti dengan semakin rendah pula self efficacy pada

mahasiswa PBSB UIN Sunan Ampel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

mahasiswa PBSB yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan memiliki

self efficacy yang tinggi pula. Begitupun sebaliknya apabila mahasiswa PBSB

memiliki kecerdasan emosi yang rendah maka mahasiswa PBSB juga akan

memiliki self efficacy yang rendah.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diberikan saran sebagai


(4)

71

dimiliki mahasiswa PBSB. Jika kecerdasan emosi dan self efficacy yang

dimiliki semakin meningkat semakin membantu mengoptimalkan potensi

serta kemampuan yang dimiliki. Mahasiswa juga dapat terhindar dari

permasalahan-permasalahan akademik karena tidak akan mudah stress dan

frustasi ketika mendapat masalah atau tugas yang cukup berat.

2. Bagi peneliti selanjutnya

a. Penelitian ini hanya meninjau sebagian hubungan saja, sehingga bagi

peneliti selanjutnya yang tertarik mengadakan penelitian dengan topic

yang sama diharapkan dapat memperluas ruang lingkup misalnya

dengan menambah variabel-variabel yang lain agar hasil yang didapat

lebih bervariasi dan beragam serta memperhatikan faktor-faktor lain

yang turut mempengaruhi self efficacy misalnya pengalaman

keberhasilan, persuasi sosial dan lain-lain.

b. Peneliti selanjutnya diharapkan memasukkan latarbelakang subjek,

misalnya tempat tinggal, asal pondok, dll, agar dapat mengetahui

perbandingan dari sebab-sebab yang melatarbelakangi sikap

mahasiswa PBSB atau sebab-sebab tingginya self efficacy.

c. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas populasi dan

memperbanyak sampel, agar ruang lingkup dan generalisasi penelitian

menjadi lebih luas sehingga kesimpulan yang diperoleh lebih


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Andi. (2013). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Kecemasan Pada Mahasiswa Stikes Nani Hasanuddin Makassar yang Sedang Menyusun Skripsi. Jurnal Psikologi Indonesia, Vol. 2 No. 1. ISSN : 2302-172.

Alwisol, (2011). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Artha, Isna Ni Made & Supriyadi. (2013). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dan

Self Efficacy dalam Pemecahan Masalah Penyesuaian Diri Remaja Awal.

Jurnal Psikologi Udayana. Vol. 1, No. 1, 190-202.

Azwar, Saifuddin. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2011). Reliabilitas Dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bandura, Albert. (1986). Social Foundation Of Thought and Action: a Social

Cognitive Theory. Englewood Cliffs. New York: Pretice Hall.

Cervone, Daniel & Pervin, Lawrence A. (2012). Kepribadian: Teori dan Penelitan. Jakarta: Salemba Humanika.

Hastuti, Theresia Dwi. (2003). Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Perilaku Belajar Terhadap Tingkat Pemahaman Akutansi. Jurnal Akutansi Bisnis, Vol II No. 3.

Fadilah, Amalia Erit Rina. (2013). Stres Dan Motivasi Belajar Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Mulawarman Yang Sedang Menyusun Skripsi.

eJournal Psikologi, Vol. 1, No. 3.

Fitri, nur Kenny & Zulkaida, Anita. (2011). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Self-Efficacy Belief Dalam Penyelesaian Tugas Akhir Pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi, Vol. 4 oktober 2011. ISSN: 1858-2559. Friedman, Howard S. & Schustack, M. (2006). Kepribadian: Teori Klasik dan Riset

Modern. Jakarta: Erlangga.

Goleman, Daniel. (1997). Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gufron, M. Nur, & Rini Risnawita, S. (2011). Teori-Teori Psikologi. Yogjakarta : Ar-ruzz Media.

Hadi, Sutrisno. (2000). Metodologi Research Jilid II. Yogyakarta: Andi Offset Ifham, Ahmad & Helmi, Avin F. (2002). Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan

Kewirausahaan Pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi, NO. 2, 89 – 111 ISSN : 0215 – 8884.


(6)

73

Muhid, Abdul (2010). Analisis Statistik. Surabaya: LEMLIT & Duta Aksara. Papalia, Diane E. at al. (2008). Human Development: Psikologi Perkembangan.

Jakarta: Kencana Prenada Media.

Paramita, Pramesti Pradna & Prastadila, Pitra. (2013). Hubungan antara Emotional

Intelligence dengan Self Efficacy Guru yang Mengajar di Sekolah Inklusi

TingkatDasar. Jurnal Psikologi dan Perkembangan, Vol. 2, No. 1.

Prawira, Purwa Atmaja. (2014). Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.

Pudjiastutik, Endang dkk. (2012). Hubungan Self Efficacy dengan Orientasi Masa Depan Area Pendidikan Siswa Kelas XI Jurusan IPA Bertaraf Internasional SMA N 5 Bandung. Jurnal psikologi Universitas islam Bandung. 3 (1) : 269-276

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta

Winarno, Jacinta. (2008). Emotional Intelegence Sebagai Salah Satu Faktor Penunjang Prestasi Kerja. Jurnal Manajemen, Vol.8, No.1.

Yapono, Farid & Suharnan. (2013). Konsep-Diri, Kecerdasan Emosi Dan Efikasi-Diri. Jurnal Psikologi, Vol. 2, No. 3, hal 208 - 216