HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGY WELL-BEING DAN SELF REGULATED LEARNING DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PENGHAFAL AL-QUR'AN UIN SUNAN AMPEL SURABAYA.

(1)

HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGY WELL-BEING DAN SELF REGULATED LEARNING DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA

PENGHAFAL AL-QUR’AN UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Strata Satu

(S1) Psikologi (S.Psi)

Bagus Maulanah Hamsah B07212001

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

xiii

This research is to find out the "Relation Between Psychology Well-Being and Self-Regulated Learning With Student Learning Achievement of Qur'an Memorizer of State Islamic University Sunan Ampel Surabaya". This study uses a quantitative method with multiple linear regression analysis. This study is a research correlation with data collection technique in the form of a scale of PsychologyWell-Being and Scale of Self Regulated Learning. While the Learning Achievement enough to use the results from Grade Point Average (GPA/IPK) subject. The Subjects of this study were 30 Qur'an memorizer students from a total population of 150 Members of Unit Tahfidul Qur'an Development (UPTQ). Through quota sampling technique by observing certain characteristics. And in SPSS For Windows 16,00 Version.

The results showed that there is a correlation between Psychology of Well-Being with learning achievements obtained by the magnitude of the correlation 0445 with 0.006 significance. due to the significance of <0.05. Furthermore correlation between learning achievement Self Regulated Learning shows the magnitude of correlation significance of -0214 to 0128, due to the significance of > 0.05 then there is no correlation. And the last one correlation between the Psychology of WellBeing with Self Regulated Learning, obtained magnitude of correlation -0075 with 0.347 significance, because the significance of> 0.05. then there is no correlation.

Keywords: Psychology Well-Being, Self Regulated Learning, and learning achievement


(7)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ...iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

INTISARI ... xii

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...10

C. Tujuan Penelitian...10

D. Manfaat Penelitian...11

E. Keaslian Penelitian ...11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi Belajar ...15

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar ...16

3. Pengukuran Prestasi Belajar ...17

B. Psychology Well-Being 1. Pengertian Psychology Well-Being ...18

2. Dimensi Psychology Well-Being ...22

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychology Well-Being ...24

C. Self Regulated Learning 1. Pengertian Self Regulated Learning ...28

2. Perkembangan Self Regulated Learning ...30

3. Aspek Self Regulated Learning ...31

4. Faktor-faktor Self Regulated Learning ...32

5. Karakteristik Self Regulated Learning ...33

D. Menghafal Al-Qur’an 1. Pengertian Menghafal Al-Qur’an ...36

2. Macam-macam Metode Menghafal Al-Qur’an ...39

3. Hukum Menghafal Al-Qur’an ...40

4. Manfaat Menghafal Al-Qur’an...41

5. Faktor Pendukung Untuk Menghafal Al-Qur’an ...42

E. Hubungan Antara Psychology Well-Being Dan Self Regulated Learning Dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Penghafal Al-Qur'an Uin Sunan Ampel Surabaya ...43


(8)

viii

G. Hipotesis ...47

BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Penelitian ... 49

2. Definisi Operasional ... 50

B. Populasi, Sampel Dan Teknik Samping 1. Populasi ... 51

2. Sampel ... 51

3. Teknik Sampling ... 51

C. Teknik Pengumpulan Data ... 52

D. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas ... ...56

2. Reliabilitas ... 57

E. Analisis Data ... 58

BAB IV PEMBAHASAN A. Deskriptsi Subjek 1. Subjek Berdasarkan Usia ... 60

2. Subjek Berdasarkan Semester ... 61

3. Subjek Berdasarkan Setoran Hafalan Al-Qur’an ... 61

B. Deskripsi Dan Reliabilitas Data 1. Skala Psychology Well-Being ... 62

2. Skala Self Regulated Learning ... 66

3. Skala Prestasi Belajar ... 69

4. Uji Normalitas ... 70

C. Hasil 1. Statistik Deskriptif Pada Tiap Variabel ...72

2. Uji Normalitas Data ...72

3. Uji Linieritas Hubungan ...74

4. Uji Hipotesis ...80

D. Pembahasan ...82

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...84

B. Saran ...85

DAFTAR PUSTAKA ...86


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menghafalkan Al-Qur’an mulai akhir- akhir ini banyak digemari oleh masyarakat Indonesia, dari usia Stua, mudah bahkan anak- anak juga. Begitu pula banyaknya stasiun televisi (TV) yang menayangkan acara hafidz (penghafal Al-Qur’an) untuk anak- anak seperti RCTI dan TRANS 7. Banyak acara yang diadakan mahasiswa juga yang menyerupai itu. Tak banyak juga ditemui mahasiswa yang sedang menjalankan ikhtiarnnya dalam menghafal Al- qur’an. Seperti pada Unit Pengembangan Tahhfidz Al- Qur’an (UPTQ) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. UPTQ UINSA sendiri didirikan sebagai wadah bagi mahasiswa yang sedang berproses dalam menghafal Al-Qur’an.

Muhammad Ali Ash-Shabuni, dalam Imam Fahrudin, (2014). Al Qur'an adalah Firman Allah swt yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw penutup para nabi dan rasul dengan perantaraan malaikat Jibril as, ditulis pada mushaf-mushaf kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, membaca dan mempelajari al Qur'an adalah ibadah, dan al Qur'an dimulai dengan surat al Fatihah serta ditutup dengan surat an Nas. Pemeliharaan Al-Qur’an pertama di mulai dengan pencataan pada lembaran-lembaran, bati, tulang, dan kain. Kemudian Alqur’an mulai disusun dalam satu mushaf oleh khalifah Abu Bakar dan di sempurnakan oleh Ustman bin Affan. Kemudian Al-Qur’an


(10)

mulai di cetak di berbagai negara hingga sampai di tangan kita sekarang ini. Al-Qur’an yang masih asli sesuai yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Hal ini karena kitab Allah SWT yang mulai dan sekaligus penyempurnaan dari kitab –kitab Allah SWT yang di turunkan ke bumi ini di jaga oleh Allah SWT dari segala bentuk penyipangan dan perubahan, hal ini di tegaskan Allah SWT dalam firmanya :































Artinya :

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al-Qur’an Surat Hijr ayat 9), Al-Qur’an Terjemah Pararel Indonesia Inggris, (2010).

Menghafal Al-Qur’an merupakan ciri khas ummat muslim dan jumlah penghafal Al-Qur’an di dunia cukup banyak. Menurut harian republika (Yuwanto 2010) penghafal Al-Qur’an di pakistan mencapai angka 7 juta dari sekitar 134 juta penduduk, jalur gaza palestina 60 ribu orang, libya 1 juta orang dari 7 juta penduduk, arab saudi 6 ribu orang, dan dari indonesia penghafalnya berjumlah 30 ribu dari sekitar 250 juta penduduk. Meski demikian, penghafal Al-Qur’an di indonesia termasu sangat minim karena hanya ada 0,01% penghafal qur’an tersebut diantaranya terdapat di daera surakarta. Jumlah tersebut lebih banyak di temukan di pondok pesantren dari pada di rumah-rumah. Jumlah tersebut lebih banyak di temukan di pondok pesantren dari pada di rumah-rumah. Pesantren-pesantren tersebut memiliki kiprah yang besar dalam rangkaa mencetak generasi-generasi penghafal Al-Qur’an. Terdapat beberapa


(11)

pesantren tahfizhul Qur‟an yaitu Baitul Hikmah, Daarul Qur’an, Ulul Albab, Langitan, PPM Al Jihad Surabaya, dan lain sebagainya.

Beberapa hasil penelitihan menunjukan, aktifitas menghafal Al-Qur’an memberikan efek positif terkhusus pada remaja yaitu meningkatnya prestasi belajar. (Ramadhan, 2013), tercapainya kesejahteraan psikologis. (Mahfudloh, 2010), Meningkatnya sistem imun. Dan (islamiah, 2008).

Menghafal Al-Qur’an mengharuskan pelakunya berupaya menginternalisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, termasuk adab berinteraksi dengan lawan jenis, meskipun pada beberapa literatur di jelaskan bahwa salah satu isu dalam kehidupan remaja seksualitas dalam hal ini ketertarikan pada lawan jenis, namun pada para huffadz yang berupaya mengaplikasikan aturan yang tertulis dalam Qur’an, tentu memiliki cara unik dalam mengekpresikan cinta romantis sehingga memungkinkan memiliki pemaknaan yang berbeda dari remaja lainya dan menarik untuk di teliti lebih lanjut.

Proses yang dijalani oleh seseorang untuk menjadi penghafal Al-Qur’an tidaklah mudah dan sangat panjang. Dikatakan tidak mudah karena harus mengghafalkan isi Al-Qur’an dengan kuantitas yang sangat besar terdiri dari 114 surat 6.236 ayat, 77439 kata, dan 323.015 huruf yang sama sekali berbeda dengan simbol huruf dalam bahasa indonesia. Menghafal Al-Qur’an bukan pula semata-mata menghafal dengan mengandalkan


(12)

kekuatan memory, akan tetapi merupakan serangkaian proses yang harus di jalani oleh penghafal Al-Qur’an setelah mampu menguasai hafalan secara kuantitas. Beserta dengan tuntutan menyelesaikan program pendidikan sebagai mahasiswa di perguruan tinggi.

Penghafal Al-Qur’an berkewajiban untuk menjaga hafalanya, memahami apa yang di pelajari dan bertanggung jawab untuk mengamalkanya. Oleh karena itu, proses menghafal dikatakan sebagai proses yang panjang karena tanggung jawab yang di emban oleh penghafal Al-Qur’an akan melekat pada dirinya hingga akhir hayat. Konsekuensi dari tanggung jawab Al-Qur’an pun terhitung berat. Apalagi terbebankan dengan tugas kuliah yang begitu banyak, bagi penghafal Al-Qur’an yang tidak mampu menjaga hafalanya maka perbuatanya dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk perbatan dosa. Bahkan salah satu hadist dengan tegas menyatakan Al-Qur’an yang diharapkan dapat memberi pertolongan dapat saja memberi mudharat kepada penghafalnya jika tidak di amalkan.

Oleh karena itu mahasiswa penghafal Al-Qur’an, selain membutuhkan kemampuan kognitif yang memadai, kegiatan menghafal Al-Qur’an juga membutuhkan kekuatan tekat dan niat yang lurus, di butuhkan pula usaha yang keras, kesiapan lahir dan batin, keleraan dan pengaturan diri yang ketat (Sirjani & Khaliq 2007; Badwilan 2009; Sa’dulloh, 2008).


(13)

Banyak statement yang muncul didalam masyarakat jika penghafal Al-Qur’an akan lemah dalam hal prestasi akademik. Namun hal ini dipatahkan oleh beberapa mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Banyak ditemui bahwa para penghafal Al-Qur’an justru memiliki keunggulan, baik dalam kehidupan intelektual, mapun spiritual. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian di UKM UPTQ UINSA, banyak prestasi yang telah diraihnnya seperti; Juara III Se-Jatim di UM Malang, MHQ Se-PTAIN di Tulunggagung Juara III, Juara 10 besar di Universitas Islam Indonesia, Juara III kategori JuZ 5 di Pioner Palu, Menjadi imam besar masjid di nusantara dan internasional (madina), bulan ramadhan 1437 menjadi imam masjid di provinsi papua, (Sahud Ketua UKM UPTQ).

Prestasi belajar tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena belajar merupakan suatu proses, sedangkan prestasi bejar adalah hasil dari proses mengajar tersebut, menurut (Oeman, 2003) belajar adalah pengalaman yang bersifat sebagai sumber pengetahuan dan keterampilan, bersifat pendidikan, pengalaman yang mendidik dan bersifat kountinu dan interaktif. (Wingkel, 1997) Prestasi belajar adalah bukti keberhasilan yang dicapai, proses belajar yang dialami siswa mengahasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan atau pemahaman keterampilan dan sikap-sikap.

Menurut (Chaplin, 1989) yang di ambil dari kamus psikologi karanganya, prestasi belajar merupakan suatu tingkat khusus atau perolehan hasil keahlian dalam karya yang dinilai oleh pengajar melalui


(14)

tes yang di bakukan atau pengetahuan dua hal tersebut. Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil seluruh kegiatan yang menjadi bukti dari proses pengalaman dan mengajar yang bersifat tetap atau permanen. Prestasi belajar juga merupakan hasil dari serangkaian proses belajar yang dapat dinilai dengan angka.menurut (Sudjana, 2011) aspek prestasi belajar terdiri dari tiga aspek :

a. Kognitif, berkenan dengan pengenalan baru atau mengingat kembali (menghafal), memahami, mengaplikasiakan, menganalisis, dan kemampuan mengevaluasi.

b. Afektif, berhubungan dengan membangkitkan minat, sikap/emosi, penghormatan/kepatuhan tterhadap nilai atau norma.

c. Psikomotor, pengajar yang bersifat keterampilan atau yang menunjukan gerak (skill), keterampilan tangan menunjukan pada tingkat keahlian seseorang dalam suatu tugas atau kumpulan tugas tertentu.

Menurut Winne (Santrock, 2007) self regulated learning adalah kemampuan untuk memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan ini bisa jadi berupa tujuan akademik (meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik, belajar perkalian, mengajukan pertanyaan yang relevan), atau tujuan sosioemosional (mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman sebaya). Self regulated learning adalah proses aktif dan konstruktif siswa dalam menetapkan tujuan untuk proses belajarnya


(15)

dan berusaha untuk memonitor, meregulasi, dan mengontrol kognisi, motivasi, dan prilaku, yang kemudian semuanya diarahkan dan di dorong oleh tujuan mengutamakan konteks lingkungan, siswa yang mempunyai self regulated learning tinggi adalah siswa yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral merupakan peserta aktif dalam proses belajar.

Zimerman dkk (Santrok, 2007) menyatakan bahwa ada tiga aspek dalam self regulated learning, adalah metakognisi, motivasi dan prilaku. Metakognisis adalah kemampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasikan atau mengatur, menginstrusikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktifitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu. Perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar.

Menurut (Zimerman, 1990) dalam teori sosial kognitif terdapat tiga hal yang mempengaruhi seseorang sehingga melakukan self regulated learning, yakni individu, perilaku dan lingkungan. Faktor individu meliputi pengetahuan, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan metakognisi serta efikasi diri. Faktor perilaku meliputi beharvior self reaction, personal self reaction serta environmen self reaction, sedangkan faktor lingkungan dapat berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan dan lain sebagainya.


(16)

Salah satu yang dapat mempengaruhi self regulated learning dalam faktor individu adalah faktor efikasi diri dan faktor lingkungan diantaranya adalah dukungan dari keluarga.

Self regulater learning adalah suatu usaha yang mendalam dan memanfaatkan sumber daya dan jaringan yang ada, memonitor dan meningkatkan proses yang mendalam dengan kata lain, self regulated learning mengacu pada perencanaan dan memonitor proses kognitif dan aktif yang melibatkan keberhasilan menyelesaian tugas-tugas akademik (Kerlin, 1992) .

Menurut (Zimmerman, 1989). Self regulated dalam belajar disebut dengan self regulated learning, yaitu proses dimana seorang siswa mengaktifkan metakoknisi, motivasi, dan tingkah laku dalam proses belajar.

Sementara menurut (Eggen & Kauchak, 2004) self regulated learning adalah proses untuk menerima tanggung jawab dan mengontrol belajarnya sendiri. Self regulated didefinisikan cara bagaimana seseorang memonitor, mengontrol dan mengarahkan aspek-aspek proses kognitif dan prilakunya.

Self regulated learning mencakup beberapa aspek kognitif antara lain:

1. Perencanaan: mengorganisir langkah-langkah meliputi menetapkan tujuan dengan cara harus mengidentifikasi tujuan-tujuan, mengembangkan strategi dengan cara menganalisis


(17)

tugas dan mendeskripsikan hasil yang diharapkan dengan mempertimbangkan kendala yang muncul.

2. Memonitoring: melibatkan kemampuan mengobservasi, melaporkan dan mengukur kemajuan terhadap tujuan.

3. Mengevaluasi: meliputi mengevaluasi tujuan dan kemampuan dari evaluasi.

4. Memperkuat (reinsforcing): refleksi dan pemberian penghargaan termasuk pemberian reward.

Dari beberapa pengertian para ahli maka dapat ditarik kesimpulan bahwa self regulated learning adalah mengacu pada kemampuan dari siswa memerlukan untuk mengkontrol belajarnya memalui keyakinan akan motivasi yang produktif dan mengunakan strategi belajar kognitif.

(Cleamos, 2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor prestasi akademik siswa antara lain yaitu: kemampuan individu, persepsi diri, penilaian terhadap tugas, harapan yang di miliki siswa terhadap kesuksesan, strategi dan regulasi siswa, gender, status sosio-ekonomi, kinerja dan sikap siswa terhadap tugas atau pekerjaan rumah yang diberikan hingga pola pengasuhan yang di berikan orang tua terhadap anak juga turut berperan serta terhadap prestasi akademikk siswa (Ryff, 1989).

Kesejahteraan psikologi merupakan suatu kondisi dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial,


(18)

mampu mengkontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup serta mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu.

Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan psikologi yang baik, tentunya faktor-faktor yang mempengaruhi harus sangat diperhatikan, didasarkan pada penelitian Ryff dan singer (dalam synder, 2002), bahwa usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, faktor dukungan sosial, religuitas, dan kepribadian merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh bagi dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis seseorang.

Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan diatas peneliti ingin melihat adakah Hubungan antara Psychology Well-Being dan Self Regulated Learning dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Penghafal Al-Qur’an Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada Hubungan antara Psychology Well-Being dan Self Regulated Learning dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Penghafal Al-Qur’an Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk mengetahui Hubungan antara Psychology Well-Being dan Self Regulated Learning dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Penghafal Al-Qur’an Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.


(19)

D. Manfaat Penelitian

Selain dari tujuan diatas, maka penelitian ini juga memiliki manfaat antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah khazanah keilmuan psikolgi pendidikan.

b. Sebagai sumbangsi dalam ilmu psikologi khususnnya dalam bidang psikologi belajar, mengenahi hubungan antara psychology well-being dan self regulated learning dengan prestasi belajar mahasiswa penghafal al- qur’an UIN Sunan Ampel Surabaya. 2. Manfaat Praktis

a. Psychology well-being dapat membantu mencapai prestasi belajar dengan memiliki hafalan Al-Qur’an.

b. Dengan self regulated learning menjadikan mahasiswa lebih giat belajar.

c. Sebagai tambahan wawasan pengetahuan dalam bidang psikologi kepada calon-calon penghafal Al-Qur’an.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan teori dan uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai “Hubungan Antara Psychology Well-Being dan Self Reguated dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Penghafal Al-Qur’an UIN Sunan Ampel Surabaya”. Penelitian tentang self regulated ini sebelumnya pernah di teliti oleh Husna Linda Miftahul (2014). Dengan judul “Hubungan Antara Self Regulated Learning Dengan Prestasi Akademik


(20)

Pada Mahasiswa Penghafal Al-Qur‟an Di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang”. Mengetahui apakah terdaapat hubungan antara self regulated learning dengan prestasi akademik pada mahasiswa penghafal Al-Qur’an di UIN Malang. Penelitian menunjukan sejumlah 70 mahasiswa penghafal Al-Qur’an mempunyai self regulated learning tinggi prosentasi 81,4%, sedang 18,6% dan 0% rendah. Kemudian terdapat 65,7% mahasiswa dengan kategori coumlade dalam prestasi akademik, 34,28% sangat baik, dan kategori baik sangat baik adalah 0%.

Purwanto (1999), ”Hubungan Daya Ingat Jangka Pendek Dan Kecerdasan Dengan Kecepatan Menghafal Al-Qur’an Di Pondok Pesantren Krapyak” penelitihan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kecepatan menghafal Al-Qur’an di tinjau dari daya ingat jangka pendek. Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pertama, daya ingat jangka pendek berpengaruh secara signifikan terhadap kecepatan menghafal Al-Qur’an, semakin tinggi daya ingat jangka pendek maka akan semakin cepat pula dalam menghafal, kedua kecerdasan tidak dapat dimasukan dalam analisi sebab antara kecerdasan dengan daya ingat jangka pendek terjadi kolinearitas.

Selanjutnya, Lailatul Fitriyah (2007),”Hubungan Antara Self Regulated Learning Dengan Prestasi Belajar Pada Siswa Program IPS di SMA Assaadah Bungah Gresik”. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan hubungan Antara Self Regulated Learning Dengan Prestasi Belajar Pada Siswa Program IPS di SMA Assaadah Bungah


(21)

Gresik. Ditemukan hasil koefisien kolerasi (rxy) sebesar = -0,070 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara self regulated learning dengan prestasi belajar pada siswa program IPS dengan sumbangan efektif (r) sebesar 0,5% ini bebarti ada 99,5%variable lain yang turut mempengaruhi prestasi belajar.

Hani’ah, (2013) .”Pengaruh Self Regulated Learning Siswa Terhadap Prestasi Belajar Fisika Kelas X MA Matholi’ul Huda Troso Pecangaan Jepara”. Bahwasanya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Bagaimanakah self regulatedsiswa kelas X MA Matholi’ul Huda Troso Pecangaan Jepara, 2. Bagaimana Prestasi Belajar Fisika siswa kelas X MA Matholi’ul Huda Troso Pecangaan Jepara, 3. Apakah ada pengaruh self regulated learning siswa kelas X MA Matholi’ul Huda Troso Pecangaan Jepara. Berdasarkan analisis menunjukan siswa kelas X memiliki self regulated learning dan prestasi belajar fisika yang tinggi. Self reguated learning berpengaruh positif terhadap prestasi belajar fisika. Ini berarti bahwa siswa memiliki prestasi belajar fisika yang tinggi. Sedangkan siswa memiliki self regulated learning rendah akan memiliki prestasi belajar fisika yang rendah. Prestasi belajar fisika 63,8% dipengaruhi oleh self regulated learning juga dipengaruhi faktor lain yakni sisanya sebesar 36,2% yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian lainya tentang Pschology Well-Being dalam penelitian Yoga Ahmad Ramadhan, (2012). Yang berjudul “Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Santri Penghafal Al-Qur’an” penetapan subjek


(22)

pada penelitian ini, berjumlah 5 orang dengan mengunakan 5 kriteria sebagai berikut : a. Laki-laki, 2. Usia antara 12-23 tahun, 3. Tinggal di pondok pesantren. Metode penelitian mengunakan kualitatif dengan jenis pendekatan fenomenoligis. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa remaja santri penghafal Al-Qur’an pondok pesantren kampung memiliki kesejahteraan psikologi yang bervariasi, dua subjek memenuhi indikator psikoogis, dan yang tiga krang memenuhi indikator psikologis, yaitu dalam dimensi penerimaan diri, tujuan hidup dan perkembangan diri.

Dari berbagai macam hasil penelitian ditas dapat ditarik kesimpulan maka terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam penelitian yang yang dilakukan peneliti. Penelitian ini terdapat di lokasi penelitian, objek penelitian, subjek penelitian, dan model yang digunakan.


(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Prestasi Belajar

1. Pengertian Prestasi Belajar

Menurut Asep Jihat (2009). belajar adalah kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan.

Sedangkan menurut Sardiman (1996). belajar merupakan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan sebagainya. Prestasi belajar yang sering disebut juga hasil belajar yang artinya apa yang telah dicapai oleh suatu siswa setelah melakukan kegiatan balajar yang mencakup aspek kongnitif, afektif dan psikomotor (Tohirin, 2005).

Menurut chaplin (1989) yang di ambil dari kamus psikologi karanganya, prestasi belajar merupakan suatu tingkat khusus atau perolehan hasil keahlian dalam karya yang dinilai oleh pengajar melalui tes yang di bakukan atau pengetahuan dua hal tersebut.

Winkel (1996) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar.


(24)

Menurut Muhibbin Syah, (2008). Prestasi belajar adalah keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.

Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil seluruh kegiatan yang menjadi bukti dari proses pengalaman dan mengajar yang bersifat tetap atau permanen. Prestasi belajar juga merupakan hasil dari serangkaian proses belajar yang dapat dinilai dengan angka.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Cleamos (2008) mejelaskan bahwa faktor-faktor prestasi akademik siswa antara lain yaitu: kemampuan individu, persepsi diri, penilaian terhadap tugas, harapan yang di miliki siswa terhadap kesuksesan, strategi dan regulasi siswa, gender, status sosioekonomi, kinerja dan sikap siswa terhadap tugas atau pekerjaan rumah yang diberikan hingga pola pengasuhan yang dberikan orang tua terhadap anak juga turut berperan serta terhadap prestasi akademikk siswa.

Menurut Slameto, (1998) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar banyak jenisnya tetapi dapat digolongkan menjadi dua yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Secara rinci faktor tersebut adalah sebagai berikut :


(25)

a. Faktor internal

1. Faktor jasmani yang terdiri atas faktor kesehatan dan cacat tubuh.

2. Faktor psikologi yang terdiri atas intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kelemahan.

b. Faktor eksternal

1. Faktor keluarga terdiri atas cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga.

2. Faktor sekolah terdiri atas metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, disiplin, keadaan gedung, metode mengajar, dan tugas belajar.

3. Faktor masyarakat terdiri atas kegiatan siswa dalam masyarakat, media masa, temen bergaul, bentuk kehidupan masyarakat.

3. Pengukuran Prestasi Belajar

Menurut winkel (1986) istilah pengukuran dan penilaian atau evaluasi mengandung pengertian yang berbeda, pengukuran merupakan deskripsi kuantitatif tentang keadaan suatu hal, sedang penilaian belajar disekolah, istilah pengukuran prestasi belajar kerap di gunakan.

Dalam kegiatan pembelajaran, mahasiswa dikatakan berhasil atau tidak, salah satu caranya dengan melihat nilai-nilai hasil perolehan


(26)

mahasiswa dalam Kartu Hasil Studi (KHS) maupun Dokumen Hasil Studi (DHS). Angka-angka maupun huruf-huruf dalam Kartu Hasil Studi (KHS) maupun Dokumen Hasil Studi (DHS) mencerminkan Prestasi Belajar atau sejauh mana tingkat keberhasilan siswa mengikuti kegiatan belajar.

B. Psychology Well-Being

1. Pengertian Psychology Well-Being

Memahami dan mencermati tentang kesejahteraan psikologi. Maka dari itu kita harus mengenal dahulu mengerti pengertian kata “sejahteraan” dan “kesejahteraan” itu sendiri, kata Sejahtera dalam kamus besar bahasa indonesia berarti Aman sentosa dan makmur, selamat (lepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya). Sementara Kesejahteraan berarti sejahtera, aman, selamat, tentram, kesenangan hidup, makmur, dan sebagainya.

Sementara itu menurut Parameter Kesejahteraan menyatakkan. Pengertian Sejahtera menurut kementrian Koordinator kesejahteraan rakyat yaitu suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan tersebut berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan dan kebutuhan dasar lainya seperti lingkungan yang bersih, aman dan nyaman. Juga terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta terwujudnya masyarakat dan bertaqwa kepada tuhan yang maha Esa.


(27)

Hurlock (1994) menyebutkan kebahagiaan adalah keadaan sejahtera (well-being) dan kepuasan hati, kepuasan yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan harapan individu terpenuhi. Alston dan Dudley (dalam Hurlock, 1994) menambahkkan bahwa kepuasan hidup merupakan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya, yang disertai tingkat kegembiraan.

Seligman (2000) Konsep kesejahteraan psikologis berawal dari teori psikologi positif. Tujuan dari psikologi positif itu sendiri untuk mengkatalisasi perubahan dalam psikologi dari yang hanya fokus pada mengubah hal yang buruk dalam hidup kepada memperbaiki kualitas diri. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa psikologi memiliki ruang lingkup yang luas dan dapat dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan tujuan mencapai kesejahteraan psikologi individu. Kesejahteraan psikologi merupakan konstruk yang fokus dalam mengoptimalkan pengalaman dan fungsi psikologis (Ryan & Deci, 2001).

Ryff (1989) dalam jurnal Religuisitas dan Psychological Well-Being pada korban gempa. Kesejahteraan psikologi suatu kondisi dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubunugan yang hanggat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup serta mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu.


(28)

Psychological Well-being merupakan istilah yang digunakan untuk mengambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kreteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning). Hal ini sesuai dengan jurnal milik Ryff (2010) yang menyebutkan bahwa aspek-aspek yang menyusun Psychological Well-being antara lain :

1. Penerimaan diri (self acceptance).

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relation with other).

3. Kemandirian (autonomy).

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery). 5. Tujuan hidup (purpose in live).

6. Pengembangan pribadi (personal growth).

Ryff (dalam Ryff dan singer, 2008). Menekankan dua poin utama dalam menjelaskan psychology well-being atau kesejahteraan psikologis. Pertama kesejahteraan yang menekankan pada proses pertumbuhan dan pemenuhan individu yang sangat di pengaruhi oleh lingkungan sekitar. Poin kedua adalah eudaimonic, yang menekankan pada pengaturan yang efektif dari sistem fisiologis untuk mencapai suatu tujuan. Di dalam psychology well-being terdapat enam aspek menurut Ryff (dalam Ryff dan singer, 2008) yaitu penerimaan diri yang merupakan pandangan positif terdapat diri sendiri. Kedua, hubungan positif dengan orang lain, yaitu addanya jalinan hubungan


(29)

yang hangat dengan orang lain. Ketiga, otonomi yang merupakan sikap mandiri dalam menentukan dan menjalani kehidupan. Keempat, penguasaan lingkunga, yaitu kemampuan untuk memanipulasi lingkungan dan sumber daya yang ada. Kelima, tujuan hidup yaitu memiliki arah tujuan dalam menjalani kehidupan. Keenam, pertumbuhan pribadi merupakan proses untuk berkembang dan memperbaiki potensi yang ada di dalam diri.

Menurut Ryff dan Keyes (1995) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi psychology well-being, yaitu faktor demografis, seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya. Faktor dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup, kebribadian dan religiusitas.

Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan psikologi yang baik, tentunya faktor-faktor yang mempengaruhi harus sangat di perhatikan, didasarkan pada penelitihan Ryff & Singer (dalam Synder, 2002), bahwa usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, faktor pendukung sosial, religiusitas, dan kepribadian merupakan faktor-faktor yang sangat di pengaruhi bagi dimensi-dimensi kesejahteraan psikologi seseorang.


(30)

2. Dimensi Psychology Well-Being

Ryff (1989) psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk mengambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kreteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Ryff, 1995) yang menyebutkan bahwa aspek-aspek yang menyusun Psychological Well-being antara lain :

a. Penerimaan diri (self acceptance).

Seseorang yang Psychological Well-being nya tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima beberapa aspek positif dan negatif tentang kehidupan masa lalu.

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relation with other).

Banyak teori yang menekankkan pentingnya hubungan interpersonal yang hangat yang saling mempercayai dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai di pandang sebagi komponen utama kesehatan mental psychological well-being seseorang itu tinggi jika mampu bersikap hangat dan percaya dalam hubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi, dan keintiman yang kuat, memahami pemberian dan penerimaan dalam suatu hubungan.


(31)

c. Kemandirian (autonomy).

Merupakan kemampuan individu dalam mengabil keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sesuai untuk berfikir dan bersikap dengan cara yang benar, berprilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri, dan mengevaluasi diri sediri dengan standar personal.

d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery).

Mampu dan berkompetisi mengatur lingkungan, menyusun kontrol yang kompleks terhadap aktivitas eksternal, mengunakan secara efek-efek kesempatan dalam lingkungan, mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan kebuutuhan dan nilai individu itu sendiri.

e. Tujuan hidup (purpose in live).

Kesehatan mental didefinisikan mencakup kepercayan-kepercayaan yang memberikan individu suatu pperasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki makna.

f. Pengembangan pribadi (personal growth).

Merupakan perasaan mampu dalam melalui tahap-tahap perkembangan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi yang ada dalam dirinya, melakukan perbaikan dalam hidupnya sewaktu.


(32)

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Psychology Well-Being

Berbagai penelitian mengenai psychological well being telah banyak dilakukan dan dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being seseorang. Menurut Ryff dan singer (dalam synder 2002) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well antara lain :

1. Usia

Ryff & Keyes (Ryff & Keyes, 1995; Snyder & Lopes, 2002) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan tingkat psychological well-being didasarkan pada perbedaan usia. Perbedaan usia ini terbagi dalam tiga fase kehidupan masa dewasa yakni dewasa muda, dewasa madya dan dewasa akhir. Individu-individu yang berada di masa dewasa madya dapat menunjukkan psychological well-being yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berada di masa dewasa awal dan dewasa akhir pada beberapa dimensi dari psychological well-being (Papalia, Sterns, Feldman dan Camp, 2002).

Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya. Sedangkan dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan


(33)

seiring bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

2. Jenis Kelamin

Wanita cenderung lebih memiliki kesejahteraan psikologis dibandingkan laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan pola pikir yang berpengaruh terhadap strategi koping yang dilakukan, serta aktivitas sosial yang dilakukan, dimana wanita memiliki kemampuan interpersonal yang lebih baik daripada laki-laki oleh Ryff & Singer (Ryff, 1989; Synder & Lopes, 2002; Papalia et al, 2002).

Selain itu wanita lebih mampu mengekspresikan emosi dengan bercerita kepada orang lain, dan wanita juga lebih senang menjalin relasi sosial dibanding laki-laki. Wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain (Ryff & Keyes, 1995).

3. Status Sosial Ekonomi

Penelitian Ryff dan Koleganya (1999) menjelaskan bahwa status sosial ekonomi yang meliputi: tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan keberhasilan pekerjaan memberikan pengaruh tersendiri pada psychological


(34)

well-being, dimana individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan memiliki pekerjaan yang baik akan menunjukkan tingkat psychological well-being yang lebih tinggi pula (dalam Synder & Lopes, 2002).

Ryff (1999) juga menjelaskan bahwa status ekonomi berhubungan dengan dimensi dari penerimaan diri, tujuan dalam hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi. Beberapa penelitian juga mendukung pendapat ini (Ryan & Deci, 2001) dimana individu-individu yang memfokuskan pada kebutuhan materi dan finansial sebagai tujuannya menunjukkan tingkat kesejahteraan yang rendah. Hasil ini sejalan dengan status sosial/kelas sosial yang dimiliki individu akan memberikan pengaruh berbeda pada psychological well-being seseorang.

4. Faktor Dukungan Sosial

Dukungan sosial termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well being seseorang. Dukungan sosial atau jaringan sosial, berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000). Sejalan dengan hal tersebut Hume menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang


(35)

signifikan antar interaksi sosial dengan psychological well-being (Bauer-Jones, 2002).

5. Religiusitas

Ellison (1991) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara ketaatan beragama (religiusity) dengan psychological well-being. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa individu dengan religiusitas yang kuat menunjukkan tingkat psychological well being yang lebih tinggi dan lebih sedikit mengalami pengalaman traumatik.

Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Koening, Kvale dan Ferrel (1998) menunjukkan bahwa individu yang tingkat religiusnya tinggi mempunyai sikap yang lebih baik, merasa lebih puas dalam hidup dan hanya sedikit mengalami rasa kesepian. Penelitian lain dilakukan oleh (Walls & Zarit, 1991; Coke, 1992) bahwa individu yang merasa mendapatkan dukungan dari tempat peribadatan mereka cenderung mempunyai tingkat psychological well being yang tinggi (dalam Papalia et al, 2002).

6. Kepribadian

Schumutte dan Ryff (1997) telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara lima tipe kepribadian (the big five traits) dengan dimensi-dimensi psychological


(36)

well being. Hasilnya menunjukkan bahwa individu yang termasuk dalam kategori ekstraversion, conscientiousness dan low neouroticism mempunyai skor tinggi pada dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan keberarahan hidup. Individu yang termasuk dalam kategori openness to experience mempunyai skor tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi. individu yang termasuk dalam kategori agreeableness dan extraversion mempunyai skor tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan individu yang termasuk kategori low neuriticism mempunyai skor tinggi pada dimensi ekonomi (dalam Ryan & Deci, 2001). C. Self Regulated Learning

1. Pengertian Self Regulated Learning

Keberhasilan proses belajar mengajar ditentukan oleh beberapa faktor, baik faktor intern (dalam diri) dan faktor ekstern (di luar diri) siswa maupun guru. Self regulated learning yang di singakat menjadi SRL ini dapat di artikaan dalam bahasa indonesia “pembelajaran mandiri” merupakan faktor dalam diri yang dimiliki oleh pembelajar baik guru maupun siswa dalam rangka mencapai tujuan peningkatan belajar maupun mengajar.

Self regulated learning sebagai belajar mandiri ini jangan diartikan sempit, tetapi self regulated learning yang dimiliki seseorang dapat digunakan untuk mengembangkan dirinya. Untuk mencapai


(37)

kesuksesan., sehingga seharusnya dimiliki oleh seorang siswa, mahasiswa, guru, dosen maupun pebelajar lainya. Pengerttian yang di diberikan oleh para ahli, Self regulated learning lebih mengarah pada kehidupan pribadi setiap individu dalam memandang belajar untuk dirinya sendiri. SRL yaitu keadaan individu memikul tanggung jawab pribadi dan kontrol untuk akuisisi pengetahuan mereka sendiri. Self regulated learning memberikan tanggung jawab pribadi terhadap pembelajar yang dilakukan, yang meliputi pengendalian diri, dan usaha peningkatan belajarsecara mandiri.

Benjamin Frank, (1987). Dalam jurnal yang berjudul Self regulated learning salah satu modal kesuksesan belajar dan mengajar. Menjelaskan bahwa siswa lah yang menetapkan tujuan pembelajaran untuk dirinya sendiri, merekam kemajuan setiap hari dalam catatanya, sehingga Self regulated learning merupakan kunci dan sangat berkonstribusi dalam pembelajaran siswa sendiri.

Pintrich, (1991). Mendefinisikan Self regulated learning sebagai suatu proses yang aktif, dimana pebelajar menetapkan tujuan belajar mereka dan kemudian memonitor, mengatur, dan mengontrol kognisi., motivasi dan perilaku mereka, yang dipandu oleh tujuan-tujuan mereka dan segi konstektual terhadap lingkunganya.

Menurut Winne (Santrock, 2007) self regulated learning adalah kemampuan untuk memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan


(38)

ini bisa jadi berupa tujuan akademik (meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik, belajar perkalian, mengajukan pertanyaan yang relevan), atau tujuan sosioemosional (mengkontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman sebaya).

Zimerman dkk (Santrok, 2007) menyatakan bahwa ada tiga aspek dalam self regulated learning, adalah metakognisi, motivasi dan prilaku. Metakognisis adalah kemampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasikan atau mengatur, menginstrusikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktifitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu. Perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa self regulated learning adalah proses bagaimana seorang peserta didik mengatur pembelajaranya sendiri dengan mengaktifkan kognitifkan kognitif, afektif dan prilakunya sehingga tercapai tujuan belajar.

2. Perkembangan Self Regulated Learning

Schunk dan Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) mengemukakan model perkembangan self-regulated learning.


(39)

Berkembangnya kompetensi self-regulated learning dimulai dari beberapa faktor yaitu:

1. Pengaruh sumber sosial: Berkaitan dengan informasi mengenai akademik yang di peroleh dari lingkungan teman sebaya. 2. Pengaruh lingkungan: Berkaitan dengan orang tua dan

lingkungannya, sehingga peserta didik dapat menetapkan rencana dan tujuan akademiknya secara maksimal.

3. Pengaruh personal atau diri sendiri. Berkaitan dengan diri sendiri peserta didik yang memiliki andil untuk memunculkan dorongan bagi dirinya sendiri untuk mencapai tujuan belajarnya.

3. Aspek Self Regulated Learning

Menurut Zimmerman dalam jurnal Hubungan antara self regulated learning dengan prokastinasi akademik, menyebutkan ada tiga aspek yang meliputi self regulated learning yaitu :

1. Metakognitif

Matlin (dalam Ghufron dan Risnawita (2010: 59) mengatakan meta kognisi adalah pemahaman dan kesadaran tentang proses kognitif. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa metakognitif merupakan suatu proses penting. Hal ini dikarenakan pengetahuan seseorang tentang kognisinya dapat membimbing dirinya mengatur atau menata peristiwa yang akan dihadapi dan memilih stategi yang sesuai agar dapat meningkatkan kinerja


(40)

kognisinya kedepan. Zimmerman dan Pons (dalam Ghufron dan Risnawita, 2010: 59) menambahkan bahwa poin metakognitif bagi individu yang melakukan pengelolaan diri adalah individu yang merencanakan, mengorganisasi, mengukur diri, dan menginstuksikan diri sebagai kebutuhan selama proses perilakunya, misalnya dalam hal belajar.

2. Motivasi

Devi dan Ryan (dalam Ghufron dan Risnawati 2010: 59) mengemukakan bahwa motivasi adalah fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengkontrol dan berkaitan dengan kemampuan yang ada pada setiap diri individu. Ditambahkan pula oleh zimmerman dan Pons (dalam Ghufron dan Risnawita, 2010: 59) bahwa keuntungan motivasi ini adalah individu memiliki motivasi intrinsik, otonomi, dan kepercayaan diri tinggi terhadap kemampuan dalam melakukan sesuatu.

3. Perilaku

Perilaku menutur zimmerman dan Schank (dalam Ghufron dan Risnawati, 2010: 59) merupakan upaya individu untuk menyeleksi, menyusun, dan menciptakan lingkungan fisik maupun sosial dalam mendukung aktifitasnya.

4. Faktor-faktor Self Regulated Learning

Menurut Zimmerman (1989) dalam Dian Melinda, Heppy Fitria Yusuf, Farida Iriani yang di posting senin, tanggal 16 November


(41)

2015. Setidaknya terdapat 3 faktor yang mempengaruhi self regulated learning sebagai berikut :

a. Faktor Pribadi

siswa dapat menggunakan proses pribadi untuk mengatur strategi perilaku dan lingkungan belajar segera.

b. Faktor Perilaku

siswa secara proaktif menggunakan strategi self evaluation sehingga mendapatkan informasi tentang akurasi dan apakah harus terus memeriksa melalui umpan balik enactive.

c. Faktor Lingkungan

siswa proaktif menggunakan strategi manipulasi lingkungan yang melibatkan intervensi ruang urutan perilaku mengubah respon, seperti menghilangkan kebisingan, mengatur pencahayaan yang memadai, dan mengatur tempat untuk menulis.

5. Strategi Self Regulated Learning

Zimmerman (1989) menekankan untuk dapat dianggap self-regulated, proses belajar siswa harus menggunakan strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan akademis. Strategi dalam self regulated learning mengarah pada tindakan dan proses yang diarahkan pada perolehan informasi atau keterampilan yang melibatkan perngorganisasian (agency), tujuan (purpose) dan persepsi instrumental seseorang. Agency adalah kemampuan individu untuk


(42)

memulai dan mengarahkan suatu tindakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Purpose adalah tujuan yang diharapkan untuk tercapai dari pelaksanaa setiap tindakan yang dapat membantu meraih tujuan.

Menurut Wolters dalam Fasikhah dan Siti (2013). strategi self regulated learning secara umum meliputi tiga macam strategi, yaitu :

a. Strategi regulasi kognitif

Strategi yang berhubungan dengan pemrosesan informasi yang berkaitan dengan berbagai jenis kegiatan kognitif dan metakognitif yang digunakan individu untuk menyesuaikan dan merubah kognisinya, mulai dari strategi memori yang paling sederhana, hingga strategi lebih rumit. Strategi kognitif meliputi : elaborasi dan metakognisi.

b. Strategi regulasi motivasional

Strategi yang digunakan individu untuk mengatasi stres dan emosi yang dapat membangkitkan usaha mengatasi kegagalan dan untuk meraih kesuksesan dalam belajar. Strategi motivasional meliputi :

1. Konsekuensi diri

2. Kelola lingkungan (environmental structuring) 3. Mastery self-talk

4. Meningkatkan motivasi ekstrinsik (extrinsic self-talk)


(43)

6. Motivasi intrinsik, dan

7. Relevansi pribadi (relevance enchancement) c. Strategi regulasi behavior akademik

Aspek regulasi diri yang melibatkan usaha individu untuk mengontrol tindakan dan perilakunya sendiri. Strategi regulasi behavioral yang dapat dilakukan oleh individu dalam belajar meliputi : mengatur usaha (effort regulation), mengatur waktu dan lingkungan belajar (regulating time and study environment) serta mencari bantuan (help-seeking).


(44)

D. Menghafal Al-Qur’an

1. Pengertian Menghafal Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk sebagai penyempurna dari kitab-kitab suci sebelumnya. Pemeliharaan Al-Qur’an pertama di mulai dengan pencataan pada lembaran-lembaran, bati, tulang, dan kain. Kemudian Alqur’an mulai disusun dalam satu mushaf oleh khalifah Abu Bakar dan di sempurnakan oleh Ustman bin Affan. Kemudian Al-Qur’an mulai di cetak di berbagai negara hingga sampai di tangan kita sekarang ini. Al-Qur’an yang masih asli sesuai yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Hal ini karena kitab Allah SWT yang mulai dan sekaligus penyempurnaan dari kitab –kitab Allah SWT yang di turunkan ke bumi ini di jaga oleh Allah SWT dari segala bentuk penyipangan dan perubahan, hal ini di tegaskan Allah SWT dalam firmanya :



 

  

 

Artinya :

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Qur’an Surat Hijr ayat 9).

Menghafal Al-Qur’an adalah suatu perbuatan yang sangat mulia dan terpuji. Sebab, orang yang menghafal Al-Qur’an merupakan salah satu hamba yang abdullah di muka bumi ini. Itulah sebabnya, tidaklah muda dalam menghafal Al-Qur’an. Diperlukan


(45)

metode-metode khusus ketika menghafalnya. Selain itu juga harus disertai dengan doa kepada Allah SWT. Supaya diberi kemudahan dalam menghafalkan ayat-ayat yang begitu banyak dan rumit. Sebab, banyak kailamat yang mirip dengan kamilat lain, demikian juga kaliamtnya yang panjang-panjang, bahkan ada yang mencapai tiga atau empat baris tampa adanya waqaf, namun ada juga yang pendek-pendek. harapanya, setelah haafal ayat-ayat Allah, hafalan tersebut tidak cepat lupa atau hilang dari ingatan. Karena itu, dibutuhkan kedisiplinan dan keuletan dalam menghafal Al-Qur’an.

Dalam menghafal Al-Qur’an merupakan suatu proses, mengingat materi yang dihafalkan harus sempurna, karena ilmu tersebut dipelajari untuk dihafalkan, bukan untuk difahami, namun setelah hafalan Al-Qur’an tersebut sempuurna, maka selanjutnya ia diwajibkan untuk mengetahui isi kandungan yang ada didalamnya. Seseorang yang berniat untuk menghafal Al-Qur’an disarankan untuk mengetahui-mengetahui materi-materi yang berhubungan dengan cara menghafal, semisal cara kerja otak.

Kegiatan menghafal Al-Qur’an juga merupakan sebuah proses, mengingat seluruh materi ayat (rincian bagian-bagianya, seperti fonetik waqaf dan lainya), harus dihafal dan di ingat secara sempurnna.

Sebagaian yang dikatakan oleh Atkinson seorang ahli psikologi dalam buku”cara cepat bisa menghafal Al-Qur’an”,


(46)

mengatakan bahwa sangat penting untuk membuat perbedaan dasar mengenai ingatan seseorang. Ada tiga tahapan tentang ingatan seseorang, sebagai mana berikut:

1. Memasukan informasi kedalam ingatan

Memasukan informasi kedalam ingatan atau yang disebut encoding. Encoding ialah suatu proses memasukan data-data informasi kedalam ingatan. Proses ini melalui dua alat indra manusia. Yaitu mengunakan pendengaran dan penglihatan.

2. Penyimpan informasi atau materi kedalam memori

Penyimpanan informasi yang masuk di dalam gudang memory. Gudang memory itu terletak didalam memory jangka panjang. Dan permasalahnya sering terjadi dan menimpa pada manusia mengenai ingatan adalah penyakit lupa. Pada dasarnya penyakit lupa hanya karena seseorang tidak berhasil menemukan kembali informasi yang sedang dibutuhkan didalam gudang penyimpanan memori. 3. Pengungkapan kembali

Hafalan yang telah disimpan didalam gudang memori membutuhkan pengulangan kembali. Adakalanya, hal ini dilakukan sekaligus atau langsung ingat, namun terkadang membutuhkan pancingan supaya hafalan teringat kembali.


(47)

2. Macam-macam Metode Menghafal Al-Qur’an

Dalam jurnal Al-Qalam Vol. XIII. Menyebutkan, menurut Ahsin W. Al-Hafidz metode menghafal Al-Qur’an terbagi menjadi 5 metode, yaitu :

a. Metode Wanda

Metode yang menghafal satu persatu terhadap ayat-ayat yag hendak dihafal. Untuk mencapai hafalan awal, setiap ayat bisa dibaca sepuluh kali, atau dua puluh kali, atau lebihnya sehingga mampu membentuk pola dalam bayangan.

b. Metode Kitabah

Kitabah artinya menulis. Metode ini memberikan alternatif lain dari pada metode yang pertama. Pada metode ini penulis terlebih dahulu menulis ayat-ayat yang akan dihafalnya pada secarik kertas yang telah disediakan untuknya. Kemudian ayat-ayat tersebut dibacanya sehingga lancar dan benar bacaanya, lalu dihafalkanya.

c. Metode Sima’i

Sima’i artinya mendengar. Yang dimaksud dengan metode ini ialah mendengarkan suatu bacaan untuk dihafalkan. Metode ini sangat efektif bagi penghafal yang mempunyai daya ingat yang ekstra, terutama bagi penghafal tunanetraatau anak yang masi di bawah umur yang belum mengenal baca tulis Al-Qur’an.


(48)

d. Metode Gabungan

Metode ini adalah gabungan antara metode pertama dan kedua, yakni metode wanda dan metode kitabah. Hanya saja kitabah menulis, disini lebih fungsional sebagai uji coba terhadapayat-ayat yang telah dihafalnya, kemudian kemudian ia mencoba menulikan diatas kertas yang telah disediakan untuknya dengan hafalan pula. Jika ia telah mampu memperoduksi kembali ayat-ayat yang telah dihafalnya dalam bentuk tulisan, maka ia bisa melanjutkan kembali untuk menghafal ayat-ayat selanjutnya. Tetapi jika sebaliknya, maka akan di ulang-ulang kembali.

e. Metode Jama

Metode ini ialah cara yang dilakukan dengancara kolektif. Yakni ayat-ayat yang dihafalkan secara kolektif, atau bersama-sama, dipimpin oleh seorang instruktur. Pertama instruktur membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan siswa menirukan secara bersama-sama.

3. Hukum Menghafal Al-Qur’an

Mayoritas ulama’ sepakat berpendapat mengenai hukum menghafal Al-Qur’an, yakni fardhu kifayah. Hal ini mengandung pengertian bahwa orag yang menghafal Al-Qur’an tidak boleh kurang dari mutawatir, artinya: apabila dalam suatu masyarakat tidak ada


(49)

seorang pun yang menghafal Al-Qur’an, maka berdosa semuanya. Namun, jika sudah ada, maka gugurlah kewajiban dalam suatu masyarakat tersebut.

4. Manfaat Menghafal Al-Qur’an

Allah menciptakan segala sesuatu pasti ada manfaatnya. Begitu pula orang yang menghafal Al-Qur’an pasti banyak memiliki manfaat. Diantara manfaat menghafal Al-Qur’an adalah :

a. Jika disertai amal soleh dan keikhlasan, maka hal ini merupakan kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

b. Di dalam Al-Qur’an banyak kata-kata bijak yang mmengandung hikmah dan sangat berharga bagi kehidupan. Semakin banyak menghafal Al-Qur’an, semakin banyak pula mengetahui kata-kata bijak untuk dijadikan pelajaran dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

c. Didalam Al-Qur’an terdapat ribuan kosa kata atau kalimat. Jika kita menghafal Al-Qur’an dan memahami artinya, secara otomatis kita telah menghafal semua kata-kata tersebut.

d. Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat tentang iman, amal, ilmu dan cabang-cabangnya, aturan yang berhubungan dengan keluarga, pertanian dan perdagangan, manusia dan hubunganya dengan masyarakat, sejarah dan kisah-kisah, dakwah, ahlak, negara dan masyarakat, agama-agama dan lainya. Seorang penghafal


(50)

Al-Qur’an akan mudah menghadirkan ayat-ayat itu dengan cepat untuk mencawab permasalahan-permasalahan diatas.

5. Faktor Pendukung Untuk Menghafal Al-Qur’an a. Faktor Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi orang yang menghafal Al-Qur’an. Jika tubuh sehat maka proses menghafal akan menjadi lebih mudah dan cepat tanpa adanya penghambat, dan batas waktu menghafal pun menjadi relatif cepat. Dan namun bila sebaliknya.

b. Faktor Psikologis

Kesehatan yang diperlukan oleh orang yang menghafalkan Al-Qur’an tidak hanya dari segi kesehatan lahiriah, tetapi juga dari segi psikologisnya. Sebab, jika secara psikologis anda terganggu, maka akan sangat menghambat proses menghafal, sebab, orang yang menghafal Al-Qur’an sangat membutuhkan ketenangan jiwa, baik dari segi pikiran maupun hati.

c. Faktor Kecerdasan

Kecerdasan merupakan salah satu faktor pendukung dalam menjalani proses menghafal Al-Qur’an. Setiap individu mempunyai kecerdasan yang berbeda-beda. Sehingga, cukup mempengaruhi terhadap proses hafalan yang dijalani.


(51)

d. Faktor Motivasi

Orang yang menghafal Al-Qur’an, pasti sangat membutuhkan motivasi dari orang-orang terdekat, kedua orang tua, keluuarga, dan sanak kerabat. Dengan adanya motivasi, ia akan lebih bersemangat dalam menghafal Al-Qur’an. Tentunya, hasilnya akan berbeda jika motivasi yang didapatkan kurang.

e. Faktor Usia

Usia bisa menjadi salah satu faktor penghambat bagi orang yang hendak menghafalkan Al-Qur’an. Jika usia penghafal sudah memasuki masa-masa dewasa atau berumur, maka akan banyak kesulitan yang akan menjadi penghambat. Selain itu, otak orang dewasa juga tidak sejernih otak orang yang masih muda, dan sudah banyka memikirkan hal-hal yang lain.

E. Hubungan Antara Psychology Well-Being dan Self Regulated Learning dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Penghafal Al-Qur’an UIN Sunan Ampel Surabaya

Hurlock (1994) Menyebutkan kebahagiaan adalah keadaan sejahtera (well-being) dan kepuasan hati, kepuasan yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan harapan individu terpenuhi.

Seligman (2000) Konsep kesejahteraan psikologis berawal dari teori psikologi positif. Tujuan dari psikologi positif itu sendiri untuk mengkatalisasi perubahan dalam psikologi dari yang hanya fokus pada


(52)

mengubah hal yang buruk dalam hidup kepada memperbaiki kualitas diri. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa psikologi memiliki ruang lingkup yang luas dan dapat dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan tujuan mencapai kesejahteraan psikologi individu. Kesejahteraan psikologi merupakan konstruk yang fokus dalam mengoptimalkan pengalaman dan fungsi psikologis. Ryan & Deci (2001).

Sementara Pintrich (1991) mendefinisikan Self regulated learning sebagai suatu proses yang aktif, dimana pebelajar menetapkan tujuan belajar mereka dan kemudian memonitor, mengatur, dan mengontrol kognisi, motivasi dan perilaku mereka, yang dipandu oleh tujuan-tujuan mereka dan segi konstektual terhadap lingkunganya.

Menurut Winne (Santrock, 2007) self regulated learning adalah kemampuan untuk memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan ini bisa jadi berupa tujuan akademik (meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik, belajar perkalian, mengajukan pertanyaan yang relevan), atau tujuan sosioemosional (mengkontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman sebaya).

Dan persetasi belajar Menurut Muhibbin Syah (2008). prestasi belajar adalah keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.


(53)

Sementara menurut Winkel (1987) prestasi akademik adalah penampakan hasil belajar seseorang yang merupakan hasil suatu penilaian di bidang pengetahuan, ketermpilan dan sikap sebagai hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai.

Dengan adanya kesejahteraan psikologi mahasiswa merasa lebih tenang, apa lagi dengan adanya self regulated learning, sehingga lebih disiplin dalam belajar, dengan prinsip percaya diri yang dimiliki mahasiswa. Diharapkan mempunyai prestasi yang membanggakan dalam bidang akademik maupun non akademik, seperti mahasiswa yang kuliah bisa mengukir prestasi belajar, mahasiswa juga bisa menghafal Al-Qur’an.

Seseorang yang mampu menghafal Al-Qur’an memiliki kemampuan menginggat kemampuan yang baik, hal ini telah ini merupakan indikasih bahwa seseorang tersebut telah melakukan self regulated learning pada proses pembelajaran dan penghafalanya. Proses menghafal sembarangan akan berdampak buruk pada kemampuan menginggat hafalanya itu sendiri, seperti cepat lupa dan kesulitan merangkai ayat. Tidak mudah mahasiswa dalam kuliah disampingi dengan menghafal Al-Qur’an dikarnakan banyaknya tugas kuliah. Maka dari itu di butuhkan konsep strategi belajar self regulated learning dengan kesejahteraan psikologi, seseorang dapat menyusun dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Sehingga tujuan


(54)

pembelajarannya dapat segera tercapai, yakni prestasi belajar penghafal Al-Qur’an.

F. Kerangka Teoritik

Kerangka teoritis adalah suatu model yang digunakan untuk menerangkan hubungan faktor-faktor yang penting telah diketahui dalam suatu masalah kerangka teoritis akan digunakan sebagai petunjuk, pedoman dalam membedah dan menganalisis fenomena dan dalam melakukan penelitihan selanjutnya. Adapun kerangka teoritis dalam penelitihan ini akan di jelaskan sebagaii berikut:

Seligman (2000) konsep kesejahteraan psikologis berawal dari teori psikologi positif. Tujuan dari psikologi positif itu sendiri untuk mengkatalisasi perubahan dalam psikologi dari yang hanya fokus pada mengubah hal yang buruk dalam hidup kepada memperbaiki kualitas diri. Peryataan tersebut menjelaskan bahwa psikologi memiliki ruang lingkup yang luas dan dapat dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan tujuan mencapai kesejahteraan psikologi individu. Kesejahteraan psikologi merupakan konstruk yang fokus dalam mengoptimalkan pengalaman dan fungsi psikologis. Ryan & Deci (2001).

Sementara Pintrich (1991) mendefinisikan self regulated learning sebagai suatu proses yang aktif, dimana pebelajar menetapkan tujuan belajar mereka dan kemudian memonitor, mengatur, dan mengontrol kognisi., motivasi dan perilaku mereka, yang dipandu oleh tujuan-tujuan mereka dan segi konstektual terhadap lingkunganya.


(55)

Sementara menurut Winkel (1987) prestasi akademik adalah penampakan hasil belajar seseorang yang merupakan hasil suatu penilaian di bidang pengetahuan, ketermpilan dan sikap sebagai hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai.

Dengan demikian variabel bebas (dependent variable) yaitu psychology well-being dan self regulation learning, sedangkan variabel terkait (independent variable) yaitu Prestasi Belajar.

Gambar : 1 Alur Hipotesis

Berdasarkan kerangka konseptual diatas maka hipotesis dalam penelitihan ini adalah:

1. Psychology well-being berpengaruh terhadap prestasi belajar. 2. Self regulated learning berpengaruh terhadap prestasi belajar. 3. Pychology well-being dan self regulated learning berpengaruh

terhadap prestasi belajar. G. Hipotesis

Dalam penelitian ini peneliti mengajukan sebuah hipotesis untuk menyimpulkan hasil penelitihan bahwasanya:

Psychology Well-Being

Self Regulation

Learning

Prestasi Belajar

H1

H2 H3 Y


(56)

H1 : Psychology well-being berpengaruh terhadap prestasi belajar. H2 : Self regulated learning berpengaruh terhadap prestasi belajar. H3 : Pychology well-being dan self regulated learning berpengaruh


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel Dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang merupakan penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numerik dan diolah dengan metode statistika serta dilakukan pada penelitian inferensial atau dalam rangka pengujian hipotesis, sehingga diperoleh signifikansi antar variabel yang diteliti (Azwar, 2004).

Variabel merupakan konsep mengenai atribut sifat yang terdapat pada subjek penelitian yang penelitian yang dapat bervariasi secara kuantitatif maupun kualitatif (Azwar, 2004). Variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua macam variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung.

1) Variabel tergantung

Variabel penelitian yang diukur untuk mengetahui besarnya efek atau pengaruh variabel lain (Azwar, 2004). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah post power syndrome.

2) Variabel bebas

Suatu variabel yang variasinya mempengaruhi variabel lain atau variabel lain atau variabel yang pengaruhnya terhadap variabel lain ingin diketahui (Azwar, 2004). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah waktu luang (leisure activity).


(58)

Jenis penelitian ini merupakan untuk mencari hubungan antara pschology Well-being dan self regulated learning yang tujuan untuk mengetahui seberapa besar prestasi belajar mahasiswa penghafal Al-Qur’an di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu :

1. Variabel bebas (X)

(X1) Psychology Well-being. (X2) Self Regulated Leaning.

2. Variabel terikat (Y) adalah prestasi belajar. 2. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel yang dibuat oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Prestasi belajar adalah hasil seluruh kegiatan yang menjadi bukti dari proses pengalaman dan mengajar yang sifat tetap atau permanen. Prestasi belajar didapatkan dari hasil serangkaian proses belajar yang di nilaii berupa angka.

Pschology well-being adalah penilaian tentang keseimbangan rasa bahagia dan mampu menerima kondisi dirinya apa adanya, serta mampu membentuk hubungan yang sejahtera dengan masyarakat.

Sedangkan self regulated learning adalah proses bagaimana seorang peserta didik mengatur pembelajaranya sendiri dengan mengaktifkan kognitifkan kognitif, afektif dan prilakunya sehingga tercapai tujuan belajar.


(59)

B. Populasi, sampel dan teknik sampling 1. Populasi

Populasi adalah obyek penelitian sebagai sasaran untuk mendapatkan dan mengumpulkan data. (Subagiyo 2004). Populasi merupakan keseluruan subjek penelitian.(Arikunto 1989).

Populasi yang dugunakan dalam penelitian ini adalah 150, dimana seluruh anggota aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang yang Khususnya mengikuti organisasi (UPTQ) Unit pengembangan tahfidz Al-Qur’an UIN Sunan Ampel Surabaya.

Ciri-ciri subjek yang sesuai dengan penelitihan yang akan diambil yaitu :

a. Hafal Al-Qur’an minimal 10 Juz. b. Aktif setor hafalan

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang diteliti. Pada penelitian ini peneliti ingin mengambil sampel sebanyak 30 anggota UPTQ tersebut sesuai dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya. 3. Teknik Sampling

Pada penelitian ini digunakan teknik non probability sampling. Teknik pengambilan sampel ini tidak memberikan peluang/ kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Didalam teknik pengambilan sampel yang tepat yaitu menggunakan teknik sampling kuota. Dimana teknik ini menentukan


(60)

sampel dari populasi yang mempunyai ciri- ciri tertentu sampai jumlah kuota yang diinginkan. (Sujarweni.W, 2014).

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan menggunakan skala likert yaitu dengan, penyebar angket. Angket adalah suatu alat untuk mendapatkan data yang berisi sejumlah pertannyaan secara tertulis yang dibagikan kepada responden dengan tujuan untuk mengungkapkan kondisi dalam diri subjek yang ingin diketahui. Dalam penyusunan skala ini peneliti mengadopsi dari blue print yang diambil dari definisi operasional. Skala self regulated learning dikelompokan menjadi 3 aspek, pertama personal. Kedua perilaku, ketiga lingkungan. Sehingga alat ukur ini terdiri 9 item personal, 15 dari perilaku, dan 16 terdiri dari lingkungan.

Alasan peneliti mengunakan angket yaitu:

a. Waktu yang digunakan untuk mendapatkan data relatif singkat.

b. Dapat dilakukan sekaligus pada subjek yang besar, sifatnya tidak harus personal.

c. Biaya relatif terjangkau.

Tujuan pokok pembuatan angket ini adalah untuk memperoleh informasi yang reliabilitas dan validitas setinggi mungkin, sedangkan alat pengumpul data. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk memudahkan melihat aspek- aspek dari skala, maka dibuat blue print yang akan menjadi peganggan pada waktu pembuatan item- item skala.


(61)

Model skala likert yang digunakan dalam pengembangan alat ukur dengan 4 pilihan jawaban; yaitu sangat sesuai (SS), tidak sesuai (TS), sesuai (S), sangat tidak sesuai (TS). Model ini dipilih karena popular dan mudah bagi subjek untuk mengerjakan.

Dalam penyajian alternatif jawaban peneliti sedikit melakukan modifikasi yaitu dengan menghilangkan alternatif jawaban tengah (ragu-ragu). Hal ini dilakukan karena apabila pilihan jawaban terdiri atas lima (5) pilihan simetrial akan memberikan peluang bagi responden untuk menjawab pilihan di tengan atau netral. (Azwar, 2006).

Pernyataan dalam skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian ini terdiri atas:

a) Pernyataan yang bersifat favourable yang menunjukkan indikasi sesuai dengan teori Averill mengenai aspek untuk mengukur kontrol diri, serta peryataan yang bersifat unfavorable yang tidak mendukung teori Averill. Jumlah pernyataan dan soal yang dipakai berjumlah 30 aitem.

b) Pernyataan skala perilaku agresif terdiri atas pernyataan yang bersifat favorable yang menunjukkan indikasi sesuai dengan teori Buss&Perry mengenai jenis- jenis perilaku agresif, serta pernyataan yang bersifat unfavorable yang menunjukkan tindakan mendukung teori Buss&Perry Jumlah pernyataan atau soal yang dipakai berjumlah 42 aitem.


(62)

Adapun untuk jawaban favourable dan unfavorable adalah sebagai berikut :

Tabel 1.

Penilaian Item Favorable dan Item Unfavorable

Untuk Skala Psychology Well-Being dan Self Regulated Learning

Pernyataan Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai(SS Sesuai (S)

Tidak Sesuai (TS)

Sangat Tidak Sesuai (STS)

4 3 2 1 1 2 3 4

untuk mengetahui penyebaran item pada blue print dapat dilihat dari tabel di bawah ini :

Tabel 2.

Blue print self regulated learning

Indikator Favorebel Unfavoreble Jumlah 1. Personal

a. Organisasi dan transformasi b. Memorisasi

c. Penentuan tujuan dan perencanaan 1.6 14.25 23.28 4.20 22 13.29.39 4 3 5 2. Perilaku

a. Evaluasi diri b. Konseskuensi c. Pencatatan

d. Mengemukakan ide

7.21 9 17.35 2.38 19.36 33.37 30 11.31 4 3 3 5 3. Lingkungan

a. Mengatur lingkungan b. Mencari informasi c. Review

d. Meminta bantuan

15.18 8.32 12.26 24.41 5.16 10.27 3.34 40.42 4 4 4 4


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Hubungan antara Psychology Well-Being berpengaruh besar dengan Prestasi belajar, di peroleh korelasi 0.455 dengan nilai signifikansi 0.006. hal ini berarti nilai signifikansinya lebih kecil dari 0.05. Berarti adanya hubungan Psychology Well-Being dengan prestasi belajar. 2. Hubungan antara Self Regulated Learning dengan prestasi belajar,

dengan menunjukan besarnya korelasi -0.214 dengan nilai signifikansi 0.128. hal ini berarti nilai signifikansinya lebih besar diatas dari 0.05 berarti tidak ada hubungan antara Self Regulated Learning dengan prestasi belajar.

3. Dan hubungan Self Regulated Learning dan Psychology Well-Being dengan Prestasi Belajar, dengan menunjukan besarnya korelasi -0.075 dengan nilai signifikansi 0.347. hal ini berarti nilai signifikansinya lebih besar diatas dari 0.05, yang berarti tidak ada hubungan Psychology Well-Being dan Self Regulated Learning dengan Prestasi Belajar.


(2)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan tentang hasil penelitian ini, maka dapat dikemukakan beberapa saran antara lain sebagai berikut :

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi data untuk melakukan evaluasi terdapat hasil prestasi akademik mahasiswa, apakah prestasi akademik yang diperoleh merupakan konstribusi intensitas dalam belajar atau disebabkan oleh faktor-faktor lain yang tidak relevan dengan tujuan pembelajaran selama mengikuti perkuliahan. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan rujukan dalam mengembangkan metode evaluasi hasil belajar yang searah dengan tujuan adanynnya pendidikan.

2. Penelitian selanjutnya agar meneliti variabel-variabel lain yang mempengaruhi prestasi belajar, Psychology Well-Being, sehingga mampu mendapatkan hasil yang lebih baik.

3. Ketika membuat aitem-aitem yang lebih jelas, du usahakan padat dan akurat.

4. Sebuah penelitian diharapkan memperbanyak subjek, sehingga penelitian lebih kuat dan menjadi acuan penelitian.

5. Mengukur jangka waktu, sehingga dalam penelitian tidak terburu-buru untuk selesai.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, (2011). dalam Agung Nursamiaji & Kusnarto Kurniawan, (2015). Hubungan Motivasi Belajar Dengan Prestasi Akademik Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling 2013 UNNES. Indonesia Journal of Guidance and Counseling 4(3).

Imam F, (2015). Pengertian Al-Qur’an menurut Bahasa, Istilah dan Para Ahli.

Diakses 21 Agustus 2016.

http://rumahtahfizhalquran.blogspot.co.id/2015/02/pengertian-al-quran-menurut-bahasa.html

Ahsin, W, Al-hafidz dalam Nasokah, Alh dan Ahmad Khoiri,. Pembelajaran tahfidsul qur‟an pondok pesantren ulumul qur‟an kalibeber wonosobo. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII: FITK UNSIQ.

Asep Jihad dan Abdul Haris. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta : Multi Pressindo.

Al-Qur’an Terjemah Pararel Indonesia Inggris, (2010). Al-Qur’an Qomari, Solo-Indonesia

Arofah, I. (2009). Implikasi Hafalan Al-qur‟an Dalam Prestasi Belajar Mahasiswa Pendidikan Agama Islam (studi kasus di ma‟had sunan ampel Al-Ali UIN Maulana Malik Ibrahim Malang). Skripsi. UIN MALANG.

Atkinson Dalam Wiwi Alawiyah Wahid,. (2014). Cara Cepat Bisa Menhafal Al-Qur‟an. Jogjakarta: DIVA Press.

Benjamin Frank, (1987). Dalam Shofiyatul Azmi, (2016). Self regulated learning salah satu modal kesuksesan belajar dan mengajar. Jounal Seminar Asean, Psychology Dan Humanty, Psychology Forum UMM, 19-20 Februari. Universitas Wisnuwardhana Malang.

Cleamos(2008) dalam Raissa, C,E dan Tino Leonardi, (2014). Perbedaan Self Regulated Learning Siswa SMA Ditinjau dari Persepsi Terhadap Pola Asuh Orangtua. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan, Vol 3, No 3, Desember : Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1996). Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Edisi kedua jakarta, penertbit balai pustaka.


(4)

Dian M. Heppy F, Y. Farida I. (2015),. Pengembangan Anket Regulated Learning

(Kemandirian Belajar). Di akses 23 juni 2015.

file:///C:/Users/Notebook/Documents/a-Myskripsi/a-Myskripsi/.ok%20jon/pintar%20matematika%20%20KEMANDIRIAN% 20BELAJAR%20%28SELF%20REGULATED%20LEARNING%29%2 0BESERTA%20ANGKET%20DAN%20KISI-KISI.htm.

Hurlock, E. S., (1994). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

http://www. Tamzis.com, “Parameter Kesejahteraan”, diakses pada 19 Juni 2016.

Islamiah, N. (2008). Dinamika Adversity Quotien pada Alumni LTQ Al-Hikmah dalam Hifzhul Qur‟an. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sa’dulloh, S.Q. (2008). 9 Cara Praktis Menghafal Al-qur‟an. Gema Insani Press Kerlin, B.A. (1992). Dan Eggen, P & Kauchak (2004:389). Dalam Nono Hery

Yoenanto. (2010). Hubungan antara self-regulated learning dengan self efficacy pada siswa akselerasi sekolah menengah pertama di jawa timur. INSAN Vol.12 No 12, Agustus. Fakultas psikologi universitas airlangga surabaya.

Mahfudloh, L, (2010). Perubahan Imunoglobulin G (IgG) dan Imunoglobulin A (IgA) Pada Qori‟ Penghafal Al-qur‟an di Yayasan Baitul Qur‟an Indonesia-Depok. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Muhibbin, Syah,. (2008). Psikologi Belajar. Bandung:Remaja Rosdakarya.

Oeman(2003), Wingkel(1997), dan Chaplin(1989). dalam Anisa Septiana, (2016). Hubungan Gaya Belajar Dan Persepsi Siswa Tentang Metode Mengajar Guru Terhadap Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa-Siswi Kelas XI SMA NEGERI SANGATTA UTARA KUTAI TIMUR. eJournal Psikoogi, fisip-unmul.org.

Pintrich, P.R & De Groot, (1991). Motivation And Self Regulated Learning Components Of Classroom Academic Perfomance. Journal educational psychology.

Ramadhan, Y. A. (2012). Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Santri Penghafal Al-Qur‟an. Psikologika, jurnal pemikiran dan penelitian Psikologi, 17,27-38.

Rosi, K dan M. Psi Tino, L,.(2013). Hubungan Antara Metakognisi Dengan Prestasi Akademik Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas


(5)

Airlangga Yang Aktif Berorganisasi Diorganisasi Mahasiswa Tingkat Fakultas. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan, Vol. 02, No. 01, April: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surbaya.

Ryff, C. D., dan Singer, B. H,. (2008). Know Thyself And Become What You Are : A Eudaimonic Approach To Psychology Well-Being. Journal Of Happines Studies 9: 13-39.

Ryff, C. D., dan Keyes, C.L.M,. (1995). Dalam Susanti,. (2012). Hubungan Harga Dan Psychological Well-Being Pada Wanita Lajang Ditinjau Dari Bidang Pekerjaan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 1 No. 1. Fakultas psikologi, Universitas Surabaya.

Ryff, C. D, (2010). Psychology Well-Being In Adult Life, Current Direction in psychological Science, Vol. 4, No. 4, APS Associaation For Psychological Science.

Ryff, C. D, (1989). Dalam A. G. A Sukma dan Muhana S. U,(2007). Religiusitas dan Psychological WELL-Being pada korban gempa. Jurnal psikologi Vol. 34, No. 2, 164-176. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Ryff, C. D, (1989). Happines Is Everting, or is it? Exploration on the Meaning Of

Psychological Well-being. Journal of personality and social psychology, Vol. 57, No. 6, 1069-1081. University of Wisconsin Madison.

Sa’dulloh, S.Q. (2008). 9 Cara Praktis Menghafal Al-qur‟an. Gema Insani Press: Jakarta.

Sardiman. (1996). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Grafindo.

Seligman, (2000). Ryan & Deci, (2001). Dalam Indria P, D dan Nur Ainy F,N, (2015). Hubungan Antara Persepsi Keterlibatan Ayah Dalam Pengasuhan Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Di SMK Negeri X Surabaya. Jurnal psikologi pendidikan dan perkembangan, Vol. 04 No. 03, Desember. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

Sudjana, Nana, (2011). Pemilaian hasil proses belajar mengajar. Bandung :PT. Remaja Rosdakarya.

Suprayono dalam Husna, Linda Miftahul, (2014). Hubungan Antara Self Regulated Larning Dengan Prestasi Akademik Pada Mahasiswa Penghafal Al-Qur‟an di UIN Maulanan Malik Ibrahim Malang. Skripsi. UIN Malang.


(6)

Synder, C.R: Lopez, S. J. (2002). Hanbook of Positive Psychology. NewYork: Oxford University Press.

Tohirin (2005). Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Wahidi, (2011). Kiat Ajaib Menghafal Al-qur‟an Saat Kuliah. Pustaka Zeedney : malang.

Winkel, (1986). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT.Gramedia.

Winkel, W.S,. (2007). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia.

Winne. Santrock, (2007). Psikologi pendidikan. Edisi Kedua. Prenada: Prenada Media Group.

Zimmerman dalam Fitri Dwi Rizanti dan Muhari,. (2013). Hubungan Antara Self Regulated Learningrastinasi Akademik Dalam Menghafal Al-Qur‟an Pada Mahasantri Ma‟had „Aly Masjid Al-Akbar Surabaya. Character, Vol 02 No 01. Psikologi, Fakultas ilmu Psikologi, UNESA.

Zimmerman, B. J.,(1989). A Social Cognitive View Of Self Regulated Academic Learning. Journal Of Education Psychology, 81, 329-339.

Zimmerman, B. J. (1990). Self regulated learning and academic achievement: an overview. Educational Psychologist. 25(1), 3-17. Lawrence Erlbaum Associates.

Zimmerman, dkk (Santrok,2007) dalam N, Adicondro dan A, Purnamasari, (2011). Efikasi Diri Dukungan Sosial Keluarga Dan Self Regulated Learning Pada Siswa Kelas VII. Humanitas, Vol. VII, No.1 Jnuari. Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan.