Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 462008057 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORI TERKAIT

A. Teori Terkait

i. Teori Para Ahli

Oleh para ahli, tahap–tahap perkembangan anak di bedakan menjadi sebagai berikut:

a. Perkembangan Emosi (John Piaget ) (Sarwono, 2009)

1. Tahap Sensori Motor ( 0–2 tahun) Tahap sensori berjalan dengan baik sejak bayi dilahirkan sampai menginjak umur 2 tahun. Mereka hanya tertarik pada sesuatu yang ada pada saat itu, setelah benda tersebut dijauhkan dari pandangannya mereka akan segera melupakannya dan hal ini berlangsung sampai anak berumur 8 bulan.

2. Tahap Pra–Operasional (2–7 tahun) Pada tahap ini dibagi kembali menjadi 2 tahapan yaitu tahap Pra konseptual (2–4 tahun) dan tahap intuitif (4–7 tahun).


(2)

3. Tahap Operasional Konkrit (7–12 tahun)

Hal terpenting dalam tahap ini yaitu, konservasi dan seriasi.

4. Tahap Operasional Formal (mulai usia 12 tahun)

Pada tahap ini anak mulai memiliki pemikiran yang fleksibel dan mulai memandang persoalan dari sudut yang berbeda.

b. Perkembangan Moral ( Hurlock)

1. Tahap Pra konvensional (Pra Moral) a. Tahap 1 : Orientasi hukuman

dan kepatuhan

b. Tahap 2: Orientasi instrumental 2. Tahap Konvensional

a. Tahap 3 : Orientasi Anak Baik b. Tahap 4: Orientasi

mempertahankan sistem 3. Tahap Purna Konvensional

a. Tahap 5 : Orientasi Kontak Sosial


(3)

b. Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal

c. Perkembangan Psikososial ( Erickson) 1. Basic Trust vs Basic Mistrust (0–1

tahun)

Konflik yang timbul pada tahap ini adalah kebutuhan rasa aman dan ketidakberdayaan.

2. Autonomy vs Shame & Doubt (2–3 tahun)

Organ tubuh pada usia ini sudah mulai lebih matang dan terkoordinasi. Anak dapat melakukan aktivitas secara lebih luas dan bervariasi.

3. Initiative vs Guilt(3 – 6 tahun)

Apabila pada tahap sebelumnya anak sudah mulai menunjukkan percaya diri, maka ia akan mulai berani mengambil inisiatif.

4. Industry vs Inferiority(6–11 tahun) Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melakukan pemikiran logis dan


(4)

anak sudah mulai duduk dibangku sekolah.

5. Identity vs Role Confusion (mulai 12 tahun)

Pada tahap ini anak dihadapkan pada harapan–harapan dan dorongan yang kuat untuk lebih mengenal dirinya. 6. Intimacy vs isolation

Pada masa ini individu sudah mulai mencari–cari pasangan hidup.

7. Generativy vs Self–Absorbtion

Krisis yang dialami individu dalam masa ini adalah adanya tuntutan untuk membantu orang lain diluar keluarganya, pengabdian masyarakat, dan manusia pada umumnya.

8. Ego integrity vs Despair

Pada tahap ini kepuasaan akan prestasi,dan tindakan–tindakan yang dilakukan masa lalu akan menimbulkan perasaan puas.


(5)

d. Perkembangan Psikoseksual (Sigmund Freud)

1. Fase Oral (0–1 tahun)

Anak memperoleh kepuasan dan kenikmatan yang berasal dari mulutnya. 2. Fase Anal (1–3 tahun)

Pada fase ini kepuasan yang diperoleh anak terpusat pada anus terutama pada saat buang air besar.

3. Fase Falik (3–5 tahun)

Pada fase ini anak mulai memiliki daerah erogen dan mulai merasakan kenikmatan yang diperoleh dari rangsangan seksualnya.

4. Periode Laten (5–12 tahun)

Pada fase ini merupakan masa tenang bagi anak. Kecemasan dan ketakutan timbul pada masa–masa sebelumnya ditekan pada fase ini.

5. Fase Genital ( 12 tahun keatas)

Pada fase ini alat–alat reproduksi sudah mulai matang dan bekerja. Pusat


(6)

kepuasan berada pada daerah alat kelamin.

ii. Fase Falik

Pada masa ini anak mulai melakukan rangsangan otoerotik, yaitu meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogen (bagian tubuh yang mudah membangkitkan dorongan seksual). Titik kenikmatan di tahap ini adalah alat kelamin, sementara aktivitas paling nikmatnya adalah masturbasi ( Boeree, 2008).

Dorongan seksualitas tersebut kemudian ditujukan pada orang tua dengan jenis kelamin yang berbeda. Pada fase inilah terjadi peristiwa yang dinamakan“oediphus complex”, yaitu: Kateksis seksual (emosi yang dihubungkan secara berarti dengan objek seksual) terhadap orang tersebut yang berlainan jenis kelamin serta kateksis permusuhan terhadap orang tua berjenis kelamin sama. Anak laki-laki ingin memiliki ibu dan mengusir ayah atau sebaliknya. Oediphus complex, kelak menjadi kekuatan vital kepribadian individu selama hidupnya, seperti sikap terhadap jenis kelamin lain dan tokoh pemegang otoritas.


(7)

Perbedaan oediphus complex pada laki dan perempuan menurut Hall dan Lindzey (2000) adalah sebagai berikut: Pada awalnya sama-sama mencintai ibunya karena dari ibu segala kebutuhan terpenuhi, sedangkan ayah merupakan pesaing dalam memperebutkan cinta kasih ibu. Perasaan mencintai ibu dan memusuhi ayah pada anak laki-laki tetap selama hayatnya, sedangkan pada perempuan berubah. Pada anak laki-laki terjadi incet (relasi seksual antar lawan jenis yang sangat dekat ikatan darahnya) terhadap ibu dan kebencian terhadap ayah sehingga timbul konflik. Anak laki-laki mengkhayalkan ayah akan melukai organ genitalnya yang merupakan sumber kenikmatan, disertai ancaman dan suka memberi hukuman.

Oleh karena itu, ketakutan kastrasi anak, menekan keinginan seksualnya terhadap ibu dan menekan rasa permusuhan dengan ayah. Akibatnya anak laki-laki akan mengidentifikasi dirinya dengan ayah dan memperoleh manfaat penting, yaitu: secara tidak langsung anak laki-laki mendapat pemuasan dorongan seksual terhadap ibu, dan pada saat yang sama rasa erotisnya yang membahayakan terhadap


(8)

ibu, ditutupi dengan sikap penurut dan sayang terhadap ibu. Complex Oediphus pada laki mewariskan super ego sebagai barier terhadap incet dan agresi.

Berlawanan dengan anak laki-laki, objek cinta anak perempuan dialihkan kepada ayah. Perubahan objek cinta tersebut sebagai reaksi terhadap kekecewaannya, ketika ia mengetahui bahwa anak laki-lakinya mempunyai alat kelamin yang menonjol, sedangkan dirinya tidak sehingga timbul iri hati terhadap pria yang disebut iri penis (penis envy). Keadaan yang dialami anak perempuan seperti pengebiran (kastrasi). Anak perempuan beranggapan bahwa keadaan dirinya yang berbeda dengan laki-laki menjadi tanggung jawab ibu sehingga melemahkan kateksis (penanaman libido pada diri sendiri, pribadi lain, atau objek lain) terhadap ibu. Anak perempuan mengalihkan cintanya kepada ayah karena ayah memiliki organ yang dia inginkan. Perbedaan sifat oediphus complex serta kastrasi menjadi dasar perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan.


(9)

kelamin yang sama dan berlainan. Ketertarikan terhadap jenis kelamin yang sama ini menjadi dasar homoseksualitas, dan pada kebanyakan orang, impuls ini tetap laten. Sifat biseksual ini diperkuat pula bahwa pada laki-laki maupun perempuan memiliki kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon seks masing-masing. Freud memiliki keyakinan bahwa perkembangan psikologi dipicu oleh kekuatan dari dalam, terutama kematangan biologis. Meskipun demikian, kekuatan yang berasal dari lingkungan sosial juga berperan pada proses kematangan individu, terutama berkaitan dengan energi seksual dan agresivitas ( Pratisti, 2008 ).

Menurut Yustinus (2011), Pada periode ini anak laki–laki akan mulai menyadari situasi yang sebenarnya bahwa adanya perbedaan antara laki– laki dan perempuan. Perbedaan yang bukan hanya sekedar mengenai panjang rambut dan pakaian saja. Akan tetapi, melalui perspektif yang polos, perbedaannya adalah anak laki–laki memiliki penis, sedangkan anak perempuan tidak. Muncul ketakutan dari anak laki–laki jika kehilangan penisnya. Anak laki–laki mulai menyadari bahwa ayahnya lebih kuat


(10)

dari dirinya dan adanya kekuatiran akan penisnya sendiri, kemudian dia akan beralih pada pertahanan– pertahanan ego. Dia akan mengganti keinginan seksualnya terhadap ibunya menjadi keinginan terhadap anak perempuan.

Begitu juga dengan yang dialami anak perempuan, mereka mulai menyadari perbedaan antara laki–laki dan perempuan, serta menyadari kekurangan pada dirinya. Mereka juga ingin memiliki penis dan seluruh kekuatan yang diasosiasikan dengannya. Anak perempuan menyadari bahwa keinginan memiliki penis tersebut tidaklah mungkin, maka dia menggantinya dengan hal lain. Anak perempuan kemudian mengganti sosok ayah dengan anak laki–laki kemudian dengan pria dewasa dan mengidentitifikasi diri dengan ibu, seorang wanita yang telah mendapatkan pria yang dia inginkan.

Menurut Freud (1856–1939), wanita tidak terlalu memiliki kecemasan seperti pria, karena wanita tidak terlalu tergantung pada heteroseksual dan tidak terlalu peduli dengan moral dibanding pria. Perkembangan pada masa kanak–kanak akan


(11)

selanjutnya, bahkan gangguan yang terjadi pada masa dewasa dapat dirunut ke sumber permasalahannya, yang berasal dari masa kanak– kanak (Pratisti, 2008).

Pada masa kanak–kanak, terdapat tiga area yang sangat peka terhadap rangsangan, yaitu oral (mulut), anal (anus), dan genital (alat kelamin). Area tersebut akan menjadi pusat minat seksual pada anak ketika menjalani tahap–tahap perkembangannya. Kepribadian orang dewasa terbentuk berdasarkan konflik antara ketiga area kenikmatan tersebut dengan realitas. Apabila konflik yang terjadi tidak mendapatkan pemecahan yang memuaskan maka akan terjadi fiksasi pada tahap tertentu perkembangan (Pratisti, 2008).

iii. Pola Asuh Orang tua

Pendampingan orang tua dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu cara-cara orang tua mendidik anak. Cara orang tua mendidik anak inilah yang disebut sebagai pola asuh. Setiap orang tua berusaha menggunakan cara yang paling baik menurut mereka dalam mendidik anak. Untuk mencari pola yang terbaik maka hendaklah orang tua


(12)

mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan untuk menemukan pola asuh yang tepat dalam mendidik anak.(Sokolova,dkk ; 2008).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ivanova & Brown (2010) di United Kingdom, menyatakan bahwa pola asuh orang tua didalam survei yang telah dilakukan menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara pengalaman orang tua mendidik anak, pengetahuan orang tua serta hal–hal yang mendukung pola asuh orang tua.

Akan tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan Jepang, pada tahun 2011, Fujiwara, Kato & Sanders melakukan penelitian, dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa di Jepang memiliki resiko tinggi penganiayaan terhadap anak oleh orang tua dalam memberikan pola asuhnya. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan moral pada anak di Jepang. Anak akan tumbuh dengan memori kekerasan yang dilakukan orang tua mereka dan tumbuh menjadi anak yang suka akan kekerasan serta ditumbuhi rasa takut setiap melihat orang tuanya selama mereka hidup.


(13)

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Yin, Li, & Su (2012) di Central South University. Mereka menyatakan bahwa di China, anak–anak biasanya patuh kepada orang tua mereka, akan tetapi timbul keinginan mereka untuk lepas dari orang tuanya yang meningkat sehingga pola asuh yang diberikan oleh ayah dengan kontrol yang tinggi tapi memberikan perawatan yang rendah membuat anak marah dan menentang orang tua.

iv. Peran Serta Orang Tua

Setiap Orang tua perlu mengetahui tugas-tugas perkembangan anak sesuai dengan usianya. Hal ini untuk mempermudah penerapan pola pendidikan dan mengetahui kebutuhan optimalisasi perkembangan anak. Orang tua diharapkan dapat lebih mengenal pertumbuhan dan perkembangan anak–anaknya dan sedini mungkin menemukan adanya kemungkinan–kemungkinan munculnya kelainan/penyimpangan dalam perkembangan anak. Hal ini dikarenakan orangtua mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan psikologi anaknya (Latipun, 2007).


(14)

Didalam perkembangan anak, apabila orang tua dan lingkungan memberi cukup kebebasan dan kesempatan pada anak untuk melakukan kegiatan, orang tua mau menjawab segala pertanyaan– pertanyaan yang diberikan anak dan tidak menghambat fantasi dan kreasi dalam bermain, maka akan membuat daya inisiatif anak akan berkembang. Orang tua yang terlalu mengutamakan segi mental (kecerdasan) menyebabkan anak dibesarkan dalam suasana yang penuh dengan aturan–aturan, tuntutan–tuntutan, kegiatan–kegiatan yang semuanya ditujukan untuk menunjang keberhasilan di bidang intelektual.

Akan tetapi, orang tua terkadang kurang memperhatikan kondisi fisik, kehidupan emosi, dan sosial dari anak tersebut. Pada umur 18 bulan, biasanya bayi mulai menginjak tahap munculnya kebutuhan rasa otonomi, kebanggaan akan prestasi– prestasinya dan ingin melakukan sesuatu sendiri, sehingga hal ini dibutuhkan hubungan kerja sama dengan orang yang lebih dewasa, terutama orang tua. Apabila orang tua tidak memahami akan hal ini,


(15)

terlalu banyak membantu anak, maka akan menimbulkan ketegangan dan perasaan gagal pada diri anak, sehingga akan menimbulkan rasa ragu dan malu pada jiwa anak.

Pada pembahasan yang dilakukan oleh Graff & Rademakers (2011) di The Netherlands Institute Of Health Services Research menyatakan bahwa pada mulai usia 2 tahun anak mampu diwawancarai mengenai beberapa aspek mengenai seksualitas (pengetahuan tentang alat kelamin dan reproduksi)

Akan tetapi, banyak orangtua bergantung pada pendidikan seks di sekolah, baik karena mereka belum memiliki kesempatan untuk berbicara dengan anak–anak mereka atau karena mereka takut untuk melakukannya (Scherrer & Klepacki, 2006 : 76 ).

Pada hakekatnya, kesibukan sosial/ kesibukan karena bekerja, tidak selalu secara mutlak menimbulkan akibat yang buruk pada perkembangan anak, yang terpenting dari hal ini adalah corak dan kualitas hubungan antara anak dan orang tua. Dalam hal ini, orang tua dituntut untuk berperan aktif dan tidak membiarkan anak tumbuh dan berkembang


(16)

sendiri, tidak terkecuali juga bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan sebaik–baiknya kepada anak. Melalui pengasuhan di rumah dan pergaulan sosial sehari–hari anak dapat belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain, bagaimana ia menemukan identitas diri dan peran jenis kelaminnya, bagaimana melatih otonomi, sikap mandiri dan berinisiatif (Pratisti, 2008).

Menurut Scherrer & Klepacki (2006 : 74) orangtua adalah pendidik seks utama bagi anak– anak mereka. Orangtua dianggap sebagai figur otoritas utama dalam kehidupan anak, tetapi nilai– nilainya sering kali berdasarkan pada penelitian sosial terhadap nilai budaya saat ini.

Menurut Boeree (2008 : 55), jika anak laki– laki merasa tidak diperhatikan ibunya dan terancam dengan kegagahan ayahnya, dia tidak akan memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuannya sendiri, terutama dalam persoalan seksualitas. Mereka mungkin akan merasa terancam dan tersiksa ketika berinteraksi dengan lawan jenisnya, beralih jadi kutu buku, tidak menyenangi hal–hal yang bersifat laki–laki


(17)

Akan tetapi, bagi anak laki–laki yang terlalu diperhatikan ibunya dan tidak dibiarkan dekat dan meniru ayahnya, dia akan menganggap dirinya tidak bisa hidup tanpa ibunya, dikarenakan tidak ada di dunia ini yang menyainginya seperti ibu yang menyayanginya. Sehingga dia pun tidak akan berusaha mengidentifikasi diri dengan ayahnya.

Begitu pula dengan anak perempuan yang tidak memperoleh perhatian dari ayahnya dan merasa terancam oleh sisi feminim ibunya, ia tidak akan peka terhadap potensi dirinya sendiri, sehingga kepribadiannya berkembang menjadi tomboy (kelaki –lakian). Sedangkan bagi anak perempuan yang terlalu dimanja dan diperhatikan oleh ayahnya, maka hal ini mengakibatkan fungsi ibu tidak terlalu dominam dalam hidupnya dan mereka akan tumbuh menjadi gadis yang manja, keras kepala, egois, dan tomboy.

B. Penelitian Terkait

Pada pembahasan akan teori Delphi yang dilakukan oleh Vosmer, Hacket, & Callanan (2009) dari United Kingdom menyatakan bahwa rata–rata anak–anak yang menonton


(18)

pornografi hampir tinggi. Tinggi nya konsensus akan perilaku seksual ini diperoleh dari beberapa item.

Pada fase falik, salah satu hal yang mendukung tingkah laku anak dalam memperoleh kenikmatan seksualnya adalah dari tontonan yang berhubungan dengan pornografi. Hal ini juga sangat membahayakan bagi anak dalam masa perkembangannya. Anak pada periode emasnya mulai meniru semua hal yang dilihat di lingkungannya. Seperti saat mereka melihat tontonan yang belum pantas dilihat, mereka akan meniru hal tersebut tanpa mengetahui dampak serta maksud dari apa yang dilihatnya.

Selain faktor diatas pada tahun 2010 di Kanada, Lussier & Healey melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan pada anak laki–laki usia sekolah yang memiliki karakteristik penghasilan keluarga yang kurang memiliki tingkatan agresi fisik dan perilaku seksual yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan hasil penelitian yang ditulis oleh Zhang (2012) di China. Zhang berpendapat bahwa pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua tidak hanya terkait pada kualitas hubungan keluarga, tetapi juga untuk tumbuh kembang anggota keluarga.


(19)

memiliki suatu hal yang mampu memberikan kepuasan oediphus complex. Ini juga terdapat dalam jurnal yang ditulis oleh Jain (2009) di USA menyatakan bahwa ibu telah memberikan energi erotisnya kepada anak, sehingga anak tidak mudah untuk membebaskan ibu sebagai obyek yang menjadi cinta utamanya. Apabila ibu menolak tindakan anak, maka anak akan beranggapan bahwa ibu merupakan ‘ibu yang buruk‘ dan memiliki agresi seksual yang membuat anak menjadi meninggalkan perasaannya kepada ibu dan beralih dengan mencintai yang lain.

Pada fase falik, anak akan mulai mengetahui perbedaan jenis kelaminnya, akan tetapi hal ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Johnson, Lurye, Tassinary

(2010) di Los Angeles yang menyatakan bahwa pada anak berusia 4 dan 6 tahun terjadi kebingungan akan kategori keanggotaan seksualnya.


(1)

Didalam perkembangan anak, apabila orang tua dan lingkungan memberi cukup kebebasan dan kesempatan pada anak untuk melakukan kegiatan, orang tua mau menjawab segala pertanyaan– pertanyaan yang diberikan anak dan tidak menghambat fantasi dan kreasi dalam bermain, maka akan membuat daya inisiatif anak akan berkembang. Orang tua yang terlalu mengutamakan segi mental (kecerdasan) menyebabkan anak dibesarkan dalam suasana yang penuh dengan aturan–aturan, tuntutan–tuntutan, kegiatan–kegiatan yang semuanya ditujukan untuk menunjang keberhasilan di bidang intelektual.

Akan tetapi, orang tua terkadang kurang memperhatikan kondisi fisik, kehidupan emosi, dan sosial dari anak tersebut. Pada umur 18 bulan, biasanya bayi mulai menginjak tahap munculnya kebutuhan rasa otonomi, kebanggaan akan prestasi– prestasinya dan ingin melakukan sesuatu sendiri, sehingga hal ini dibutuhkan hubungan kerja sama dengan orang yang lebih dewasa, terutama orang tua. Apabila orang tua tidak memahami akan hal ini, biasanya dikarenakan orang tua kurang sabar /


(2)

terlalu banyak membantu anak, maka akan menimbulkan ketegangan dan perasaan gagal pada diri anak, sehingga akan menimbulkan rasa ragu dan malu pada jiwa anak.

Pada pembahasan yang dilakukan oleh Graff & Rademakers (2011) di The Netherlands Institute Of Health Services Research menyatakan bahwa pada mulai usia 2 tahun anak mampu diwawancarai mengenai beberapa aspek mengenai seksualitas (pengetahuan tentang alat kelamin dan reproduksi)

Akan tetapi, banyak orangtua bergantung pada pendidikan seks di sekolah, baik karena mereka belum memiliki kesempatan untuk berbicara dengan anak–anak mereka atau karena mereka takut untuk melakukannya (Scherrer & Klepacki, 2006 : 76 ).

Pada hakekatnya, kesibukan sosial/ kesibukan karena bekerja, tidak selalu secara mutlak menimbulkan akibat yang buruk pada perkembangan anak, yang terpenting dari hal ini adalah corak dan kualitas hubungan antara anak dan orang tua. Dalam hal ini, orang tua dituntut untuk berperan aktif dan tidak membiarkan anak tumbuh dan berkembang


(3)

sendiri, tidak terkecuali juga bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan sebaik–baiknya kepada anak. Melalui pengasuhan di rumah dan pergaulan sosial sehari–hari anak dapat belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain, bagaimana ia menemukan identitas diri dan peran jenis kelaminnya, bagaimana melatih otonomi, sikap mandiri dan berinisiatif (Pratisti, 2008).

Menurut Scherrer & Klepacki (2006 : 74) orangtua adalah pendidik seks utama bagi anak– anak mereka. Orangtua dianggap sebagai figur otoritas utama dalam kehidupan anak, tetapi nilai– nilainya sering kali berdasarkan pada penelitian sosial terhadap nilai budaya saat ini.

Menurut Boeree (2008 : 55), jika anak laki– laki merasa tidak diperhatikan ibunya dan terancam dengan kegagahan ayahnya, dia tidak akan memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuannya sendiri, terutama dalam persoalan seksualitas. Mereka mungkin akan merasa terancam dan tersiksa ketika berinteraksi dengan lawan jenisnya, beralih jadi kutu buku, tidak menyenangi hal–hal yang bersifat laki–laki dan lebih suka hidup seperti perempuan.


(4)

Akan tetapi, bagi anak laki–laki yang terlalu diperhatikan ibunya dan tidak dibiarkan dekat dan meniru ayahnya, dia akan menganggap dirinya tidak bisa hidup tanpa ibunya, dikarenakan tidak ada di dunia ini yang menyainginya seperti ibu yang menyayanginya. Sehingga dia pun tidak akan berusaha mengidentifikasi diri dengan ayahnya.

Begitu pula dengan anak perempuan yang tidak memperoleh perhatian dari ayahnya dan merasa terancam oleh sisi feminim ibunya, ia tidak akan peka terhadap potensi dirinya sendiri, sehingga kepribadiannya berkembang menjadi tomboy (kelaki –lakian). Sedangkan bagi anak perempuan yang terlalu dimanja dan diperhatikan oleh ayahnya, maka hal ini mengakibatkan fungsi ibu tidak terlalu dominam dalam hidupnya dan mereka akan tumbuh menjadi gadis yang manja, keras kepala, egois, dan tomboy.

B. Penelitian Terkait

Pada pembahasan akan teori Delphi yang dilakukan oleh Vosmer, Hacket, & Callanan (2009) dari United Kingdom menyatakan bahwa rata–rata anak–anak yang menonton


(5)

pornografi hampir tinggi. Tinggi nya konsensus akan perilaku seksual ini diperoleh dari beberapa item.

Pada fase falik, salah satu hal yang mendukung tingkah laku anak dalam memperoleh kenikmatan seksualnya adalah dari tontonan yang berhubungan dengan pornografi. Hal ini juga sangat membahayakan bagi anak dalam masa perkembangannya. Anak pada periode emasnya mulai meniru semua hal yang dilihat di lingkungannya. Seperti saat mereka melihat tontonan yang belum pantas dilihat, mereka akan meniru hal tersebut tanpa mengetahui dampak serta maksud dari apa yang dilihatnya.

Selain faktor diatas pada tahun 2010 di Kanada, Lussier & Healey melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan pada anak laki–laki usia sekolah yang memiliki karakteristik penghasilan keluarga yang kurang memiliki tingkatan agresi fisik dan perilaku seksual yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan hasil penelitian yang ditulis oleh Zhang (2012) di China. Zhang berpendapat bahwa pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua tidak hanya terkait pada kualitas hubungan keluarga, tetapi juga untuk tumbuh kembang anggota keluarga.

Pada anak laki–laki yang mengalami fase falik, ibu merupakan objek seksual yang dicarinya. Ia merasa ibu


(6)

memiliki suatu hal yang mampu memberikan kepuasan oediphus complex. Ini juga terdapat dalam jurnal yang ditulis oleh Jain (2009) di USA menyatakan bahwa ibu telah memberikan energi erotisnya kepada anak, sehingga anak tidak mudah untuk membebaskan ibu sebagai obyek yang menjadi cinta utamanya. Apabila ibu menolak tindakan anak, maka anak akan beranggapan bahwa ibu merupakan ‘ibu yang buruk‘ dan memiliki agresi seksual yang membuat anak menjadi meninggalkan perasaannya kepada ibu dan beralih dengan mencintai yang lain.

Pada fase falik, anak akan mulai mengetahui perbedaan jenis kelaminnya, akan tetapi hal ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Johnson, Lurye, Tassinary

(2010) di Los Angeles yang menyatakan bahwa pada anak berusia 4 dan 6 tahun terjadi kebingungan akan kategori keanggotaan seksualnya.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 272012023 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 272012023 BAB II

0 1 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 272012023 BAB IV

0 0 60

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 272012023 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 462008057 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 462008057 BAB IV

0 0 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 462008057 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga

0 0 60