Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 272012023 BAB IV

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Setting Penelitian

Pada bab ini, peneliti akan menguraikan hasil dan data penelitian yang bertujuan untuk mengetahui peranan guru dalam upaya pembentukan moral anak usia 4-6 tahun yang dilakukan di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga. Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, peneliti ini menggunakan metode kualitatif untuk melihat kondisi alami dari suatu fenomena. Menurut Sarosa (2012) penelitian kualitatif adalah penelitian yang mencoba memahami fenomena dalam seting dan konteks naturalnya di mana peneliti tidak berusaha memanipulasi fenomena yang diamati.

Penelitian berlangsung selama bulan April sampai dengan bulan Juni 2016. Hasil penelitian ini diperoleh melalui teknik wawancara semi terbuka yang dilakukan secara mendalam guna mendapatkan informasi dan data secara langsung. Selanjutnya, peneliti juga menggunakan metode observasi dan dokumentasi untuk mengetahui lebih dalam dan jelas serta mentriangulasi mengenai data yang telah ada untuk kemudian dianalisis. Analisis itu sendiri akan terfokus pada peranan guru dalam upayanya membentuk moral anak yang difokuskan pada beberapa hal yang menjadi substansi pendidikan moral.

4.1.1. Gambaran umum lokasi penelitian

TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga merupakan sebuah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Eben Haezer Salatiga (YPE Salatiga) yang berdiri sejak 01 Oktober 1948. Berdirinya sekolah ini tidak terlepas dari sekolah-sekolah yang dikelolah oleh Yayasan Pendidikan Eben Haezer (YPE) yakni SD Kristen 03 Eben Haezer, SD Kristen 04 Haezer dan SMP Kristen 2 Eben Haezer. Karena terus berkembang dan kebutuhan akan layanan pendidikan anak usia dini semakin meningkat maka TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga ini kemudian


(2)

mendirikan kelompok bermain dan Toodler atau tempat penitipan anak sehingga lembaga ini sekarang bernama lengkap “Toddler-Kelompok Bermain-Taman Kanak- Kanak Kristen 03 Eben haezer Salatiga”.

Visi Toddler-Kelompok Bermain-Taman Kanak- Kanak Kristen 03 Eben haezer Salatiga adalah menjadi lembaga pendiidkan yang berkualitas, professional dan dipercaya masyarakat dalam rangka mewujudkan manusia yang takut akan Tuhan, cerdas, kreatif mandiri dan berbudi luhur. Sedangkan misinya adalah (1) Melayani anak usia dini tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, ras, suku dan golongan (2) Menumbuhkan karakter moral yang baik melalui pembiasaan (3) Menumbuhkan sikap kemandirian kepada setiap anak didik (4) Menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang berkualitas, aktif, kreatif dan menyenangkan (5) Mengembangkan potensi anak didik melalui berbagai kegiatan ekstrakulikuler (6) Mewujudkan kemandirian dalam penyelenggaraan sekolah. Adapun motto dari sekolah ini yaitu “Let the Seeds Grow” atau “Biarkan Benih Itu Bertumbuh” yang merupakan perwujudan firman Tuhan dalam markus 10:14b “Biarkanlah anak- anak itu datang kepada-KU, jangan menghalang- halangi mereka, sebab orang- orang

seperti itulah yang empunya kerajaan Allah”

Toddler-Kelompok Bermain-Taman Kanak-Kanak Kristen 03 Eben Haezer Salatiga memiliki sarana dan prasarana berupa ruang kelas, ruang komputer, perpustakaan, dan beberapa fasilitas pendukung layanan pendidikan. Ada 14 guru, 2 assisten guru dan 5 karyawan dalam struktur organisasi dalam lembaga ini. Proses pembelajaran yang dilakukan pada TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga menggunakan kurikulum yang disusun sendiri oleh guru-guru dengan mengacu pada standar pencapaian perkembangan berdasarkan Permendiknas No. 50 tahun 2009 yang disesuaikan dengan visi dan misi yang ada. Model pembelajaran yang digunakan yaitu model pembelajaran berbasis sentra yang terdiri dari sentra persiapan (Readiness), sentra main peran (drama), sentra seni, sentra pembangunan (balok) dan sentra messy (bahan alam)


(3)

Jadwal hari pelaksanaan pembelajaran dilaksanankan setiap Senin sampai dengan Sabtu dengan beban belajar untuk kelas TK A (usia 4-5 tahun) beban belajar yaitu 29 jam pembelajaran per minggu sedangkan untuk TK B (usia 5-6 tahun) beban belajar yaitu 32 jam pembejaran per minggu. Jadwal pembelajaran untuk TK B dimulai dari pukul 07.00 sampai dengan 10.00 untuk hari Senin, Rabu dan Jumat sedangkan pada hari Selasa, Kamis dimulai dari jam 07.00-09.30. Untuk kelompok TK A, jadwal pembelajaran dimulai dari jam 09.30 sampai jam 12.00. Sedangkan untuk jadwal pembelajaran hari Sabtu, TK A dan TK B dimulai pukul 07.00 sampai 09.00. Terdapat 4 kelompok belajar pada TK A yang terdiri dari kelompok Sunflower (18 anak), Lilly (18 anak), Rose (17 anak) dan Jasmine (18 anak) sedangkan kelompok belajar TK B juga terdiri dari 4 kelompok belajar yang terdiri dari kelompok Manggo (18 anak), Watermellon (18 anak), Apple (17 anak) dan Grape (18 anak).

4.1.2. Profil Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini merupakan sumber data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai peranannya dalam pembentukan moral anak usia 4-6 tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga. Partisipan merupakan guru-guru yang tercatat aktif dalam mengajar di lembaga ini sampai sekarang. Partisipan dibedakan menjadi dua yaitu partisipan inti dan partisipan tambahan. Partisipan inti berjumlah 3 orang guru dan partisipan tambahan berjumlah 1 orang guru.

a. Partisipan Inti

Partisipan inti merupakan sumber informasi inti untuk mejawab masalah dalam penelitian ini. Guru-guru kelas TK A dan TK B menjadi sumber informasi inti sebab guru-guru ini merupakan wali kelas dan juga guru sentra yang mengajar anak-anak dalam rentan usia 4-6 tahun. Guru-guru ini juga merupakan guru-guru yang sampai sekarang masih aktif mengajar dan tercatat menjadi guru tetap dalam yayasan pendidikan Eben Haezer Salatiga. Dalam penelitian ini, peneliti menfokuskan pada


(4)

tiga orang guru PAUD yang mengajar di TK A dan TK B untuk mendapatkan data bagaimana peranan mereka dalam mengembangkan moral anak-anak pada usia 4-6 tahun sesuai dengan masalah yang ada dalam penelitian ini.

b. Partisipan Tambahan

Partisipan tambahan merupakan sumber informasi tambahan yang berperan untuk memberikan informasi atau data tambahan serta memperjelas dan memperkuat informasi atau data-data yang diberikan oleh guru sebagai partisipan inti. Partisipan tambahan dalam penelitian ini merupakan kepala sekolah yang merupakan pimpinan dalam lembaga Toddler-Kelompok Bermain-Taman Kanak-Kanak Kristen 03 Eben Haezer Salatiga. Partisipan tambahan yang berjumlah 1 orang ini juga akan memberikan informasi mengenai program-program atau kebijakan-kebijakan sekolah yang berkaitan dengan masalah pembentukan moral anak usia 4-6 tahun di lembaga ini

4.2. Hasil Penelitian

Hasil penelitian disusun berdasarkan hasil wawancara dan data-data tambahan berupa hasil observasi dan dokumentasi bukti pembelajaran yang dilakukan oleh guru-guru dalam mengembangkan moral anak usia 4-6 tahun di TK Eben Haezer Salatiga. Sebelum melakukan wawancara, peneliti membuat kesepakatan jam dan hari di mana akan dilakukan proses wawancara dengan para guru. Hasil wawancara dilakukan kepada partisipan satu sampai partisipan tiga (P1-P3) dan satu partisipan tambahan (P0). Sedangkan tanggal yang mengikutinya merupakan waktu di mana peneliti mewawancarai partisipan-partisipan tersebut. Selanjutnya, peneliti meminta ijin kepada kepala sekolah untuk melakukan proses penelitian baik itu untuk mendapatkan data dari metode observasi dan metode dokumentasi di lembaga ini. Dan berikut adalah hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian di Taman Kanak-Kanak Kristen 03 Eben Haezer Salatiga.


(5)

4.2.1. Motivasi dan Karakteristik seorang Guru PAUD

Menjadi guru PAUD tentunya memerlukan pemikiran, pandangan serta gagasan tersendiri dari setiap individu yang tertarik untuk terjun pada bidang tersebut. Setiap individu yang memutuskan untuk melakukan pekerjaan tersebut tentu saja memiliki motivasi tersendiri baik dari dalam diri pribadi maupun dari orang lain. Motivasi dari diri pribadi memegang peranan penting bagi individu dalam merancang serta melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang baik termasuk menjadi seorang guru PAUD.

Hasil wawancara mengenai motivasi menjadi guru PAUD yang dilakukan terhadap tiga guru PAUD di Taman Kanak-Kanak Kristen 03 Eben Haezer Salatiga menggambarkan motivasi yang berbeda-beda dalam menekuni pekerjaan tersebut. Perbedaan motivasi tersebut dapat dilihat dari jawaban para guru sebagai partisipan dalam penelitian ini. P1 mengungkapkan motivasi mendasar menjadi guru PAUD adalah untuk mendidik anak-anak mengenal Tuhan, mengenal kasih Tuhan serta taat dan patuh kepada Tuhan. Hal tersebut merupakan keinginan dan tanggung jawab yang perlu diaplikasikan lewat pelayanan kepada anak-anak. Hal tersebut diungkapkan dalam kutipan berikut ini

“Saya ingin untuk mendidik anak-anak supaya mereka menjadi anak anak yang baik yang mengenal akan kasih Tuhan, menjadi anak-anak yang taat dan patuh kepada Tuhan.” (P1, 11 April 2016)

Selain itu, P2 juga menambahkan bahwa tugas seorang guru PAUD merupakan tugas yang mulia yang diberikan oleh Tuhan. Seseorang yang bekerja dalam dunia anak-anak akan mengasah dirinya untuk semakin mencintai anak-anak. Beliau menambahkan bahwa selain menjadi guru PAUD merupakan tugas yang mulia. Selain beliau mengaplikasikan pengetahuan yang telah di dapatkan selama menempuh pendidikan untuk mendidik anak-anak, motivasi lain yang muncul adalah bahwa berada dalam dunia anak adalah sesuatu yang menyenangkan. Hal tersebut dibuktikan dalam ungkapan di bawah ini


(6)

“Karena menjadi guru PAUD memang merupakan tugas mulia dari Tuhan selain itu juga sebagai guru saya mengaplikasikan sekolah pendidikan guru saya (SPG) saya yaitu guru PAUD. Saya semakin mencintai anak-anak karena dunia anak-anak itu sangat menyenangkan sekali.” (P2, 13 April 2016)

Motivasi yang muncul dalam diri untuk menjadi guru dikarenakan proses pengalaman. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ditemui dan didapatkan, pemahaman dan pertumbuhan anak akan terbentuk menjadi lebih baik apabila dilakukan sejak awal. Pendidikan yang dimulai sejak awal atau sejak dini sangatlah penting bagi anak terkhusus ketika mereka sudah berada dalam tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mereka akan terbentuk menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik. Untuk itu, pendidikan sangat perlu dan penting dilakukan sejak dini. Hal tersebut di atas merupakan pengakuan dari P3. Beberapa pengakuan di atas dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:

“Yang pertama, karena pengalaman mengajar di SMA dan SMP, anak -anak memiliki sikap, perilaku latar belakang itu yang kurang baik dan terrnyata itu banyak dipengaruhi oleh waktu atau masa kecil mereka. Karena itu saya melihat pentingnya pendidikan dari kecil.” (P3, 21 April 2013)

Selain pengakuan dari beberapa partisipan di atas, ungkapan lain juga muncul dari partisipan tambahan. Melakukan pelayanan bagi anak-anak merupakan anugerah dan panggilan jiwa yang dikaruniakan Tuhan sehingga perlu untuk dijalankan. Salin itu, pengalaman-pengalaman yang dialami menjadi motivasi tersendiri bagaimana seseorang termotivasi menjadi seorang guru terkhususnya menjadi guru PAUD. Motivasi-motivasi tersebut di atas diungkapkan dalam kutipan sebagai berikut:

“Jadi motivasi saya sudah seperti terbentuk sejak muda. Saya sudah menjadi pendamping di sekolah Minggu, jadi seperti panggilan jiwa ya dari Tuhan untuk saya, seperti itu.” (P0, 29 April 2016)

Dari kutipan-kutipan di atas dapat terlihat bahwa motivasi menjadi seorang guru PAUD lahir dari nurani masing-masing guru yang tentunya bertujuan untuk membimbing, membangun, serta melayani anak-anak. Keberhasilan pembinaan tersebut hanya akan tercapai jika dilakukan sejak dini. Ketika seorang guru PAUD


(7)

merasa merupakan bagian dari dunia anak-anak yang menyenangkan dan menganggap bahwa tugas dan tanggung jawab dalam membentuk AUD menjadi pribadi yang dapat diandalkan adalah pemberian Tuhan, maka pelayanan terhadap anak akan semakin berkualitas serta membangun. Selain itu, pengalaman serta pendidikan yang telah didapatkan menjadi motivasi bagi guru dalam proses membimbing anak dalam pertumbuhan dan perkembangan mereka terkhususnya di sekolah.

Selain motivasi, ada juga kharakteristik seorang guru PAUD yang menjadi patokan dan perlu diperhatikan. Tentunya menjadi seorang guru perlu memiliki kharakter dan sikap yang dapat memberi arah serta tujuan yang jelas bagi perkembangan serta pertumbuhan anak didik. Pertumbuhan anak baik kognitif serta afektif tentu saja bergantung pada seorang guru yang merupakan tokoh penting teristimewa dalam membentuk mereka menjadi pribadi yang baik dan memiliki kharakter yang dapat diandalkan. Guru perlu memiliki karakter yang dapat diteladani dan diikuti anak dalam bersikap.

Berdasarkan hasil wawancara, terdapat berbagai tanggapan mengenai kharakteristik seorang guru PAUD. Hampir semua partisipan mengatakan bahwa memberi teladan yang baik adalah hal pertama yang perlu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka bertumbuh. Hal ini dikatakan oleh P1, P2, P3 dan P0 sebagai partisipan tambahan. Pemikiran para partisipan dititikberatkan pada bagaimana guru menjadi panutan bagi anak sehingga anak dapat meniru. Gagasan mereka terlihat pada jawaban-jawaban representatif berikut ini:

“Seorang guru PAUD seharusnya tidak menggurui tapi lebih banyak mendengarkan dan tidak lupa juga untuk meneladankan sesuatu yang baik pada anak.” (P1, 11 April 2016).

“Harus bisa menjadi teladan bagi anak-anak, sikap yang tidak boleh sembarangan ya. Dalam bersikap dalam berkata karena anak-anak itu melihat dan mencontoh, jadi itu yang paling penting.” (P3, 21 April 2016).


(8)

Karakter lain yang perlu dimiliki oleh seorang guru PAUD adalah bagaimana menjadi seorang yang sabar, ramah, sopan serta dekat dengan anak-anak. Memahami dunia anak juga merupakan hal yang sangat penting agar bisa berbaur dengan mereka. Memiliki karakteristik yang jujur, bertanggung jawab, memiliki etitude yang baik serta menjadi dasar kuat dan pedoman bagi seorang guru PAUD. Tanggapan tersebut dikemukakan oleh partisipan (P2 dan P0) yaitu sebagai berikut:

“Seorang guru PAUD tentunya harus memiliki kepribadian yang baik serta attitude yang baik, karena masa depan anak juga menjadi tantangan seoran guru PAUD. Selain itu juga harus sabar menghadapi anak-anak.” (P2, 13 April 2016)

“Karakteristiknya yaitu keteladanan yang baik, kemudian ramah, sopan, sabar kemudian tanggung jawab, jujur dan berintegritas dan tidak lupa juga bahwa guru PAUD itu harus bisa memahami anak.” (P0, 29 April 2016)

Dari kutipan-kutipan di atas sangatlah jelas bahwa anak membutuhkan sosok atau pribadi (guru) yang dapat memahami mereka dan mengajarkan kepada mereka apa yang baik untuk dilakukan. Sementara itu, guru bertanggung jawab sepenuhnya untuk membawa anak pada suatu kondisi yang tepat teristimewa dalam menjaga interaksi serta menanamkan pelayanan yang sesuai dengan apa yang patut diterima oleh anak.

4.2.2. Peran Guru dalam Pembentukan Moral

Dalam upaya pembentukan moral anak, ada banyak hal yang penting untuk dilakukan oleh seorang guru khususnya guru PAUD. Menjadi model, motivator dan pembimbing adalah tiga peran yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Berikut adalah temuan serta pembahasan ketiga aspek tersebut berdasarkan hasil data yang diperoleh dalam penelitian ini.

4.2.2.1. Peran Guru sebagai Model

Sebagai seorang guru PAUD, menjadi model bagi anak didik adalah salah satu karakter yang tidak bisa dipisahkan. Pada umumnya anak-anak memerlukan tuntunan


(9)

serta petunjuk yang dapat menuntun mereka untuk berprilaku secara baik khususnya dalam rangka bersosialisasi dengan sesama dan lingkungan. Secara jelas berikut akan dibahas secara detail peran tersebut berdasarkan pendapat, ide atau gagasan yang diperoleh dalam penelitian ini selama proses pengambilan data.

a. Pentingnya Menjadi Role Model bagi Anak

Menjadi seorang role model bagi anak tentunya memiliki alasan tersendiri. Semua partisipan (P1-P3) menyatakan bahwa hal tersebut sangatlah penting dan wajib dilakukan oleh seorang guru PAUD. Pendapat mereka didasari pertimbangan bahwa usia anak adalah usia di mana mereka dengan cepat dapat meniru apa pun yang dilakukan oleh orang dewasa termasuk guru. Ketika guru melakukan hal yang baik, anak pasti akan mengikuti. Sebaliknya ketika guru melakukan hal yang tidak baik, tentu saja anak akan meniru. Oleh karena itu, guru harus mampu menjaga dan berhati-hati dalam berprilaku. Berikut adalah kutipan pernyataan partisipan sebagai representatif mengenai menjadi seorang role model:

“Menurut saya kita menjadi model untuk anak-anak itu karena setiap hari mereka meniru kita., jadi kita, kepada kita itu kita memberikan model-model, kita menjadi contoh anak-anak yang baik. ketika anak melihat kita mengasihi, mereka pun belajar mengasihi.” (P1, 11 April 2016) “Menjadi teladan berarti menjadi contoh. Karena anak adalah peniru

ulung maka itu, guru harus benar-benar berhati-hati dalam dan menjaga sikap sehingga anak bisa mengikuti sikap yang baik dari guru. .” (P3, 21 April 2016)

Lebih jelas lagi, anak perlu dibiasakan untuk melakukan hal yang positif dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah istilah Jawa mengatakan bahwa menjadi guru adalah suatu tugas mulia karena membimbing anak menjadi manusia yang berguna di masa depan adalah suatu tuntutan. Sebagai seorang guru, menjadi role model berarti memberikan teladan yang bisa digugu dan ditiru. Hal tersebut ditambahkan oleh P2 dalam kutipan, sebagai berikut:

“Menjadi role model itu dilakukan dengan cara menjaga stabilitas kita sebagai guru, bertindak hati-hati dalam berbagai macam aspek bukan


(10)

hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan luar sekolah.” (P2, 13 April 2016)

Kutipan-kutipan di atas memberikan suatu pemahaman bahwa peran guru sebagai role model adalah suatu tuntutan tetapi juga tantangan. Seorang guru PAUD adalah pemberi arah melalui sikap dan perilakunya sehari-hari. Ketika seorang guru memberikan contoh yang baik, anak didinya juga pasti akan menjadi baik dan sebaliknya.

b. Bentuk-Bentuk Keteladanan bagi Pembentukan Moral Anak

Untuk seorang role model, seorang guru tentu saja harus mempraktikan hal-hal baik baik dan pantas yang patut ditiru dan diteladani oleh anak didiknya. Sebagai anak usia dini, mereka memerlukan tindakan-tindakan praktis yang secara langsung dapat dilihat dan membekas dalam pemikiran mereka. Apa yang dilakukan setiap hari di lingkungan merupakan input, masukan dan referensi bagi mereka untuk bertindak serta berperilaku.

Untuk itulah diperlukan contoh-contoh yang konkrit mengenai bentuk-bentuk atau sikap-sikap positif yang dapat dijadikan acuan bagi mereka. Berdasarkan hasil wawancara, banyak variasi jawaban yang diungkapkan oleh para partisipan mengenai sikap serta perilaku yang menjadi contoh bagi anak. Secara umum, para partisipan menekankan pada perilaku-perilaku anak ketika berinteraksi dengan sesama, misalnya memberi salam kepada orang lain, bersikap ramah kepada sesama, berbicara dengan halus atau sopan kepada teman. Selain itu, mengucapkan terima kasih ketika dibantu atau ditolong oleh sesama teman atau orang lain. Anak-anak dibekali dengan sikap dan perilaku seperti tidak terlambat ke sekolah dan ikut dalam renungan pagi bersama dengan guru lainnya juga menjadi bagian dari hal-hal praktis yang dilakukan guru. Sebab ketika anak-anak melihat gurunya berdoa dan mendengarkan renungan terkhusus bagi anak-anak yang datang lebih awal mereka tentunnya akan melihat dan meniru apa yang dilakukan oleh para guru. Ungkapan-ungkapan tersebut diatas dapat dilihat pada kutipan yang disampaikan oleh P1 dan P2 sebagai berikut:


(11)

“Dengan memberi salam, mengucapkan salam kepada temannya. Biasannya kalau pagi itu ketika anak-anak datang saya pasti meberi salam dan tidak akan melepas sebelum anak memandang saya dan membalas salam saya, begitu. Di saat mereka datang mereka mengucapkan selamat pagi. Terus jika diberi sesuatu atau ditolong, mengucapkan terima kasih.” (P1, 11 April 2016)

“Seperti yang berlaku di sini, katakalah di TK Eben Haezer ini, datang awal, kita ikut renungan, kita ikut berdoa itu otomatis secara tidak langsung anak-anak itu melihat dan mengikuti apa yang kita lakukan kemudian memanggil anakpun dengan halus, ramah.” (P2, 13 April 2016)

Sementara itu, partisipan (P3) menekankan pada bagaimana bentuk keteladanan bagi anak yang menyangkut dengan memelihara hubungan dengan yang Maha Kuasa dan lingkungan. Berdoa dan sikap berdoa yang baik perlu ditanamkan kepada anak sehingga mereka terbiasa untuk menyembah Tuhan dengan benar. Selain itu, partisipan (P1 dan P3) juga memberikan pendapat menyangkut sikap membuang sampah pada tempatnya dan tertib ketika meletakkan barang bawaan seperti tas, buku, dan makanan serta barang-barang yang lain. Berikut merupakan kutipan pernyataan P1 dan P3

“Kalau praktisnya dari kegiatan sehari-hari. kebiasaan-kebiasaan seperti tertib dan sopan itu perlu. Ketika meletakkan tas harus sopan dan rapi. Ketika berdoa, anak-anak itu kan harus dengan sikap yang baik yaitu lipat tangan, tutup mata, jadi saya memberikan contoh seperti itu.” (P3, 21 April 2016)

“Misalnya membuang sampah pada tempatnya itu juga kita terapkan mulai dari sekarang. Selesai makan, mereka harus membuang sampah pada tempat sampah yang telah disediakan.” (P1, 11 April 2016)

Kutipan-kutipan di atas adalah bentuk-bentuk perilaku yang dilakukan para guru di TK Kristen Eben Haezer 03, Salatiga. Namun, berbagai pendapat berbeda pun muncul mengenai keberhasilan tindakan-tindakan tersebut. P1 mengatakan bahwa anak-anak dianggap berhasil mengikuti apa yang dicontohkan guru. Sementara itu, P2 mengatakan hal yang berbeda. P2 menilai bahwa apa yang dilakukan guru belum


(12)

tentu berhasil. Hal tersebut dikarenakan masih banyak anak-anak yang belum menunjukkan perubahan pada sikap mereka dan sikap dan kondisi dari guru itu sendiri. Pernyataan tersebut terdapat dalam kutipan pernyataan berikut

“Selama pengalaman saya, saya melihat itu, anak-anak sebagian besar sudah berhasil melakukan itu. Berhasil melakukan apa yang sudah kami contohkan dan yang kami berikan, jadi sudah berhasil menurut saya.” (P1, 11 April 2016)

“Tidak berhasil. Karena ada kalanya kondisi kita sebagai guru mengalami katakanlah tidak stabil juga. Kadang kondisi pikiran kita suatu masalah itu membuat kita saat itu mungkin tidak layak untuk dicontoh oleh anak-anak. jadi itu yang membuat sepenuhnya tidak berhasil.” (P2, 13 April 2016)

Berbeda dengan P3 yang menyatakan sangat sulit menilai berhasil atau tidak karena dalam proses pembentukan moral anak terdapat kendala-kendala yang ditemui oleh para guru. Partisipan bahkan mengatakan hal tersebut masih relatif dan susah untuk dinilai keberhasilan ataupun ketidakberhasilannya. Berbagai alasan melatarbelakangi seperti pembiasaan dari lingkungan keluarga dan kepribadian anak itu sendiri. Pendapat tersebut dapat dilihat melalui kutipan berikut:

“Kalau dikatakan berhasil atau tidak susah ya menilainya yaa. Karena itu ada kendalanya mungkin dari pembiasaan di keluarga atau dengan sifat dari karakteristik anak itu sendiri, ya paling tidak kita berusaha sebaik mungkin supaya anak-anak itu bisa meniru.” (P3, 21 April 2016)

Beberapa data yang telah diberikan oleh partisipan inti di atas kemudian dipertegas dan dibenarkan kembali oleh partisipan tambahan dalam hal ini kepala sekolah. Selain itu, partisipan tambahan juga memberikan tambahan informasi partisipan tambahan bagaimana peran guru dalam mengembangkan moral anak terkhususnya anak usia 4-6 tahun. Partisipan (P0) menyatakan bahwa setiap bulannya selalu ada evaluasi kinerja guru-guru sehingga dalam kesehariannya. Beliau juga turut mengobservasi dan menilai bagaimana para guru memberikan perannya sebagai sosok yang bertanggung jawab dalam perkembangan anak didiknya terkhususnya


(13)

dalam perkembangan moral. Salah satunya adalah dengan memberikan teladan atau model nilai-nilai moral yang baik pada anak.

Guru-guru memberikan bentuk keteladanan dalam keseharian mereka baik itu dalam bertutur kata maupun bertingkah laku. Misalnya dengan memberikan ucapan terima kasih ketika ditolong atau menerima sesuatu kemudian menggunakan nada bicara yang lembut dan tidak kasar sehingga anak-anak melihat dan meneladani bagaimana berperilaku dan bertutur dengan ramah. Selain itu, bentuk keteladan yang diberikan juga lewat beberapa kegiatan rutin yang dilakukan oleh para guru contohnya kegiatan berdoa bersama di mana sebelum 15 menit memulai aktifitas dengan anak-anak guru-guru mengadakan doa dan renungan bersama dan ketika ada anak-anak yang datang mereka juga biasanya ikut bersama dengan guru untuk berdoa sehingga dari kegiatan-kegiatan tersebut anak-anak melihat dan meneladani niali-nilai moral yang terkandung dalam kegiatan tersebut. Berikut adalah kutipan pernyataannya

“Jadi yang dilakukan guru sebagai model yaitu dengan bagaimaan bersikap dan berbicara ya misalnya memberikan contoh supaya bisa berlaku baik misalnya jika diberi sesuatu kemudian meminta terima kasih, berbicara juga lembut tidak dengan nada yang tinggi, misalnya setiap pagi itu sebelum melaksanakan kegiatan kita para guru ada doa dan renungan pagi, jadi kalau ada anak-anak yang sudah datang duluan biasannya juga ikut bersama kita jadi mereka melihat langsung dan itu teladan yang baik. Itu saya pikir itu sudah menjadi model bagi anak-anak.” (P0, 29 April 2016)

Selanjutnya Partisipan (P0) juga menambahkan bahwa tingkat keberhasilan dari bentuk-bentuk nilai moral yang telah diteladankan oleh para guru-guru di atas masih dikatakan 65-70 persen tingkat keberhasilannya karena masih ditemukannya anak-anak yang masih melakukan hal-hal yang kurang berkenan terkait dengan nilai moral serta untuk menumbuhkan karakter itu kan merupakan proses yang tidak sebentar. Pernyataan P0 dibuktikan dalam kutipan pernyataan dibawah ini

“Karena menumbuhkan karakter itu kan merupakan proses yang tidak sebentar jadi berhasil antara nilai segitulah miss, ya 65-70 persen karena


(14)

kita tidak menyangkal masih ada anak yang melakukan hal-hal yang kurang baik.” (P0, 29 April 2016)

Menurut data observasi, peneliti menemukan bahwa semua partisipan melakukan hal yang sama dengan apa yang diungkapkan. Para partisipan selalu memberikan bentuk keteladanan berupa memberi salam, membuang sampah pada tempatnya, menggunakan kata tolong dan terima kasih ketika meminta dan mendapat bantuan dari orang lain dan beberapa perilaku-perilaku praktis yang dilakukan secara konseptual. Namun peneliti menemukan bahwa memberikan keteladanan terkhusus dalam tindakan berdoa dengan sikap yang benar selalu dilakukan oleh P1 dan P3, sedangkan P2 termasuk dalam kategori sering melakukan sebab ketika berdoa terkadang P2 tidak menunjukan sikap yang baik dalam hal ini tutup mata dan lipat tangan. P2 lebih terfokus pada anak untuk membenarkan sikap anak dalam berdoa. Meskipun demikian tidak dalam semua kegiatan berdoa P2 menunjukan hal-hal tersebut.

Selanjutnya, menurut dokumentasi (lampiran 6) yang merupakan program semester sekolah yang disusun oleh guru, mewajibkan guru untuk dapat memberikan bentuk keteladanan bagi siswa. Contohnya salah satu indikator yang ada yaitu anak dapat meniru sikap berdoa yang baik dan benar. Hal ini menjadi panduan bagi para guru bagaimana menjadikan dirinya sebagai contoh bagi anak didik dalam sikap berdoa. Ini menjadi bukti bahwa guru-guru mempunyai kewajiban memberikan bentuk keteladanan bagi anak dalam berlaku baik. Selain itu setiap pembiasaan-pembiasaan yang ada di program sekolah menunjukan adanya suatu bukti bahwa guru benar-benar harus dapat melakukan setiap pembiasaan-pembiasaan tersebut dalam kehidupan di lingkungan sekolah yang tentunya akan menjadi acuan bagi anak dalam bersikap dan berperilaku dalam pembiasaan tersebut.

Beberapa kutipan pernyataan dan data yang dikumpulkan melalui observasi serta dokumentasi yang ada, memberi gambaran mengenai praktek-praktek yang penting untuk dilakukan guru dalam membangun pertumbuhan moral anak. Anak perlu dilengkapi dengan berbagai perilaku yang tentu saja ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Menjaga hubungan interaksi secara vertikal dan horisontal melalui


(15)

penerapan kharakter yang positif adalah hal yang utama yang harus berakar dan bertumbuh seiring pertumbuhan moral anak. Kebiasaan-kebiasaan yang positif harus melekat pada diri anak agar anak mampu membedakan hal yang benar dan perlu dilakukan dan hal yang salah yang harus dihindari.

c. Relasi dengan Berbagai Komponen di Sekolah

Kebersamaan di antara berbagai komponen di sekolah harus menjadi faktor yang kuat dalam upaya mempengaruhi anak agar kemudian mengikuti apa yang di alami dan dilihat dalam dunia sekolah. Untuk itulah diperlukan berbagai contoh konkrit yang mampu mengubah pola pikir serta perilaku anak agar nantinya anak akan meneladani demi pertumbuhan moral yang lebih baik. Berhubungan dengan hal tersebut, para partisipan mengungkapkan apa yang mereka lakukan dalam upaya menjaga hubungan baik dengan para komponen di sekolah. Terdapat berbagai tindakan yang dilakukan seperti menjaga komunikasi yang harmonis dan saling menghargai satu sama lain kemudian dalam berkata dan bertindak juga melakukan dengan hal yang baik. Selain itu, tidak lupa memberi senyuman ketika berjumpa dengan orang dan berjabatan tangan kepada orang lain dengan ramah juga dilakukan guna menjaga hubungan yang baik dengan komponen yang ada di sekolah. Hal ini dikatakan oleh P1 dengan kutipan pernyataan sebagai berikut

“Membangun relasi dengan cara kita berkomunikasi dengan baik. Saling menghargai satu dengan yang lain misalnya berkata dengan baik dan bertingkah juga dengan baik kepada orang lain. Ketika bertemu guru atau siapapun jangan lupa senyum, terus ada juga misalnya sambil berjabatan tangan, begitu.” (P1, 11 April 2016)

Sementara itu, P2 mengungkapkan juga menggungkapkan bahwa memberi salam berupa tos atau sebagainya juga merupakan langkah yang diambil untuk menjalin relasi yang baik dengan komponen yang ada di sekolah. Hal yang terpenting adalah menjaga hubungan yang baik dengan sesama atau patner kerja serta dengan kepala sekolah. Hal tersebut terrepresentasikan dalam kutipan berikut

“Ya ketika kita bertemu ya kita memberi salam, hallo atau hai ya, how are you, dan lain sebagainya tos begitu misalnya kepada yang


(16)

lain juga seperti itu. Selain itui saya berusaha di depan anak-anak harus memiliki hubungan yang baik dengan teman saya atau patner saya” (P2, 13 April 2016)

Hubungan yang baik akan terjalin jika ada sikap dan kata yang baik yang digunakan dalam kehidupan di sekolah terkhususnnya karena di dalam kelas terdapat dua orang guru yang bertanggung jawab untuk itu, mengucapkan kata permis, menggunakan kata tolong dengan sopan, berbicara dengan penggunaan kata tolong dan ucapan terima kasih merupakan hal-hal praktis yang dilakukan dalam berelasi dengan komponen-komponen yang ada di sekolah. Dengan begitu anak-anak akan melihat dan dapat mencontohi hal-hal yang baik yang dilakukan oleh guru. Hal tersebut merupakan pernyataan dari P3 dalam kutipan pernyataaan berikut

“Contoh yang praktisnya ya kalau misalnya di kelas em, misalnya kalau di kelas itu kan ada 2 guru ya. Kalau di kelas misalnya partner guru saya datang selalu mengatakan permisi. Misalnya kalau minta tolong itu belajar meminta tolong dengan sopan, berbicara dengan ada kata tolong, terus ucapkan terima kasih jadi kan anak-anak melihat. Jadi bersikap dan berkata dengan baik di depan anak-anak itu ya, sehingga mereka dapat mencontoh yaa.” (P3, 21 April 2016)

Selain itu, partisipan tambahan (P0) yaitu kepala sekolah juga menyatakan bahwa relasi dengan orang-orang yang ada di sekolah merupakan kunci utama peran guru sebagai model sebab anak melihat dan meneladani bagaimana guru berinteraksi. Beliau juga menambahkan bentuk-bentuk keteladanan dari membangun relasi yang baik dengan semua anggota atau rekan kerja misalnya saling bertegur sapa, memberikan pelukan hangat atau menyentuh bahu rekan ketika bertemu, adanya kata tolong ketika meminta sesuatu merupakan bentuk-bentuk keteladanan yang diberikan oleh para guru dan ini menjadi modal utama bagaimana mengembangkan nilai-nilai moral anak. Dengan menggunakan sistem dua guru atau patner guru dalam mengajar di dalam kelas, tujuannya sebenarnnya juga untuk membuat rekan-rekan guru dan komponen yang ada di dalam sekolah menjalin hubungan yang lebih baik. bagaimana guru-guru belajar untuk bekerja sama dan saling tolong menolong. Hal ini tercantum dalam kutipan berikut


(17)

“Bagi saya, hubungan sesama rekan itu sangat penting sebab anak-anak melihat langsung dan mau tidak mau karena karakter mereka adalah peniru ulung maka otomatis mereka akan melihat baik ataupun buruk ya.” (P0, 29 April 2016)

“Melatih diri untuk memberikan salam dengan ramah kepada orang terlebih dahulu, kemudian kalau di dalam kelas mau minta tolong misalnya kepada rekan guru ada ucapan kata tolong dan terima kasih, kemudian kalau misalnya guru yang satu tidak masuk berarti guru yang lain menggantikan sebagai bentuk bekerja sama dan saling menolong. Sebenarnya salah satu tujuannya itu kenapa kita buat satu kelas itu ada dua orang guru yang mengampuh.” (P0, 29 April 2016)

Menjalin hubungan yang baik sangatlah penting untuk dalam sebuah lembaga pendidikan. Hal ini juga yang ditunjukan oleh partisipan ketika peneliti melakukan obsevasi. Peneliti menemukan bahwa semua partisipan menjalin hubungan yang baik dengan berlaku ramah kepada sesama yang ada di sekolah dengan hal-hal praktis. Selain itu terdapat juga kegiatan ibadah bersama atau renungan pagi bersama yang dilakukan oleh para guru untuk mempererat hubungan antara komponen yang ada di sekolah. Keikutsertaan guru dalam ibadah dan renungan pagi bersama ini memperlihatkan bagaimana partisipan membangun hubungan yang baik dengan sesama di sekolah. Selain itu peneliti juga mendapatkan bahwa dalam setiap kelas terdapat dua orang yang bertanggung jawab atas kelas tersebut sehingga dapat mempererat relasi dengan sesama guru dalam sebuah kerja sama. Hal yang sama juga menjadi bukti bahwa guru harus memberikan keteladanan dalam berperilaku sopan dalam setiap kegiatan yang diawali dengan program pembiasaan dari guru dan anak (lampiran 6). Program membiasakan diri berperilaku sopan juga menjadi kewajiban bagi guru untuk melakukan atau menjaga hubungan yang baik dengan komponen yang ada di sekolah sebagai bentuk keteladanan yang bisa ditiru anak dalam program pembiasaannya.

Apa yang dilihat di atas menyatakan bahwa menjaga relasi yang baik dengan sesama komponen di sekolah ternyata tidak harus dengan melakukan hal-hal yang sulit. Semua yang perlu dilakukan adalah hal-hal sederhana dan yang ditemui setiap hari. Memberi salam kepada orang lain tentunya sangat krusial khususnya dalam proses menghargai satu sama lain. Ketika kita memberi salam, ada damai sejahtera


(18)

yang sudah dibagikan kepada orang lain. Selain itu bentuk kerja sama yang dibangun juga menjadi bagian yang penting dalam menjaga hubungan yang baik dengan sesama komponen sekolah.

d. Sikap yang Dilakukan Jika Anak Tidak Meneladani Tindakan Guru

Membentuk moral anak adalah tanggung jawab yang tentunya tidak ringan. Banyak hal yang pasti dicontohi anak tetapi juga banyak yang tentunya tidak diteladani oleh mereka. Ketika anak tidak meneladani tindakan guru, tentu saja ada langkah yang diambil sebagai upaya mendorong anak untuk melakukannya. Hal tersebut tentunya didasarkan pada kemauan agar moral anak benar-benar terbentuk sejak dini.

Berdasarkan jawaban partisipan mengatakan bahwa perlu adanya pembiasaan suatu tindakan yaitu harus dilakukan berulang-ulang dan konsisten. Tujuannya adalah agar anak dengan cepat menjadi terbiasa dan menyerap apa yang diajarkan guru pada mereka. Guru seharusnya tidak jemu atau bosan menggingatkan dan mengulangi setiap tindakan yang ingin diajarkan kepada anak sehingga nantinya anak dapat melihat dan mencontoh apa yang dilakukan oleh guru. Penegasan ini dikatakan oleh P1, dan P3 dalam. rangkaian wawancara seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini:

“Saya akan berulang kali menginggatkan kepada anak supaya mereka melakukan hal yang baik. Jadi melalui pembiasaan” (P1, 11 April 2016) “Terkadang memang harus diingatkan atau diulang-ulang terus setiap hari karena itu adalah pembiasaan. Jadi lebih ke mengingatkan dan pembiasaan setiap hari. Dan tidak jemu-jemu memberi contoh.” (P3, 21 April 2016)

Selain tindakan pembiasaan di atas, ada juga tindakan lain yang dilakukan seperti menegur, memberi peringatan, pengarahan, bertanya serta memberi nasihat dengan kata-kata yang positif. Selain itu, ada sentuhan yang diberikan kepada anak sehingga anak-anak menyadari bahwa sebenarnya dia bisa melakukan hal yang baik dan tidak menyenangkan hati guru. dengan sentuhan yang lembut anak diharapkan menyadari bahwa dirinya merupakan individu yang baik dan disenangi oleh semua


(19)

orang ketika ia melakukan hal yang baik. Semuanya ditujukan bagi perkembangan moralitas yang lebih baik. Kutipan tersebut dikatakan oleh P2 berikut ini:

“Paling tidak kita memberi sentuhan kepada anak, kemudian ya saya biasanya langsung menegur, memberi peringatan dan bertanya kepada anak, biasanya langsung dengan kata-kata ya sehingga anak-anak juga bisa langsung sadar bahwa perbuatannya tidak sesuai atau tidak disenangi oleh saya seperti itu.” (P2, 13 April 2016)

Sementara itu, ketika anak sudah melakukan hal yang berlebihan dan kurang bisa dikendalikan maka anak tersebut akan di pisahkan dulu dari temannya. Tujuannya adalah supaya anak memahami sebab dan akibat dari perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang tidak baik selain itu, mengajarkan anak yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama. Hal ini dipertegas oleh P3 dalam kutipan pernyataan sebagai berikut

“Kemudian ketika misalnya sudah terlalu berlebihan tindakannya, saya biasannya memisahkan dulu dari teman, menyuruhnya untuk duduk dulu supaya bisa tenang dan belajar memahami sebab akibat perbuatannya dan juga tidak tertular ke anak yang lain” (P3, 21 April 2016)

Mengambil langkah yang tepat dalam upaya mendorong anak melakukan tindakan positif sebagai bentuk partumbuhan moral mereka merupakan tanggung jawab yang besar bagi seorang guru. Hal yang lebih fatal adalah ketika anak tidak mau melakukan apa yang dicontohkan kepada mereka. Guru harus berupaya mengarahkan mereka dengan tindakan dan sikap yang bisa menyadarkan mereka menjadi pribadi yang penurut.

Selain pendapat dari partisipan-partisipan di atas, berikut merupakan pernyataan partisipan tambahan mengenai langkah-langkah yang diambil oleh para guru ketika anak-anak tidak melakukan hal-hal yang tidak dicontohkan oleh para guru. sebelumnya beliau menyatakan bahwa dirinya sering memantau guru-guru didalam kelas dalam proses belajar dan mengajar sebagai bagian dari tugasnya menjadi kepala sekolah. Beliau menyebutkan bahwa guru memberikan nasehat dan teguran kepada anak-anak yang tidak melakukan hal-hal yang tidak dicontohkan


(20)

kepada mereka. Namun biasannya ketika anak melakukan hal yang berlebihan dan tidak sesuai maka biasannya guru juga memisahkan anak dengan teman-temannya guna mencegah anak yang lain melakukan hal yang sama. Teguran dan nasehat ini menurutnya merupakan cara yang paling sering dilakukan oleh para guru. hal ini terbukti dalam pernyataan sebagai berikut

“Yang saya lihat yaa sejauh ini, karena kebetulan saya juga biasanya sering melihat proses pembelajaran di dalam kelas, kalau ada anak yang melakukan tidak sesuai dengan apa yang di contohkan, yang paling awal adalah menegur, kemudian menasehati atau menggingatkan.” (P0, 29 April 2016)

“Selain itu, kalau misalnya sudah keterlaluan begitu biasannya dipisahkan dulu dari teman-temannya ya, karena takutnya menular ke teman yang lain, kan itu bukan contoh yang baik. Biasanya tindakannya langsung.” (P0, 29 April 2016)

Hasil observasi juga menunjukan bahwa semua partisipan menggunakan kegiatan-kegiatan pembiasaan untuk mengatasi sikap anak yang tidak dapat meneladani apa yang dilakukan partisipan (lampiran 6). Pembiasaan dilakukan setiap hari misalnya ketika datang ke sekolah anak-anak disambut dengan senyuman dan saling memberi salam. Guru tidak akan melepas tangan anak sebelum anak melihat dan membalas salam dari guru. Selain itu, partisipan memberikan peringatan, teguran dan nasehat juga dilakukan oleh para partisipan untuk menyikapi anak yang tidak melakukan sesuai dengan keteladanan yang telah diberikan. Bahkan ketika anak-anak masih dalam jangkauan orang tua guru misalnya ketika orang tua mengatar di depan gerbang sekolah dan ketika menjemput, partisipan juga memberi nasehat, teguran dan peringatan ketika dianggap perilaku anak kurang baik. Nasehat, peringatan dan teguran-teguran yang diberikan oleh para partisipan menggunakan kata-kata yang positif dan sederhana dan dapat diterima oleh anak bahkan orang tua.

Hal-hal tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa anak membutuhkan pembiasaan atau praktek berulang kali. Pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan hendaklah bersifat konsisten sehingga anak tidak menjadi binggung dengan hal-hal yang menjadi pembiasaan dalam kehidupannya. Suatu pembiasaan yang baik akan


(21)

berakhir dengan hasil yang baik, begitu pula sebaliknya. Selain itu, teguran dan peringatan perlu dilakukan sehingga anak-anak dapat memahami sebab dan akibat dari perbuatan yang mereka lakukan dan guru juga penting mencegah anak-anak yang lain melakukan hal-hal yang sama dan kurang berkenan.

4.2.2.2. Peran Guru sebagai Motivator

Sejalan dengan peranan guru sebagai role model, guru sebagai motivator juga menjadi bagian yang tidak terlepas dari tugas utama seorang guru. Motivator memberikan gambaran jelas bahwa seorang guru tidak hanya sekedar memberikan ilmu ataupun wawasan baru terhadap siswa tetapi guru juga dituntut memberikan dorongan atau semangat baik kepada siswa dengan tujuan dapat meningkatkan semangat belajar ataupun kualitas perkembangan yang baik terkhususnya bagi anak didiknya.

Dan berikut merupakan hasil wawancara kepada 3 orang partisipan yang menjelaskan tindakan atau peranan yang mereka lakukan dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai seorang motivator bagi anak yang ditriangulasikan dengan penjelasan dari kepala sekolah dan data hasil observasi serta dokumentasi.

a. Bentuk Motivasi Jika Anak Melakukan Sesuai Pembentukan Moral

Dunia pendidikan anak usia dini, kata motivasi biasanya lebih dikenal dengan sebutan pengguatan. Pengguatan yang diberikan kepada anak bertujuan agar anak lebih bersemangat dalam hal pembelajaran terkhususnya dalam perilakunya yang berkaitan dengan aspek perkembangan moral. Pengguatan atau motivasi yang diberikan juga bertujuan agar anak mengetahui sebab dan akibat dari perbuatan yang dilakukan. Jika akibat yang didapatkan menyenangkan hatinya maka anak bisa mengambil kesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukannnya dianggap baik begitupula sebaliknya. Hal ini dinyatakan oleh pernyataan dari partisipan P3 dan P2 dengan kutipan sebagai berikut

“Kalau kita di PAUD, motivasi itu biasanya lebih ke penguatan namanya yaa.” (P2, 13 April 2016)


(22)

“Motivasi itu, menurut saya selain bisa memberikan semangat pada anak, anak juga bisa tau kalau gurunya dengan senang memberikan sesuatu ya berarti baik perbuatannya, nah kalau yang tidak gurunya pasti sedih mukanya misalnya, jadi mereka bisa tau ooh, yang ini ternyata tidak baik.” (P3, 21 April 2016)

Bentuk motivasi yang digunakan adalah pujian. Hal ini dinyatakan oleh P2 dan P3. Mereka menyatakan bahwa bentuk motivasi yang sering digunakan adalah pujian kepada anak. Pujian dalam bentuk acungan jompol, tos, senyuman, kata-kata positif menjadi hal utama yang sering dan selalu digunakan oleh para partisipan dalam rangka mengembangkan moral anak didiknya hal ini. Selain itu, menceritakan kepada teman-teman di kelas juga digunakan sebagai bentuk dari motivasi jika anak-anak melakukan hal-hal baik. Pujian dan menceritakan pada teman sebaya yang diberikan semata-mata untuk menyemangati ataupun memberikan dorongan sehingga anak-anak mampu atau dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik yang berkenan bagi orang lain dan adanya pujian juga yang diberikan oleh teman sebayanya. Dari pujian-pujian tersebut diharapkan anak mampu untuk mengulangi hal-hal baik yang dilakukan. Dan berikut adalah jawaban representative dari pernyataan di atas.

“Jadi untuk bentuk motivasinya saya biasanya memberikan reward ya, misalnya memberikan acungan jempol, ataupun tos, dan lain sebagainya itu yang kami lakukan.. Dan tidak lupa saya memberikan pujian.” (P2, 13 April 2016)

“Kita berikan semacam pujian gitu, jadi misalnya terima kasih kamu sudah jujur atau kalau berhubungan dengan teman-temannya sekelas bisa kita ceritakan pada teman-teman sekelasnya jadi itu akan memotivasi dia bahwa oh, ternyata perbuatan jujur itu baik.” (P3, 21 April 2016)

Sementara itu, memberikan reward berupa senyuman dan semangat kepada anak juga diberikan. Selain itu, memberikan hadiah dan reward kepada anak misalnya, memberikan cap atau stiker, memberikan permen, bintang juga diberikan sebagai bagian dari bentuk-bentuk motivasi yang diberikan kepada anak. Tujuannya


(23)

agar anak-anak senang melakukan nilai-nilai moral dalam kesehariannya. Hal ini diungkapkan oleh P1 dalam kutipan sebagai berikut

“Yang pasti kita berikan senyuman, semangat kepada mereka kemudian misalnya saya biasanya memberikan hadiah, memberikan reward kepada mereka misalnya oh, tangannya mereka diberi cap atau diberi stiker, atau diberi permen, bintang nah itu membuat mereka itu senang melakukan nilai moral yang baik yaa setiap harinya.” (P1, 11 April 2016)

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas membuktikan bahwa pemberian motivasi kepada anak akan bermanfaat bagi mereka guna mengembangkan nilai-nilai moral yang ada. Selain itu, pemberian motivasi atau penguatan juga memberikan kesempatan bagi anak untuk mengenal dan membedakan hal yang baik dan tidak baik. Selain pengakuan dari 3 partisipan di atas, partisipan tambahan juga membenarkan apa yang dilakukan oleh ketiga partisipan. Beliau menyatakan bahwa guru memberikan reward berupa pujian dan memberikan stiker atau bentuk-bentuk seperti bintang yang akan membuat anak termotivasi untuk melakukan nilai-nilai moral yang baik. Selain itu, dengan menceritakan kepada teman sebaya juga dilakukan oleh guru guna memberikan dampak positif bagi anak yang melakukan hal-hal yang benar. Hal-hal-hal yang diberikan oleh guru diharapkan sesuai atau dalam porsi yang tepat sehingga membawa dampak positif bagi anak bukan sebaliknya Berikut merupakan jawban representatifnya.

“Dengan pujian, kemudian reward ya seperti biasanya memberikan stiker, bintang, matahari begitu yang membuat anak-anak itu ingin lagi melakukan hal yang baik. Tapi tentu saja dengan porsi yang pas ya, tidak berlebihan karena itu nanti efeknya akan menjadi tidak baik lagi, begitu. Terus biasannya guru juga bilang sih ke anak-anak yang lain perbuatan yang baik jadi anak yang melakukan nilai moral yang baik tadi akan senang begitu.” (P0, 29 April 2016)

Berdasarkan hasil observasi, peneliti mendapatkan bahwa semua partisipan menggunakan pujian sebagai motivasi bagi anak jika melakukan sesuai nilai-nilai moral. Pujian yang dimaksud bisa berupa senyuman dan beberapa bentuk langsung dari bahasa tubuh misalnya jempol atas toss, selain itu peneliti menemukan bahwa P3


(24)

memang menggunakan metode menceritakan kebaikan atau hal baik yang dilakukan oleh anak kepada teman-temannya di dalam kelas. Selanjutnya ketika mengobservasi peneliti juga menemukan P1 menggunakan metode pemberian hadiah berupa bunga yang diberikan kepada beberapa anak yang berhasil membantu temannya membereskan mainan setelah bermain. Pemberian ini dilakukan ketika setelah bermain dilakukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan P1 dan P3 mengenai pemberian motivasi kepada anak ketika melakukan hal baik yang sesuai dengan pembentukan moral.

Pemberian penguatan atau motivasi kepada anak yang melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan porsi yang tepat dan pas diharapkan dapat memberikan dorongan dan semangat pada anak untuk terus melakukan hal-hal yang baik yang berguna bagi perkembangan moralnya baik itu untuk sekarang dan kehidupannya yang anak datang.

b. Bentuk Motivasi Jika Anak Melakukan Tidak Sesuai Pembentukan Moral Tentunya dalam proses pembentukan moral anak yang dilakukan oleh partisipan, masih ditemukan beberapa anak yang belum melakukan nilai-nilai moral yang baik. Untuk itu, bentuk motivasi yang bertujuan untuk mengurangi bahkan menghilangkan sikap-sikap anak yang kurang sesuai dengan pembentukan moral menjadi tugas seorang guru yang notabene juga berkewajiban untuk membentuk anak menjadi pribadi yang lebih baik. Bentuk motivasi yang digunakan adalah bentuk motivasi yang sifatnya bukan untuk menghukum karena bentuk hukuman baik itu fisik maupun psikis tentunya tidaklah pantas diterima anak dengan usia dini. Guru mendorong dan memberikan peringatan bagi anak sebagai bagian dari bentuk motivasi agar anak tidak lagi melakukan hal-hal yang tidak benar. Mendorong atau pull up dilakukan dengan memberikan nasehat. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses pemberian motivasi yang bertujuan untuk mengurangi perilaku yang kurang baik dari anak dilakukan dengan cara memberi nasehat secara langsung, menggunakan aktor atau tokoh cerita yang digemari anak, Hal ini dilakukan oleh Partisipan P1 dalam


(25)

memberikan motivasi kepada anak yang tidak melakukan sesuai dengan pembentukan moral. Berikut merupakan jawaban representative dari P1

“Kalau yang tidak melakukan motivasi yang saya lakukan yaitu mendorong mereka untuk bisa melakukan itu dan saya mengingatkan kepada mereka karena tidak boleh dengan kekerasan yaa.” (P1, 11 April 2016)

“Mendorong untuk anak itu bisa melakukan dengan nasehat. Kemudian saya juga gunakan misalnya actor spiderman atau apa begitu yang disukai anak misalnya spiderman tidak pernah loh menyakiti temannya jadi anak-anak yang tidak melakukan itu jadi anak termotivasi.” (P1, 11 April 2016)

Guru juga harus yakin bahwa anak-anak mampu untuk melatih dirinya melakukan hal yang baik. Keyakinan pada diri sendiri merupakan kunci utama dalam memberikan motivasi pada anak didik. Anak-anak bisa berubah, tergantung bagaimana guru memanfaatkan perannya dengan sebaik mungkin sehingga menciptakan anak-anak yang memiliki attitude yang baik. pemberian nasehat dengan cara tidak memaksa juga tidak lupa diberikan kepada anak yang melakukan hal-hal yang kurang berkenan. Hal ini ditekankan oleh P2 sebagai berikut:

“Saya beri nasihat dengan tidak memaksa. saya memastikan ke anak tersebut bahwa dia pasti bisa berubah dan melakukan sesuai dengan yag sudah saya contohkan begitu, yang biasa saya berikan.” (P2, 13 April 2016)

Mengalami kesulitan dalam memberikan motivasi bagi anak yang tidak melakukan sesuai dengan pembentukan moral karena prinsipnya anak tidak boleh dituduh atau dijudge dengan kata-kata yang kurang berkenan sebab akab berdampak kurang baik pada perkembangan anak juga disadari oleh P3 ketika menjalankan tugasnya sebagai seorang motivator. Untuk itu, memberikan sedikit cerita misalnya cerita alkitab diberikan sehingga anak-anak mendengar dan dari cerita tersebut anak terdorong untuk tidak melakukan hal yang salah. Hal ini terbukti dalam kutipan pernyataan berikut


(26)

“kadang kita memberikan sedikit cerita atau nasehat misalnya cerita tentang seorang yang jujur atau seorang yang baik misalnya dari cerita alkitab misalnya jadi dengan hal tersebut berharap bisa memotivasi dia untuk lain kali misalnya bisa lebih jujur.” (P3, 21 April 2016)

Bentuk-bentuk motivasi yang diberikan oleh partisipan yang bertujuan untuk mengguranggi tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai moral yang ada juga ditegaskan oleh kepala sekolah sebagai partisipan tambahan. Beliau menyatakan bahwa bentuk motivasi yang diberikan yaitu dengan menggunakan teguran dan nasehat-nasehat. Karena lewat teguran dan nasehat tersebut yang dilakukan secara langsung dapat membuat anak menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya adalah perilaku yang salah Bentuk lainnya yaitu pemaksaan juga tidaklah dibenarkan. Prinsipnya adalah memberikan pemahaman pada anak bahwa tindakan ataupun sikap yang dilakukannya merupakan tindakan yang tidak benar dan tidak berkenan baik itu kepada guru, teman dan orang lain sehingga anak-anak terdorong untuk tidak melakukan dan kemudian terbantu untuk menekan sikap buruk mereka. Berikut merupakan pernyataan dari partisipan tambahan

“Dengan nasehat-nasehat, dengan teguran semacam itu. Kemudian biasannya juga guru memberikan pemahaman-pemahaman lewat cerita ya saya lihat itu sih sejauh ini. Dan juga saya selalu tekankan para rekan guru bahwaa anak itu tidak bisa kita paksa, jadi kita benar-benar harus sabar yaa, dengan tidak jemu-jemu memberikan motivasi yang baik pada anak begitu.” (P0, 29 April 2016)

Selain pernyataan-pernyataan dari para partisipan, data-data yang dikumpulkan dari observasi menyatakan bahwa partisipan menggunakan nasehat secara langsung untuk mendorong dan memotivasi agar melakukan sesuai dengan nilai-nilai moral yang diingginkan. Para partisipan menggunakan bahasa dan kata-kata yang sangat mudah dimengerti oleh anak. Selain hasil observasi juga menunjukan bahwa P1 dan P3 menggunakan cerita sebagai bagian dari cara guru memotivasi anak agar tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral. Pesan-pesan moral dari cerita yang disampaikan oleh para guru digunakan untuk memotivasi anak agar mengurangi perilaku yang tidak sesuai. Hasil observasi


(27)

juga menunjukan bahwa guru tidak memaksa anak dengan memberi hukuman atau memarahi serta menjudge anak dengan kata-kata yang negative.

Metode bercerita yang ada jelas ditunjukan dengan bukti dokumentasi yang ada (lampiran 6). Guru menggunakan metode bercerita bagi anak sebelum masuk dalam aktivitas pembelajaran tentang tema. Bahkan tak jarang, cerita juga dikaitkan dengan tema yang ada. Hal tersebut dijadikan guru untuk memotivasi siswa agar dapat bersikap sesuai dengan nilai-nilai moral yang ingin dicapai. Diharapkan dengan memberikan bentuk-bentuk motivasi yang efektif pada anak dan pada porsi yang pas, penggunaan bentuk-bentuk motivasi yang dilakukan oleh para partisipan dapat mendorong anak serta memotivasi mereka melakukan hal-hal yang sesuai dengan niali-nilai moral yang dapat membantu anak dalam perkembangan moralitas mereka.

c. Bentuk Motivasi yang Efektif

Dalam upaya penerapan bentuk-bentuk motivasi yang diberikan oleh para guru, tentunya selama proses berlangsung ada beberapa bentuk motivasi yang dianggap sangat efektif dalam pembentukan moral anak. Semua partisipan (P1-P3) menyatakan bahwa pujian merupakan salah satu bentuk motivasi yang sangat efektif digunakan pada anak. Selain itu, pemberian reward juga merupakan salah satu bentuk motivasi yang dianggap efektif membentuk moral anak. Pemberian motivasi berupa pujian dan rewar biasannya sering digunakan dan dianggap efektif bagi anak. Memberitahukan kepada teman sebaya apa yang dilakukan anak atau menceritakan kepada teman sebaya dan mendapat pujian dari temannya juga merupakan bagian yang dianggap efektif oleh P2 dan P3 sebab anak-anak akan termotivasi untuk tetap melakukan hal-hal yang dianggap baik karena mendapat pujian selain dari guru juga dari teman sebayanya. Bahkan beberapa anak juga menceritakan apa yang didapatkannya di sekolah kepada orang tua mereka. Hal ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi anak-anak di mana mereka akan semakin bersemangat untuk melakukan hal-hal yang baik untuk tidak mengecewakan guru maupun tema-temannya. Berikut merupakan kutipan-kutipan pernyataan dari masing-masing partisipan.


(28)

“Pujian, anak akan merasa senang dengan apa yang telah dia lakukan. Jadi yang lain bisa mengikuti” (P1, 11 April 2016)

“Bagi saya yang paling efektif, ketika kita memberikan reward berupa pujian, dan mengajak teman-temannya juga memberikan pujian berupa tepukan tangan, atau acungan jempol jadi mereka akan terus mengingat, bahkan sampai ada yang memberitahukan ke orang tuanya sehingga dampaknya anak akan tetap melakukan karakter-karakter moral yang baik sehingga dia bisa mendapat pujian bahkan dari teman-temannya, begitu.” (P2, 13 April 2016) “Menurut saya yang paling efektif itu ya motivasi secara langsung ya yaitu dengan pujian apalagi kalau dengan teman-temannya jadi dia akan berusaha melakukan lagi hal-hal yang tidak mengecewakan teman atau guru misalnya.” (P3, 21 April 2016)

Hasil observasi juga menunjukan bahwa pemberian pujian secara langsung menjadi bagian dari proses dukungan guru bagi anak dalam pembentukan moral mereka. Peneliti menemukan bahwa ketika anak diberikan pujian dan bahkan mendapat pujian dari guru maupun teman-temannya, anak tersebut menjadi bersemangat untuk melakukan sesuatu. Tak jarang terlihat bahwa mereka sampai menceritakan apa yang dilakukan dan didapatkan di sekolah kepada orang tua mereka. Berdasarkan pernyataan-peryataan dan data tersebut di atas, membuktikan bahwa selama proses pembentuk moral anak, guru tentunya sudah memahami benar apa yang menjadi keinginan dari anak-anak. Keinginan-keinginan tersebut menjadi acuan bagi para guru untuk memberikan motivasi yang akan membuat anak-anak menjadi semakin bersemangat dalam melakukan hal-hal yang baik. Untuk itu, dari pemahan-pemahamn tersebut terhadap anak akan membuat guru semakin baik dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang motivator.

4.2.2.3. Peran Guru sebagai Pembimbing

Selain kedua peran guru sebelumnya dalam bagian ini akan dibahas peran yang ketiga yaitu guru sebagai pembimbing. Peran ini dititikberatkan pada bagaimana upaya guru untuk mengajarkan dan menuntun anak untuk berperilaku baik dalam hubungannya secara vertikal maupun horizontal. Mengingat guru sebagai tokoh yang


(29)

paling dekat dengan anak dalam lingkungan pendidikan, tentu saja guru harus berperan aktif dalam membimbing, mengarahkan serta menerapkan tindakan-tindakan yang patut anak lakukan dalam kehidupannya khususnya dalam memantapkan perkembangan moralitasnya. Anak dilatih, dididik dan dibimbing untuk menjadi individu yang siap menghadapi masa depannya dengan label individu yang bermoral, berakal budi serta berakhlak mulia. Oleh karena itu, berikut ini akan dibahas bentuk-bentuk pembimbingan yang dilakukan guru terutama berhubungan dengan pembentukan moral anak.

a. Tindakan Guru untuk Mengenalkan Anak pada Tuhan

Mengenalkan anak pada Tuhan merupakan hal yang paling penting yang patut dilakukan guru. Anak perlu diarahkan untuk mengenal lebih dekat siapa Sang Pencipta sehingga hidupnya benar-benar berkembang dalam tuntunanNya. Pada poin ini, semua partisipan memberi jawaban yang sama yaitu melalui kegiatan berdoa, ibadah bersama dan pemberian firman Tuhan. Kegiatan rutin yang selalu dilakukan yaitu berdoa pagi di kanopi sekolah, adanya pembelajaran rohani setiap hari Sabtu juga menjadi bagian dari kegiatan yang bertujuan mengenalkan anak pada Tuhan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, anak diharapkan lebih dekat dengan Tuhan, mengasihi, menyanyangi, menghargai dan saling menolong dengan teman. Selain itu, anak mampu bersyukur karena tuntunan Tuhan serta terus menerapkan apa yang diinginkan Tuhan dalam hidupnya. Berikut adalah jawaban representaif dari para partisipan

“Yang saya lakukan jadi setiap kita mau memulai kegiatan kita berdoa dulu. Terus kita juga memberikan firman Tuhan atau cerita Firman Tuhan dari itu kita akan membawa anak-anak itu ya dia bisa mengenal akan Tuhan, mengenal kasih Tuhan.” (P1, 11 April 2016)

“Kalau pagi itu setiap hari itu kami kaitan kegiatan dengan pembelajaran untuk mengenal Tuhan. Jadi ada doa bersama sebelum masuk ke sentra, doa Bapa Kami di Kanopi. Kemudian ada pelajaran Rohani di hari Sabtu.” (P2, 13 April 2016)

“Dalam membimbingnya, selalu dikaitkan dengan kegiatan sehari-hari misalnya kita kaitkan dengan cerita Firman Tuhan, misalnya belajar


(30)

bersyukur kalau sudah selesai melaksanakan tugas. Tujuannya agar ya tadi bisa mengenal Tuhan lewat cerita dan bagaimana bisa menerapkan dalam kehidupan anak-anak apa yang di ingginkan Tuhan itu.” (P3, 21 April 2016)

Adanya kegiatan-kegiatan yang dirancang oleh partisipan di dalam kelas yang berkaitan dengan pengenalan akan Tuhan. Kegiatan-kegiatan tersebut dibuat dan dikaitkan dengan kegiatan setiap hari di sekolah. Mengaitkan tema dengan ajaran agama juga dilakukan oleh guru dalam mengenalkan anak kepada Tuhan. Partisipan juga mengaitkan nilai-nilai moral yang ada dengan cerita Alkitab. Karakter-karakter atau tokoh-tokoh yang ada dalam Alkitab juga sering kali dipakai oleh partisipan dalam pembentukan moral anak. Lagu-lagu rohani juga digunakan untuk mengenalkan anak pada Tuhan sebab lagu rohani dianggap menarik untuk dilakukan. Hal ini ditambahkan oleh partisipan P2 dan P3 dengan kutipan sebagai berikut

Biasanya di awal kegiatan itu kami mengaitkan sedikit tema dengan ajaran agama terkhusunya ajaran Kristen. Adanya cerita-cerita kami kaitkan dengan ajaran Tuhan misalnya cerita-cerita alkitab. Sehingga karaker-karakter atau tokoh-tokoh Alkitab itu kan ada, jadi dapat kita berikan dan beritahukan pada anak.” (P2, 13 April 2016)

“Tentunya kami gunakan lagu-lagu rohani yang lebih menarik bagi anak. Bagi saya itu tindakan mengenalkan anak pada Tuhan.” (P3, 21 April 2016)

Selain itu partisipan tambahan juga menggungkapkan bahwa ada beberapa program dan kegiatan rutin yang selalu dilakukan oleh para guru. Dengan adanya kegiatan berdoa bersama di kanopi dan juga adanya kegiatan mendengar cerita di dalam kelas setiap hari serta menyanyikan lagu-lagu rohani sebelum masuk kelas merupakan langkah guru dalam membimbing anak mengenal Tuhan. Selain itu, sebelum masuk ke kelas, bisanya pada beberapa hari tertentu yang sudah ditetapkan, guru bisanya menyetel lagu-lagu rohani sebeluma anak-anak berkumpul dikanopi. Kemudian dengan adanya program sekolah di mana setiap hari Sabtu diadakan berdoa bersama dan adanya lomba-lomba misalnya menghafal ayat alkitab yang diselenggarkan oleh sekolah dalam hari-hari keagamaan juga merupakan


(31)

bentuk-bentuk kegiatan yang dapat mengenalkan anak pada Tuhan. Hal ini dinyatakan P0 dalam kutipan pernyataan berikut

“Bimbingan yang dilakukan guru itu setiap hari mendengar cerita firman Tuhan, lalu untuk TK A dan TK B itu setiap sabtu diadakan ibadah kemudian, mendorong untuk anak-anak datang ke sekolah minggu di gereja masing-masing kemudian ada kegiatan-kegiatan seperti pada saat memperingati hari paskah, natal begitu misalnya, kita adakan lomba menghafal ayat, lomba menyanyi lagu-lagu rohani, oiya di kelas atau di kanopi juga biasanya ada 3-4 lagu rohani yang di nyanyikan sebelum masuk lagu dengan tema tertentu yaa. Kemudian setiap hari, selasa, jumat dan sabtu kita stel lagu rohani di sekolah.” (P0, 29 April 2016)

Data yang dikumpulkan dari observasi atau pengamatan, peneliti menemukan bahwa semua partisipan menggunakan bentuk-bentuk kegiatan yang berkaitan dengan spiritual atau rohani. Hal ini ditunjukan dengan adanya kegiatan berdoa yang dilakukan setiap hari sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Selain itu ada juga kegiatan yang dilakukan setiap hari Sabtu di mana anak-anak bersama-sama melakukan ibadah bersama. Menggunakan lagu-lagu rohani saat berdoa di kanopi juga digunakan oleh para partisipan dalam mengenalkan anak akan Tuhan. Sementara itu, cerita-cerita alkitab yang sederhana digunakan setiap hari sebelum guru masuk dalam pembelajaran sesuai tema. Cerita-cerita yang ada disesuaikan dengan tema yang sedang dipelajari.

Berdasarkan hasil dokumentasi dalam RKH (Rencana Kegiatan Harian) dan RKM (Renacana Kegiatan Mingguan) terdapat rencana-rencana kegiatan yang dijalankan dalam setiap harinya. Kegiatan berdoa dilakukan 3 kali dalam satu hari yang terbagi dalam berdoa pagi di kanopi, berdoa sebelum makan dan berdoa sebelum pulang. Selain itu, cerita alkitab selalu didahulukan sebelum masuk dalam pembahasan tentang tema. Terdapat juga beberapa lagu yang sudah disiapkan didalam RKM dan RKH yang disesuaikan dengan tema yang ada (lampiran 6). Sementara itu, program semester yang disusun oleh guru juga menjadi acuan bagi guru untuk mengadakan bentuk-bentuk kegiatan yang dapat mengenalkan anak


(32)

kepada Tuhan sebagai bagian dari pembentukan moral (lampiran 6). Hal ini menjadi bukti bahwa guru memang melakukan pembimbingan kepada anak-anak untuk mengenalkan mereka kepada Tuhan dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan terprogram sebagai bentuk tugasnya dalam membimbing pembentukan moral anak.

Kutipan-kutipan dan data di atas memberi gambaran mengenai betapa pentingnya doa serta firman Tuhan bagi perkembangan anak. Untuk memahami siapa sang pencipta dan apa kehendakNya, doa serta mempelajari firman Tuhan merupakan senjata yang ampuh dan langkah yang tepat. Sebagai manusia, kita tidak terlepas dari sentuhan Sang Pencipta yang terus berkarya dalam hidup kita untuk menjadikan kita menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan berakhlak. Dalam hubungannya dengan anak, doa serta firman Tuhan sedapat mungkin berakar dan menjadi pedoman hidup. Melalui doa, lagu-lagu rohani dan firman Tuhan, anak dapat membangun relasinya secara pribadi dengan Tuhan. Mereka akan secara langsung mengenal serta memahami maksud serta tujuan Tuhan dalam menjalani hidup.

b. Menuntun Anak Menghargai Dirinya

Selain membimbing anak mengenal Tuhan, anak juga perlu dibimbing untuk menghargai dirinya sendiri. Hal tersebut dilakukan agar anak tidak merasa disepelehkan, minder atau merasa rendah diri dalam segala situasi. Anak akan menganggap dirinya berarti dan kehadirannya adalah anugerah terindah dari yang Maha Kuasa.

Berhubungan dengan kondisi ini, beberapa hal diungkapkan oleh partisipan mengenai cara mereka menuntun anak mengahargai dirinya. Hampir semua partisipan melakukan hal ini dengan memberi motivasi, pujian ataupun dorongan dengan menggunakan kata-kata positif. Tujuan pemberian dukungan tersebut adalah untuk membangun rasa percaya diri anak sehingga anak tidak merasa minder dengan keadannya. Anak dapat menjadi pribadi yang belajar untuk bertanggung jawab, mandiri, bersemangat serta disiplin. Selain itu, ketika anak sudah mampu menghargai


(33)

dirinya dengan baik, ia pun akan mampu menghargai orang lain dengan porsi yang sama. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat dilihat pada kutipan partisipan berikut:

“Saya akan membawa dia untuk mengatakan bahwa kamu itu bisa, kamu itu pandai, kamu itu anak Tuhan dan kamu pintar, kamu bisa jadi kamu tidak usah takut dengan apa yang sudah kamu lakukan. Alasannya supaya anak itu tidak minder kepada teman, guru dan lebih percaya pada dirinya. (P1, 11 April 2016)

“Terus memberikan kata-kata positif pada anak tersebut. Jadi misalnya kita ajak anak-anak lain untuk ikut memberi suport atau dukungan pada anak tersebut. Dengan menghargai dirinya, anak belajar untuk bertanggung jawab, mandiri, disiplin, dan bersemangat.” (P2, 13 April 2016)

Selain memberikan semangat, pujian maupun dorongan, partisipan 3 juga menyatakan bahwa dia menggunakan kegiatan show and talend di mana setiap kali anak-anak mengakhiri sebuah tugas yang diberikan kegiatan ini digunakan untuk memberikan kesempatan pada anak menunjukan kepada guru maupun teman-teman yang lain hasil karya yang telah dilakukan. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan sebuah kepercayaan diri pada anak selain itu anak-anak yang lain juga belajar bagaimana memberikan penilaian kepada hasl dari kerja temannya, mereka belajar menghargai hasil karya orang lain. Setiap tugas yang telah dikerjakan oleh anak ada timbal balik yang dilakukan oleh guru di mana guru memberikan penilaian-penilaian misalnya memberi gambar binang atau smile yang bermakna bahwa guru menghargai apa yang telah dilakukan oleh anak dan anakpun belajar menghargai apa yang telah dia kerjakan. Hal tersebut diungkapkan dalam pernyataan berikut

“Terkadang melakukan misalnya kalau hasil karyanya sudah jadi ada kegiatan show and talend begitu. Anak-anak menunjukan hasilnya kepada teman-temannya. Kemudian minta anak-anak yang lain memberi aplouse supaya mereka bisa percaya diri. Selain itu menghargai dengan memberi bintang pada anak dilembar tugasnnya kalau dia berhasil mengerjakan sendiri tugas, begitu” (P3, 21 April 2016)


(34)

Pernyataan tersebut juga ditambahkan oleh partisipan tambahan di mana beliau menyatakan bahwa cara guru membimbing anak untuk dapat menghargai dirinya sendiri yaitu dengan tidak memberikan kata-kata negatif misalnya tidak mencelah anak yang bertujuan untuk memotivasi anak dan menumbuhkan rasa kebanggan pada diri anak. Hal-hal tersebut terkutip dalam kutipan berikut

“Untuk menumbuhkan itu yang pertama yang saya lihat adalah guru tidak mencelah dan menggunakan kalimat-kalimat pujian. Kemudian ada sesi di kegiatan sebelum penutup di mana anak mempresentasikan hasil karya yang telah di buat. Biasanya di kelas-kelas guru melakukan itu. Maka otomatis menumbuhkan kebanggaan dirinya dan dilatih untuk menghargai diri sendiri.” (P0, 29 April 2016)

Menuntun anak menghargai dirinya sendiri tentunya berdampak positif terhadap anak itu sendiri. Banyak anak yang merasa malu, minder bahkan takut untuk melakukan sesuatu di hadapan teman dan gurunya karena banyak faktor yang tentu saja mempengaruhi. Faktor lingkungan, keluarga bahkan diri pribadi sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak yang membuat mereka merasa rendah diri dan tidak mampu seperti yang lain. Hal inilah yang membuat rasa penghargaan terhadap diri sendiri berkurang.

Menurut hasil observasi, guru memberikan bentuk pembimbingan kepada anak untuk menghargai dirinya sendiri dengan memberikan metode pemberian tugas kepada anak. Dengan ini banyak nilai-nilai moral atau karakter yang bisa diambil dari kegiatan tersebut. Adanya madding di setiap kelas memberikan kesempatan pada anak untuk melihat hasil karya yang dilakukan oleh anak-anak sehingga rasa bangga dan menghargai dirinya tebentuk. Selain itu, peneliti menemukan bahwa ketika memberikan tugas kepada anak, guru juga sering menggunakan kalimat-kalimat positif misalnya guru memberikan semangat berupa sepengal kalimat “bu guru

senang loh kalau pekerjaannya selesai” atau kalimat-kalimat lain yang bernada positif sehingga anak dapat bertanggung jawab menyelesaikan tugas yang diberikan. Hal ini memnang dilakukan oleh semua partisipan. Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa ada kegiatan yang dilakukan oleh semua partisipan di mana anak


(35)

diberi kesempatan mempresentasikan hasil kerja yang mereka buat sebagai bentuk dari hasil karyanya di akhir sebelum kegiatan inti berakhir. Semua ini dilakukan dan sesuai dengan pernyataan P3 dan P0 yang menyatakan bahwa ada kegiatan show and talend yang dilakukan guru.

Sementara itu, data yang dilihat dalam dokumentasi (lampiran 6) juga membuktikan bahwa ada kegiatan mengulas kembali kegiatan yang dilakukan oleh anak setelah mengerjakan tugas. Kegiatan tersebut selain untuk menggingatkan kembali apa yang dipelajari anak, anak juga diberi kesempatan untuk mempresentasikan apa yang telah dibuatnya pada hari tersebut. Kemudian terdapat juga kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemberian tugas dan unjuk kerja kepada anak dan bertujuan untuk membentuk karakter moral anak yang disusun oleh guru sebagai bagian dari tujuan pembelajaran setiap harinya.

c. Menuntun Anak Bersikap terhadap Keluarga, Orang Lain, Teman, Masyarakat serta Alam Sekitar (Hewan dan Tumbuhan)

Kehidupan anak tentunya tidak terlepas dari keluarga serta orang lain. Seorang anak tentu saja bertumbuh bersama orang tuanya, saudaranya, keluarga yang lain, bahkan orang lain disekitarnya. Dalam kehidupan sehari-hari, penting bagi anak untuk memperhatikan cara berpikir, berkata serta berperilaku. Hal ini dikarenakan, seorang anak akan dinilai seberapa tingginya kualitas moral yang dimilikinya dilihat dari cara hidup serta kebersamaannya dengan orang-orang disekitarnya. Untuk itulah, peran guru sangat diharapkan dalam membentuk moral anak khususnya ketika berada di dunia sekolah.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di TK Kristen 03 Eben Haezer, Salatiga, terdapat berbagai upaya yang dilakukan oleh para guru khususnya dalam membentuk moral anak. Hal tersebut dilakukan untuk mendidik anak tentang bagaimana menghargai orang tua, saudara, teman bahkan orang lain di sekitar anak. Upaya-upaya tersebut terlihat dari peran para guru lewat berbagai tindakan.


(1)

sebagai bentuk dari motivasi jika anak melakukan tidak sesuai dengan pembentuk moral dilakukan agar anak-anak menyadari akibat apa yang didapatkan dari sebuah perbuatan yang salah.

Guru harus mampu memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman yang notabenen tidak menjudge atau menyakiti anak. Namun menurut Sadirman (2006) pemberian hukuman sebenarnya merupakan bentuk dari motivaasi kepada anak jika diberikan secara tepat dan bijak. Namun perlu diketahui bahwa proses pembentukan moral tentunya memerlukan waktu yang tidak singkat. Proses demi proses yang dilalui oleh anak sebenarnya menjadi tugas dari seorang guru untuk memberikan pengalaman belajar bagi anak terkhususnya dalam berbuat baik. guru diberi kesempatan untuk memilih bentuk-bentuk motivasi apa yang harus digunakan kepada anak terkhusus ketika mereka melakukan hal yang tidak sesuai dan diharapkan bentuk motivasi yang digunakan dapat memberikan efek jera atau membuat anak menyadari akibat dari perbuatan salah yang dilakukannya.

c. Bentuk Motivasi yang Efektif

Proses pembentukan moral anak tentunya merupakan proses yang menjadi bagian dari tugas seorang guru. Guru dituntut untuk menjadi motivator atau memberikan semangat pada anak agar proses tersebut berjalan dengan baik. Setiap bentuk motivasi yang diberikan oleh guru tentunya ada sebagin yang menjadi bentuk motivasi paling efektif yang sering digunakan oleh para guru. berdasarkan hasil analisis, pujian, pemberian reward dan penerimaan pujian dari teman sebaya merupakan bentuk-bentuk motivasi yang laing efektif digunakan dalam rangka membentuk moral anak. Dengan mendapat pujian, reward dan pujian dari teman sebaya anak akan termotivasi untuk melakukan hal-hal yang baik.

Metode penguatan atau reinforcement dari teman sebaya. Suparno dalam Gunawan (2000) menjelaskan bahwa interaksi sosial, terlebih interaksi dengan teman- teman sebaya, mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran anak. Penguatan dari teman sebaya selain yang diperoleh dari guru ini diharapkan mampu memotivasi anak. Disamping memberikan semangat kepada anak untuk tetap melakukan nila-nilai moral yang baik, juga merupakan motivasi kepada teman yang


(2)

lain untuk melakukan sesuai yang diharapkan, sebab teman sebaya mempunyai peranan yang penting dalam memgembangkan tingkah laku anak. Oleh sebab itu, dengan melihat bentuk-bentuk motiasi yang efektif tadi, diharapkan guru dapat menumbuhkan motivasi-motivasi pada diri anak sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang baik dan memiliki akhlak yang mulia.

4.3.2.3. Peran Guru sebagai Pembimbing

a. Tindakan Guru untuk Mengenalkan Anak pada Tuhan

Ketika anak mengenal penciptannya dengan sempurna dan semakin dekat dengan penciptanya dalam menjalani kehidupan, apa pun yang dilakukan akan tertuntun dan selalu dalam rel yang benar. Ketika anak mampu menjalin serta menjaga hubungan yang erat dengan Sang Pencipta, ia akan dapat menjalin hubungan baik dengan sesamanya dan berperilaku dengan benar. Firman Tuhan akan menjadi pedoman bagi anak dalam berpikir, berbicara serta bertingkah laku.

Menggunakan kegiatan ibadah bersama, berdoa, mendengarkan cerita dan bernyanyi merupakan metode yang digunakan dalam mengenalkan anak pada Tuhan. Menurut Rianto dalam dalam Zuriah (2008), pengenalan akan Tuhan dapat dilakukan dengan melakuakn kegiatan yang berhubungan dengan akhlak kepada Tuhan salah satunya dengan melakukan ibadah dan doa. Sementara itu, Darmadi (2009) menyatakan bahwa metode bercerita merupakan bagian dari langkah guru mengenalkan anak kepada Tuhan. Pesan-pesan moral yang didapatkan dari metode bercerita diharapkan mampu membawa anak untuk lebih mengenal akan penciptanya. Langkah-langkah atau metode yang digunaka ini diharapkan dapat mengajarkan anak untuk lebih mengenal akan Tuhan sebagai pencipta dan sebagai maha pemberi kehidupan.

b. Menuntun Anak Menghargai Dirinya

Menuntun anak untuk menghargai dirinya sendiri merupakan salah satu hal yang erlu dilakukan guru dalam proses pembentukan moral anak. Berbagi motivasi, dorongan serta pujian dilakukan guru. Adanya kegiatan show and talend serta pujian yang diberikan oleh guru dan juga teman yang lain juga dapat membawa anak bisa


(3)

menghargai dirinya sendiri. Penelitian Prasetyaningsih (2009) menyebutkan bahwa guru menggunakan bentuk pujian dan motivasi kepada anak untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak. Anak pada dasarnya mengharapkan input, masukan serta dorongan agar ia dapat mengembangkan dirinya. Ketika mereka merasa terpuruk dengan diri mereka, guru harus mampu mengangkat mereka. Ketika mereka merasa tidak mampu, guru harus bisa merangsang mereka dengan kata-kata yang membangun agar mereka tidak larut dengan kondisi mereka.

Anak perlu dibekali dengan prinsip bahwa ia memiliki sesuatu yang telah dianugerahkan Tuhan yang tentunya sama dengan orang lain. Anak perlu dirangsang dengan ungkapan bahwa ia adalah makluk yang memiliki arti, nilai serta kemampuan yang patut untuk dikembangkan untuk menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab serta memiliki prinsip yang kuat dalam menghadapi masa depannya. Anak perlu dibekali dengan kata serta tindakan yang akan membangkitkan semangat bahwa ia juga individu yang berpotensi. Hal-hal tersebut tentunya akan membuat anak menghargai dirinya sendiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia.

c. Menuntun Anak Bersikap terhadap Keluarga, Orang Lain, Teman, Masyarakat serta Alam Sekitar (Hewan dan Tumbuhan)

Seperti yang dikatakan dalam latar belakang bahwa pembentukan moral anak perlu dilakukan sejak dini sangatlah tepat mengingat fenomena kehidupan yang selalu berubah sesuai dengan tuntunan zaman. Anak bisa saja tidak akan menghargai orang tua dan menganggap orang tua hanyalah individu yang biasa. Anak bisa saja tidak menaruh rasa hormat dan penghargaan pada orang lain atau saudaranya sendiri karena tidak ada kesadaran yang benar-benar lahir dari hatinya. Anak bisa saja tidak menganggap temannya sebagai individu yang harus diajak berbagi karena pemahaman yang rendah akan pentingnya seorang sahabat. Anak pun tidak akan peduli terhadap lingkungan sekitarnya termasuk tumbuhan dan hewan karena tidak ada rasa kepedulian yang tertanam dalam dirinya.

Ketika kondisi ini dianggap sebagai masalah, di sinilah peranan guru diharapkan dan dibutuhkan. Guru harus jeli dalam menggunakan berbagai strategi yang tepat untuk menuntun anak. Awalnya anak perlu dituntun untuk memahami dan


(4)

menghargai siapa dirinya. Ketika ia mampu mengenal dirinya, bersyukur atas apa yang dimilikinya, tidak merasa minder, malu ataupun rendah diri, anak pun dapat menerapkan sikap-sikap tersebut kepada orang lain. Ketika pendekatan lewat pembicaraan tidak mempan, maka melibatkan anak secara langsung akan lebih bermanfaat. Seperti istilah yang mengatakan “Tell me and I forget, show me and I remember and involve me and I understand.” Ketika anak secara langsung mengambil bagian dalam mempraktekkan sesuatu, hal tersebut akat terus berbekas dalam benaknya dan akan selalu dilakukan dalam kehidupannya.

Sebagai contoh, ketika anak membuat masalah ia perlu dinasehati dan ditegur. Namun, cara lain adalah meminta dia untuk menyelesaikan masalah tersebut baik melalui tuntunan guru atau menyelesaikannya sendiri. Ketika anak misalnya bertengkar dengan temannya dan ia dengan besar hati mau menghampiri temannya dan meminta maaf, hal tersebut akan membawa suatu makna yang besar dalam proses pembentukan moralnya. Jika anak mau merawat, menyiram tanaman, atau memberi makan hewan sendiri, ia telah mempraktekan suatu sikap kepedulian yang tinggi terhadap alam sekitarnya. Menurut Darmadi (2009) guru dapat menggunakan metode bermain, bercerita, bercakap-cakap dan pemberian tugas sebagai langkah untuk membentuk moral anak.

Meskipun menuntun anak untuk menghargai dan menghormati individu lain serta alam sekitar membutuhkan proses yang panjang, tetapi keberhasilan proses tersebut akan melahirkan individu-individu yang bermoral serta berakhlak mulia. Tentunya banyak pengaruh yang akan mempengaruhi anak seiring pertumbuhannya. Namun, suatu kebiasaan yang baik yang tertanam sejak kecil dalam diri anak pastinya akan terus dipegang terus-menerus dan menjadi pedoman bagi anak dalam bersikap. Oleh karena itu, mengarahkan, menasehati, menyampaikan pesan-pesan moral, melakukan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada perkembangan moral serta melibatkan anak dalam mempraktekan perilaku-perilaku positif akan sangat membantu dalam membentuk pribadi anak yang mau menghargai dan menghormati orang lain serta alam sekitar.


(5)

d. Cara Menuntun atau Mengubah Sikap Anak yang Negatif

Mendekati, berbicara dengan anak dan meminta anak berdoa bisa membawa dampak positif bagi anak ketika ia melakukan kesalahan. Dengan mendekatinya dan mengajak bicara secara perlahan, ada ikatan emosional yang tinggi yang bisa dirasakan oleh anak sehingga ia merasa nyaman untuk mengakui kesalannya. Anak dapat dengan bebas mengungkapkan apa yang memotivasinya sehingga melakukan hal negatif. Hal tersebut tentunya akan membangkitkan jiwa anak yang mau dengan lapang mengakui perbuatannya.

Selain itu, teguran, peringatan serta nasehat juga sangat penting dan harus terus-menerus dilakukan. Ketika anak melakukan kesalahan, guru tidak boleh membiarkan sehingga hal tersebut bertumbuh menjadi kebiasaan. Teguran ataupun peringatan kepada anak dapat memberi efek jera untuk tidak mengulangi perbuatan negatif. Porsi anak dalam hal bimbingan tentunya tidak bisa disamakan dengan porsi orang dewasa. Anak membutuhkan teguran, nasehat serta bimbingan yang lunak bukan dengan cara yang keras. Sementara itu, memberi kesempatan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri juga merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan. Dalam kondisi ini, anak dilatih untuk mandiri, bertanggung jawab dan percaya diri, berani mengakui kesalahannya serta berjiwa besar dalam menyelesaikan persoalan. Ketika anak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, maka ia telah belajar untuk menyelesaikan persoalan yang lebih besar dan kompleks seiring perkembangan usiannya. Anak dilatih untuk tidak bergantung pada orang lain tetapi belajar serta berani mengambil langkah untuk menyelesaikan. Hal ini pun berdampak positif kepada anak di mana ia tidak akan mengulangi hal yang sama.

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa guru sebagai pembimbing harus mampu menentukan sikap serta mengambil langkah yang akurat dalam mengatasi anak yang suka melakukan hal negatif. Namun, pengambilan sikap harus benar-benar memberi dampak positif bagi perkembangan mental serta moral anak tanpa merugikan anak itu sendiri. Anak pasti berubah asalkan langkah yang dilakukan memiliki efek yang positif baginya.


(6)

4.3.3. Hambatan dalam Pembentukan Moral

Setiap hambatan yang dialami oleh guru menjadi bagian dari proses yang dialami dalam usahanya membentuk moral anak. Salah satu kendala yang dihadapi adalah dari kepribadian anak itu sendiri. Terkadang anak memiliki keunikan-keunikan tersendiri yang perlu mendapat perhatian khusus dari guru. Keunikan-keunikan sifat bawaan anak menjadi bagian tersendiri yang harus dihadapi. Hartman dalam Prasetyaningsih (2009) menyatakan bahwa setiap anak lahir dengan rangkaian sifat-sifat kepribadian yang unik. Tentunya sikap-sikap yang ada pada anak sejak lahir baik itu yang baik maupun yang tidak perlu menjadi perhatian bagi setiap orang yang menjadi bagain dari proses perkembangan mereka. Sifat baik pada anak tentunya perlu untuk dipertahankan namun sikap yang kurang baik harusnya menjadi bagian dari tugas orang dewasa dalama hal ini guru untuk mengurangi bahkan menghilangkan sehingga anak dapat bertumbuh menjadi pribadi yang baik.

Selain itu, lingkungan juga menjadi bagian yang tidak terlepas dari tumbuh dan kembang anak. Ketika tidak ada konsistensi antara lingkungan sekolah dan lingkungan rumah anak dalam memberikan peran mereka untuk mengembangkan moral anak maka akan terjadi kejanggalan pada anak. Anak-anak akan binggung mengikuti tindakan atau aturan mana yang baik padahal mereka belum mampu untuk mengetahui tindakan apa yang dikategorikan benar dan salah. Dibutuhkan sebuah konsistensi dan pembiasaan-pembiasaan baik yang dilakukan di sekolah maupun di rumah sehingga anak-anak dapat meniru dan mengikuti nilai-nilai moral yang diajarkan pada mereka. Untuk itu, pihak sekolah dan orang tua harus benar-benar dapat bekerja sama untuk menciptakan sebuah suasana lingkungan yang kondusif bagi anak terkhususnya dalam memberikan nilai-nilai moral pada mereka. Anak membutuhkan support berupa model, dukungan (motivasi) dan cara membimbing yang baik dari orang tua maupun guru serta masyarakat sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang beakhlak mulia.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 272012023 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 272012023 BAB II

0 1 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 272012023 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga

0 0 55

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 462008057 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 462008057 BAB II

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 462008057 BAB IV

0 0 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 462008057 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Peran Serta Orang Tua Dalam Pendampingan Anak pada Fase Falik di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga

0 0 13