PANDANGAN GENERASI MUDA DAN TUA MENGENAI FENOMENA MITOS GERHANA BULAN (BULAN GERRING)DI DUSUN PENGALANGAN DESA MACAJAH TANJUNGBUMI BANGKALAN.
PANDANGAN GENERASI MUDA DAN TUA MENGENAI FENOMENA MITOS GERHANA BULAN (BULAN GERRING)
Di Dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan
SKRIPSI Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.sos) dalam Bidang Sosiologi
Oleh:
Nenni Apriliani B05212035
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU SOSIAL PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
(2)
(3)
(4)
(5)
ABSTRAK
NENNI APRILIANI, NIM B05212035. Pandangan Generasi Muda dan Tua mengenai Fenomena Mitos Bulan Gerring di Dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan
Kata Kunci : Mitos, Gerhana Bulan, Tradisi.
Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat secara turun-temurun. Tradisi tidak semata-mata terbentuk begitu saja dalam suatu masyarakat. Terdapat pengaruh-pengaruh dari luar, dan masyarakat meyakini pengaruh tersebut dan menghasilkan tradisi. Sehingga peneliti memunculkan rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut: Bagaimana pandangan masyarakat generasi muda dan tua terhadap mitos gerhana bulan (bulan gerring) di dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan. 2. Bagimana tradisi membangunkan manusia, tumbuhan, dan hewan ternak pada malam gerhana bulan (bulen gerring) muncul, berkembang dan dilestarikan di dusun Pengalangan desa Mcajah Tanjungbumi Bangkalan. Dalam penelitian ini, menggunakan metode kualitatif deskriptif.
Untuk menjawab rumusan masalah, peneliti menggunakan teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger yang memiliki konsep Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi. Dan hasil temuan dari penelitian ini, yakni (1) Tradisi yang di
lakukan masyarakat pada malam bulan gerring, yaitu melakukan ritual mencuci
wajah, membangunkan pepohonan dan binatang ternak. (2) Mitos Bulan Gerring,
Cerita rakyat yang terkait datangnya Bulan Gerring atau Gerhana Bulan, yakni
anak dari bu Randhe si penghuni bulan, tepelecok, telobuk, dan menghilang. Yang kemudian menghasilkan tradisi. (3) Tujuan yang dilakukan masyarakat, yakni untuk mendapatkan berkah. (4) Masyarakat memiliki pandangan bahwasanya tradisi yang dilakukan pada malam Bulan Gerring atau Gerhana Bulan merupakan suatu keharusan dan wajib. Meskipun mereka tidak mengetahui apa sebenarnya korelasi antara cerita rakyat dan tradisi yang dilakukan. Tradisi tersebut memang sudah ada sebelum mereka di lahirkan, memang suatu tradisi yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Sehingga, individu dalam masyarakat tersebut, disadari ataupun tidak, tradisi itu sudah mendarah daging dalam pemikiran mereka.
(6)
ABSTRACT
NENNI APRILIANI, NIM B05212035. The Opinion about the Phenomenon of Lunar Eclipse Myth by Young and Old Generation in Pengalangan, Macajah village Tanjungbumi Bangkalan.
Keys Words : Myth, Lunar Eclips, Tradition
Tradition is a custom practice by individual within a community from one generation to next. Tradition is not solely created for granted in community. There are some influences from outside, and it is believed by community so it creates a tradition. Based on the statement above, the researcher make some problems in this study, as follows: (1) How does the opinion of community of young and old generation against lunar moon (bulan gerring) myth in Pengalangan, Macajah village Tanjungbumi Bangkaan. (2) How does the tradition awaken human, palnt, animal on the night of lunar moon (bulan gerring) emerged, evolved and been preserved in Pengalangan, Macajah village Tanjungbumi Bangkaan. This study uses descriptive qualitative method.
To answer the problems formulation, the researchers used the theory of social construction by Peter L. Berger who have the concept of Externalization, Objectivities, and Internalization. And the finding of this study are, (1) The tradition which is practiced by community on the moon gerring night is washing face, waking the plant and animal. (2) Bulan gerring myth, folklore that related to the coming of moon gerring or lunar eclipse is the san of Mrs. randhe as the
inhabitant of the moon , tepelecok , telobuk, and disappeared then it produce a
tradition. (3) The purpose is done by the community is for get blessings. (4) The
community had opinion that the tradition on night of moon gerring or lunar eclipse is imperative and obligatory. Although they do not know what exactly is a correlation between folklore and tradition done. The tradition was already there before they born, it is a tradition that has been done for generations. Thus, individual in the societies, consciously or not, that tradition is ingrained in their thinking.
(7)
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... i
PENGESAHAN TIM PENGUJI ………. ii
MOTTO ……… iii
PERSEMBAHAN ……… iv
PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULIS SKRIPSI v ABSTRAK ……….. vi
KATA PENGANTAR ……… vii
DAFTART ISI ……… viii
DAFTAR TABEL ……….. ix
DAFTAR SKEMA ………. x
DAFTAR GAMBAR ………. xi
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ………. 1
B. RUMUSAN MASALAH ………. 5
C. TUJUAN MASALAH ………. 5
D. MANFAAT PENELITIAN ………. 6
E. PENELITIAN TERDAHULU ……… 6
F. DEFINISI KONSEPTUAL ………. 8
G. METODE PENELITIAN a. Pendekatan dan Jenis Penelitian …..….……….…… 14
b. Lokasi dan Waktu Penelitian …..……...……….…... 16
c. Pemilihan Subyek Penelitian ……….……….….. 16
d. Tahap-tahap Penelitian ………...………... 17
e. Teknik Pengumpulan Data ………….………... 20
f. Teknik Analisis Data ………..…….……….. 21
g. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ….……….. 21
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ..………... 22
BAB II KONSTRUKSI SOSIAL A. ALAM SEBAGAI OBJEK-SUBJEK ……… 24
B. REALITAS SOSIAL, KONSTRUKSI SOSIAL DALAM PANDANGAN PARADIGMA DEFINISI SOSIAL KONSTRUKTIVISME ……….. 25
(8)
SEBAGAI TEORI DAN PENDEKATAN DALAM
PARADIGMA KONSTRUKTIVISME ……… 27
D. GAGASAN BERGER DAN LUCKMAN
TETANG EKSTERNALISASI, OBYEKTIVASI
DAN INTERNALISASI ……….. 31
BAB III PANDANGAN GENERASI MUDA DAN TUA MENGENAI FENOMENA MITOS GERHANA BULAN (BULAN GERRING)
Di Dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan
A. DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN ……….. 46
B. PENYAJIAN DATA ………. 54
C. ANALISIS DATA ………. 72
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN ……….... 83
B. SARAN ……… 84
DAFTAR PUSTAKA ……….. 85
JADWAL PENELITIAN LAMPIRAN
Pedoman wawancara Gambar
(9)
DAFTAR TABEL
TABEL 1.1. Pemilihan Subyek Penelitian ……… 17
TABEL 1.2. Jarak Antar Desa ……….. 48
TABEL 1.3. Jumlah Penduduk Perdusun Desa Macajah ……… 48
TABEL 1.4. Fasilitas Keagamaan Desa Macajah .……….. 51
TABEL 1.5. Jumlah Sekolah Desa Macajah .……….. 52
(10)
DAFTAR SKEMA
SKEMA 2.1. Peta Alur Berfikir Teor ……….. 45 SKEMA 2.2. Implikasi Teori ……….……….. 76
(11)
DAFTAR GAMBAR
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat merupakan ruang tempat terjadinya berbagai macam proses sosial, karena adanya proses sosial tersebut dapat menciptakan banyak keunikan dari berbagai aspek, baik itu aspek budaya maupun sosial. Keunikan tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara mereka hidup dan menanggapi berbagai macam rangsangan dari luar maupun dari dalam lingkungan mereka sendiri, baik itu rangsangan dari sesama individu dalam masyarakat itu maupun rangsangan dari sekitar lingkungan mereka yang berupa alam.
Madura adalah suatu wilayah yang memiliki empat kabupaten yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, dengan masyarakat yang memiliki ciri khas yang berbeda-beda, baik dari segi bahasa maupun budaya. Banyak sekali budaya Madura yang sudah dikenal, baik nasional maupun internasional, seperti budaya carok yang melibatkan antara dua laki-laki maupun lebih yang dapat menimbulkan korban jiwa, atau seperti remoh yang merupakan cara masyarakat Madura berpesta, maupun hajatan dengan melibatkan banyak orang dan masih banyak sekali budaya atau tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Madura. Selain itu, mitos leluhur maupun mitos alam yang sangat kuat dikalangan masyarakat dan sangat dipercayai masyarakat Madura. Ketika mitos leluhur maupun mitos alam
(13)
2
yang memiliki tradisi tertentu, tidak dilaksanakan menurut masyarakat, memang tidak akan berdampak fatal bagi masyarakat itu sendiri, namun segala sesuatu yang mencakup tradisi yang biasa mereka lakukan, tidak mungkin jika tidak melakukan, sebab hal itu sudah menjadi kewajiban, meskipun individu dalam masyarakat tersebut hanya manut-manut saja dengan apa yang dilakukan individu lainnya. Mitos-mitos leluhur maupun mitos alam tersebut tak kalah uniknya dengan berbagai budaya dan perbedaan bahasa yang dimiliki oleh masyarakat madura.
Indonesia yang dulunya sangat terkenal dengan kepercayaan nenek moyang yakni animisme dan dinamisme, animisme merupakan kepercayaan terhadap nenek moyan dan dinamisme yakni kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap sakral oleh masyarakat. Saat ini sedikit banyaknya masih kental ditengah-tengah masyarakat meski sudah
terdapat unsur keagamaan. Dikabupaten Bangkalan kecamatan
Tanjungbumi desa Macajah dusun Pengalangan, memiliki berbagai macam tradisi yang di mulai dengan adanya mitos leluhur maupun mitos alam yang dipercayai oleh masyarakat tersebut, yang salah satunya yakni mitos
gerhana bulan atau yang biasa dikenal dengan bulan gerring oleh
masyarakat Madura. Bulan dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang tetap namun berbeda pengucapan bahasanya. Jika dalam bahasa Madura,
bulan di baca bulen dan Gerring memiliki arti sakit, apabila digabungkan
dari arti perkata tersebut yakni bulan sakit. Masyarakat Madura meyakini
(14)
3
yang jika di artikan dalam bahasa Indonesia, bu dapat diartikan ibu dan
Randhe yaitu janda. Jadi bu Randhe dalam bahasa Indonesia memiliki arti
ibu janda. Mitos tentang adanya penghuni di dalam bulan yang bernama bu Randhe sangat terkenal dikalangan masyarakat Madura. Masyarakat
Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan mengartikan
bahwasanya jika gerhana bulan atau bulan gerring terjadi, anak dari
penghuni (bu Randhe) bulan tersandung batu ketika ia berjalan. Maka
terjadilah gerhana bulan atau bulan gerring.
Meskipun kepercayaan dan pengartian masyarakat dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan seperti itu, namun terdapat beberapa wilayah yang menyikapi datangnya gerhana bulan, berbeda-beda. Ketika bulan gerhana tiba, biasanya masyarakat pada umumnya melakukan shalat gerhana bulan sesuai anjuran agama, ada juga yang melakukan shalat gerhana bulan dengan ritual mandi kembang dan masih banyak lagi kebiasaan unik yang dilakukan masyarakat ketika datangnya gerhana bulan. Namun masyarakat dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan ini, tidak melakukan sesuatu yang dilakukan masyarakat pada umumnya sesuai anjuran agama. Mereka memiliki kebiasaan tersendiri terkait ketika gerhana bulan tiba, terdapat pemaknaan-pemaknaan tersendiri yang dimiliki masing-massing kalangan masyarakat mengenai tradisi ketika datangnya gerhana bulan, dan ada juga yang menganggap tradisi yang dilakukan terbilang aneh, namun tradisi tetaplah tradisi yang bisa dikatakan sulit untuk dihilangkan.
(15)
4
Masyarakat dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan ini memiliki tradisi membangunkan seluruh makhluk hidup yang diciptakan tuhan yakni manusia, tumbuhan dan hewan ternak. Terdapat suatu kepercayaan yang bisa dikatakan mistis ketika mereka tidak melakukan kebiasaan yang turun-temurun dilakukan oleh nenek moyang. Hewan-hewan yang dibangunkan Seperti binatang ternak sapi atau kambing dan pepohonan seperti pohon mangga, pisang, nangka dan lain sebagainya. Tradisi membangunkan pepohonan biasanya dilakukan
dengan cara memukul-mukul pohon sembari berucap “jhegeh… jhegeh…
jhegeh…” atau jika dalam bahasa Indonesia memiliki arti “bangun… bangun… bangun…”.
Masyarakat khususnya dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan mempercayai jika tradisi tersebut tidak dilakukan maka tumbuhan atau binatang ternak yang tidak dibangunkan akan mati. Berbeda lagi dengan pemaknaan individu lain, yang ada didusun Pengalangan tersebut, ia memiliki pernyataan bahwasanya tujuan melakukan tradisi tersebut agar pepohonan yang dibangunkan akan berbuah, seperti pohon manga, pohon nangka dan lain sebagainya. Kepercayaan tersebut juga berlaku pada manusia, jika saat gerhana bulan, orang yang tidur tidak dibangunkan maka orang tersebut akan memiliki mata sipit. Tidak hanya itu, ritual-ritual kecil yang dilakukan pada malam gerhana bulan (bulen gerring) yang dipercaya akan membawa perubahan besar pada diri individu dalam konteks fisik dari individu terkadang
(16)
5
dilaksanakan masyarakat dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan pada umumnya, yakni seperti mengusapkan kunyit pada bagian tubuh yang terkena panu akan dapat menghilangkan penyakit kulit tersebut, dan juga mencuci muka dengan air perasan parutan kunyit akan membuat kulit wajah akan tampak cerah dan cantik. Kemudian terdapat
larangan pada malam gerhana bulan (bulan gerring) dilarang berada di
bawah kolong, sebab hal itu mengakibatkan bentuk tubuh seseorang akan berubah menjadi pendek.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan masyarakat generasi muda dan tua terhadap mitos
gerhana bulan (bulan gerring) di dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan?
2. Bagimana tradisi membangunkan manusia, tumbuhan, dan hewan ternak
pada malam gerhana bulan (bulan gerring) muncul, berkembang dan dilestarikan di dusun Pengalangan desa Mcajah Tanjungbumi Bangkalan? C. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui Bagaimana pandangan masyarakat generasi muda dan
tua terhadap mitos gerhana bulan (bulan gerring) di dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan
b. Untuk mengetahui dan memahami Bagimana tradisi membangunkan
manusia, tumbuhan, dan hewan ternak pada malam gerhana bulan (bulan gerring) muncul, berkembang dan dilestarikan di dusun Pengalangan desa
(17)
6
D. Manfaat Penelitian
Setelah menguraikan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan, peneliti melihat terdapat dua manfaat dari hasil penelitian ini, yakni:
1. Secara Teoretis
Penelitian ini dapat memberikan penjelasan mengenai pemahaman masyarakat yang khususnya generasi muda dan tua terkait mitos gerhana bulan (bulan gerring) dan memberikan penjelasan mengenai Bagimana tradisi membangunkan manusia, tumbuhan, dan hewan ternak pada malam gerhana bulan (bulan gerring) muncul, berkembang dan dilestarikan di dusun Pengalangan desa Mcajah Tanjungbumi Bangkalan
2. Secara Praktis
Sebagai bahan refrensi bagi mahasiswa yang ingin menindak lanjuti penelitian terkait mitos yang berada ditengah-tengah masyarakat, dan tentunya mitos tersebut memiliki tradisi yang bisa dikatakan unik, menarik dan merupakan suatu identitas bagi masyarakat.
E. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai mitologi gerhana bulan (bulan gerring) sebelumnya belum pernah dilakukan, namun terdapat penelitian mengenai mitologi/mitos yang ada di masyarakat yang dilakukan oleh Husnul
Khotimah pada tahun 2011yang berjudul “Mitologi Masyarakat Madura
(Studi Tentang Konstuksi Sosial Atas Upacara Arokat Makam di Desa
Gunung Rancak Kecamatan Eobatal Kabupaten Sampang)” prodi
(18)
7
merupakan penelitian yang relevan dengan fokus penelitian mitologi gerhana bulan (bulan gerring), sebab memiliki persamaan fokus yakni konstruksi masyarkat terkait upacara arokat makam Desa Gunung Rancak Kecamatan Robatal Kabupaten Sampang dan pandangan masyarakat sekitar terhadap upacara arokat makam di Desa Gunung Rancak Kecamatan Robatal Kabupaten Sampang tersebut. Persamaan dari penelitian tersebut dengan penelitian ini yakni, penelitian ini terkait pada kepercayaan mitologi karena kejaidan alam yaitu gerhana bulan (bulan gerring), sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Husnul Khotimah terkait pada kepercayaan mitologi nenek moyang. Dan kedua kepercayaan mitologi tersebut sama-sama menghasilkan tradisi di dalam masyarakat. Penelitian lapangan yang dilakukan Husnul Khotimah di temukan bahwa budaya Arokat Makam yang memadukan dengan ajaran-ajaran agama dengan budaya setempat yang diwariskan oleh leluhurnya dengan tujuan untuk mendapatkan keberkahan dan keselamatan.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Nurul Hasanah tahun
2012 mengenai “Konstruksi Sosial Tradisi Ontal-ontal Masyarakat Di
Desa Merandung Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan” prodi Sosiologi, fakultas Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang memiliki fokus bentuk konstruksi sosial tradisi "Ontal-Ontal", tipologi masyarakat dalam mengkonstruksi tradisi "Ontal-Ontal", serta kaitan antara stratifikasi sosial masyarakat dengan tradisi "Ontal-Ontal" di Desa Mrandung Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan. Meskipun orientasi pnelitian
(19)
8
ini lebih kepada mitologi gerhana bulan (bulan gerring), namun terdapat tradisi yang dihasilkan masyarakat melalui mitologi yang mereka percayai yakni membangunkan makhluk hidup. Penelitian lapangan yang dilakukan Nurul Khasanah di temukan bahwa Tradisi Ontal-Ontal yang merupakan budaya setempat yang diwariskan oleh leluhurnya dengan tujuan tetap melestarikan budaya yang sudah lama dilakukan secara turun temurun. Dimana dalam pelaksanaannya mempengaruhi tingkat kedudukan masyarakatnya.
Dari kedua judul sebagai penelitian yang relevan dengan penelitian yakni terdapat persamaan tradisi namun terdapat perbedaan mengenai asal-usul tradisi tersebut yang dihasilkan masyarakat. Terdapat tradisi membangunkan makhluk hidup pada malam gerhana bulan (bulan gerring), tradisi upacara arokat makam yang dipengaruhi oleh mitologi nenek moyang, dan tradisi ontal-ontal dilakukan pada upacara pernikahan atau pertunangan berlangsung. Perbedaan dari penelitian tersebut juga memiliki persamaan, yaitu sama-sama menggunakan teori konstruksi sosial dengan konsep eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi yang dicetuskan oleh Peter L. Berger.
F. Definisi Konseptual
Definisi konseptual pada umumnya memberikan penjelasan mengenai judul dari suatu penelitian. Judul dalam penelitian ini
“Pandangan Generasi Muda dan Tua Mengenai Fenomena Mitos Gerhana
(20)
9
Bangkalan”, penjelasan dari judul suatu penelitian diuraikan satu persatu
dalam definisi konseptual, sebagai berikut.
1) Pandangan yakni benda atau orang yang dipandang (disegani, dihormati,
dsb) atau bisa dikatakan hasil perbuatan memandang (memperhatikan, melihat, dsb), dapat pula memiliki pengertian pengetahuan, dan juga
pendapat2, pandangan yang dimaksud dalam judul yang diteliti merupakan
pendapat dari masyarakat yang ingin diteliti sebagai objek penelitian.
2) Banyak sekali pengertian dari kata generasi, menurut kamus bahasa
Indonesia yakni 1. sekalian orang yang kira-kira sama waktu hidupnya;
angkatan; turunan; 2. Masa orang-orang satu angkatan hidup; kira-kira
dua—lagi bangsa Indonesia sudah dapat berbahasa nasional dengan baik
dan benar- muda kelompok (golongan, kaum) 3. Generation memiliki arti
generasi, angkatan, dan keturunan merupakan periode rata-rata antara kelahiran individu dari suatu species dan permulaan reproduksi; atau
turunan dari dua induk4. Generasi sendiri memiliki maksud angkatan,
muda atau penerus5. Generation adalah sekelompok orang-orang yang
lahir dalam jangka waktu tertentu6. Generasi memiliki indikator perbedaan
usia pada sekelompok orang yang hidup dalam lingkup waktu yang sama. Pendekatan klasik tentang pemuda melihat bahwa masa muda merupakan masa perkembangan yang enak dan menarik. Kepemudaan
2
Departemen pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesai,(Jakarta: BALAI PUSTAKA,1990),643
3
Departemen pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesai,(Jakarta: BALAI PUSTAKA,1990),269
4
Hartinidkk,Kamus Sosiologi dan Kependudukan,(Jakarta: Bumi Aksara,1992)166 5
Zainul Bahry,Kamus Umum,(Bandung: ANGKASA,1993)77 6
(21)
10
merupakan suatu fase dalam pertumbuhan biologis seseorang yang bersifat seketika, dan sekali waktu akan hilang dengan sendirinya sejalan dengan hukum biologi itu sendiri: manusia tidak dapat melawan proses ketuaan. Maka keanehan-keanehan yang menjadi ciri khas masa muda akan hilang sejalan dengan berubahnya usia. Menurut pendekatan klasik ini, pemuda dianggap sebagai suatu kelompok yang mempunyai aspirasi sendiri yang bertentangan dengan aspirasi orang tua atau generasi tua.
Generasi tua sebagai “angakatan yang berlalu” (passing generation), berkewajiban untuk membimbing generasi muda sebagai
generasi penerus, mempersiapkan generasi muda untuk memikul tanggung jawabnya yang makin kompleks. Di pihak lain, generasi muda yang penuh dinamika hidup, berkewajiban mengisi akumulator generasi tua yang makin melemah, disamping memetik buah-buah pengalamannya yang telah terkumpul oleh pengalaman.
Pemuda atau generasi muda merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan dengan masalah “nilai”, hal ini sering lebih merupakan pengertian ideology dan kultural daripada pengertian ilmiah. Pemuda atau generasi muda merupakan istilah demografis dan sosiologis dalam konteks tertentu. Dalam pola dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda bahwa yang dimaksud pemuda adalah:
a) Dilihat dari segi biologis, terdapat istilah
Bayi : 0-1 tahun
(22)
11
Remaja : 12-15 tahun
Pemuda : 15-30 tahun
Dewasa : 30 tahun ke atas
b) Dilihat dari segi budaya atau fungsional dikenal istilah
Anak : 0-12 tahun
Remaja : 13-18 tahun
Dewasa : 18-21 tahun ke atas7
Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, orang lanjut usia merupakan masa transisi dari orang dewasa produktif ke masa menuju kematian. Ketika seseorang mencapai lanjut usia mereka harus belajar bergantung kepada orang lain, belajar untuk tidak terlalu produktif dan menghabiskan sebagian besar untuk
waktu-waktu santai.8
Terdapat pembagian perkembangan masa dewasa, yakni:
1. Dewasa Awal
Dewasa Awal merupakan masa dewasa atau satu tahap yang dianggap kritikal selepas alam remaja yang berumur dua puluhan (20-an) sampai tiga puluhan (30 an). Ia dianggap kritikal karena disebabkan pada masa ini manusia berada pada tahap awal pembentukan karir dan keluarga. Menurut Teori Erikson, Tahap Dewasa Awal yaitu mereka di dalam lingkungan umur
7
Abu Ahmadidkk,Ilmu Sosial Dasar,(Jakarta: Bina Aksara,1988),113-119 8
(23)
12
20 an ke 30 an. Pada tahap ini manusia mulai menerima dan memikul
tanggungjawab yang lebih berat9.
2. Dewasa Madya
Masa Dewasa Madya adalah masa peralihan dewasa yang berawal dari masa dewasa muda yang berusia 40- 65 tahun. Pada masa dewasa madya, ada aspek- aspek tertentu yang berkembang secara normal, aspek-aspek lainnya berjalan lambat atau berhenti. Bahkan ada aspek- aspek yang mulai menunjukkan terjadinya kemunduran- kemunduran.
Pada akhir masa dewasa madya (sekitar usia 40 tahun), kekuatan aspek- aspek psikis ini pun secara berangsur ada yang mulai menurun, dan
penurunannya cukup drastic pada akhir usia dewasa10.
Menurut Lavinson, Masa Dewasa Madya berusia 40-50 tahun. Masa Dewasa Madya adalah masa peralihan dari masa dewasa awal. Pada usia 40 tahun tercapailah puncak masa dewasa. Setelah itu mulailah peralihan ke masa madya (tengah baya antara usia 40-45 tahun), dalam masa ini seseorang memiliki tiga macam tugas:
a. Penilaian kembali pada masa lalu. b. Perubahan struktur kehidupan. c. Proses individuasi.
Artinya seseorang menilai masa lalu dengan kenyataan yang ada saat ini, dan dengan pandangan ke depan seseorang merubah struktur
9
Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta, Gelora Aksara Pratama : 1980 ),277
10
(24)
13
kehidupannya dengan penyesuaian pemikiran rasional pada zaman ini pula. Proses individuasi akan membangun struktur kehidupan baru yang berlangsung sampai fase penghidupan yang berikutnya yaitu permulaan masa
madya (45-50 tahun)11
3. Dewasa Akhir
Masa dewasa lanjut usia merupakan masa lanjutan atau masa dewasa akhir (60 ke atas). Perlu memperhatikan khusus bagi orangtuanya yang sudah menginjak lansia dan anaknya yang butuh dukungan juga untuk menjadi seorang dewasa yang bertanggung jawab
Menurut Lavinson dalam mempelajari fase-fase hidup manusia tertuju pada siklus hidup dari pada jalan hidup seseorang. Jalan hidup seseorang berbeda-beda dari yang satu dengan yang lain, apa yang berubah selama orang itu hidup merupakan struktur kehidupan yang mengatur transaksi antara struktur kepribadian dengan struktur sosial. Lavinson membedakan empat periode kehidupan, yaitu:
1. Masa anak dan masa remaja (0-22 tahun) 2. Masa dewasa awal (17-45 tahun)
3. Masa dewasa madya (40-65) 4. Masa dewasa akhir (60 ke atas)
Antara 17 dan 22 tahun seseorang ada di dua masa. Ia meninggalkan masa pra-dewasa dan memasuki masa dewasa awal yang mencangkup tiga periode,
11
Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta, Gelora Aksara Pratama : 1980 ),319
(25)
14
yaitu; pengenalan dengan dunia orang dewasa (22-28 tahun), di mana orang akan mencari tempat dalam dunia kerja dan dunia hubungan sosial untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil. Pada usia antara 28-33 tahun pilihan struktur kehidupan ini menjadi lebih tetap dan stabil. Dalam fase kemantapan (33-40 tahun) seseorang dengan keyakinan yang mantap menemukan tempatnya dalam masyarakat dan berusaha sebaik-baiknya. Impian yang ada pada (17-33) mulai mencapai kenyataan. Pekerjaan dan keluargan membentuk struktur peran yang memunculkan aspek-aspek kepribadian yang diperlukan dalam fase tersebut. Pada usia 40 tahun tercapailah puncak masa dewasa. Setelah itu mulailah peralihan ke masa madya (tengah baya antara usia 40-45 tahun), dalam masa ini seseorang memiliki tiga macam tugas:
1. Penilaian kembali pada masa lalu 2. Perubahan struktur kehidupan
3. Proses individuasi12
Selanjutnya, terdapat pengertian masa tua (lanjut usia), usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai meninggal, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.
Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Berikut beberapa pendapat mengenai pengertian masa tua :
12
F.J. Monk dkk, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta : Gadjah Mada Universty Press, 2004),326-329
(26)
15
Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok yakni :
a) Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru
memasuki lansia.
b) Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
c) Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70
tahun
Ciri - ciri masa tua
Menurut Hurlock (Hurlock, 1980, h.380) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia, yaitu :
a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran
b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia13.
3) Fenomena/fe-no-me-na/fénoména/ 1. hal-hal yang dapat disaksikan
dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam); gejala: gerhana adalah salah satu -- ilmu pengetahuan; 2. sesuatu yang luar biasa; keajaiban: sementara masyarakat tidak percaya akan adanya pemimpin yang berwibawa, tokoh
13
(27)
16
itu merupakan tersendiri; 3. fakta; kenyataan: peristiwa itu merupakan
-- sejarah yang tidak dapat diabaikan14.
Fenomena dari bahasa Yunani; phainomenon, "apa yang terlihat",
dalam bahasa Indonesia bisa berarti:
a) Gejala, misalkan gejala alam
b) Hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra
c) Hal-hal mistik atau klenik
d) Fakta, kenyataan, kejadian15
4) Mitos yakni cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman
dahulu, yang mengandung penafsiran tentang dewa dan asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam
yang diungkapkan dengan cara gaib16. Mythology yakni perangkat mitos
yang ditemukan dalam suatu masyarakat (mitologi)17. Mitos adalah suatu
dongeng; kisah tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu dengan
diagung-agungkan18. Myth sama dengan mitos, dongeng, isapan jempol
yang dapat diuraikan sebagai suatu dogma yang singkat, suatu cerita yang bersifat keramat, suatu gagasan yang menjamin kepatuhan pada
pimpinan19.
14
http.//kbbi.web.id/fenomena
15
https://id.wikipedia.org/wiki/Fenomena 16
Departemen pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesai,(Jakarta: BALAI PUSTAKA,1990),588
17
Soerjono Soekanto,Kamus Sosiologi,(Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada,1993),325 18
Zainul Bahry,Kamus Umum,(Bandung: Angkasa,1993),179 19
(28)
17
Mite adalah sesuatu yang mengisahkan sebuah cerita; mite adalah sebuah anekdot. Tidak seperti puisi, di mana kata individual semuanya-penting, dalam mite yang menjadi masalah, menurut Levi-Strauss, tidak seperti puisi, diterjemahkan dengan baik. Sebenarnya ia menegaskan bahwa mite-mite tersebut diterjemahkan kurang lebih tanpa kehilangan nilai, sedangkan puisi harus kehilangan beberapa signifikan jika bunyi kata-kata di mana puisi diungkapkan. Mite-mite menurut Levi-Strauss, pada hakikatnya terdiri dari pengisahan cerita. Mite-mite tersebut menghubungkan urutan kejadian yang kepentingannya terletak pada kejadian-kejadian itu sendiri dan dalam detail yang menyertainya. Jadi, mite-mite tersebut selalu terbuka untuk diungkapkan ulang dan khususnya menyadarkan diri pada terjemahan. Dengan kata lain, mite bias dikisahkan
ulang dalam kata-kata yang lain—bisa diparafrasekan dan dipadatkan,
diperluas dan dielaborasi20
5) Gerhana memiliki keterkaitan dengan bulan (matahari) gelap sebagian atau
seluruhnya dilihat dari bumi.—bulan cahaya bulan tidak sampai ke bumi
karena titik pusat geometri bulan, bumi dan matahari terletak pada suatu
garis dan bumi berada di tengahnya;21
Gerhana Bulan dalam bahasa arab berarti Al-Qamar, dalam bahasa
inggris memiliki arti Moon dan Latin berarti Luna. Bulan adalah satelit
bumi yang selalu mengikuti dan tidak pernah meninggalkannya, baik disaat bumi berotasi mengelilingi porosnya maupun waktu beredar
20
Christoper R. Badcock,Levi Strauss,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),73 21
Departemen pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesai,(Jakarta: BALAI PUSTAKA,1990),273
(29)
18
mengelilingi matahari bulan berotasi mengelilingi porosnya dengan kecepatan yang sama, seperti saat mengelilingi bumi. Karena itulah bulan selalu menghadap ke bumi dengan satu wajah.
Selama beredar posisi bumi dan bulan terhadap matahari berubah-ubah. Perubahan ini secara ilmiah diberi istilah Fase bulan (Phase of the moon). Pada saat bulan menempati posisi paling dekat ke matahari, bagian
yang menghadap ke-bumi gelap, tidak kelihatan. Fase ini disebut “Bulan
Muda” (New Moon). Bulan berputar terus maka Nampak fase yang
dinamakan “Bulan Sabit” (Hilal). Ketika posisi bumi dan bulan sama jauhnya dari matahari maka terlihat bulan setengah penuh. Lalu disambung dengan bungkuk. Saat dari bulan baru ke bulan bungkuk, biasa juga disebut “Bulan Muda.” Kemudain terlihat wajah bulan bagaikan piring bundar yang terang cemerlang. Itulah yang popular dengan “Bulan Purnama”(Full Moon). Pada saat ini bulan menempati posisi paling jauh dari matahari, dilihat dari bumi. Akhirnya setelah mencapai fase purnama, terjadi proses kebalikan dari bulan muda. Memaskui bulan tua, bulan semakin menyempit, bungkuk, setengah penuh, berbentuk sabit, hingga mencapai fase bulan baru lagi (bulan mati). Dari bulan baru sampai bulan purnama dinamai orang dengan bulan timbul. Sedang dari bulan purnama
sampai bulan baru disebut bulan surut22.
Gerhana bulan terjadi saat bulan purnama, yaitu saat bumi berada di antara bulan dan matahari. Pada saat itu, bayangan bumi menutupi
22
(30)
19
bulan sehingga bulan purnama menjadi gelap dan berwarna kemerah-merahan. Gerhana bulan ini bisa cukup lama berlangsung, kadang-kadang mencapai beberapa jam. Gerhana matahari tejadi saat bulan berada di antara bumi dan matahari, yaitu saat bulan baru. Peristiwa ini, meskipun berlangsung sebentar saja, besar sekali pengaruhnya pada seluruh makhluk
hidup di bumi, baik hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun manusia23
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a) Pendekatana
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Terdapat beberapa ahli yang memberikan pengertian mengenai kualitatif, Creswell menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan, melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam
setting yang alamiah tanpa adanya intervensi apa pun dari peneliti.
Moleong juga memiliki definisi terkait penelitian kualitatif, penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan
23
(31)
20
mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara
peneliti dengan yang diteliti.24
b) Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, yang merupakan gambaran utuh atau penulisan secara narasi pada data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dan informan. Kemudian peneliti akan melakukan penggalian data, yakni data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data Primer merupakan data yang didapat dari subyek penelitian dengan mencari informan untuk memberikan informasi secara langsung kepada peneliti sebagai sumber informasi yang dicari.
b. Data Sekunder
Data Sekunder merupakan data yang didapat melalui pihak lain. Biasanya data sekunder berbentuk data dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini diarahkan pada Dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan. Sebab masyarakat Dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan memiliki banyak sekali mitologi
24
Haris Herdiansyah,Metodelogi Penelitian Kualitatif,(Jakaarta: Selemba Humanika,2011),8-9
(32)
21
yang menghasilkan tradisi, seperti mitologi nenek moyang dan mitologi fenomena alam gerhana bulan. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 26 November 2015 sampai 26 Desember
3. Pemilihan Subyek Penelitian
Pemilihan subyek penelitian ini difokuskan pada masyarakat dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan dengan memilih perbandingan umur antara generasi tua dan generasi muda, sebab pandangan antara generasi muda dan tua pastinya berbeda ketika menanggapi mitologi yang berada ditengah-tengah masyarakiat. Mitologi pada umumnya hanya dianggap sebatas cerita rakyat biasa, namun mitologi dalam penelitian ini memiliki fokus pada pandangan masyarakat generasi muda dan tua mengenai tradisi yang dilakukan pada malam gerhana bulan. Terkait pemilihan subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut:
(33)
22
Table 1.1
Pemilihan Subyek Penelitian
No Generasi Muda (15 tahun – 30 tahun)
Generasi Tua
(55 tahun ke atas) Status
1 Ibu Suratmi Masyarakat
2 Rus Midah Masyarakat
3 Mang Mus Masyarakat
4 Faizah Siswa
5 Abah Mang Yeri Tokoh Agama
6 Ningrati Mahasiswa
7 Tutik Siswa
8 Nur Jannah Masyarakat
9 Tohari Masyarakat
10 Bu Munaji Masyarakat
11 Bu Mani’a Masyarakat
12 Bu Denan Masyarakat
13 Bu Misriyah Masyarakat
14 Sahruji Guru
4. Tahap-tahap Penelitian
Tahap dalam penelitian ada dua, yakni tahap pra lapangan dan tahap pekerjaan lapangan. Dalam tahap pra lapangan memiliki penguraian tersendiri, begi juga dengan tahap pekerjaan lapangan.
a. Tahap Pra Lapangan
1. Menyusun Rancangan Penelitian
Tahap ini, peneliti membuat usulan penelitian atau proposal penelitian yang sebelumnya didiskusikan dengan dosen pembimbing dan beberapa dosen lain serta mahasiswa. Pembuatan proposal ini berlangsung sekitar satu bulan melalui diskusi yang terus-menerus dengan beberapa dosen dan mahasiswa.
(34)
23
2. Memilih lapangan penelitian
Peneliti memilih di dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan.
3. Mengurus Perizinan
Mengurus perizinan dalam melakukan penelitian ini dilakukan di balai desa Macajah Kecamatan Tanjungbumi Bangkalan
4. Menjajaki dan Menilai Lapangan
Tahap ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang tradisi yang dilakukan masyarakat dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan mengenai mitologi gerhana bulan (bulan gerring). Agar peneliti lebih siap terjun ke lapangan.
5. Memilih dan Memanfaatkan Informan
Tahap ini peneliti memilih seorang informan yang ingin diteliti seperti generasi muda yang berkisar umur 15 tahun - 30 tahun dan generasi tua yang berumur 30 tahun ke atas. Kemudian memanfaatkan informan tersebut untuk melancarkan penelitian.
6. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan segala sesuatu atau kebutuhanyang akan dipergunakan dalam penelitian ini
7. Persoalan Etika Penelitian
Persoalan etika akan timbul apabila peneliti tidak mengindahkan nila-nilai masyarakat dan pribadi tersebut, dan tidak mengindahkan jilai-nilai masyarakat dan pribadi tersebut. peneliti hendaknya menyesuaikan
(35)
24
diri serta membaca baju adat, kebiasaan, dan kebudayaannya, kemudian
untuk sementara ia menerima seluruh nilai dan norma sosial yang ada
dalam masyarakat latar penelitiannya, dan meninggalkan budayanya sendiri.
Peneliti mengusahakan diri untuk menahan diri, menahan emosi, dan perasaan terhadap hal-hal yang pertama kali dilihatnya sebagai sesuatu
yang aneh, menggelikan, tidak masuk akal, dan sebagainya. Peneliti
hendaknya jangan memberikan reaksi yang mencolok dan yang tidak mengenakkan bagi orang-orang yang diperhatikan, sebaliknya ia hendaknya menyatakan kekagumannya. Peneliti hendaknya menanamkan kesadaran dalam dirinya bahwa pada latar penelitiannya terdapat banyak segi nilai, kebiasaan, adat, kebudayaan yang berbeda dengan latar
belakangnya dan dia bersedia menerimanya25.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Dalam tahap pekerjaan lapangan ini, peneliti perlu mempersiapkan beberapa hal berikut:
a) Memahami Latar Penelitian dan Persiapan diri
Tahap ini selain mempersiapkan diri, peneliti harus memahami latar penelitian agar dapat menentukan model pengumpulan datanya.
b) Memasuki Lapangan
Pada saat sudah masuk ke lapangan peneliti menjalin hubungan yang baik dan akrab dengan subyek penelitian dengan menggunakan tutur
25
Lexy J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009)134-135
(36)
25
bahasa yang baik. serta bergaul dengan mereka dan tetap menjaga etika pergulan dan norma-norma yang berlaku di dalam lapangan penelitian tersebut.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Observasi dilakukan untuk melihat langsung keadaan lapangan yang sebenarnya.
Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu26. Interview yang dilakukan
peneliti memiliki pedoman wawancara namun peneliti tidak membatasi informan untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya, dan juga pedoman wawancara tersebut hanya sebagai bahan dasar atau bahan acuan untuk melakukan wawancara, ketika wawancara berlangsung, peneliti akan memberikan pertanyaan sesuai kondisi dan kebutuhan sebab wawancara yang dilakukan merupakan wawancara terarah. Hal ini bertujuan agar peneliti mendapatkan informasi secara mendalam terkait objek yang diteliti.
Dokumentasi yakni data yang diperoleh dari hasil penelitian, baik itu berupa catatan dan foto-foto serta artikel-artikel yang sesuai dengan fakta dan kejadian dari penelitian
26
Lexy J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005),186
(37)
26
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jelas bekerja dengan data, mengoordinasisasikan data, memilaj-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintetsiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain. Analisis data memiliki proses sebagai berikut:
a) Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode
agar sumber datanya tetap dapat ditelususri
b) Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, menintesiskan,
membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya
c) Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna,
mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat
temuan-temuan umum27
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk melakukan pemekrisaan keabsahan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik trianggulasi data. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Dari luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan ialah
27
Lexy J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005),248
(38)
27
pemeriksaan melalui sumber lainnya28. Teknik ini dilakukan dengan cara
menanyakan kembali pertanyaan-pertanyaan terkait informasi yang diperoleh, selain itu juga dengan cara mengajukan pertanyaan kepada informan yang berbeda sebagai bahan pembanding antara informan satu dengan informan yang lainnya. Teknik ini digunakan agar data yang diperoleh peneliti memiliki informasi yang akurat.
H. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan memberikan sedikit penjabaran mengani sub bab dan isi dari penelitian yang dilakukan, mulai dari BAB I PEMBAHASAN hingga BAB IV PENUTUP. Berikut pemaparan singkatnya:
1. BAB I PENDAHULUAN
Pada bab I pendahuluan ini, peneliti mencantumkan latar belakang penelitian yang kemudian disambung dengan rumusah masalaha serta memaparkan tujuan dan manfaat dari penelitian. Selain itu, terdapat juga penelitian terdahulu, definisi konsep untuk memaparkan pendefinisian dari fokus judul penelitian, kerangka teoretik pemaparan terkait teori yang digunakan dalam penelitian ini, serta metodelogi penelitian.
2. BAB II KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER
Bab ini membahas mengenai gambaran dan penjelasan dari teori konstruksi sosial Peter L. Berger, teori konstruksi sosial ini dijadikan sebagai alat untuk menganalisis temuan penelitian yang di paparkan pada bab III.
28
Lexy J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005),330
(39)
28
3. BAB III PANDANGAN GENERASI MUDA DAN TUA MENGENAI FENOMENA MITOS GERHANA BULAN (BULAN GERRING) Di Dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan
Penyajian data dan analisis data ini memaparkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian yang kemudian akan dianalisis dengan teori yang konstruksi sosial dengan hasil temuan pada penelitian. Data yang telah dianalisis akan dipaparkan secara tertulis, baik data primer maupun data sekunder, yang juga akan disertakan gambar-gambar dan table dari hasil penelitian.
4. BAB IV PENUTUP
Pada umumnya bab penutup merupakan bab yang memaparkan kesimpulan dari suatu pembahasan. Dalam bab ini, selain kesimpulan dari permasalahan penelitian ini, peneliti juga akan memberikan rekomendasi untuk masyarakat maupun bagi para pembaca.
(40)
BAB II
TEORI KONSTRUKSI SOSIAL
A. Alam sebagai Objek-Subjek
Mitos dikenal oleh masyarakat merupakan suatu cerita rakyat yang memiliki larangan-larangan di dalamnya dan harus dipatuhi oleh individu sebagai suatu aturan yang sudah disepakati bersama. Banyak sekali mitos yang berkembang ditengah-tengah masyarakat pada wilayah tertentu. Masyarakat di setiap wilayah memiliki perbedaan dalam menanggapi mitos yang berkembang dan terkadang, mitos tidak hanya sebagai cerita rakyat yang ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Mitos-mitos yang berkembang dapat menghasilkan suatu tradisi yang menjadi sautu kewajiban bagi masyarakat untuk melakukan tradisi tersebut. Mitos yang menghasilkan tradisi dapat dilihat di salah satu wilayah berada di Madura, yakni Dusun Pengalangan Desa Macajah Kecamatan Tanjungbumi Kabupaten Bangkalan.
Didusun tersebut memiliki beragam mitos yang menghasilkan suatu tradisi yang diwarisi oleh nenek moyang dan tetap dipertahankan hingga saat ini. Seperti
mitos (bhuju’) atau dalam bahasa Indonesia makam nenek moyang, mitos sumur
(tantoh) yang dikenal masyarakat sebagai sumur yang sering digunakan bidadari untuk mandi, mitos gerhana bulan (bulan gerring), dan lain sebagainya.
Mite atau mitos yang menjadi akan di teliti di Dusun Pengalangan Desa Macajah Kecamatan Tanjungbumi Kabupaten Bangkalan merupakan mitos yang
(41)
30
dipengaruhi oleh fenomena alam yakni gerhana bulan (bulan gerring). Tentunya fenomena tersebut sudah melalui proses pemaknaan dari individu di dalam masyarakat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Berger dan Luckman, bahwa terdapat momen eksternalisasi, objektivasi, dan inetrnalisasi. Alam sebagai subjek memberikan gambaran bahwa alam adalah sebuah internal, yaitu proses memasukkan alam sebagai bagian dari manusia, sehingga manusia dan alam sebagai sesama subjek. Alam menjadi dunia subjek bagi manusia. Tetapi disisi lain, muncul pandangan bahwa alam dunia objek yang terpisah dari manusia. Oleh karena itu, terdapat penempatan manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek. Bertolak dari keduanya lalu muncul pandangan bahwa alam adalah dunia subjek-objek atau
yang dikenal sebagai momen eksternalisasi2. Proses momen yang jelasakan
Berger dan Luckman dikenal dengan dialektika atau konstruksi sosial.
B. Realitas Sosial, Konstruksi Sosial dalam Pandangan Paradigma Definisi Sosial dan Konstruktivisme
“Ritzer menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma
definisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang
kreatif dari realitas sosialnya”.
Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemua itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan dalam struktur dan pranata sosial. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas
2
(42)
31
kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu berasal. Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respon-respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolis. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya3.
“Ritzer mengatakan bahwa, pandangan yang menempatkan individu
adalah manusia bebas dalam hubungan antara individu dengan masyarakat merupakan pandangan liberal ekstrim, namun pengaruh aliran ini telah
menyebar luas dalam paradigma definisi sosial”.
Ada pengakuan yang luas terhadap eksistensi individu dalam dunia sosialnya, bahwa individu menjadi „panglima’ dalam dunia sosialnya yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah manusia korban fakta sosial, namun mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan mengkontruksi dunia sosialnya. Akhirnya, dalam pendangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuasaan konstruk sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
“Dunia sosial itu dimaksud sebagai mana yang disebut oleh George
Simmel bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang
menurut kesan kita bahwa realitas itu „ada’ dalam diri sendiri dan hokum yang
menguasainya”4
Relitas sosial itu „ada’ dilihat dari subyektivitas „ada’ itu sendiri dari dan
dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat sebagai
3
Burhan Bungin,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media Group,2008),11
4
Burhan Bungin,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media Group,2008),11-12
(43)
32
„kedirian’-nya, namun juga dilihat dari mana „kedirian’ itu berada, bagaimana ia menerima dan mengaktualisasikan dirinya serta bagaimana pula lingkungan menerimanya. Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksikan realitas sosial, dan mengkonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu
lain dalam institusi sosialnya5.
C. Memahami Konstrukai Sosial sebagai Teori dan Pendekatan dalam Paradigma Konstruktivisme
Istilah konstruksi sosial atas realitas (Sosial Construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. berger dan Thomas Luckman
menjelaskan konstruksi sosial atas realitas melalui “The Sosial Constrution of
Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”(1966). Ia menggambarkan
proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang di mulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif munsul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri,
5
Burhan Bungin,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media Group,2008),12
(44)
33
sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme.
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Dan gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esesnsi, dan sebagainya. Dan ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta. Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya „Cogoto, ergo sum’ atau „saya berfikir karena itu saya ada’. Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan
gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini6.
“Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum
Sapientia’ mengungkapkan filsafatnya dengan berkata „Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia menjelaskan bahawa „mengetahui’ berarti „mengetahui bagaimana membuat sesuatu’. Manusia adalah suatu ciptaan tertinggi, sesorang itu baru mengetahui sesuatu jika dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan ssajalah yang dapat mengerti alam raya ini, karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu orang hanya
dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya”.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme:pertama, konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal
6
(45)
34
mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai sesuatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu realitas ontologi obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.
Kedua: realism hipotesis, pengetahuan adalah hipotesis dari struktur
realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Ketiga: Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme
dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri. Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan di mana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungannya atau orang disekitarnya. Individu kemudia membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, yang oleh Piaget disebut dengan skema/skemata. Dan konstruktivisme inilah yang oleh Berger dan Luckman disebut dengan konstrukti sosial.
“Berger dan luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan
memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas
diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai
(46)
35
kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik”7.
“Berger dan Luckman mengatakan, institusi masyarakat tercipta
dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia”.
Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivasi baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalisasi yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.
“Pendek kata, Berger dan Luckman mengatakan, terjadi dialektika
antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui proses eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi”8
Masyarakat adalah suatu gejala dialektik, yaitu suatu hasil manusia dan tidak lain dari pada hasil manusia, tetapi terus-menerus mempengaruhi kembali penghasilnya. Masyarakat adalah produk manusia. Ia tidak memiliki adanya selain yang diberikan oleh aktivitas dan kesadaran manusia. Tidak ada kenyataan sosial lepas dari manusia. Tetapi dapat dikatakan pula bahwa manusia adalah hasil masyarakat. Biografi setiap idnividu adalah suatu episode dalam sejarah masyarakat yang mendahalui dan melestarikannya. Masyarakat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan tetap ada sesudah individu mati. Di dalam
7
Burhan Bungin,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media Group,2008),14-15
8
(47)
36
masyarakatlah dan sebagai hasil proses sosial, individu menjadi seorang pribadi, memiliki dan mempertahankan suatu identitas, menjelaskan berbagai perencanaan dalam hidupnya. Manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakat. Dengan melihat relasi manusia dan masyarakat secara dialektiks, Berger memberikan alternative terhadapt determinisme yang menganggap indvidu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan struktur sosial. Ia menolak kausalitas sepihak. Dengan pandangannya ini, Berger ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial. Namun manusia
pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya9.
D. Gagasan Berger dan Luckman tentang Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi
Hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural berlangsung dalam proses tiga momen
simultan. Eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai
produk manusia. Eksternalisasi adalah bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosiokulturalnya. Dengan kata lain, ekternalisasi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu pola interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Maksud dari proses ini adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat untuk dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar. Seperti yang dimaksud dengan ekternalisasi Berger dan Luckman, bahwa
9
(48)
37
produk sosial dari eksternalisasi manusia mempunyai suatu sifat sui generasi
dibandingkan dengan konteks organisme dan konteks lingkungannya, maka penting ditekankan bahwa ekternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas. Dengan demikian, tahap ekternalisasi ini berlangsung ketika produk sosial tercipta di dalam masyarakat, kemudia individu mengeksternalisasikan (penyesuaian diri)
ke dalam dunia sosiokulturalnya sebagai bagian dari produk manusia10.
Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Dalam momen ini, sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia sosio-kulturalnya dan kemudian tindakannya juga disesuaikan dengan dunia sosio-kulturalnya. Pada momen ini, terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi dan juga ada juga yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan tergantung dari mampu atau tidaknya individu untuk menyesuaikan dengan dunia sosio-kultural tersebut11.
Eksternalisasi merupakan suatu pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya dan juga merupakan suatu keharusan antropologis. Manusia menurut pengetahuan empiris kita, tidak bisa dibayangkan terpisah dari pencurahan dirinya terus-menerus ke
10
Burhan Bungin,Sosiologi Komunkasi,(Jakarta: Kencana Perdana Media Group,2006), 193-198
11
(49)
38
dalam dunia yang di tempatinya. Kedirian manusia bagaimanapun tidak bisa dibayangkan tetap tinggal diam di dalam lingkup dirinya sendiri, dalam suatu lingkup tertutup, dan kemudian bergerak keluar untuk mengekspresikan diri dalam dunia sekelilingnya. Kedirian manusia itu esensinya melakukan
eksternalisasi dan ini sudah sejak permulaan12.
Objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia subjektif yang
dilembagakan atau mengalami proses institusional. Realitas sosial seakan-akan berada di luar diri mnusia. Ia menjadi realitas objektif. Karena objektif, sepertinya ada dua realitas, yaitu realita diri yang subjektif dan realita lainnya yang berada di luar diri yang objektif. Dua realitas itu membentuk jaringan interaksi intersubjektif melalui proses pelembagaan institusional. Pelembagaan atau institusional, yaitu proses untuk membangun kesadaran menjadi tindakan. Di dalam proses pelembagaan tersebut, nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam interpretasi terhadap tindakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan, sehingga apa yang disadari adalah apa yang dilakukan, selain pelembagaan, proses objektivasi juga memiliki istilah yang disebut Habitus. Habitualisasi atau pembiasaan, yaitu proses di mana tindakan rasional bertujuan itu telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak dibutuhkan lagi berbagai penafsiran terhadap tindakan, karena tindakan tersebut telah menjadi bagian dari system kognitif dan system evaluatifnya. Peta kesadarannya telah menerima dan system evaluasi yang berasal dari system nilai juga telah menjadi bagian di dalam seluruh mechanism kehidupannya. Dengan demikian, ketika suatu tindakan telah menjadi
12
(50)
39
suatu yang habitual, maka telah menjadi tindakan yang mekanis, yang mesti
dilakukan begitu saja13. Tahap objektivasi produk sosial, terjadi dalam dunia
intersubjektif masyarakat yang dilembagakan.
“Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses
institusional, sedangkan individu oleh Berger dan Luckman, dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai suatu unsur dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana mereka dapat dipahami secara langsung”.
Dengan demikian, individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu. Artinya, objektivasi itu bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui opini masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antarindividu dan pencipta produk sosial itu. Masyarakat pada kenyataannya, berada sebagai kenyataan objektif maupun subjektif, dengan demikian setiap penafsiran terhadap suatu masyarakat haruslah mencakup kedua kenyataan ini, yang oleh Berger dan Luckman, dimaksud dengan proses dialektika yang berlangsung terus-menerus dan terdiri dari tiga momen; ekternalisasi, objetivasi, dan internalisasi. Berger dan Luckman juga mengatakan, sejauh yang menyangkut fenomena masyarakat, momen-momen itu tidak dapat dipikirkan sebagai sesuatu yang berlangsung dalam suatu urutan waktu. Yang benar adalah masyarakat dan setiap bagian darinya secara serentak dikarakterisasi oleh ketiga momen itu, sehingga setiap analisis yang hanya melihat salah satu dari ketiga momen itu
13
(51)
40
adalah tidak memadai. Hal itu juga berlaku bagi anggota masyarakat secara individual, yang secara serentak mengeksternalisasikan keberadaannya sendiri ke dalam dunia sosial dan menginternalisasikan keberadaannya sebagai suatu kenyataan objektif. Dengan kata lain, berada dalam masyarakat berarti
berpartisipasi dalam dialektika itu14.
Obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal tehadap, dan lain dari, para produser itu sendiri. Objektivitas pemaksa dari masyarakat terlihat jelas dalam produser-produser kontrol sosial, yaitu dalam prosedur-prosedur yang khusus dimaksudkan untuk “memasyarakatkan kembali” individu-individu atau kelompok-kelompok pembangkang. Lembaga-lembaga politik dan hukum bisa memberikan contoh jelas mengenai hal ini. Namun harus dimengerti bahwa obyektivitas pemaksa yang sama itu, juga mencirikan masyarakat sebagai keseluruhan dan terdapat dalam semua lembaga sosial, termasuk lembaga-lembaga yang didirikan berdasarkan konsensus. Obyektivitas masyarakat mencakup semua unsur pembentukannya. Lembaga-lembaga, peran-peran, dan identitas-identitas itu eksis sebagai fenomena-fenomena nyata secara obyektif dalam dunia sosial, meskipun semua itu tidak lain adalah produksi-produksi
14
Burhan Bungin,Sosiologi Komunkasi,(Jakarta: Kencana Perdana Media Group,2006),198-201
(52)
41
manusia15. Hal terpenting dalam obyektivasi adalah pembuatan signifikasi, yakni
pembuatan tanda-tanda oleh manusia.
“Berger dan Luckman mengatakan bahwa, sebuah tanda (sign)
dapat dibedakan dari obyektivasi-obyektivasi lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi pemaknaan subyektif. Dengan demikian, maka obyektivasi juga dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu”.
Suatu wilayah penandaan (signifikasi) dapat menghubungkan wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai simbol, dan modus linguistic dengan apa transenden seperti itu dicapai, dapat dinamakan bahasa simbol. Maka,
pada tingkat simbolisme, signifikansi linguistic terlepas secara maksimal dari „di
sini dan sekarang’ dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa memegang peran penting dalam obyektivasi terhadap tanda-tanda dan bahkan tidak hanya memasuki wilayah de facto melainkan juga a priori yang berdasarkan kenyataan lain tidak dapat dimasuki dalam pengalaman sehari-hari. Sekarang, bahasa mendirikan bangunan-bangunan representasi simbolis yang sangat besar yang tampaknya menjulang sengat tinggi di atas kenyataan hidup sehari-hari bagaikan kehadiran kawanan raksasa dari dunia lain. Bahasa merupakan alat simbolis untuk mensignifikan dimana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang diobyektivasi. Bangunan legitimasi disusun di atas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrument utama.
Bahasa oleh Berger dan Luckman menjadi tempat penyimpanan kumpulan besar endapan-endapan kolektif, yang bisa diperoleh secara monotetik; artinya,
15
(53)
42
sebagai keseluruhannya yang kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa digunakan untuk menandakan makna-makna yang dipahami sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakatnya. Sebagaimana Berger dan Luckman mengatakan pengetahuan itu dianggap relevan bagi semua orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja16.
Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seseorang menuntut tindakan yang spesifik menjadi tipifikasi (proses menciptakan standar konstruksi sosial <khas> didasarkan pada asumsi yang standar) dari beberapa anggota masyarakat, tipifikasi itu kemudian menjadi dasar pembedaan orang di masyarakatnya. Dan agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipifikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu harus memiliki arti yang obyektif yang pada gilirannya memerlukan suatu obyektivasi linguistik. Obyektivasi linguistic terjadi dalam dua hal, yaitu dimulai dari pemberian tanda verbal yang sederhana sampai pada pemasukannya ke dalam simbol-simbol yang kompleks yang selalu hadir dalam pengalaman suatu ketika sampai kepada suatu representasi yang oleh Berger dan Luckman dikatakan
sebagai par excellence, yaitu kepadanya semua representasi lainnya tergantung
seperti mitologi yang membutuhkan bahasa sebagai cerita rakyat.
Jadi, dengan demikian yang terpenting dalam tahap obyektivasi ini adalah melakukan signifikasi, memberikan tanda bahasa dan simbolisasi terhadap benda
16
Burhan Bungin,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media Group,2008),17
(54)
43
yang disignifikasi, jika dalam pembahasan ini yakni media-media serta
bahasa-bahasa yang digunakan ketika tradisi itu dilakukan17.
Bagi individu, titik awal proses ini adalah internalisasi; pemahaman atau penafsiran langsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya, sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subyektif bagi individu sendiri. Tidak peduli subyektif antar individu berkesesuaian atau tidak, karena bisa saja individu memahami orang lain secara keliru, karena sebenarnya subyektivitas orang lain itu tersedia secara obyektif bagi individu dan menjadi bermakna baginya. Kesesuaian sepenuhnya dari kedua makna subyektif dan pengetahuan timbal balik mengenai kesesuaian itu, mengendalikan terbentuknya pengertian bersama18.
Internalisasi adalah proses individu melakukan identifikasi dari di dalam dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi kenyataan subjektif. Realitas sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia akan teridentifikasi di dalam dunia sosio-kulturalnya. Secara kodrati, manusia memiliki kecenderungan untuk mengelompokkan. Artinya, manusia akan selalu berada di
17
Burhan Bungin,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media Group,2008),18
18
Burhan Bungin,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media Group,2008),19
(55)
44
dalam kelompok, yang kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas. Sekat
interaksi tidak dijumpai jika manusia berada di dalam identitas yang sama19.
Internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan
dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial. Pemahaman ini bukanlah merupakan hasil penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan dimulai dengan individu yang “mengambil alih” dunia dimana sudah ada orang lain. Dalam proses “mengambil alih” dunia itu, individu dapat memodivikasi dunia tersebut, bahkan dapat meciptakan kembali dunia secara kreatif. Dalam kontreks ini Berger dan Luckman mengatakan, bagaimanapun juga dalam bentuk internalisai yang
kompleks, individu tidak hanya “memahami” proses-proses subjektif orang lain
yang berlangsung sesaat. Individu “memahami” dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunia individu bagi dirinya. Ini menandai individu dan orang lain mengalami kebersamaan dalam waktu, dengan cara yang lebih dari sekedar sepintas lalu, dan juga suatu prespektif komperhensif yang mempertautkan urutan situasi secara intersubjektif. Sekarang masing-masing dari mereka tidak hanya
19
(56)
45
memahami definisi pihak lain tentang kenyataan sosial yang dialaminya bersama,
namun mereka juga mendefinisikan kenyataan-kenyataan itu secara timbal balik20.
Proses diatas dikatakan Berger dan Luckman sebagai proses ontogenetic, individu menjadi anggota masyarakat disebut sosialisasi, yang dengan demikian dapat didefinisiskan sebagai pengimbasan individu secara komprehensif dan konsisten ke dalam dunia obyketif suatu masyarakat atau salah satu sektornya. Individu oleh Berger dan Luckman dikatakan mengalami dua proses sosialisasi,
pertama: sosialisasi primer dan kedua: proses sosialisasi sekunder. Proses
sosialisasi primer merupakan proses sosialisasi pertama yang dialami individu dalam masa kanak-kanak, biasanya proses ini berlangsung dalam keluarga, yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu ke dalam sector-sektor baru dalam dunia obyektif masyarakatnya.
Sosialisasi primer merupakan proses di mana hubungan individu dengan orang lain dalam kondisi sangat akrab dan berada dalam situasi kelompok primer, dimana anak mengidentifikasi dirinya dengan anggoota keluarga. Anak menginternalisasikan dan menjadikan peran dan sikap orang tua sebagai sikapnya sendiri dan melalui internalisasi semacam ini anak mampu melakukan identifikasi terhadap dirinya sendiri.
Sosialisasi primer berakhir apabila konsep tentang orang lain pada umumnya dan segala sesuatu yang menyertainya, telah terbentuk dan tertanam
20
Burhan Bungin,Sosiologi Komunkasi,(Jakarta: Kencana Perdana Media Group,2006),201-202
(57)
46
dalam kesadaran individu. Pada titik ini, individu sudah merupakan anggota efektif masyarakat dan secara subyektif memiliki suatu „diri’ dan sebuah dunia. Pasca sosialisasi primer berbagai krisis dapat terjadi yang sesungguhnya disebabakan karena timbulnya kesadaran bahwa dunia orang tua bukanlah satu-satunya dunia yang ada, melainkan mempunyai ruang sosial yang sangat khusus, bahkan barangkali hanya suatu dunia yang oleh Berger dan Luckman dikonotasikan sebagai pejorative (merendahkan). Artinya, masih ada ruang sosial lain yang tidak hanya terbatas pada hubungan-hubungan khusus antar individu tersebut, namun masih ada ruang sosial yang membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang dunia sosial, yakni masyarakat.
Dalam sosialisasi sekunder, telah terjadi internalisasi „subdunia’ kelembagaan atau berdasarkan lembaga, karena itu lingkup jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya. Berger dan Luckman mengatakan bahwa, tanpa mempertimbangkan dimensi lainnya, bisa dikatakan bahwa sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan perannya (role-spesific knowledge), di mana peran-peran secara langsung atau tidak langsung berakar dalam pembagian kerja. Dengan demikian, maka „subdunia’ yang dijelaskan Berger dan Luckman itu adalah yang diinternalisasikan dalam sosialisasi sekunder, dan pada umumnya merupakan kenyataan-kenyataan parsial, di mana kenyataan itu berbeda dengan „dunia dasar’ yang diperoleh dalam sosialisasi primer. Walaupun demikian „subdunia’ itu merupakan kenyataan yang
(58)
47
sedikit banyak kohesif, bercirikan komponen normatif dan efektif maupun yang kognitif.
“Bangunan sosialisasi sekunder selalu dibangun di atas dunia yang
sudah terbentuk dan suatu dunia yang sudah diinternalisasikan. Berger dan Luckman mengatakan sosialisasi sekunder tidak dapat membangun
kenyataan subyektif ex nihilo”.
Dalam kenyataannya internalisasi memiliki konsistensi antara internalisasi pertama dengan yang baru. Atau dengan kata lain sosialisasi memiliki konsistensi yang bergantung pada masalahnya. Artinya, individu dapat mengeksternalisasikan pemahamannya kepada individu lainnya sesuai dengan apa yang ia peroleh. Umpamanya setelah individu belajar tentang kebersihan gigi, maka ia tidak akan
mengalami kesulitan menerapkan kebersihan tersebut kepada adik-adikanya21.
Internalisasi yakni perserapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia obyektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subyektif dan juga merupakan penyerapan ke dalam kesadaran dunia yang terobyektivasi sedemikian rupa sehingga struktur dunia ini menentukan struktur subyektif kesadaran itu sendiri. Yaitu, masyarakat kini berfungsi sebagai pelaku formatif bagi kesadaran individu. Sejauh internalisasi itu telah terjadi, individu kini memahami berbagai unsur dunia terobyektivasi sebagai fenomena yang internal terhadap kesadarannya bersamaan dengan saat dia memahami unsur-unsur itu sebagai fenomena-fenomena relitas eksternal. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia. Melalui obyektivasi,
21
Burhan Bungin,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media Group,2008),20-22
(1)
86
Skema 2.2
Implikasi Teori Konstruksi Sosial
Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat tiga konsep dalam
teori Berger, yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Dalam proses
eksternalisasi, individu melaksanakan tradisi, yakni bangun pada malam bulan
gerring untuk melakukan ritual mencuci wajah dengan air parutan kunyit dan membangunkan pepohonan dan binatang ternak. Hal tersebut berdasarkan
mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, Berger menyebutnya pencurahan kedirian Internalisasi
Eksternalisasi
Obyektivasi
Agen: individu, anggota keluarga, dan masyarakat Cerita rakyat yang menghasilkan tradisi
Pranata Sosial yang memberikan
sosialisasi tradisi tersebut, adalah keluarga
Pencurahan kedirian dari individu ke dalam dunia sosio-kultural dalam bentuk tindakan untuk melaksanakan tradisi
Proses habitus yang dilakukan individu di masyarakat, kemudian di legitimasi
Proses sosialisasi untuk mengidentifikasi diri dari individu atas tradisi yang dilakukan masyarakat
Konstruksi tradisi pada malam bulan gerring
(2)
87
Pada proses obyektivasi, individu membiasakan diri dengan meniru apa
yang dilakukan anggota keluarga. Sebab tradisi pada malam bulan gerring,
memang sudah di sepakati oleh masyarakat Dusun Pengalangan Desa Macajah
Tanjungbumi Bangkalan, dan masyarakat memiliki pandangan bahwasanya,
tradisi pada malam bulan gerring harus dan wajib dilaksanakan. Proses
berikutnya, yakni internalisasi yang merupakan dunia realitas yang objektif di
traik ke dalam diri individu. Proses ini merupakan proses sosialisasi yang
dilakukan oleh pranata sosial keluarga, dengan mengajak langsung anggota
(3)
88
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan
Setipa masyarakat memiliki tradisi atau budaya, sebab tradisi yang di
ciptakan oleh manusia, ada sejak dulu kala dan dilaksanakan turun temurun atau
bisa di sebut warisan dari nenek moyang. Budaya sama halnya dengan tradisi
yang merupakan suatu ciptaan dari manusia dan juga suatu kebiasaan yang
dilakukan masyarakat, namun budaya memiliki perbedaan tersendiri dengan
tradisi. Jika tradisi memiliki ukuran terbatas pada suatu wilayah dan merupakan
identitas dari masyarakat itu, sedangkan budaya memiliki cakupan wilayah yang
luas dan kebiasaan yang dilakukan masyarakat secara umum.
Kebiasaan secara turun-temurun yang dilakukan masyarakat menjadi
identitas tersendiri, sebab tradisi yang dimiliki masyarakat, berbeda-beda. Seperti
halnya kepercayaan mitos bulan gerring yang menghasilkan tradisi pada malam
bulan gerring. Masyarakat memiliki pandaangan bahwasaanya tradisi tersebut,
yakni bangun pada malam bulan gerriing untuk melaksanakan ritual, seperti
mencuci wajah menggunakan air parutan kunyit dan melakukan ritual tubuh di
angkat ke atas dengan bantuan orang lain, agar tubuh yang di angkat terlihat
tinggi. Kemudian membangunkan pepohonan dan binatang ternak dengan
menggunakan media-media seperti kayu, pecut, sapu lidi, dan kentungan, wajib
dan harus dilakukan pada malam terjadinya bulen gerring.
(4)
89
Namun hanya orang-orang tertentu saja yang melaksanakan kegiatan keagamaan
tersebut, yakni orang yang mengerti tentang agama,
B. Saran
a. Untuk masyarakat generasi muda
Sebagai generasi penerus untuk keturunan berikutnya
menggantikan generasi tua, generasi muda akan lebih baiknya mencari
makna secara rasional atas tradisi yang dilakukan pada malam bulan
gerring, agar tradisi tersebut tidak sekedar tradisi yang ditelan mentah-mentah tanpa diketahui makna rasionalnya, dan ketika generasi muda
menjadi generasi tua, mereka dapat memberikan alasan rasional terhadap
keturuna berikutnya. Kemudian ketika makna rasional diketahui tradisi
tersebut dapat dilestarikan.
b. Untuk pembaca
Tradisi di suatu masyarakat perlu untuk diketahui dan dilestarikan karena
hal tersebut merupakan identitas dari masyarakat.
c. Untuk peneliti lain
Untuk peneliti lain yang ingin melakukan penelitian terkait
tradisi-tradisi yang berada di masyarakat. Karena banyak sekali tradisi-tradisi-tradisi-tradisi
yang perlu diketahui untuk menambah wawasan kelimuan, khususnya
bidang sosio kultural. Tradisi di suatu masyarakat merupakan ciri khas dan
identitas dari masyarakat. Berbeda wilayah, berbeda pula tradisi yang
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadidkk,ILMU SOSIAL DASAR,(Jakarta: Bina Aksara,1988)
Bahry Zainul,Kamus Umum,(Bandung: ANGKASA,1993)
Bungin Burhan,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media
Group,2008)
,
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2009)
Departemen pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesai,(Jakarta:
BALAI PUSTAKA,1990)
Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta, Gelora Aksara Pratama :
1980)
F.J. Monk dkk, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta : Gadjah Mada Universty
Press, 2004)
Hartinidkk,Kamus Sosiologi dan Kependudukan,(Jakarta: Bumi Aksara,1992)
Herdiansyah Haris,Metodelogi Penelitian Kualitatif,(Jakaarta: Selemba
Humanika,2011)
(6)
91
L. Berger Peter diterjemahkan Hartono,Langit Suci,(jakarta: LP3ES,1994)
L. Berger Peter ,Kabar Angin Dari Langit,(Jakarta: PT Pustaka LP3ES,1992)
Moleong Lexy,Metode Penelitian Kualitatif,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005)
,
Soekanto Soerjono,Kamus Sosiologi,(Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada,1993)
Syam Nur,Islam Pesisir,(Yogyakart: LKiS,2005)
R. Badcock Christoper,Levi Strauss,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
http://allabout-psikologi.blogspot.com/2013/8/dewasa-madya.html http://kbbi.web.id/fenomena