TERAPI REALITAS UNTUK MENINGKATKAN KONTROL DIRI SEORANG TAHANAN ANAK DI RUTAN MEDAENG SURABAYA.

(1)

TERAPI REALITAS UNTUK MENINGKATKAN KONTROL DIRI SEORANG TAHANAN ANAK DI RUTAN MEDAENG SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

(S. Sos)

Oleh :

Windy Lailatul Hidayah B03213031

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Windy Lailatul Hidayah (B03213031), Terapi Realitas Untuk Meningkatkan Kontrol Diri Seorang Tahanan Anak Di Rutan Medaeng Surabaya.

Fokus penelitian adalah (1) Bagaimana proses terapi realitas dengan untuk meningkatkan kontrol diri pada seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya? (2) Bagaimana hasil terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri pada seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya?

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah dimana peneliti sebagai instrumen kunci dan teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, dan jenis penelitian yaitu studi kasus, suatu model yang menekankan pada eksplorasi pada satu kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam.

Dalam menganalisa proses terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri tahanan anak yang digunakan adalah berupa hasil observasi dan wawancara yang disajikan dalam bab penyajian data dan analisis data. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa proses terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri tahanan anak dilakukan melalui beberapa tahapan yang terdapat dalam terapi realitas menggunakan teknik WDEP, mulai dari menulis keinginan, melihat perilaku, mengevaluasi perilaku, dan menulis rencana tindakan. Dalam penelitian ini, proses terapi menggunakan terapi realitas dengan teknik WDEP dapat meningkatkan kontrol diri konseli. Dan hasil dari proses terapi ini cukup berhasil dengan perubahan pada skala kontrol diri konseli dari angka 81 ke angka 114 yang mana hasil tersebut menunjukkan bahwa kontrol diri konseli telah meningkat.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

BAGIAN INTI BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 10

C.Tujuan Penulisan ... 10

D.Manfaat Penelitian ... 10

E.Definisi Konsep ... 11

F. Metode Penilitian ... 15

1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian ... 15

2. Sasaran Dan Lokasi Penelitian ... 16

3. Jenis Dan Sumber Data ... 17

4. Tahap-Tahap Penelitian ... 18

5. Teknik Pengumpulan Data ... 20

6. Teknik Analisis Data ... 23

7. Teknik Keabsahan Data ... 25

G.Sistematika Pembahasan ... 26

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A.Kajian Teoritik ... 28

1. Bimbingan Dan Konseling Islam ... 28

a. Pengertian Bimbingan Dan Konseling Islam ... 28

b. Prinsip-Prinsip BKI ... 29

c. Tujuan BKI ... 30

d. Fungsi BKI ... 31

e. Unsur-Unsur BKI ... 31

2. Terapi Realitas ... 33


(8)

b. Pandangan Tentang Manusia ... 35

c. Ciri-Ciri Terapi Realitas ... 37

d. Tujuan Terapi Realitas ... 39

e. Peran Dan Fungsi Terapis ... 40

f. Teknik-Teknik Terapi Realitas ... 41

g. Tahapan Konseling Terapi Realitas ... 42

3. Kontrol Diri ... 47

a. Pengertian Kontrol Diri ... 47

b. Aspek Kontrol Diri ... 49

c. Faktor-Faktor Kontrol Diri ... 50

d. Teknik Pengontrol Perilaku ... 51

4. Perilaku Menyimpang ... 53

a. Pengertian Perilaku Menyimpang ... 53

B.Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 58

BAB III : PENYAJIAN DATA A.Deskripsi Umum Objek Penelitian ... 60

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 60

a. Latar Belakang Sejarah Rutan ... 60

b. Letak Geografis Rutsn ... 61

c. Visi, Misi dan Motto Rutan... 62

d. Struktur Organisasi Rutan ... 64

e. Fungsi Dan Prinsip Rutan ... 66

f. Sarana Dan Prasarana Rutan ... 66

2. Deskripsi Konselor ... 67

a. Identitas Pribadi ... 67

b. Riwayat Pendidikan ... 68

c. Pengalaman ... 68

3. Deskripsi Konseli ... 69

a. Identitas Konseli ... 69

b. Kehidupan Sehari-Hari Konseli ... 70

c. Latar Belakang Keluarga Konseli ... 71

d. Latar Belakang Pendidikan Konseli ... 71

e. Latar Belakang Lingkungan Sosial Konseli ... 72

4. Deskripsi Masalah ... 73

B.Deskripsi Hasil Penelitian ... 76

1. Deskripsi Proses Pelaksanaan Terapi ... 76

a. Identifikasi Masalah ... 79

b. Diagnosis ... 92

c. Prognosis ... 95

d. Terapi (Treatment) ... 98

e. Evaluasi (Follow Up) ... 105

2. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Terapi ... 107

BAB IV : ANALISIS DATA A.Analisis Proses Pelaksaan Terapi ... 114


(9)

B.Analisis Hasil Pelaksaan Terapi ... 119 C.Kendala Selama Proses Pelaksanaan Terapi ... 121

BAB V : PENUTUP

A.Kesimpulan ... 124 B.Saran ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 127 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak-anak menuju dewasa. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 11 tahun sampai 21 tahun.1

Monks menyatakan masa remaja merupakan periode peralihan, terutama saat remaja awal. Karena banyak perubahan-perubahan yang akan dirasakan saat itu.2

Perubahan yang terjadi pada masa ini menurut Hurlock antara lain meningginya emosi yang pada masa awal remaja biasanya terjadi lebih cepat.3

Mengingat masa remaja awal terjadi bersamaan dengan datangnya masa pubertas, dimana remaja mengalami ketidakstabilan dalam segala hal sebagai dampak dari perubahan-perubahan biologis yang dialaminya.

Pada usia enam belasan atau fase remaja madya, kestabilan sudah mulai terlihat, karena para remaja sudah mampu menghadapi suatu persoalan serta tekanan sosial yang dihadapinya. Ia sudah memasuki tahap

1

https://id.wikipedia.org/wiki/Remaja

2

Monks, F.J, Knoers, A.M.P, Haditono S.R, Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001)

3

Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1996), Hal. 207


(11)

2

mampu berpikir secara matang mengenai hal-hal yang abstrak dan sudah mampu menganalisis sesuatu lebih dalam. Sedangkan pada fase remaja akhir, beberapa aspek pertumbuhan mengalami keadaan sempurna dan menunjukkan kesiapan untuk memasuki fase dewasa awal. Pada masa ini terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.4

Namun dalam perjalanan seorang remaja menuju dewasa awal tidaklah mudah bagi setiap remaja. Karena dalam setiap fase perkembangan seseorang, terdapat tugas-tugas perkembangan yang terkait didalamnya sebagai tolak ukur keberhasilan seoseorang melewati masa-masa pertumbuhan dan perkembangan tersebut. Dalam masa remaja, beberapa contoh tugas perkembangan yang harus dilakukan adalah mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan, mencapai kemandirian secara emosional dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. Namun, tidak semua remaja berhasil dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan tersebut, dan pada akhirnya banyak permasalahan yang muncul dalam kehidupan para remaja tersebut.

Oleh karena itu, Stanley Hall menyebutkan bahwa masa remaja sering dipandang sebagai masa yang penuh dengan “badai dan tekanan” yaitu masa di mana terjadi perubahan besar dalam meningginya ketegangan

4

Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Hal. 208


(12)

3

emosi yang dikarenakan perubahan fisik dan kelenjar pada seseorang saat mengalami masa puber yang menyebabkan kesedihan dan kebimbangan (konflik) pada yang bersangkutan, serta menimbulkan konflik dengan lingkungannya. Hal ini terjadi dikarenakan adanya ketidaksiapan anak laki-laki dan perempuan dalam menerima kondisi baru tersebut.5

Untuk sebagian remaja yang mengalami ketidaksiapan perubahan itu, terutama yang sudah terbiasa akan tumbuh rasa tidak puas pada diri sendiri akan senantiasa memunculkan sikap-sikap yang buruk yang dapat memicu terjadinya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan mereka.

Maksud dari perilaku menyimpang diatas adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.6

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.7

Norma adalah kaidah, aturan pokok, ukuran, kadar atau patokan yang diterima secara utuh oleh masyarakat guna mengatur kehidupan dan tingkah laku sehari-hari, agar hidup ini terasa aman dan menyenangkan.8

5

Panut Panuju dan Ida Umami, Psikologi Remaja, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1999), Hal. 20

6

https://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku menyimpang

7

Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Gita Media Press

8

Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1981), Hal. 12


(13)

4

Jadi dalam kehidupan bermasyarakat, norma digunakan untuk mengatur kestabilan tingkah laku manusia. Jika seseorang melakukan sesuatu diluar kaidah norma tersebut, berarti ia telah melanggar suatu aturan, dan perilaku itu dikatakan menyimpang dari kaidah atau norma tersebut. Dan sudah dapat disimpulkan kalau perilaku tersebut merugikan orang lain. Contoh beberapa tingkah laku menyimpang antara lain : kriminalitas, tindak asusila, kenakalan remaja dan lain-lain.

Lemahnya pengendalian diri atau kontrol diri juga menjadi salah satu faktor dalam munculnya perilaku yang keliru atau menyimpang selain pengaruh bilogis dan lingkungan. Karena pada dasarnya, kontrol diri adalah suatu kemampuan individu dalam menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku melalui pertimbangan kognitif sehingga dapat membuat keputusan yang diinginkan dan diterima oleh masyarakat. Jadi kontrol diri atau pengendalian diri ini menjadi unsur penting dalam kehidupan manusia dalam memulai suatu tindakan atau perilaku yang akan dilakukan atau ditunjukkan kepada orang lain.

Sebagian remaja yang tidak bisa mengendalikan dirinya inilah yang saat ini tengah menjalani hukuman sebagai tahanan di Rumah Tahanan Klas I Surabaya yang biasa dikenal dengan sebutan Rutan atau Lapas Medaeng dikarenakan perilakunya merugikan dan melanggar aturan atau menyimpang dari norma.

Tahanan adalah seseorang yang berada dalam penahanan. Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara


(14)

5

Pidana (KUHAP), penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya. Berdasarkan Pasal 19 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung ditempatkan di dalam Rumah Tahanan Negara (Rutan).

Di Rutan sendiri, saat ini ada satu blok yaitu blok I yang menampung kurang lebih 40 tahanan anak dengan berbagai kasus. Mulai kasus pencurian, pencopetan, narkoba, dan bahkan tindakan asusila. Salah satu penghuni Rutan blok I yang sekaligus menjadi subjek penelitian adalah GRP. Ia adalah remaja yang masih berumur 17 tahun. GRP seharusnya masih duduk di kelas XI SMA saat ini. Namun ia harus merelakan masa putih abu-abunya dikarenakan harus menjalani hukuman masa tahanan di Rutan. GRP dinyatakan sebagai tahanan setelah ditangkap polisi atas kasus penyalahgunaan narkoba jenis shabu-shabu.

GRP melanggar pasal 35 tahun 2009 tentang penyalahgunaan narkoba dengan tuntutan masa hukuman 18 bulan. Kini ia sudah menyelesaikan masa hukuman selama 7 bulan setelah masuk Rutan pada bulan April 2016. GRP termasuk dalam kategori tahanan anak, karena ia berumur dibawah 18 tahun.

Selama berada dalam Rutan, tak banyak yang dilakukan GRP. Tidur, makan dan nonton TV hanyalah sebagian kecil aktivitasnya di Lapas.


(15)

6

Terkadang ia sering menyuruh tahanan yang baru masuk blok untuk mengikuti perintahnya, karena ia di blok dikenal sebagai senior. Saat ia menceritakan sedikit kronologi penangkapannya kepada peneliti, ia mengaku ditangkap polisi setelah kepergok membeli narkoba jenis shabu dari seorang temannya.

GRP mengaku telah mengkonsumsi narkoba selama 2 tahun ini. Ia mengatakan bahwa ia sangat kesal karena ia tahu bahwa ada seseorang yang sengaja melaporkan GRP saat itu, dan ia juga mengatakan bahwa selepas bebas dari penjara ia akan membalaskan dendam kepada orang yang diyakini melaporkan tindakan GRP ke polisi. Banyak hal yang diceritakan oleh GRP, hingga akhirnya peneliti mengetahui bahwa kasus yang dilakukan oleh GRP sebenarnya tidak hanya narkoba. Tapi ia juga melakukan aksi pencurian, mabuk-mabukan dan perkelahian. Ia mengaku mencuri saat ia tidak memiliki uang untuk membeli narkoba.

Pengendalian diri atau kontrol diri GRP yang rendah telah membuat ia lemah dan menutup mata akan pengetahuan tentang norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Ia cenderung melakukan perilaku menyimpang untuk mewujudkan keinginannya. Akibatnya, ia harus menerima hukuman atas perbuatan yang telah ia lakukan. Bahkan saat sudah berada dalam Lapas, ia masih belum bisa mengendalikan dirinya terhadap perilaku yang keliru, karena ia masih sering merokok untuk sekedar mengobati kerinduannya dengan narkoba. Saat peneliti bertanya apa rencananya setelah bebas dari Rutan ia malah menjawab ingin menjadi


(16)

7

seorang bandar narkoba. Bahkan saat peneliti telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan GRP, baru diketahui bahwa GRP masih sering mengkonsumsi narkoba di dalam Rutan. Dan aktivitas mengkonsumsi narkoba itu telah dilakukannya sejak seminggu ia masuk menjadi seorang tahanan anak di Rutan. GRP mengaku ia mengetahui adanya jual beli narkoba dalam Rutan dari teman-temannya yang ada di blok tahanan dewasa. Ia sering membeli narkoba jenis shabu dari tahanan dewasa karena harganya masih terjangkau, tetapi saat ia merasa stress atau penuh dengan tekanan, ia akan membeli narkoba yang memiliki dosis lebih tinggi.

Oleh karena itu, meningkatkan kontrol diri untuk para remaja pada umumnya, dan tahanan anak seperti GRP pada khususnya dalam meminimalisir perilaku menyimpang sangat diperlukan dalam era globalisasi seperti saat ini. Dalam hal ini, peneliti akan memfokuskan untuk meningkatkan kontrol diri GRP yang menjadi tahanan anak di Rutan dengan terapi Realitas dari tokoh William Glasser dengan menggunakan teknik WDEP.

Konseling realitas sendiri merupakan salah satu pendekatan konseling yang cukup terkenal di kalangan psikiater. Realitas menekankan pada perilaku yang sesuai dengan kenyataan saat ini yang dihadapi individu.9

9

Abubakar Baraja, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling, (Jakarta: Studia Press, 2008), Hal. 234


(17)

8

Konseling realitas tidak memandang perilaku masa lampau yang telah terjadi, karena fokus pendekatan ini hanya membuat perilaku yang bertanggung jawab dan benar di masa depan sesuai dengan realita yang ada. Menurut Corey, konseling realitas difokuskan pada tingkah laku sekarang dan merupakan bentuk modifikasi perilaku. Hal ini berfungsi agar klien mampu membantu dirinya dalam menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan diri sendiri ataupun orang lain serta berani memikul tanggung jawab atas semua tingkah lakunya.10

Berdasarkan definisi konseling realitas dari beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konseling realitas adalah suatu proses interpersonal yang dinamis dengan memusatkan kesadaran pikiran dan perilaku, khususnya dalam hal ini menekankan pada perilaku yang sesuai dengan realitas atau kenyataan yang dihadapi individu dengan tujuan agar kelompok semuanya dapat lebih bertanggung jawab terhadap perilakunya.

Adapun teknik yang akan digunakan pada pendekatan konseling realita untuk meningkatkan kontrol diri remaja tahanan anak adalah teknik WDEP yang merupakan akronim dari wants (keinginan), doing and

direction (melakukan dan arahan), evaluation (penilaian), dan planning

(perencanaan).

10

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), Hal. 263


(18)

9

Penggunaan teknik WDEP ini bertujuan untuk membantu konseli agar memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya sendiri dan mampu membuat pilihan yang lebih baik nantinya.11

Melalui penggunaan teknik WDEP ini, konselor mengajak konseli untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kontrol diri dengan melakukan evaluasi terhadap diri sendiri dengan mengeksplorasi dan menilai perilaku-perilaku konseli khususnya perilaku yang kurang bertanggung jawab yang mengakibatkan pengendalian dirinya rendah. Setelah mengetahui dan menilai perilakunya, konseli bersama dengan konselor membuat perencanaan untuk perilaku kedepannya yang lebih bertanggung jawab, dimana didalamnya terdapat komitmen antara konselor dengan konseli. Dengan adanya komitmen tersebut konseli dituntut untuk bertanggung jawab terhadap rencana yang telah dibuatnya. Hal itu tentunya akan membantu konseli dalam meningkatkan kontrol diri dengan menekankan pada tanggung jawab konseli sebagai seorang remaja yang ingin hidup lebih baik setelah keluar dan bebas dari hukuman di Rutan Klas I Surabaya.

Berangkat dari pemikiran diatas tentang betapa pentingnya kontrol diri dari perilaku yang menyimpang, maka peneliti tertarik untuk mengkaji mengenai Terapi Realitas Untuk Meningkatkan Kontrol Diri Seorang Tahanan Anak Di Rutan Medaeng Surabaya.

11

Ali Masrohan, Penerapan Konseling Kelompok Realita Teknik Wdep Untukmeningkatkan Disiplin Belajar Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Rogojampi Banyuwangi, Unesa jurnal mahasiswa Bimbingan dan Konseling.


(19)

10

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya?

2. Bagaimana hasil terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya.

2. Untuk mengetahui hasil terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya.

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap akan munculnya pemanfaatan dari hasil penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis bagi para pembacanya. Diantara manfaat penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis dapat peneliti uraikan sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti lain dalam bidang Bimbingan dan Konseling Islam tentang pengembangan terapi


(20)

11

realitas untuk meningkatkan kontrol diri seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya.

b. Sebagai sumber informasi dan referensi bagi jurusan Bimbingan dan Konseling Islam khususnya, dan bagi mahasiswa pada umumnya dalam hal terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu para tahanan dalam mengontrol dirinya terhadap perilaku yang menyimpang.

b. Bagi konselor, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan yang efektif dalam menghadapai seseorang yang mengalami kontrol diri rendah terhadap perilaku yang menyimpang.

E. Definisi Konsep

Pada dasarnya, konsep merupakan unsur pokok dari sebuah penelitian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi singkat dari sejumlah fakta atau data yang ada. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman, penulis memberikan batasan istilah atau definisi yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian, istilah atau definisi yang dimaksud memiliki pengertian terbatas. Adapun batasan bagi beberapa konsep dalam penelitian ini:


(21)

12

Terapi realitas adalah sebuah metode konseling dan psikoterapi perilaku kognitif yang sangat berfokus dan interaktif, dan merupakan salah satu yang telah sukses diterapkan dalam berbagai macam lingkup.12

Karena fokusnya pada kehidupan saat ini dan penggunaan teknik mengajukan pertanyaan-pertanyaan oleh terapis terbukti sangat efektif dalam jangka pendek, meskipun tidak terbatas pada itu saja.

Terapi realitas merupakan cara seseorang melihat dirinya sendiri sebagai manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan dunia luarnya. Setiap orang mengembangkan gambaran identitasnya (identity

image) berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan psikologinya.13

Terapi realitas berlandaskan asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing individu memikul tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri.14

Tujuan umum terapi realitas adalah untuk membantu seseorang mencapai otonomi, yaitu kematangan yang diperlukan bagi kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan internal.

Kemampuan ini menyiratkan bahwa orang-orang mampu bertanggung jawab atas siapa mereka dan ingin menjadi apa mereka serta

12

Stephen Palmer (Ed.), Konseling dan Psikoterapi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), Hal. 525

13

Anas Salahudin, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Hal. 39

14


(22)

13

mengembangkan rencana-rencana yang bertanggung jawab dan realistik guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.15

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik WDEP yang terdapat di dalam terapi realitas untuk meningkatkan kontrol diri seorang tahanan anak di Rutan Medaeng Surabaya.

Teknik WDEP yang merupakan akronim dari wants (keinginan),

doing and direction (melakukan dan arahan), evaluation (penilaian),

planning (perencanaan). Penggunaan teknik WDEP ini bertujuan untuk

membantu konseli agar memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya sendiri dan mampu membuat pilihan yang lebih baik nantinya.

2. Kontrol Diri

Kontrol diri atau pengendalian diri adalah kemampuan untuk menangguhkan kesenangan naluriah langsung dan kepuasan untuk memperoleh tujuan masa depan, yang biasanya dinilai secara sosial.16

Rodin mengungkapkan kontrol diri adalah perasaan bahwa seseorang dapat membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan.17

15

Singgih D Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), Hal. 242

16

Rom Hare dan Roger Camb, Ensiklopedia Psikologi, (Jakarta: ARCAN. 1996), Hal. 375

17

Herlina Siwi Widiana, Sofia Retnowati, Rahma Hidayat, Kontrol Diri Dan Kecenderungan Kecanduan Internet, Humanitas : Indonesian Psychologycal Journal Vol.1 No. 1, (Januari, 2004), Hal. 9


(23)

14

Dalam penelitian ini, kontrol diri yang dimaksud oleh peneliti adalah kontrol diri yang rendah oleh subjek penelitian terhadap perilakunya yang menyimpang, dimana subjek penelitian dalam penelitian ini adalah seorang tahanan anak yang masih mengkonsumsi narkoba di dalam Rutan.

Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa perilaku meyimpang adalah perilaku yang menurut anggapan sebagian besar masyarakat, perilaku tersebut di luar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai atau norma sosial yang berlaku.

Perilaku merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang setiap harinya dimanapun ia berada. Sedangkan penyimpangan adalah suatu bentuk tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum, atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berada di masyarakat.18

Perilaku menyimpang yang menjadi fokus dalam penelitian ini

adalah perilaku menyimpang subjek penelitian dalam hal

penyalahgunaan narkoba.

Narkoba sendiri adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya.19

Pada dasarnya, narkoba merupakan salah satu jenis obat-obatan yang digunakan dalam dunia kedokteran, karena banyak jenis narkotika dan psikotropika yang memberi manfaat besar bila digunakan dengan

18

Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid I, Hal. 9

19

Andi Hamzah dan Surachman, Kejahatan narkotika Dan Psikotropika, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), Hal. 5-6


(24)

15

baik di bidang kedokteran. Narkotika dan psikotropika dapat menyembuhkan banyak penyakit dan mengakhiri penderitaan.

Penyalahgunaan obat yang benar dalam pengawasan dokter adalah dengan menelannya atau menyuntikkannya pada otot (intramuscular).

Sedangkan pada penyalahgunaan obat, bahan itu juga dihirup, dirokok, atau untuk mencapai efek yang lebih cepat, disuntikkan di bawah kulit

(subcutaneous) atau kedalam urat nadi (intravenous).20

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah seseorang untuk mendapatkan suatu data tentang tujuan dan kegunaan sesuatu yang sedang diteliti. Ada sekurangnya empat kata kunci yang perlu diperhatikan, yaitu cara ilmiah, data, tujuan, dan manfaat atau kegunaan.21

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang digunakan untuk meneliti pada kondisi

objek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci dan teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi. Analisis data bersifat

20

Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya, (Jakarta: Esensi Erlangga Grup), Hal. 9

21

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2014), Hal. 2


(25)

16

induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.22

Penelitian kualitatif disebut juga sebagai metode artistik (karena

proses penelitiannya lebih bersifat kurang terpola) dan metode

interpretive (data hasil penelitian lebih berkenaan dengan dengan

interpretasi data yang ditemukan di lapangan).23

Penelitian ini dilakukan peneliti untuk mengetahui secara mendalam mengenai terapi realitas dengan teknik WDEP dalam meningkatkan kontrol diri terhadap perilaku menyimpang pada tahanan anak kasus penyalahgunaan narkoba di Rutan.

Sedangkan jenis atau model penelitiannya, peneliti menggunakan penelitian studi kasus. Creswell dalam buku Sugiyono menyatakan bahwa studi kasus (case study) adalah suatu model yang menekankan

pada eksplorasi dari suatu “sistem yang berbatas” (bounded system) pada

satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks.24

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah “GRP” yang merupakan

tahanan anak kasus penyalahgunaan narkoba di Rutan. Dan penelitian ini akan dilakukan di Rutan Klas I Surabaya (Rutan Medaeng).

22

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D, Hal. 9

23

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D, Hal. 7-8

24

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), Hal. 76


(26)

17

3. Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian ini, jenis data yang digunakan oleh peneliti untuk mendukung penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber utama atau sumber data primer. Sumber data primer adalah subjek penelitian yang dijadikan sebagai sumber informasi penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau pengambilan data secara langsung atau yang dikenal dengan istilah

interview (wawancara).

Sumber data primer penelitian ini adalah GRP, tahanan anak kasus narkoba yang memiliki kontrol diri rendah, dengan indikator :

a. Religiusitas rendah

b. Masih ketergantungan rokok c. Melanggar peraturan di Rutan

d. Sering berbicara menggunakan kata-kata kasar dan kotor e. Mudah terpengaruh

f. Mengkonsumsi narkoba

Data primer yang akan peneliti ambil antara lain tentang: a. Identitas lengkap konseli

b. Latar belakang keluarga konseli c. Latar belakang pendidikan konseli d. Latar belakang lingkungan sosial konseli


(27)

18

Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak berhubungan secara langsung dengan objek penelitian, akan tetapi memiliki informasi yang berkaitan dengan objek penelitian antara lain : a. Teman-teman tahanan konseli

b. Tamping atau tahanan pendamping c. Wali blok I tahanan anak

Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber lain yang ada kaitannya dengan objek penelitian. Untuk data sekunder yang akan peneliti ambil antara lain tentang :

a. Sikap atau perilaku yang ditunjukkan konseli selama di Rutan b. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan konseli selama di Rutan c. Pergaulan konseli selama di Rutan

d. Kegiatan kereligiusitas konseli selama di Rutan 4. Tahap-Tahap Penelitian

Secara umum tahapan penelitian kualitatif dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Tahap Pra-Lapangan

1) Menyusun rencana penelitian

Pada tahap ini peneliti akan memahami terapi realitas dan teknik WDEP dan faktor-faktor kontrol diri yang rendah terhadap perilaku menyimpang GRP, tahanan anak kasus narkoba di Rutan. Setelah mengetahui, maka peneliti akan membuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi konsep dan membuat rancangan data-data yang peneliti perlukan.


(28)

19

2) Memilih lapangan penelitian

Dalam hal ini peneliti memilih lapangan penelitian di Rutan Klas I Surabaya (Rutan Medaeng Surabaya).

3) Mengurus perizinan

Surat izin untuk penelitian dibuat secara tertulis dan ditujukan kepada Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) Jawa Timur dan Rumah Tahanan Klas I Surabaya (Rutan Medaeng).

4) Menjajaki dan menilai keadaan lapangan

Peneliti akan mengenali keadaan yang sesuai dengan keadaan di lapangan serta menyiapkan perlengkapan yang diperlukan di lapangan, kemudian peneliti mulai mengumpulkan data yang ada di lapangan.

5) Memilih dan memanfaatkan informan

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi serta latar belakang kasus tersebut. Informan dalam penelitian ini adalah GRP yang merupakan tahanan anak kasus narkoba di blok I Rutan.

6) Menyiapkan perlengkapan penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti menyiapkan beberapa perlengkapan yang dibutuhkan. Seperti pedoman wawancara, alat tulis, buku, perlengkapan fisik atau media, izin penelitian, dan


(29)

20

semua yang berhubungan dengan penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan deskripsi data lapangan.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Pada tahap pekerjaan lapangan, di tahap awal peneliti memahami situasi dan kondisi lapangan penelitian. Menyesuaikan penampilan fisik serta cara berperilaku peneliti dengan norma-norma, nilai-nilai, kebiasaan, dan adat istiadat tempat penelitian. Saat memasuki lapangan, peneliti menjalin hubungan baik dengan subjek-subjek penelitian, sehingga akan memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data.

c. Tahap Analisis Data

Peneliti mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.

5. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui 3 (tiga) cara yaitu, melalui observasi, wawancara dan studi dokumetansi yang dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi adalah suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis. Inti dari observasi adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya tujuan


(30)

21

yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa yang dapat dilihat mata, dapat didengar dan dihitung serta diukur.25

Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi non partisipan, dimana peneliti tidak terlibat secara langsung dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek. Peneliti hanya melakukan aktivitas observasi atau pengamatan selama berjalannya proses pertemuan dengan subjek penelitian. Adapun data-data yang diambil dari metode observasi adalah :

1) Usaha pengendalian diri konseli untuk menjadi orang yang lebih baik

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kontrol diri konseli b. Wawancara

Wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden.26

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih dalam.27

Wawancara secara global dibagi menjadi dua macam yaitu wawancara berstruktur dan wawancara tidak berstruktur. Dalam

25

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), Hal. 131-132

26

Joko Subagyo, Metode Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Hal. 39

27

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), hal: 231.


(31)

22

penelitian ini, jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur, dengan tujuan agar tidak kaku dalam memperoleh informasi dengan mempersiapkan terlebih dahulu gambaran umum pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti mengamati kenyataan dan mengajukan pertanyaan dalam wawancara hingga berkembang secara wajar berdasarkan ucapan dan buah pikiran yang dicetuskan oleh orang yang diwawancarai.

Dalam metode ini penulis mengadakan wawancara langsung baik dengan sumber data primer, yaitu GRP maupun sumber data sekunder yaitu dengan wali blok yang bertanggung jawab atas semua kegiatan di dalam blok tersebut dan tahanan pendamping serta teman-teman subjek yang mengetahui kehidupan sehari-hari subjek selama tinggal di Rutan guna mendapatkan data yang berkaitan dengan terapi realitas dengan teknik WDEP untuk meningkatkan kontrol diri subjek. Adapun data-data yang diambil dari metode interview atau wawancara adalah sebagai berikut :

1) Identitas dan latar belakang konseli

2) Hasil proses konseling dengan teknik WDEP 3) Semua data yang terkait dengan subjek penelitian c. Studi dokumen

Yaitu meneliti berbagai dokumen serta bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Dokumen tersebut bisa berupa bentuk tulisan dan gambar atau karya-karya monumental dari


(32)

23

seseorang. Dokumen yang berupa tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, biografi, peraturan dan semacamnya. Dokumen yang berbentuk gambar dapat berupa foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Sedangkan dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain.

Studi dokumen dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.28

Studi dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen berupa tulisan mengenai riwayat hukum subjek penelitian yang bersangkutan dan dokumen atau arsip objek penelitian.

6. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam, dan dilakukan terus menerus sampai datanya jenuh.

Melakukan analisis adalah pekerjaan yang sulit, memerlukan kerja keras. Analisis memerlukan daya kreatif serta kemampuan untuk melakukan intelektual yang tinggi. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.

28


(33)

24

Analisis data dilakukan dengan cara mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.29

Berikut adalah tahapan-tahapan analisis data menurut Miles dan Huberman :

a. Tahap pertama yaitu tahap pengumpulan data yang berisi tentang serangkaian proses pengumpulan data yang sudah dimulai ketika awal penelitian, baik melalui wawancara awal maupun studi pre-eliminary.

Dalam tahap ini, peneliti mengumpulkan semua data-data yang telah diperoleh selama penelitian menjadi satu.

b. Tahap kedua yaitu tahap reduksi data yang berisi tentang proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan (script) yang akan dianalisis. Data yang

telah peneliti peroleh dikumpulkan untuk dikelompokkan menjadi satu sesuai jenis atau bentuk data.

c. Tahap ketiga yaitu tahap display data yang berisi tentang pengolahan data setengah jadi yang sudah seragam dalam bentuk tulisan dan sudah memiliki alur tema yang jelas ke dalam suatu matriks kategorisasi sesuai tema yang sudah dikelompokkan, memecah tema tersebut menjadi bentuk lebih konkrit dan sederhana yang disebut

29


(34)

25

dengan subtema yang diakhiri dengan pemberian kode sesuai dengan verbatim wawancara yang sebelumnya telah dilakukan.

d. Tahap terakhir yaitu tahap verifikasi atau kesimpulan yang berisi jawaban dari pertanyaan penelitian yang diajukan dan mengungkap “what” dan “how” dari temuan penelitian tersebut.30

7. Teknik Keabsahan Data

Menurut Moleong untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Dalam hal ini digunakan teknik:

a. Keikutsertaan di lapangan dalam rentang waktu yang panjang, dalam penelitian ini untuk menguji kepercayaan terhadap data yang telah dikumpulkan dari informan utama, maka perlu mengadakan keikutsertaan dalam rentang waktu yang panjang. Adapun maksud utama adanya perpanjangan di lapangan ini untuk mengecek kebenaran data yang diberikan baik dari informan utama maupun informan penunjang.

b. Triangulasi, untuk keabsahan data yang telah dikumpulkan agar memperoleh kepercayaan dan kepastian data, maka peneliti melaksanakan pemeriksaan dengan teknik mencari informasi dari sumber lain. Menurut Patton dalam Moleong triangulasi dengan sumber lain berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat

30


(35)

26

yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan:

1) Membandingkan data informasi hasil observasi dengan informasi dari hasil wawancara kemudian menyimpulkan hasilnya.

2) Membandingkan data hasil dari informan utama (primer) dengan informasi yang diperoleh dari informan lainnya (sekunder).

3) Membandingkan hasil wawancara dari informan dengan didukung dokumentasi sewaktu penelitian berlangsung, sehingga informasi yang diberikan oleh informan utama pada penelitian dapat mewakili validitas dan mendapatkan derajat kepercayaan yang tinggi.31

G. Sistematika Pembahasan

Dalam pembahasan suatu penelitian diperlukan sistematika pembahasan yang bertujuan untuk memudahkan penelitian, langkah-langkah pembahasannya adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini terdiri dari sepuluh sub-bab antara lain: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Konsep, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan, Jadwal Penelitian dan Pedoman Wawancara.

31

Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), Hal. 173


(36)

27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini terdiri dari dua sub-bab, yakni Kajian Teoritik (menjelaskan tentang teori yang digunakan untuk menganalisis masalah penelitian), dan Penelitian Terdahulu yang Relevan (menyajikan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang hendak dilakukan).

BAB III PENYAJIAN DATA

Pada bab ini terdiri dari dua sub bab, yakni Deskripsi Umum Objek Penelitian, dan Deskripsi Hasil Penelitian.

BAB IV ANALISIS DATA

Pada bab ini terdiri dari dua sub bab, yakni Temuan Penelitian, bagaimana data yang ada itu digali dan ditemukan beberapa hal yang mendukung penelitian, dan Konfirmasi Temuan dengan Teori, dimana temuan penelitian tadi dikaji dengan teori yang ada.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini terdiri dari Simpulan dan Rekomendasi, yang menjelaskan hasil simpulan dari data yang dipaparkan dan rekomendasi hasil penelitian itu dapat dipraktikkan terhadap situasi tertentu.


(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik

1. Bimbingan dan Konseling Islam

a. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam

Menurut Hamdani Bakran Adz-Dzakiry, bimbingan dan konseling islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan dan pedoman kepada klien dengan keterampilan khusus yang dimiliki pembimbing dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien mengembangkan potensi akal fikirannya, jiwa, dan keimanan, serta dapat menanggulangi masalah dengan baik dan benar secara mandiri yang berlandaskan Al-Qur‟an dan As-Sunnah.32

Menurut H. Isep Zainal Arifin, bimbingan dan konseling islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu atau kelompok agar dapat keluar dari berbagai kesulitan untuk mewujudkan kehidupan yang senantiasa diridhoi Allah SWT di dunia dan akhirat.33

Sedangkan dalam karya Samsul Munir dijelaskan bahwa bimbingan dan konseling islam adalah proses pemberian bantuan terarah, kontinyu, dan sistematis kepada setiap individu agar ia dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang

32

M. Hamdani bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Yogyakarta: Fajar Pus taka baru, 2001), Hal. 137

33

Isep Zainal Arifin, Bimbingan Penyuluhan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), Hal. 10


(38)

29

terkandung di dalam Al-Qur‟an dan Hadits Rasulullah SAW kedalam dirinya, sehingga ia dapat hidup selaras dan sesuai dengan tuntutan Al-Qur‟an dan Hadits.34

b. Prinsip-Prinsip Dasar Pelaksanaan Bimbingan Dan Konseling Islam

Adapun prinsip-prinsip dasar pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Islam akan dijelaskan sebagai berikut :

1) Setiap individu adalah makhluk yang dinamis dengan kelainan-kelainan kepribadian yang bersifat individual serta masing-masing mempunyai kemungkinan untuk berkembang dan menyesuaikan diri dengan situasi sekitar.

2) Suatu kepribadian yang bersifat individual tersebut terbentuk dari faktor dan pengaruh dari dalam dan luar.

3) Setiap individu adalah organisasi yang berkembang atau tumbuh dalam keadaan selalu berubah, perkembangannya dapat dibimbing ke arah pola hidup yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dan masyarakat sekitar.

4) Setiap individu harus diberi hak yang sama serta kesempatan yang sama dalam mengembangkan kepribadiannya masing-masing tanpa mamandang perbedaan suku bangsa dan agama. 5) Setiap individu memiliki fitrah beragama yang dapat berkembang

dengan baik bila melalui bimbingan yang baik.

34

Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), Hal. 23.


(39)

30

6) Perkembangan atau pertumbuhan setiap induvidu adalah

perkembangan atau pertumbuhan yang bersifat menyeluruh, tidak hanya dalam hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan melainkan melalui kepribadian serta perkembangan menuju masa dewasa yang penuh.

7) Bahwa nasehat adalah pilar agama, seperti yang terdapat dalam Hadist, bahwa agama itu nasehat.

8) Bahwa konseling kejiwaan merupakan pekerjaan yang mulia, karena bernilai membantu orang lain mengalami kesulitan.

9) Konseling agama harus dilakukan sebagai pekerjaan ibadah yang semata-mata karena mengharapkan ridho Allah.

10) Pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perbuatan baik yang akan dipilih, dan bahkan memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatan maksiat secara sembunyi-sembunyi.

c. Tujuan Bimbingan Dan Konseling Islam

1) Tujuan umum : Membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2) Tujuan khusus

a) Membantu individu agar tidak menghadapi masalah


(40)

31

c) Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi dengan lebih baik agar tetap baik, sehingga tidak akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.35

d. Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam

1) Fungsi preventif, yaitu membantu individu mencegah timbulnya

masalah bagi dirinya.

2) Fungsi kuratif, yaitu membantu individu memecahkan masalah

yang dihadapinya atau dialaminya.

3) Fungsi preservatif, yaitu membantu individu menjaga agar situasi

dan kondisi yang semula tidak baik itu menjadi baik.

4) Fungsi developmental, yaitu membantu individu memelihara atau

mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya sebab munculnya masalah baginya.36

e. Unsur-Unsur Bimbingan dan Konseling Islam

1) Konselor

Konselor adalah orang yang bermakna bagi klien, konselor menerima klien apa adanya dan bersedia dengan sepenuh hati membantu klien dalam mengatasi masalahnya walau saat kritis sekalipun. Adapun syarat menjadi konselor antara lain:

a) Kemampuan professional b) Sifat kepribadian yang baik

35

Thohari Musnamar, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Dan Konseling Islam, (Yogyakarta: UII Press), Hal. 34

36


(41)

32

c) Kemampuan bermasyarakat dengan baik d) Takwa kepada Allah

Dari beberapa syarat diatas, pada hakikatnya seorang konselor haruslah mempunyai kemampuan melakukan bimbingan dan konseling, serta bisa mempertanggung jawabkan pekerjaannya sebagai konselor.

2) Klien

Klien adalah orang yang perlu memperoleh perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya dan membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk memecahkannya. Namun, demikian keberhasilan dalam mengatasi masalah itu sebenarnya sangat ditentukan oleh pribadi klien itu sendiri. Setidaknya ada beberapa sikap dan sifat yang mesti dimiliki klien untuk memudahkan dalam proses konseling:

a) Terbuka

Klien yang terbuka akan sangat membantu jalannya proses konseling

b) Bersikap jujur

Klien harus mengemukakan semua permasalahannya dengan jujur tanpa ada yang ditutupi.

c) Sikap percaya

Klien harus percaya bahwa konselor adalah orang yang tidak akan membocorkan rahasia kliennya.


(42)

33

d) Bertanggung jawab

Tanggung jawab klien untuk mengatasi permasalahannya sendiri sangat penting bagi kesuksesan proses konseling.

3) Masalah

Masalah adalah semua hal yang dapat menghanbat di dalam mencapai tujuan.

2. Terapi Realitas

a. Konsep Dasar Terapi Realitas

Terapi Realitas dikembangkan pada tahun 1960-an oleh seorang psikiater sekaligus insinyur kimia terkemuka, William Glasser. Ia mengembangkan terapi realitas untuk membuktikan bahwa psikiatri konvensional yang selama ini ada, sebagian besar telah berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Bahkan Glasser juga menolak pandangan Sigmund Freud mengenai aliran psikoanalisisnya yang berdasarkan alam bawah sadar manusia, karena teorinya diangap kurang jelas.37

Sejak kemunculannya, terapi realitas telah mengalami berbagai perkembangan yang sangat pesat dan telah digunakan oleh banyak konselor. Ini semua tak lepas dari konsep yang ditawarkan oleh William Glasser yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan.

Ciri yang khas dari pendekatan ini adalah tidak terpaku pada kejadian-kejadian di masa lalu, tetapi lebih mendorong konseli untuk menghadapi realitas atau kenyataan yang ada. Pendekatan ini juga

37

Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), Hal. 183


(43)

34

tidak memberi perhatian-perhatian pada motif-motif bawah sadar seperti psikoanalisis. Inti terapi realita adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental.38

Dalam pendekatan realitas, seorang konselor harus bertindak aktif, direktif, dan didaktik. Konselor juga berperan sebagai guru dan model bagi konseli.

Pendekatan realitas berpatokan pada ide sentral bahwa para individu bertanggung jawab atas tingkah laku mereka masing-masing. Ide inilah mendasari teori konseling yang ditemukan oleh William Glasser yang dikenal dengan istilah 3-R, yaitu :

1) Responsibility

Tanggung jawab diartikan sebagai kemampuan untuk dapat memenuhi dua kebutuhan psikologis yang mendasar yaitu kebutuhan untuk dicintai dan mencintai serta kebutuhan menghayati dirinya sebagai orang yang berharga, tetapi dengan cara tidak merampas hak orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka.

2) Right

Norma dan nilai sosial yang dapat menjadi milik individu melalui internalisasi dan transformasi.

3) Reality

Kenyataan dunia dimana individu tersebut bertingkah laku.39

38


(44)

35

b. Pandangan Tentang Manusia

Dalam terapi realitas, manusia dipandang sebagai individu yang mampu menentukan dan memilih tingkah lakunya sendiri. Yang berarti individu harus bertanggung jawab dan bersedia menerima konsekuensi dari tingkah lakunya. Bertanggung jawab disini maksudnya adalah bukan hanya pada apa yang dilakukannya, melainkan juga pada apa yang dipikirkannya.40

Dinamika kepribadian manusia dalam terapi realitas ditentukan oleh dua kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis. Kebutuhan fisiologis berupa makan, minum, seks dan lainnya. Sedangkan kebutuhan psikologis berupa kebutuhan psikis seperti dicintai, mencintai, mendapat rasa aman, penghargaan dan lainnya. Kedua kebutuhan dasar ini sudah terbentuk sejak masih anak-anak.41

Saat seseorang berhasil memenuhi kebutuhan psikologisnya, maka ia akan mengembangkan identitas keberhasilan (success

identity) dalam dirinya, sebaliknya jika ia gagal dalam memenuhi

kebutuhan psikologisnya, maka ia akan mengembangkan identitas gagal (failure identity) dalam dirinya.

Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara konstan (terus-menerus) hadir sepanjang

39

Andi Mappiare AT, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Hal. 159

40

Namora Lumonnga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktek, Hal. 185

41

Namora Lumonnga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktek, Hal. 185


(45)

36

rentang kehidupannya dan harus dipenuhi. Jadi ketika seseorang mengalami masalah, hal tersebut diyakini Glasser disebabkan oleh satu faktor, yaitu terhambatnya seorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya.

Corey menyebutkan bahwa manusia tidaklah terlahir dengan kertas kosong yang selalu menunggu adanya motivasi dari luar, tetapi kita terlahir dengan lima kebutuhan secara genetis, yaitu kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki, kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan akan kebebasan, kebutuhan akan kesenangan, dan kebutuhan akan bertahan hidup.

Berikut adalah penjelasan mengenai 5 kebutuhan dasar dalam terapi realitas :

1) Cinta (Belonging/ Love)

Sebagai manusia, kita perlu cinta dan dicintai. Kita perlu rasa memiliki dan dimiliki. Kita harus percaya bahwa kita diterima oleh orang lain apa adanya kita dan penerimaan ini tanpa syarat. Kebutuhan ini oleh Glasser dibagi dalam tiga bentuk, yaitu : social

belonging, work belonging, dan family belonging.

2) Kekuasaan (Power)

Merupakan kebutuhan khusus manusia. Kebutuhan akan kekuasaan meliputi keinginan untuk berprestasi, merasa berharga, kesuksesan dan mendapatkan pengakuan.


(46)

37

Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, bahagia. Kebutuhan ini muncul sejak dini kemudian terus berkembang hingga dewasa. Kebutuhan yang diinginkan pada setiap level usia. Misalnya bertamasya untuk sekedar menghilangkan kepenatan hidup, bersantai dan sebagainya.

4) Kebebasan (Freedom)

Kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan tidak bergantung pada orang lain, misalnya dalam membuat pilihan dan memutuskannya.

5) Kelangsungan Hidup (survival)

Kebutuhan untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Pada hakekatnya semua individu senantiasa memandang kedepan dan berusaha untuk selalu menjaga hidupnya dengan cara yang menyebabkan kelanggengan (misal exercise & makan makanan

yang sehat).42

c. Ciri-Ciri Terapi Realitas

Corey menyebutkan bahwa ada 7 ciri-ciri dari terapi realitas, yaitu sebagai berikut :

1) Menolak konsep tentang penyakit mental

2) Berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau

Karena masa lalu seseorang itu merupakan takdir yang tidak akan bisa diubah, maka yang bisa dilakukan hanyalah mengubah

42

Bernardus Widodo, Keefektifan Konseling Kelompok Realitas Mengatasi Persoalan Perilaku Disiplin Siswa di Sekolah, Jurnal Widya Warta No. 02, (Juli, 2010), Hal. 95


(47)

38

saat sekarang dan masa yang akan datang. Sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.

3) Menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai.

Terapi realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu kegagalan yang dialaminya. Jika para klien menjadi sadar bahwa mereka tidak akan memperoleh apa yang mereka inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri, maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadinya perubahan positif, semata-mata karena menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa lebih baik daripada gaya mereka sekarang yang tidak realitas.

4) Tidak menekankan transferensi.

Terapi realitas tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi ini juga mengimbau agar para terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah maupun ibu klien. 5) Menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan ketidaksadaran.

Terapi ini menekankan kekeliruan yang dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga dia tidak


(48)

39

mendapatkan apa yang diinginkannya. Terapi ini memeriksa kehidupan klien sekarang secara rinci dan berpegang pada asumsi bahwa klien akan menemukan tingkah laku sadar.

6) Menghapus konsep pemberian hukuman

Glasser menganggap bahwa pemberian hukuman untuk kepentingan mengubah tingkah laku yang tidak efektif dalam diri klien hanya akan mengakibatkan menguatnya identitas kegagalan pada klien dan merusak hubungan terapeutik.

7) Menekankan tanggung jawab

Menurut Glasser orang yang bertanggung jawab yaitu orang

yang memiliki kemampuan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhannya sendiri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi atau menghalangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.43

d. Tujuan Terapi Realitas

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, tujuan terapi realitas adalah membantu manusia mencapai identitas keberhasilan (success

identity) dan otonomi, yaitu merupakan kematangan emosional yang

diperlukan individu dalam mendukung diirinya sendiri dengan cara bertanggung jawab dengan tingkah lakunya sendiri.44

Adapun tujuan-tujuan lain dari terapi realitas adalah sebagai berikut :

43

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Hal. 265-269

44

Namora Lumonnga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktek, Hal. 188


(49)

40

1) Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata

2) Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada

3) Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

4) Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.45

e. Peran dan Fungsi Terapis

Fungsi konselor realitas adalah sebagai guru pembimbing untuk kliennya, dan sebagai role model yang baik. Terapis realitas harus

menekankan bahwa yang dicari dalam terapi ini bukanlah hanya semata-mata kebahagiaan saja, tetapi juga mampu menerima tanggung jawab. Oleh karena itu, terapis realitas diharapkan memberikan pujian saat klien bertindak secara bertanggung jawab dan menunjukkan ketidaksetujuannya saat klien bertindak tidak tanggung jawab.

Peran terapis realitas yang lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Melibatkan diri dengan klien dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan.

2) Memasang batas-batas terapiutik

45

Namora Lumonnga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktek, Hal. 188-189


(50)

41

3) Terapis realitas harus aktif, mendidik, membimbing, mendorong dan menantang klien untuk dapat bertanggung jawab pada tingkah lakunya. Dan membuat klien dapat menilai tingkah lakunya secara realistis.46

f. Teknik-Teknik Terapi Realitas

Prosedur-prosedurnya difokuskan pada kekuatan dan potensi klien yang berhubungan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapi dapat menggunakan beberapa teknik :

1) Melibatkan diri

2) Menggunakan humor

3) Mengonfrontasikan klien dan menolak dalil apapun

4) Membantu klien dalam merumuskan rencana yang spesifik bagi tindakan

5) Bertindak sebagai model dan guru

6) Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi

7) Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak

untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah laku yang tidak realistis.47

46

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Hal. 274-277

47


(51)

42

g. Tahapan-Tahapan Konseling Terapi Realitas

Proses konseling dalam pendekatan realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli.

Secara praktis, Thompson mengemukakan tujuh tahap dalam konseling realitas, yaitu:

1) Konselor menunjukkan keterlibatan dengan konseli (Be Friend)

Pada tahap ini konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik, hangat, dan menaruh perhatian pada hubungan yang sedang dibangun. Konselor harus dapat melibatkan diri kepada konseli dengan memperlihatkan sikap hangat dan ramah. Meskipun konseli menunjukkan ketidaksenangan, marah, atau bersikap yang tidak berkenan, konselor harus tetap menunjukkan sikap ramah dan sopan, tetap tenang, dan tidak mengintimidasi konseli.

2) Fokus pada perilaku sekarang

Tahap kedua ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut. Secara rinci tahap ini meliputi : a) Eksplorasi picture album (keinginan), kebutuhan, dan persepsi


(52)

43

b) Menanyakan keinginan-keinginan konseli

c) Menanyakan apa yang benar-benar diinginkan konseli

d) Menanyakan apa yang terpikir oleh konseli tentang yang diinginkan orang lain dari dirinya dan menanyakan bagaimana konseli melihat hal tersebut

3) Mengeksplorasi total behavior konseli

Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu

konselor menanyakan secara spesifik tentang apa saja yang dilakukan konseli.

4) Konseli menilai diri sendiri atau melakukan evaluasi

Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini.

5) Merencanakan tindakan yang bertanggung jawab

Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang lebih bertanggung jawab.


(53)

44

Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.

7) Tindak lanjut.

Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai.48

Praktik atau metode terapi realitas dilihat sebagai 2 strategi utama (tapi saling berhubungan) : a) Membangun realsi atau lingkungan konseling yang saling percaya, dan b) Prosedur-prosedur yang menuntun menuju perubahan yang dirangkum oleh Dr. Robert Wubbolding sebagai sistem WDEP. Sistem WDEP memberikan kerangka pertanyaan yang duajukan secara luwes dan tidak dimaksudkan hanya sebagai rangkaian langkah sederhana. Tapi huruf WDEP melambangkan sekelompok gagasan.49

Berikut adalah penjelasan tentang teknik WDEP yang terdapat dalam terapi realitas :

Teknik WDEP yang merupakan akronim dari W =wants or needs;

D = doing and direction; E = evaluation or self-evaluation; dan P =

planning.50

48

Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011) hal. 244-252

49

Stephen Palomer (Ed.), Konseling Dan Psikoterapi, Hal. 533-534

50

Nurul Rizqa Fauziah, Penerapan Konseling Kelompok Realita Teknik WDEP Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas VIII-H SMP Negeri 2 Mojosari, Jurnal BK Unesa, Volume 3 No. 1 Tahun 2013, Hal. 404


(54)

45

1. Wants / keinginan

Kegiatan untuk menjelajahi keinginan dan persepsi konseli. Menolong konseli untuk merumuskan dan menemukan apa yang diinginkan dan diharapkan konseli, termasuk yang diinginkannya dari bidang khusus yang relevan seperti teman, pasangan, anak, pekerjaan, karir, kehidupan spiritual dan lain-lain.51

2. Direction / doing / arahan

“Apa yang anda lakukan?” dan “Kearah mana perilaku anda

membawa anda?”. Di awal konseling penting untuk mendiskusikan

dengan konseli secara keseluruhan arah dari kehidupan mereka. Eksplorasi ini adalah awal untuk evaluasi berikutnya apakah itu adalah arah yang diinginkan. Konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan konseli. Cara pandang dalam konseling realita, akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya

(doing), bukan pada perasaannya.52

3. Evaluation / penilaian

Kegiatan membantu konseli untuk mengevaluasi diri. Konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi

51

Sofwan Adiputra, Teknik WDEP System Dalam Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa Undeachiever, Jurnal Fokus Konseling STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung, Volume 2 No.1 (Januari, 2016), Hal. 36

52

Bernardus Widodo, Keefektifan Konseling Kelompok Realitas Mengatasi Persoalan Perilaku Disiplin Siswa di Sekolah, Jurnal Widya Warta No. 02, (Juli, 2010), Hal. 101


(55)

46

membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Terapis realitas kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti :

„Apakah yang anda lakukan membuat anda semakin dekat dengan orang-orang yang anda butuhkan?‟

„Apakah yang anda inginkan realistis atau dapat dicapai?‟ „Apa lagi yang dapat anda lakukan?‟

„Bermanfaat ataukah menyakitikah berulang kali menyebut diri anda “tak berguna”?‟

Pertanyaan diatas dan masih banyak pertanyaan evaluasi diri lainnya merupakan batu pertama sistem WDEP. Semua itu perlu ditanyakan dengan empati, kepedulian, dan perhatian positif pada klien.53

4. Planning / perencanaan

Kegiatan menolong konseli untuk membuat rencana tindakan. Rencana menekankan tindakan yang akan diambil, bukan tingkah laku yang akan dihapuskan. Rencana juga dikendalikan oleh konseli dan terkadang dituangkan dalam bentuk kontrak tertulis yang menyebutkan alternatif-alternatif yang dapat dipertanggung jawabkan. Konseli kemudian diminta untuk berkomitmen terhadap rencana tindakan tersebut.54

53

Stephen Palomer (Ed.), Konseling Dan Psikoterapi, Hal. 536

54

Sofwan Adiputra, Teknik WDEP System Dalam Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa Undeachiever, Jurnal Fokus Konseling STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung, Volume 2 No.1 (Januari, 2016), Hal. 36


(56)

47

Penggunaan teknik WDEP ini bertujuan untuk membantu konseli agar memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya sendiri dan mampu membuat pilihan yang lebih baik nantinya.

Melalui penggunaan teknik WDEP ini, konselor mengajak konseli untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kontrol diri dengan melakukan evaluasi terhadap diri sendiri dengan mengeksplorasi dan menilai perilaku-perilaku konseli khususnya perilaku yang kurang bertanggung jawab yang mengakibatkan kontrol dirinya rendah terhadap perilaku menyimpang.

Setelah mengetahui dan menilai perilakunya, konseli bersama dengan konselor membuat perencanaan untuk perilaku kedepannya yang lebih bertanggung jawab, dimana didalamnya terdapat komitmen antara konselor dengan konseli. Dengan adanya komitmen tersebut konseli dituntut untuk bertanggung jawab terhadap rencana yang telah dibuatnya.55

3. Kontrol Diri

a. Pengertian Kontrol Diri

Kontrol diri sering diartikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk membentuk, membimbing, mengatur atau mengarahkan perilakunya kearah yang lebih positif. Kontrol diri juga merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol

55

Ali Masrohan, Penerapan Konseling Kelompok Realita Teknik Wdep Untuk Meningkatkan Disiplin Belajar Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Rogojampi Banyuwangi, Jurnal mahasiswa Bimbingan dan Konseling UNESA Vol 4, No 3, (2014), Hal 4


(57)

48

dan mengelolah faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi.

Setiap orang membutuhkan pengendalian diri, khususnya para remaja. Namun kebanyakan dari mereka belum mampu mengontrol diri karena belum memiliki banyak pengalaman. Mereka akan menjadi sangat peka akibat pertumbuhan fisik dan seksual yang berlangsung dengan cepat. Sebagai akibat dari pertumbuhan fisik dan seksual tersebut, terjadi kegoncangan dan kebimbangan dalam dirinya terutama dalam pergaulan terhadap lawan jenis.56

Menurut Chaplin, kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif.57

Hurlock mengemukakan bahwa orang yang memiliki kontrol diri cenderung akan memiliki kesiapan diri untuk berperilaku yang sesuai dengan norma, adat dan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama atau tuntutan lingkungan masyarakat dimana ia tinggal. Untuk keadaan emosinya pun tidak lagi meledak-ledak saat dihadapan orang lain, melainkan menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih diterima.58

Sedangkan menurut Skinner, seseorang telah dikatakan mempunyai kontrol diri apabila mereka secara aktif mengubah

56

Panut Panuju dan Ida Umami, Psikologi Remaja, Hal. 39

57

J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1997), Hal. 316

58

Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Hal. 225


(58)

49

variabel-variabel yang menentukan perilaku mereka. Misalnya ketika kita tidak bisa tidur karena lampu yang menyala, maka kita segera mematikannya.59

Jadi, kontrol diri adalah suatu aktivitas pengendalian tingkah laku dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Karena semakin tinggi kontrol diri seseorang, maka akan semakin intens pula orang tersebut mengadakan pengendalian terhadap tingkah laku.

b. Aspek Kontrol Diri

Menurut Tangney dkk (2004) terdapat 5 aspek kontrol diri, yaitu sebagai berikut :

1) Self discipline, yaitu kemampuan individu dalam melakukan

disiplin diri.

2) Deliberate/non impulsive, yaitu kecenderungan individu untuk

melakukan sesuatu dengan pertimbangan tertentu.

3) Healthy habits, yaitu kemampuan mengatur pola perilaku menjadi

kebiasaan yang menyehatkan bagi individu.

4) Work ethic, yaitu berkaitan dengan penampilan individu terhadap

regulasi diri mereka di dalam layanan etika kerja.

5) Reliability, yaitu aspek yang terkait dengan penampilan individu

terhadap kemampuan dirinya dalam pelaksanaan rancangan jangka panjang untuk pencapaian tertentu.60

59

Paulus Budiraharjo, Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), Hal. 118


(59)

50

Sedangkan aspek kontrol diri menurut konsep Averill meliputi 3 jenis, yaitu :

1) Behavior control, merupakan tersedianya suatu respon yang dapat

mempengaruhi secara langsung atau mengubah suatu keadaan yang tidak menyenangkan.

2) Cognitive control, merupakan suatu kemampuan dalam mengelolah

informasi yang tidak diinginkan dengan cara mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan atau penilaian.

3) Decisional control, merupakan kemampuan individu dalam

memilih atau menentukan suatu perilaku pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.61

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Kontrol diri dipengaruhi dua faktor yang sangat penting, yaitu faktor internal dan eksternal. Berikut adalah penjelasan dari keduanya. 1) Faktor internal yang berperan dalam mempengaruhi kontrol diri

seseorang adalah usia. Semakin bertambahnya usia seseorang akan bertambah pula kemampuan mengontrol dirinya. Kontrol diri seseorang yang masih duduk di bangku sekolah dasar pastilah berbeda dengan seorang mahasiswa yang telah beranjak dewasa.

60 Zinti Munazzah, “Kontrol Diri Dengan Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswa S1 Perbankan Syariah: Studi Di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang” (Skripsi, Fakultas Psikologi

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016), Hal. 26-28

61

Zinti Munazzah, “Kontrol Diri Dengan Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswa S1

Perbankan Syariah: Studi Di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang” (Skripsi, Fakultas Psikologi


(60)

51

Hal ini berkaitan dengan faktor kognitif seseorang yang berkembang dan meningkat sepanjang waktu.

2) Faktor eksternal yang dimaksud adalah pengaruh lingkungan, khususnya lingkungan keluarga. Peran orang tua sangat menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Apa yang diajarkan dan diterapkan oleh orang tua semenjak dini, itulah yang akan menjadi bekal seseorang untuk menentukan kemampuan mengontrol dirinya.62

d. Teknik Pengontrol Perilaku

Skinner telah menguraikan sejumlah teknik dalam mengontrol atau mengendalikan perilaku, berikut adalah 7 teknik pengontrol perilaku menurut Skinner :

1) Pengekangan fisik (physical restraints)

Menurut Skinner, kita dapat mengendalikan perilaku melalui pengekangan fisik. Misalnya beberapa orang akan menutup mulut saat dirinya menertawakan kesalahan orang lain, sebagian pula menunjukkan dengan cara berjalan menjauhi seseorang yang telah menghina kita agar bisa mengendalikan emosi dan tidak kehilangan kendali.

2) Bantuan fisik (physical aids)

Dalam pandangan Skinner, bantuan fisik dapat membantu seseorang dalam mengendalikan perilaku. Seperti seorang supir

62

Syamsul L. N. Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosdakarya, 2001), Hal. 71


(61)

52

truk akan cenderung minum obat-obat perangsang sebagai penguat selama di pejalanan. Dan bantuan fisik lainnya terlihat pada saat seseorang menggunakan kacamata sebagai alat bantu melihat. 3) Mengubah kondisi stimulus (changing the stimulus conditions)

Dengan kata lain yaitu mengubah stimulus yang bertanggung jawab. Misalnya orang yang mempunyai kelebihan berat badan, akan menyisihkan sekotak permen dari hadapannya untuk mengekang diri sendiri dari stimulus yang mendiskriminasinya. 4) Memanipulasi kondisi emosional (manipulating emotional

conditions)

Skinner mengatakan bahwa terkadang seseorang akan melakukan perubahan emosional dalam diri untuk mengendalikan dirinya sendiri. Misalnya beberapa orang akan melakukan teknik meditasi untuk menghadapi stress.

5) Melakukan suatu respon-respon lain (performing alternative

responses)

Menurut Skinner, kita juga sering menahan diri dari perilaku yang membawa hukuman dengan melakukan hal yang lainnya, misalnya untuk menahan diri agar tidak terpancing emosi dan menyerang orang yang sangat tidak disukai, seseorang mungkin akan melakukan tindakan yang sangat tidak berhubungan dengan pendapat kita tentang mereka.


(1)

124 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis proses dan hasil pelaksanaan terapi realitas dengan teknik WDEP untuk meningkatkan kontrol diri tahanan anak di Rutan Medaeng, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Proses terapi realitas dengan teknik WDEP untuk meningkatkan kontrol diri tahanan anak dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut, yaitu 1) Menggunakan konsep W (wants or needs) untuk menggali atau mengeksplor keinginan konseli. 2) Melihat perilaku konseli saat ini, apakah mendekatkan konseli dengan tujuannya atau tidak, sesuai dengan konsep D (doing and direction). 3) Lalu konselor meyakinkan konseli untuk menilai dan mengevaluasi perilakunya saat ini sesuai dengan konsep E (evaluation). 4) Tahap terakhir yaitu Planning, tahap dimana konseli merencanakan tindakan untuk menggapai impiannya, tindakan yang ditulis adalah rencana tindakan yang akan dilakukan konseli untuk mendekatkan dirinya dengan impiannya.

2. Hasil dari proses konseling dengan treatment teknik WDEP untuk meningkatkan kontrol diri tahanan anak ini cukup membawa perubahan meskipun tidak semprna 100%. Hal ini dapat dilihat dari hasil follow up yang dilakukan konselor bersama konseli dan informan lainnya, yang mana dari beberapa perilaku yang ditunjukkan konseli sebelum menjalani proses konseling dan treatment mengalami perubahan kearah yang lebih


(2)

125

baik, seperti : perubahan konseli yang berusaha selalu lebih tenang dalam bersikapdan berbicara, berani menolak ajakan teman-temannya untuk memakai narkoba lagi, religiusitas konseli juga meningkat, dan kontrol diri pada konseli juga menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik sesuai dengan hasil tabel skala kontrol diri konseli.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi konselor

Pelaksanaan konseling realitas dengan teknik WDEP dalam meningkatkan kontrol diri tahanan anak di Rutan Medaeng hendaknya dipertahankan dan alangkah baiknya jika konselor lebih banyak menambah ilmu pengetahuan dengan banyak membaca buku dan mencari banyak pengalaman konseling sehingga dalam melakukan proses konseling mendapatkan hasil yang sangat memuaskan.

2. Bagi konseli

Memiliki kontrol diri sangat penting dalam berperilaku. Karena jika kontrol diri rendah, perilaku yang ditampakkan akan tidak bertanggung jawab, dan sebaliknya. Serta mengurangi untuk bergaul dengan teman-teman yang membawa dampak buruk bagi konseli sangat penting. Karena dalam usia konseli yang masih remaja, pengaruh teman dan lingkungan sanagt kuat.


(3)

126

Keluarga adalah pilar yang sangat menentukan pribadi dan perkembangan anak terutama ayah dan ibu, sesibuk apapun pekerjaan seberapa pentingnya pekerjaan sebaiknya agar orang tua menyempatkan berinteraksi dan komunikasi tetap dijaga agar anak tidak larut dalam dunianya sendiri dan menimbulkan kerugian bagi semua orang.

4. Bagi pembaca

Jadikanlah fenomena kenakalan remaja ini sebagai proses belajar dalam menambah keilmuan.


(4)

127

DAFTAR PUSTAKA

Adiputra, Sofwan, “Teknik WDEP System Dalam Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa Undeachiever”, Jurnal Fokus Konseling STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung, Volume 2 No.1 (Januari, 2016) Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran, Konseling dan Psikoterapi Islam, Yogyakarta:

Fajar Pustaka Baru, 2001

Amin, Samsul Munir, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: Amzah, 2010 Arifin, Isep Zainal, Bimbingan Penyuluhan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2009

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006

Baraja, Abubakar, Psikologi Konseling Dan Teknik Konseling, Jakarta: Studia Press, 2008

Budiraharjo, Paulus, Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir, Yogyakarta: Kanisius, 1997

Dokumentasi Rutan Klas I Surabaya

Chaplin, J.P, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997 Corey, Gerald, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung: PT.

Refika Aditama, 2010

Gunarsa, Singgih D, Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia, 2007 Hamzah, Andi dan Surachman, Kejahatan Narkotika Dan Psikotropika, Jakarta:

Sinar Grafika, 1994

Hare, Rom dan Roger Camb, Ensiklopedia Psikologi, Jakarta: ARCAN. 1996 Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial,

Jakarta: Salemba Humanika, 2010

Hurlock, Elizabeth B, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga, 1996


(5)

128

Knoers, Monks F.J, Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001

Komalasari, Gantina dkk, Teori dan Teknik Konseling, Jakarta: PT. Indeks, 2011 Lubis, Namora Lumongga, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan

Praktik, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011

Mappiare AT, Andi, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011

Masrohan, Ali, “Penerapan Konseling Kelompok Realita Teknik WDEP Untuk Meningkatkan Disiplin Belajar Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Rogojampi Banyuwangi”, Jurnal mahasiswa Bimbingan dan Konseling UNESA Vol 4, No 3, Tahun 2014

Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001

Muin, Idanto, Sosiologi SMA/MA Kelas X, Jakarta: Erlangga, 2006

Munazzah, Zinti, “Kontrol Diri Dengan Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswa S1 Perbankan Syariah: Studi Di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang” (Skripsi, Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016) Musnamar, Thohari, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Dan Konseling Islam,

Yogyakarta: UII Press

Palmer (Ed.), Stephen, Konseling dan Psikoterapi, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011

Partodiharjo, Subagyo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya, Jakarta: Esensi Erlangga Grup

Panuju, Panut dan Ida Umami, Psikologi Remaja, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1999

Rahman, Sosiologi 1 Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Yudisthira, 2007

Salahudin, Anas, Bimbingan dan Konseling, Bandung: Pustaka Setia, 2010

Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Psikologi Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010


(6)

129

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2014

Susanti, Iis dan Pambudi Handoyo, “Perilaku Menyimpang Di Kalangan Remaja Pada Masyarakat Karangmojo Plandaan Jombang”, Jurnal Paradigma Sosiologi Unesa, Volume 03 No. 2 (2015)

Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Gita Media Press

Widiana, Herlina Siwi dan Sofia Retnowati, Rahma Hidayat, “Kontrol Diri Dan Kecenderungan Kecanduan Internet”, Humanitas : Indonesian Psychologycal Journal Vol.1 No. 1, (Januari, 2004)

Widodo, Bernardus, “Keefektifan Konseling Kelompok Realitas Mengatasi Persoalan Perilaku Disiplin Siswa di Sekolah”, Jurnal Widya Warta No. 02, (Juli, 2010)

Willis, Sofyan S, Remaja Dan Masalahnya, Bandung: Alfabeta, 2014 https://id.wikipedia.org