Bimbingan dan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba di Rutan kelas I Medaeng Surabaya.
BIMBINGAN DAN KONSELING KEMASYARAKATAN TERHADAP STEREOTIP NARAPIDANA NARKOBA DI RUTAN KELAS I MEDAENG
SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S. Sos)
Oleh : Agus Rizal B03213002
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Agus Rizal (B03213002), Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan Terhadap Stereotip Narapidana Narkoba Di Rutan Kelas I Medaeng Surabaya.
Fokus penelitian adalah (1) Bagaimana proses bimbingan dan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba di Rutan kelas I Medaeng Surabaya? (2) Bagaimana hasil akhir bimbingan dan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba di Rutan kelas I Medaeng Surabaya?
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah dimana peneliti sebagai instrumen kunci dan teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan observasi dan wawancara dan serta teknik keabsahan data ini dilakukan secara triangulasi tersebut, dan jenis penelitian yaitu Deskriptif, suatu jenis penelitian yang mempunyai tujuan menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, atau berbagai variable yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian tersebut.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa proses bimbingan dan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba dilakukan melalui memberikan motivasi maupun nasehat dari segi pemberian motivasi video maupun lisan serta menggunakan teknik behavioral yang bisa menyadarkan perilaku narapidana narkoba. Serta konseli juga memulai dari menulis keinginan, melihat perilaku, mengevaluasi perilaku, dan menulis rencana tindakan. Dalam penelitian ini, proses bimbingan dan konseling Kemasyarakatan kepada narapidana narkoba yang awalnya tidak mau menceritakan permasalahan yang dialami, sekarang konseli bisa menceritakan permasalahan yang dialami dan bisa meperbaiki diri dengan baik dari aspek perilaku maupun aspek religius yang diterima oleh narapidana narkoba untuk bisa berubah dan kembali kepada masyarakat dengan baik.
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
BAGIAN INTI BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 7
C.Tujuan Penulisan ... 7
D.Manfaat Penelitian ... 8
E. Definisi Konsep ... 9
F. Metode Penilitian ... 16
1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian ... 16
2. Sasaran Dan Lokasi Penelitian ... 17
3. Jenis Dan Sumber Data ... 17
4. Tahap-Tahap Penelitian ... 19
5. Teknik Pengumpulan Data ... 23
6. Teknik Analisis Data ... 25
7. Teknik pemeriksaan/ Keabsahan Data ... 26
G.Sistematika Pembahasan ... 27
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A.Kajian Teoritik ... 29
1. Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan ... 29
a. Pengertian Bimbingan ... 29
b. Pengertian Konseling ... 30
c. Pengertian Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan 32 d. Tujuan Bimbingan dan Konseling kemasyarakatan .... 36
e. Fungsi Bimbingan dan Konseling kemasyarakatan .... 38
f. Unsur- Unsur BKM ... 39
(8)
2. Stereotip Narapidana Narkoba ... 47
3. BKM Terhadap Stereotip Narapidana Narkoba ... 54
B.Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 55
BAB III : PENYAJIAN DATA A.Deskripsi Umum Objek Penelitian ... 57
1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 57
a. Latar Belakang Sejarah Rutan ... 57
b. Letak Geografis Rutsn ... 59
c. Visi, Misi dan Motto Rutan... 60
d. Struktur Organisasi Rutan ... 62
e. Fungsi Dan Prinsip Rutan ... 64
f. Sarana Dan Prasarana Rutan ... 64
B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 65
1. Deskriptif Proses Bimbingan dan Konseling ... 65
2. Deskripsi Konselor ... 69
a. Identitas Pribadi ... 70
b. Riwayat Pendidikan ... 70
c. Pengalaman ... 70
3. Deskripsi Konseli ... 72
a. Konseli Pertama ... 72
1) Identitas Konseli ... 72
2) Kehidupan Sehari-Hari Konseli ... 73
3) Latar Belakang Keluarga Konseli ... 74
4) Latar Belakang Pendidikan Konseli ... 75
5) Latar Belakang Lingkungan Sosial Konseli ... 75
6) Identifikasi masalah ... 76
b. Konseli Kedua ... 76
1) Identitas Konseli ... 76
2) Kehidupan Sehari-Hari Konseli ... 77
3) Latar Belakang Keluarga Konseli ... 78
4) Latar Belakang Pendidikan Konseli ... 79
5) Latar Belakang Lingkungan Sosial Konseli ... 80
6) Identifikasi masalah ... 81
4. Teknik dan Prosedur Proses Bimbingan dan Konseling 81
a. Identifikasi Masalah ... 82
b. Diagnosis ... 89
c. Prognosis ... 92
d. Terapi (Treatment) ... 94
e. Evaluasi (Follow Up) ... 100
5. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Proses konseling ... 102
BAB IV : ANALISIS DATA A.Analisis Proses Pelaksaan Proses ... 105
B.Analisis Hasil Pelaksaan Proses ... 110
(9)
BAB V : PENUTUP
A.Kesimpulan ... 116 B.Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 120 LAMPIRAN-LAMPIRAN
(10)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Di masa kini sering kita jumpai banyak hal yang terkadang terjadi di luar nalar kita atau hal yang tidak pernah kita bayangkan, di mana hal-hal tersebut terjadi di sekitar kita oleh orang lain. Manusia memiliki banyak kompleksitas permasalahan di setiap harinya dari yang masalah ringan hingga berat yang tidak pernah di bayangkan sebelumnya, hingga pada suatu ketika permasalahan yang berat itu datang dengan jumlah yang banyak sehingga tidak jarang mereka terbawa oleh permasalahan-permasalahan itu yang kemudian membawanya pada sebuah perilaku yang salah. Perilaku yang salah disini merupakan hasil dari kondisi abnormal psikologis sebagai dampak konflik-konflik dalam jiwa.
Problematika yang di hadapi sering kali membuat mental dan pola pikirannya tidak mampu menahan beban hidup yang dihadapi. Selain itu di lihat dari segi spiritual yang lemah membuat orang putus asa dan melakukan hal atau berpikir secara tidak normal hingga pada titik di mana secara mental dan kejiwaannya ikut terganggu hingga mengakibatkan seseorang mengalami gangguan jiwa.
Adapun masalah ekonomi dan konflik kehidupan yang
perkerpanjangan yang seringkali terjadi pemicu tingginya angka gangguan jiwa (penyakit jiwa) di Tanah Air. Semakin tinggi konflik dan kondisi perekonomian yang kian memburuk akan berdampak pada semakin
(11)
2
tingginya angka penderita gangguan jiwa dirumah sakit. Lagi-lagi yang diperhatikan pemerintah adalah persoalan kesejahteraan, baik segi sosial, ekonomi maupun kultural.
Ketepurukan yang terjadi di Indonesia ini justru malah meningkatkan banyak hal di antaranya meningkatkan tindak kriminal di lingkungan masyarakat perkotaan hingga perdesaan hal ini tidak dapat di pungkiri, karena telah banyak tentang tindak kriminal yang dapat di ketahui oleh masyarakat melalui berita di televisi maupun berita di koran dan tabroid. Hal ini menuntut peningkatan kewaspadaan bagi masyarakat bangsa ini.
Pada permasalahan kriminalitas, bahwasanya fenomena kriminalitas yang berlangsung di tanah air pada tahun-tahun sebelumnya sampai tahun pertengahan 2016 semakin cenderung naik. Dan kebanyakan tindakan kriminal dari kasus penganiayaan, psikotropika, korupsi, penculikan dan lain sebagainya. Tinggi angka kriminalitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor pendidikan, hukum yang kurang tegas, peredaran minuman keras dan dan sistem kapitalisme.1
Pelanggaran hukum yang di lakukan oleh pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu: orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Dalam hai ini, ada beberapa tipologi pelanggaran hukum yaitu: pelanggar
1
Muhammad Randy, Setiap 1.36 Menit Terjadi Tindak Kriminal di Indonesia dalam situs
(12)
3
hukum yang lalai, pelanggar hukum situasional, pelanggar hukum yang yang sakit dan pelanggar hukum berulang atau residivis.2
Pelanggaran hukum situasional dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang secara keadaan khusus dalam melakukan pelanggaran hukum, dan kemungkinan penggulangan pelanggarannya kecil. Sedangkan pelanggaran hukum lalai merupakan orang yang melakukan pelanggaran hukum yang tidak sengaja atau karena lalai, sebagaimana orang yang keadaan sakit (jiwa) tidak menyadari apa yang di lakukan ketika di lakukan tindakan pelanggaran hukum pidana. Sementara residivis merupakan orang yang sekalipun mendapatkan hukuman pidana masih saja mengulangi perbuatan itu.3
Khususnya narapidana pada kasus narkoba di lembaga permasyarakat mulai padat. Berdasarkan hasil survei Badan Narkotika Nasional tahun 2016 diperoleh data bahwa rata-rata usia pertama kali menyalahgunakan narkotika pada usia yang sangat muda yaitu 12-15 tahun. Dan angka penyalahgunaan narkotika di kalangan mahasiswa yang pernah pakai
sebesar 85 persen yang kebanyakan dari provinsi. Kejadian
penyalahgunaan narkotika di kota relative tinggi dibandingkan di kabupaten. Hal ini mengidikasikan bahwa peredaran narkotika jauh lebih marak di kota-kota besar di bandingkan di kabupaten dalam setahun terakhir.4
2
Safrodin, Problematika Pelaksaan dan Penyuluhan Islam pada Narapidana, (Semarang: IAIN Walisongo, 2010) Hal. 2
3
Ibid
4
(13)
4
Solusi hukum yang di ambil pada pemerintah dalam menangani para pelanggar hukum tersebut adalah dengan menjebloskan mereka ke dalam lembaga pemasyarakatan sebagai sanksi bagi mereka agar jera sekaligus sebagai tempat pembinaan bagi mereka agar bisa kembali pada hidup yang baik dan normal.5 Adapun hukuman narapidana khususnya terpidana penyalagunaan zat adiktif seperti narkotika dan lain-lain bahwasanya sanksi terberat yaitu hukuman mati. Oleh sebab itu, salah satunnya untuk merubah sikap mental dari narapidana tersebut dengan cara proses bimbingan dan membentuk mentalitas narapidana supaya lebih baik dan secara sadar tidak mengulangi perbuatan tindak pidana lagi.
Akan tetapi, diskriminasi yang ditunjukkan oleh masyarakat terhadap mantan narapidana yang benar berubah mental dan diri dari perbuatan yang buruk itu menjadi fenomena yang tidak seharusnya terjadi di tengah masyarakat. Konstruksi negatif masyarakat terhadap mantan narapidana menjadi latar belakang utama fenomena ini muncul. Dengan adanya fenomena tersebut menimbulkan masalah-masalah lain yang dapat merugikan kedua pihak. Seakan mantan narapidana tersebut tidak diberikan kesempatan lagi oleh masyarakat untuk berubah jadi lebih baik.
Padahal mantan narapidana sangat membutuhkan penerimaan dari masyarakat. Tanpa penerimaan, narapidana justru bisa kembali melakukan hal-hal negatif. Namun, dengan penerimaan dari keluarga dan masyarakat, mantan narapidana bisa diperdayakan. Ketika masyarakat mengakuinya
5
(14)
5
mereka bermanfaat dan banyak yang bisa dilakukan. Ketika masyarakat tidak terima dan dianggap sampah, mantan narapidana bisa saja kembali lagi melakukan kejahatan maupun pelanggaran lagi.6
Dalam analisis di lapangan narapidana di rutan kelas I Medaeng Surabaya, kebanyakan narapidana yang mempunyai perkara diantaranya narkoba. Mulai dari anak maupun dewasa yang paling terbanyak di rutan yaitu narapidana narkoba dan beberapa narapidana yang mempunyai perkara atau kasus seperti pencopet, pembunuhan, serta yang mempunyai perkara korupsi. Akan tetapi, ada beberapa orang yang keluar dari rutan yang diterima dalam berhubungan kepada masyarakat dan ada juga beberapa yang tidak diterima atau memutuskan tali persaudaraan dalam hubungan masyarakat tersebut. Berarti bahwa ada beberapa narapidana narkoba yang mempunyai prasangka-prasangka negatif yang bisa memutuskan tali persaudaraan ataupun berinteraksi kepada masyarakat menjadi hancur dikarnakan kurangnya masyarakat yang menerima bahwa narapidana khususnya narkoba termasuk bagian dari masyarakatnya di sekitar tempat tinggalnya.
Aktifitas di rutan kebanyakan tidur, makan dan minum. Adapun juga aktifitas lain seperti senam, beberapa yang beribadah di masjid, temapt khusus agama lain (Kristen, prostestan, hindu maupun budha) dan juga kadang diberikan perintah dari petugas untuk membersihkan tempat blok mapun rutan. Akan tetapi, para narapidana melakukan sesuatu itu
6
Shenny, Mantan Narapidana Bukan “Sampah Masyarakat”, dalam https://belajarmembuatartikelhukum.wordpress.com/2014/09/26/mantan-narapidana-bukan-sampah-masyarakat-2/. diakses pada tanggal 11 oktober 2016
(15)
6
dikarnakan adanya suruhan dari petugas tanpa memikirkan yang mana memberikan stimulus kepada narapidan agar bisa merenungkan perbuatan itu dan bisa melakukan hal-hal yang baik pada saat keluar dari rutan tersebut.
Sikap dari narapidana khususnya narkoba tersebut yang mana adanya kurangnya pemberian dorongan untuk pemberian penguatan mental dalam menghadapi masyarakat, yang mana ditakutkan terjadinya adanya prasangka-prasangka yang memicu masyarakat kurang kepercayaan bahwa yang dibebaskan dari rutan tersebut (mantan narapidana) bisa melakukan lagi perbuatan yang buruk lagi dan yang akan datang. Adapun kepribadian narapidana tersebut sebagai gangguan mental yang mana termasuk dalam kategori gangguan kepribadian yang antisocial. Kepribadian antisocial bisa diartikan sebagai.
Oleh sebab itu, tujuan bimbingan dan konseling adalah perkembangan optimal, yaitu perkembangan yang sesuai dengan potensi dan sistem nilai tentang kehidupan yang baik dan benar. Perkembangan optimal bukanlah semata-mata pencapaian tingkat kemampuan intelektual yang tinggi, yang ditandai dengan penguasaan pengetahuan dan keterampilan, melainkan suatu kondisi dinamik, dimana individu:
1. Mampu mengenal dan memahami diri;
2. Berani menerima kenyataan diri secara objektif;
3. Mengarahkan diri sesuai dengan kemampuan, kesempatan, dan sistem nilai; dan
(16)
7
4. Melakukan pilihan dan mengambil keputusan atas tanggung jawab sendiri.7
Di katakan sebagai kondisi dinamik, karena kemampuan yang disebutkan di atas akan berkembang terus dan hal ini terjadi karena individu berada di lingkungan yang terus berubah dan berkembang.
Maka, penulis tertarik untuk melakukan penelitian di lembaga permasyarakatan tersebut dengan mengambil judul Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan terhadap Stereotip Narapidana narkoba di Rutan Kelas I Medaeng Surabaya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses bimbingan dan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba di rutan kelas I Medaeng Surabaya? 2. Bagaimana hasil akhir bimbingan dan konseling kemasyarakatan
terhadap stereotip narapidana narkoba di rutan kelas I Medaeng Surabaya?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain
1. Mendeskripsikan proses bimbingan dan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba di rutan kelas I Medaeng Surabaya
7
Syamsu Yusuf dan Juntika Nusihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005) Hal. 7
(17)
8
2. Mengetahui hasil akhir bimbingan dan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba di rutan kelas I Medaeng Surabaya
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Kedua manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dari segi teoretis
Dari segi teoretis, penelitian ini dapat menghasilkan informasi pengetahuan yang lebih komprehensif mengenai bimbingan dan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana khususnya terpidana narkoba di rutan kelas I Medaeng Surabaya serta rumusan model pengembangannya. Informasi ini penting untuk di peroreh agar kalangan intelektual, agamawan, penegak hukum maupun pemerintah memilki pandangan yang utuh tentang bimbingan dan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba di rutan kelas I Medaeng Surabaya
2. Dari segi praktis
Sedangkan dari segi praktis, penelitian ini memliki dua makna yang sangat penting. Pertama, penelitian ini bisa memperkaya studi mengenai upaya merehabilitasi para narapidana di lembaga permasyarakatan bukan secara hukum positif (punishment) saja,
(18)
9
tetapi juga secara moral-spiritual melalui model-model bimbingan dan penyuluhan yang efektif, efisien, dan tepat sasaran.
Kedua, rehabilitasi moral, mental dan spiritual terhadap narapidana merupakan satu aspek penting dalam upaya membentuk mereka kembali menjadi manusia yang normal, baik sehat rohani maupun jasmani dengan pola pembedayaan kesadaran moral-spiritual dari dalam diri mereka sendiri. Karena, watak dasar manusia pada hakekatnya adalah baik (teorihumanis dan konvergensi).8 Hanya karena tekanan-tekanan dari luar dirinya dan
lingkungannya mereka kemudian menjadi yang “sakit” baik secara
sosial maupun psikologis.9
Dengan demikian, penelitian ini sangat bermanfaat bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk mendesain kebijakan yang tepat berkait dengan model-model perlakuan (treatment) maupun bimbingan dan konseling kemasyarakat kepada narapidana narkoba dengan keragaman kasus dan latar belakang sosio-kulturalnya sehingga tujuan bimbingan konseling benar-benar tercapai secara efektif dan efisien.
E. Definisi Konsep
Pada dasarnya, konsep merupakan unsur pokok dari sebuah penelitian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi singkat dari
8
Safrodin, Problematika Pelaksaan dan Penyuluhan Islam pada Narapidana, (Semarang: IAIN Walisongo, 2010) Hal. 2
9
Murtadha Muthahari, Persepsi al-Quran tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan, 1992). Hal . 25
(19)
10
sejumlah fakta atau data yang ada. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman, penulis memberikan batasan istilah atau definisi yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian, istilah atau definisi yang dimaksud memiliki pengertian terbatas. Adapun pengertian definisi konsep adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat sesuatu yang didefinisikan dan dapat diamati.
Dalam pembahasan ini peneliti membatasi dari sejumlah konsep yang diajukan dalam penelitian dengan judul “Bimbingan Konseling Kemasyarakatan Terhadap Stereotip Narapidana Narkoba di Rutan Kelas I Medaeng Surabaya”.
Adapun definisi konsep dari penelitian ini adalah :
1. Bimbingan dan Konseling Kemasyaratan
Sebelum memahami pengertian bimbingan dan konseling kemasyaratan, peneliti akan menjelaskan pengertian bimbingan dan konseling terlebih dahulu. Menurut Anas Salahudin menjelaskan bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberi bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan, dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.10
10
(20)
11
Sedangkan pengertian konseling menurut Moh. Surya bahwa konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada klien supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri untuk dimanfaatkan dalam memperbaiki tingkah laku masa yang akan datang dengan mengenali diri sendiri, orang lain, pendapat orang lain trehadap dirinya, tujuan yang dikehendaki dan kepercayaanya.11
Sedangkan pengambilan kemasyakatan ini diartikan sebagai suatu organisasi manusia yang menjalin pergaulan hidup bersama untuk dapat saling memenuhi kebutuhan bersama secara harmonis.12
Dari penjelasan pengertian bimbingan dan konseling yang mana berkaitan dengan hubungan masyarakat disimpulkan bahwa Bimbingan Konseling Kemasyarakatan adalah proses pemberian bantuan yang diberikan untuk mewujudkan tatanan yang sejahtera masyarakat sendiri yang meliputi rasa keselamatan, kesusilaan, keamanan, ketertiban, dan ketenteraman baik lahir maupun batin, hal ini akan dapat terwujud melalui berbagai kerja sama dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat.
2. Stereotip Narapidana
Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut
11
Moh. Surya, Dasar-Dasar Konseling Pendidikan, (Bnadung: PT. Kota Kembang, !988). Hal. 38
12
Hassan Shadilly, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993). Hal. 47.
(21)
12
dapat di kategorikan. Stereotip merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotip dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian beranganggapan dalam melakukan tindakan kriminalitas bahwa segala bentuk stereotip kepada narapidana bersifat negatif, dikarnakan tidak bisa dipercaya maupun tanggung jawab setelah narapidana keluar dari penjara.
Stereotip jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya di karang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotip: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Walaupun jarang sekali stereotip itu
sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian statistik
menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotip sesuai dengan fakta terukur.13
Sedangkan Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga permasyarakatan. Meskipun terpidana kehilangan kemerdekaannya, ada hak-hak narapidana yang tetap di lindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
13
(22)
13
Narapidana juga seorang manusia anggota masyarakat yang dip roses dalam lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode dan sisitem kemasyarakatan, sehingga pada suatu saat napi itu akan kembali menjadi masyarakat yang baik dan taat kepada hukum.14
Sedangkan pengertian terpidana itu sendiri adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1)
undang- undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, bahwasanya narapidana yang mana berhak :
1) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau
kepercayaannya.
2) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.
3) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
4) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
5) Menyampaikan keluhan.
6) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.
7) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
8) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya.
9) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
10) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.
11) Mendapatkan pembebasan bersyarat. 12) Mendapatkan cuti menjelang bebas.
13) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.15
14
Bambang Purnomo, Pelaksana Pidana Penjara dan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1980). Hal. 180
15
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_12_95.htm di askes pada tanggal 12 januari 2017 pukul 14.51
(23)
14
Narapidana yang mendapat hukuman mempunyai efek-efek tersebut:
1) Tidak ada partisipasi sosial. Masyarakat narapidana dianggap sebagai masyarakat yang dikucilkan, masyarakat asing penuh stigma-stigma atau noda-noda sosial, yang wajib disingkirkan.
2) Para narapidana didera oleh tekanan-tekanan batin yang
semakin memberat dengan bertambhanya waktu
pemenjaraan. Kemudian muncul kecenderungan-
kecenderungan autistik (menutup diri secara total) dan usaha melarikan diri dari realitas yang traumatic sifatnya, terutama sekali peristiwa ini banyak terdapat pada penghuni baru.
3) Para narapidana mengembangkan reaksi-reaksi yang stereotip, yaitu: cepat curiga, lekas marah, cepat benci, dan mendendam.
4) Mendapatkan stempel tidak bisa dipercaya dan tidak bisa diberi tanggung jawab dalam pekerjaan maupun sulitnya mencari pekerjaan. Masyarakat narapidana dianggap sebagai warga masyarakat yang tuna susila, dan kurang mampu memberikan partisipasi sosial.
3. Narkoba (Zat adiktif)
Narkotika adalah zat atau obat yang mengandung candu yang dapat menimbulkan rasa mengantuk serta menghilangkan rasa sakit. Semula obat ditujukan untuk kepentingan pengobatan dan sangat berbahaya jika disalahgunakan karena apabila disalahgunakan akan membahayakan bagi yang memakainya dan dapat menjadi pecandu narkotika atau sering juga disebut ketergantungan pada narkotika. Pemakaian narkotika yang berlebihan dari yang dianjurkan oleh seorang dokter akan membawa pengaruh terhadap si pemakai atau pecandu, sebagai reaksi dari pemakaian narkotika, yang berupa pengaruh terhadap kesadaran serta memberikan dorongan yang
(24)
15
berpengaruh terhadap perilaku yang dapat berupa penenang, menimbulkan halusinasi atau khayalan.
Akibat dari penyalahgunaan itu semua, maka akan timbul korban penyalahgunaan narkotika, untuk itu perlu dilakukan usaha-usaha penanggulangannya, baik secara preventif, represif dan rehabilitasi. Selain itu juga diperlukan kerjasama antara orang tua, penegak hukum, pemerintah dan masyarakat.
Tindak Pidana Penyalahgunaan narkotika tampaknya semakin merajalela, terutama di kota-kota besar yang merupakan tempat terjangkitnya wabah narkotika yang seolah-olah tidak dapat dibendunglagi. Penyalahgunaan narkotika ini bukan lagi sebagai mode (gengsi) tetapi motivasinya sudah dijadikan semacam tempat pelarian.
Akhir-akhir ini penyalahgunaan narkotika tidak saja menjadi kendala di kota-kota besar tetapi mulai meramba ke desa-desa. Selama ini yang melakukan penyalahgunaan narkotika berasal dari keluarga yang dianggap mampu. Penyalahgunaan narkotika bukan lagi sebagai lambang kejantanan, keberanian, modern dan lain-lain tetapi motivasinya telah dikaitkan dengan pandangan yang lebih jauh dan ketergantungan serta dijadikan pelarian karena frustasi dan kecewa.16
16
(25)
16
Seperti yang diketahui, narkoba mempunyai dampak terhadap sistem syaraf manusia yang menimbulkan berbagai macam bentuk perasaan. Sebagian dari narkoba itu dapat meningkatkan gairah, semangat, dan keberanian, sebagian lagi menimbulkan rasa tenang dan nikmat sehingga bisa melupakan kesulitan yang diderita. Narkoba juga menimbulkan efek addicted atau ketergantungan. Makin sering seseorang itu mengkonsumsi atau memakai narkoba, maka makin besar ketergantungannya sehingga susah untuk melepaskan diri. Karena itu, yang berbahaya bukanlah narkoba itu sendiri, melainkan penyalahgunaan narkoba untuk tujuan-tujuan lain diluar tujuan kedokteran.
Penyalahgunaan obat yang benar dalam pengawasan dokter adalah dengan menelannya atau menyuntikkannya pada otot (intramuscular). Sedangkan pada penyalahgunaan obat, bahan-bahan itu juga dihirup, dirokok, atau untuk mencapai efek yang lebih cepat, disuntikkan di bawah kulit (subcutaneous) atau kedalam urat nadi (intravenous).17
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif,18 yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
17
Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya, Hal. 9
18
Penelitian kualitatif disebut juga dengan penelitian naturalistik. Disebut naturalistik karena situasi lapangan penelitian bersifat wajar, tanpa dimanipulasi dan diatur oleh eksperimen
(26)
17
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif berusaha memahami persoalan secara keseluruhan (holistik) dan dapat mengungkapkan rahasia dan makna tertentu. Penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang di analisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari narapidana yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.19
Jenis dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, jenis penelitian deskriptif adalah penelitian yang mempunyai tujuan menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, atau berbagai variable yang timbul dari narapidana yang menjadi objek penelitian tersebut.
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah Para narapidana yang terlibat kasus narkoba yang berada di lembaga pesmayarakatan (Rutan). Sedangkan lokasi penelitian yang dipilih peneliti adalah rutan kelas I Medaeng Surabaya.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang di peroleh dari dan tes. Lihat Nasution, Metode Penulisan Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1988), Hal. 18
19
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Rineka Karya, 1998), Hal. 20-21
(27)
18
sumber utama atau sumber data primer. Sumber data primer adalah subjek penelitian yang dijadikan sebagai sumber informasi penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau pengambilan data secara langsung.20 Adapun Data primer juga suatu data yang langsung diambil dari sumber pertama di lapangan. yang mana dalam hal ini diperoleh dari deskripsi tentang latar belakang dan masalah klien, perilaku klien, faktor-faktor yang menyebabkan masalah tersebut dialami klien, pelaksanaan proses , serta hasil akhir pelaksanaan. Sumber data Primer yaitu sumber data yang langsung diperoleh penulis di lapangan yaitu informsi dari Klien yang mana diantaranya sebagai data primer, yaitu :
a. Narapidana narkoba
b. Proses bimbingan dan konseling kepada narapidana
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber lain yang ada kaitannya dengan objek penelitian. Data sekunder juga sumber data yang diambil dari sumber kedua atau berbagai sumber guna melengkapi data primer,. diperoleh dari gambaran lokasi penelitian, keadaan lingkungan klien, riwayat pendidikan klien, dan perilaku keseharian klien. Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak berhubungan secara langsung dengan objek penelitian, akan tetapi memiliki informasi yang berkaitan dengan objek penelitian di antaranya;
20
(28)
19
a. Suasana di rutan kelas I Medaeng surabaya b. Petugas di rutan kelas I Medaeng Surabaya
c. Respon atau follow up dari proses bimbingan konseling dari narapidana di rutan kelas I Medaeng Surabaya
d. Serta respon dari masyarakat sekitar rutan kelas I Medaeng Surabaya
Dari penelitian inilah, sumber data ini bahwasanya menggunakan penelitian lapangan (field research), yaitu dengan memanfaatkan secara maksimal data-data lapangan dari subjek penelitian di rutan kelas I Medaeng Surabaya.21
4. Tahap - Tahap Penelitian
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilakukan menurut buku metode penelitian praktis adalah:
a. Perencanaan, meliputi penentuan tujuan yang dicapai oleh suatu penelitian dan merencanakan strategis untuk memperoleh dan menganalisis data bagi peneliti. Hal ini dimulai dengan memberikan perhatian khusus terhadap konsep dan masalah yang akan mengarahkan penelitian yang bersangkutan dan menelaah kembali terhadap literatur, termasuk penelitian yang pernah diadakan sebelumnya, yang berhubungan dengan judul dan masalah penelitian yang bersangkutan.
21
Safrodin, Problematika Pelaksaan dan Penyuluhan Islam pada Narapidana, (Semarang: IAIN Walisongo, 2010) Hal. 19
(29)
20
Dalam tahap perencanaan ini, peneliti merencanakan hal-hal mengenai bagaimana proses penelitian ini kedepannya mulai dari: menyusun rancangan penelitian, tujuan yang jelas dan strategi dalam memperoleh data yang diinginkan. Dalam menyusun rancangan penelitian, peneliti mendapati klien yang mempunyai masalah dengan perilakunya yang sering melalaikan shalat subuh. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan sebuah penelitian, dimana individu tersebut menjadi objek dari penelitan. Dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan masalah itu terjadi, beserta membantunya terlepas dari permasalahan yang dialami oleh individu tersebut seperti narapidana yang mempunyai kasus narkoba Dalam hal ini, peneliti sekaligus menjadi konselor dan individu tersebut menjadi klien atau konseli. Mengenai strategi dalam memperoleh data dari klien, peneliti menggunakan tiga teknik untuk memperoleh data tersebut, yaitu: Observasi, wawancara, dan dokumentasi.
b. Pengkajian secara teliti terhadap rencana penelitian, tahap ini merupakan pengembangan dari tahap perencanaan, disini disajikan latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan penelitian, serta metode atau prosedur analisis dan pengumpulan data.
Dalam tahap ini, peneliti harus mengetahui betul permasalahan yang dialami oleh klien yaitu bagaimana proses
(30)
21
yang melatar belakangi stereotip narapidana narkoba dan mempunyai tujuan yang jelas dari penelitian ini. Yaitu: menegtahui permasalahan yang ada pada narapidana narkoba Terapi yang akan digunakan oleh peneliti dalam membantu klien tersebut yaitu bimbingan konseling kemasyarakatan dengan terapi analisis transaksional. Setelah itu, peneliti turun langsung kelapangan untuk mengumpulkan data yang diperlukan, guna untuk memperlancar dalam proses konseling. Berikut adalah proses konseling yang akan dilakukan dalam penelitian ini.: 1) Identifikasi: peneliti melakukan wawancara dan observasi
terhadap klien dan informan lainnya seperti kedua orang tuanya, teman-teman akrabnya. Yang nantinya diperoleh data tentang diri klien, serta keadaan klien.
2) Diagnosis: peneliti menetapkan masalah-masalah yang dialami klien berdasarkan data yang diperoleh dari langkah identifikasi. Kemudian peneliti menentukan masalah yang
sedang dialami oleh klien dan sekaligus yang
melatarbelakangi adanya suatu masalah yang dihadapi oleh klien. Dimana masalah yang sedang dialami oleh klien adalah stereotip narapidana narkoba
3) Prognosis: pada langkah ini peneliti merumuskan jenis bantuan yang tepat untuk klien. Dengan melihat data yang telah diperoleh tentang klien pada tahap identifikasi. Dimana
(31)
22
bantuan yang akan peneliti berikan adalah proses bimbingan konseling kemasyarakatan dengan teknik konseling yang ditentukan dari peneliti ataupun konselor itu sendiri.
4) Treatment: proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh peneliti atau Konselor terhadap klien.
5) Follow up: peneliti melihat sejauh mana perubahan yang terjadi pada klien setelah melaksanakan proses konseling. Dari perubahan sikap, hingga kebiasaan yang sering dimunculkan. Hal ini peneliti lakukan dengan observasi dan wawancara langsung dengan diri klien dan juga informan, yang dilaksanakan setelah selesainya proses konseling. Tak lupa dengan melihat sikap sebelum dan sesudah klien diberi treatment tersebut.
c. Analisis dan laporan, hal ini merupakan tugas terpenting dalam suatu proses penelitian. Dalam tahap ini, peneliti menganalisis hasil proses konseling yang dilakukan oleh konselor terhadap klien, dengan melihat dampak yang ditampakkan oleh klien. Dengan itu, peneliti akan melihat tingkat keberhasilan dan tidak keberhasilan dari proses konseling yang diberikan oleh konselor terhadap klien. Setelah itu, peneliti menyusun laporan penelitian dari awal sampai akhir proses penelitian.22
22
(32)
23
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan permasalahan penelitian di atas, maka akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Observasi
Di artikan sebagai pengamatan dan pecatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan untuk mengamati Klien meliputi: aktifitas kegiatan serta kondisi fisik dan mental Klien, proses bimbingan konseling yang dilakukan kepada narapidana.
b. Wawancara
Merupakan salah satu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data dengan dialog tanya jawab secara lisan baik langsung maupun tidak langsung.23
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi mmendalam pada diri klien yang meliputi: Identitas sendiri klien, kondisi keluarga, lingkungan dan ekonomi klien, serta permasalahan yang dialami klien.
Adapun juga wawancara didapatkan dari informan yang mana meliputi: kebiasaan klien, aktifitas klien, dan juga letak
23
Djumhur dan M. Suryo, Bimbingan dan Konseling di Sekolah, (Bandung: CV. Ilmu, 1975). Hal. 50.
(33)
24
geografis dan struktur kepengurusan di lembaga seperti wawancara tentang kondisi dan letak geografis di rutan. c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, (life histories), ceritera, Dokumen yang berbentuk gambar misalnya, foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain.24
Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain. Dalam penelitian ini, dokumentasi dilakukan untuk mendapat gambaran tentang lokasi penelitian yang meliputi: Luas wilayah penelitian, jumlah penduduk, batas wilayah, kondisi geografis desa poreh, serta data lain yang menjadi data pendukung dalam laporan penelitian.
Untuk itu, peneliti akan menguraiankan suatu tabel yang mana untuk menjelaskan proses teknik pengumpul data di lapangan sebagai berikut:
Adapun tabel yang bawah yang mana menunjuk proses pengumpulan data dari segi pengambilan data dari klien maupun letak wilayah penelitian diantaranya:
24
Sugiarto, Metode Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008). Hal. 329
(34)
25
Tabel 1.1 Jenis data, Sumber Data, Teknik Pengumpulan data
Keterangan:
TTPD : Teknik-teknik pengumpulan data
D : Dokumentasi
O : Observasi
W : Wawancara
6. Teknik Analisa Data
Mengingat penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat ekploratif, maka penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan metode kualitatif adalah
No Jenis Data Sumber Data TPD
1
a. Identitas Klien b. Usia Klien c. Pendidikan Klien d. Faktor-faktor penyebab
yang dialami oleh Klien e. Proses yang dilakukan f. Hasil yang dilakukan
atau follow up
Klien W + O
2
a. Indetitas Konselor b. Penddikan Konselor c. Pengalam dan Proses
Konseling yang dilakukan Konselor
Konselor W + O
3
a. Kebiasaan Klien b. Kondisi Klien serta
Lingkungan
Informan (petugas, teman klien, dan wali
blok )
W + O
4
a. Luas Wilayah Penelitian b. Batas Wilayah
c. Struktur Pengurus di rutan
Informan (petugas, teman klien, dan wali
blok )
(35)
26
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilakunya yang nyata diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.
Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dengan cara analisa proses bimbingan konseling kemasyarakatan kepada narapidana maupun proses kegiatan narapidana di rutan .25
7. Teknik Pemeriksaan / Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan tingkat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Data yang valid adalah data yang tidak terdapat perbedaan antara data yang dilaporkan peneliti dengan kenyataan yang terjadi pada objek di lapangan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi bersifat jamak dan tergantung pada konstruksi manusia.26
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan valid terhadap data yang telah terkumpul, maka penulis menggunakan teknik triangulation, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dan macam trianggulasi di antaranya:
25
Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), Hal. 10.
26
(36)
27
a. Trianggulasi data (data triangulation) atau trianggulasi sumber, adalah penelitian dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis. Seperti sumber data dari proses bimbingan konseling kepada narapidana narkoba serta kumpulan-kumpulan sumber- sumber data yang sebanding dengan bimbingan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba di rutan kelas I Medaeng Surabaya.
b. Trianggulasi penelitian (investigator triangulation), yang dimaksud dengan cara trianggulasi ini adalah hasil penelitian baik data ataupun simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti. Hal ini bisa diambil hasil proses bimbingan konseling kepada narapidana narkoba.
Dalam penelitian kualitatif, kriteria utama yang menunjukkan keabsahan sebuah hasil penilitian adalah, valid, reliabel dan obyektif.
G. Sistematika Pembahasan
Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi tentang gambaran umum yang memuat pola dasar penulisan skripsi ini yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep, dan metode penelitian yang meliputi: pendekatan dan jenis penelitian, subjek penelitian, tahap-tahap penelitian, jenis dan sumber data,
(37)
28
teknik pengumpulan data, teknik analisis data serta teknik keabsahan data, dan sistematika pembahasan.
Bab dua membahas tentang kajian teoretik yang meliputi pengertian, Tujuan, Fungsi, teknik konseling, serta Teori-Teori bimbingan dan konseling kemasyarakatan yang terkait masalah penelitian dalam stereotip narapidana narkoba di rutan kelas I medeang Surabaya, serta Penelitian Terdahulu yang Relevan (menyajikan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang hendak dilakukan).
Bab tiga membahas tentang gambaran umum Rutan Kelas I Medaeng Surabaya, seperti kondisi dan letak geografisnya, sejarah dan perkembangannya, visi misi, Jargon, struktur Pengurus, kondisi kepala rutan dan petugas atau staf di rutan serta narapidana maupun proses dan hasil penelitian dari bimbingan dan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba di rutan kelas I medeang Surabaya,.
Bab empat mambahas tentang analisa yang menjelaskan yaitu Temuan Penelitian serta bagaimana data yang ada itu digali dan ditemukan beberapa hal yang mendukung penelitian dan Konfirmasi Temuan dengan Teori, dimana temuan penelitian tadi dikaji dengan teori yang ada.
Bab lima membahas tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
(38)
BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teoritik
1. Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan a. Pengertian Bimbingan
Secara etimologis, kata bimbingan merupakan terjemahan dari
kata “Guidence” berasal dari kata kerja “to guide” yang
mempunyai arti “menunjukan, membimbing, menuntun, ataupun membantu".1
Sedangkan secara terminologi menurut W.S. Winkel menyatakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat.2
Menurut Deni Febrini menjelaskan bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu secara berkelanjutan dan sistematis, yang dilakukan oleh konselor, dimaksudkan agar individu dapat memahami dirinya, lingkungannya serta dapat mengarahkan diri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk
1
Hallen A, Bimbingan dan Konseling dalam Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002). Hal. 3.
2
W. S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Jakarta: PT Grasindo, 1997). Hal. 67.
(39)
30
dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal untuk kesejahteraan dirinya serta kesejahteraan masyarakat.3
Sedangkan menurut Bimo Walgito bahwasanya bimbingan adalah suatu bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya, agar
individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai
kesejahteraan hidupnya.4
Dari beberapa pengertian bimbingan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu atau sekumpulan individu agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, dan pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan sebagai untuk mensejahteraan dirinya serta kesejahteraan masyarakat.
b. Pengertian Konseling
Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris, “to counsel” yang
secara etimologis berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasihat.5
3
Deni Febrini, Bimbingan Konseling (Yogyakarta: Teras, 2011). Hal. 9.
4
Bimo Walgito, Bimbingan & Konseling (Studi dan Karir) (Yogyakarta: ANDI, 2005). Hal. 5-6.
5 Jamal Ma’mur Asmani, Panduan Efektif Bimbingan dan Konseling di Sekolah
(40)
31
Sedangkan secara terminologi, menurut Burks dan Stefflre menyatakan bahwa konseling adalah hubungan profesional antara konselor terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individu ke individu, walaupun terkadang melibatkan lebih dari satu orang. Konseling didesain untuk menolong klien memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu mencapai tujuan penentuan diri (self-determination) mereka melalui pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka, dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal.6
Menurut Sugiyo bahwasanya konseling merupakan proses yang dinamis di mana klien setelah memperoleh bantuan dapat mengembangkan dirinya, mengembangkan bakat dan potensi-potensi yang lain serta dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya.7
Dari beberapa pengertian konseling di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konseling adalah suatu proses pemberian bantuan dari seorang konselor kepada seorang konseli (klien) dengan tujuan agar individu (klien) tersebut dapat memecahkan permasalahan yang sedang dihadapinya di dirinya serta lingkungannya.
6
John McLeod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus (Jakarta: Kencana, 2006). Hal. 5-7.
7
Sugiyo, Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Semarang: Widya Karya, 2012). Hal. 4.
(41)
32
c. Pengertian Bimbingan dan Konseling Kemasyaratan
Setelah menguraikan beberapa definisi bimbingan dan konseling menurut para ahli, maka penulis menggabungkan kedua kata tersebut yaitu antara bimbingan dan konseling ditinjau dari segi ilmu sosial ataupun berkaitan tentang kemasyarakatan yang mana diartikan sebagai suatu keseluruhan hubungan manusia yang bersifat kompleks dan luas disebut dengan bimbingan dan konseling Kemasyarakatan.
Bimbingan dan konseling kemasyarakatan diartikan sebagai
upaya proses pemberian bantuan yang diberikan untuk
mewujudkan tatanan kehidupan yang sejahtera, baik individu, keluarga, dan masyarakat yang meliputi rasa keselamatan, kesusilaan, keamanan, ketertiban dan ketentraman baik lahir maupun batin, hal ini akan terwujud melalui berbagai kerjasama dan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.8
Bimbingan dan Konseling kemasyarakatan Meliputi
Pengembangan: (1) Pemahaman tentang keragaman suku dan budaya, (2) Sikap-sikap sosial (empati dan lain-lain), (3) Kemampuan berhubungan sosial secara positif.
Permasalahan individu ditinjau dari tugas-tugas dan aspek-aspek perkembangan yang meliputi: perkembangan fisik, perkembangan bahasa, perkembangan intelektual, perkembangan
8
Faizah Noor Laela, Bimbingan Konseling Sosial, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014). Hal. 9
(42)
33
sosial, perkembangan emosi, perkembangan moral dan etika, perkembangan kepribadian, dan perkembangan agama.9
Masalah sosial yang sering muncul di masyarakat antara lain: (1) Kurang menyenangi kritikan orang lain, (2) Kurang memahami etika pergaulan dan pekerjaan, (3) Merasa malu untuk berteman dengan lawan jenis, (4) Kurang mampu menyesuaikan diri, (5) Penyakit-penyakit sosial seperti: perampokan, pencurian, tawuran, geng motor, pengguna narkotika, dan lain-lain
Bimbingan dan konseling kemasyarakatan dikatakan sebagai upaya mewujudkan kehidupan individu, keluarga dan masyarakat dengan mempertimbangkan dimensi- dimensi kemanusiaan yang meliputi dimensi individualitas, dimensi sosialitas, dimensi moralitas dan dimensi religiusitas.10
1) Dimensi Individualitas
Secara perorangan manusia memiliki perbedaan baik secara fisik maupun psikis, berbeda secara fisik misalnya: Badannya jangkung, rambutnya pirang, hudungnya mancung. Sedangkan berbeda secara psiskis meliputi: berpikiran lambat, sensitif, dan lain- lain. Meski banyak terjadi perbedaan juga banyak terjadi persamaan, misalnya mempunyai hoby, minat yang sama. Dengan melihat perbedaan perbedaan yang ada
9
Ika Nur Halimah & Faiz Hisyam, BKI Belajar 2014: Tujuan Bimbingan Konseling Sosial
(http://m-belajar.blogspot.co.id/2014/04/tujuan-bimbingan-konseling-sosial.html?m=1, diakses 11 Februari 2017)
10
Faizah Noor Laela, Bimbingan Konseling Sosial, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014) hal 11
(43)
34
maka dalam hal ini bimbingan dan konseling sosial sangat berperan dalam menyikapi perbedaan tersebut agar tidak bertentangan satu sama lain guna mewujudkan tujuan yang sama antar individu sehingga kehidupan individu satu dengan yang lain menjadi tentram dan saling memberikan toleransi atas perbedaan yang dimiliki. Perkembangan dimensi individualitas akan membawa seseorang untuk menjadi individu yang mampu berdiri tegak dengan kepribadiannya
sendiri dengan “Aku” yang teguh, positif, produktif dan
dinamis.11
2) Dimensi Sosialitas
Setiap individu tidak akan bisa lepas dengan individu lainnya, dalam arti manusia tidak akan bisa hidup sendiri, hampir dalam kegiatan keseharian manusia tidak akan bisa lepas dari peran manusia lainnya, mulai dari tidur hinga tidur lagi. ketergantungan ini bisa dikatakan sekaligus sebagai bentuk kebersamaan dalam suatu keluarga. Pengembangan dimensi individualitas hendaklah dimbangi dengan dimensi sosialitas pada setiap individu, karena dengan dimensi
kesosialan akan memungkinkan seseorang mampu
berinteraksi, berkomunikasi, bergaul, bekerja sama dan hidup besama orang lain secara harmonis. Hidup bersama tersebut
11
(44)
35
masing- masing tumbuh dan berkembang, saling memberikan toleransi, saling mengisi serta menemukan makna yang sesungguhnya. Dengan mengembangkan dimensi sosialitas ini maka individu tersebut akan mampu berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka mewujudkan tata kehidupan
bersama baik dalam kehidupan keluarga maupun
bermasyarakat.12
3) Dimensi Moralitas
kehidupan manusia baik secara individu maupun bersama- sama tidak serta merta hanya hidup dan bernafas, melainkan mengikuti aturan aturan, norma- norma tertentu misalkan norma agama, budaya, adat, politik, dan lain sebagainya. Dalam hidup bermasyarakat misalnya aturan- aturan tersebut semakin diperlukan dalam rangka untuk mewujudkan kehidupan yang bermakna yang lebih sejahtera. Dimensi kesusilaan atau dimensi moralitas akan memberikan warna moral terhadap perkembangan dimensi individuaitas dan sosialitas. Aturan atau etika diperlukan untuk mengatur
bagaimana kebersamaan antsr individu seharusnya
dilaksanakan. Dari ketiga dimensi itu, manusia dapat hidup layak dan dapat mengembangkan ilmu - ilmu eksakta dan teknologi akan tetapi ini baru berada dikehidupan duniawi dan
12
(45)
36
akan menjadi lebih menjadi manusia yang seutuhnya dan sempurna apabila dilengkapi dengan dimensi ke- 4 yaitu dimensi religiusitas atau dimensi keagmaan.13
4) Dimensi Religiusitas
pada dimensi keagamaan ini manusia berpikir bahwa apa yang dilakukan saat ini adalah untuk kehidupan jangka panjang yaitu akhirat, oleh karena itu segala ucapan, tindakan selalu dikaitkan dengan yang maha pencipta, disanalah bermuaranya jika keempat dimensi ini dapat dikembangkan secara optimal maka akan lahirlah manusia- manusia yang ideal atau sering disebut dengan manusia seutuhnya.14
d. Tujuan Bimbingan dan Konseling kemasyarakatan
Tujuan bimbingan dan konseling kemasyarakatan pada
dasarnya sama dengan bimbingan dan konseling pada umum dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Tujuan Umum
a) Merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan di masa yang akan datang.
b) Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin.
c) Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan,
lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya.
13
Ibid. Hal. 12- 13
14
(46)
37
d) Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.15
2) Tujuan Khusus
a) Memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat. b) Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri
dan orang lain.
c) Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajiban.
d) Memiliki kemampuan berinteraksi sosial, yang
diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, atau silaturahim dengan sesama manusia.
e) Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik
(masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
f) Memliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif untuk diri sendiri maupun orang lain.16
Kondisi masyarakat yang diharapkan adalah masyarakat yang dapat diorganisir dengan baik, hal ini dapat dicirikan antara lain:
a) Adanya stabilitas dalam segala bidang
15
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012). Hal. 13
16
(47)
38
b) Terciptanya interaksi personal yang intim yang ditandai dengan pola hubungan individu yang harmonis yang ada dalam masyarakat tersebut
c) Terciptanya relasi sosial yang berkesinambungan atau kontinuitas
d) Adanya consensus yang bertaraf tinggi diantara anggota-anggota masyarakat17
e. Fungsi Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan
Adapun fungsi- fungsi yang terkait dalam bimbingan dan konseling kemasyarakatan pada dasarnya sama dengan bimbingan dan konseling pada umumnya diantaranya:
1. Fungsi preventif, yaitu membantu individu mencegah
timbulnya masalah bagi dirinya.
2. Fungsi kuratif, yaitu membantu individu mencegah masalah yang dihadapinya dan atau dialaminya.
3. Fungsi preservatif, yaitu membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik itu menjadi baik. 4. Fungsi developmental, yaitu membantu individu memelihara
atau mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya sebab munculnya maslaah baginya.18
17
Faizah Noer Laela, Bimbingan Konseling Sosial,(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014). Hal.23
18
Thohari Musnamar, Dasar- Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam, (Yogyakarta: UII Press). Hal. 34.
(48)
39
f. Unsur-Unsur Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan
1) Konselor
Konselor adalah orang yang memberikan pertolongan ataupun pelayanan kepada orang lain dalam menyelesaikan masalah pribadi.19 Adapun syarat menjadi konselor antara lain:
a) Kemampuan professional
b) Sifat kepribadian yang baik
c) Kemampuan bermasyarakat dengan baik
d) Takwa kepada Tuhan
e) Rasa tanggung jawab yang baik.20
Dari beberapa syarat diatas, pada hakikatnya seorang konselor haruslah mempunyai kemampuan melakukan bimbingan dan konseling, serta bisa mempertanggung jawabkan pekerjaannya sebagai konselor.
2) Klien
Klien adalah setiap individu yang diberikan bantuan professional oleh seorang konselor atas permintaan dirinya sendiri atau orang lain. Menurut Rogers mengartikan bahwa klien sebagai individu yang datang kepada konselor dalam keadaan cemas dan tidak kongruensi.21
Setidaknya ada beberapa sikap dan sifat yang mesti dimiliki klien untuk memudahkan dalam proses konseling:
19
Sri Astutik, Pengatar Bimbingan dan Konseling,(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2014). Hal. 84
20
Ibid. Hal. 45
21 Naroma Lumongga Lubis, “Memahami Dsar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik”.(Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011). Hal. 46
(49)
40
a) Terbuka
Klien yang terbuka akan sangat membantu jalannya proses konseling
b) Bersikap jujur
Klien harus mengemukakan semua permasalahannya dengan jujur tanpa ada yang ditutupi.
c) Sikap percaya
Klien harus percaya bahwa konselor adalah orang yang tidak akan membocorkan rahasia kliennya.
d) Bertanggung jawab
Tanggung jawab klien untuk mengatasi
permasalahannya sendiri sangat penting bagi kesuksesan proses konseling.
3) Masalah
Masalah adalah semua hal yang dapat menghanbat di dalam mencapai tujuan. Menurut Sri Astutik mengartikan bahwa masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan.22
g. Teknik Bimbingan dan Konseling Kemasyarakatan
Teknik Bimbingan dan Konseling kemasyarakatan secara umum yaitu cara-cara tertentu yang digunakan oleh seseorang konselor dalam proses konseling untuk membantu klien agar
22
(50)
41
berkembang potensinnya serta mampu mengatasi masalah yang dihadapi dengan mempertimbangkan kondisi dalam dirinya sendiri, keluarga maupun kondisi lingkungannnya yakni nilai-nilai sosial, budaya, hubungan sosial maupun agama.23
Adapun Pendekatan konseling diantaranya dengan cara individu (face to face) yaitu salah satu teknik pemberian bantuan secara individu dan secara langsung berkomunikasi. Dalam teknik ini pemberian bantuan dilakukan dengan hubungan yang bersifat face to face relationship (hubungan 4 mata), yang dilaksanakan dengan wawancara antara konselor dan kasus pada klien. Masalah yang dipecahkan melalui teknik konseling ini ialah masalah-masalah yang bersifatnya pribadi.24
Adapun teknik konseling secara khusus dibagi menjadi 3 teknik diantaranya:
1) Directive Konseling
Teknik atau pendekatan langsung yang dipelopori atau dicetuskan pertama kali oleh Edmond G. Willamson. Dengan teknik atau pendekatan ini dalam proses konseling kebanyakan berada ditangan konselor. Jadi dalam hal ini konselor lebih banyak mengambil inisiatif dalam proses konseling, sehingga klien tinggal menerima apa yang
23
Toharin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008). Hal. 321-322
24
Sri Astutik, Pengatar Bimbingan dan Konseling,(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2014). Hal. 84
(51)
42
dikemukakan oleh konselor.25 Mereka yang memakai
pendekatan ”Directive” beranggapan bahwa konselor sekolah
itu berfungsi sebagai ”master educator ”, yang membantu
klien mengatasi masalah- masalah dengan sumber- sumber intelektual yang disadari. Tujuan konseling yang utama adalah membantu siswa untuk merubah tingkah lakunya yang emosional dan impulsif dengan tingkah laku rasional, dengan sengaja, secara teliti dan berhati-hati.26
2) Non-Direktif konseling
Teknik atau pendekatan Non-Directive Counseling sering
pula disebut” Client-Centered Counseling”, yang
memberikan suatu gambaran bahwa dalam proses konseling yang menjadi pusatnya adalah klien, bukan konselor. Oleh karena itu dalam proses konseling ini aktifitas banyak diletakkan dipundak klien itu sendiri, dalam pemecahan masalah maka klien itu sendiri didorong oleh konselor untuk mencari pemecahan masalahnya.27Maka, dari situ klien dapat menemukan kesempatan untuk dapat mempelajari dengan bebas dan aman kesulitan-kesulitannya dan sikap-sikap emosional yang merongrongnya. Teknik atau pendekatan Client-Centered Counseling ini dikembangkan pertama kali
25
Dewa Ketut Sukardi ,Bimbingan Dan Penyuluhan Belajar Disekolah, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983) Hal. 166.
26
Opcit Hal. 168
27
(52)
43
oleh Carl Rogers. Selanjutnya Rogers mengemukakan bahwa apabila seseorang konselor sanggup menciptakan pertalian yang erat dan menyenangkan dengan penuh pengertian dan bebas dari segala perasaan takut dan cemas serta menghargai martabat individu, maka klien akan bersedia membuang semua cara pertahanan diri dan kemudian mengambil manfaat sebesar-besarnya dari situasi konseling untuk perkembangan dirinya.28 Kadang- kadang pendekatan ini diartikan sebagai suatu pandangan hidup, sebagai metoda konseling, karena untuk membantu klien merealisir potensi-
potensinya, konselor sendiri harus mencapai dulu
kematangan psikologis. Ia harus mampu untuk memahami dan menerima diri sendiri secara penuh, sungguh-sungguh, memiliki respek terhadap diri sendiri maupun orang lain dan terus menerus berusaha mencapai pertumbuhan dan perkembangan- perkembangan potensi- potensinya sendiri.29 3) Eclectic Konseling
Teknik dan pendekatan Eclectic konseling sering dipergunakan oleh konselor, disebabkan karena dari beberapa orang konselor dalam pengalaman mengadakan konseling dibuktikan bahwa kedua teknik atau pendekatan diatas mempunyai kebaikan-kebaikan dan kelemahannya masing-
28
Juhana Wijaya, Psikologi Bimbingan, (Bandung: PT. Eresco, 1988) hal. 128.
29
(53)
44
masing. Seorang konselor akan berhasil menjalankan tugasnya tidak hanya berpegang pada salah satu teknik atau pendekatan, tetapi menggunakan bermacam- macam teknik atau pendekatan yang disesuaikan dengan sifat masalah klien dan situasi konseling. Jadi dengan demikian didalam proses konseling, seorang konselor menggunakan teknik atau pendekatan yang sedikit banyak merupakan penggabungan dari unsur-unsur directive dan non-directive. Hal ini bisa dilaksanakan dengan cara bahwa pada awal proses konseling konselor menggunakan teknik atau pendekatan non-directive
yang memberikan keleluasaan pada klien untuk
mengungkapkan perasaan dan pikirannya, dan kemudian digunakan teknik atau pendekatan directive oleh konselor untuk menyalurkan arus pemikiran klien yang lebih aktif.30 Adapun teknik konseling kemasyarakatan dalam penanganan kepada narapidana yang terpidana narkoba, yaitu menggunakan konseling behavioral yang bertujuan yaitu mengubah perilaku salah (negatif) dalam penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan oleh klien sendiri maupun konselor. 31
Adapun Konseling behavioral dalam layanan bimbingan dan konseling kemayarakatan terhadap steretip narapidana narkoba ini diantaranya:
30
Opcit. Hal. 172.
31
Faizah Noer Laela, Bimbingan Konseling Sosial,(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014). Hal.61
(54)
45
1) Pra Konseling
Tahap ini merupakan tahap pengenalan dan penjajakan, dimana konselor memulai pembentukan trust kepada konseli dengan cara pengenalan seperti identitas maupun pengalaman hidup masing-masing dari konselor maupun konseli. Adapun ketentuan-ketuntuan yang mendasari melakukan proses konseling diantaranya:
a) Adanyan kemauan sendiri.
b) Suka rela atas inisiatifnya sendiri. c) Ikut pastisipasi dalam proses konseling.
2) Tahap permulaan
Tahap ini yaitu tahapan orientasi dan eksplorasi, dimana konselor masih pengenalan secara mendalam seperti kehidupan dari pendidikan, agama, keluarga , ekonomi dan menggali permasalahan yang dialami oleh konseli terutama permasalahan yang dialami oleh narapidana
3) Tahap konseling
Tahap ini, konselor sudah tahu akar permasalahan yang dialami oleh konseli khususnya narapidana narkoba yang masih berperilaku salah. Adapun salah satu teknik konseling behavioral yang digunakan yaitu:
a) Pembentukan perilaku model, perilaku model digunakan untuk: (1) membentuk perilaku baru kepada
(55)
46
konseli dan (2) memperkuat perilaku yang sudah terbentuk, sebagaimana perilaku yang diharapkan. Dalam hal ini, konselor menunjukkan kepada konseli tentang tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio visual, model fisik, model hidup, atau model yang lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai gambaran sosial atau berupa reward yang lain.32
b) Kontrak perilaku, yaitu persetujuan antara konselor dan konseli untuk mengubah perilaku tertentu kepda klien. Konselor dapat memilih perilaku yang realitis dan dapat dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setelah perilaku dimunculkan sesuai dari kesepakatan oleh kedua belah pihak.33
c) Pengkodisian aversi, teknik ini dilakukan untuk meredakan perilaku simptomatif dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki (simptomatif) tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara
32
Faizah Noer Laela, Bimbingan Konseling Sosial,(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014). Hal.65
33
(56)
47
bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak
dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini
diharapkan terbentuk assosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
4) Tahap evaluasi
Tahap evaluasi dan tindak lanjut, setelah berselang beberapa waktu, konseling kelompok perlu dievaluasi. Tindak lanjut dilakukan jika ternyata ada kendala – kendala dalam pelaksanaan dilapangan. Mungkin diperlukan upaya perbaikan terhadap rencana – rencana semua atau perbaikan terhadap cara pelaksanaannya.34
2. Stereotip Narapidana Narkoba
Adanya prasangka sosial bergandengan pula dengan stereotip yang merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang prasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenal prasangka itu.
Stereotip bisa diartikan sebagai (attitudes) menunjukkan pada sikap, pandangan atau pemahaman yang terstandar secara kaku bercirikan penilaian (baik atau buruk) tanpa memerlukan atau menghindari bukti terhadap orang lain (bangsa, masyarakat, kelompok
34
Faizah Noer Laela, Bimbingan Konseling Sosial, (Surabaya: UINSA Press, 2014) h. 81 - 84
(57)
48
komunitas, suku, atau etnik tertentu) atau sesuatu peristiwa atau benda di luar kebiasaannya sepeti upacara adat, perilaku sosial, makanan, dan lain sebagainya.35
Stereotip juga sebagai keyakinan mengenai atribut kepribadian dari kelompok atau orang-orang. Stereotip terkadang terlalu digeneralisasi (kurang lebih benar dan tidak selalu salah), tidak akurat, dan resisten terhadap informasi terbaru. Stereotip juga juga termasuk suatu evaluasi yang negatif yang menandai prasangka sering kali oleh keyakinan negatif.36
Adapun menurut Robert A. Baron dan Donn Byrne bahwa stereotip adalah keyakinan bahwa semua anggota kelompok sosial tertentu memiliki karakteristik atau traits yang sama. Stereotip adalah kerangka berpikir kognitif yang sangat mempengaruhi proses informasi sosial yang datang.37
Biasanya, streotip terbentuknya berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif. Gambaran stereotip tidak mudah berubah serta cenderun untuk dipertahankan oleh orang prasangka, juga apabila mereka pernah bergaul orang yang
berintelijen, berwatak tinggi, terdidik, dan maju dalam
perkembangannya.dalam hal itu, mereka yang berprasangka menganggap orang yang maju itu sebagai suatu pengecualian dari
35
Andi Mappiare, Kamus Istilah Konseling dan Terapi,(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006). Hal.317.
36
David G. Myers, Psikologi Sosial,(Jakarta: Salemba Humanika, 2012). Hal. 7.
37
(58)
49
orang lain pada umumnya yang mempunyai sifat-sifat pada stereotip tersebut atau prasangka itu.38
Kebanyakan stereotip- stereotip tersebut banyak diteliti dari segi budaya dikarnakan manusia masih berpikiran adanya perbedaan ras, suku, adat istiadatdan lain sebagainya. Indonesia mempunyai orang-orang yang berbeda suku, ras, adat istiadat yang mana berbagi pulau-pulau yang ditempat tinggal seperti suku sunda di jawa barat dengan suku batak di pulau kalimantan. Stereotip juga bisa juga dikaitkan dengan diskriminal seperti narapidana yang terkena kasus narkoba, pembunuhan, pencopet adapun kasus-kasus lain.
Narapidana adalah seorang manusia anggota masyarakat yang dip roses dalam lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode dan sisitem kemasyarakatan, sehingga pada suatu saat napi itu akan kembali menjadi masyarakat yang baik dan taat kepada hukum.39
Narapidana juga suatu terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga permasyarakatan. Meskipun terpidana kehilangan kemerdekaannya, ada hak-hak narapidana yang tetap di lindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
Dalam penelitian ini, narapidana termasuk salah satu penyimpangan perilaku yang mana diartikan sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun
38
Gerungan, ,Psikologi Sosial,(Bandung:PT. Refika Aditama2009). Hal.181-182
39
Bambang Purnomo, Pelaksana Pidana Penjara dan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1980). Hal. 180
(59)
50
pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.40 salah satu contoh penyimpangan perilaku yang ada di Indonesia yaitu penyalahgunaan narkoba. Yang dimaksud penyalahgunaan narkoba adalah suatu pemakaian non medical atau ilegal barang haram yang dinamakan narkoba yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan yang produktif manusia pemakainya.41
Secara umum Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika dan obat atau bahan berbahaya (yang dikenal dengan istilah psikotropika). Dalam hal ini, pengertian narkoba adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat dan aparat penegak hukum, untuk bahan atau obat yang masuk kategori berbahaya atau dilarang untuk digunakan, diproduksi, dipasok, diperjualbelikan, diedarkan, dan sebagainya di luar ketentuan hukum. Kata narkoba berasal dari bahasa Yunani naurkon yang berarti membuat lumpuh atau mati rasa. Istilah lain dri narkoba adalah NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lain), yakni bahan atau zat/ obat yang apabila masuk kedalam tubuh manusia, akan mempengaruhi tubuh, terutama otak/ susunan syaraf pusat (disebutkan psikoaktif), dan menyebabkan gangguan kesehatan jasmani, mental emosioanl dan fungsi sosialnya, karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi), dan ketergantungan (dependensi) terhadap masyarakat luas pada umumnya lebih mudah untuk mengingat istlah Narkoba dari pada Napza, maka istilah Narkoba terdengar lebih popular. Oleh
40
https://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku menyimpang
41
(60)
51
karena itu, dalam tulisan ini seterusnya akan digunakan istilah Narkoba.
Sebagaimana dijelaskan diatas, Narkoba terdiri dri dua zat, yakni narkotika dan psikotropika. Dan secara khusus dua zat ini memiliki pengertian, jenis (golongan), serta diatur dengan undang- undang yang berbeda. Narkotika diatur dengan undang –undang No.2 Tahun 1997, sedangkan psikotropika diatur dengan undang – undang No.5 Tahun 1997. Dua undang- undang ini merupakan langkah pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konferensi PBB Gelap Narkotika Psikotropika Tahun 1988. Narkotika, sebgaimana bunyi pasal 1 UU No.22/1997 didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik buatan atau semi buatan yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, mengurangi sampai menimbulkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.42
Sementara Psikotropika, menurut UU No. 5/ 1997 pasal 1,
didefinisikan psikotropika sebagai “zat atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku”. Bahan adiktif lainnya adalah “zat atau bahan lain bukan narkotika dan psikotropika
42
Buku Advokad Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas Dan Rutan, Hal. 1, diambil dari situs resmi BNN
(1)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
117
kesalahan serta masih pengaruhnya dari lingkungan khususnya di rutan yang bekeinginan menggunakan narkoba lagi dan kurang percaya diri jika kembali kepada masyarakat bahwa konseli sudah berubah.
Konselor membantu klien untuk menyelesaikan permasalahan dari segi kesadaran bahwa melakukan pengguna obat terlarang memang salah, mengubah perilaku negatif menjadi positif dan membangun kepercaya diri bahwa bisa berubah pada saat kembali kepada masyarakat dan memberikan suatu kegiatan di rutan dari aspek sosial maupun religius. Konselor juga memberikan motivasi dengan memberikan suatu nasehat-nasehat, semangat untuk hidup sebagai masyarakat yang baik dan sejahtera, maupun memberikan sebuah motivasi dalam video yang bisa menyadarkan bahwa menggunakan obat terlarang memang merusak masa depan manusia.
2. Hasil dari proses konseling dengan teknik konseling gabungan (Eclectic Konseling) dan konseling behavioral kepada narapidana narkoba ini cukup membawa perubahan meskipun tidak sempurna 90%. Hal ini dapat dilihat dari hasil follow up yang dilakukan konselor bersama konseli dan informan lainnya, yang mana dari beberapa perilaku yang ditunjukkan konseli sesudah menjalani proses konseling dan treatment mengalami perubahan kearah yang lebih baik, seperti : perubahan konseli yang berusaha selalu lebih tenang dalam bersikap dan berbicara, berani menolak ajakan teman-temannya untuk memakai narkoba lagi, religiusitas konseli juga meningkat, percaya diri bahwa bisa berubah dan
(2)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
118
mampu tidak melakukan lagi pada saat kembali kepada masyarakat secara baik
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi konselor
Bagi yang melakukan proses bimbingan konseling kemasyarakatan terhadap stereotip narapidana narkoba di Rutan Medaeng hendaknya dipertahankan dan alangkah baiknya jika konselor lebih banyak menambah ilmu pengetahuan dengan banyak membaca buku dan mencari banyak pengalaman konseling sehingga dalam melakukan proses bimbingan dan konseling mendapatkan hasil yang sangat memuaskan. 2. Bagi konseli
Tetap semangat untuk hidup dan semangat dalam mejalani hukuman yang bisa mengubah perilaku negatif menjadi positif dan juga mempertahan keniatan dalam tidaknya menggunakan narkoba. Adapun juga harus mengurangi untuk bergaul dengan teman-teman yang membawa dampak buruk bagi konseli sangat penting. Karena dalam usia konseli yang masih kepengaruh dari teman dan lingkungan sanagt kuat. 3. Bagi orangtua
Keluarga adalah pilar yang sangat menentukan pribadi dan perkembangan anak terutama ayah dan ibu, sesibuk apapun pekerjaan seberapa pentingnya pekerjaan sebaiknya agar orang tua menyempatkan
(3)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
119
berinteraksi dan komunikasi tetap dijaga agar anak tidak larut dalam dunianya sendiri dan menimbulkan kerugian bagi semua orang.
4. Bagi pembaca
Jadikanlah fenomena kenakalan remaja ini sebagai proses belajar dalam menambah keilmuan.
(4)
120
DAFTAR PUSTAKA
Andi Mappiare,2006, Kamus Istilah Konseling dan Terapi, (Jakarta: PT Raja Grafindo);
Bambang Purnomo, 1980, Pelaksana Pidana Penjara dan Sistem
Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty);
Bimo Walgito, 2005, Bimbingan & Konseling (Studi dan Karir) (Yogyakarta: ANDI);
Burhan Ashshofa, 1998, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Rineka Karya); David G. Myers, 2012, Psikologi Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika);
Deni Febrini, 2011, Bimbingan Konseling (Yogyakarta: Teras);
Dewa Ketut Sukardi, 1983, Bimbingan Dan Penyuluhan Belajar Disekolah, (Surabaya: Usaha Nasional);
Faizah Noor Laela, 2014, Bimbingan Konseling Sosial, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press);
Gerungan, 2009, Psikologi Sosial, (Bandung:PT. Refika Aditama);
Hallen A, 2002, Bimbingan dan Konseling dalam Islam (Jakarta: Ciputat Pers); Https://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku menyimpang;
Ika Nur Halimah & Faiz Hisyam, BKI Belajar 2014: Tujuan Bimbingan Konseling Sosial ( http://m-belajar.blogspot.co.id/2014/04/tujuan-bimbingan-konseling-sosial.html?m=1,);
Ismail Nawawi, 2012, Metoda Penelitian Kualitatif: Teori dan Aplikasi Interdisipliner untuk Ilmu Sosial, Ekonomi/ Ekonomi Islam, Agama, Manajemen, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: CV. Dwiputra Pustaka Jaya);
Jamal Ma’mur Asmani, 2010, Panduan Efektif Bimbingan dan Konseling di Sekolah, (Jogjakarta: Diva Press);
(5)
121
John McLeod, 2006, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus (Jakarta: Kencana);
Juhana Wijaya, 1988, Psikologi Bimbingan, (Bandung: PT. Eresco);
Meliada, Aldrianus dan Iqrak Sulhin, Analisis Kriminalitas Akhir tahun 2010, dalam http://kriminologi1.wordpress.com/, diakses pada tanggal 11
oktober 2016;
Murtadha Muthahari, 1992, Persepsi al-Quran tentang Manusia dan Agama,
(Bandung: Mizan);
Nasution, 1988, Metode Penulisan Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito); Naroma Lumongga Lubis, 2011, “Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam
Teori dan Praktik”.(Jakarta: Kencana Predana Media Group); Robert A. Baron, Psikologi Sosial, (Jakarta: Elrangga,2003);
Safrodin, 2010, Problematika Pelaksaan dan Penyuluhan Islam pada
Narapidana, (Semarang: IAIN Walisongo);
Shenny, Mantan Narapidana Bukan “Sampah Masyarakat”, dalam
https://belajarmembuatartikelhukum.wordpress.com/2014/09/26/mantan-narapidana-bukan-sampah-masyarakat-2/.);
Syamsu Yusuf dan Juntika Nusihsan, 2005, Landasan Bimbingan dan Konseling,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya);
Saifuddin Azwar, 2007, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Belajar);
Siti Azizah Rahayu, 2014, Psikologi Perkembangan, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press);
Soerjono Soekanto, 1986, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press); Sofyan S Willis, 2014, Remaja Dan Masalahnya, (Bandung: Alfabeta); Sugiyono, 2014, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV. Alfabeta); Sugiyo, 2012, Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Semarang:
Widya Karya);
(6)
122
Sri Astutik,2014, Pengatar Bimbingan dan Konseling,(Surabaya: UIN Sunan Ampel Press);
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, 2012, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya);
Thohari Musnamar, …., Dasar- Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam, (Yogyakarta: UII Press);
Toharin, 2008, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada);
W. S. Winkel, 1997, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Jakarta: PT Grasindo);