Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Korupsi Dalam Film (Film Kita Vs Korupsi) T1 362007069 BAB II

(1)

BAB II

KAJIAN DAN KERANGKA TEORI

1.1. Film sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi massa dapat dijelaskan sebagai komunikasi yang ditujukan kepada massa (masyarakat) atau komunikasi dengan menggunakan media massa. Dalam konteks ini massa merupakan kumpulan orang-orang yang hubungan sosialnya tidak jelas dan tidak mempunyai struktur tertentu (Rakhmat, 2003). Banyak studi telah dilakukan dalam bidang komunikasi massa seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Komunikasi tidak lagi dilihat dari sudut pandang kekuasaan tetapi lebih luas dan melibatkan banyak pihak. Teori komunikasi kontemporer yang merupakan perkembangan dari teori komunikasi klasik tidak lagi melihat fenomena komunikasi secara fragmatis. Dengan kata lain, komunikasi dipandang sebagai sesuatu yang kompleks dan tidak sesederhana pada pemahaman dalam teori komunikasi klasik. Komunikasi kontemporer salah satunya terwakili oleh media film sebagai alat komunikasi massa.

Komunikasi massa melalui film menggunakan unsur visual dan audio untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Kedua unsur tersebut dipadukan untuk memberikan gambaran realitas sebagai sumber stimulus afektif dan emosional. Severin (2005) menjelaskan bahwa dalam teori retorika visual, citra dan gambar dapat digunakan untuk menyusun argumentasi yang halus dan rumit sebagai penguat dimensi komunikasi media massa. Dengan kata lain, citra dan gambar yang ditampilkan dalam adegan sebuah film dapat merangsang respon kuat dari penonton tanpa disadari oleh penonton itu sendiri.

Film dapat dirancang untuk mencitrakan suatu realitas sesuai yang diinginkan oleh pembuat film. Ini berarti bahwa film sebagai alat media massa memenuhi fungsi komunikasi to inform, to educa te and to entertain sebagaimana dijelaskan oleh Laswell. Teori kultivasi menjelaskan bahwa media, khususnya televisi merupakan sarana utama yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk belajar tentang dunia, orang-orang didalamnya, nilai-nilai serta adat kebiasaannya


(2)

(Severin, 2005). Dengan demikian, film dapat diproduksi untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Pesan (message) terdiri dari dua aspek yaitu isi pesan (the content of message) dan lambang (symbol) untuk mengekspresikannya. Lambang utama dalam film adalah gambar, artinya realitas yang divisualisasikan memegang peran penting dalam proses komunikasi massa melalui film. Scoot (dalam Severin, 2005) menyebutkan bahwa ada tiga cara berpikir tentang gambar di media massa, yaitu sebagai gambaran nyata dari realitas, sebagai alat pembawa daya tarik afektif atau emosional dan sebagai kombinasi simbol-simbol yang rumit untuk menyusun argumentasi.

Dengan melihat citra dan audio yang ditampilkan di dalam sebuah film, makna dari pesan yang direpresentasikan dalam film dapat dipelajari oleh audience. Realitas yang ditampilkan di televisi atau film dalam konteks penelitian ini, merupakan produk atau konstruksi dari kode-kode budaya dan oleh karenanya tidak pernah bersifat netral ataupun universal sebagaimana dijelaskan oleh Fiske

(2005) “What passes for reality in any culture is that culture‟s codes, so „reality‟ is always already encoded, it is never „raw‟” . Ini berarti bahwa realitas dapat direkayasa untuk menyampaikan pesan tertentu pada masyarakat. Kehadiran film dengan pesan tertentu akan membawa dampak bagi masyarakat sebagai penonton. Film membawa berbagai informasi, pesan-pesan yang dalam kecepatan tinggi menyebar ke seluruh pelosok dunia secara serempak. Film dapat memunculkan efek sosial yang mengarah pada perubahan nilai sosial dan budaya dalam masyarakat. Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat masyarakat menonton film dan meng‟iya‟kan setiap nilai baru yang ditawarkan didalam film. Hall (1997) menyebut fenomena ini film as a new religion. Manusia cenderung menjadi konsumen budaya massa yang aktif. Hal ini mengakibatkan pola-pola kehidupan manusia sebelum muncul film menjadi berubah, bahkan secara total. Film mempengaruhi rutinitas kehidupan manusia, nilai-nilai yang dianut hingga budaya yang berlaku dalam masyarakat.

Penggunaan kelebihan dan kelemahan film memberikan pengaruh kepada pemirsanya. Semakin banyak unsur kelebihan dimanfaatkan, semakin besar kecenderungan pemirsa untuk menikmatinya. Demikian sebaliknya bila unsur


(3)

kelemahan yang lebih mendominasi maka hasilnya akan ditinggalkan khalayaknya. Melihat perkembangan film yang demikian pesat, Wilbur Schramm mengatakan film telah digunakan secara efektif untuk mengajarkan segala macam subjek, baik teoritis maupun praktik. Film semakin meluas dampaknya hingga menjadi bagian tak terpisahkan yang mempengaruhi kehidupan manusia. Media massa film secara teknis memiliki kemampuan mencapai khalayak dalam jumlah tak terhingga pada waktu bersamaan. Untuk itu media massa film mempunyai fungsi utama yang selalu harus diperhatikan yaitu fungsi informatif, edukatif, rekreatif dan sebagai sarana mensosialisasikan nilai-nilai atau pemahaman-pemahaman baik yang lama maupun yang baru.

1.2. Representasi dalam Sebuah Film

Representasi atau to represent didefinisikan tiga definisi yaitu to stand for, to speak or a ct on beha lf of dan to re-present (Giles and Middleton, 1999). To represent dapat didefinisikan sebagai to stand for, tanda yang tidak sama dengan realitas namun dihubungkan dan mendasarkan diri padanya, sebagai contoh: bendera sebuah negara yang dikibarkan pada suatu acara nternasional menunjukkan bahwa negara tersebut hadir sebagai peserta, maka bendera menyimbolkan suat negara. To represent juga didefinisikan sebagai to act or speak on behalf yang dapat dijelaskan dengan contoh Majelis Perwakilan Rakyat (MPR). Para anggota MPR adalan orang-orang yang mewakili sekelompok massa yang memilih mereka dan mendapat mandat untuk bertindak atas nama kelompok rakyat pendukung mereka. Definisi terakhir, to represent dapat dijelaskan dengan contoh sebuah foto atau poster yang digunakan untuk menghadirkan kembali sebuah peristiwa yang telah terjadi. Foto merupakan representasi melalui gambar yang bersifat iconic. Ketiga definisi tersebut mengacu pada representasi sebagai proses pemaknaan yang berkaitan dengan bahasa. Naum, pada prakteknya makna dari representasi ini dapat saling tumpang tindih. Hall (2003) memberikan

penjelasan lebih sederhana tentang representasi, ”representation is an essential part of the process by which meaning is produced and exhanged between members of culture. Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan


(4)

dipertukarkan antar anggota masyarakat. Dengan kata lain, representasi merupakan suatu cara untuk memproduksi makna.

Representasi bekerja melalui suatu sistem yang terdiri dari dua komponen penting, yaitu konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua komponen ini saling berelasi membentuk sebuah makna tunggal. Namun makna tidak dapat dikomunikasikan tanpa bahasa. Sebagai contoh, masyarakat mengenal konsep

‟bunga‟ dan mengetahui maknanya. Namun makna dari bunga tersebut tidak dapat dikomunikasikan, misalnya bagian dari tumbuhan yang berwarna-warni, jika makna tersebut tidak diungkapkan dalam bahasa yang dimengerti oleh orang lain. Hall (2003) mengungkapkan bawah hal yang terpenting dalam sistem representasi adalah kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah kelompok tertentu yang memiliki latar belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang sama.

Makna merupakan suatu konstruksi. Manusia mengkonstruksi makna dengan tegas shg suatu makna terlihat seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah. Makna dikonstruksi melalui sistem representasi dan difiksasi melalui kode. Kode inilah yang membuat masyarakat yang berada dalam satu kelompok budaya yang sama mengerti dan menggunakan nama yang sama, yang telah melewati proses konvensi secara sosial. Misalnya, ketika seseorang memikirkan orang tua, anak, saudara yang tinggal bersama dalam satu rumah, ia menggunakan kata keluarga untuk mengkomunikasikan yang ingin diungkapkan kepada orang lain. Ini terjadi karena kata keluarga merupakan kode yang telah disepakati dalam masyarakat untuk memaknai suatu konsep mengenai orang-orang yang tinggal dibawah satu atap rumah. Dari analogi tersebut dapat dilihat bahwa kode membangun korelasi antara sistem konseptual yang ada dalam pikiran dengan sistem bahasa yang digunakan oleh masyarakat.

Dari penjabaran di atas, dapat dijelaskan representasi merupakan suatu proses untuk memproduksi makna dari konsep yang ada di pikiran melalui bahasa. Proses produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem representasi. Namun proses pemaknaan tersebut tergantung apda latar belakang pengetahuan dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu


(5)

kelompok harus memiliki pengalaman yang sama untuk dapat memaknai suatu ide dengan cara yang sama.

Representasi muncul dalam berbagai bentuk, antara lain tulisan, ucapan, isyarat yang maknanya sudah disepakati dengan konsensus, gambar serta lukisan, ukiran serta bentuk tercetak, sinyal asap, lampu senter, rekaman suara, foto dan film (Currie, 1995). Film merupakan jenis representasi yang memiliki karakter spesial yang berhubungan dengan gambar. Film secara umum terdiri atas dua unsur pembentuk yaitu unsur naratf dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematika merupakan cara (gaya) untuk mengolah materi tersebut. Dalam film, cerita sebagai unsur naratif merupakan perlakukan terhadap cerita filmnya. Sementara unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film.

Unsur sinematik terdiri atas empat elemen utama yaitu mise-en-scene, sinematografi, editing dan suara. Masing-masing elemen tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk gaya sinematik secara utuh (Pratista, 2008). Mise-en-scene adalah segala hal yang berada di depan kamera yang terdiri dari empat elemen pokok yaitu setting atau latar; tata cahaya; kostum dan make up; serta akting dan gerakan pemain. Sinematografi adalah perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan obyek yang diambil. Editing adalah transisi sebuah gambar ke gambar lainnya. Sedangkan suara merupakan segala hal di dalam film yang mampu ditangkap melalui indra pendengaran.

Cerita film dapat direkayasa untuk menyampaikan pesan tertentu kepada penontonnya. Hal inilah yang memudahkan film menjadi media representasi suatu realitas yang akan ditanamkan pada masyarakat sebagai penonton. Menurut Turner, makna yang dimuat dalam film sebagai representasi dari realitas masyarakat, berbeda dengan film hanya sebagai refleksi dari realitas. Sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas


(6)

berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya (Sobur, 2006).

Film mempengaruhi dan membentuk respon masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) di baliknya. Dengan kata lain film tidak bisa dipisahkan dari konteks masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsinya. Selain itu, sebagai representasi dari realitas, film juga mengandung muatan ideologi pembuatnya sehingga dapat digunakan sebagai alat propaganda. Representasi adalah tindakan menghadirkan atau merepresentasikan sesuatu baik orang, peristiwa, maupun objek melalui sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol. Representasi ini belum tentu bersifat nyata tetapi bisa juga menunjukan dunia khayalan, fantasi, dan ide-ide abstrak (Hall, 1997: 28).

Pesan yang dimasukkan dalam suatu media bergantung pada kepentingan-kepentingan di balik media tersebut. Begitu pula dengan film sebagai salah satu produk media massa. Pembuat film telah membingkai realitas sesuai dengan subjektivitasnya yang dipengaruhi oleh kultur dan masyarakatnya. Sebuah film tentu dapat mewakili pula pandangan pembuatnya, dan seseorang membuat film untuk mengkomunikasikan pandangan itu. Dengan kata lain film juga mengandung ideologi pembuatnya yang dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap suatu hal. Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Bagi kebanyakan orang, ideologi mewakili suatu kecenderungan umum untuk menukarkan yang benar dengan apa yang tidak baik bagi kepentingan sendiri. Sekalipun anggapan yang sangat luas tersebar ini tidak harus berarti bahwa ideologi adalah suatu konsepsi palsu mengenai kesadaran, namun anggapan itu mengakui bahwa hanya ada satu ideologi saja yang dapat dikatakan benar, dan ada tanda-tanda bahwa kita dapat menemukan ideologi mana yang benar dengan bersikap lebih objektif (Sobur, 2006).


(7)

1.3. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan kata yang diadaptasi dari bahasa Latin “corruption”

atau “corruptus” yang berarti: kerusakan atau kebobrokan. Pada awalnya, masyarakat memahami korupsi berdasarkan kamus bahasa Yunani Latin

“corruption” yang berarti perbuatan tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental dan hukum. Namun demikian, pengertian tersebut merupakan pengertian yang sangat sederhana, yang tidak dapat dijadikan tolak ukur atau standar perbuatan korupsi sebagai suatu tindak pidana (Prodjohamidjoyo, 2001).

Dalam pemahaman masyarakat umum, kata korupsi menurut Marpaung (1992) adalah perbuatan memiliki “keuangan Negara” secara tidak sah (haram). Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

korupsi diartikan sebagai: “…penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau

perusahaan atau sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Kata

“keuangan negara” biasanya tidak terlepas dari “aparat pemerintah”, karena yang mengelola “keuangan Negara” adalah aparat pemerintah. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diamandemen melalui Undang-Undang No. 20 tahun 2001, dalam Pasal 2 ayat (1) merumuskan tindak pidana korupsi adalah :

“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun da n denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Selanjutnya pada Pasal 3 dirumuskan :

“setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana


(8)

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) ta hun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Dasar hukum tentang tindak pidana korupsi secara garis besar menjelaskan tentang kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakan seseorang menyalahgunakan kekuasaan. Pada perkembagannya, pemahaman tersebut membuat masyarakat hanya mengaci pada perilaku pejabat yang menyalahgunakan uang negara sebagai tindak pidana korupsi. Lubis dan Scott (1997) memberikan pandangan yang lebih luas, dalam arti hukum korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut; sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap korupsi apabila ada pelanggaran hukum atau tidak, namun dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.

Seiring dengan perkembangan hukum dan tindak pidana, pengertian korupsi mengalami pergeseran yang semakin luas. Menurut Tansparency Internationa l, World Bank, dan International Monetary Fund, korupsi di sektor publik umumnya didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. United States Agency for International Development (USAID) (1999) memberikan definisi bahwa korupsi adalah penyalahgunaan unilateral oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, serta pelanggaran yang menghubungkan aktor publik dan privat seperti penyuapan, pemerasan, pengaruh penjajakan, dan penipuan. Sedangkan dalam bidang politik, Gibbons (1999) menyebutkan ada sembilan bentuk korupsi: patronase politik atau menggunakan sumberdaya publik sebagai pendukung dalam pemilihan; mempekerjakan pegawai pemerintah yang mendukung pandangan politik penguasa atau kontrak alokasi pegawai berdasarkan kriteria partisan; membeli suara (money politic);


(9)

pork-barreling atau menjanjikan pekerjaan umum kepada pemilih tetapi calon tahu bahwa pemilih tersebut tidak mampu menjalankan pekerjaan; penyuapan atau warga negara yang membayar pejabat untuk mendukung kepentingan mereka; graft atau sogok-menyogok, ketika seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus dihargai agar sesuai dengan tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau mengalokasikan kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan; mendorong pejabat publik lain atau perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan kampanye uang atau menerima dana dari kelompok yang berkompromi dalam pemilihan.

1.4. Semiotika

Semiotika pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan masyarakat memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Premis dasar dari semiotika adalah semua aspek hubungan sosial (misalnya tata krama, cara berpakaian, adat kebiasaan) ditunjukkan sebagai tanda yang dibaca atau dimengerti dengan kode yang dimengerti bersama. Jika strukturalisme menitikberatkan pada penemuan makna di bawa permukaan teks (the what), semiotika menitikberatkan pada sistem yang membentuk maka tersebut (the how). Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda atau seme, yang berarti penafsir tanda. Semiotike berakar pada studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika (Sobur, 2004).

Analisis semiotika adalah metode penelitian untuk menafsirkan makna dari suatu pesan komunikasi baik yang tersirat (tertulis) maupun yang tersurat (tidak tertulis/teruap). Makna yang dimaksud mulai dari parsial hingga makna komprehensif. Sehingga dapat diketahui motif komunikasi dari komunikatornya. Metode semiotika dikembangkan untuk menafsirkan simbol komunikasi sehingga dapat diketahui bagaimana komunikator mengkontruksi pesan untuk maksud-maksud tertentu.Pemaknaan simbol dapat menggunakan denotatif dan konotatif atau nilai-nilai ideologis (atau mitologi dalam istilah Roland Barthes) dan cultural.


(10)

Melalui analisis semiotika dapat dikupas tanda dan makna yang diterapkan pada sebuah naskah pidato, iklan, novel, film, dan naskah lainnya. Hasil analisis rangkaian tanda itu akan dapat menggambarkan konsep pemikiran yang hendak disampaikan oleh komunikator, dan rangkaian tanda yang terinterpretasikan menjadi suatu jawaban atas pertanyaan nilai-nilai ideologi dan kultural yang berada di balik sebuah naskah.

Tradisi semiotika tidak pernah mengandaikan terjadinya salah pemaknaan, karena setiap „pembaca‟ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya. Pada saat iklan telah tersaji ke ruang publik, maka iklan akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda dalam iklan tidak lagi memiliki otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki. Peran pemaknaan pun berpindah ke tangan pembaca.

Terobosan penting pada semiotika adalah diterimanya penerapan konsep-konsep linguistik ke dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa tertulis; yang dalam pendekatan ini lantas diandaikan sebagai teks pula. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan produk media, seluruh tampilan media baik dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Maka, seorang penonton iklan televisi yang ingin menghadirkan konstruksi makna tontonan televisi perlu memperlakukan keseluruhan unsur dalam iklan tersebut sebagai teks sekaligus mempertautkannya dengan fenomena sosial yang kontekstual. Teks dan konteks merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Pendekatan semiotik mempercayai bahwa terlalu naif untuk mempertentangkan teks dan konteks, bahkan konteks pun di dalam teorisasi semiotika lantas diandaikan sebagai teks (Hodge dan Kress, 1988: 8). Sebuah jalinan makna dibangun dengan penuh kesadaran atas hasil dari relasi antarteks alias intertekstualitas.


(11)

Satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam pendekatan semiotika adalah pentingnya peran bahasa. Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna (pembaca) melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara tanda konsep-konsep yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Stuart Hall (1997) memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Salah seorang founding fathers semiologi, Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan: “Language is a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of all these systems” (Berger, 1982).

Dalam semiotika, ada tiga bidang utama yang dipelajari yaitu (Fiske, 2004):

1. tanda, yang terdiri dari studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda menyampaikan makna dan cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda merupakan konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembagkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Studi ini bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk meberadaan dan bentuknya sendiri.


(12)

John Fiske (1987) berpendapat bahwa realitas merupakan produk pokok yang dibuat oleh manusia. Dari ungkapan tersebut dapat dikatakanbahwa Fiske memadang apa yang ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah sebuah realitas sosial. Pesan budaya akan selalu bersinggungan dengan penerima dan memproduksi makna budaya. Dimana sebuah pesan yang dihasilkan dari penurunan dan pertukaran tanda tersebut merupakan suatu struktur bangunan yang juga diperkaya dengan elemen-elemen lain termasuk realitas eksternal yang berfungsi memantapkan dan memelihara nila-nilai yang berlaku (Fiske, 1990) . Dalam pandangan Fiske, analisis semiotik pada televisi atau film terbagi menjadi beberapa level, yaitu:

1. Level Realitas ( Reality)

Kode yang tercakup dalam level ini adalah penampilan, kostum, riasan, lingkungan, tingkah laku, cara berbicara, bahasa atau gerak tubuh, ekspresi, suara dan lain-lain.

2. Level Representasi

Kode yang termasuk pada level representasi adalah seputar kode-kode teknik seperti kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara.

3. Level Ideologi

Level ideologi merupakan hasil dari level realitas dan representasi yang terorganisir atau terkategorikan kepada penerimaan dan hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme, ras, kelas, materialisme, kapitalisme dan lain-lain.

Banyak teknik pengambilan gambar yang dapat digunakan untuk merepresentasikan suatu realitas ke dalam film. Thompson & Bowen (2009) menjabarkan sejumlah teknik shot kamera yang digunakan oleh media ini dalam mengkonstruksi realitas virtual-nya. Masing-masing teknik shot kamera memiliki arti yang berbeda dengan penekanan yang berbeda pula. Terdapat sembilan teknik shot kamera, dimana setiap teknik memiliki fungsi dan makna yang berbeda, yaitu :


(13)

 Long shoot/Wide Shot (LS/WS): Dengan teknik ini bisa diketahui siapa, dimana dan kapan berkaitan dengan subjek. Selain itu, juga bisa diketahui gendernya, kostum, gerakan subjek, dan ekspresi wajah.  Medium shots (MS): Dengan teknik ini bisa diketahui siapa, dimana dan

kapan berkaitan dengan subjek. Selain itu, juga bisa diketahui gendernya, kostum, gerakan subjek, dan ekspresi wajah.

 Close-up (CU): Disebut juga intimate shot. Untuk menghasilkan gambaran orang, objek, atau tindakan yang terlihat besar, sehingga bisa mendapatkan informasi yang detail tentang objek, serta bisa menunjukkan ekspresi seseorang.

 Extreme Long Shot (XLS): Digunakan untuk menunjukkan lingkungan urban, suburban, rural, pegunungan, gurun, laut, dan lain-lain. Juga digunakan untuk menunjukkan siang, malam,musim dingin, musim panas, dll.

 Very Long Shot (VSL): Memperlihatkan lebih jelas lagi tentang siapa dan dimana subjek berada.

 Medium Close Up (MCU: Memberi informasi tentang cara bicara, cara mendengarkan atau tindakan dari karakter Ekspresi wajah, arah pandang, emosi, warna rambut, make-up tampak jelas.

 Big Close Up (BCU): Lebih untuk memperlihatkan bagian wajah, terutama hidung, mata dan mulut. Untuk memperlihatkan siapa subjek itu, dan bagaimana ekspresinya (marah, sedih, terharu, dll).

 Extreme Close Up (ECU): Gambar ini biasanya digunakan untuk film dokumenter, berkaitan dengan medis atau ilmu alam, bisa juga digunakan untuk film naratif fiksi, atau film art.


(1)

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) ta hun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Dasar hukum tentang tindak pidana korupsi secara garis besar menjelaskan tentang kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakan seseorang menyalahgunakan kekuasaan. Pada perkembagannya, pemahaman tersebut membuat masyarakat hanya mengaci pada perilaku pejabat yang menyalahgunakan uang negara sebagai tindak pidana korupsi. Lubis dan Scott (1997) memberikan pandangan yang lebih luas, dalam arti hukum korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut; sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap korupsi apabila ada pelanggaran hukum atau tidak, namun dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.

Seiring dengan perkembangan hukum dan tindak pidana, pengertian korupsi mengalami pergeseran yang semakin luas. Menurut Tansparency Internationa l, World Bank, dan International Monetary Fund, korupsi di sektor publik umumnya didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. United States Agency for International Development (USAID) (1999) memberikan definisi bahwa korupsi adalah penyalahgunaan unilateral oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, serta pelanggaran yang menghubungkan aktor publik dan privat seperti penyuapan, pemerasan, pengaruh penjajakan, dan penipuan. Sedangkan dalam bidang politik, Gibbons (1999) menyebutkan ada sembilan bentuk korupsi: patronase politik atau menggunakan sumberdaya publik sebagai pendukung dalam pemilihan; mempekerjakan pegawai pemerintah yang mendukung pandangan politik penguasa atau kontrak alokasi pegawai berdasarkan kriteria partisan; membeli suara (money politic);


(2)

pork-barreling atau menjanjikan pekerjaan umum kepada pemilih tetapi calon tahu bahwa pemilih tersebut tidak mampu menjalankan pekerjaan; penyuapan atau warga negara yang membayar pejabat untuk mendukung kepentingan mereka; graft atau sogok-menyogok, ketika seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus dihargai agar sesuai dengan tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau mengalokasikan kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan; mendorong pejabat publik lain atau perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan kampanye uang atau menerima dana dari kelompok yang berkompromi dalam pemilihan.

1.4. Semiotika

Semiotika pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan masyarakat memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Premis dasar dari semiotika adalah semua aspek hubungan sosial (misalnya tata krama, cara berpakaian, adat kebiasaan) ditunjukkan sebagai tanda yang dibaca atau dimengerti dengan kode yang dimengerti bersama. Jika strukturalisme menitikberatkan pada penemuan makna di bawa permukaan teks (the what), semiotika menitikberatkan pada sistem yang membentuk maka tersebut (the how). Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda atau seme, yang berarti penafsir tanda. Semiotike berakar pada studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika (Sobur, 2004).

Analisis semiotika adalah metode penelitian untuk menafsirkan makna dari suatu pesan komunikasi baik yang tersirat (tertulis) maupun yang tersurat (tidak tertulis/teruap). Makna yang dimaksud mulai dari parsial hingga makna komprehensif. Sehingga dapat diketahui motif komunikasi dari komunikatornya. Metode semiotika dikembangkan untuk menafsirkan simbol komunikasi sehingga dapat diketahui bagaimana komunikator mengkontruksi pesan untuk maksud-maksud tertentu.Pemaknaan simbol dapat menggunakan denotatif dan konotatif atau nilai-nilai ideologis (atau mitologi dalam istilah Roland Barthes) dan


(3)

Melalui analisis semiotika dapat dikupas tanda dan makna yang diterapkan pada sebuah naskah pidato, iklan, novel, film, dan naskah lainnya. Hasil analisis rangkaian tanda itu akan dapat menggambarkan konsep pemikiran yang hendak disampaikan oleh komunikator, dan rangkaian tanda yang terinterpretasikan menjadi suatu jawaban atas pertanyaan nilai-nilai ideologi dan kultural yang berada di balik sebuah naskah.

Tradisi semiotika tidak pernah mengandaikan terjadinya salah pemaknaan, karena setiap „pembaca‟ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya. Pada saat iklan telah tersaji ke ruang publik, maka iklan akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda dalam iklan tidak lagi memiliki otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki. Peran pemaknaan pun berpindah ke tangan pembaca.

Terobosan penting pada semiotika adalah diterimanya penerapan konsep-konsep linguistik ke dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa tertulis; yang dalam pendekatan ini lantas diandaikan sebagai teks pula. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan produk media, seluruh tampilan media baik dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Maka, seorang penonton iklan televisi yang ingin menghadirkan konstruksi makna tontonan televisi perlu memperlakukan keseluruhan unsur dalam iklan tersebut sebagai teks sekaligus mempertautkannya dengan fenomena sosial yang kontekstual. Teks dan konteks merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Pendekatan semiotik mempercayai bahwa terlalu naif untuk mempertentangkan teks dan konteks, bahkan konteks pun di dalam teorisasi semiotika lantas diandaikan sebagai teks (Hodge dan Kress, 1988: 8). Sebuah jalinan makna dibangun dengan penuh kesadaran atas hasil dari relasi antarteks alias intertekstualitas.


(4)

Satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam pendekatan semiotika adalah pentingnya peran bahasa. Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna (pembaca) melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara tanda konsep-konsep yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Stuart Hall (1997) memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Salah seorang founding fathers semiologi, Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan: “Language is a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of all these systems” (Berger, 1982).

Dalam semiotika, ada tiga bidang utama yang dipelajari yaitu (Fiske, 2004):

1. tanda, yang terdiri dari studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda menyampaikan makna dan cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda merupakan konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembagkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Studi ini bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk meberadaan dan


(5)

John Fiske (1987) berpendapat bahwa realitas merupakan produk pokok yang dibuat oleh manusia. Dari ungkapan tersebut dapat dikatakanbahwa Fiske memadang apa yang ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah sebuah realitas sosial. Pesan budaya akan selalu bersinggungan dengan penerima dan memproduksi makna budaya. Dimana sebuah pesan yang dihasilkan dari penurunan dan pertukaran tanda tersebut merupakan suatu struktur bangunan yang juga diperkaya dengan elemen-elemen lain termasuk realitas eksternal yang berfungsi memantapkan dan memelihara nila-nilai yang berlaku (Fiske, 1990) . Dalam pandangan Fiske, analisis semiotik pada televisi atau film terbagi menjadi beberapa level, yaitu:

1. Level Realitas ( Reality)

Kode yang tercakup dalam level ini adalah penampilan, kostum, riasan, lingkungan, tingkah laku, cara berbicara, bahasa atau gerak tubuh, ekspresi, suara dan lain-lain.

2. Level Representasi

Kode yang termasuk pada level representasi adalah seputar kode-kode teknik seperti kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara.

3. Level Ideologi

Level ideologi merupakan hasil dari level realitas dan representasi yang terorganisir atau terkategorikan kepada penerimaan dan hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme, ras, kelas, materialisme, kapitalisme dan lain-lain.

Banyak teknik pengambilan gambar yang dapat digunakan untuk merepresentasikan suatu realitas ke dalam film. Thompson & Bowen (2009) menjabarkan sejumlah teknik shot kamera yang digunakan oleh media ini dalam mengkonstruksi realitas virtual-nya. Masing-masing teknik shot kamera memiliki arti yang berbeda dengan penekanan yang berbeda pula. Terdapat sembilan teknik shot kamera, dimana setiap teknik memiliki fungsi dan makna yang berbeda, yaitu :


(6)

 Long shoot/Wide Shot (LS/WS): Dengan teknik ini bisa diketahui siapa, dimana dan kapan berkaitan dengan subjek. Selain itu, juga bisa diketahui gendernya, kostum, gerakan subjek, dan ekspresi wajah.  Medium shots (MS): Dengan teknik ini bisa diketahui siapa, dimana dan

kapan berkaitan dengan subjek. Selain itu, juga bisa diketahui gendernya, kostum, gerakan subjek, dan ekspresi wajah.

 Close-up (CU): Disebut juga intimate shot. Untuk menghasilkan gambaran orang, objek, atau tindakan yang terlihat besar, sehingga bisa mendapatkan informasi yang detail tentang objek, serta bisa menunjukkan ekspresi seseorang.

 Extreme Long Shot (XLS): Digunakan untuk menunjukkan lingkungan urban, suburban, rural, pegunungan, gurun, laut, dan lain-lain. Juga digunakan untuk menunjukkan siang, malam,musim dingin, musim panas, dll.

 Very Long Shot (VSL): Memperlihatkan lebih jelas lagi tentang siapa dan dimana subjek berada.

 Medium Close Up (MCU: Memberi informasi tentang cara bicara, cara mendengarkan atau tindakan dari karakter Ekspresi wajah, arah pandang, emosi, warna rambut, make-up tampak jelas.

 Big Close Up (BCU): Lebih untuk memperlihatkan bagian wajah, terutama hidung, mata dan mulut. Untuk memperlihatkan siapa subjek itu, dan bagaimana ekspresinya (marah, sedih, terharu, dll).

 Extreme Close Up (ECU): Gambar ini biasanya digunakan untuk film dokumenter, berkaitan dengan medis atau ilmu alam, bisa juga digunakan untuk film naratif fiksi, atau film art.