Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Korelasi Pengetahuan Keluarga terhadap Relaps Pasien Gangguan Jiwa Di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang T1 462010076 BAB II

(1)

11 BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 Relaps gangguan jiwa 2.1.1 Relaps

Relaps atau kambuh merupakan sesuatu yang terjadi secara berulang. istilah ini biasanya digunakan pada kasus sakit atau pada narkotika. Berdasarkan kamus bahasa Indonesia defenisi kambuh atau relaps adalah kumat lagi atau jatuh sakit untuk kedua kalinya. Menurut Stuard & Laraia 2001 relaps merupakan timbulnya kembali gejala - gejala yang pernah dialami oleh seseorang yang mungkin saja sudah memperoleh kemajuan dan perkembangan.

Pada kasus gangguan jiwa kronis, diperkirakan 50% penderita gangguan jiwa kronis akan mengalami relaps pada tahun pertama, dan 70% pada tahun yang kedua. Relaps biasa terjadi karena ada hal-hal buruk yang menimpa penderita gangguan jiwa, seperti diasingkan oleh keluarganya sendiri (Wiramisharjo, 2007). Relaps atau kambuh merupakan keadaan penderita menunjukan kembali gejala setelah remisi dari rumah sakit. Peningkatan angka relaps sangat berhubungan erat


(2)

12

dengan lingkungan rumah, terutama dalam keluarga yang tidak harmonis, ketidaktahuan keluarga dalam menghadapi dan merawat penderita (Tomb, 2004).

Andri 2008 menjelaskan relaps merupakan keadaan pasien yang mana gejala sebelumnya muncul kembali yang bisa mengakibatkan pasien harus dirawat untuk kedua kalinya. Keadaan keluarga maupun lingkungan sekitar yang tidak sesuai dengan keadaan penderita merupakan poin utama untuk memicu terjadinya relaps. Ada beberapa aspek yang dapat memicu relaps penderita antara lain penderita tidak mengkonsumsi obat dan check up pada dokter secara teratur, kurangnya dukungan dan pengetahuan keluarga, serta adanya masalah kehidupan yang dianggap sangat berat yang bisa membuat stress (Akbar, 2008).

2.1.2 Gangguan jiwa

2.1.2.1 Defenisi gangguan jiwa

Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada masyarakat. American Psychiatric Association (1994) dalam Videbeck (2008) mengatakan bahwa gangguan jiwa sebagai salah satu sindrom


(3)

13

atau pola psikologis yang terjadi pada seseorang yang dikaitkan dengan distress (kerusakan fungsi pada satu area) atau peningkatan kematian atau muncul karena sangat kehilangan kebebasan. Gangguan jiwa adalah salah satu bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental seseorang atau kesehatannya yang disebabkan kegagalan untuk merespon sesuatu, baik dari dalam diri maupun dari luar dirinya. J.P.Chaplin (1981) dalam Sunaryo (2004) sedangkan Soeharto Heerdjan (1987) dalam Sunaryo (2004) mengungkapkan yang dimaksud dengan gangguan jiwa yaitu apabila keperibadian atau diri seseorang tidak sanggup atau gagal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

2.1.2.2 Penyebab gangguan jiwa

Gangguan jiwa atau masalah kesehatan jiwa yang terjadi pada diri seseorang pastinya mempunyai faktor penyebab yang memicu keadaan tersebut, terdapat tiga faktor penyebab gangguan jiwa menurut Sunaryo (2004) dikutip dari Kartini Kartono (1999), yakni :


(4)

14

a. Faktor internal, yaitu pengaruh yang berasal dari dalam diri individu tersebut, seperti predisposisi struktur biologis/jasmani dan jiwa serta struktur keperibadian yang salah.

b. Faktor eksternal, yaitu pengaruh yang berasal dari luar diri individu. Masalah sosial dan kebudayaan yang mempengaruhi keperibadian seseorang dan dapat mengubah perilaku orang tersebut menjadi abnormal.

c. Proses intrapsikis yang salah, yaitu proses yang berlangsung dalam keperibadian atau jiwa seseorang. Pemaksaan batin dari pengalaman dengan cara yang salah.

Sementara menurut Soeharto Heerdjan (1987) dalam Sunaryo 2004 ada tiga faktor penyebab gangguan kesehatan jiwa, yaitu

a. Faktor jasmaniah. Faktor pemicu ini terjadi secara fisik atau jasmani seperti infeksi, cedera karena kecelakaan atau kelainan peredaran darah.


(5)

15

b. Faktor psikologis. Faktor ini lebih ditinjau dari segi psikis dan perilaku seseorang seperti terjadi karena adanya konflik jiwa, stress, kekecewaan dan kurangnya perhatian orang tua maupun keluarga. c. Faktor sosial budaya. Faktor penyebab ini

lebih melihat pada sosial seseorang, bisa terjadi karena kerusuhan sosial, masyarakat sekitar, serta perubahan sosial dan budaya secara cepat yang susah untuk diterima seseorang.

2.1.3 Pasien

Pasien diartikan seseorang yang sedang mempunyai masalah kesehatan yang memeriksakan dirinya ke klinik maupun rumah sakit secara teratur dalam interval tertentu atau yang dikunjungi perawat atau yang dirawat inap di rumah sakit (Hinchliff, S, 1999). World Health Organization (WHO) secara jelas menjelaskan bahwa sehat merupakan keadaan ideal seseorang yang bebas dari segala jenis penyakit, baik itu secara fisik, mental maupun sosial, begitupun sebaliknya sakit dapat didefinisikan sebagai keadaan


(6)

16

yang tidak terbebas dari penyakit, baik fisik, mental maupun sosialnya.

2.1.4 Faktor – faktor penyebab relaps gangguan jiwa Sullinger (dalam Keliat, 1996) mengidentifikasi 4 faktor penyebab relaps penderita gangguan jiwa dan perlu perawatan rumah sakit, yaitu: a. Klien

Secara umum klien yang teratur mengkonsumsi obat mempunyai kemungkinan untuk relaps/kambuh. Hasil penelitian menunjukan 25 % sampai 50 % yang pulang tidak mengkonsumsi obat secara teratur. Khususnya penderita gangguan jiwa tidak mampu mengontrol konsumsi obat secara teratur, sukar untuk diatur dan tidak mampu dalam pengambilan keputusan. Pemberian obat dan tugas kontrol selama di rumah sakit dilakukan oleh perawat sementara di rumah digantikan oleh anggota keluarga yang lain.


(7)

17

b. Dokter (pemberi resep)

Mengikuti peraturan dengan minum obat yang teratur dapat mencegah relaps. Namun, pemakaian dan mengkonsumsi obat dengan jangka waktu yang panjang dapat menimbulkan efek samping, dengan demikian pemberi resep (dokter) diharapkan tetap memperhatikan dan mengidentifikasi dosis teraupetik dan dapat mencegah relaps serta efek samping penggunaanya.

c. Penanggung jawab pasien(case manager) Setelah pasien mengalami pembaikan dan diizinkan pulang atau kembali ke rumah maka penanggung jawab kasus memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu dengan penderita, sehingga dapat mengidentifikasi gejala dini dan segera mengambil tindakan atas kondisi penderita. d. Keluarga

Perilaku dan tindakan keluarga yang tidak sesuai bisa memicu relaps penderita. Keluarga memiliki tanggung jawab yang besar dalam proses perawatan di rumah sakit jiwa,


(8)

18

persiapan untuk pulang dan perawatan selama di rumah agar penderita dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar dengan baik. Kualitas dan efektifitas perilaku keluarga dapat membantu proses pemulihan dan mencegah terjadinya relaps sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dari penderita gangguan jiwa tersebut.

2.2 Pengetahuan

2.2.1 Defenisi pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2007). Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran kita sebagai hasil dari penggunaan indera, Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari kenyataan (fakta) dengan melihat atau mendengar, serta melalui media-media komunikasi seperti membaca buku, mendengarkan radio maupun menonton movie atau televisi (Soekanto, 2000).


(9)

19 2.2.2 Pentingnya pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan aspek yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Perilaku yang didasarkan pada pengetahuan akan lebih langgeng dibandingkan dengan tindakan atau perlakuan yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sebelum orang meniru atau mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu :

1. Awareness (kesadaran), yang mana orang tersebut menyadari dan mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2. interest ( merasa tertarik) sikap tertarik subjek terhadap objek mulai muncul.

3. Evaluation (menimbang-nimbang), subjek mulai melakukan pertimbangan baik dan tidaknya stimulus atau objek kepada dirinya.

4. Trial, yang mana subjek mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh stimulus atau objek.


(10)

20

5. Adaption, yang mana subjek telah memiliki prilaku baru, berprilaku sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus atau objek.

2.2.3 Tingkatan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang dicakupi di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang rendah.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat


(11)

21

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajarinya.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.


(12)

22

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu a. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses belajar seseorang yang mana terjadi satu proses pertumbuhan, perkembangan dan satu proses perubahan kearah yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih matang pada dirinya, Keluarga dan masyarakat. Beberapa penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan satu pribadi, bahwa pada umumnya pendidikan itu mempertinggi taraf intelgensi seseorang.

b. Presepsi

Presepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.


(13)

23 c. Motivasi

Motivasi merupakan satu dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri seseorang untuk berfikir dan melakukan sesuatu dengan mengesampingkan hal - hal yang diketahui kurang bermanfaat. Untuk mencapai tujuan dan munculnya motivasi diperlukan motivasi baik itu yang berasal dari dalam dirinya maupun berasal dari orang lain atau luar dirinya. Dikatakan motivasi murni apabila dalam dirinya yang menyadari pentingnya satu perilaku yang dilakukan merupakan kebutuhannya.

d. Pengalaman

Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan seseorang atau yang pernah dialaminya (diketahui dan dikerjakan) juga merupakan kesadaran akan sesuatu hal yang terekam oleh indera manusia. Faktor luar atau eksternal yang mempengaruhi pengetahuan bagi perkembangan dan pertumbuhan diri / sifat seseorang yaitu meliputi : lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan informasi. Lingkungan berperan sebagai faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan


(14)

24

perilaku seseorang. Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat untuk memiliki hubungan antar tingkat penghasilan dan pemanfaatannya.

2.3 Konsep Keluarga 2.3.1 Defenisi Keluarga

Keluarga adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai fungsi penting terhadap pembentukan kebudayaan yang sehat. Potter & Perry (2005) mengatakan keluarga dapat diartikan secara biologis, secara hukum atau sebagai jaringan atau hubungan sosial baik itu secara personal maupun terbentuk karena satu ideologi.Defenisi keluarga dapat dilihat dari segi keluarga berdasakan hubungan darah dan keluarga berdasarkan hubungan sosial. Keluarga dari segi darah merupakan satu kesatuan yang diikat oleh darah satu dengan yang lainnya. Sedangkan keluarga berdasarkan hubungan sosial yaitu merupakan satu kesatuan yang dikarenakan karena mempunyai hubungan atau interaksi yang saling mempengaruhi, meskipun diantara mereka tidak ada hubungan darah (Shochib, 1998).

Bussard & Ball (1996) dalam Setiadi (2008) mengungkapkan bahwa keluarga merupakan lingkungan


(15)

25

sosial yang paling dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga lengkap dan menjalankan fungsinya dengan baik dapat meningkatkan kesehatan anggota keluarga lainnya dan mungkin dapat meningkatkan ketahanan keluarga terhadap gangguan jiwa dan ketidakstabilan emosional. Kesehatan jiwa sebaiknya dimulai dari keluarga oleh sebab itu kesehatan jiwa menuntut keluarga untuk menciptakan kondisi yang kondusif terhadap anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa (Notosoedirdjo Latipun, 2005).

2.3.2 Fungsi keluarga

Menurut Friedman (1998) dalam Setiadi (2008), ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan oleh keluarga yaitu :

 Fungsi efektif merupakan fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga untuk berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain/masyarakat.

 Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengembangkan dan media melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain diluar rumah.


(16)

26

 Fungsi reproduksi merupakan fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

 Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara finansial dan menjadi tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.  Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan yaitu

merupakan fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.

2.3.3 Peran keluarga dalam bidang kesehatan

Agar kesehatan Keluarga sampai pada tujuan, keluarga harus memiliki peran dalam pemeliharaan kesehatan anggota keluarganya. Peran dan tugas kesehatan yang harus dipahami dan dilakukan keluarga menurut Setiadi 2008 yang dikutip dari Feedman 1981, yaitu :

1. Mengenal gangguan kesehatan setiap anggota keluarga yaitu keluarga mengenal dan memahami perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga baik itu secara emosional maupun tingkah


(17)

27

laku yang normal atau tidak normal yang dilakukan harus menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga. Hal ini sangat berhubungan erat dengan pengetahuan keluarga terhadap tanda dan gejala gangguan jiwa.

2. Pengambilan keputusan yang tepat untuk keluarga. Jika terdapat kondisi keluarga yang tidak sesuai atau bermasalah dengan kesehatan maka keluarga sebaiknya mengambil keputusan terhadap tindakan yang akan dilakukan dengan tepat sesuai dengan keadaan keluarga, apabila keluarga tidak dapat mengatasi permasalahannya sebaiknya meminta bantuan orang lain atau dibawa ke petugas kesehatan.

3. Memberikan keperawatan bagi anggota keluarga yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat fisik maupun mental. Fungsi dan peran ini menjelaskan bahwa keluarga dapat melakukan perawatan di rumah apabila memiliki kemampuan sebagai pertolongan pertama untuk mencegah keparahan yang mungkin bias terjadi. 4. Mempertahankan suasana di rumah yang


(18)

28

kepribadian anggota keluarga. Keluarga harus mampu memberiakan suasana rumah yang kondusif agar penderita gangguan jiwa bisa lebih tenang dan nyaman.

5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan yang menunjuk pada pemanfaatan dengan baik layanan kesehatan yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa keluarga harus memiliki informasi dan pengetahuan mengenai kesehatn jiwa dan lembaga petugas kesehatan yang ada

2.3.4 Peranan keluarga dalam memupuk kesehatan jiwa

Menurut Kartini Kartono (2000), faktor sosial paling utama yang memberikan pengaruh predisposisional baik atau buruk adalah keluarga. Selanjutnya, keluarga yang memberikan pengaruh predisposisional psikotis (bisa berkembang menjadi gangguan jiwa) kepada anak-anak, para remaja dan lainnya. Dengan ciri sebagai berikut :

a. Keluarga dengan ayah ibu yang tidak mampu berfungsi sebagai pendidik, yang defisien sebagai pendidik. Anak-anak akan terganggu kejiwaannya dan tidak hygienis mentalnya, disebabkan oleh


(19)

29

banyaknya kekisruhan dan krisis-krisis yang dialami oleh orang tua. Karena itu anak-anak tadi tidak bisa menjadi dewasa secara psikis, dan tidak bisa mandir dalam kedewasaannya.

b. Tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga psikososial, Orang tua tidak sanggup mengintegrasikan anak-anak dalam keutuhan keluarga yang mengakibatkan masing-masing tercerai-berai. Anak tidak bisa menyalurkan sifat-sifat kekanakannya lewat penyalur yang wajar. Keluarga juga tidak mampu memberikan peranan sosial dan status sosial kepada anak-anak, sehingga hal ini memusnahkan martabat dan harga diri anak, mereka merasa sangat kecewa atau putus asa.

Karena itu defisiensi/kerusakan dalam stuktur keluarga selalu akan memproduksi banyak gangguan psikis pada anak-anak, yaitu berupa tidak adanya integrasi dan fungsi-fungsi psikis yang pada akhirnya dapat mengganggu kejiwaan anak.


(20)

30 2.4 PenelitianTerdahulu

Penelitian dilakukan oleh Asima Sirait dengan judul Pengaruh Koping keluarga Terhadap Kejadian Relaps Pasien Skizofernia Remisi Sempurna di RSJD Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006.

Skizofernia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan relaps ditandai dengan parahnya kepribadian, distorsi realita dan ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Kekacauan dan dinamika keluarga seperti suasana yang penuh perusuhan, terlalu cemas dan terlalu protektif dengan penderita memegang peranan penting dalam menimbulkan relaps dan mempertahankan remisi, untuk itu keluarga memerlukan stategi koping baik untuk menangani penderita gangguan jiwa. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh koping keluarga baik internal maupun eksternal terhadap kejadian relaps pasien sksizofernia remisi sempurna di RSJD provinsi Sumatera Utara 2006. Jenis penelitian yang digunakan adalah study analitik observasional dengan rancangan penelitian studi kasus control bersifat retrospektif. Populasi penelitian adalah seluruh keluarga penderit skizofernia remisi sempurna yang dirawat di RSJD Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 876 orang. Sampel kasus adalah adalah keluarga penderita skizofernia remisi


(21)

31

sempurna yang relaps sebanyak 20 orang dan sampel kontrol adalah keluarga penderita skizofernia remisi sempurna yang tidak relaps berjumlah 20 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan carapurposive sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa koping eksternal mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kejadian relaps.

2.5 Kerangaka Konseptual

Variable independen Variabel Dependen

2.6 Hipotesis

Menurut Sugiyono (2011), hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Terdapat 2 macam hipotesis, yaitu hipotesis nol dan hipotesis alternatif. Hipotesis nol diartikan sebagai tidak adanya hubungan antara parameter dengan statistik, atau tidak adanya hubungan antara populasi dengan ukuran sampel. Hipotesis alternatif merupakan lawan dari hipotesis nol.

Dalam penelitian ini, hipotesis yang ditetapkan adalah sebagai berikut :

Pasien relaps gangguan jiwa


(22)

32

H0 : Tidak ada korelasi pengetahuan keluarga terhadap relaps pasien gangguan jiwa di RSJD. Dr. Amino Gondohutomo Semarang.

H1 : Ada korelasi pengetahuan keluarga terhadap relaps pasien gangguan jiwa di RSJD. Dr. Amino Gondohutomo Semarang.


(23)

(1)

28

kepribadian anggota keluarga. Keluarga harus mampu memberiakan suasana rumah yang kondusif agar penderita gangguan jiwa bisa lebih tenang dan nyaman.

5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan yang menunjuk pada pemanfaatan dengan baik layanan kesehatan yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa keluarga harus memiliki informasi dan pengetahuan mengenai kesehatn jiwa dan lembaga petugas kesehatan yang ada

2.3.4 Peranan keluarga dalam memupuk kesehatan jiwa

Menurut Kartini Kartono (2000), faktor sosial paling utama yang memberikan pengaruh predisposisional baik atau buruk adalah keluarga. Selanjutnya, keluarga yang memberikan pengaruh predisposisional psikotis (bisa berkembang menjadi gangguan jiwa) kepada anak-anak, para remaja dan lainnya. Dengan ciri sebagai berikut :

a. Keluarga dengan ayah ibu yang tidak mampu berfungsi sebagai pendidik, yang defisien sebagai pendidik. Anak-anak akan terganggu kejiwaannya dan tidak hygienis mentalnya, disebabkan oleh


(2)

29

banyaknya kekisruhan dan krisis-krisis yang dialami oleh orang tua. Karena itu anak-anak tadi tidak bisa menjadi dewasa secara psikis, dan tidak bisa mandir dalam kedewasaannya.

b. Tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga psikososial, Orang tua tidak sanggup mengintegrasikan anak-anak dalam keutuhan keluarga yang mengakibatkan masing-masing tercerai-berai. Anak tidak bisa menyalurkan sifat-sifat kekanakannya lewat penyalur yang wajar. Keluarga juga tidak mampu memberikan peranan sosial dan status sosial kepada anak-anak, sehingga hal ini memusnahkan martabat dan harga diri anak, mereka merasa sangat kecewa atau putus asa.

Karena itu defisiensi/kerusakan dalam stuktur keluarga selalu akan memproduksi banyak gangguan psikis pada anak-anak, yaitu berupa tidak adanya integrasi dan fungsi-fungsi psikis yang pada akhirnya dapat mengganggu kejiwaan anak.


(3)

30 2.4 PenelitianTerdahulu

Penelitian dilakukan oleh Asima Sirait dengan judul Pengaruh Koping keluarga Terhadap Kejadian Relaps Pasien Skizofernia Remisi Sempurna di RSJD Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006.

Skizofernia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan relaps ditandai dengan parahnya kepribadian, distorsi realita dan ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Kekacauan dan dinamika keluarga seperti suasana yang penuh perusuhan, terlalu cemas dan terlalu protektif dengan penderita memegang peranan penting dalam menimbulkan relaps dan mempertahankan remisi, untuk itu keluarga memerlukan stategi koping baik untuk menangani penderita gangguan jiwa. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh koping keluarga baik internal maupun eksternal terhadap kejadian relaps pasien sksizofernia remisi sempurna di RSJD provinsi Sumatera Utara 2006. Jenis penelitian yang digunakan adalah study analitik observasional dengan rancangan penelitian studi kasus control bersifat retrospektif. Populasi penelitian adalah seluruh keluarga penderit skizofernia remisi sempurna yang dirawat di RSJD Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 876 orang. Sampel kasus adalah adalah keluarga penderita skizofernia remisi


(4)

31

sempurna yang relaps sebanyak 20 orang dan sampel kontrol adalah keluarga penderita skizofernia remisi sempurna yang tidak relaps berjumlah 20 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan carapurposive sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa koping eksternal mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kejadian relaps.

2.5 Kerangaka Konseptual

Variable independen Variabel Dependen

2.6 Hipotesis

Menurut Sugiyono (2011), hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Terdapat 2 macam hipotesis, yaitu hipotesis nol dan hipotesis alternatif. Hipotesis nol diartikan sebagai tidak adanya hubungan antara parameter dengan statistik, atau tidak adanya hubungan antara populasi dengan ukuran sampel. Hipotesis alternatif merupakan lawan dari hipotesis nol.

Dalam penelitian ini, hipotesis yang ditetapkan adalah sebagai berikut :

Pasien relaps gangguan jiwa


(5)

32

H0 : Tidak ada korelasi pengetahuan keluarga terhadap relaps pasien gangguan jiwa di RSJD. Dr. Amino Gondohutomo Semarang.

H1 : Ada korelasi pengetahuan keluarga terhadap relaps pasien gangguan jiwa di RSJD. Dr. Amino Gondohutomo Semarang.


(6)

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penanganan Keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca Perawatan Rumah Sakit di Kecamatan Sidomukti Salatiga T1 462011018 BAB II

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Stigma dan Kebudayaan terhadap Pasien dengan Gangguan Jiwa di RSKD Ambon T1 462011009 BAB II

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Korelasi Pengetahuan Keluarga terhadap Relaps Pasien Gangguan Jiwa Di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang T1 462010076 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Korelasi Pengetahuan Keluarga terhadap Relaps Pasien Gangguan Jiwa Di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang T1 462010076 BAB IV

0 1 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Korelasi Pengetahuan Keluarga terhadap Relaps Pasien Gangguan Jiwa Di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang T1 462010076 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Korelasi Pengetahuan Keluarga terhadap Relaps Pasien Gangguan Jiwa Di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Korelasi Pengetahuan Keluarga terhadap Relaps Pasien Gangguan Jiwa Di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang

0 1 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Amino Gondohutomo Semarang T1 462007050 BAB II

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perilaku seksual Pasien Inap RSJD. dr. Amino Gondohutomo Semarang

0 0 16

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya dan Persepsi Orang Dameka terhadap Gangguan Jiwa T1 BAB II

0 0 13