Pengaruh Pemberian Air Kelapa (Cocos nucifera) terhadap Ketahanan Otot Laki-Laki Dewasa Muda Non-Atlet pada Latihan Lari Jarak Jauh.

(1)

iv ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN AIR KELAPA (Cocos nucifera) TERHADAP KETAHANAN OTOT LAKI-LAKI DEWASA MUDA NON-ATLET PADA

LATIHAN LARI JARAK JAUH

Ersalina Tresnawati Naryanto, 2015. Pembimbing I : Fen Tih, dr., M.kes

Pembimbing II : Stella Tinia Hasianna, dr., M.Kes, IBCLC

Seseorang dapat meningkatkan kesehatan dengan menjaga kebugaran tubuh yang dicapai melalui olahraga teratur. Saat olahraga, tubuh mengeluarkan ion-ion dan air dalam bentuk keringat sehingga tubuh menjadi fatigue. Maka diperlukan cairan rehidrasi untuk menggantikan volume cairan dan ion tubuh, contohnya air kelapa yang bersifat isotonis dengan cairan tubuh dan mengandung glukosa, elektrolit, mineral, dan lain-lain.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh air kelapa sebagai minuman hidrasi alami terhadap ketahanan otot pada pria dewasa muda non-atlet dalam melakukan aktivitas lari jarak jauh.

Penelitian ini merupakan eksperimental kuasi komparatif dengan desain pre-test dan post-test. Subjek penelitian adalah 30 laki-laki berusia 18-23 tahun, variabel perlakuan diberikan air mineral dan air kelapa tiap menit ke 0, 15, dan 30. Data yang diukur adalah jumlah jarak dalam meter yang mampu ditempuh selama 45 menit. Analisis statistik menggunakan uji t berpasangan dengan α < 0,05. Rerata jarak tempuh lari dengan pemberian air mineral adalah 8526 m dan setelah pemberian air kelapa terdapat peningkatan rerata jarak tempuh lari menjadi 8850 m. Dari uji statistik didapatkan perbedaan sangat bermakna dengan p = 0,000.

Pemberian air kelapa meningkatkan ketahanan otot pada pria dewasa muda non-atlet dalam melakukan aktivitas lari jarak jauh.

Kata kunci : air kelapa, ketahanan otot


(2)

v

ABSTRACT

THE EFFECT OF COCONUT (Cocos nucifera) WATER ADMINISTRATION ON YOUNG ADULT NON-ATHLETIC MEN MUSCLE ENDURANCE IN

LONG DISTANCE RUNNING EXERCISE Ersalina Tresnawati Naryanto, 2015.

Tutor 1 : Fen Tih, dr., M.kes

Tutor 2 : Stella Tinia Hasianna, dr., M.Kes, IBCLC

People can improve their health by keeping body fitness that can be achieved through regular exercise. In exercise, the body expels ions and water by sweating that can cause the body to be fatigued. Therefore, a rehydrating fluid is needed to replace body ions and water volume, such as coconut water that is isotonic compared to body fluid and contains glucose, electrolytes, minerals, etc.

The objective of this research was to determine the effect of coconut water as a natural hydrating beverage on young adult non-athletic men muscle endurance in long distance running activity.

This study was quasi comparative experiment with pre-test and post-test design. The subject of this study was thirty men aged eighteen to twenty-three years old, treatment variables were mineral water and coconut water, given on each 0, 15, and 30 minutes. Data measured was the amount of distance (in meters) achieved in forty-five minutes. Statistical analysis used paired T test with α < 0.05.

The average of running distance after given mineral water was 8526 meters and after given coconut water there was an increase in average running distance to 8850 meters. Statistical trial showed highly-significant difference with p = 0.000.

Coconut water increase muscle endurance in non-athletic young adult men in long distance running activity.

Keywords: coconut water, muscle endurance


(3)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ...iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 2

1.3. Maksud dan Tujuan penelitian ... 2

1.4. Manfaat Karya Tulis Ilmiah ... 3

1.4.1. Manfaat Akademis ... 3

1.4.2. Manfaat Praktis ... 3

1.5. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian ... 3

1.5.1. Kerangka Pemikiran ... 3


(4)

ix

1.5.2. Hipotesis Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anatomi dan Histologi Serabut Otot Rangka ... 5

2.2. Fisiologi Kontraksi Otot ... 7

2.3. Latihan Fisik ... 9

2.4. Sumber Energi Kontraksi Otot ... 10

2.5. Daya Tahan Otot dan Kelelahan Otot ... 11

2.6. Tes Ketahanan (Endurance) ... 13

2.7. Cairan Tubuh ... 13

2.7.1. Kompartemen Cairan Tubuh ... 15

2.7.2. Komposisi Cairan Tubuh ... 17

2.8. Kelapa (Cocos nucifera) ... 20

2.8.1. Taksonomi Kelapa ... 20

2.8.2. Komposisi Air Kelapa ... 20

2.8.3. Air Kelapa sebagai Pengganti Cairan Tubuh ... 22

2.8.4. Kandungan Air Minum ... 22

BAB III ALAT DAN METODE PENELITIAN ... 23

3.1. Alat, Bahan, dan Subjek Penelitian ... 23

3.1.1. Alat Penelitian ... 23

3.1.2. Bahan Penelitian... 23


(5)

x

3.1.3. Subjek Penelitian ... 23

3.1.4. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.2. Metode Penelitian... 24

3.2.1. Disain Penelitian ... 24

3.2.2. Variabel Penelitian ... 24

3.2.2.1. Variabel Perlakuan ... 24

3.2.2.2. Variabel Respon ... 25

3.2.3. Besar Sampel Penelitian ... 25

3.2.4. Prosedur Kerja ... 25

3.2.4.1. Persiapan Penelitian ... 25

3.2.4.2. Prosedur Penelitian... 25

3.2.5. Analisis Statistik ... 26

3.2.6. Hipotesis Statistik ... 26

3.2.7. Kriteria Uji ... 26

3.2.8. Aspek Etik Penelitian ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1. Hasil Penelitian ... 27

4.2. Pembahasan ... 28

4.3. Pengujian Hipotesis Penelitian ... 29


(6)

xi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

5.1. Simpulan ... 31

5.2. Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA... 32

LAMPIRAN ... 35

RIWAYAT HIDUP ... 41


(7)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tabel Pemasukan dan Pengeluaran Cairan Harian ... 15 Tabel 2.2. Tabel Komposisi Cairan Intraseluler dan Ekstraseluler ... 18 Tabel 4.1. Hasil Jarak Tempuh Setelah Diberi Air Mineral dan Air Kelapa ... 27 Tabel 4.2. Hasil Analisis Statistik Uji t berpasangan pada Jarak Tempuh Setelah

Konsumsi Air Mineral dan Air Kelapa... 28


(8)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur Otot Rangka ... 6 Gambar 2.2. Struktur ATP ... 10 Gambar 2.3. Kompartemen Cairan Tubuh ... 16 Gambar 2.4. Kation dan Anion dalam Cairan Plasma, Cairan Interstitial, dan Cairan Intraselular ... 19


(9)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jarak Tempuh Lari Setelah Diberi Air Mineral ... 35

Lampiran 2 Jarak Tempuh Lari Setelah Diberi Air Kelapa ... 36

Lampiran 3 Tabel Statistika ... 37

Lampiran 4 Dokumentasi ... 38

Lampiran 5 Surat Keputusan Komisi Etik Penelitian ... 39

Lampiran 6 Informed Consent ... 40


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Perkembangan teknologi saat ini memberikan berbagai fasilitas yang memudahkan orang dalam beraktivitas. Beberapa contoh ialah orang lebih memilih menggunakan mobil daripada berjalan, menggunakan elevator daripada tangga, dan untuk anak-anak lebih senang bermain game di rumah daripada bermain di lapangan. Hal ini meningkatkan pola sedentary life yang dapat menyebabkan badan menjadi tidak bugar dan tidak sehat (Hatch, 2011).

Untuk meningkatkan kesehatan, seseorang harus menyadari kebutuhan tubuhnya agar tetap bugar. Tubuh yang bugar dapat menjauhkan seseorang dari penyakit kardiovaskular. Kebugaran tubuh dapat dicapai melalui olahraga teratur dengan melatih kekuatan, daya, dan ketahanan otot. Ketahanan otot berdasarkan pada kandungan glikogen dalam otot. Selain glikogen, ion dan cairan tubuh juga berperan dalam meningkatkan kebugaran tubuh (Guyton, 2007).

Pada saat melakukan aktivitas fisik sehari-hari terutama olahraga, tubuh akan mengeluarkan ion-ion dan air dalam bentuk keringat. Oleh karena itu tubuh akan kehilangan ion sehingga tubuh menjadi fatigue / lelah. Karena itu selama olahraga atau setelahnya dianjurkan minum air untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang, terutama kandungan ion dalam tubuh (Martins, 2012).

Kandungan air dan mineral saja tidak cukup untuk menggantikan ion yang hilang, maka dibutuhkan cairan yang mengandung bahan yang diperlukan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang, salah satu contohnya adalah air kelapa (Martins, 2012).

Kelapa (Cocos nucifera) banyak terdapat di daerah tropis, terutama di Indonesia. Bagian dari tanaman kelapa mulai dari daun, minyak, kulit, daging, serta airnya dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Air kelapa adalah air bening yang terdapat di bagian tengah dalam buah kelapa. Dalam masyarakat di berbagai negara, air kelapa dikenal akan kegunaannya untuk melancarkan saluran


(11)

2

kencing, gastritis, cegukan, dan lain-lain (Prades, 2012).

Kandungan ion dalam air kelapa seperti natrium, kalium, magnesium, dan kalsium dapat menggantikan ion tubuh yang telah hilang. Glukosa yang terkandung di dalam air kelapa juga membantu dalam memperpanjang ketahanan otot tubuh (Reddy, 2014).

Air kelapa kaya akan berbagai zat yang menguntungkan bagi tubuh manusia. Kandungan dalam air kelapa antara lain adalah kalium, natrium, fosfor, klorida, magnesium, asam askorbat, dan glukosa. Secara klinis air kelapa dapat digunakan sebagai anti-karsinogenik, anti-oksidan, anti-aging, anti-trombotik, dan minuman rehidrasi akibat penyakit disentri, kolera, influensa, dan penyakit infeksi lain yang menyebabkan dehidrasi (Manjunatha, 2013).

Air kelapa mempunyai rasa yang lebih enak dan dapat meningkatkan kadar gula darah lebih cepat bila dibandingkan dengan minuman berelektrolit. Air kelapa bersifat isotonis karena mengandung komposisi elektrolit yang sama seperti di ruang intraselular tubuh dan dapat menggantikan cairan serta elektrolit yang hilang tanpa membuat gangguan pencernaan (Saat, 2002).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh air kelapa terhadap ketahanan otot laki-laki dewasa muda non-atlet pada latihan lari jarak jauh.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan muncul pertanyaan apakah pemberian air kelapa dapat meningkatkan ketahanan otot laki-laki dewasa muda non-atlet pada latihan lari jarak jauh.

1.3. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh air kelapa sebagai minuman hidrasi alami terhadap ketahanan otot laki-laki dewasa muda non-atlet pada latihan lari jarak jauh.


(12)

3

1.4. Manfaat Karya Tulis Ilmiah

Manfaat akademis : memberi pengetahuan mengenai pengaruh pemberian air kelapa terhadap ketahanan otot pada laki-laki dewasa non-atlet.

Manfaat praktis : memberi bukti kepada masyarakat mengenai kegunaan air kelapa sebagai minuman hidrasi alami.

1.5. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian

1.5.1. Kerangka Pemikiran

Ketahanan otot pada tubuh ditentukan oleh berapa lama otot tersebut kuat untuk berkontraksi secara terus-menerus. Kontraksi otot disebabkan karena adanya interaksi jembatan silang antara aktin dan miosin melalui mekanisme pergeseran filamen. Adanya potensial aksi akan memicu pelepasan Ca2+, menyebabkan terjadinya penarikan kompleks troponin-tropomiosin hingga berikatan dengan molekul aktin, menimbulkan kayuhan kuat (Sherwood, 2012).

Kontraksi otot yang terus menerus dilakukan selama beraktivitas pada akhirnya menyebabkan suatu keadaan yang disebut kelelahan otot. Kelelahan otot merupakan ketidakmampuan proses kontraksi dan metabolisme serabut-serabut otot untuk terus memberikan hasil kerja yang sama (Guyton, 2007). Faktor yg mempengaruhi kelelahan otot antara lain adalah penurunan jumlah ATP, inhibisi pelepasan Ca2+, peningkatan H+, penumpukan asam laktat, dan K+ (Lännergren,

2006).

Untuk memperlambat terjadinya kelelahan otot agar aktivitas menjadi lebih efektif, dapat digunakan berbagai minuman berelektrolit (sport drink). Beberapa orang mencari minuman yang alami dibanding minuman berelektrolit buatan dan air kelapa menjadi pilihan utama sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang (Kalman, 2012).

Air kelapa merupakan minuman yang diduga dapat digunakan sebagai minuman rehidrasi alami karena komposisi yang terkandung di dalamnya dapat


(13)

4

memenuhi kebutuhan tubuh yang hilang seperti glukosa dan elektrolit. Saat ini diketahui bahwa air kelapa mengandung glukosa 1 gram/dL, kalium 51 mEq/L, natrium 33 mEq/L, kalsium 5-17 mEq/L, dan klorida 52 mEq/L. Kandungan-kandungan inilah yang berperan dalam meningkatkan ketahanan otot (Kalman, 2012).

Glukosa adalah karbohidrat yang penting untuk tubuh. Glukosa berperan penting sebagai sumber energi dalam tubuh terutama dalam kontraksi otot. Natrium akan meningkatkan afinitas glukosa hingga masuk ke dalam sel. Selanjutnya glukosa akan diproses dan menghasilkan ATP untuk mempertahankan fungsi tubuh (Mardiana, 2012). Natrium sendiri berperan dalam meningkatkan absorpsi glukosa dan retensi air. Kalium berfungsi untuk keseimbangan cairan dan elektrolit serta bersama dengan kalsium dan natrium berperan dalam kontraksi otot (Anwari, 2007).

1.5.2. Hipotesis Penelitian

Pemberian air kelapa meningkatkan ketahanan otot laki-laki dewasa muda non-atlet pada latihan lari jarak jauh.


(14)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Orang yang mampu mempertahankan agar tubuhnya tetap bugar dapat memperpanjang dan meningkatkan kualitas hidup. Beberapa cara untuk mempertahankan kebugaran adalah dengan menjaga pola makan, olahraga teratur, dan menetapkan pola hidup sehat. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa antara usia 50 -70 tahun terjadi penurunan kematian tiga kali lipat pada orang yang bugar daripada yang tidak terlalu bugar (Guyton, 2007).

2.1. Anatomi dan Histologi Serabut Otot Rangka

Otot merupakan kelompok jaringan terbesar yang membentuk tubuh. Otot rangka membentuk sekitar 40% berat tubuh pada pria dan 32% pada wanita, dengan otot polos dan otot jantung membentuk 10% berat lainnya. Berdasarkan struktur dan fungsinya, otot dibedakan menjadi tiga jenis yaitu otot rangka, otot polos, dan otot jantung. Otot rangka atau disebut juga otot lurik bersifat volunter dan berfungsi untuk pergerakan tubuh relatif.Otot polos bersifat involunter, berbentuk gelendong, dan berfungsi untuk pergerakan isi organ berongga. Otot jantung bersifat involunter, tampak lurik dengan adanya khas serat-serat otot jantung disatukan dalam suatu anyaman bercabang. Otot jantung berfungsi khusus untuk memompa darah keluar jantung (Sherwood, 2012).

Otot rangka berukuran relatif besar dengan bentuk silindris, dengan ukuran garis tengah berkisar dari 10 hingga 100 µm dan panjang hingga 750.000 µm. Otot rangka terdiri dari serat-serat otot yang tersusun sejajar satu sama lain dan terbentang di keseluruhan panjang otot. Serat-serat otot dipersatukan oleh jaringan ikat (Sherwood, 2012).


(15)

6

Gambar 2.1. Struktur Otot Rangka (Guyton, 2007)

Serat otot rangka mengandung banyak struktur intrasel berbentuk silindris dengan diameter 1 µm yang memanjang ke keseluruhan panjang serat otot disebut miofibril. Miofibril membentuk 80% volume serat otot. Miofibril terdiri dari susunan teratur mikrofilamen sitoskeleton, yaitu filamen tebal dan filamen tipis. Filamen tebal bergaris tengah 12 sampai 18 nm dan panjang 1,6 µm yang terdiri dari protein miosin. Filamen tipis mempunyai garis tengah 5 hingga 8 nm dan panjang 1 µm, terdiri dari tiga protein yaitu aktin, tropomiosin, dan troponin dengan aktin sebagai protein utama. Melalui mikroskop elektron, sebuah miofibril memperlihatkan pita gelap (pita A) dan pita terang (pita I) secara bergantian. Pita A dibentuk oleh tumpukan filamen tebal dengan sebagian filamen tipis yang tumpang-tindih di kedua ujung filamen tebal. Filamen tebal hanya terdapat di pita A dan terbentang di seluruh lebarnya. Daerah yang lebih terang di tengah pita A,


(16)

7

tempat yang tidak dicapai oleh filamen tipis adalah zona H. Bagian tengah zona H terdapat garis M, yaitu protein-protein penunjang yang menahan filamen-filamen tebal vertikal di dalam setiap tumpukan. Pita I terdiri dari bagian filamen tipis yang tidak menjulur ke dalam pita A dan terlihat garis Z di bagian tengah pita tersebut. Daerah antara dua garis Z disebut sarkomer, yaitu unit fungsional otot rangka. Dengan mikroskop elektron, terlihat adanya jembatan silang halus yang terbentang dari masing-masing filamen tebal menuju filamen tipis sekitar di tempat filamen tebal dan filamen tipis bertumpang tindih. Jembatan silang ini berperan dalam mekanisme kontraksi (Sherwood, 2012).

2.2. Fisiologi Kontraksi Otot

Kontraksi otot disebabkan karena adanya interaksi jembatan silang antara aktin dan miosin melalui mekanisme pergeseran filamen. Sewaktu kontraksi, filamen tipis di kedua sisi sarkomer bergeser ke arah dalam terhadap filamen tebal yang diam menuju ke pusat pita A. Saat bergeser, filamen tipis menarik garis-garis Z sehingga sarkomer memendek, menyebabkan seluruh serat otot memendek. Sewaktu kontraksi jembatan silang miosin dapat berikatan dengan molekul aktin sekitar, disebabkan adanya pergeseran tropomiosin dan troponin oleh Ca2+. Dua kepala miosin di masing-masing molekul miosin bekerja secara independen, dengan satu kepala yang melekat ke aktin pada suatu saat. Ketika tempat perlekatan dengan aktin terpajan, molekul miosin pada ekor menekuk untuk memudahkan pengikatan kepala miosin dengan molekul aktin yang terdekat. Pada pengikatan, kepala miosin menekuk 45⁰ ke arah dalam, menarik filamen tipis ke pusat sarkomer. Mekanisme ini disebut dengan kayuhan kuat jembatan silang (Sherwood, 2012).

Pada akhir satu siklus jembatan silang, ikatan antara jembatan silang miosin dan molekul aktin terputus. Jembatan silang kembali ke bentuk semula dan berikatan dengan molekul aktin berikutnya di belakang aktin pertama. Jembatan silang kembali menekuk ke arah dalam untuk menarik filamen tipis lebih jauh, kemudian terlepas dan mengulangi siklus (Sherwood, 2012).


(17)

8

Kontraksi otot rangka dirangsang oleh adanya pelepasan asetilkolin (ACh) di neuromuscular junction antara terminal neuron motorik dan serat otot. Pengikatan ACh dengan end-plate motoric suatu serat otot menyebabkan perubahan permeabilitas di serat otot dan menghasilkan potensial aksi yang dihantarkan ke seluruh permukaan membran sel otot. Terdapat dua struktur dalam serat otot yang berperan penting dalam proses eksitasi dan kontraksi, yaitu tubulus transversus (tubulus T) dan retikulum sarkoplasma (Sherwood, 2012).

Di setiap pertemuan antara pita A dan pita I, membran permukaan masuk ke dalam serat otot membentuk tubulus T. Tubulus ini berjalan tegak lurus dari permukaan membran sel otot ke dalam bagian tengah serat otot. Potensial aksi di membran permukaan menyebar turun menelusuri tubulus T, menyalurkan aktivitas listrik permukaan ke bagian tengah serat dengan cepat. Potensial aksi lokal di tubulus T memicu perubahan permeabilitas di retikulum endoplasma. Retikulum endoplasma yang sudah dimodifikasi disebut dengan retikulum sarkoplasma. Retikulum sarkoplasma mengelilingi miofibril di seluruh panjangnya namun tidak kontinu. Ujung dari segmen retikulum sarkoplasma membentuk kantong, disebut

saccus lateralis. Saccus ini mengandung Ca2+, sehingga penyebaran potensial aksi pada tubulus T akan memicu pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma di dekatnya masuk ke sitosol. Adanya susunan foot protein yang membentang di antara tubulus T dan retikulum sarkoplasma berfungsi sebagai kanal pelepasan ion Ca2+. Pada jembatan silang miosin terdapat tempat untuk ATP-ase yang berfungsi untuk menghasilkan miosin berenergi tinggi. Ketika serat otot mengalami eksitasi, Ca2+ menarik kompleks troponin-tropomiosin hingga berikatan dengan molekul

aktin. Kontak miosin-aktin menyebabkan pengikatan dan menghasilkan kayuhan kuat (Sherwood, 2012).

Otot rangka memiliki tiga jenis serat yang berbeda berdasarkan kemampuan dalam hidrolisis dan sintesis ATP yaitu serat oksidatif lambat (tipe I), serat oksidatif cepat (tipe IIa), dan serat glikolitik cepat (tipe IIx). Serat cepat memiliki aktivitas miosin ATP-ase (pengurai ATP) yang lebih cepat daripada yang dimiliki serat lambat. Semakin tinggi aktivitas ATP-ase maka semakin cepat ATP terurai dan terbentuk menjadi energi untuk siklus jembatan silang. Tipe serat oksidatif


(18)

9

dan glikolisis dibedakan berdasarkan kemampuannya untuk membentuk ATP. Pembentukan ATP bisa terjadi melalui fosforilasi oksidatif dan glikolisis anaerob. Serat yang melakukan fosforilasi oksidatif menghasilkan lebih banyak ATP sehingga lebih resisten terhadap kelelahan dibanding serat glikolitik. Serat oksidatif kaya akan kapiler dan mioglobin sehingga menimbulkan warna merah. Serat oksidatif disebut juga serat merah. Serat glikolitik disebut serat putih karena mengandung sedikit mioglobin. Persentase tiap-tiap tipe terutama ditentukan oleh jenis aktivitas yang khusus dilakukan untuk otot yang bersangkutan. Selain itu, persentasi tipe serat otot juga berbeda tiap individu (Sherwood, 2012).

2.3. Latihan Fisik

Latihan fisik berat merupakan aktivitas fisik yang menyebabkan adanya perubahan pada tubuh secara fisiologis seperti metabolisme dan hormon. Fisiologi olahraga antara atlet pria dan wanita tidak menunjukkan adanya perbedaan, hanya terdapat perbedaan kuantitatif yang disebabkan karena perbedaan ukuran tubuh, komposisi tubuh, dan ada tidaknya hormon seks pria testosteron. Testosteron yang disekresi oleh testis memiliki efek anabolik yang kuat terhadap peningkatan pengendapan protein di setiap tempat dalam tubuh terutama di dalam otot. Sedangkan hormon estrogen akan meningkatkan penimbunan lemak pada wanita terutama pada payudara, paha, dan jaringan subkutan (Guyton, 2007).

Terdapat tiga komponen aktivitas otot dalam melakukan latihan fisik yaitu kekuatan, daya, dan ketahanan otot. Kekuatan sebuah otot ditentukan terutama oleh ukurannya dengan suatu daya kontraktilitas maksimum antara 3-4 kg/cm2

pada satu daerah potongan melintang otot. Pada manusia yang melakukan latihan kerja sehingga ototnya membesar maka kekuatan ototnya akan bertambah juga. Kekuatan yang mempertahankan otot kira-kira 40% lebih besar dari kekuatan kontraksi, sehingga diperlukan gaya 40% lebih besar untuk meregangkan otot tersebut. Daya kontraksi otot merupakan suatu pengukuran dari jumlah total kerja yang dilakukan oleh otot dalam satuan waktu. Daya ditentukan tidak hanya oleh kekuatan kontraksi otot tetapi juga oleh jarak kontraksi otot dan jumlah otot yang


(19)

10

berkontraksi tiap menit. Daya otot diukur dalam satuan kg-m per menit. Daya otot yang besar memungkinkan seseorang dapat berlari sprint dengan jarak 100 m dalam waktu 10 detik pertama, sedangkan untuk perlombaan ketahanan jangka panjang seperti lari marathon, daya yang dikeluarkan otot hanya satu perempat lebih besar daripada saat awal kontraksi. Pengukuran lain untuk latihan otot adalah ketahanan. Ketahanan dapat dipengaruhi nutrisi. Seseorang makan tinggi karbohidrat menyimpan lebih banyak glikogen dalam otot sebelum latihan dibanding orang yang makan tinggi lemak (Guyton, 2007).

2.4. Sumber Energi Kontraksi Otot

Sistem metabolik otot dalam latihan dibagi menjadi tiga, yaitu sistem fosfokreatin-kreatin, sistem glikogen-asam laktat, dan sistem aerobik. Sumber energi untuk kontraksi otot adalah adenosine trifosfat (ATP) yang memiliki struktur dasar seperti pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Struktur ATP (Murray, 2009)

Ikatan yang melekatkan dua fosfat radikal terakhir pada molekul yang

dilambangkan dengan simbol “ ~ “ merupakan ikatan fosfat berenergi tinggi.

Setiap ikatan ini mengandung 7300 kalori energi per mol ATP di bawah kondisi standar. Oleh karena itu bila satu ikatan fosfat dipindahkan, akan dilepaskan lebih dari 7300 kalori untuk melakukan kontraksi otot. Perpindahan fosfat pertama akan mengubah ATP menjadi adenosine difosfat (ADP), perpindahan fosfat kedua akan


(20)

11

mengubah ADP menjadi adenosine monofosfat (AMP). Jumlah ATP yang terdapat di dalam otot hanya cukup untuk mempertahankan daya otot yang maksimal kira-kira tiga detik, sehingga ATP penting dibentuk terus menerus (Guyton, 2007). Latihan fisik dapat menyebabkan adanya perubahan pada otot rangka, bergantung dari jenis latihan fisik yang dilakukan. Latihan fisik yang mementingkan kekuatan otot akan menyebabkan adanya peningkatan ukuran (hipertrofi) dan bisa juga peningkatan jumlah serabut (hiperplasia). Sebaliknya pada latihan ketahanan otot (endurance) akan meningkatkan kemampuan oksidatif otot dengan adanya peningkatan jumlah mitokondria. Latihan fisik juga mempengaruhi persentase tipe serat otot pada seseorang. Pada atlet sprint, mempunyai serat otot cepat dalam persentase yang besar, sedangkan atlet yang mementingkan ketahanan otot akan mempunyai serat otot lambat lebih banyak dibanding serat otot cepat. Menurut penelitian, latihan ketahanan mempengaruhi perubahan serat otot cepat menjadi serat otot lambat. Awalnya serat otot tipe IIx akan berubah menjadi tipe IIa. Apabila latihan dilakukan dalam jangka panjang, lama kelamaan serat otot tipe IIa akan dikonversikan ke serat otot tipe I (Powers, 2007).

2.5. Daya Tahan Otot dan Kelelahan Otot

Daya tahan otot adalah kapasitas otot untuk melakukan kontraksi secara terus-menerus pada tingkat intensitas submaksimal (Widiastuti, 2015). Terdapat pula definisi lain yaitu daya tahan otot (endurance) merupakan kemampuan otot untuk berkontraksi beberapa kali atau menahan sekali kontraksi dalam jangka waktu lama tanpa mengalami kelelahan otot. Faktor yang mempengaruhi daya tahan otot adalah nutrisi terutama kandungan glikogen yang tersimpan dalam otot sebelum latihan. Konsumsi tinggi karbohidrat akan menyimpan lebih banyak glikogen dibandingkan dengan konsumsi tinggi lemak. Selama awal latihan lemak juga digunakan sebagai energi dalam bentuk asam lemak dan asetoasetat yang akan lebih dibutuhkan saat cadangan glikogen otot hampir habis (Guyton, 2007). Faktor lain yang mempengaruhi adalah jumlah mitokondria, jenis serat dan jumlah


(21)

12

serat, sistem kardiovaskuler, dan heat load. Peningkatan jumlah mitokondria berhubungan dengan peningkatan enzim yang terlibat dalam metabolisme oksidatif (siklus Krebs, siklus asam lemak, dan transport elektron). Perubahan

juga terjadi pada “shuttle system” dengan adanya perpindahan NADH yang

dihasilkan dalam glikolisis dari sitoplasma ke mitokondria yang digunakan dalam transpor elektron untuk produksi ATP. Jenis dan jumlah serat otot mempengaruhi ketahanan otot dimana serat otot tipe II akan menghasilkan energi yang banyak dalam waktu yang singkat. Sistem kardiovaskuler juga berperan dalam ketahanan otot. Stroke volume maksimal akan mempengaruhi cardiac output yang akhirnya akan menentukan jumlah VO2max seseorang. Ketahanan aerobik juga dipengaruhi oleh hemoglobin (Hb) yang berfungsi mengikat O2 dalam darah. Heat load akan

membutuhkan sebagian dari sistem kardiovaskuler pada kecepatan lari. Ada bukti bahwa pada suhu tertentu, saat beraktivitas fisik bisa membuat kelelahan melalui penurunan impuls saraf yang menggerakkan otot rangka (Powers, 2007).

Faktor yang mempengaruhi ketahanan otot berbeda berdasarkan tipe ketahanan otot. Ketahanan otot jangka pendek bergantung pada serat tipe IIx yang dapat menghasilkan energi banyak melalui proses anaerob. Ketahanan otot jangka panjang membutuhkan sistem kardiovaskuler yang dapat menghantarkan O2 dalam

jumlah banyak ke serat otot yang mengandung banyak mitokondria (Powers, 2007).

Apabila proses kontraksi dan metabolisme serabut-serabut otot sudah tidak mampu untuk terus memberikan hasil kerja yang sama, hal ini yang disebut dengan kelelahan otot (Guyton, 2007).


(22)

13

2.6. Tes Ketahanan (Endurance)

Tes berjalan atau tes lari sering digunakan untuk mengukur ketahanan otot, ini disebabkan karena tes ini dapat dipakai untuk semua kelompok umur, berbagai tingkatan kebugaran tubuh, dapat dilakukan sekaligus untuk kelompok besar, dan terutama karena tes ini mudah dilakukan (Balke, 1963).

Salah satu faktor yang menyebabkan kesalahan dari tes ini adalah karena tes ini membutuhkan kecepatan yg baik. Untuk mengurangi kesalahan karena faktor tersebut, instruktur dapat melakukan beberapa upaya antara lain memberi penjelasan pada peserta pentingnya melakukan tes dengan usaha yang maksimal, melakukan tes percobaan satu minggu sebelum tes yang sebenarnya, dan menyemangati peserta (Balke, 1963).

Salah satu tes kebugaran yang dilakukan adalah tes Balke. Cara kerja tes ini yaitu peserta berlari selama 15 menit dan jumlah jarak yang ditempuh akan dicatat. Berjalan diperbolehkan namun peserta tetap diharapkan untuk tetap berupaya semaksimal mungkin. Tes Balke sudah dilakukan sejak dahulu sehingga terdapat beberapa modifikasi, contohnya Balke treadmill test. Peserta berjalan di atas

treadmill pada kecepatan tertentu yang konstan, kemudian pemeriksa mengukur waktu dari mulai tes hingga peserta sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan tes (Hanson, 1984).

2.7. Cairan Tubuh

Homeostasis merupakan pemeliharaan aneka kondisi yang hampir selalu konstan di dalam tubuh, dengan bagian yang penting adalah mempertahankan volume cairan tubuh agar relatif konstan dan komposisinya tetap stabil. Kestabilan cairan tubuh yang relatif disebabkan karena adanya pertukaran cairan dan zat terlarut yang terus menerus dengan lingkungan eksternal, dan dalam berbagai kompartemen tubuh lainnya. Asupan cairan yang sangat bervariasi harus disesuaikan dengan pengeluaran yang sebanding dari tubuh, untuk mencegah adanya penurunan atau peningkatan volume cairan tubuh (Guyton, 2007).


(23)

14

Asupan cairan yang masuk ke dalam tubuh manusia terjadi melalui dua sumber utama yaitu melalui cairan dalam makanan (normalnya menambah cairan tubuh sekitar 2100 mL/hari) dan melalui proses oksidasi karbohidrat di dalam tubuh (menambah sekitar 200 mL/hari). Jadi asupan cairan harian total ± 2300 ml/hari. Namun asupan cairan sangat bervariasi tergantung pada cuaca, kebiasaan, dan tingkat aktivitas fisik (Guyton, 2007).

Insensible water loss adalah keadaan di mana terjadi pengeluaran cairan terus menerus tanpa dapat dirasakan melalui mekanisme evaporasi dari saluran pernapasan dan difusi melalui kulit. Pada keadaan normal, kedua mekanisme ini dapat mengeluarkan air ± 700 mL/hari. Insensible water loss yang terjadi pada kulit tidak bergantung pada keringat, jumlah kehilangan cairan melalui mekanisme ini rata-rata 300-400 mL/hari. Jumlah rata-rata pengeluaran melalui saluran pernapasan ± 300-400 mL/hari. Kehilangan cairan melalui keringat jumlahnya sangat bervariasi, bergantung pada aktivitas fisik dan suhu lingkungan. Volume keringat normalnya ± 100 mL/hari, namun pada cuaca yang panas atau selama melakukan aktivitas berat kehilangan cairan bisa mencapai 1-2 liter/jam. Kehilangan air melalui feses relatif sedikit, yaitu 100 mL/hari. Namun pengeluaran dapat meningkat hingga beberapa liter sehari, biasanya terjadi pada orang dengan diare berat. Kehilangan air melalui ginjal terjadi dalam bentuk urin. Volume urin yang dikeluarkan bervariasi, pada orang dehidrasi urin yang dikeluarkan berkurang hingga 0,5 liter/hari. Sedangkan orang yang minum sejumlah besar air dapat mengeluarkan urin sebanyak 20 liter/hari. Selain air, ginjal juga mengatur pengeluaran elektrolit tubuh seperti natrium, klorida, dan kalium. Kehilangan air dalam volume besar dapat menghabiskan cairan tubuh apabila asupan air tidak ditingkatkan melalui peningkatan refleks haus (Guyton, 2007).


(24)

15

Tabel 2.1. Tabel Pemasukan dan Pengeluaran Cairan Harian (Guyton, 2007)

Normal Aktivitas Berat

Masukan

Asupan cairan 2100

Metabolisme 200 200

Total intake 2300

Keluaran

Insensible- kulit 350 350

Insensible- paru-paru 350 650

Keringat 100 5000

Feses 100 100

Urin 1400 500

Total output 2300 6600

2.7.1. Kompartemen cairan tubuh

Distribusi cairan dalam tubuh terbagi menjadi dua kompartemen, yaitu cairan ekstrasel dan cairan intrasel. Cairan ekstrasel sendiri dibagi lagi menjadi cairan interstitial dan plasma. Ada juga kompartemen cairan lainnya yang disebut sebagai cairan transelular, meliputi cairan dalam rongga sinovial, peritoneum, perikardium, intraokular serta cairan serebrospinal. Cairan transelular seluruhnya berjumlah satu sampai dua liter. Cairan tubuh total pada manusia sekitar 60% berat badan, sebagai contoh pada orang dengan berat 70 kg memiliki total cairan tubuh sekitar 42 liter. Perubahan dapat terjadi bergantung pada usia, jenis kelamin, dan derajat obesitas. Pada orang yang lebih tua memiliki persentase total cairan tubuh yang lebih rendah dibanding dengan orang yang lebih muda. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan persentase lemak tubuh sehingga mengurangi persentase cairan dalam tubuh (Guyton, 2007).


(25)

16

Gambar 2.3. Kompartemen Cairan Tubuh (Guyton, 2007)

Cairan intrasel merupakan 40% dari berat badan total atau sekitar 28 liter dari jumlah total 42 liter cairan di dalam tubuh. Cairan masing-masing sel berbeda komposisinya namun konsentrasi zat antara satu sel dengan sel lainnya mirip. Cairan ekstrasel merupakan semua cairan yang berada di luar sel. Cairan ini merupakan 20% dari berat badan atau sekitar 14 liter pada orang dewasa normal dengan berat badan 70 kg. Cairan interstitial mencakup lebih dari tiga perempat bagian cairan ekstrasel, sedangkan plasma berjumlah hampir seperempat cairan ekstrasel atau sekitar tiga liter. Plasma merupakan bagian darah yang tidak mengandung sel, biasanya bertukar zat dengan cairan interstitial melalui pori-pori membran kapiler. Pori-pori ini bersifat sangat permeabel untuk hampir semua zat terlarut dalam cairan ekstrasel, kecuali protein (Guyton, 2007).


(26)

17

2.7.2. Komposisi cairan tubuh

Komposisi cairan tubuh dalam cairan ekstrasel berbeda dengan cairan intrasel, hal ini dapat dilihat pada tabel. Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, cairan ekstrasel terdiri dari cairan plasma dan cairan interstitial. Kedua cairan ini dipisahkan oleh membran kapiler yang sangat permeabel sehingga komposisi ion plasma serupa dengan komposisi cairan interstitial. Perbedaan utama antara dua kompartemen ini adalah konsentrasi protein yang lebih tinggi pada cairan plasma. Hal ini disebabkan karena kapiler memiliki permeabilitas yang rendah terhadap protein plasma, hanya sebagian kecil protein yang masuk dalam ruang interstitial di kebanyakan jaringan. Karena efek Donan, konsentrasi ion bermuatan positif (kation) lebih besar sekitar dua persen dalam plasma dibanding pada cairan interstitial. Protein plasma mempunyai muatan akhir negatif sehingga cenderung mengikat kation seperti natrium dan kalium, karena itu sebagian besar kation berada di dalam plasma. Sebaliknya konsentrasi ion negatif (anion) dalam cairan interstitial cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan plasma. Namun untuk tujuan praktis, konsentrasi ion dalam cairan interstitial dan plasma dianggap sama (Guyton, 2007).

Cairan intrasel dipisahkan dari cairan ekstrasel oleh membran sel yang sangat permeabel terhadap air namun tidak permeabel terhadap sebagian besar elekrolit dalam tubuh. Cairan intrasel hanya mengandung sedikit ion natrium dan klorida, bahkan hampir tidak ada ion kalsium. Sebaliknya, ion kalium dan fosfat banyak terdapat di dalam cairan intrasel, ion magnesium dan fosfat dalam jumlah sedang. Sel juga mengandung sejumlah besar protein, jumlahnya hampir empat kali dibandingkan dengan jumlah protein dalam plasma (Guyton, 2007).


(27)

18

Tabel 2.2. Tabel Komposisi cairan intraseluler dan ekstraseluler (Guyton, 2007)

Komponen Plasma (mOsm/L H2O)

Interstisial (mOsm/L H2O)

Intraseluler (mOsm/L H2O)

Na 142 139 14

K 4.2 4.0 140

Ca 1.3 1.2 -

Mg 0.8 0.7 20

Cl 108 108 4

HCO3 24 28.3 10

HPO4, H2PO4 2 2 11

SO4 0.5 0.5 1

Kreatin fosfat - - 45

Karnosin - - 14

Asam amino 2 2 8

Kreatin 0.2 0.2 9

Laktat 1.2 1.2 1.5

ATP - - 5

HMP - - 3.7

Glukosa 5.6 5.6 -

Protein 1.2 0.2 4

Urea 4 4 4

Lain-lain 4.8 3.9 10

Total mOsm/L 301.8 300.8 301.2

Perbedaan komposisi ion antara cairan intrasel dengan cairan ekstrasel disebabkan karena efek pompa Na+ - K+ yang terdapat di membran semua sel.

Pompa ini aktif memindahkan Na+ keluar dan K+ masuk ke dalam sel, sehingga Na+ menjadi kation utama di cairan ekstrasel dan K+ kation utama di cairan intrasel. Sebagian besar cairan ekstrasel dan cairan intrasel secara elektris seimbang, kecuali sebagian kecil ion total intrasel dan ekstrasel yang terlibat


(28)

19

dalam potensial membran. Pada cairan ekstrasel Na+ diiringi oleh anion Cl- dan dengan sedikit HCO3- (bikarbonat). Anion intrasel utama adalah PO43- (fosfat) dan

protein-protein bermuatan negatif yang tertahan di dalam sel (Sherwood, 2012). Elektrolit di dalam tubuh memiliki fungsi yang bermacam-macam. Na+ berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan di dalam tubuh, menjaga aktivitas saraf, kontraksi otot, dan juga berperan dalam proses retensi air dan absorpsi glukosa. Di dalam tubuh K+ mempunyai fungsi dalam keseimbangan cairan dan

elektrolit serta keseimbangan asam-basa. Bersama dengan Na+ dan Ca2+, K+ akan

berperan dalam transmisi saraf, pengaturan enzim, dan kontraksi otot. Cl- mempunyai fungsi fisiologis yang penting yaitu sebagai pengatur derajat keasaman lambung dan ikut berperan dalam menjaga keseimbangan asam-basa tubuh (Anwari, 2007).

Gambar 2.4. Kation dan Anion dalam Cairan Plasma, Cairan Interstitial, dan Cairan Intraselular (Sherwood, 2012)


(29)

20

2.8. Kelapa(Cocos nucifera)

2.8.1. Taksonomi Kelapa (Classification, n.d.)

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivisio : Spermatophyta Divisio : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Subkelas : Arecidae

Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae Genus : Cocos L.

Spesies : Cocos nucifera L.

Kelapa (Cocos nucifera L.) dikenal sebagai pohon kelapa yang tumbuh meluas di seluruh dunia. Setiap bagian dari pohon ini berguna, mulai dari daun dan batang pohonnya, dapat digunakan sebagai material bangunan, serta akarnya dapat digunakan untuk obat. Fokus utama dari pohon kelapa adalah buah kelapa, merupakan bagian yang paling banyak kegunaannya. Bagian sekam (mesocarp) dapat diproses menjadi tali, karpet, geotekstil, dan media pertumbuhan. Bagian batok kelapa dapat digunakan sebagai arang yang berkualitas tinggi. Bagian dalam dari buah disebut juga endosperm, dibagi menjadi daging buah dan air kelapa (Priya, 2014).

2.8.2. Komposisi Air Kelapa

Air kelapa merupakan minuman menyegarkan dan manis yang diambil langsung dari dalam buah kelapa. Air kelapa dibedakan dengan santan, dimana santan adalah cairan putih yang diperas dari parutan daging kelapa yang segar. Air kelapa dikenal tidak hanya sebagai minuman tropis tapi juga sebagai obat tradisional, media pertumbuhan mikrobiologi, dan bisa diproses menjadi cuka


(30)

21

ataupun wine. Komposisi mineral tertentu dan kandungan glukosa didalamnya membuat air kelapa menjadi cairan isotonik alami. Karakteristik air kelapa ini menjadikan air kelapa sebagai minuman rehidrasi yang menyegarkan setelah melakukan aktivitas fisik (Prades, 2012).

Air kelapa sebagian besar dikonsumsi sebagai minuman alami yang menyegarkan selama bertahun-tahun di negara-negara tropis. Air kelapa adalah minuman bernutrisi dan mengandung sejumlah besar mineral seperti natrium, kalium, fosfor, klorida, magnesium, asam askorbat, dan juga mengandung glukosa. Air kelapa juga mengandung beberapa elemen seperti zink, selenium, iodin, sulfur, mangan, dan lain-lain. Semua mineral berbentuk elektrolit, sehingga memudahkan diabsorpsi oleh tubuh. Lebih dari dua dekade, air kelapa digunakan untuk mengobati penyakit kolera, disentri, influenza, dan berbagai macam penyakit infeksi lain yang dapat menyebabkan dehidrasi. Air kelapa memiliki berbagai fungsi seperti sebagai cairan hidrasi elektrolit, anti-karsinogenik, anti-oksidan,

anti-aging, anti-trombotik, dan lain-lain (Manjunatha, 2013).

Komponen yang terkandung di dalam air kelapa antara lain adalah gula-gula, elektrolit-mineral, asam amino, dan vitamin. Air kelapa mengandung glukosa, fruktosa, dan sukrosa yang akan membentuk energi untuk metabolisme manusia. Konsentrasi gula di dalam air kelapa akan meningkat seiring dengan kematangan buah (Reddy, 2014).

Air kelapa mempunyai komposisi elektrolit yang dibutuhkan oleh tubuh. Elektrolit-elektrolit yang dibutuhkan antara lain kalium, natrium, magnesium, fosfor, dan kalsium. Kalium adalah kation terpenting intrasel. Fungsi kalium adalah untuk regulasi denyut jantung dan fungsi otot. Natrium merupakan kation paling penting ekstrasel. Natrium adalah ion yang paling banyak hilang melalui keringat dan urin setelah melakukan aktivitas. Magnesium merupakan ion yang penting dalam menjaga potensial aksi dalam sel dan mencegah kelebihan kalsium. Fosfor berperan dalam kontraksi otot, serta bersama-sama dengan kalsium meregulasi kesehatan tulang dan fungsi saraf. Klorida adalah ion yang penting yang bergabung dengan ion hidrogen menjadi HCl dalam perut. Klorida dan HCO3- berperan dalam mempertahankan level pH darah. Mineral seperti Fe


(31)

22

dibutuhkan dalam proses transportasi oksigen di dalam tubuh. Fe juga ikut berperan dalam konversi gula darah menjadi energi (C. Nancy, 2000). Sejumlah kecil asam amino terdapat di dalam air kelapa. Persentase jumlah arginin, alanin, sistein, dan serin dalam air kelapa lebih banyak dibandingkan dengan susu sapi. Asam amino berperan tidak hanya untuk pembentukan tubuh saja tapi juga sebagai sumber energi dan membentuk produksi limfosit (W. H. Jean, 2009). Vitamin yang terkandung di dalam air kelapa antara lain asam askorbat, dan kelompok vitamin B. Vitamin mempunyai peran vital dalam berbagai metabolisme dan meningkatkan aktivitas selular untuk melawan infeksi (Ewan, 2003).

2.8.3. Air Kelapa Sebagai Pengganti Cairan Tubuh

Air kelapa terdiri dari berbagai kompleks vitamin, mineral, asam amino, karbohidrat, antioksidan, enzim, dan nutrien penting lainnya. Karena kandungan elektrolit dalam air kelapa sama dengan cairan plasma, air kelapa bisa dijadikan

sport drink alami. Berbeda dengan minuman lain, air kelapa dapat digunakan sebagai infus karena sangat kompatibel dengan tubuh manusia (Pummer, 2001). Menurut Kalman, air kelapa dipertimbangkan oleh berbagai penelitian sebagai minuman sumber karbohidrat dan elektrolit yang alami. Secara spesifik air kelapa terbukti mengandung glukosa 1 g/dL, kalium 51 mEq/L, natrium 33 mEq/L, kalsium 5-17 mEq/L dan klorida 52 mEq/L, namun semua ini bergantung pada variasi buah kelapa.

2.8.4. Kandungan Air Minum

Air minum memiliki kandungan elektrolit yang dapat berkontribusi dalam jumlah signifikan untuk asupan sehari-hari. Kandungan elektrolit yang dapat ditemukan adalah natrium, kalium, kalsium, magnesium, Fe, mangan, fosfor, dan zinc. Air mineral secara standar internasional mengandung kalium 12,8 mEq/L, natrium 21 mEq/L, kalsium 5 mEq/L, dan klorida 14 mEq/L (WHO, 2005).


(32)

23

BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Alat, Bahan, dan Subjek Penelitian

3.1.1. Alat Penelitian

Stopwatch ‒ Alat tulis

‒ Gelas ukur

‒ Meteran / alat pengukur jarak

3.1.2. Bahan Penelitian

‒ Air mineral

‒ Air kelapa dalam kemasan (250 mL) yang mengandung glukosa, natrium, kalium, dan kalsium

3.1.3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 orang mahasiswa Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia (FPOK UPI) Bandung.

‒ Kriteria Inklusi :

▪ Usia 18-23 tahun

▪ Olahraga rutin minimal 1 minggu sekali

▪ BMI 18-22,9

‒ Kriteria Eksklusi :

▪ Perokok, minum alkohol


(33)

24

▪ Mempunyai riwayat penyakit jantung dan pernapasan, diabetes mellitus, trauma muskuloskeletal

▪ Alergi terhadap air kelapa

3.1.4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi : Lapangan Olahraga Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha

Waktu : Penelitian mulai dari bulan Januari 2015 sampai Desember 2015

3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimental kuasi yang bersifat komparatif dengan menggunakan data pre-test dan post-test.

Analisis statistik menggunakan uji t berpasangan dengan α < 0,05.

3.2.2. Variabel Penelitian

3.2.2.1. Variabel Perlakuan

‒ Pemberian air mineral sebanyak 250 mL pada percobaan hari pertama selama 3x dalam selang waktu 15 menit selama melakukan lari jarak jauh.

‒ Pemberian air kelapa dalam kemasan sebanyak 250 mL pada percobaan hari kedua selama 3x dalam selang waktu 15 menit selama melakukan lari jarak jauh.

‒ Antara percobaan hari pertama dan kedua diberi waktu jeda selama 7 hari.


(34)

25

3.2.2.2. Variabel Respon

Ketahanan otot dinilai dengan pengukuran jarak dalam meter yang mampu ditempuh selama melakukan lari jarak jauh selama 45 menit.

3.2.3. Besar Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan jumlah sampel minimal penelitian eksperimental yaitu tiga puluh sampel (Hill, 2012).

3.2.4. Prosedur Kerja

3.2.4.1. Persiapan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, subjek penelitian beraktivitas seperti biasa dan tidak melakukan kegiatan berlebihan yang dapat menyebabkan kelelahan otot.

3.2.4.2. Prosedur Penelitian

1. Subjek penelitian melakukan pemanasan (stretching) selama 10 menit.

2. Subjek penelitian diberi minum air mineral sebanyak 250 mL. 3. Subjek berlari selama 15 menit dan catat jarak yang ditempuh

(meter).

4. Subjek penelitian berhenti dan diberi minum air mineral sebanyak 250 mL.

5. Subjek berlari selama 15 menit dan catat jarak yang ditempuh (meter).

6. Subjek penelitian berhenti dan diberi minum air mineral sebanyak 250 mL.

7. Subjek berlari selama 15 menit dan catat jarak yang ditempuh


(35)

26 (meter).

8. Hitung jumlah jarak yang ditempuh oleh masing-masing subjek penelitian.

9. Pada Minggu ke-2 dilakukan prosedur yang sama hanya air mineral digantikan dengan air kelapa dalam kemasan.

3.2.5. Analisis Statistik

Data yang diukur berupa jarak tempuh dalam satuan meter selama 45 menit. Analisis data secara statistik dengan metode uji t berpasangan.

3.2.6. Hipotesis Statistik

H0 = pemberian air kelapa dalam kemasan tidak meningkatkan ketahanan otot selama melakukan lari jarak jauh.

H1 = pemberian air kelapa dalam kemasan meningkatkan ketahanan otot selama melakukan lari jarak jauh.

3.2.7. Kriteria Uji

Diterima atau tidak H0/H1 ditentukan berdasarkan kriteria uji sebagai berikut.

‒ P > 0,05 maka H0 gagal ditolak.

‒ P ≤ 0,05 maka H0 ditolak. 3.2.8. Aspek Etik Penelitian

Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha - Rumah Sakit Immanuel dengan No.86/KEP/V/2015. Subjek penelitian sudah diberi penjelasan sebelum mengikuti penelitian ini dan telah menyetujuinya.


(36)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pengambilan data dilakukan sebanyak dua kali. Pengambilan data pertama dilakukan untuk mengetahui jumlah jarak yang ditempuh selama 45 menit setelah diberi air mineral pada 30 subjek penelitian. Minggu berikutnya dilakukan pengambilan data kedua untuk mengetahui jumlah jarak yang ditempuh dengan diberi air kelapa dengan subjek penelitian yang sama. Berikut adalah tabel perbandingan hasil pengukuran jarak tempuh lari selama 45 menit pada subjek penelitian yang diberi air mineral dan air kelapa.

Tabel 4.1 Hasil Jarak Tempuh Setelah Diberi Air Mineral dan Air Kelapa

NO.

JARAK TEMPUH (meter)

NO.

JARAK TEMPUH (meter)

Pre Test Post Test Pre Test Post Test

(Air mineral) (Air Kelapa) (Air mineral) (Air Kelapa)

1 6840 7150 16 9260 9640

2 6684 7040 17 9300 9486

3 10655 10800 18 9520 9860

4 9410 9800 19 7706 7944

5 6920 7360 20 8900 9050

6 7060 7300 21 9410 9580

7 9174 9460 22 9470 9850

8 7156 7466 23 8698 9570

9 7272 7950 24 9370 9480

10 6635 7060 25 8920 9110

11 8380 8633 26 9260 9430

12 6883 7100 27 10350 10850

13 9990 10480 28 9130 9560

14 9780 9805 29 6830 7430

15 9130 9480 30 7690 7780

Rata-rata 8526 8850

SD 1229.5 1207.7


(37)

28

Pada Tabel 4.1 didapatkan rerata hasil pengukuran jarak tempuh lari saat subjek penelitian diberi air kelapa adalah 8850 m. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan saat diberi air mineral yaitu 8526 m.

Untuk menentukan apakah perbedaan rerata jarak tempuh lari bermakna

secara statistik dilakukan uji t berpasangan dengan α=0,05. Hasil analisis statistik disajikan dalam tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Analisis Statistik uji t berpasangan pada Jarak Tempuh Setelah Konsumsi Air Mineral dan Air Kelapa

N Rerata St dev T p

Air mineral 30 8526 1229.5

-9.668 0.000**

Air Kelapa 30 8850 1207.7

Pada tabel 4.2 didapatkan bahwa jarak tempuh lari setelah diberi air mineral dan air kelapa berbeda sangat bermakna secara statistik dengan p = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian air kelapa dapat meningkatkan ketahanan otot secara sangat bermakna dibandingkan dengan air mineral.

4.2 Pembahasan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jarak tempuh lari dengan pemberian air kelapa lebih besar dibandingkan pemberian air mineral pada pria dewasa muda non-atlet. Rata-rata jarak tempuh lari sesudah mengonsumsi air kelapa meningkat dibandingkan setelah mengonsumsi air mineral. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian air kelapa pada pria dewasa non atlet dapat meningkatkan ketahanan otot. Penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Antonio Martins dan Daniel Waldschutz mengenai air kelapa sebagai sport drink

dan efeknya pada laki-laki dewasa juga memberikan hasil adanya peningkatan ketahanan otot setelah pemberian air kelapa. Penelitian Martins dan Waldschutz dilakukan selama 6 bulan dengan pengambilan data VO2max sebanyak tiga kali dalam satu minggu pada pria dewasa usia 45-55 tahun yang rutin berolahraga.


(38)

29 (Martins, 2012).

Air kelapa mengandung berbagai komponen seperti glukosa, elektrolit, dan lainnya. Elektrolit seperti Na+ berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan di dalam tubuh, menjaga aktivitas saraf, kontraksi otot, dan juga berperan dalam proses absorpsi glukosa. Di dalam tubuh K+ mempunyai fungsi dalam

keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam-basa. Bersama dengan Na+ dan Ca2+, K+ akan berperan dalam transmisi saraf, pengaturan enzim,

dan kontraksi otot (Anwari Irawan, 2007).

Air kelapa lebih baik sebagai sport drink dibandingkan dengan minuman lain karena air kelapa dapat meningkatkan kadar glukosa darah lebih cepat dan mempertahankan kadar dalam jumlah yang fisiologis. Selain itu, air kelapa juga dapat meningkatkan kapasitas aerobik dengan meningkatkan kemampuan produksi energi yang dapat berpengaruh dalam peningkatan ketahanan otot (Martins, 2012). Glukosa diubah menjadi energi (ATP) yang akan digunakan dalam kontraksi otot (Guyton, 2007).

4.3 Pengujian Hipotesis Penelitian

Hipotesis : Pemberian air kelapa meningkatkan ketahanan otot laki-laki dewasa muda non-atlet pada latihan lari jarak jauh.

Hal-hal yang mendukung :

 Terdapat peningkatan rata-rata jarak tempuh lari pada pemberian air kelapa dibandingkan pemberian air mineral.

 Hasil uji “t” berpasangan menunjukkan adanya perbedaan rata-rata jarak tempuh lari yang sangat bermakna antara pemberian air kelapa dan air

mineral dengan p= 0,000** (p≤0,01)


(39)

30

Hal-hal yang Tidak Mendukung : Tidak ada

Simpulan :

Hipotesis penelitian ini diterima dan teruji oleh data


(40)

31

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Pemberian air kelapa meningkatkan ketahanan otot laki-laki dewasa muda non-atlet pada latihan lari jarak jauh dibandingkan dengan pemberian air mineral.

5.2. Saran

 Mengganti air mineral maupun sport drink yang biasa diminum pada saat melakukan aktivitas lari jarak jauh dengan air kelapa untuk meningkatkan ketahanan otot.

 Melakukan penelitian lanjutan untuk menentukan kandungan glukosa dan elektrolit paling optimal air kelapa berdasarkan usia kematangan buah untuk meningkatkan ketahanan otot pada saat melakukan aktivitas lari jarak jauh.

 Melakukan penelitian selanjutnya menggunakan metode yang berbeda.


(41)

32

DAFTAR PUSTAKA

Anwari, I. (2007). Cairan Tubuh, Elektrolit & Mineral. Retrieved from Retrieved from http://www.pssplab.com/journal/01.pdf

Balke, B. (1963). A Simple Field Test for The Assessment of Physical fitness.

Oklahoma City: Federal Aviation Agency.

C.Nancy, & Andrews. (2000). Iron metabolism : Iron Deficiency and Iron Overload. Genomics and Human Genetics 1, 75-98.

Classification. (n.d.). Retrieved from United State Department of Agriculture: http://plants.usda.gov/java/ClassificationServlet?source=profile&symbol= CONU&display=31

Costanzo, L. (2011). Board Review Series Physiology 5th edition. Virginia: Lippincot.

Ewan, H., & Michael, B. (2003). Functional Properties Of Whey, Whey Components, And Essensial Amino Acids : Mechanisms Underlying Health Benefits For Active People. The Journal of Nutritional Biochemistry 14, 251-258.

Guyton, A., & Hall, J. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Hanson, P. (1984). Clinical Exercise Training. In: Sport Medicine. Philadelphia: Saunders Company.

Hatch, K. E. (2011). Retrieved from digitalcomons@etal.uri.edu: http://digitalcommons.uri.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1212&context= srhonorsprog

Hill, Robin. (2012). What Sample Size is “Enough” in Internet Survey Research?. IPCT-J vol. 6 no3-4, 1-10.

Kalman, D., Feldman, S., Kringer, D., & Bloomer, R. (2012). Comparison of Coconut Water and a Carbohydrate-Electrolyte Sport Drink on Measure of Hydration and Physical Performance in Exercise-Trained Man. Journal of the International Society of Sport Nutrition, 1-10.


(42)

33

Lännergren, J., Westerblad, H., & Allen, D. (2006). Mechanisms of Fatigue as Studied in Single Muscle Fibres. 3-9.

Manjunatha, S., & Raju, P. (2013). Modelling the Rheological Behaviour of Tender Coconut (Cocos nucifera L) Water and Its Concentrates.

International Food Research Journal 20(2), 731-743.

Mardiana, Kartini, A., & Widjasena, B. (2012). Pemberian Cairan Karbohidrat Elektrolit, Status Hidrasi dan Kelelahan pada Pekerja Wanita. Media Medika Indonesiana volume 46 nomor 1, 6-11.

Martins, A., & Waldschutz, D. (2012). Coconut Water as a Sports Drink and Its Effects on the Fitness of Aging Athletes. Asian Journal of Exercise &Sports Science 2012 vol. 9 no.2, 1-12.

Murray, R., Granner, D., Mayes, P., & Rodwell, V. (2009). Harper's Illustrated Biochemistry 26th edition. USA: Lange Medical Books.

Powers, Scott K., Howley, Edward T. (2007). Exercise Physiology Theory and Application to Fitness and Performance 6th edition. New York : McGraw-Hill.

Prades, A., Dornier, M., Diop, N., & Pain, J.-P. (2012). Coconut Water Uses, Composition and Properties. Fruits vol 67 (2), 87-102.

Priya, S., & Ramaswamy, L. (2014). Tender Coconut Water- Natures Elixir to Mankind. International Journal of Recent Scientific Research, 1485. Pummer, S., Heil, P., Maleck, W., & Petroianu, G. (2001). Influence of Coconut

Water on Hemostasis. Am. J. Emerg. Med 19, 287-289.

Reddy, P., & Lakshmi, T. (2014). Coconut Water - Properties, Uses, Nutritional Benefits in Health and Wealth and in Health and Disease. Journal of Current Trends in Clinical Medicine & Laboratory Biochemistrty, 6-15. Saat, M., Singh, R., Siringhe, R., & Nawawi, M. (2002). Rehydration After

Exercise with Fresh Young Coconut Water, Carbohydrate-Electrolyte Beverage and Plain Water. Journal of Physiological Anthropology and Applied Human Science, 21 (2), 93-104.

Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC.


(43)

34

W.H. Jean, Y., Liya, G., Yan, F., & Swee, N. (2009). The Chemical Composition and Biological Properties of Coconut (Cocos nucifera L.) Water, Molecules. 14, 5144-5164.

World Health Organization (WHO). 2005. Nutrients in Drinking Water : Protection of the Human Environment-Water, Sanitation and Health. WHO Press, Geneva, Switzerland, pp. 186.

Widiastuti. (2015). Tes dan Pengukuran Olahraga. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


(1)

29 (Martins, 2012).

Air kelapa mengandung berbagai komponen seperti glukosa, elektrolit, dan lainnya. Elektrolit seperti Na+ berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan di dalam tubuh, menjaga aktivitas saraf, kontraksi otot, dan juga berperan dalam proses absorpsi glukosa. Di dalam tubuh K+ mempunyai fungsi dalam

keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam-basa. Bersama dengan Na+ dan Ca2+, K+ akan berperan dalam transmisi saraf, pengaturan enzim,

dan kontraksi otot (Anwari Irawan, 2007).

Air kelapa lebih baik sebagai sport drink dibandingkan dengan minuman lain karena air kelapa dapat meningkatkan kadar glukosa darah lebih cepat dan mempertahankan kadar dalam jumlah yang fisiologis. Selain itu, air kelapa juga dapat meningkatkan kapasitas aerobik dengan meningkatkan kemampuan produksi energi yang dapat berpengaruh dalam peningkatan ketahanan otot (Martins, 2012). Glukosa diubah menjadi energi (ATP) yang akan digunakan dalam kontraksi otot (Guyton, 2007).

4.3 Pengujian Hipotesis Penelitian

Hipotesis : Pemberian air kelapa meningkatkan ketahanan otot laki-laki dewasa muda non-atlet pada latihan lari jarak jauh.

Hal-hal yang mendukung :

 Terdapat peningkatan rata-rata jarak tempuh lari pada pemberian air kelapa dibandingkan pemberian air mineral.

 Hasil uji “t” berpasangan menunjukkan adanya perbedaan rata-rata jarak tempuh lari yang sangat bermakna antara pemberian air kelapa dan air

mineral dengan p= 0,000** (p≤0,01)


(2)

30 Hal-hal yang Tidak Mendukung : Tidak ada

Simpulan :

Hipotesis penelitian ini diterima dan teruji oleh data


(3)

31

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Pemberian air kelapa meningkatkan ketahanan otot laki-laki dewasa muda non-atlet pada latihan lari jarak jauh dibandingkan dengan pemberian air mineral.

5.2. Saran

 Mengganti air mineral maupun sport drink yang biasa diminum pada saat melakukan aktivitas lari jarak jauh dengan air kelapa untuk meningkatkan ketahanan otot.

 Melakukan penelitian lanjutan untuk menentukan kandungan glukosa dan elektrolit paling optimal air kelapa berdasarkan usia kematangan buah untuk meningkatkan ketahanan otot pada saat melakukan aktivitas lari jarak jauh.

 Melakukan penelitian selanjutnya menggunakan metode yang berbeda.


(4)

32

DAFTAR PUSTAKA

Anwari, I. (2007). Cairan Tubuh, Elektrolit & Mineral. Retrieved from Retrieved from http://www.pssplab.com/journal/01.pdf

Balke, B. (1963). A Simple Field Test for The Assessment of Physical fitness. Oklahoma City: Federal Aviation Agency.

C.Nancy, & Andrews. (2000). Iron metabolism : Iron Deficiency and Iron Overload. Genomics and Human Genetics 1, 75-98.

Classification. (n.d.). Retrieved from United State Department of Agriculture: http://plants.usda.gov/java/ClassificationServlet?source=profile&symbol= CONU&display=31

Costanzo, L. (2011). Board Review Series Physiology 5th edition. Virginia: Lippincot.

Ewan, H., & Michael, B. (2003). Functional Properties Of Whey, Whey Components, And Essensial Amino Acids : Mechanisms Underlying Health Benefits For Active People. The Journal of Nutritional Biochemistry 14, 251-258.

Guyton, A., & Hall, J. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Hanson, P. (1984). Clinical Exercise Training. In: Sport Medicine. Philadelphia: Saunders Company.

Hatch, K. E. (2011). Retrieved from digitalcomons@etal.uri.edu: http://digitalcommons.uri.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1212&context= srhonorsprog

Hill, Robin. (2012). What Sample Size is “Enough” in Internet Survey Research?. IPCT-J vol. 6 no3-4, 1-10.

Kalman, D., Feldman, S., Kringer, D., & Bloomer, R. (2012). Comparison of Coconut Water and a Carbohydrate-Electrolyte Sport Drink on Measure of Hydration and Physical Performance in Exercise-Trained Man. Journal of the International Society of Sport Nutrition, 1-10.


(5)

33

Lännergren, J., Westerblad, H., & Allen, D. (2006). Mechanisms of Fatigue as Studied in Single Muscle Fibres. 3-9.

Manjunatha, S., & Raju, P. (2013). Modelling the Rheological Behaviour of Tender Coconut (Cocos nucifera L) Water and Its Concentrates. International Food Research Journal 20(2), 731-743.

Mardiana, Kartini, A., & Widjasena, B. (2012). Pemberian Cairan Karbohidrat Elektrolit, Status Hidrasi dan Kelelahan pada Pekerja Wanita. Media Medika Indonesiana volume 46 nomor 1, 6-11.

Martins, A., & Waldschutz, D. (2012). Coconut Water as a Sports Drink and Its Effects on the Fitness of Aging Athletes. Asian Journal of Exercise &Sports Science 2012 vol. 9 no.2, 1-12.

Murray, R., Granner, D., Mayes, P., & Rodwell, V. (2009). Harper's Illustrated Biochemistry 26th edition. USA: Lange Medical Books.

Powers, Scott K., Howley, Edward T. (2007). Exercise Physiology Theory and Application to Fitness and Performance 6th edition. New York : McGraw-Hill.

Prades, A., Dornier, M., Diop, N., & Pain, J.-P. (2012). Coconut Water Uses, Composition and Properties. Fruits vol 67 (2), 87-102.

Priya, S., & Ramaswamy, L. (2014). Tender Coconut Water- Natures Elixir to Mankind. International Journal of Recent Scientific Research, 1485. Pummer, S., Heil, P., Maleck, W., & Petroianu, G. (2001). Influence of Coconut

Water on Hemostasis. Am. J. Emerg. Med 19, 287-289.

Reddy, P., & Lakshmi, T. (2014). Coconut Water - Properties, Uses, Nutritional Benefits in Health and Wealth and in Health and Disease. Journal of Current Trends in Clinical Medicine & Laboratory Biochemistrty, 6-15. Saat, M., Singh, R., Siringhe, R., & Nawawi, M. (2002). Rehydration After

Exercise with Fresh Young Coconut Water, Carbohydrate-Electrolyte Beverage and Plain Water. Journal of Physiological Anthropology and Applied Human Science, 21 (2), 93-104.

Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC.


(6)

34

W.H. Jean, Y., Liya, G., Yan, F., & Swee, N. (2009). The Chemical Composition and Biological Properties of Coconut (Cocos nucifera L.) Water, Molecules. 14, 5144-5164.

World Health Organization (WHO). 2005. Nutrients in Drinking Water : Protection of the Human Environment-Water, Sanitation and Health. WHO Press, Geneva, Switzerland, pp. 186.

Widiastuti. (2015). Tes dan Pengukuran Olahraga. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.