Efektivitas Individual Counseling dalam Usaha Meningkatkan Derajat Resiliency pada Remaja Penderita Kanker di Rumah Sakit "X", Jakarta (Studi Kasus menggunakan Individual Counseling dengan Stages of Helping Relationship pada Remaja Penderita Kanker Karsin

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran peningkatan derajat Resiliency pada remaja penderita kanker di Rumah Sakit “X”, Jakarta. Merupakan penelitian case study, dengan Resiliency sebagai variabel yang diteliti dan Individual Counseling sebagai bentuk intervensi yang dilakukan.

Penelitian ini didasari pemikiran mengenai kebutuhan remaja penderita kanker untuk beradaptasi dengan penyakitnya agar dapat berfungsi optimal dalam lingkungan. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan derajat Resiliency adalah melalui Individual Counseling. Pada prosesnya, insight yang muncul dikaitkan dengan teori Resiliency dari Benard (2004).

Perubahan derajat Resiliency didapatkan dari hasil perbedaan skor kuesioner Resiliency antara pre-test dan post-test, yang validitas dan reliabilitasnya diukur menggunakan expert validity. Selanjutnya pembahasan dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan melihat keseluruhan isi dari proses individual counseling yang dilakukan.

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan secara signifikan pada derajat Resiliency subjek, yang mana terjadi perubahan kategori dari Cenderung Tinggi menjadi Tinggi. Berdasarkan hasil klarifikasi, yang menjadi fokus dari proses individual counseling adalah pengembangan aspek Social Competence. Adapun insight yang didapat oleh subjek cukup beragam di setiap tahapannya, terutama mengenai kurangnya informasi di awal pengobatan yang membuatnya mengalami ketakutan saat didiagnosa menderita kanker, kekurangmampuannya mengungkapkan perasaan kepada pihak lain, serta pentingnya dukungan dari keluarga dan teman-teman dalam membantunya menghadapi penyakitnya.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: Individual Counseling efektif dalam meningkatkan derajat Resiliency pada subjek penderita kanker Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit “X”, Jakarta. Peran konselor pada proses Individual Counseling adalah sebagai protective factors bagi subjek, terutama dalam bentuk dukungan informasi dan caring relationship. Dengan meningkatkan aspek Social Competence, terjadi pula peningkatan pada ketiga aspek Personal Strengths lainnya.

Saran yang diajukan yaitu Saran Teoretis: penelitian dilakukan pada kelompok usia yang berbeda, menggunakan bentuk intervensi lain seperti Group Counseling, penelitian pada pasien terminal illness disarankan untuk dilakukan dalam tenggang waktu yang lama, dan peneliti perlu terus mengembangkan fleksibilitas dalam melaksanakan tahapan individual counseling. Saran Guna Laksana: Peneliti membangun good rapport yang kontinyu untuk menciptakan kenyamanan, mengembangkan kepekaan terhadap kondisi subjek penelitian, untuk orangtua dan wali agar dapat memberikan dukungan terkait kebutuhan remaja terhadap protective factors, untuk dokter dan perawat agar dapat menjadi sumber informasi bagi remaja penderita dan keluarganya.


(2)

vi

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

The objective of the research is to obtain a description of increased Resiliency degree on teenage cancer patient in the “X” Hospital, Jakarta. This research is a case study wherein Resiliency is the variable of the research and Individual Counseling used as the intervention.

The background of this research is the existence of teenage cancer patient’s need to adapt with his illness so that he could functioned optimally on his environment. Efforts made in order to increase the degree of Resiliency by means of Individual Counseling. On the process, the raised insights linked with the theory of Resiliency from Benard (2004).

The alteration of Resiliency degree was obtained from the difference of the Resiliency questionaire’s score between the pre-test and post-test, which the validity and reliability measured by expert validity. Furthermore, the discussion of this research was using the qualitative method by studying the whole content of individual counseling’s process.

The result of this research shows the significant improvement on subject’s Resiliency, which seen from the changing category of Resiliency degree from Almost High into High. Based on clarification, the main focus of the individual counseling’s process is the development of Social Competence. The subject has reached a variative insights on every session, especially on the lack of information he has in the early process of his medical treatment which caused him experiencing fear when he’s diagnosed with cancer, his difficulty on communicating his feelings toward other people, and how important the support from his family and friends on helping him adjust with his illness.

Conclusions of the research is that the Individual Counseling effective on increasing the Resiliency degree on teenage with Nasopharyngeal Carcinoma in the “X” Hospital, Jakarta. The counselor’s role on Individual Counseling’s process is a provider of protective factors, especially on giving information and caring relationship. By increasing Social Competence, the other three of personal strengths also shows a significant improvement.

Some suggestions put forward are: Theoretical Suggestions: conducting research on different group of age, using other form of intervention such as Group Counseling, research on patient of terminall illness conducted on a long period of time, and the researcher need to develops flexibility on applying stages of individual counseling. Practical Suggestions: Researcher gradually build a good rapport to create a comfort relationship with the subject, develops sensitivity due to the subject’s condition, for Parents and Guardian to give supports related to teenager’s need of protective factors, for Doctors and Nurses to be the source of information for the teenager and his family.


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR BAGAN ... ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR DIAGRAM ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2. Identifikasi Masalah ………. 15

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ………. 15

1.4. Kegunaan Penelitian ………. 16

1.5. Metodologi Penelitian ……….. 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Resiliency ... 18


(4)

xii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

2.1.2. Protective Factors ... 19

2.1.3. Risk Factors ... 30

2.1.4. Personal Strengths ... 30

2.2. Individual Counseling ...42

2.2.1. Definisi Individual Counseling ... 42

2.2.2. The Helping Process ... 43

2.2.2.1. Stages in the Helping Process ... ... 43

2.2.2.2. Helping Skills for Understanding ... 49

2.3. Neoplasma ... 55

2.3.1. Definisi dan Pengertian Dasar Neoplasma ... 55

2.3.2. Kanker ... 55

2.4. Remaja ... 56

2.4.1. Karakteristik Masa Remaja ... 56

2.4.2. Peers ... 60

2.5. Kerangka Pemikiran ... 63

2.6. Asumsi ... 81

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian ... 82

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 83

3.2.1. Variabel Penelitian ... 84

3.2.2. Definisi Operasional ... 84

3.2.2.1.Resiliency ... 83


(5)

3.3.1. Kisi-kisi Alat Ukur ... 86

3.3.2. Prosedur Pengisian ... 87

3.3.3. Sistem Penilaian ... 87

3.3.4. Data Penunjang ... 88

3.3.5. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 89

3.4. Subjek Penelitian ... 89

3.4.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 89

3.5. Prosedur Penelitian (Rancangan Treatment) ... 90

3.6. Teknik Analisis Data ... 92

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Subjek ... 93

4.1.1. Identitas Subjek ... 93

4.1.2. Status Praesens ... 94

4.1.3. Riwayat Keluhan ... 94

4.1.4. Anamnesa ... 97

4.2. Hasil Penelitian ... 102

4.2.1. Hasil Penelitian terhadap Derajat Resiliency ... 101

4.2.2. Hasil Penelitian terhadap Aspek Personal Strengths ... 103

4.3. Pembahasan ... 104

4.3.1. Pembahasan Pre-test ... 104

4.3.2. Pembahasan Proses Individual Counseling ... 106


(6)

xiv

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 138

5.2. Saran ... 140

5.2.1. Saran Teoretis ... 140

5.2.2. Saran Guna Laksana ... 141

DAFTAR PUSTAKA ... 143

DAFTAR RUJUKAN ... 144 LAMPIRAN


(7)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Bagan Kerangka Pikir ... 80 Bagan 3.1. Bagan Rancangan Penelitian ... 83


(8)

xvi

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Tabel Kisi-Kisi Alat Ukur ... 86 Tabel 3.2. Tabel Sistem Penilaian ... 88 Tabel 3.3. Tabel Kategori Derajat Resiliency ... 88


(9)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1. Derajat Resiliency ... 102 Diagram 4.2. Skor Personal Strengths ... 103


(10)

xviii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Resiliency

Lampiran 2 Kisi-kisi Alat Ukur Resiliency

Lampiran 3 Rancangan Kerangka Individual Counseling Lampiran 4 Surat Kesediaan

Lampiran 5 Tabel Skor Personal Strengths

Lampiran 6 Tabel Rekapitulasi Hasil Individual Counseling

Lampiran 7 Kategori Derajat Aspek dan Indikator Personal Strengths Lampiran 8 Verbatim Sesi I – Sesi VIII


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, jenis penyakit yang mematikan semakin bertambah, diantaranya yaitu stroke, HIV/AIDS, Lupus, dan juga kanker. Jumlah penderita dari berbagai penyakit berbahaya ini pun terus meningkat. Untuk kanker sendiri, menurut Organisasi Kesehatan Dunia/WHO, setiap tahun jumlah penderitanya di dunia bertambah sekitar 6,25 juta jiwa. Dalam 10 tahun mendatang, diperkirakan sembilan juta jiwa akan meninggal setiap tahunnya akibat kanker. Dua pertiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara yang sedang berkembang dan menimbulkan keprihatinan tersendiri dari berbagai pihak. Di Indonesia, diprediksi ada 100 penderita baru setiap tahunnya dari 100.000 jiwa penduduk (dr. Eddy Setiawan Tehuteru, SpA.; dalam KOMPAS, Juli 2006).

Kanker adalah istilah yang digunakan untuk tumor ganas, karena tidak semua tumor dapat disebut sebagai kanker. Sel kanker tumbuh dan berkembang dengan sangat cepat, untuk kemudian menyerang bagian tubuh yang sehat, sehingga dapat tumbuh dan berkembang di tempat yang baru. Penyakit kanker dipandang sebagai penyakit yang mematikan karena dapat mengancam kehidupan penderitanya. Meskipun telah diangkat melalui proses operasi, sel kanker dapat tumbuh kembali dan menyebar ke bagian tubuh yang lain dari penderita hingga menyebabkan kematian (http://www.cancer.gov, 2006). Penyembuhan penyakit kanker dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu pembedahan/operasi,


(12)

2

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

penyinaran/radiasi, dan terapi kimia, namun peluang untuk sembuh dari penyakit ini amat kecil (http://bima.ipb.ac.id).

Kanker dapat menimpa dan menyerang siapa saja dari berbagai kalangan usia, baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Bahkan janin yang masih berada dalam kandungan pun, dapat terserang kanker. Di dunia, jumlah anak penderita kanker yang berusia di bawah 18 tahun telah mencapai sekitar 140 per satu juta jiwa setiap tahunnya. Saat ini, di Indonesia sendiri telah tercatat 11.000 kasus kanker anak setiap tahunnya. Khusus di Jakarta dan sekitarnya yang berpenduduk 12 juta, ditemukan 650 kasus baru per tahun (Kisah Sejati dalam Majalah Wanita Mingguan FEMINA no.10, Maret 2007). Angka ini terus meningkat lantaran kurangnya pemahaman masyarakat pada umumnya dan orangtua pada khususnya, mengenai bahaya penyakit kanker. Selain itu, hal ini juga terjadi karena ketidakmampuan anak dalam mengungkapkan keluhan yang dirasakan, sehingga kanker pada anak kerap kali baru terdeteksi setelah mencapai stadium lanjut/stadium akhir. Hal ini didukung oleh data ilmiah yang mengungkapkan bahwa hampir sekitar 70% gejala kanker pada anak terlambat diketahui oleh orangtua dan ketika anak dibawa ke dokter, anak sudah berada dalam keadaan akut (http://www.fajar.co.id/news, 2006).

Menurut dr. Mellisa S. Luwia, MHA, kanker telah menjadi penyebab utama kematian pada anak. Sebuah laporan internasional menyatakan 10% kematian pada anak disebabkan oleh kanker (http://www.fajar.co.id/news, 2006). Meskipun begitu, kanker pada anak masih dapat disembuhkan apabila dikenali dan ditemukan sejak dini. Harapan sembuh menjadi lebih besar apabila anak


(13)

3

penderita kanker dapat melewati masa hidup setelah pengobatan paling sedikit lima tahun. Dari total anak-anak penderita kanker, sekitar 80% diantaranya dapat sembuh total (http://www.mediaraharja.com/read, 2007).

Kanker pada anak dan remaja jenisnya cukup bervariasi, namun jenis yang paling sering dijumpai adalah leukemia, tumor otak, retinoblastoma, limfoma, neuroblastoma, tumor Wilms, rabdomiosarkoma, dan osteosarkoma. Leukemia atau kanker darah adalah kanker yang berawal pada darah, yang mana ia akan membentuk jaringan seperti tulang sumsum dan menyebabkan sejumlah besar produksi sel-sel darah abnormal masuk ke dalam darah. Tumor otak adalah kanker yang terutama mengganggu fungsi dan merusak susunan syaraf pusat, karena terletak dalam rongga yang terbatas, yaitu rongga tengkorak. Retinoblastoma adalah kanker yang menyerang bagian mata, biasanya ditandai dengan adanya bercak putih di mata, penglihatan terganggu, terkadang mata juga menjadi juling, dan lama-kelamaan akan membengkak. Limfoma adalah kanker kelenjar getah bening, yang disertai dengan pembesaran dan pembengkakan kelenjar getah bening. Neuroblastoma adalah kanker syaraf yang dapat menunjukkan banyak gejala, tergantung pada letak dan penyebabnya.

Tumor Wilms adalah kanker ginjal yang biasanya ditandai dengan kencing berdarah dan/atau rasa tidak enak di dalam perut, yang apabila sudah besar terasa keras bila diraba. Rabdomiosarkoma adalah kanker otot yang dapat dijumpai pada otot dimana saja, biasanya kepala, leher, kandung kemih, prostat (pada laki-laki), dan vagina (pada perempuan). Osteosarkoma adalah kanker tulang yang banyak ditemukan pada tungkai, lengan, dan pinggul (YOAI Foundation). Hingga saat ini


(14)

4

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

penyebab kanker belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan merupakan akibat dari interaksi berbagai faktor genetik dan lingkungan (http://www.fajar.co.id/news, 2006).

Dampak psikologis yang biasa dialami oleh penderita kanker saat baru dinyatakan positif terkena kanker adalah rasa takut yang luar biasa dan putus asa, apalagi jika sudah memasuki stadium lanjut (stadium 3 dan 4) (http://bima.ipb.ac.id/~anita/kanker_payudara). Dalam menjalani proses pengobatan, penderita pun mengalami banyak perubahan pada aktivitas kesehariannya, terutama mengenai protokol pengobatan yang harus dijalani baik kemoterapi, radiasi, maupun operasi. Setiap jenis pengobatan memiliki dampak tersendiri pada penderita, diantaranya mual dan muntah, demam, sariawan di mulut dan lidah, diare, hilangnya nafsu makan, kerontokan rambut, kulit yang menghitam di bagian-bagian tertentu, dan banyak lagi. Proses pengobatan juga tidak selalu berjalan lancar, ketika kondisi fisik menurun yang terutama terlihat dari hasil pemeriksaan darah, protokol pengobatan dapat saja ditunda ataupun diulang yang juga berpengaruh pada kondisi psikis penderita. Banyak dari penderita yang kemudian kehilangan semangat karena merasa jenuh dan sia-sia dengan kemunduran dari proses pengobatannya.

Dituturkan oleh Erwin Fauzi—koordinator relawan Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia—yang ditemui di RS “X”, Jakarta, bahwa pada remaja hal ini diikuti pula dengan perasaan kebingungan serta kesepian karena harus cuti sekolah dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, remaja juga merasa perhatiannya orangtuanya terbagi antara dirinya dengan diagnosa penyakitnya.


(15)

5

Terutama pada saat awal didiagnosa, orangtua remaja biasanya lebih fokus pada usaha mencari pengobatan yang paling tepat, serta masalah finansial terkait pengobatan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa diagnosis kanker terhadap remaja penderita ini tidak hanya mempengaruhi mereka dalam hal fisik, tetapi juga emosi, mental, dan hubungan mereka dengan orang lain, baik dengan orangtua, saudara, maupun teman-teman mereka. Selain itu, dampak psikologis lain yang biasa dirasakan remaja penderita kanker di masa yang akan datang adalah ketakutan untuk mengungkapkan kepada pasangan mengenai penyakitnya, kondisi fisiknya (perubahan pada wajah yang menjadi bulat/moon face dan menghitam akibat proses kemoterapi), dan juga adanya kemungkinan bahwa dirinya mandul akibat proses pengobatan yang telah dijalani.

Penyakit kanker dipandang sebagai ‘momok’ yang menakutkan karena sifatnya yang mematikan, yang dihayati remaja penderita kanker sebagai keadaan yang menekan atau stressful. Hal ini disampaikan oleh FR (16 th), remaja penderita leukemia, yang menyatakan bahwa sejak didiagnosa kanker satu tahun yang lalu, ia mulai menutup diri dari teman-temannya. FR bahkan merasa risih saat kedua kakaknya menunjukkan perhatian padanya. Menurut FR, ia seperti merasa dikasihani dan ia tidak menyukai perasaan tersebut. Perubahan fisik yang ia alami, seperti rambut rontok, berat badan yang bertambah akibat pengaruh obat, serta bentuk muka yang membulat membuatnya malu diperhatikan oleh orang lain. FR yang sudah setahun tidak bersekolah, berencana mencari sekolah lain apabila proses pengobatannya sudah selesai, karena ia tidak ingin teman-teman di sekolahnya mengetahui penyakitnya.


(16)

6

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Pada kenyataannya, hal ini tidak dialami oleh semua remaja penderita kanker. IR, seorang remaja penderita leukemia yang sedang menjalani rawat inap di RS “X”, Jakarta, mengakui bahwa saat awal dirinya didiagnosis menderita leukemia adalah saat yang berat. Orangtuanya menjadi tidak fokus terhadap dirinya karena mereka juga merasa shock dengan diagnosis tersebut, padahal saat itu ia merasa sangat membutuhkan dukungan dari ayah dan ibunya. Selain itu, karena harus menjalani proses pengobatan yang panjang, ia pun harus menahan kerinduannya terhadap sekolah. Meskipun demikian, IR mengaku menjadi lebih dekat dengan teman-temannya. Hubungan melalui telepon maupun pesan singkat senantiasa ia lakukan untuk menjaga kedekatannya dengan teman-teman. Ia juga dapat memahami apabila temannya jarang menjenguknya karena jarak antara tempat tinggal dengan Rumah Sakit yang jauh.

Remaja penderita leukemia lainnya, JR (18 th), datang jauh dari kota asalnya Kupang untuk menjalani pengobatan di RS “X”, Jakarta. JR mengungkapkan ketakutannya mengenai proses pengobatan yang panjang, terutama kemoterapi dan dampak yang ditimbulkan dari kemoterapi tersebut. Namun demikian, JR mengaku memilih berpikir positif dan fokus saja kepada proses pengobatan yang dijalankan, karena keinginannya yang kuat untuk sembuh. JR yang saat didiagnosis leukemia, baru saja hendak mengikuti Ujian Akhir Nasional untuk lulus SMU, juga percaya bahwa Tuhan punya rencana yang lebih baik untuknya. Ia yakin setelah menjalani pengobatan, ia dapat mengejar kembali ketertinggalannya di sekolah. Ia juga sangat berterimakasih kepada ibunya yang senantiasa menemaninya menjalani seluruh proses yang dihadapi.


(17)

7

Selama menjalani pengobatan, JR mengaku semakin dekat dengan ibunya dan dapat mengungkapkan perasaannya kepada ibu.

Hasil bincang-bincang dengan remaja penderita lainnya, YD (14 th) yang bercita-cita untuk menjadi ustad, diketahui bahwa ia memiliki ketakutan yang serupa dengan JR yaitu terhadap proses pengobatan yang harus dilalui. Meskipun demikian, semangat YD yang tinggi untuk sembuh serta perhatian yang selalu ditunjukkan oleh ayahnya yang setia menemani di RS membuat YD pantang menyerah terhadap penyakitnya. Semangatnya ini juga tampak ketika ia mengikuti Ujian Akhir Nasional di sekolahnya walau telah dinyatakan leukemia. Menurut YD, ia tidak mau membuang-buang waktu di saat masih memiliki kesempatan untuk lulus sekolah. Semua proses pengobatan juga ia jalani tanpa banyak mengeluh. Bahkan saat ditanyakan perubahan apa yang ia rasakan sebelum dan sesudah sakit, ia menjawab bahwa kini ia merasa lebih segar.

FB (17 th), seorang remaja penderita osteosarkoma, menyatakan bahwa ia kelelahan karena harus menjalani proses pengobatan yang panjang. Meskipun demikian, ia berupaya untuk tidak berlarut-larut merasakan ketakutan akibat penyakitnya. Ia berserah diri kepada Tuhan dan berusaha menerima kenyataan bahwa kanker tulang yang dideritanya telah menggerogoti badannya, sehingga ia mengalami lumpuh pada pinggang dan harus duduk di kursi roda. Proteksi yang berlebihan dari orangtuanya, yang mana orangtuanya senantiasa melayaninya bahkan untuk hal-hal kecil seperti makan dan merawat diri, dipandangnya sebagai cara orangtuanya menunjukkan perhatian terhadap dirinya. Kepada teman-teman di RS dan kakak relawan yang datang, FB menunjukkan kehangatan dan


(18)

8

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

keramahan yang luar biasa. Ia pun dapat membuka diri dengan sharing kepada teman sesama penderita dan merasa lega ketika mengetahui bahwa teman-temannya pun mengalami hal yang sama dengannya.

Dari hasil survey awal terhadap lima remaja penderita kanker di atas, terlihat adanya perbedaan sikap dari masing-masing remaja dalam menghadapi penyakitnya. Meskipun kelimanya memiliki ketakutan yang hampir sama terhadap proses pengobatan yang panjang, serta adanya perasaan yang tidak menyenangkan seperti merasa dikasihani atau menjadi tergantung dengan orangtua, namun empat diantaranya menunjukkan semangat yang tinggi untuk sembuh. Mereka juga masih dapat menunjukkan kehangatan dan keterbukaan dalam relasinya dengan teman-teman dan pihak lain yang ditemuinya di RS saat menjalani pengobatan, memandang masa depannya secara positif terlepas dari penyakit kanker yang dideritanya saat ini, serta yakin dapat mencapai cita-cita. Mereka juga menyadari bahwa dukungan yang mereka terima bukan hanya berasal dari orangtua, tetapi juga dari pihak lain seperti teman-teman sesama penderita dan kakak relawan.

Kelimanya memang menunjukkan kebutuhan untuk mendapat dukungan dan perhatian dari orang-orang terdekatnya. Hal ini dikarenakan padatnya proses pengobatan yang harus dijalani, yang membuat lingkup aktivitas remaja penderita kanker pun semakin terbatas. Kelelahan yang dialami setelah menjalani proses pengobatan, serta ragam aktivitas di rumah sakit yang tidak banyak tersedia untuk remaja, membuat mereka lebih sering memikirkan mengenai penyakitnya serta kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Kondisi ini menjadi


(19)

9

semakin parah ketika ada teman sekamar mereka yang meninggal dunia. Kehadiran orang-orang terdekat maupun pihak lain yang terkait dengan remaja penderita kanker dapat dihayati sebagai penghiburan di tengah-tengah penyakit serta rutinitas pengobatan yang mereka jalani, serta merupakan bentuk dukungan yang paling nyata dari pihak di luar diri remaja itu sendiri. Dari dalam diri remaja penderita kanker juga diperlukan semangat untuk sembuh yang tinggi, yang dapat membantu mereka agar lebih optimis dalam menjalani proses pengobatan yang melelahkan.

Penyakit kanker yang dipandang sebagai suatu keadaan yang menekan dan stressful bagi remaja penderita karena sifatnya yang mematikan dan tidak dapat dihindari, memiliki peluang besar untuk dihayati sebagai stressful event (adversity). Padahal dalam kenyataannya, remaja penderita kanker ini diharapkan dapat tetap berfungsi secara optimal dalam lingkungannya untuk memenuhi tugas perkembangannya sebagai remaja, serta memenuhi harapan orang lain terhadap diri mereka. Oleh karena itu, remaja penderita kanker perlu mengembangkan suatu kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan mampu melakukan fungsi mereka dengan baik, meskipun mereka berada dalam situasi yang menekan dan stressful. Kemampuan ini disebut dengan resiliency (Benard, 1991).

Resiliency merupakan suatu konsep yang termanifestasi dalam personal strengths, yang dapat diukur dan diamati. Personal strengths adalah suatu karakteristik individual, yang disebut pula asset internal atau kompetensi personal, yang terkait dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan dalam hidup. Remaja penderita kanker yang resilient tidak tenggelam dalam kesedihan


(20)

10

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

dan ketakutan yang berlarut-larut akibat penyakitnya, seperti FB yang memaklumi proteksi berlebihan dari orangtuanya sebagai bentuk penghargaannya terhadap dukungan dari orangtua, juga JR dan YD yang berterimakasih terhadap ibu dan ayah yang senantiasa menemani di RS (Social Competence: Empathy & Caring). Ketiganya juga menunjukkan keterbukaan dan keramahan saat berhadapan dengan teman-teman sesama remaja penderita dan juga kakak relawan di RS (Social Competence: Responsiveness, Communication). Hal lain juga tampak dari pengertian IR terhadap teman-temannya yang belum dapat menjenguknya di RS (Social Competence: Forgiveness), FB yang berusaha ikhlas menerima kenyataan bahwa dirinya kini lumpuh (Sense of Pupose and Bright Future: Faith, Spirituality, & Sense of Meaning), serta JR dan YD yang yakin dapat mencapai cita-citanya di kemudian hari (Sense of Purpose and Bright Future: Optimism & Hope). Remaja penderita kanker yang resilient menunjukkan semangat yang tinggi untuk sembuh.

Dalam perkembangannya, resiliency dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor pendukung dan faktor penghambat yang berpengaruh pada kemampuan mereka untuk resilient. Faktor pendukung yang dimaksud adalah kehadiran orang lain yang berarti baginya, yang dapat berasal dari keluarga, sekolah, dan komunitas remaja penderita kanker. RS “X”, Jakarta, merupakan salah satu komunitas yang dekat dengan kehidupan remaja penderita kanker. Di RS ini, sasaran dari pengobatan kanker pada anak dan remaja bukan hanya mengatasi kankernya, tetapi juga membantu agar mereka dapat terus berfungsi dalam lingkungan sesuai dengan tingkatan usianya. Selain pentingnya mendukung dan


(21)

11

menghibur remaja penderita kanker, penting juga untuk memelihara hidup mereka senormal mungkin (Erwin Fauzi, koordinator relawan Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia).

Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan resiliency remaja penderita kanker adalah faktor penghambat, yang kehadirannya dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya dampak negatif pada diri mereka. Faktor-faktor tersebut antara lain kurangnya pengetahuan mengenai kanker, masalah yang dihadapi dengan teman-teman maupun sekolah, serta masalah finansial. Faktor penghambat dapat dinetralisir dengan adanya faktor pendukung yang telah dikemukakan di atas, namun jika faktor pendukung dirasa kurang oleh remaja penderita kanker maka faktor penghambat akan memiliki pengaruh yang lebih besar.

Jika remaja penderita kanker menganggap penyakit kanker dan faktor-faktor yang menghambatnya sebagai sesuatu yang membebani diri mereka, maka mereka akan banyak mengeluh dan menyalahkan keadaan, bahkan menutup diri dari lingkungannya. Sebaliknya, apabila faktor pendukung yang berupa kehadiran orang-orang terdekatnya dirasa sebagai pemacu semangat mereka untuk sembuh maka remaja penderita kanker dapat beradaptasi, bahkan mencapai hal yang lebih baik dalam masa-masa pengobatannya, serta berfungsi secara positif dalam lingkungannya. Hal ini ditunjukkan dengan semangat yang tinggi untuk sembuh, disiplin menjalani pengobatan, mampu mencari sumber penyelesaian masalah, dan bersikap hangat kepada orang lain.

Pada penelitian ini, resiliency diukur derajatnya melalui kuesioner yang telah dikembangkan peneliti dari berbagai aspek personal strengths yang ada,


(22)

12

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

yang kemudian menjadi indikator dari setiap item. Kepada lima orang remaja penderita kanker di RS “X”, Jakarta, telah diberikan kuesioner ini dan hasil yang didapat adalah yang satu orang memiliki derajat resiliency yang tinggi, sedangkan empat orang lainnya memiliki derajat resiliency yang cenderung tinggi. Dari hasil yang didapat, diketahui bahwa kelimanya masih mampu berfungsi dengan baik di tengah penyakit yang dideritanya, dalam rangka memenuhi harapan yang muncul dari lingkungannya. Meskipun demikian, dari hasil observasi peneliti selama survey awal, terdapat pula beberapa remaja yang masih kurang adaptif, yang mana remaja tersebut menolak bergaul dengan remaja lainnya, mengurung diri di kamar, dan juga bersikap kurang ramah pada kakak-kakak relawan yang menjenguknya. Hal ini dapat menjadi salah satu indikator bahwa ia belum mengembangkan resiliency yang tinggi dan memadai, untuk dapat menyesuaikan diri dengan penyakit yang dideritanya.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat resiliency remaja penderita kanker adalah dengan menyediakan dukungan yang sesuai bagi remaja penderita. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti pada tahun 2008 mengenai Resiliency pada anak-anak penderita Leukemia yang berusia 6 – 12 tahun di RS “X”, Jakarta, didapat data bahwa dari tiga responden, sebanyak dua responden memiliki derajat resiliency yang cenderung tinggi dan satu lainnya memiliki derajat resiliency yang tinggi. Derajat yang tinggi terutama ditunjukkan dalam aspek social competence dan sense of purpose and bright future. Hal ini berkaitan erat dengan tingginya kepedulian dan kasih sayang yang diberikan oleh orangtua, sekolah, dan RS serta komunitas tempat mereka


(23)

13

dirawat, yang termasuk dalam faktor pendukung. Data ini menguatkan pernyataan mengenai kehadiran orang lain yang berarti bagi penderita, yang memberi pengaruh positif bagi perkembangan resiliency-nya.

Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan remaja penderita kanker terhadap dukungan yang optimal adalah dengan mengembangkan relasi yang dapat membantu mereka dalam usahanya menyesuaikan diri dengan penyakitnya (helping relationship). Helping relationship bertujuan untuk membantu helpee bertumbuh ke arah tujuan yang hendak dicapainya, serta meningkatkan kapasitasnya untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup. Bentuk helping relationship yang dapat dilakukan pada remaja penderita kanker adalah individual counseling.

Dalam proses individual counseling, remaja penderita kanker dapat membahas seputar masalah-masalah yang dihadapi akibat penyakit yang diderita kepada konselor. Konselor juga dapat berperan sebagai penyedia informasi bagi remaja penderita kanker mengenai berbagai kemampuan yang dapat dikembangkan. Secara umum, konseling bertujuan untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan dalam diri remaja penderita kanker, agar dapat menghasilkan outcomes yang berguna baik bagi dirinya sendiri, konselor, maupun lingkungannya (Brammer, Lawrence M. & MacDonald, Ginger).

Dukungan dari konselor dan juga tim kesehatan (dokter, perawat, pekerja sosial) dapat membantu remaja penderita kanker mengatasi perasaan kesepian dan stress, dan meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Dengan kehadiran konselor, diharapkan kebutuhan remaja penderita kanker terhadap dukungan yang optimal


(24)

14

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

dapat terpenuhi melalui kepedulian dan kasih sayang dalam interaksi dengan konselor, harapan yang jelas, dan juga kesempatan bagi remaja penderita kanker untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam proses individual counseling yang diberikan oleh konselor, sehingga berdampak pula pada peningkatan kemampuannya untuk resilient.

Dukungan dapat diberikan oleh konselor selama proses individual counseling, melalui keahlian yang dimiliki konselor. Tujuan dari penerapan keahlian ini dalam proses individual counseling adalah untuk memahami permasalahan konseli, memberi support dan intervensi terhadap krisis yang dihadapi, serta mencapai perilaku positif dari konseli dalam menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi dalam hidupnya. Pada prosesnya, konseli diberikan kesempatan untuk menyampaikan pemikiran dan penghayatannya seputar perubahan yang dialaminya sejak menderita kanker, untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi konseli. Konselor dapat menerima penyampaian konseli, serta menanggapinya dengan sikap yang suportif agar konseli terdorong untuk semakin terbuka mengenai perasaannya. Dalam hal ini, konselor memberikan kesempatan kepada konseli untuk berkontribusi pada jalannya proses individual counseling (opportunities for participation and contribution) dan juga menunjukkan kepedulian terhadap masalah yang dihadapi konseli agar ia merasa dipahami (caring relationship).

Seiring dengan semakin jelasnya masalah yang dihadapi konseli, konseli dan konselor bersama-sama menetapkan tujuan yang hendak dicapai di akhir proses individual counseling. Hal ini penting dilakukan secara bersama-sama agar


(25)

15

konseli juga mengambil tanggung-jawab untuk menyelesaikan permasalahannya, berbekal adanya kepercayaan dari konselor mengenai kemampuan konseli untuk mencapainya (high expectations). Oleh karena itu, proses individual counseling merupakan salah satu bentuk protective factors yang dapat diberikan kepada remaja penderita kanker di Rumah Sakit “X”, Jakarta.

Hal ini menjadi titik tolak bagi peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai efektivitas individual counseling dalam usaha meningkatkan derajat resiliency pada remaja penderita kanker di RS “X”, Jakarta. Studi ini merupakan studi kasus yang menggunakan Individual counseling dengan Stages of Helping Relationship dari Brammer.

1.2. Identifikasi Masalah

Masalah dalam penelitian ini adalah apakah individual counseling efektif dalam usaha meningkatkan derajat resiliency pada remaja penderita kanker di RS “X”, Jakarta.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai efektivitas individual counseling dalam kaitannya dengan usaha meningkatkan derajat resiliency remaja penderita kanker di RS “X”, Jakarta.


(26)

16

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah individual counseling sebagai salah satu usaha penyedia protective factors efektif dalam meningkatkan derajat Resiliency remaja penderita kanker di RS “X”, Jakarta, yang diukur melalui ke-empat aspeknya, yaitu social competence, problem-solving skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi:

• Ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Klinis, untuk memperdalam pemahaman dan memperkaya pengetahuan Psikologi mengenai Resiliency pada Remaja Penderita Kanker

• Sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain yang hendak melakukan penelitian mengenai Resiliency pada Remaja Penderita Kanker, ataupun topik lain yang serupa

1.4.2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:

RS “X”, Jakarta, khususnya remaja penderita kanker, mengenai Resiliency untuk membantu dalam menyesuaikan diri dengan penyakitnya dan tetap dapat memenuhi harapan lingkungan terhadap dirinya


(27)

17

• Para orangtua dari remaja penderita kanker, memberi pemahaman mengenai Resiliency agar mereka dapat memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan anak remajanya di tengah-tengah usahanya berdamai dengan kenyataan bahwa ia mengidap kanker

1.5. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan desain penelitian Case Study (Single Case) Pre-Post Test Design. Case Study adalah penelitian yang dilakukan dengan pengamatan secara mendalam pada suatu kelompok atau individu, sedangkan Pre-Post Test Design menjelaskan perbedaan dua kondisi sebelum dan sesudah intervensi dilakukan (Graziano & Laurin, 2000).


(28)

138

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektivitas individual counseling dalam usaha meningkatkan derajat Resiliency pada remaja penderita kanker di Rumah Sakit “X”, Jakarta, maka didapat kesimpulan sebagai berikut:

1. Individual counseling pada penelitian ini efektif dalam

meningkatkan derajat Resiliency subjek yang merupakan remaja penderita kanker di Rumah Sakit “X”, Jakarta. Hal ini terlihat dari peningkatan skor di masing-masing personal strengths, yang bergerak dari Cenderung Tinggi ke Tinggi pada aspek Social Competence, Problem Solving Skills, dan Autonomy, serta Tinggi ke Tinggi dengan tetap disertai peningkatan skor pada aspek Sense of Purpose and Bright Future.

2. Proses individual counseling serta peran konselor dihayati subjek sebagai protective factors yang memberinya dukungan dalam hal informasi dan juga caring relationship, yang mana subjek memandang konselor sebagai teman untuknya berbagi cerita dan mengungkapkan perasaan. Selain itu, konselor juga memberi high expectation kepada subjek yang mengarahkan perilakunya kepada tujuan yang hendak dicapai.


(29)

139

3. Derajat Resiliency yang dimiliki subjek ditingkatkan dengan fokus pada upaya meningkatkan salah satu personal strengths yang masih kurang optimal, yang mana pada penelitian ini personal strengths tersebut adalah Social Competence. Hal ini diketahui dari hasil pre-test dan juga penggalian masalah subjek yang dilakukan pada tahap Clarification dan Exploration.

4. Dengan meningkatkan aspek Social Competence subjek, maka secara keseluruhan terjadi peningkatan secara signifikan pada derajat Resiliency subjek. Hal ini juga terlihat dari peningkatan pada penyebaran setiap sub aspek dari personal strengths, terutama sub aspek Compassion, Altruism, & Forgiveness dari Social Competence dan juga sub aspek Flexibility dari Problem Solving Skills.

5. Pada proses individual counseling yang dilakukan, konselor banyak melakukan Leading skills (Indirect Leading, Direct Leading, Focusing, dan Questioning) dan Informing skills (Advising dan Informing). Hal ini terkait dengan usia subjek yang masih berada dalam tahap remaja, yang mana ia membutuhkan arahan yang jelas di setiap sesi yang dilakukan. Dengan kedua skill ini, konselor berhasil menggiring subjek dalam mencapai insight yang berbeda-beda di setiap sesinya.


(30)

140

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disarankan beberapa hal berikut:

5.2.1. Saran Teoretis

1. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk mengambil kelompok usia yang berbeda, misalnya anak-anak maupun dewasa, yang ditujukan untuk pengembangan penelitian di bidang Psikologi Klinis.

2. Bagi peneliti lain yang tertarik dengan variabel Resiliency, dapat juga melakukan penelitian dengan bentuk intervensi lain, misalnya dalam group counseling.

3. Bagi peneliti yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya pada penderita terminal illness, maka sangat disarankan untuk memiliki tenggang waktu penelitian yang cukup panjang dikarenakan perlu adanya penyesuaian waktu dengan kondisi kesehatan dan proses pengobatan subjek.

4. Dalam metode penelitian kualitatif, khususnya studi kasus/single case, sangat diperlukan fleksibilitas dari peneliti saat melaksanakan tahapan-tahapan individual counseling yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan proses individual counseling yang berjalan sangat dipengaruhi oleh kondisi subjek itu sendiri, serta intervening variable yang sulit dikontrol oleh peneliti, seperti


(31)

141

kondisi lingkungan sekitar rumah sakit dan perubahan jadwal pengobatan.

5.2.2. Saran Guna Laksana

1. Pada remaja penderita kanker, keberhasilan dalam proses individual counseling didasari oleh adanya rasa nyaman dan percaya kepada konselor. Diperlukan waktu pendekatan yang relatif panjang untuk melakukan good rapport, yang bertujuan untuk membangun kepercayaan diri subjek sehingga proses individual counseling dapat berjalan lancar.

2. Bagi konselor, sangat penting untuk terus mengembangkan kepekaan terhadap kondisi sosio-emosional subjek selama proses individual counseling berlangsung. Hal ini penting untuk menjaga situasi kondusif dalam proses individual counseling dan relasi konselor-konseli pada tahapan selanjutnya.

3. Untuk orangtua dan wali dari remaja penderita kanker, diharapkan tetap dapat memberikan dukungan kepada remaja terkait dengan kebutuhannya terhadap protective factors, untuk caring relationship dapat melalui keterbukaan untuk mendengarkan keluhan remaja mengenai kesulitan yang dialaminya serta memberi perhatian yang sesuai dengan kebutuhannya, kemudian untuk high expectation dengan menyampaikan harapan yang jelas mengenai tujuan yang perlu dicapai remaja, dan untuk opportunities for


(32)

142

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha participation and contribution melalui kesempatan yang diberikan kepada remaja untuk dapat mengurus dirinya sendiri, menyuarakan pendapat dan pemikirannya mengenai kebutuhan yang dimiliki, serta melakukan lingkup aktivitas senormal mungkin di luar proses pengobatan yang dijalaninya.

4. Untuk dokter dan perawat di Rumah Sakit “X”, Jakarta, diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang memadai bagi remaja penderita kanker dan keluarganya. Diharapkan dalam pemberian informasi tersebut, para dokter dan perawat dapat bersikap lebih luwes dalam menyampaikan informasi serta memastikan bahwa informasi tersebut telah diterima dan dimengerti dengan baik.


(33)

DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 1991. Fostering Resilience in Kids: Protective Factors in The Family, School, and Community. Portland, OR: Northwest Regional Educational Laboratory.

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned. San Fransisco: WestEd.

Brammer, Lawrence M., MacDonald, Ginger. 2003. The Helping Relationship:

Process and Skills 8th edition. United States of America: Allyn & Bacon.

Eiser, Christine. 2004. Children With Cancer: The Quality of Life. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Graziano, Anthony M., Raulin, Michael L. 2000. Research Methods: A Process of Inquiry. United States of America: Allyn & Bacon.

Himawan, dr. Sutisna. 1994. Patologi: Neoplasma. Jakarta: Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lazarus, Richard S., Folkman, Susan. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company, Inc.

Napier, Rodney W., Gershenfeld, Matti K. 1993. Groups: Theory and Experience. United States of America: Houghton Mifflin Company.

Santrock, John W. 1996. Adolescence 6th edition. Jakarta: Erlangga.

Taylor, Shelley E. 1995. Health Psychology 3rd edition. Los Angeles: McGraw-Hill, Inc.

Werner, Emmy E., Smith, Ruth S. 2001. Journeys from Childhood to Midlife: Risk, Resilience, and Recovery. New York: Cornell University Press


(34)

144

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Elisabeth, C. Ruth. Maret 2007. Kisah Sejati dalam Majalah Wanita Mingguan FEMINA no.10. Jakarta: PT. Grafika Multi Warna.

Indra, Fanny. 2008. Studi Kasus mengenai Resiliency pada Anak-anak Penderita Leukemia yang Berusia 6 – 12 tahun di Rumah Sakit ”X”, Jakarta. Skripsi, Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Kurniasih, Heni. Februari 2004. Kisah Rio Melawan Kanker. GATRA.

Richman, Jack M., Fraser, Mark W. 2003. Working Paper on Risk, Protection, and Resilience in Childhood.

Tehuteru SpA., dr. Eddy S. Juli 2006. Waspadai Kanker pada Anak. KOMPAS. Vivekananda, Ni Luh Ayu. 2010. Uji Coba Program Konseling Kelompok Untuk

Meningkatkan Educational Resiliency Pada Mahasiswa Yang Mengontrak Mata Kuliah Usulan Penelitian di Fakultas Psikologi Universitas ”X”, Bandung. Thesis, Bandung: Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

http://www.cancer.gov/ http://ctb.ku.edu/

http://www.fajar.co.id/news/ http://www.mediaraharja.com/read/

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/kesehatan/ http://www.tabloidnova.com/


(1)

3. Derajat Resiliency yang dimiliki subjek ditingkatkan dengan fokus pada upaya meningkatkan salah satu personal strengths yang masih kurang optimal, yang mana pada penelitian ini personal strengths tersebut adalah Social Competence. Hal ini diketahui dari hasil pre-test dan juga penggalian masalah subjek yang dilakukan pada tahap Clarification dan Exploration.

4. Dengan meningkatkan aspek Social Competence subjek, maka secara keseluruhan terjadi peningkatan secara signifikan pada derajat Resiliency subjek. Hal ini juga terlihat dari peningkatan pada penyebaran setiap sub aspek dari personal strengths, terutama sub aspek Compassion, Altruism, & Forgiveness dari Social Competence dan juga sub aspek Flexibility dari Problem Solving Skills.

5. Pada proses individual counseling yang dilakukan, konselor banyak melakukan Leading skills (Indirect Leading, Direct Leading, Focusing, dan Questioning) dan Informing skills (Advising dan Informing). Hal ini terkait dengan usia subjek yang masih berada dalam tahap remaja, yang mana ia membutuhkan arahan yang jelas di setiap sesi yang dilakukan. Dengan kedua skill ini, konselor berhasil menggiring subjek dalam mencapai insight yang berbeda-beda di setiap sesinya.


(2)

140

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disarankan beberapa hal berikut:

5.2.1. Saran Teoretis

1. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk mengambil kelompok usia yang berbeda, misalnya anak-anak maupun dewasa, yang ditujukan untuk pengembangan penelitian di bidang Psikologi Klinis.

2. Bagi peneliti lain yang tertarik dengan variabel Resiliency, dapat juga melakukan penelitian dengan bentuk intervensi lain, misalnya dalam group counseling.

3. Bagi peneliti yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya pada penderita terminal illness, maka sangat disarankan untuk memiliki tenggang waktu penelitian yang cukup panjang dikarenakan perlu adanya penyesuaian waktu dengan kondisi kesehatan dan proses pengobatan subjek.

4. Dalam metode penelitian kualitatif, khususnya studi kasus/single case, sangat diperlukan fleksibilitas dari peneliti saat melaksanakan tahapan-tahapan individual counseling yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan proses individual counseling yang berjalan sangat dipengaruhi oleh kondisi subjek itu sendiri, serta intervening variable yang sulit dikontrol oleh peneliti, seperti


(3)

kondisi lingkungan sekitar rumah sakit dan perubahan jadwal pengobatan.

5.2.2. Saran Guna Laksana

1. Pada remaja penderita kanker, keberhasilan dalam proses individual counseling didasari oleh adanya rasa nyaman dan percaya kepada konselor. Diperlukan waktu pendekatan yang relatif panjang untuk melakukan good rapport, yang bertujuan untuk membangun kepercayaan diri subjek sehingga proses individual counseling dapat berjalan lancar.

2. Bagi konselor, sangat penting untuk terus mengembangkan kepekaan terhadap kondisi sosio-emosional subjek selama proses individual counseling berlangsung. Hal ini penting untuk menjaga situasi kondusif dalam proses individual counseling dan relasi konselor-konseli pada tahapan selanjutnya.

3. Untuk orangtua dan wali dari remaja penderita kanker, diharapkan tetap dapat memberikan dukungan kepada remaja terkait dengan kebutuhannya terhadap protective factors, untuk caring relationship dapat melalui keterbukaan untuk mendengarkan keluhan remaja mengenai kesulitan yang dialaminya serta memberi perhatian yang sesuai dengan kebutuhannya, kemudian untuk high expectation dengan menyampaikan harapan yang jelas mengenai


(4)

142

participation and contribution melalui kesempatan yang diberikan kepada remaja untuk dapat mengurus dirinya sendiri, menyuarakan pendapat dan pemikirannya mengenai kebutuhan yang dimiliki, serta melakukan lingkup aktivitas senormal mungkin di luar proses pengobatan yang dijalaninya.

4. Untuk dokter dan perawat di Rumah Sakit “X”, Jakarta, diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang memadai bagi remaja penderita kanker dan keluarganya. Diharapkan dalam pemberian informasi tersebut, para dokter dan perawat dapat bersikap lebih luwes dalam menyampaikan informasi serta memastikan bahwa informasi tersebut telah diterima dan dimengerti dengan baik.


(5)

Family, School, and Community. Portland, OR: Northwest Regional Educational Laboratory.

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned. San Fransisco: WestEd.

Brammer, Lawrence M., MacDonald, Ginger. 2003. The Helping Relationship:

Process and Skills 8th edition. United States of America: Allyn & Bacon.

Eiser, Christine. 2004. Children With Cancer: The Quality of Life. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Graziano, Anthony M., Raulin, Michael L. 2000. Research Methods: A Process of Inquiry. United States of America: Allyn & Bacon.

Himawan, dr. Sutisna. 1994. Patologi: Neoplasma. Jakarta: Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lazarus, Richard S., Folkman, Susan. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company, Inc.

Napier, Rodney W., Gershenfeld, Matti K. 1993. Groups: Theory and Experience. United States of America: Houghton Mifflin Company.

Santrock, John W. 1996. Adolescence 6th edition. Jakarta: Erlangga.

Taylor, Shelley E. 1995. Health Psychology 3rd edition. Los Angeles: McGraw-Hill, Inc.

Werner, Emmy E., Smith, Ruth S. 2001. Journeys from Childhood to Midlife: Risk, Resilience, and Recovery. New York: Cornell University Press


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Elisabeth, C. Ruth. Maret 2007. Kisah Sejati dalam Majalah Wanita Mingguan FEMINA no.10. Jakarta: PT. Grafika Multi Warna.

Indra, Fanny. 2008. Studi Kasus mengenai Resiliency pada Anak-anak Penderita Leukemia yang Berusia 6 – 12 tahun di Rumah Sakit ”X”, Jakarta. Skripsi, Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Kurniasih, Heni. Februari 2004. Kisah Rio Melawan Kanker. GATRA.

Richman, Jack M., Fraser, Mark W. 2003. Working Paper on Risk, Protection, and Resilience in Childhood.

Tehuteru SpA., dr. Eddy S. Juli 2006. Waspadai Kanker pada Anak. KOMPAS. Vivekananda, Ni Luh Ayu. 2010. Uji Coba Program Konseling Kelompok Untuk

Meningkatkan Educational Resiliency Pada Mahasiswa Yang Mengontrak Mata Kuliah Usulan Penelitian di Fakultas Psikologi Universitas ”X”, Bandung. Thesis, Bandung: Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

http://www.cancer.gov/ http://ctb.ku.edu/

http://www.fajar.co.id/news/ http://www.mediaraharja.com/read/

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/kesehatan/ http://www.tabloidnova.com/