Gambaran Persahabatan pada Remaja Penderita Leukemia

(1)

GAMBARAN PERSAHABATAN PADA REMAJA

PENDERITA LEUKEMIA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

AYU WARDANI

061301043

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2010/2011


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan

sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

GAMBARAN PERSAHABATAN PADA REMAJA PENDERITA

LEUKEMIA

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, September 2010

AYU WARDANI NIM 061301043


(3)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008

Ayu Wardani : 061301043

Gambaran Persahabatan pada Remaja Penderita Leukemia X + 174 halaman + 3 Tabel + 2 Lampiran

Bibliografi (1978-2006)

Persahabatan adalah hubungan dyadic, personal dan informal, dimana melibatkan hubungan timbal balik dan adanya saling ketertarikan, yang disengaja, bertahan lama dan positif, dan tidak melibatkan seksualitas (Auhagen, dalam Fraser & Burchell, 2004). Persahabatan yang diberikan kepada penderita leukemia akan membantu mereka untuk coping dengan permasalahan-permasalahan yang muncul disebabkan penyakitnya, dimana sahabat akan menghabiskan waktu bersama, sahabat memberikan informasi, kegembiraan, dan hiburan, sahabat juga dapat bertindak sebagai sumber bantuan, sumber dukungan, dan sumber semangat, dan lain-lain (Gottman & Parker, dalam Santrock, 2002). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia. Pengambilan data menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden sebanyak tiga orang remaja yang menderita leukemia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan fungsi utama persahabatan pada saat sebelum dan setelah menderita leukemia. Fungsi utama persahabatan setelah emnderita leukemia adalah sebagai sumber stimulation dan ego support. Kata Kunci : Persahabatan, Leukemia


(4)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah segala puji penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat merampungkan skripsi ini serta salawat beriring salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi USU. 2. Ibu Silviana Realyta selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar,

telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan memberikan petunjuk, saran, semangat untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Ibu Eka Ervika, M. Si sebagai pembimbing akademis, dan Ibu Silviana Realyta sebagai pembimbing skripsi, terima kasih untuk masukan, saran, kesempatan dan waktunya.

4. Keluarga besar Psikologi USU. Pak Iskandar, Pak Aswan, Kak Ari, Kak Devi, Bang Ronal dan Kak Ade. Terima kasih untuk waktu serta jawaban-jawaban ketika saya bertanya.

5. Keluarga besar tersayang khususnya untuk Bapak Mulyono dan Mamak Maimunah yang telah memberikan kehidupan dan memberikan dukungan serta kepercayaan hingga peneliti bisa sampai pada tahap ini. Kakak-kakakku Iwan-Yani, Yuni-Roy, Budi-Linda, dan Dedi yang telah memberikan berbagai “bantuan”, baik yang membuat peneliti tertawa ataupun menangis.

6. Hardiansyah (calon sarjana tekhnik), terima kasih atas segala bentuk dukungan yang diberikan kepada peneliti sehingga memudahkan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabatku Eky, Indah, dan Yasra, terima kasih atas bantuan, dukungan, gosip-gosip dan semua cerita yang menghibur dan membuat peneliti tetap berada pada jalur kewarasan. Teman-teman seperjuangan angkatan 2006, Paidi, Jimmy, Dini, Imel, Mute’, Yeni, Daeng, Rosya, Ulfah, Fenny, Retnata, Wira dan masih banyak lagi yang tidak dapat


(5)

penulis sebutkan satu per satu atas perhatian, saran, kritik, bantuan secara fisik maupun psikologis yang sangat berarti bagi penulis.

8. Teman-teman semua, Adib (brontosaurus), Ucub (mBar), Taufan, Redo, Fajar, Ishak, Freddy, Irfan, Alvin, Mira, Sharfina, Dinda, Jannah, dan teman-teman lain yang telah bersedia mendengarkan keluh kesah penulis serta memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga di Tangerang, tante Dewi, oom Popeye, tante Dian, oom Hari, oom Etet, makasih udah mau nerima dan menganggap peneliti keluarga walaupun kita hanya kenal selama beberapa minggu. Keluarga di Jakarta, Pak Jono, Bu Atik, Bu Iyah, Bang Bobby, yang mau membantu peneliti walaupun tidak benar-benar mengenal peneliti. Pihak Rumah Sakit Kanker Dharmais, Dr. Slamet, pak Kiki, mbak Hilfah, mas Pri, dan perawat-perawat lantai 4, lantai 5, dan ruangan RIM.

10.Partisipan penelitian , pasien dan keluarga pasien Rumah Sakit Kanker Dharmais, Kak Aini, Kiki (Aa’), Ade, Ardi, Ayu, Rifka, Joshua, Ido, Jamur, Mas Tri, Pak Haji, dan lainnya yang tidak bisa peneliti sebutkan satu per satu yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk peneliti. 11.Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah

memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini serta penulis berharap kiranya hasil dari penelitan ini nantinya dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi

Medan, September 2010 Penulis.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

KATAPENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian... 9

1. Manfaat teoritis ... 9

2. Manfaat praktis... 9

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Persahabatan ... 11


(7)

3. Tahapan persahabatan... 13

4. Aturan dalam persahabatan ... 14

5. Fungsi Persahabatan... 15

B. Remaja ... 17

1. Definisi remaja ... 17

2. Tugas perkembangan remaja... 17

3. Ciri-ciri masa remaja ... 18

C. Leukemia (Kanker Darah) ... 20

1. Gambaran umum kanker ... 20

2. Definisi Leukemia ... 22

3. Faktor resiko penyebab leukemia ... 23

4. Keluhan leukemia... 24

5. Pengobatan pasien leukemia... 25

6. Kondisi psikologis yang dialami penderita leukemia ... 26

D. Persahabatan pada remaja dengan leukemia ... 28

BAB III METODE PENELITIAN A. Penelitian Kualitatif ... 32

B. Responden Penelitian ... 33

1. Karakteristik responden penelitian ... 33

2. Jumlah Partisipan Penelitian ... 34

3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian ... 34


(8)

C. Metode Pengumpulan Data ... 35

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 36

1. Pedoman wawancara ... 36

2. Alat Perekam (tape recorder) ... 37

F. Kredibilitas Penelitian ... 37

F. Prosedur Penelitian ... 39

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 39

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 40

3. Tahap Analisis Data ... 41

G. BAB IV ANALISA DATA A. Analisa Data ... 43

1. Latar belakang responden ... 43

a. Responden I ... 44

b. Responden II ... 45

c. Responden III ... 46

2. Data Observasi ... 47

a. Responden I ... 47

b. Responden II ... 50

c. Responden III ... 52

3. Data Wawancara ... 54

a. Responden I ... 54


(9)

2. Reaksi responden... 58

3. Dampak penyakit dan pengobatan ... 61

4. Persahabatan pada responden ... 62

b. Responden II ... 72

1. Riwayat kesehatan responden ... 72

2. Reaksi responden... 76

3. Dampak penyakit dan pengobatan ... 77

4. Persahabatan pada responden ... 78

c. Responden III ... 87

1. Riwayat kesehatan responden ... 87

2. Reaksi responden... 91

3. Dampak penyakit dan pengobatan ... 93

4. Persahabatan pada responden ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 108

B. Saran ... 110

1. Saran Praktis ... 110

2. Saran Penelitian Lanjutan ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identitas Diri Responden Tabel 2. Kesimpulan Hasil Penelitian


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Pedoman Wawancara LAMPIRAN B Pedoman Observasi LAMPIRAN C Lembar Persetujuan LAMPIRAN D Verbatim Wawancara


(13)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008

Ayu Wardani : 061301043

Gambaran Persahabatan pada Remaja Penderita Leukemia X + 174 halaman + 3 Tabel + 2 Lampiran

Bibliografi (1978-2006)

Persahabatan adalah hubungan dyadic, personal dan informal, dimana melibatkan hubungan timbal balik dan adanya saling ketertarikan, yang disengaja, bertahan lama dan positif, dan tidak melibatkan seksualitas (Auhagen, dalam Fraser & Burchell, 2004). Persahabatan yang diberikan kepada penderita leukemia akan membantu mereka untuk coping dengan permasalahan-permasalahan yang muncul disebabkan penyakitnya, dimana sahabat akan menghabiskan waktu bersama, sahabat memberikan informasi, kegembiraan, dan hiburan, sahabat juga dapat bertindak sebagai sumber bantuan, sumber dukungan, dan sumber semangat, dan lain-lain (Gottman & Parker, dalam Santrock, 2002). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia. Pengambilan data menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden sebanyak tiga orang remaja yang menderita leukemia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan fungsi utama persahabatan pada saat sebelum dan setelah menderita leukemia. Fungsi utama persahabatan setelah emnderita leukemia adalah sebagai sumber stimulation dan ego support. Kata Kunci : Persahabatan, Leukemia


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. LATAR BELAKANG MASALAH

Individu dalam perkembangannya melalui berbagai tahap perkembangan. Tahap yang cukup berkesan bagi sebagian besar individu adalah masa remaja. Individu mulai terbebas dari berbagai aturan yang mengikatnya sejak masa kanak-kanak ketika menginjak usia remaja. Individu juga sudah mulai merasakan pengaruh lingkungan sosial terutama teman sebaya terhadap dirinya. Kaczman dan Riva (dalam Yusuf, 2004) menyatakan bahwa masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu. Masa remaja merupakan masa yang ditandai dengan berkembangnya: (1) sikap dependen kepada orangtua kearah independen, (2) minat seksualitas, dan (3) kecenderungan untuk merenung atau memperhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika, dan isu-isu moral (Salzman & Pikunas, dalam Yusuf, 2004).

Remaja hampir selalu mengalami luapan emosi yang tinggi dalam kesehariannya, yang menjadikan kehidupan remaja dipenuhi dengan gejolak kehidupan. Hurlock (1999) menyebut gejolak tersebut dengan “badai” dan “tekanan” yang terjadi sebagai akibat dari perubahan fisik, kelenjar, serta munculnya tekanan sosial dan kondisi-kondisi baru yang harus dihadapinya. Hal-hal seperti ini yang kemudian akan membuat kehidupan remaja berkesan tetapi juga menjadikan masa remaja sebagai masa yang sulit.


(15)

Remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok daripada dengan keluarganya (Papalia, 2007). Hal ini bukan dikarenakan remaja menolak keluarganya namun lebih dikarenakan kebutuhan akan perkembangan (Larson, dalam Papalia, 2007). Orangtua juga menginginkan anak yang sudah remaja untuk dapat mandiri sehingga memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengembangkan kemandiriannya (Papalia,2007).

Teman sebaya mempunyai peran yang penting dalam kehidupan remaja. Papalia (2007) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, dan pembimbing moral bagi remaja. Kelompok teman sebaya juga merupakan tempat bagi remaja dalam mengembangkan hubungan yang akrab, yang merupakan kebutuhan bagi mereka.

Menurut Mappiare (dalam Jayantini, 2007) ketika merasa cocok dengan teman yang telah dikenalnya, seorang remaja akan membentuk berbagai macam komunitas. Salah satunya muncul bentuk ikatan yang disebut sebagai hubungan persahabatan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Papalia (2007) bahwa salah satu jenis hubungan yang dialami oleh remaja adalah persahabatan. Ikatan dalam hubungan persahabatan banyak ditemui atas dasar minat yang sama dan adanya kemiripan satu dengan lainnya.

Persahabatan merupakan hubungan yang bersifat timbal balik, seimbang, dan stabil. Remaja cenderung memilih teman yang mirip dengan mereka, baik itu dalam hal gender, ras, dan aspek-aspek lainnya. Selain itu mereka juga saling mempengaruhi satu sama lain (Papalia, 2007). Remaja dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan pribadi mereka. Mereka juga memperoleh tempat yang


(16)

memungkinkan untuk berani menyampaikan opini, kelemahan, dan memperoleh bantuan ketika berada dalam masalah (Buhrmester, dalam Papalia, 2007). Hal ini sesuai dengan pernyataan N, seorang remaja penderita leukemia:

“Dari awal, sebelum sakit, sahabat itu udah penting. Mereka yang perhatian ma kita, mereka jadi tempat curhat kita, tempat berbagi, segala macam lah....”

(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)

”… Mungkin ya, secara psikologis karena kedekatan karakter itu bisa mendekatkan orang. Jadi kami karakter kami gak jauh-jauh beda amat gitu. Kesukaanya sama, orangnya juga... Gimana ya? Kami di sekolah tuh ada 7 orang. Kami sampe-sampe dibilang genk akhwat. Emang terkadang ada marahannya tapi dikit-dikit. Jadi itu kesamaan karakter tadi yang bisa mendekatkan, kesamaan ide, nyambung di ajak ngomong, ngerti, peduli...”

(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)

Berdasarkan wawancara di atas dapat dilihat bahwa peran sahabat bagi responden itu penting. Sahabat merupakan tempat bagi responden untuk mencurahkan pikiran dan perasaannya. Menurut responden hal yang membuatnya menjalin persahabatan adalah adanya kesamaan-kesamaan diantara mereka, seperti kesamaan karakter, kesamaan ide, adanya saling pengertian, dan lain-lain.

Sahabat adalah orang yang mempunyai kedudukan tertentu dalam suatu hubungan dan biasanya menjadi prioritas utama bagi remaja. Individu akan menempatkan seseorang sebagai sahabat ketika mereka telah menaruh rasa percaya dan harapan kepada sahabat sebagai seseorang yang perhatian terhadap dirinya. Cutrona dan Rock (dalam Myers, 1996) menyatakan bahwa dengan memiliki sahabat berarti individu mempunyai seseorang yang akan siap membantu ketika mereka menghadapi masalah. Berscheid & Peplau (dalam


(17)

Myers, 1996) menemukan bahwa sahabat menjadi salah satu hal penting bagi kebahagiaan individu dan membuat hidup menjadi lebih berarti.

Remaja yang memiliki penyakit kronis berbeda dengan remaja pada umumnya. Mereka hidup dengan penyakit hampir di sepanjang kehidupannya. Mereka juga sering merasakan kesulitan dalam menerima penyakitnya. Penyakit kronis dapat mempengaruhi remaja dengan berbagai cara, misalnya remaja dengan penyakit asma memiliki keterbatasan dalam bidang olahraga. Selain itu, meskipun remaja yang memiliki penyakit kronis memiliki kemampuan sosial yang baik, mereka cenderung mengambil bagian kecil dalam aktivitas di luar rumah (Sawyer, Couper, Martin, & Kennedy, 2003). Hal ini disebabkan oleh keterbatasan fisik yang mereka alami. Misalnya saja N, dimana kondisi fisiknya yang lemah membuat N tidak dapat keluar rumah. Hal ini dikarenakan N tidak mampu bertahan pada cuaca panas yang membuat N merasa ingin pingsan. N juga terbatas dalam aktivitasnya, dimana N tidak dapat melakukan aktivitas yang banyak dilakukan oleh remaja normal lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari komunikasi personal yang dilakukan peneliti tehadap N:

”Kalo persahabatan si enggak ada. Yang berpengaruh itu karna kakak terbatas, jadi aktivitas kakak juga terbatas. Jadi itu dipengaruhi kondisi fisik kakak yang lemah. Kayak kalo cuaca panas kayak gini ni, kalo keluar bawaannya mau pingsan. Kakak juga gak bisa kerja, cuma bisa diam. Kan ada perasaan gak enak, kalo ngeliat orang kerja, kitanya cuma bisa diam...”

(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)

Diagnosa penyakit kronis pada tahap manapun dalam kehidupan akan mempengaruhi fungsi psikologis, spiritual, sosial, dan emosional individu (Cadman, et al.; Shooter, dalam Venning, Elliot, Wilson, & Kettler). Individu


(18)

dengan penyakit kronis merasa ‘berbeda’, ‘kesepian’, ‘sakit, ‘menjijikkan’, dan ‘menderita’, karena pengalaman mereka yang ‘menakutkan’, ‘keras’, ‘mengekang’, dan ‘tidak normal’ (Venning, Elliot, Wilson, & Kettler). Kondisi-kondisi tersebut akan mendorong individu untuk melakukan berbagai bentuk

coping yang adaptif, seperti mencari dukungan sosial, mencari alternatif

pengobatan, berpikir positif dan lain-lain, yang dapat mengurangi efek negatif dari penyakitnya. Namun tidak semua individu dapat melakukan coping yang adaptif. Bradford (dalam Swanston, Williams, dan Nunn, 2000) menyatakan bahwa kondisi kronis dapat mendorong pada coping yang maladaptive, seperti menutup diri, pasrah dengan penyakitnya, tidak berusaha mencari kegiatan positif, dan lain sebagainya. Coping yang maladaptif diasosiasikan dengan peningkatan intensitas penyakit yang diderita individu.

Salah satu dari sekian banyak penyakit kronis adalah leukemia. Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, yang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam sel darah tepi (Permono, dkk, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Mehta, et al (1995) menunjukkan bahwa individu dengan penyakit kronis memiliki berbagai masalah perilaku, seperti agresif, social withdrawal, kecemasan berlebihan, dan sebagainya. Hal tersebut berhubungan dengan tingkat keparahan serta durasi penyakit yang dialami individu. Seperti juga coping yang maladaptif, masalah perilaku juga dapat meningkatkan efek negatif dari penyakit. Oleh karena itu diperlukan adanya peran sahabat untuk mengurangi masalah-masalah perilaku tersebut. Hal ini sesuai


(19)

dengan penelitian yang dilakukan oleh Varni, et al (dalam Helgeson, Reynolds, Shestak, dan Wei, 2005) yang menunjukkan bahwa pada remaja dengan penyakit kronis, adanya dukungan sahabat mendorong pada masalah perilaku yang lebih sedikit.

Salah satu peran sahabat bagi individu adalah sebagai pemberi dukungan sosial (Shaffer, 2005). Seseorang yang sedang menjalani penyembuhan suatu penyakit memerlukan dukungan sosial yang seringkali sulit mereka peroleh karena tidak semua orang dapat memperoleh dukungan sosial yang ia butuhkan (Sarafino, 2006). Taylor (2003) mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat menurunkan kemungkinan penyakit, meningkatkan kecepatan untuk segera pulih dari penyakit yang diderita, dan mengurangi resiko kematian yang disebabkan oleh penyakit. Kobasa (dalam Sarafino, 2006) menambahkan bahwa dukungan sosial memiliki kemungkinan untuk dapat mengurangi rasa sakit dan mempercepat penyembuhan. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap N:

“… Ketika keluar vonis itu, seperti kita jatuh dari lantai tingkat tinggi. Ancur semuanya... Jadi butuh proses untuk mengumpulkan puing-puingnya. Dan sahabat-sahabat kakak mencoba melakukan apapun unuk membantu kakak. Dan itu membuat kakak terpacu. Kakak berpikir, mereka udah berjuang, masak aku kayak gini aja? Kasian dong perjuangannya jadi sia-sia? Jadi kakak pun berpacu dengan hal itu. Kan ada juga yang mereka sakit, tapi keluarga, teman, sahabat mereka gak ada yang peduli…”

(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)

”... Kami yang leukemia kan harus rutin transfusi darah. Pemasok-pemasoknya itu ya dari kawan-kawan kakak juga...”


(20)

... Malah kakak dapat dukungan gak hanya moril, tapi juga materiel. Mereka menyumbang darah untuk kakak, mereka menggalang dana untuk membantu kakak, ya semampu mereka.”

(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)

Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa sahabat memberikan berbagai fungsi bagi responden. Sahabat berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan responden. Sahabat membuat responden bangkit ketika didiagnosa leukemia, memberikan sumbangan dana, juga mendonorkan darah mereka untuk diberikan kepada responden.

Theofanidis (2009), mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan faktor yang sangat penting bagi individu dalam mengkonfrontasi penyakit kronis. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan pada 30 anak yang baru didiagnosa dengan kanker pada usia 8-13 tahun, menemukan adanya hubungan yang kuat dan konsisten antara penyesuaian pasien dengan dukungan dari teman. Pasien dengan penerimaan dukungan yang tinggi merasa kurang depresi, kurang cemas, memiliki

self-esteem yang lebih tinggi, dan lebih sedikit masalah perilaku dibandingkan

dengan individu yang menerima lebih sedikit dukungan dari teman (Varni, Katz, Colegrove, & Dolgin, dalam Suzuki & Kato, 2009). Hal ini juga sesuai dengan komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap salah seorang remaja penderita leukemia:

”Sebenarnya dibanding masa awal kakak didiagnosa, kondisi kakak udah sangat jauh berbeda. Kalo dulu sampe tinggal tulang sama kulit. Terus kakak juga gak bisa bergerak. Pokoknya semua kakak mulai dari nol. Tapi kakak kemudian semakin semangat, dengan adanya dukungan dari keluarga dan sahabat-sahabat kakak, kakak belajar untuk menggerakkan badan kakak. Mulai belajar dari kepala, sampai kakak bisa berjalan sampai sekarang. ”


(21)

”Itu di awal kakak didiagnosa. Rambut kakak gugur, fisik juga lemah. Itulah badan jadi kurus. Tapi yah itu, adanya sahabat-sahabat kakak membuat kakak gak merasa sendirian...”

(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)

”... kami gak pernah loosing contact. Selalu tanya kabar... Makanya walaupun gini, kakak nggak pernah merasa sendirian.”

(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melihat fenomena persahabatan yang dimiliki oleh remaja penderita leukemia. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia.

I. B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi persahabatan pada remaja penderita leukemia?

3. Aturan-aturan apa saja yang terdapat dalam persahabatan pada remaja penderita leukemia?

4. Apa fungsi persahabatan pada remaja penderita leukemia?

5. Apakah ada perubahan persahabatan pada remaja penderita leukemia?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia.


(22)

I. D. MANFAAT PENELITIAN I. D. 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam bidang psikologi, khususnya mengenai persahabatan pada remaja, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya.

I. D. 2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini secara khusus diharapkan dapat menjadi informasi bagi remaja yang menderita leukemia, untuk mengetahui peran sahabat sebagai bagian dari kebutuhan perkembangan dan sebagai faktor yang turut berperan dalam mengurangi efek negatif dari penyakit leukemia yang mereka derita. Peneliti juga berharap agar hasil penelitian ini dapat berguna bagi psikolog/konselor kesehatan, dokter, orang tua, saudara, sahabat, dan pihak-pihak lainnya yang terkait.

I. E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan ini dirancang dengan susunan sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisannya. BAB II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori mengenai persahabatan, remaja, dan leukemia.


(23)

Berisikan pendekatan yang digunakan, responden penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi

Bab ini menguraikan mengenai data pribadi partisipan, data observasi, data wawancara yang berupa analisa data perpartisipan dan interpretasinya.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai proses pengambilan keputusan pembuatan mini video pornografi. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. PERSAHABATAN II. A. 1. Definisi Persahabatan

Auhagen (dalam Fraser & Burchell, 2004), mendefinisikan persahabatan sebagai hubungan dyadic, personal dan informal, dimana melibatkan hubungan timbal balik dan adanya saling ketertarikan, yang disengaja, bertahan lama dan positif, dan tidak melibatkan seksualitas.

Menurut Corsini (2002), persahabatan adalah hubungan antara dua orang yang dikarakteristikkan dengan saling ketertarikan dan kerjasama, yang mana di dalamnya tidak terdapat ketertarikan seksual. Selanjutnya menurut Fehr (dalam Brehm, 2002), bahwa persahabatan adalah hubungan yang sifatnya personal dan suka rela, hubungan ini menyediakan keintiman dan bantuan (pertolongan), yang mana dua pihak suka satu sama lain. Basow (1992) menambahkan bahwa di dalam persahabatan terdapat kepedulian, biasanya saling berbalasan (reciprocity), saling menguntungkan, ada rasa percaya, loyalitas, dan kebutuhan.

Berdasarkan uraian di atas persahabatan adalah hubungan antara dua orang atau lebih, yang sifatnya personal dan informal, dan dikarakteristikkan dengan adanya saling ketertarikan, keintiman, kepedulian, dan juga rasa percaya, serta tidak melibatkan seksualitas.


(25)

II.A. 2. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terbentuknya Persahabatan

Terdapat beberapa faktor yang mendasari terbentuknya sebuah persahabatan (Hogg & Vaughan, 2002), yaitu:

a. Fisik yang menarik (Physical Attractiveness)

Individu yang menarik dinilai lebih positif daripada individu yang tidak menarik, bahkan bagi orang-orang yang sudah mengenal mereka.

b. Kedekatan (Proximity)

Kedekatan menjadi faktor yang berperan pada awal terbentuknya persahabatan. Menurut Festinger (dalam Hogg & Vaughan, 2002), bahwa individu akan memilih sahabat yang tinggal lebih dekat dengannya, dibandingkan individu yang tinggal lebih jauh jaraknya. Hal ini dikarenakan kedekatan bisa menghasilkan keakraban dan individu mengetahui dimana keberadaan sahabatnya saat dibutuhkan. Selain itu, kedekatan juga bisa menumbuhkan harapan untuk berlanjutnya interaksi yang telah terjalin.

c. Saling berbalasan (Reciprocity)

Saling berbalasan adalah sebuah aturan ”melakukan hal yang sama seperti yang pernah dilakukan orang lain terhadap diri individu”. Prinsip saling berbalasan ini berbeda antara satu individu dengan individu yang lain, tergantung pada attachment style, kemampuan menerima umpan balik dan harga diri serta faktor situasi.

d. Persamaan (Similarity)

Persamaan sikap dan nilai adalah faktor paling penting dalam ketertarikan. Persamaan ini bisa dalam hal penampilan fisik, latar belakang sosial dan


(26)

kepribadian (Stevens, dkk, dalam Hogg & Vaughan, 2002), sosiabilitas, minat, dan aktivitas waktu luang yang cocok akan semakin memudahkan untuk saling tertarik (Sprecher, dalam Hogg & Vaughan, 2002).

e. Kebutuhan melengkapi (Need Complementary)

Winch (dalam Hogg & Vaughan, 2002), mengungkapkan bahwa individu akan menilai orang lain atau yang berlawanan bisa memuaskan kebutuhannya dengan baik. Menurut Myers (1996), saling melengkapi merupakan konsep dasar bahwa adanya perbedaan antar individu bisa dijadikan dasar untuk saling melengkapi satu sama lain.

f. Pengaruh Keterbukaan (Effect of Self-disclosure)

Keterbukaan diri (self-disclosure) adalah berbagi informasi tentang perasaan dan pikiran pribadi kepada orang lain. Keterbukaan diri penting dalam keintiman jangka panjang sebuah hubungan. Menurut Social Penetration Model Taylor (Hogg & Vaughan, 2002), bahwa individu akan berbagi topik yang lebih pribadi dengan sahabatnya daripada dengan teman biasa atau orang asing.

II. A. 3. Tahapan Persahabatan

Selman (dalam Papalia, 2007) menyatakan bahwa perkembangan persahabaatn melalui 5 (lima) tahap yang overlap, yaitu:

1. Stage 0: momentary playmateship (usia 3 – 7 tahun)

Undifferentiated level, dimana anak bersifat egosentris dan memiliki

masalah dalam memahami sudut pandang orang lain. Mereka cenderung hanya memikrkan apa yang mereka inginkan dari suatu hubungan.


(27)

2. Stage 1: one-way assistance (usia 4 – 9 tahun)

Unilateral level, dimana “good friend” melakukan apa yang diinginkan oleh

anak.

3. Stage 2: two-way fair-weather cooperation (usia 6 – 12 tahun)

Reciprocal level, dimana dalam tahap ini melibatkan proses “memberi dan

menerima”, tapi tetap dengan ketertarikan yang saling berbeda. 4. Stage 3: intimate, mutually shared relationship (usia 9 – 15 tahun)

Mutual level, dimana anak melihat persahabatan sebagai kepemilikan terhadap kehidupannya sendiri. Hubungan yang ada menjadi posesif dan eksklusif.

5. Stage 4: autonomous interdependence (dimulai sejak usia 12 tahun)

Interdependent level, dimana anak perduli dengan kebutuhan sahabat, baik

untuk mandiri, ataupun bergantung. Hubungan dibangun atas dasar rasa saling percaya.

II. A. 4. Aturan Dalam Persahabatan

Argyle dan Henderson (dalam Fraser, Colin & Burchell, 2004) mengidentifikasi aturan-aturan yang harus dimiliki dalam suatu persahabatan. Aturan-aturan tersebut dapat dijadikan dasar dalam menjaling hubungan persahabatan yang ada. Aturan-aturan tersebut yaitu:

a. Pertukaran (exchange), dengan aspek-aspeknya yaitu: 1) Berusaha membalas setiap hal yang diberikan sahabat 2) Berbagi hal-hal yang menyenangkan dengan sahabat


(28)

3) Menunjukkan dukungan emosional kepada sahabat 4) Memberikan bantuan saat sahabat membutuhkannya

5) Berusaha membuat sahabat senang saat mereka merasa sedih b. Keintiman (intimacy), dengan aspek-aspeknya, yaitu:

1) Saling percaya satu sama lain

c. Koordinasi (coordination), dengan aspek-aspeknya, yaitu: 1) Menghargai privacy sahabat

2) Tidak mengganggu sahabat saat mereka tidak ingin diganggu d. Pihak ketiga, dengan aspeknya yaitu:

1) Tidak mengomel kepada sahabat di depan orang lain 2) Menjaga kepercayaan yang diberikan sahabat

3) Tetap bertindak sebagai sahabat, baik ketika teman tersebut ada maupun tidak ada.

4) Toleransi terhadap sahabat

5) Tidak merasa cemburu terhadap teman-teman sahabat.

Aturan-aturan tersebut tidak harus dimiliki keseluruhannya. Namun ketika tidak dimiliki dapat menyebabkan kemunduran dalam hubungan persahabatan. Selain itu aturan-aturan tersebut juga akan menentukan bagaimana pihak luar harus berperilaku terhadap hubungan persahabatan.

II. A. 5. Fungsi Persahabatan

Gottman & Parker (dalam Santrock, 2002), menyatakan bahwa persahabatan memberikan enam fungsi, yaitu:


(29)

a. Companionship. Persahabatan memberi individu seseorang yang akan

menghabiskan waktu bersama dan bergabung dalam aktivitas yang sama.

b. Stimulation. Persahabatan sebagai sumber informasi, kegembiraan, dan

hiburan.

c. Physical support. Persahabatan sebagai sumber daya dan bantuan.

d. Ego support. Persahabatan memberikan harapan akan dukungan, semangat,

dan umpan balik yang akan membantu dalam mempertahankan kesan sebagai individu yang kompeten, menarik, dan berguna.

e. Social comparison. Persahabatan memberikan informasi mengenai dimana

posisi individu dalam berhubungan dengan orang lain dan apakah mereka melakukan hal yang benar.

f. Intimacy/affection. Persahabatan memberikan hubungan yang hangat, dekat

dan mempercayakan dengan individu lain, hubungan yang melibatkan keterbukaan diri.

Peran sahabat lainnya menurut Shaffer (2005) adalah sebagai pemberi dukungan sosial. Wils & Fegan (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan perasaan nyaman, diperhatikan, dihargai, atau menerima pertolongan dari orang atau kelompok lain. Keterikatan secara sosial dan hubungan dengan orang lain yang berlangsung lama diterima sebagai aspek kepuasan secara emosional dalam kehidupan. Hal ini dapat menghentikan efek dari stres, menolong seseorang menghadapi peristiwa yang membuat stres, dan kemungkinan mengurangi stres akibat keadaan kesehatan yang memprihatinkan (Sarason, dalam Taylor, 2003).


(30)

II. B. REMAJA

II. B. 1. Definisi Remaja

Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata Belanda, alolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999), mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak langsung merasa di bawah tingkat orang – orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama.

Papalia (2007), mengatakan bahwa remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak – kanak dan dewasa meliputi perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Menurut Monks, dkk (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

Berdasarkan uraian di atas remaja merupakan merupakan masa peralihan, dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa, yang mana ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial, dimana individu tumbuh dan berkembang, dan mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa.

II. B. 2. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas – tugas Perkembangan Remaja menurut Havinghurst (dalam Hurlock, 1999) yaitu:


(31)

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karier ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis.

II. B. 3. Ciri-Ciri Masa Remaja

Hurlock (1999), seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya, yaitu:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya, dengan demikian dapat


(32)

diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan dating, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga berlangsung pesat. Perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Ada dua alas an bagi kesulitan ini, yaitu:

1) Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orangtua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.

2) Remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih tetap penting, namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri, dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain.


(33)

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya, ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hamper dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan.

III.C. LEUKEMIA (Kanker Darah) II. C. 1. Gambaran Umum Kanker

Kanker adalah penyakit sel yang ditandai dengan pembelahan sel yang tak trekontrol yang biasanya membentuk tumor ganas (Sarafino, 2006). Sel kanker


(34)

berbahaya karena dapat menyebabkan kematian baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sel kanker menyebar sampai ke organ vital seperti otak atau paru lalu mengambil nutrisi yang dibutuhkan oleh organ tersebut, akibatnya organ itu rusak dan kahirnya mati. Secara tidak langsung kanker dapat mengakibatkan kematian melalui dua cara. Pertama, penyakit itu sendiri melemahkan penderitanya. Kedua, baik penyakit maupun pengobatannya dapat menurunkan gairah hidup dan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit (Laszlo dalam Sarafino, 2006).

Secara umum penyakit kanker disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan pengaruh luar terhadap tubuh, yaitu gaya hidup dan faktor lingkungan. Faktor eksternal yang berhubungan dengan kanker contohnya antara lain merokok, penggunaan alkohol yang berlebihan, makanan tidak sehat, radiasi matahari dan sumber lain, serta zat kimia seperti benzena dan asbestos (Hartmann & Loprinzi, 2005).

American Cancer Societym (ACS) mendefinisikan kanker sebagai kelompok penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan dan penyebaran sel abnormal yang tidak terkontrol (Kaplan, 1993). Menurut John dkk (dalam Sarafino, 1998) meskipun ada lebih dari dua ratus jenis kanker, tetapi mayoritas kanker yang diderita orang ada empat jenis kanker, yaitu:

1. Leukemia, yakni kanker yang terjadi pada organ pembentuk darah seperti sumsum tulang, kelenjar getah bening, dan limfa. Kanker ini ditandai dengan produksi sel darah putih yang tidak normal.


(35)

2. Carcinomas, yakni kanker yang terjadi pada sel-sel epitel seperti pada kulit atau sel-sel organ dalam tubuh, misalnya usus, paru, rahim, dan payudara. 3. Lymphoma, yakni kanker pada sel-sel lymphalic seperti leher, lipatan paha,

dan lipatan lengan.

4. Sarcomas, yakni kanker yang berasal dari sel-sel non epitel seperti tulang, tulang rawan, getah bening, dan sendi.

Leukemia merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit kronis. Penyakit kronis didefinisikan sebagai kondisi fisik atau mental, yang mempengaruhi fungsi keseharian individu untuk interval waktu lebih dari 3 bulan dalam satu tahun, atau masa perawatan di rumah sakit lebih dari satu bulan. Selain leukemia, yang termasuk penyakit kronis antara lain Cerebral Palsy, Diabetes, Epilepsi, Down’s Syndrome, Kanker, kondisi Jantung, Asma, berbagai tipe Anemia, dan lain sebaginya, yang semuanya diketahui mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis individu (Theofanidis, 2009).

II. C. 2. Definisi Leukemia

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi (Permono, dkk, 2005). Menurut Supandiman (1997), leukemia adalah suatu keadaan dimana terjadi pertumbuhan yang bersifat irreversibel dari sel induk dari darah.

Hoffbrand, dkk (2001), menyatakan bahwa leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit ganas dalam sum-sum


(36)

tulang dan darah. Sel-sel abnormal ini menyebabkan timbulnya gejala karena: (a) kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, netropenia, trombositopenia); dan (b) infiltrasi organ (misalnya hati, limpa, kelenjar getah bening, otak, kulit, atau testis).

Berdasarkan uraian di atas leukemia merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan proliferasi sel-sel darah putih, dimana terjadi pertumbuhan yang bersifat irreversibel dari sel induk dari darah.

III.C. 4. Faktor Resiko Penyebab Leukemia

Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti. Namun penelitian telah menunjukan bahwa orang-orang dengan faktor-faktor risiko tertentu lebih mungkin daripada yang lain untuk mengembangkan leukemia. Suatu faktor risiko adalah apa saja yang meningkatkan kesempatan seseorang mengembangkan suatu penyakit. Faktor-faktor tersebut antara lain :

a. Radiasi ionisasi

Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa radiasi ionisasi bersifat leukemogenik pada manusia, misalnya ledakan bom atom dan kecelakaan bangunan tenaga nuklir (Hoffbrand & Pettit, 1996).

b. Zat kimia

Faktor lainnya yang diperkirakan mnejadi faktor resiko leukemia adalah terpaparnya populasi terhadap zat-zat kimia tertentu seperti polutan lingkungan dan obat-obatan. Penelitian-penelitian epidemiologis membuktikan bahwa


(37)

produk-produk yang berasal dari minyak bumi, cat dan pestisida berperan sebagai etiologi dari leukemia (Jones & Wickramasinghe, 1995).

c. Infeksi virus

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua jenis virus yang dapat beresiko terhadap leukemia, yaitu retrovirus HTLV-1 dan cRNA, dimana virus tersebut dapat menyebabkan infeksi yang menyebabkan terganggunya pengaturan sel T (Hoffbrand & Pettit, 1996).

d. Faktor genetik

Faktor genetik menjadi faktor resiko dalam berkembangnya leukemia didasarkan pada hasil penelitian terhadap anak kembar leukemia dan pada beberapa penyakit genetik. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa insiden leukemia meningkat pada dua kasus tersebut (Hoffbrand, Pettit, & Moss, 2001).

II. C. 5. Keluhan Leukemia

Keluhan dari leukemia bermacam-macam akan tetapi dapat digolongkan sebagai berikut (Supandiman, 1997):

a. Infeksi

Keluhan dan gejala infeksi leukemia adalah sama seperti keadaan infeksi lainnya, yaitu: panas, menggigil, berkeringat.

b. Hipermetabolisme

Gejala dan keluhan hipermetabolisme adalah: berkeringat banyak, penurunan berat badan, tanda defisiensi vitamin, peninggian kadar asam urat.


(38)

Infiltrasi ke otak akan menyebabkan keluhan sakit kepala, infiltrasi ke tulang menimbulkan sakit tulang, infiltrasi ke gusi akan menimbulkan hipertrofi gusi dan sering disertai pendarahan gusi.

d. Manifestasi anemia

Keluhan akibat adanya anemia: lemah badan dan cepat lelah, dan keluhan-keluhan kardiovaskuler lainnya.

e. Keluhan akibat trombositopenia

Trombositopenia menimbulkan pendarahan baik di kulit berupa ptechiae, selaput lendir dan alat-alat dalam.

II. C. 6. Pengobatan Pasien Leukemia

Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial. Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan (Permono, dkk, 2005).

Ada empat bentuk umum treatment yang diberikan pada penderita leukemia (Gunz & Henderson, 1983), yaitu:

a. Chemotherapy, kebanyakan pasien-pasien dengan leukemia menerima kemoterapi. Tipe perawatan kanker ini menggunakan obat-obatan untuk


(39)

membunuh sel-sel leukemia. Tergantung pada tipe dari leukemia, pasien mungkin menerima suatu obat tunggal atau suatu kombinasi dari dua atau lebih obat-obat. b. Immunotherapy, dimana treatment-nya telah dievaluasi dan memiliki kesuksesan yang paling banyak. Tipe perawatan ini memperbaiki pertahanan-pertahanan alami tubuh terhadap kanker. Terapi diberikan dengan suntikan kedalam suatu vena.

c. Stem cell transplantation, beberapa pasien leukemia melakukan transplantasi sel induk. Pencangkokan sel induk dilakukan dengan memberikan pasien perawatan dengan dosis obat-obatan yang tinggi, radiasi, atau kedua-duanya. Dosis-dosis yang tinggi menghancurkan sel-sel leukemia dan sel-sel darah normal didalam sumsum tulang. Kemudian, pasien menerima sel-sel induk yang sehat melalui suatu tabung yang lentur yang ditempatkan didalam suatu vena yang besar pada leher atau area dada. Sel-sel darah baru berkembang dari sel-sel induk yang dicangkokan.

d. Radiotherapy.

Terapi radiasi menggunakan sinar-sinar bertenaga tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Untuk kebanyakan pasien-pasien, radiasi diarahkan pada limpa, otak, atau bagian-bagian lain dari tubuh dimana sel-sel leukemia telah berkumpul.

II. C. 7. Kondisi Psikologis yang Dialami Penderita Leukemia

Penderita penyakit kronis seperti leukemia dapat mengalami tiga akibat dari penyakit yang dideritanya atau pengobatan yang dijalaninya (Radley, 1994), yaitu:


(40)

a. Impairment, yaitu kehilangan atau mengalami abnormalitas fungsi fisiologis atau anatomis. Misalnya tidak bisa menggerakkan tangan atau tidak bisa berjalan.

b. Disability, yaitu keterbatasan dalam kemampuan untuk mengerjakan suatu tugas atau untuk menjalankan peran secara normal. Misalnya tidak bisa mandi atau buang air kecil sendiri, tidak bisa bekerja, dan tidak bisa memasak.

c. Handicap, yaitu kerugian yang bersifat sosial berupa perlakuan orang lain kepada orang dengan impairment atau disability tertentu. Misalnya dikucilkan oleh orang lain.

Ketiga hal di atas dapat mempengaruhi kehidupan penderitanya. Lebih lanjut Charmaz (dalam Radley, 1994) menyatakan bahwa ada empat kondisi psikologis yang dapat dialami oleh orang yang hidup dengan penyakit kronis seperti leukemia yaitu:

a. Kehidupan yang terbatas (restricted life). Hal ini terjadi jika seseorang terpaksa “terpuruk” di rumah, baik karena sakit yang dirasakan maupun pengobatan yang sedang dijalani.

b. Keterasingan sosial (social isolation). Hal ini merupakan akibat dari penyakit seseorang atau pengobatannya sehingga penderita terpaksa tidak dapat melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau dapat juga berasal dari perasaan penderita sendiri bahwa orang lain akan memperlakukan mereka berbeda.

c. Definisi diri yang tidak baik (discrediting definition of self). Hal ini terjadi jika orang lain menunjukkan rasa ingin tahu yang berlebihan, sikap yang tidak


(41)

bersahabat atau rasa tidak nyaman saat berhubungan dengan penderita. Selain itu dapat terjadi jika penderita tidak dapat lagi melakukan pekerjaan yang sederhana seperti dulu. Keadaan-keadaan ini dapat menjadi sumber meningkatnya penilaian negative terhadap diri sendiri.

d. Merasa menjadi beban bagi orang lain (becoming a burden on others). Hal ini terjadi bila seseorang menderita sakit yang berat sehingga tidak dapat lagi menjalankan tugasnya seperti dulu. Hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

II. D. PERSAHABATAN PADA REMAJA PENDERITA LEUKEMIA

Usia remaja merupakan masa dimana seseorang berkembang menjadi dewasa dan masa yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang (Dunkel-Schetter, Feinstein, Taylor, & Falke, dalam Suzuki & Kato). Untuk itu, remaja perlu terlibat dalam aktivitas yang akan membantu mereka dalam transisi ke peran dewasa, yaitu hidup mandiri. Studi kualitatif longitudinal pada remaja yang mengalami penyakit kronis melaporkan adanya kesadaran remaja yang tinggi akan keterbatasan tubuh mereka yang baru, yang memerlukan bantuan dalam aktivitas sehari-hari (Law, 2002; Law et al., 1998; Passmore, 2003, dalam Berg, Neufeld, Harvey, Downes & Hayashi, 2008).

Ketika didiagnosa dengan leukemia, remaja akan bertanya-tanya, mengapa hal itu terjadi pada mereka, dan mungkin akan mengembangkan perasaan bersalah bahwa penyakit tersebut muncul sebagai hasil dari apa yang telah mereka lakukan atau seharusnya hindari untuk dilakukan (Mughal, Goldman, & Mughal, 2006).


(42)

Diagnosa leukemia pada remaja membawa berbagai perubahan dalam kehidupannya. Penyakit leukemia akan mempengaruhi semua aktivitas dan kepribadiannya. Mereka secara tiba-tiba ditempatkan pada posisi yang mengharuskan mereka coping dengan berbagai situasi, seperti rasa sakit dan ketakutan yang mereka alami, dan juga perubahan dalam hubungan sosial (Dunkel-Schetter, Feinstein, Taylor, & Falke, dalam Suzuki & Kato).

Leukemia adalah kanker pada jaringan pembentuk darah (sum-sum tulang). Penyakit tersebut menyebabkan tubuh dilimpahi oleh sel darah putih dengan jumlah yang tidak normal, dan produksi sel darah merah, yang berfungsi sebagai pembawa oksigen, dan platelet, yang mencegah pendarahan, mengalami penurunan (Keene, 2002). Ketidaknormalan sel darah tersebut menyebabkan penderita leukemia mengalami berbagai simptom, termasuk di dalamnya kelelahan, infeksi, mudah memar, pendarahan, dan sakit kepala. Semakin berkembangnya penyakit ini, penderita akan mengalami: berkeringat di malam hari, sulit bernafas, dan berkurangnya berat badan (Bozzone, 2009).

Leukemia merupakan penyakit yang tidak dapat diprediksi. Pada beberapa individu kondisi leukemia berkembang dengan lambat, sehingga penderita dapat hidup untuk beberapa dekade. Namun pada kondisi yang berbeda, penderita memerlukan berbagai bentuk terapi, dan dapat menyebabkan kematian dalam beberapa tahun (Rai & Chiorazzi, dalam Falvo, 2005).

Penderita leukemia diharuskan untuk menerima treatment yang biasanya diberikan segera setelah remaja didiagnosa dengan leukemia. Treatment diberikan untuk memberikan remisi jangka panjang, bahkan kesembuhan bagi penderita.


(43)

Namun, hal itu memiliki konsekuensi bagi diri remaja itu sendiri, yang biasanya menimbulkan pertanyaan akan kualitas hidup mereka setelah treatment tersebut diberikan. Selain itu diagnosa leukemia juga biasanya diasosiasikan dengan perasaan hopelessness, rasa takut dan premature death pada penderitanya, termasuk remaja (Mughal, Goldman, & Mughal, 2006). Treatment leukemia, seperti kemoterapi ataupun radioterapi memiliki berbagai efek samping seperti

nausea, kehilangan nafsu makan, cepat merasa lelah, yang kemudian akan

mempengaruhi kehidupan sehari-hari penderita selama ataupun setelah treatment tersebut diberikan (Falvo, 2005).

Leukemia dapat mempengaruhi remaja secara emosional, mental, dan fisik. Hal yang paling umum dari kondisi fisik penderita leukemia adalah lemah, lelah, dan cenderung mengembangkan berbagai infeksi (Mughal, Goldman, & Mughal, 2006), dan hampir sama seperti penderita penyakit kronis lainnya, penderita leukemia memiliki level yang tinggi dalam kemarahan, ketakutan, dan kesedihan (Fernandez, et al, dalam Sarafino, 2006), serta kecemasan, depresi, juga emosi negative lainnya (Ridder, et al, 2008).

Leukemia merupakan salah satu penyakit kronis. Penyakit kronis merupakan gangguan yang muncul untuk jangka waktu yang lama dan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi secara normal. Seperti juga penyakit kronis lainnya, leukemia berpotensi untuk membuat suatu perubahan yang sangat besar dalam kehidupan seseorang, yang berdampak negatif pada kualitas hidup dan kesejahteraannya. Begitu juga yang terjadi pada remaja, ketika didiagnosa leukemia, remaja mengalami berbagai perubahan yang


(44)

mengharuskannya coping dengan perubahan-perubahan tersebut. Untuk mampu melakukan itu, sangat penting bagi remaja untuk menemukan dukungan sosial dan dukungan emosional (Jay, dkk, dalam Suzuki & Kato).

Black (dalam Nancy, 1997) mendukung pernyataan ini dengan menyatakan bahwa peran dukungan sosial sama pentingnya dengan peran pengobatan medis. Salah satu sumber dimana remaja dapat memperoleh dukungan tersebut adalah sahabat. Dengan sahabat, remaja dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan pribadi mereka. Remaja juga memperoleh tempat yang memungkinkan mereka untuk menyampaikan kelemahan dan memperoleh bantuan ketika berada dalam masalah (Buhrmester, dalam Papalia, 2007). Sahabat merupakan sumber dukungan emosional utama bagi remaja (La Greca, et al; Thomas & Hauser, dalam Helgeson, Reynolds, Shestak, dan Wei, 2005).

Persahabatan yang diberikan kepada penderita leukemia akan membantu mereka untuk coping dengan permasalahan-permasalahan yang muncul disebabkan penyakitnya, dimana sahabat akan menghabiskan waktu bersama, sahabat memberikan informasi, kegembiraan, dan hiburan, sahabat juga dapat bertindak sebagai sumber bantuan, sumber dukungan, dan sumber semangat, dan lain-lain (Gottman & Parker, dalam Santrock, 2002).


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni menggambarkan pepersahabatan pada remaja penderita leukemia.

IV. A. PENDEKATAN KUALITATIF

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. David dan Williams (dalam Moleong, 2005) menulis bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Data diperoleh dengan wawancara, observasi, dokumen pribadi.

Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti dan akan dapat melihat permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi responden penelitian (Poerwandari, 2007).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin diteliti adalah pengalaman subjektif individu dalam membentuk persahabatan dalam kehidupannya. Pendekatan kualitatif memungkinkan individu untuk


(46)

memfokuskan variasi pengalaman dari individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda (Poerwandari, 2007).

III. B. RESPONDEN PENELITIAN

III. B. 1. Karakteristik Responden Penelitian

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah:

1) Remaja akhir, berusia 18-21 tahun

Peneliti memiliki pertimbangan dalam menentukan usia responden, yaitu: remaja akhir sudah mampu mengevaluasi alasan mereka membentuk ikatan persahabatan, aturan-aturan yang mereka miliki dalam persahabatan, fungsi sahabat baginya, serta arti sahabat itu sendiri bagi diri mereka. Selain itu penentuan usia remaja akhir adalah untuk mengurangi variasi data yang disebabkan adanya perbedaan rentang usia yang terlalu jauh.

2) Memiliki sahabat

Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian peneliti yaitu ingin mengetahui gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia.

3) Menderita leukemia

Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian peneliti yaitu ingin mengetahui gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia.


(47)

4) Diagnosa leukemia diterima di usia remaja

Peneliti menentukan usia awal didiagnosa leukemia dengan pertimbangan untuk mengurangi kebervariasian dinamika persahabatan yang muncul di dalam penelitian.

III. B. 2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif luwes. Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel pada penelitian kualitatif diarahkan pada kecocokan konteks (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007) dan tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang karena mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari segi waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

III. B. 3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian

Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Responden dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007).


(48)

III. B. 4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan memilih responden yang berdomisili di Medan dan Jakarta. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan partisipan penelitian.

III. C. METODE PENGUMPULAN DATA

Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara dan observasi. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2007). Menurut Banister dkk. (dalam Poerwandari, 2007) wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara. Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Berdasarkan teori, pedoman wawancara disusun untuk memperoleh data tentang persahabatan pada remaja penderita leukemia. Peneliti akan menggali perasaan yang dihadapi penderita leukemia akibat kondisi fisik dan psikologis yang dideritanya, serta bagaimana persahabatan yang dimiliki penderita.

Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul pada responden. Patton (dalam


(49)

Poerwandari, 2007) menegaskan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian menggunakan pendekatan kualitatif.

Hal yang sangat penting dalam melakukan observasi adalah peneliti melaporkan hasil observasinya secara deskriptif, tidak interpretatif. Pengamat tidak mencatat kesimpulan atau interpretasi melainkan data konkrit berkenaan dengan fenomena yang diamati (Poerwandari, 2007). Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah lingkungan fisik tempat dilakukannya wawancara, kondisi fisik dan emosional responden saat menjawab setiap pertanyaan dalam wawancara, serta hal-hal yang mengganggu jalannya wawancara.

III. D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Menurut Poerwandari (2007), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam BAB II, sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin ditanyakan. Pedoman wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang


(50)

harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007). Tema-tema yang dapat menjadi pedoman wawancara adalah bagaimana persahabatan individu sebelum dan setelah didiagnosa leukemia.

Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku, karena tidak tertutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal diluar pedoman wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

2. Alat perekam

Penggunaan alat perekam dilakukan setelah mendapat persetujuan dari responden. Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak bijaksana hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas, yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan alat perekam peneliti tidak perlu sibuk mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi terhadap partisipan selama wawancara berlangsung.

III. E. KREDIBILITAS PENELITIAN

Dalam pendekatan kualitatif dikenal istilah kredibilitas, yaitu istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi


(51)

masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2007).

Menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007), ada empat jenis validitas yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini akan digunakan validitas komunikatif, dimana validitas ini diperoleh melalui konfirmasi kembali data dan analisis pada subjek penelitian.

Patton (dalam Poerwandari, 2007) mengusulkan beberapa cara untuk meningkatkan kredibilitas penelitian kualitatif, antara lain:

1. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, subjek penelitian ataupun hal-hal yang terkait. Catatan ini sangat penting dalam memudahkan, mengembangkan analisis dan interpretasi.

2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data dan strategi analisisnya.

3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan terhadap penelitiannya dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk penelitiannya sendiri.

4. Menyertakan ”partner” atau orang yang dapat berperan sebagai pengkritik yang dapat memberikan saran-saran dan pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan oleh peneliti. 5. Melakukan upaya-upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif,


(52)

identifikasikan akan meningkat bila juga memberikan perhatian pada kasus-kasus yang tidak sesuai dengan pola tersebut.

6. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking dan rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyaan tentang data.

III. F. PROSEDUR PENELITIAN

Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahapan pralapangan, pekerjaan lapangan, tahapan analisa data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2005) yaitu sebagai berikut: a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat

Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang trejadi di masyarakat yang berhubungan dengan remaja yang menderita leukemia, baik melalui orang-orang di sekitar, teman-teman, dosen, artikel, internet untuk meyakinkan peneliti mengenai aspek-aspek psikologis yang terjadi pada remaja penderita leukemia. Setelah itu, peneliti merumuskan masalah yang ingin diteliti sesuai dengan fenomena yang diperoleh.


(53)

b. Mempersiapkan landasan teoritis

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan persahabatan, dukungan sosial, remaja, penyakit kronis, dan leukemia. c. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman wawancara.

d. Persiapan untuk pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, meminta kesediaannya (inform concent) untuk menjadi responden penelitian.

e. Membangun rapport

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian (tanda tangan responden pada lembar inform concent, peneliti memulai untuk membangun

rapport.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diadakan kesepakatan maka peneliti mulai melakukan wawancara, namun sebelumnya membina rapport agar responden penelitian merasa nyaman dan tidak merasa asing. Wawancara akan dilakukan di tempat yang memungkinkan responden untuk melakukan sesi wawancara. Percakapan akan direkam dengan menggunakan alat perekam mulai dari awal hingga akhir, dan/atau mencatat percakapan dan bahasa non-verbal responden saat wawnacara berlangsung.


(54)

3. Tahap analisis data

Menurut Poerwandari (2007) proses analisis data adalah sebagai berikut: a. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topic yang dipelajari.

b. Organisasi data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a) memperoleh data yang baik, (b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta (c) menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, dan kaset hasil rekaman), data yang sudah selesai diproses, data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

c. Analisis tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indicator yang kompleks, kualifikasi yang


(55)

biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan yang telah disebutkan.

d. Tahapan interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Proses interpretasi


(56)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami proses pengambilan keputusan maka data akan dijabarkan, dianalisa dan di interpretasi per partisipan.

A. ANALISA DATA

A.1. Latar Belakang Responden

Deskripsi data responden

Responden I Responden II Responden III Nama Ade (bukan nama

sebenarnya)

Ari (bukan nama sebenarnya)

Tya (bukan nama sebenarnya) TTL Tanjung Balai,

10 September 1992

Jakarta, 22 Mei 1992

Bekasi, 3 Juni 1990 Umur 18 tahun 18 tahun 20 tahun Jenis kelamin Wanita Pria Wanita Agama Islam Islam Islam Suku Padang-Melayu Jawa Jawa Urutan kelahiran Anak ke 2 dari 2

bersaudara

Anak ke 1 dari 2 bersaudara

Anak ke 2 dari 2 bersaudara

(kandung) Pendidikan terakhir SMA SMK SMA

Pekerjaan Pelajar Pelajar Mahasiswa & Karyawan

Lamanya diagnosa + 7 bulan + 6 bulan + 7 bulan Pengobatan Medis 1. Kemoterapi

2. Transplantasi sel induk

1. Kemoterapi 1. Kemoterapi

Tempat dan tanggal wawancara

1. Kamis, 11 Maret 2010; di Hotel P pukul 10.30 WIB - 11.30 WIB. 2. Sabtu, 27 Maret

2010, di hotel P

1. Jumat, 7 Mei 2010, di RS D pukul 09.00 WIB - 10.30 WIB.

2. Minggu, 16

1. Jumat, 14 Mei 2010, di rumah responden

pukul 10.30 WIB - 12.30 WIB.


(57)

- 15.00 WIB. 3. Minggu, 11 Juli

2010, di RS. H pukul 13.00 WIB - 13.20 WIB.

RS D pukul 19.30 WIB - 20.10 WIB.

a. Responden I

Ade merupakan putri kedua dari pasangan Bapak Adi dan Ibu Dina. Bapak Adi bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan Ibu Dina hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Kakak Ade, Novi, adalah seorang mahasiswi di salah satu akademi keperawatan di Siantar. Saat ini Ade baru saja lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di Siantar.

Ade mulai mengeluhkan penyakitnya saat duduk di bangku kelas 3 SMA. Sekitar 2 bulan sebelum ujian nasional, Ade tidak dapat melanjutkan sekolah seperti siswa lainnya, karena harus mendapat perawatan di rumah sakit di Medan. Selama di Medan Ade selalu ditemani oleh ibunya. Ayah Ade tidak bisa sering menemani Ade karena harus bekerja, begitu juga dengan kakaknya yang harus tinggal di asrama kampusnya.

Ade adalah anak yang pintar. Ade bahkan telah lulus seleksi PMDK fakultas kedokteran di salah satu universitas negeri di Jogjakarta, walaupun akhirnya Ade tidak mengambil kursi yang telah ia peroleh. Penyakit leukemia yang diderita Ade membuat dirinya tidak dapat melanjutkan pendidikannya di bangku perkuliahan.

Peneliti mengenal Ade dari salah seorang kenalan peneliti, yang oleh Ade sudah seperti keluarga. Hal ini memudahkan peneliti dalam memperoleh persetujuan dari Ade dan keluarganya untuk menjadikan Ade sebagai responden penelitian.


(58)

b. Responden II

Ari merupakan anak sulung dari pasangan Bapak Yanto dan Ibu Lilik. Bapak Yanto bekerja dinas perhubungan dan Ibu Lilik sebagai guru di salah satu sekolah dasar negeri di Jakarta. Adik responden, Titin, berusia 8 tahun duduk di bangku kelas 2 sekolah dasar. Saat ini Ari baru saja lulus dari bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) internasional C di Jakarta setelah sebelumnya mengikuti ujian nasional susulan. Ari memang tidak lulus dalam Ujian Nasional, karena 2 (dua) hari sebelum Ujian Nasional Ari harus menerima perawatan di Rumah Sakit Islam dengan diagnosa Demam Berdarah.

Ari adalah anak yang mudah bergaul. Hal ini tidak terlepas dari sifatnya yang ramah dan suka bercanda. Sifat Ari ini juga yang memudahkan peneliti untuk bisa dekat dengan dirinya. Walaupun mudah bergaul, Ari memiliki sedikit rasa tidak percaya diri. Hal ini terlihat dari penolakan responden terhadap kebutuhan peneliti untuk merekam sesi wawancara yang berlangsung.

Ari memiliki cita-cita untuk melanjutkan kehidupannya setelah lulus sekolah di Batam. Sebenarnya ini bukan hanya cita-cita Ari seorang diri, melainkan juga merupakan cita-cita bersama dengan sahabat-sahabatnya. Mereka ingin bekerja bersama-samadi bidang perkapalan ataupun yang berhubungan dengan hobi otomotif mereka.

Peneliti mengenal Ari di RS. D. Rumah sakit ini adalah salah satu rumah sakit yang banyak menerima pasien kanker di Jakarta. Ari merupakan pasien leukemia ke lima yang ditemui oleh peneliti di RS. D. Pemilihan Ari sebagai


(59)

responden penelitian didasarkan pada kondisi fisiknya yang memungkinkan untuk dilakukannya beberapa sesi wawancara.

Selama satu bulan semenjak mengenal Ari, hampir setiap hari peneliti menemuinya di RS. D. Dari apa yang peneliti perhatikan, satu minggu sekali ada pergantian orang yang menemaninya di rumah sakit. Hal ini tidak dikarenakan kedua orang tua Ari harus bekerja, sehingga hanya bisa menemaninya di akhir pekan. Pada hari kerja, yang menemani Ari adalah oom atau kakak sepupunya, yang menjaga Ari secara bergantian.

c. Responden III

Tya merupakan bungsu dari pasangan Bapak Ridho dan Ibu Siska. Bapak Ridho adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Bekasi, sedangkan Ibu Siska adalah ibu rumah tangga seperti pada umumnya. Kakak Tya, Devi, adalah seorang mahasiswi di salah satu sekolah pariwisata di Jakarta. Selain Devi, Tya memiliki 3 orang saudara tiri, yang merupakan anak dari Bapak Ridho dan almarhum istri pertamanya. Tya juga akan segera memiliki adik tiri, yang merupakan anak dari bapak Ridho dengan Ibu Sita, istrinya. Ibu Siska memiliki penyakit kanker payudara yang membuatnya tidak dapat melakukan dan memenuhi kewajibannya selayaknya orangtua normal. Hal ini yang membuat Tya dapat memaklumi dan menerima pernikahan ayahnya dengan Ibu Sita.

Saat ini Tya adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta di Bekasi dan karyawan tetap di PT. H. sTya adalah anak yang ceria dan suka menolong. Hal ini membuat Tya disukai dan disayangi oleh teman-temannya, baik


(60)

di kampus, teater, maupun di tempat kerjanya. Tya juga merupakan orang yang terbuka terhadap perasaannya. Tya tidak ragu untuk menunjukkan kesedihannya dengan menangis di depan orang lain.

Sama seperti Ari, peneliti juga mengenal Tya di RS. D. Tya merupakan pasien leukemia pertama yang dikenal peneliti di rumah sakit tersebut. Tidak berbeda dengan Ari, pemilihan Tya sebagai responden juga didasarkan pada kondisi fisik Tya yang memungkinkan dirinya untuk diwawancarai oleh peneliti.

Selama dirawat di rumah sakit, Tya ditemani oleh Devi. Ayahnya harus bekerja, sedangkan ibunya tidak mengetahui penyakit yang diderita oleh Tya sehingga tidak dapat menemani Tya. Penyakit leukemia yang diderita Tya sengaja ditutupi dari ibunya, karena takut jika kondisi ibunya akan semakin mengkhawatirkan jika terlalu memikirkan kondisi Tya.

A.2. Data Observasi

a. Responden I

Ade memiliki tinggi sekitar 160 cm dan berat sekitar 55 kg, berkulit sawo matang. Pertemuan pertama ditujukan untuk membangun rapport, sehingga dalam proses wawancara Ade dapat terbuka dengan peneliti. Pada pertemuan pertama ini responden mengenakan kaos lengan pendek berwarna abu-abu dan celana panjang kain berwarna merah muda, serta mengenakan handuk yang dililitkan menutupi kepalanya. Pertemuan pertama tersebut dilakukan di lobi hotel P yang terletak di jalan Sei Selayang, pukul 10.15 WIB.


(61)

Hotel P merupakan penginapan sederhana dengan lingkungan yang bersih. Ruangan lobi terletak tepat di depan pintu masuk. Di depan ruang lobi terdapat 2 kamar, yang salah satunya meupakan kamar responden. Ruangan lobi berukuran sekitar 15 m x 10 m, berisi 4 set sofa, 2 buah kursi goyang, 1 buah meja resepsionis, 1 buah televisi, 2 buah AC. Dalam pertemuan pertama ini peneliti juga berbicara dengan Ibu Dina. Proses membangun rapport berlangsung selama 2 jam. Selama waktu 2 jam ini responden bercerita mengenai awal dirinya memeriksakan diri ke dokter saat di kisaran hingga melakukan pengobatan di Medan. Setelah 2 jam bercerita, peneliti makan siang bersama dengan responden dan ibunya.

Pertemuan kedua, menjadi wawancara pertama peneliti dengan responden. Wawancara pertama dilakukan di lobi hotel P pada pukul 10.30 WIB, dan berlangsung selama 1 jam hingga pukul 11.30 WIB. Responden mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih dan mengenakan jaket kain berwarna hitam diluarnya, celana panjang kain berwarna coklat, serta jilbab berwarna coklat. Selama wawancara responden duduk dengan menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa dan beberapa kali merubah posisi duduknya untuk memperoleh posisi yang nyaman untuk dirinya.

Situasi selama wawancara pertama cukup kondusif. Tidak ada orang yang lalu lalang di lobi selama wawancara berlangsung. Beberapa kali disela-sela wawancara responden bercanda dengan Putri yang duduk di kursi goyang, yang letaknya 1 meter di depan sofa yang digunakan untuk wawancara.


(62)

Selama wawancara pertama responden hampir selalu tersenyum dan tertawa ketika bercerita, baik itu mengenai penyakitnya maupun saat menceritakan tentang persahabatannya. Saat bercerita tentang sahabatnya responden banyak tertawa, terlebih saat mengingat kebersamaannya dengan sahabat. Nada suara responden beberapakali menjadi rendah saat berbicara mengenai penyakitnya, namun satu sampai dua menit kemudian responden dapat menguasai kembali suaranya.

Wawancara kedua dilakukan di dalam kamar hotel P. Ruangan itu berukuran 5 m x 6 m, dan berisi dua buah tempat tidur single yang dipisahkan sebuah meja kecil, sebuah kamar mandi, sebuah televisi, sebuah AC, sebuah meja besar yang dipergunakan untuk meletakkan makanan dan minuman, dan sebuah lemari kayu dengan tiga daun pintu. Selama wawancara responden duduk di tempat tidur dengan bersandarkan bantal yang disusun tinggi, dan peneliti duduk bersila menghadap ke responden. Responden mengenakan kaos lengan pendek berwarna abu-abu dan celana kain berwarna merah muda. Wawancara yang dilakukan di dalam kamar membuat responden tidak perlu mengenakan jilbab, sehingga peneliti dapat melihat rambut responden yang rontok. Selama wawancara berlangsung responden beberapa kali memegang pinggang dan mengeluhkan rasa pegal pada bagian tersebut.

Setengah jam kemudian peneliti dan responden meneruskan wawancara di ruang makan hotel P. Hal ini dikarenakan pelayanan room service yang akan membersihkan ruangan kamar responden. Ruang makan hotel P terdiri dari 5 buah meja makan, masing-masing dengan empat kursi, sebuah meja panjang yang


(63)

digunakan sebagai tempat untuk meletakkan pajangan dan air minum. Wawancara dilakukan di meja yang terletak di depan pintu masuk ruang makan, dan peneliti duduk menghadap responden dengan membentuk sudut 900 dengannya. Tidak ada orang di ruang makan hotel P selain responden dan peneliti. Wawancara kedua ini berlangsung selama 1 jam, mulai pukul 14.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB.

Wawancara ketiga dilakukan di ruang perawatan Rumah Sakit H. Ruangan tersebut berukuran 3 m x 6 m, yang didalamnya terdapat dua buah tempat tidur

single yang dipisahkan sekitar ½ m, sebuah meja dengan sebuah sofa panjang,

sebuah televisi, sebuah kamar mandi, dan sebuah AC. Tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, wawancara ketiga berlangsung seentar, mulai dari pukul 13.00 WIB hingga pukul 13.30 WIB, karena kondisi responden yang tidak terlalu sehat. Responden mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih, dan menutupi dirinya dengan selimut mulai dari bagian perut sampai menutupi bagian kaki.

b. Responden II

Ari merupakan remaja dengan tinggi sekitar 167 cm dan berat sekitar 42 kg, berkulit sawo matang. Sebelum pertemuan wawancara peneliti sudah beberapa kali menemui responden untuk membangun rapport serta memastikan kondisi responden. Pertemuan wawancara dilakukan setelah peneliti yakin bahwa kondisi responden memungkinkan untuk melakukan sesi wawancara. Semua proses membangun rapport dan proses wawancara berlangsung di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Basow, S.A. (1992). Stereotypes and roles (3rd ed.). California: Brooks/Cole Publishing Co.

Berg, C., Neufeld, P., Harvey, J., Downes, A., & Hayashi, R.J. (2008). Late effects of childhood cancer, participation, and quality of life of adolescents. Proquest Journal.

Bozzone, D.M. (2009). The biology of cancer: Leukemia. New York: Chelsea House Publishing.

Brehm, S.S. (2002). Intimate relationship (3rd ed.). New York: McGraw-Hill. Corsini, R.J. (2002). The dictionary of psychology. New York: Brunner

Routledge.

Dillon, J & Swinbourne, A. (2007). Helping friends: A peer support program for senior secondary schools. Australian e-Journal for theAdvancement of

Mental Health.

Falvo, Donna. (2005). Medical and psychosocial aspects of chronic illness and

disability (3rd ed.). Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers.

Fraser, Colin & Burchell, Brendan. 2004. Introducing social psychology. Cambridge: Polity Press.

Helgeson, V.S., Reynolds, K.A., Shestak, A. & Wei, S. (2005). Brief report: Friendships of adolescents with and without diabetes. Journal of Pediatric

Pychology Advance Access.

Hoffbrand, A. V. dan pettit, J. E. 1996. Kapita Selekta: Haematologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hoffbrand, A. V., Pettit, J. E., dan Moss, P. A. H. 2001. Essential Haematology. Oxford: Blackwell Science Ltd.

Hogg, A. & Vaughan, M.G. (2002). Social psychology (5th ed.). UK: Prentice Hall.

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang


(2)

Jayantini, Sri. (2007). [On-line]. Memahami kebutuhan khas remaja, antara

psikologis dan sosiologis

Jones, Hughes. N.C. dan Wickramasinghe, S. N. 1995. Lecture Notes on

Haematology. Oxford: Blackwell Scientific Publications Ltd.

Keene, Nancy. (2002). Childhood leukemia: A guide for families, friends, &

caregivers (3rd ed.). USA: O’Reilly & Associates, Inc.

Moleong, L.J. (2005). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Monks, F.J., dkk. (1999). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai

bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mughal, T.I., Goldman, J.M., & Mughal, S.T. (2006). Understanding leukemias,

lymphomas, and myelomas. USA: Taylor & Francis.

Myers, D.G. (1996). Social psychology (5th ed.) New York: McGraw Hill.

Nancy, Sidell. (1997). Adult adjustment to chronic illness: A review of the Literature. Health and Social Works.

Papalia, D.E. et al. (2007). Human development (10th ed.). New York: McGraw-Hill.

Permono, dkk. (2005). Buku ajar hematologi-onkologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Poerwandari, K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.

Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendekatan Psikologi.

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Ridder, D., et al,. (2008). Psychological adjustment to chronic disease. Proquest

Journal.

Santrock, J.W. (2002). A topical approach to life-span development. New York: McGraw Hill.

Sarafino, E.P. (2006). Health psychology: Biopsychosocial interaction (5th ed.). New York: McGraw Hill.

Sawyer, M.G., Couper, J.J., Martin, A.J., & Kennedy, J.D. (2003). Chronic illness

in adolescents.


(3)

Shaffer, D.R. (2005). Social and personality development (5th ed.). USA: Thomson Learning, Inc.

Supandiman, Iman. (1997). Hematologi klinik. Bandung: Penerbit Alumni.

Suzuki, L.K. & Kato, P.M. (2009). [On-line]. Psychosocial support for patients in

pediatric oncology: the influences of parents, schools, peers, and

technology.

Swanston, H., Williams, K., & Nunn, Kenneth. (2000). The psychological

adjustment of children with chronic conditions. Canberra: Promotion and

Prevention Section, Department of Health and Aged Care.

Taylor, E.S. (2003). Health psychology (5th ed.). New York: McGraw Hill.

Theofanidis, D. (2009). [On-line]. Chronic illness in childhood: Psychosocial

adaptation and nursing support for the child and family.

Venning, A., Eliott, J., Wilson, A., & Kettler, L. 2006. [On-line]. Understanding

young peoples’ experience of chronic illness: a Systematic review.

Yager, Jan. (2006). When friendship hurts. Jakarta: Transmedia.

Yusuf, Syamsu. (2004). Psikologi perkembangan anak & remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(4)

PEDOMAN WAWANCARA

“GAMBARAN PERSAHABATAN PADA REMAJA PENDERITA LEUKEMIA”

I. Riwayat kesehatan responden

1. Keluhan fisik yang dialami oleh responden 2. Kapan awalnya responden didiagnosa leukemia 3. Faktor resiko yang menyebabkan penyakit leukemia

II.Reaksi awal responden mengetahui diagnose leukemia 1. Perasaan responden mengetahui didiagnosa leukemia 2. Fikiran responden mengetahui diagnosa leukemia

3. Yang dilakukan responden setelah mengetahui diagnosa leukemia

III. Dampak penyakit dan pengobatan leukemia terhadap responden 1. Kehidupan responden

2. Penilaian terhadap diri responden

IV. Persahabatan yang dimiliki responden

1. Faktor-faktor yang membentuk persahabatan responden 2. Aturan-aturan dalam persahabatan responden

3. Fungsi persahabatan responden dan perubahannya


(5)

Lembar Observasi

Responden penelitian : Tanggal/Hari Wawancara :

Wawancara ke :

Waktu wawancara : Hal yang diobservasi :

1. Penampilan fisik responden 2. Setting wawancara

3. Sikap responden terhadap pewawancara 4. Sikap responden selama wawancara 5. Ekspresi wajah responden

6. Hal-hal yang mengganggu wawancara


(6)

Lembar Persetujuan

Judul Penelitian : Gambaran Persahabatan pada Remaja Penderita Leukemia Peneliti : Ayu Wardani

NIM : 061301043

Saya yang bertandatangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai subyek dalam penelitian mengenai persahabatan paa remaja penderita leukemia.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 2010

Subyek Peneliti

( ) ( )