INISIASI DAN PENGGANDAAN TUNAS RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaud) PADA BERBAGAI KONSENTRASI SITOKININ MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN (Initiation and multiplication of bud of rami (Boehmeria nivea (L.) Gaud) at several concentrations of cytokinine in vitro).

176
Stigma Volume XIII No.3, Juli – September 2005

INISIASI DAN PENGGANDAAN TUNAS RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaud)
PADA BERBAGAI KONSENTRASI SITOKININ MELALUI TEKNIK
KULTUR JARINGAN
(Initiation and multiplication of bud of rami (Boehmeria nivea (L.) Gaud) at several
concentrations of cytokinine in vitro)
Reni Mayerni
ABSTRACT
The experiment was conducted in Tissue Culture Laboratory Department of Agronomy Faculty of Agriculture
Andalas University from May to September 2004. The
objective of the experiment was to obtain the best
concentration of cytokinine BAP for bud induction of
ramie. Treatments were arranged in Factorial experiment
2 x 5 in Completely Randomized Design with five replications. The first factor was two kinds of bud namely:
auxiliary bud = t0 and rhizomatous bud = t1, while the second factor consisted of five levels of cytokinine concentration namely: 0 mg/l = b0, 1 mg/l = b1, 2 mg/l = b2, 3
mg/l = b3, and 4 mg/l = b4. Results showed that concentrations of cytokinine cannot promote budding of ramie
either through auxiliary bud or rhizomatous bud.
However, cytokinine at 3 and 4 mg/l increased budding of
ramie as much as 6 %.

Key words: rami, Boehmeria nivea,cytokinine

PENDAHULUAN
Industri tekstil di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat sehingga pada tahun 1992
menjadi penghasil devisa tertinggi di antara
komoditas nonminyak dan nongas dengan nilai
ekspor sebesar US $ 3.5 milyar. Industri tekstil
tersebut tidak berbasis pada produksi bahan baku
domestik yang kuat. Bahan baku tekstil yang
berupa serat kapas harus diimpor. Setiap tahun
Indonesia mengimpor kapas dalam jumlah besar.
Indonesia sebagai negara agraris sampai saat
ini masih mendatangkan kapas sebagai bahan
baku industri tekstil sebanyak 92% - 95% dari
kebutuhan nasional, karena produksi kapas dalam
negeri hanya mampu memenuhi 5% – 8% dari
kebutuhan tersebut (Sumarno, 1980). Menurut
Deperindag (2000) kebutuhan kapas Indonesia
mencapai 700.000 ton th-1. Salah satu upaya
untuk mengurangi ketergantungan pada kapas

sebagai bahan baku utama tekstil adalah penggunaan serat alam lain yang berasal dari tanaman
rami yang memiliki karakteristikanya mirip kapas
dan dapat digunakan sebagai bahan baku tekstil
seperti yang dikemukakan oleh Buxton dan
*)

Greenhalgh (1989). Keunggulan lain dari rami
adalah produktivitas per hektarnya yang jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan kapas, yaitu
5.65 : 1 (Sumantri, 1989).
Perawatan rami tidak begitu sulit dan daerah
penanamannya tidak begitu spesifik seperti halnya kapas. Selain itu, tanaman rami menghasilkan serat yang tergolong eksklusif dan digemari
konsumen serta paling cocok dikembangkan di
daerah tropis (Sumantri, 1984). Tondl (1995)
menyatakan bahwa tanaman rami telah lama dikenal dan diusahakan secara komersil. Serat
rami mempunyai sifat yang baik, yaitu berwarna
sangat putih, berkilau, tidak berubah warna dan
tidak berkerut oleh sinar matahari, higroskopis,
dan mudah kering. Serat rami merupakan salah
satu bahan baku tekstil yang pemakaiannya dapat

dicampur dengan serat kapas atau polyester.
Selain itu, serat rami juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan gorden, handuk, campuran wol, dan
kain tenda. Buxton dan Greenhalgh (1989) menyatakan bahwa serat rami juga dapat digunakan
untuk terpal, kaus lampu tekan, uang kertas, dan
kertas sigaret. CNI (2002) melaporkan bahwa
minyak mentah biji rami berkhasiat dalam
mencegah dan mengobati kanker, arteriosklerosis, stroke, serangan jantung, dan luka lambung
karena biji rami mengandung minyak yang kaya
protein sulfur yang dapat mengaktifkan asam
lemak. Oleh sebab itu, tanaman rami dapat dikembangkan semakin luas dan prospeknya sangat
cerah. Keberhasilan pengembangan tanaman
rami akan dapat membantu dalam menghemat
devisa negara atau bahkan menghasilkan tambahan devisa karena komoditas rami laku dipasarkan
di pasar internasional (Riyadi, 1991).
Usaha peningkatan produksi rami Indonesia
dilakukan dengan ekstensifikasi dengan pengembangan luas areal rami. Kopserindo (2003) telah
mulai menggarap perluasan penanaman rami di
12 belas titik seperti di Lampung (Lampung Utara, Tanggamus, Wai Kanan), Sumatera Selatan
(Muara Enim, Ogan Komering Ulu, Lahat, Pagar


Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang

ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002

177
Stigma Volume XIII No.3, Juli – September 2005
Alam), Sumatera Utara (di Kabupaten Toba)
dengan luas areal paling kurang ditiap titik 40 ha,
untuk tiap hektar dibutuhkan 44.000 stek bibit
rami, dilaporkan juga bahwa areal untuk kebun
bibit sangat terbatas karena untuk satu tanaman
hanya mampu menyediakan 20 buah stek rimpang bibit, sehingga kebutuhan bahan tanam rami
dimasa mendatang semakin tinggi. Permasalahan
yang dihadapai dalam penyediaan bahan tanam
adalah penyediaan bahan tanam unggul dalam
jumlah banyak dan waktu singkat.
Secara
konvensional penyediaan bahan tanam dilakukan
dengan membongkar perakaran tanaman induk
untuk diambil stek rimpangnya dan harus diambil

secara hati-hati agar tidak terlalu mengganggu
pertumbuhan pohon induk berikutnya. Pohon
induk dapat diambil stek rimpangnya setelah
berumur setahun. Dengan cara konvensional itu
kualitas bahan tanam yang dihasilkan tidak
seragam dan butuh waktu yang lama dan merusak
tanaman induk. Berdasarkan permasalahan tersebut perlu ditemukan teknik alternatif untuk perbanyakan tanaman rami yang mampu menjamin
keseragaman bibit dan kestabilan genetik bahan
tanam tersebut.
Teknik kultur jaringan telah digunakan secara luas untuk memperbanyak tanaman secara komersil baik untuk tanaman semusim maupun untuk tanaman tahunan. Di India perkembangan
perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan
tanaman perkebunan telah berkembang dengan
pesat, seperti the, kopi, vanili dan tebu (Govil dan
Gupta, 1997). Di Indonesia perkembangan industri pembibitan tanaman hortikultura maupun
tanaman tahunan (kehutanan, industri dan perkebunan) menggunakan teknologi kultur jaringan
juga berkembang dengan pesat seperti tanaman
jati (Gunawan, 1998), kelapa (Hayati et al., 2000)
dan tanaman hortikultura (Imelda et al., 1998;
dan Hutami et al., 1998). Oleh karena itu pemanfaatan teknologi kultur jaringan untuk penyediaan
bahan tanaman rami unggul perlu dilakukan.

Faktor yang sangat menentukan dalam kultur
jaringan adalah penggunaan zat pengatur tumbuh
yang ditambahkan dalam media kultur yaitu sitokinin dan auksin. Sitokinin berperan dalam mendorong pertumbuhan sel dan jaringan serta inisiasi pembentukan tunas. Sitokinin yang paling banyak dipakai adalah BAP (Benzyladenin purin).
Pada konsentreasi berapa BAP berpengaruh pada
propagasi dan pertumbuhan tunas aksplant rami
belum diketahui secara pasti.
Berdasarkan hal di atas maka penulis telah
melakukan percobaan mengenai upaya penggandaan tunas rami (Boehmeria nivea (L.) Gaud)
pada berbagai konsentrasi Sitokinin secara invitro. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan

konsentrasi Sitokinin yang sesuai guna mendorong pertunasan rami.
BAHAN DAN METODE
Percobaan ini akan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Andalas
Padang. Percobaan ini dimulai dari bulan Juni
sampai Desember 2004, jadwal percobaan pada
lampiran
Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah tunas aksiler, dan tunas rizom
yang berasal dari tanaman rami. Media yang digunakan adalah media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh sitokinin BAP
(Benzyladenin purin), 7 g agar, 2 g arang aktif,
alkohol 70%, Agrimicyn, Benlate, Tween 80,

NaOH, HCl, Bayclin, asam ascorbit, dan akuades
steril.
Alat-alat yang digunakan meliputi; Timbangan, gelas piala, gelas ukur, labu ukur, corong
gelas, kertas saring, pemanas elektrik, autoclave,
oven, botol kultur, pH meter, pinset, gunting,
skalpel, petridish, laminar air flow cabinet, aluminum foil, plastik isolasi, dan lain-lain.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola faktorial dua
faktor.
Faktor pertama adalah Asal tunas, yaitu : tunas aksiler = (t0);tunas rizom = (t1). Faktor
kedua adalah zat pengatur tumbuh BAP yang
terdiri dari 6 taraf yaitu :0 mg/l = (b0);1 mg/l =
(b1);2 mg/l = (b2);3 mg/l = (b3);4 mg/l = (b4);5
mg/l = (b5).
Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali,
pada masing-masing satuan percobaan terdiri dari
2 botol, sehingga seluruhnya terdapat 100 satuan
percobaan.
Pelaksanaan Percobaan
1. Penyediaan bahan tanam
Percobaan dilaksanakan dalam keadaan aseptik dan seluruh pekerjaan dilaksanakan di dalam

laminar air flow. Eksplan berasal dari tunas
aksiler dan tunas rizom. Setelah penanaman,
dilakukan penggelapan 1 minggu. Tiap botol
kultur ditanam dua eksplan. Hasil penanaman
disimpan dan disusun pada rak-rak dalam ruang
kultur ber AC dengan suhu 21-22 oC.
2. Sterilisasi alat dan media
Alat-alat sebelum digunakan, diseterilisasi
terlebih dahulu dengan deterjen dan dibilas hingga bersih, setelah itu direndam dengan bayclin
ml l-1 air selam 24 jam. Alat-alat diungkus

ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002

178
Stigma Volume XIII No.3, Juli – September 2005
dengan kertas duplikator yang telah dibasahkan
dengan air kemudian disterilisasikan di dalam
autoclave dengan tekanan 15 kgF cm-1 pada suhu
121oC selama 30 menit. da tekanan 15 kgF cm -1
pada suhu 121oC .

3. Pembuatan Media
Media yang digunakan adalah media MS
yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh
sitokinin BAP (Benzyladenin purin). Media yang
telah disterilkan disimpan dalam ruang inkubasi
selama 1 minggu untuk melihat apakah ada yang
terkontaminasi atau tidak.
4. Sterilisasi Eksplan
Untuk masing-masing perlakuan, tunas dicuci bersih terlebih dahulu pada air mengalir.
Kemudian dicuci dengan Tween 2 tetes dalam 00
ml air, airnya dibuang kemudian direndam dengan Benlate 2 g l-1 dan streptomicin 0.5 g l-1
selama 30 menit. Setelah dibuang airnya, kemudian direndam dalam Bayclyn 10 % selama 15
menit. Setelah itu, direndam lagi dalam Bayclyn
5% selama 15 menit. Terakhir eksplan dibilas
dengan aquadest steril, kemudian baru ditanam.
5. Penanaman Eksplan
Penanaman eksplan dilakukan di dalam
LAFC yang telah disinari sinar UV. Botol kultur
yang telah berisi media dan alat-alat lain yang
akan digunakan disemprot dengan alkohol 70%

dan dimasukkan ke dalam LAFC. Setelah itu botol kultur ditutup kembali menggunakan plastik
wrap sambil didekatkan keapi dari lampu spiritus.
Semua pekerjaan itu dilakukan dalam LAFC.
6. Pemeliharaan
Pemeliharaan dimulai sejak penanaman pada
media perlakuan sampai berakhirnya pengamatan. Pemeliharaan meliputi pemeliharaan kebersihan ruang kultur. Ruang yang tidak bersih dapat mengakibatkan kontaminasi, eksplan yang telah terkontaminasi segera dipisahkan dan dikeluarkan dari ruang kultur. Pemeliharaan dilakukan dengan menjaga temperatur ruang kultur
tetap 20-25oC
5. Pengamatan dan analisis data
Pengamatan dilakukan untuk mengetahui laju
pertumbuhan eksplan, meliputi persentase eksplan yang hidup, persentase eksplan yang terkontaminasi, persentase inisiasi pertunasan, jumlah
tunas, dan tinggi tunas. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji F dan uji lanjut
BNT pada taraf nyata 5 % dan 1%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan dilakukan dua (2) kali, karena
percobaan pertama hampir semua media terkontaminasi. Kontaminasi disebabkan senyawa
fenol yang berasal dari tunas sehingga pada hari
ketiga sudah terjadi browning sampai hari ketujuh sehingga percobaan perlu diulang kembali.
Pada percobaan ke dua, eksplan yang berasal dari
tunas rizom hampir seluruhnya mengalami

browning. Sehingga eksplan yang tinggal hanya
eksplan yang berasal dari tunas aksiler.
Pada pengamatan persentase eksplan yang
hidup, persentase eksplan yang terkontaminasi,
waktu inisiasi pertunasan dan jumlah tunas, serta
tinggi tunas tidak dianalisis ragam karena data
yang didapat tidak mencukupi sehingga tidak
memenuhi syarat untuk dianalisis.
1. Eksplan yang hidup dan Kontaminasi (%)
Eksplan yang tidak dikategorikan sebagai
eksplan hidup, umumnya mengalami pencoklatan
dan terkontaminasi organisme, dari hasil yang
diperoleh, eksplan yang hidup adalah yang tidak
mengalami pencoklatan dan tidak terkontaminasi
oleh mikroorganisme dan warna eksplan masih
hijau.
Berdasarkan perlakuan, eksplan yang berasal
dari tunas rizom hanya 30% yang hidup. Dari
70% yang tidak hidup 60% diantaranya terkontaminasi mikroorganisme. Perlakuan 3 g/ml sampai
5 g/ml kinetin belum mampu mengurangi terjadinya pencoklatan pada eksplan dan menurunkan
persentase eksplan yang hidup. Pada perlakuan
eksplan yang berasal dari tunas aksiler, 80% hidup. Dari 20% yang tidak hidup, 30% diantaranya mengalami kontaminasi. Penambahan 2 g/l
sampai 5 g/l kinetin sudah mampu mengurangi
terjadinya pencoklatan pada eksplan dan mempertinggi persentase eksplan yang hidup.
Peran zat pengatur tumbuh eksogen juga
menentukan terjadinya pencoklatan eksplan, zat
pengatur tumbuh yang diberikan harus seimbang
dan tepat untuk memperkecil persentase pencoklatan. Menurut Thaib (1977), pada percobaan
kultur ujung batang enau, pemberian komposisi
zat pengatur tumbuh yang seimbang dapat memperkecil persentase pencklatan. Menurut Zaid
(1985), auksin diketahui dapat menghambat sintes polifenol sehingga dapat mengurangi pencoklatan eksplan, sedangkan sitokinin dapat memacu pencoklatan eksplan. Pada percobaan ini hanya diberikan sitokinin tanpa adanya masukan
auksin, diduga pencoklatan terjadi karena tidak
seimbangnya zat pengatur tumbuh di dalam
tanaman dan rangsangan yang disebabkan oleh

ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002

179
Stigma Volume XIII No.3, Juli – September 2005
sitokinin, bukan berarti sitokinin tidak dapat ditambahkan ke dalam media tapi perlu diperhatikan keseimbangannya. Disamping tanaman rami
juga melepaskan eksudan yaitu senyawa hasil
metabolisme sekunder. Eksudan ini terakumulasi
disekitar jaringan yang luka, sehingga terjadi
pencoklatan.
2. Inisiasi pertunasan (%)dan Jumlah Tunas
Dari semua eksplan yang hidup pada asal
eksplan tunas aksiler, sampai terakhir pengamatan hanya 3 eksplan yang sampai membentuk
tunas. Perlakuan tanpa pemberian sitokinin, 3
mg/l dan 4 mg/l masing-masing membentuk satu
tunas atau hanya 6% terbentuk tunas. Hal ini
diduga karena belum seimbangnya zat pengatur
tumbuh yang terdapat pada media, sehingga kemampuan untuk membentuk tunas juga sangat
dipengaruhi. Untuk pertumbuhan dan perkembangan eksplan selanjutnya sangat dipengaruhi
oleh konsentrasi dan kombinasi zat pengatur
tumbuh yang ditambahkan. Pada percobaan ini
hanya diberikan sitokinin saja, dengan dugaan
bahwa eksplan akan mampu membentuk tunas
dengan baik. Wetherell (1982) menyatakan bahwa interaksi dan perimbangan antara auksin dan
sitokinin yang ada pada media dan diproduksi
oleh tanaman secara endogen menentukan arah
perkembangan suatu kultur.
3. Tinggi tunas
Tunas mulai terbentuk pada hari ke-13
setelah tanam. Dari ketiga tunas yang terbentuk
dari eksplan asal tunas aksiler, sampai akhir
pengamatan pada tanpa penambahan sitokinin
sudah mencapai 1 cm, pada penambahan 2 mg/l
dan 3 mg/l tinggi tunas belum mencapai 1 cm.
Tunas yang terbentuk diduga karena tunas tanaman rami yang dijadikan eksplan sudah memiliki
bakal tunas. Munculnya tunas ini semakin dipercepat dengan adanya penambahan zat pengatur
tumbuh kedalam media. Respon pembentukan
tunas pada masing-masing tunas tanaman rami
yang ditanam pada media yang berbeda adalah
tidak sama.
Arah perkembangan eksplan selain dipengaruhi oleh jenis eksplan yang digunakan juga sangat ditentukan oleh besarnya kombinasi dan
konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan
ke dalam media perlakuan. Gunawan (1987) menyatakan bahwa auksin berpengaruh terhadap
pertumbuhan jaringan tanaman sedangkan sitokinin sangat penting dalam pembelahan sel.
Pemakaian sitokinin dengan dosis terlalu tinggi
akan menyebabkan banyak tunas yang terbentuk,

tetapi pertumbuhan masing-masing tunas terhambat (George dan Sherrington, 1984; Pierik, 1987;
Wattimena, 1988).
UCAPAN TERIMAKASIH
Disampaikan terimakasih kepada Lembaga
Penelitian Universitas Andalas, Padang yang telah memberikan bantuan dana sehingga penelitian sampai penulisan laporan ini dapat terlaksana.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan mengenai penambahan zat pengatur tumbuh sitokinin untuk
penggandaan tunas tanaman rami didapati bahwa
tidak bahasan langsung mengenai perlakuan
mana yang terbaik guna mendukung induksi
organogenesis tunas tanaman rami. Namun terdapat kesimpulan yang dapat dipelajari sebagai
berikut :
1.
Persentase eksplan hidup tertinggi
diperoleh dari eksplan yang berasal dari
tunas aksiler dengan perlakuan 2 g/l sampai
5 g/l kinetin.
2.
Inisisasi pertunasan terdapat pada
perlakuan tanpa pemberian kinetin, 3 g/l dan
4 g/l kinetin dengan persentase eksplan
memben-tuk hanya 6%.
3.
Hanya eksplan asal tunas aksiler yang
mam-pu menekan pencoklatan.
2. Saran
1.
2.

Disarankan
untuk
memperbanyak
tanaman rami secara in-vitro menggunakan
eksplan asal tunas aksiler
Menggunakan zat pengatur tumbuh
auksin dan sitokinin dengan konsentrasi yang
ber-variasi pada media, sehingga terdapat
keseimbangan pada media.
DAFTAR PUSTAKA

Baharsjah, S. 1993. Pidato pengarahan Menteri Muda
Pertanian pada Seminar Rami di Malang. Pros. Seminar
Rami. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat,
Malang.
Buxton, A., and P.Greenhalgh. 1989. Ramie, short live
curiosity or fibre.
The Future Textile Outlook
International, May, 1989. The Economist Intelligence
Unit, London (5) : 52 – 71.
CNI. 2002. Kanker. http://cni.co.id/infosek. 7 April 2003.

ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002

180
Stigma Volume XIII No.3, Juli – September 2005
George, F.E., and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation
by tissue culture. Exegenetics Ltd. Eversley, Basingstoke, Hants. RG27 OQY, England. 709 p.
Govil, S., dan S. C. Gupta. 1997. Cooercialization of plant
tissue culture in India. Plant Cell, Tissue and Organ
Culture 51: 65-73. 1997.
Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuh.
PAU Bioteknologi. IPB Bogor. 252 p.
Gunawan, L.W. 1998. Regenerasi pucuk dan embrio somatik
dalam kultur arsenik jati. Hayati. Juni 1998. 44-49.
Hayati, P.K.D., Alex Hartana, Suharsono, dan H. Aswinnoor.
2000. Keanekaragaman genetika kelapa ‘Genjah
Jombang’ berdasarkan RAPD. Hayati. Juni 2000. 3540.
Hutami, S., N. Sumarlin, Y. Suprianti, dan I. Meriska. 1998.
Perbanyakan in vitro tanaman nilam Khimera melalui
tunas aksiler. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 3(2):43-52.
Imelda, M., T. Setyowati dan Juleha. 1998. Penyediaan bibit
tanaman sungkai (Peronema canescens) melalui proliferasi tunas adventif. Jurnal Bioteknologi Pertanian.
3(2):52-53.
Kementrian Koperasi dan UKM. 2003. Produk hukum.
http://www.depko.go.id.
3 Maret 2003.
Pierik, R.L.M. 1987. In vitro culture of higher plant.
Martinus Nijhoff Publ. Netherlands. 344p.

PT Cakrawala Pengembangan Agro Sejahtera. 2002. Order
rami cina tak mampu dipenuhi. Jakarta.
Riyadi, S. 1991. Informasi teknis. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat. Malang. 63 hal.
Sumantri, R.H.L. 1984. Haramay (Ramie), penanaman, pemeliharaan dan kegunaan. Team Proyek Pengembangan
Haramay Jawa Barat, Bandung. 54 hal.
Sumantri,R.H.L. 1989. Prospek pengembangan komoditi
haramay sebagai bahan baku tekstil dan bahan ekspor
nonmigas. Makalah Seminar Pengembangan Tanaman
Haramay di Jawa Barat. Bandung. 14 hal.
Sumarno. 1980. Suatu studi kemungkinan penggunaan serat
rami sebagai bahan baku tekstil. Balai Penelitian dan
Pengembangan Industri Tekstil, Bandung. 103 hal.
Thaib,R. 1977. Perbanyakan enau (Arenga pinnata (Wurm.)
Merr) secara in-vitro. Tesis program Pascasarjana.
Universitas Andalas, Padang. 121 hal.
Tondl,
R.
1995.
Ramie.
http://www.ianr.unl.edu.pubs/textiles. 5 Maret 2003.
Wattimena, G.A. 1988. Zat pengatur tumbuh tanaman. Pusat
Antar Universitas. IPB, Bogor.
Wetherell. 1982. Pengantar propagasi tanaman secara in
vitro. IKP. Semarang. Press. 110 p.
Zaid, A. 1985. In-vitro browning of tissue and media with
special emphasis to date palm culture- A review. In Acta
Horticulture Vol.11. Symp.on In-vitro Problems Related
to Mass Propagation of Horticultural Plants. Pp 561-566.

------------------------------oo0oo------------------------------

ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002