ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS SABUK INTEN WARANGKA LADRANG GAYA SURAKARTA (SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

MUH TAUFIQ

C0106035

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010 ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS SABUK INTEN WARANGKA LADRANG GAYA SURAKARTA (SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

Disusun oleh

MUH TAUFIQ C0106035

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Y. Suwanto, M.Hum. Drs. Sujono, M.Hum. NIP 196110121987031002

NIP 195504041983031002

Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah

Drs. Imam Sutarjo, M.Hum. NIP. 196001011987031004

ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS SABUK INTEN WARANGKA LADRANG GAYA SURAKARTA (SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

Disusun oleh

MUH TAUFIQ C0106035

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal................................................

Jabatan

Nama

Tanda Tangan

Ketua

Drs. Imam Sutarjo, M.Hum. NIP. 196001011987031004

………………………. Sekretaris

Drs. Sri Supiyarno, M.A. NIP 195605061981031001

………………………. Penguji I

Drs. Y. Suwanto, M.Hum. NIP 196110121987031002

………………………. Penguji II

Drs. Sujono, M.Hum. NIP 195504041983031002

Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Drs. Sudarno, M.A.

NIP 195303141985061001

PERNYATAAN

Nama : Muh Taufiq NIM

: C0106035

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Istilah-Istilah dalam

Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta (Suatu Kajian

Etnolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Mei 2010 Yang membuat pernyataan

Muh Taufiq

MOTTO

Haruskah anak cucu kita kelak belajar mengenai budaya keris dari orang asing ?

(Bambang Harsrinuksmo)

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada ibu, bapak, adik, almamater, masyarakat pencinta keris, serta semua manusia pencinta nilai-nilai humanisme

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Berkat curahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Istilah-

Istilah dalam Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta (Suatu

Kajian Etnolinguistik) ini, tepat sesuai dengan yang diharapkan. Sholawat serta salam semoga juga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah memberi petunjuk bagi manusia tentang jalan yang terang. Kebaikan juga semoga tercurah kepada leluhur dan guru-guru di Tanah Jawa, terutama kepada Kangjeng Sunan Kalijaga. Semoga Tuhan selalu menjaga beliau.

Keris memang tidak akan habis kita bahas, di dalamnya terdapat berbagai macam hal yang mengandung rahasia yang belum terkuak. Skripsi ini merupakan salah satu usaha penulis untuk mencoba menggali potensi pengetahuan yang ada pada keris. Penulis mencoba untuk mengurai makna akan istilah-istilah yang berada pada keris serta mencoba untuk menjelaskan bentuk-bentuk istilah keris secara kebahasaan, yang kemudian diramu dalam satu kajian yang bernama etnolinguistik.

Penulis juga tak lupa menghaturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan fasilitas dan perizinan sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan semestinya.

2. Drs. Imam Sutardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan izin untuk skripsi ini.

3. Drs. Y. Suwanto, M.Hum., serta Drs. Sujono, M.Hum., selaku pembimbing skripsi, yang telah memberikan saran dan petunjuk demi penyelesaian karya ini.

4. Drs. Supardjo, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik penulis, dari awal perkuliahan hingga selesai, yang selalu memberi dorongan penulis untuk mencapai yang terbaik dan segera menyelesaikan kuliah.

5. Segenap dosen Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah bersedia mengajar dan mendidik penulis.

6. Orang tua penulis, yang telah menyokong secara moril dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.

7. Mas Kadi di Pasar Cinderamata Alun-alun Lor Keraton Surakarta, yang telah membuka mata penulis untuk masuk ke dunia perkerisan.

8. YB. Basuki, Empu Subandi Suponingrat, Mr. Dietrich Dresser, Haji Syukri, yang telah membuat penulis semakin ingin mengetahui tentang keris.

9. R. Riyo Purbobudoyo, Sukatno Purwoprojo, S. Lumintu, MT. Arifin, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu tentang keris. Terutama kepada MT. Arifin yang telah menunjukkan koleksi keris yang dahsyat kepada penulis.

10. Yayasan Sastra yang telah memberikan banyak informasi tentang keris.

11. R. Aji Setyowijaya dari UGM, yang walaupun masih muda tetapi pengetahuannya tentang keris sangat mengagumkan.

12. Kurnia Rahmawati yang telah bersedia memotret bilah keris objek penelitian ini.

13. Pak Tukiyo, Bu Novia, Pak Niti, yang telah banyak memberikan petuah hidup kepada penulis serta membolehkan rumahnya untuk berteduh.

14. UKM MP, Radio Metta, Aikido Dojo PTPN, yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk beraktualisasi semasa kuliah.

15. Teman-teman Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret angkatan 2006 untuk kebersamaannya selama ini.

Akhirnya penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam penulisan skripsi ini terdapat berbagai macam kesalahan. Penulis menyadari

Lambe gajah ........................................................................................... 47 Gambar 29 Sirah cecak ............................................................................................. 48 Gambar 30 Tikel alis ................................................................................................. 49 Gambar 31 Sebit lontar ............................................................................................. 50 Gambar 32 Pamor wos wutah................................................................................... 51

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

A. Daftar Lambang

1. Lambang Fonetis [ a ] : [ aGkUp ] dalam

angkup ‘bagian dari sarung keris’ [ O ] : [ OdO OdO ] dalam

ada-ada ‘bagian dari bilah keris’ [ e ] : [ edan ]

dalam

edan ‘gila’

[ | ] : [ | nDas ]

dalam

endhas ‘kepala’

[ E ] : [ Es| m ]

dalam

esem ‘senyum’

[ i ] : [ idu ]

dalam

idu ‘ludah’

[ I ] : [ ganDI ? ] dalam gandhik ‘bagian dari bilah keris’ [ u ] : [ uraG ]

dalam

urang ‘udang’

[ U ] : [ j anUr ]

janur ‘daun kelapa yang masih muda’ [ o ] : [ goDoGan ] dalam

dalam

godhongan ‘bagian dari sarung keris’ [ b ] : [ bunt Ut ] dalam

buntut ‘ekor’

[ c ] : [ cup| t ]

dalam

cupet ‘sempit’

[ d ] : [ dadi ]

dalam

dadi ‘jadi’

[ D ] : [ DapUr ]

dalam

dhapur ‘tipe keris’

[g] : [ gOnj O ]

ganja ‘bagian dari bilah keris’ [ h ] : [ hinggIl ] dalam

dalam

hinggil ‘tinggi’

[ j ] : [ j amu ]

dalam

jamu ‘jamu’

[ k ] : [ k| mbaG ] dalam

kembang ‘bunga’

[ ? ] : [ kODO ? ] dalam

kodhok ‘katak’

[ l ] : [ lambe ]

dalam

lambe ‘bibir’

[ m ] : [ m| nDa ? ] dalam

mendhak ‘cincin keris’

[ n ] : [ n| su ]

dalam

nesu ‘marah’

[ G ] : [ GamU ? ] dalam

ngamuk ‘marah’

[ ~n ]: [ ~naGk| m ] dalam

nyangkem ‘berkoar-koar’

pesi ‘bagian dari bilah keris’ [ r ] : [ ri ]

ri ‘duri’

[ s ] : [ s| bit ]

dalam

sebit ‘sobek’

[ t ] : [ t ik| l ]

dalam

tikel ‘lipat’

[ T ] : [ TuTU ? ] dalam

thuthuk ‘pukul’

[ w ] : [ warOGkO ] dalam

warangka ‘sarung keris’

[ y ] : [ yEn ]

dalam

yen ‘jika’

2. Lambang Lain + : proses penggabungan. → : menjadi….

[ ] : mengapit bentuk fonetis. “ ” : mengapit kutipan. ‘ ’ : mengapit terjemahan. ( ) : mengapit keterangan. … : menunjukkan bagian yang terpotong pada kutipan.

B. Singkatan

N : bentuk nasal (bunyi sengau). R

: (1) bentuk reduplikasi. (2) singkatan dari gelar Raden.

ABSTRAK

Muh Taufiq. C0106035. 2010. Istilah-Istilah dalam Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta (Suatu Kajian Etnolinguistik). Skripsi : Jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu: (1) istilah-istilah apa sajakah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta? (2) bagaimanakah bentuk istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta? (3) bagaimanakah makna dalam istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta baik secara leksikal maupun kultural?

Tujuan penelitian ini adalah: (1) menginventarisasi istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. (2) mendeskripsikan bentuk istilah-istilah yang tedapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. (3) mendeskripsikan makna leksikal dan kultural yang terkandung dalam istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa istilah-istilah yang terdapat dalam keris ber-dhapur Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Sumber data dalam penelitian ini adalah istilah-istilah yang melekat secara inheren dalam Keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode distribusional dan metode padan.

Berdasarkan analisis dapat disimpulkan beberapa hal : (1) keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta ini memiliki istilah sejumlah 32 buah, yaitu : ada-ada, angkup, blumbangan, bungkul , buntut urang, gandar, gandhik, ganja, godhongan , greneng, gulu meled, janur, kembang kacang, lambe gajah, landhep, latha , mendhak, pamor wos wutah, panetes, patra, pendhok, pesi, ri cangkring, sebit lontar, sirah cecak, sogokan, sraweyan, tikel alis, ukiran , warangka ladrang, wedidang, wilahan. (2) beberapa istilah tersebut dapat dikelompokkan menjadi bentuk monomorfemis yang berjumlah 14 buah, yaitu : angkup, bungkul, gandar, gandhik, ganja, greneng, janur, landhep, latha , mendhak, patra, pendhok, pesi, wedidang. Bentuk polimorfemis berjumlah 8 buah, yaitu : ada-ada, blumbangan, godhongan , panetes, sogokan, sraweyan, ukiran, wilahan, sedangkan bentuk frasa berjumlah 10 buah, yaitu : buntut urang, gulu meled, kembang kacang, lambe gajah, pamor wos wutah, ri cangkring , sirah cecak, tikel alis, warangka ladrang, sebit lontar . (3) makna leksikal pada istilah-istilah tersebut menunjuk pada keterangan letak istilah tersebut di dalam bilah keris, sedangkan makna kultural yang terkandung pada istilah-istilah ini sebagian besar berisikan ajaran-ajaran luhur bagi manusia untuk dapat berlaku dan bertindak di dalam dunia ini agar tercapai keselamatan dan dapat menggapai kesuksesan di dunia dan akhirat.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dikaruniai Tuhan dengan sifat-sifat yang mampu membuatnya berbeda dengan mahluk yang lain. Sifat-sifat itu begitu khas sehingga atas dasar itulah, mahluk yang bernama manusia berbeda dengan binatang. Sifat-sifat itu adalah akal budi yang membuatnya dapat berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginannya. Bertindak untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu kebutuhan yang dimiliki manusia adalah kebutuhan untuk mempertahankan dirinya dari serangan yang membuat mereka terancam. Baik itu serangan dari alam, serangan hewan maupun serangan manusia.

Serangan dari alam dapat diatasi oleh manusia dengan membuat perlindungan. Suatu tempat yang dapat digunakan oleh manusia untuk melindunginya dari panas dan dingin. Teknologi pembangunan rumah kemudian diciptakan, sedangkan ketika manusia dihadapkan pada serangan hewan maupun manusia, maka diciptakanlah alat untuk membela diri dan sistem pertahanan untuk membela diri yang biasa kita sebut dengan ilmu bela diri.

Kaitannya dengan pembahasan dalam skripsi kita akan memfokuskan pada sebuah alat yang diciptakan manusia untuk membela diri dari serangan pihak lain yang membahayakan, yaitu sejenis senjata yang bernama keris.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa senjata adalah “(1) alat yang digunakan untuk berkelahi atau berperang (keris, senapan dsb), (2) sesuatu (surat, kop surat, cap, memo, dsb) yang dipakai untuk memperoleh suatu maksud, (3) tanda bunyi pada tulisan Arab” (KBBI, 2005: 1038). Secara eksplisit

KBBI telah menyebutkan bahwa salah satu senjata yang digunakan untuk KBBI telah menyebutkan bahwa salah satu senjata yang digunakan untuk

Asal-usul tentang keris ternyata masih belum banyak terungkap. Sebuah prasasti yang disebut Prasasti Rukam, berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi, yang ditemukan pada 1975 di Desa Petarongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, salah satu kalimatnya menyebutkan : “…wsi wsi prakara wadung rimwas patuk patuk lukai tampilan linggis tatah wangkiul kris gulumi kurumbahgi, pamajha, kampi, dom …” yang kurang lebih bermakna ‘…segala macam keperluan yang terbuat dari besi berupa kapak, kapak perimbas, beliung, sabit, tampilan, linggis, tatah, bajak, keris, tombak, pisau, ketam, kampit, jarum…’, ternyata telah membuktikan bahwa pada sekitar abad ke-10 keris telah dikenal oleh masayarakat Jawa (Haryono Haryoguritno, 2006: 6). Namun, suatu keniscayaan apabila keris juga telah dikenal jauh sebelum abad ke-10, mengingat begitu dikenalnya keris sebagai salah satu bagian dari alat-alat yang terbuat dari besi, menurut prasasti tersebut.

Informasi yang tampak lebih jelas tentang penggunaan keris dapat kita lihat pada Suma Oriental karya Tome Pires, seorang musafir asal Portugis yang melanglang buana sekitar abad ke-16 ke berbagai tempat di Nusantara. Dia menulis : “setiap orang Jawa, kaya atau miskin, harus mempunyai keris di rumah, maupun sepucuk tombak dan sebuah perisai….tidak ada laki-laki yang berumur antara dua belas dan delapan puluh tahun yang berani keluar rumah tanpa keris terselip di sabuk” (Lombard, 2008: 194). Jadi pada masa akhir Majapahit, Informasi yang tampak lebih jelas tentang penggunaan keris dapat kita lihat pada Suma Oriental karya Tome Pires, seorang musafir asal Portugis yang melanglang buana sekitar abad ke-16 ke berbagai tempat di Nusantara. Dia menulis : “setiap orang Jawa, kaya atau miskin, harus mempunyai keris di rumah, maupun sepucuk tombak dan sebuah perisai….tidak ada laki-laki yang berumur antara dua belas dan delapan puluh tahun yang berani keluar rumah tanpa keris terselip di sabuk” (Lombard, 2008: 194). Jadi pada masa akhir Majapahit,

Keberadaan keris di Nusantara khususnya di Jawa memang menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari masyarakat pendukung kebudayaan Jawa. Keris telah menjadi bagian hidup dari ritme kehidupan manusia Jawa. Seperti yang diutarakan oleh Haryono Haryoguritno berikut.

Bagi orang Jawa masa lalu yang percaya, keris diperankan dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak ia lahir hingga mati. Ketika seorang ibu hendak bersalin dan melahirkan bayinya, dukun bayi menaruh keris bentuk brojol di bawah bantalnya. Ada pula dukun yang cukup menyimpannya sebagai bekal pendamping profesi, tanpa perlu menampakkan kerisnya. Kelak bila si bayi sudah masanya dapat berjalan, diadakan upacara tedhak siten (menapakkan kaki di atas tanah untuk yang pertama kalinya). Upacara ini dilengkapi sesajian yang didalamnya terdapat sebuah seking (keris mini). Anak lelaki yang sudah sampai waktunya untuk dikhitan, dibuatkan orang tuanya sebuah keris mainan yang lengkap, sebagai pertanda bahwa dia sudah memasuki usia akil balig. Bila kelak sudah menjadi pria dewasa yang menikah dengan seorang wanita, ia pun akan menyandang keris yang biasanya merupakan keris keluarga. Untuk selanjutnya, sesudah ia membina rumah tangga dan menjadi warga sepenuhnya, keris akan selalu disandangnya pada berbagai acara hingga menjelang akhir hayatnya. Bahkan ada pula beberapa penghayat fanatik yang menginginkan kelak ia dikubur bersama kerisnya (Haryono Haryoguritno, 2006: 3-4)

Bahkan, sampai begitu pentingnya, keris dapat digunakan sebagai wakil dari mempelai pria dalam melaksanakan ijab kabul jika mempelai pria berhalangan hadir karena suatu kepentingan yang sangat mendesak dan tidak bisa ditinggalkan. Suatu peristiwa yang disebut dengan Kawin Keris (Imam Sutardjo, 2008: 73).

Seperti telah disebutkan di atas, ternyata pada perkembangannya, keris tidak hanya berfungsi sebagai senjata an sich, namun keris telah menjadi suatu benda yang multi fungsi. Beberapa fungsi keris yang dapat disebutkan di antaranya adalah sebagai berikut : Seperti telah disebutkan di atas, ternyata pada perkembangannya, keris tidak hanya berfungsi sebagai senjata an sich, namun keris telah menjadi suatu benda yang multi fungsi. Beberapa fungsi keris yang dapat disebutkan di antaranya adalah sebagai berikut :

Sebagai sebuah artefak kebudayaan yang dimiliki oleh suku bangsa di wilayah Jawa, keris memiliki keunikan tersendiri yang tidak didapatkan pada artefak-artefak kebudayaan Nusantara yang lain. Keunikan yang dapat kita lihat secara kasat mata adalah detailnya yang rumit dan bentuknya yang khas sebagai senjata tikam.

Kaitannya dengan hal tersebut di atas, keris memiliki tempat tersendiri. Masyarakat Jawa telah terkenal memiliki kebudayaan yang adiluhung di antero dunia dan diakui keberadaannya di kancah dunia internasional (Tjaroko HP Teguh Pranoto, 2007: 1). Perwujudan dari sebuah ke-adiluhung-an tersebut adalah dikenalnya suatu sistem elaborasi yang rumit dan detail terhadap suatu produk kebudayaan. Kaitannya dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah elaborasi yang rumit dan detail terhadap produk kebudayaan yang berupa keris.

Posisi bahasa dalam kerangka kebudayaan memiliki peran yang vital, karena bahasa bukan hanya sekedar sebagai salah satu unsur kebudayaan, tetapi bahasa merupakan sarana khasanah kebudayaan manusia disimpan, diwariskan, dan bahkan sebagai sarana pengembangan budaya. Melalui bahasalah manusia mengembangkan potensi dirinya yang pada gilirannya bahasa menjadi ciri Posisi bahasa dalam kerangka kebudayaan memiliki peran yang vital, karena bahasa bukan hanya sekedar sebagai salah satu unsur kebudayaan, tetapi bahasa merupakan sarana khasanah kebudayaan manusia disimpan, diwariskan, dan bahkan sebagai sarana pengembangan budaya. Melalui bahasalah manusia mengembangkan potensi dirinya yang pada gilirannya bahasa menjadi ciri

Pernyataan Khaidir Anwar tersebut memberi kita suatu kesimpulan bahwa bahasa dan budaya atau kebudayaan adalah suatu hal yang sangat berkaitan erat. Jika kita hendak mengetahui suatu budaya kita dapat melihat dari bahasa yang digunakan. Begitu pula sebaliknya. Jika kita hendak mengetahui suatu bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat, kita dapat melihat dulu budaya yang ada pada masyarakat tersebut (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 166)

Kenyataan tersebut dapat kita buktikan pada istilah-istilah yang terdapat dalam keris. Pada keris, kita akan melihat banyak bagian-bagian atau detail- detailnya, dinamakan sedemikian rupa dalam rangka untuk memberi tanda bahwa bagian tersebut berbeda dengan bagian yang lain. Hal ini terjadi karena begitu pentingnya keberadaan sebuah keris dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Kejadian ini ternyata sejalan dengan Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya kita (Deddy Mulyana, 2005: 120). Implikasi yang dapat kita tarik adalah bahwa jika suatu komunitas budaya menggunakan lebih banyak kosakata untuk suatu hal atau suatu aktivitas (baca : lebih detail) maka hal atau aktivitas tersebut adalah penting dalam komunitas budaya tersebut. Misalnya orang Eskimo yang mempunyai variasi nama untuk menyebut salju, karena salju dianggap penting oleh pemakai budaya Eskimo tersebut (Deddy Mulyana, 2005: 121). Begitu pula keris bagi Kenyataan tersebut dapat kita buktikan pada istilah-istilah yang terdapat dalam keris. Pada keris, kita akan melihat banyak bagian-bagian atau detail- detailnya, dinamakan sedemikian rupa dalam rangka untuk memberi tanda bahwa bagian tersebut berbeda dengan bagian yang lain. Hal ini terjadi karena begitu pentingnya keberadaan sebuah keris dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Kejadian ini ternyata sejalan dengan Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya kita (Deddy Mulyana, 2005: 120). Implikasi yang dapat kita tarik adalah bahwa jika suatu komunitas budaya menggunakan lebih banyak kosakata untuk suatu hal atau suatu aktivitas (baca : lebih detail) maka hal atau aktivitas tersebut adalah penting dalam komunitas budaya tersebut. Misalnya orang Eskimo yang mempunyai variasi nama untuk menyebut salju, karena salju dianggap penting oleh pemakai budaya Eskimo tersebut (Deddy Mulyana, 2005: 121). Begitu pula keris bagi

Berdasarkan keadaan tersebut kiranya perlu diadakan suatu kajian mengenai istilah-istilah yang terdapat pada bagian-bagian keris, dalam rangka untuk mengetahui keterkaitan antara nama-nama yang disematkan dengan bagian-bagian yang terdapat dalam keris tersebut. Hal ini penulis lakukan, mengingat belum banyak masyarakat Jawa sendiri yang mengetahui bagian-bagian keris. Padahal keris sendiri adalah bagian dari artefak kebudayaan Jawa yang sudah diakui dunia internasional sebagai hasil kreativitas manusia Jawa yang bernilai seni tinggi. Bahkan, UNESCO (United Nation for Educational Scientific and Cultural Organisation ) dalam sidangnya di Paris, pada tanggal 25 November 2005, mengakui keris Indonesia sebagai salah satu warisan budaya manusia yang harus dilestarikan, bahkan tergolong sebagai suatu maha adikarya, Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau mahakarya warisan kemanusiaan yang berwujud takbenda (Heru Pratignya, 2010: 2).

Penelitian yang sudah pernah dilakukan berkaitan dengan keris adalah penelitian yang dilakukan oleh Sukamti yang berjudul Tradisi Pemakaian Keris di Keraton Surakarta Sebuah Kajian Sosiobudaya tahun 1994. Penelitian ini hanya membahas keris dari cara penggunaannya di dalam lingkungan keraton Surakarta. Cara penggunaan keris yang dibedakan oleh pangkat dan golongan yang ada di lingkungan dalam keraton. Jadi, penelitian yang dilakukan Sukamti ini membahas keris dari segi fungsionalnya yang berkaitan dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat pendukung. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan Penelitian yang sudah pernah dilakukan berkaitan dengan keris adalah penelitian yang dilakukan oleh Sukamti yang berjudul Tradisi Pemakaian Keris di Keraton Surakarta Sebuah Kajian Sosiobudaya tahun 1994. Penelitian ini hanya membahas keris dari cara penggunaannya di dalam lingkungan keraton Surakarta. Cara penggunaan keris yang dibedakan oleh pangkat dan golongan yang ada di lingkungan dalam keraton. Jadi, penelitian yang dilakukan Sukamti ini membahas keris dari segi fungsionalnya yang berkaitan dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat pendukung. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan

Alasan peneliti mengambil keris Sabuk Inten sebagai objek penelitian adalah :

1. Keris Sabuk Inten merupakan keris yang memiliki komponen yang cukup lengkap di antara beberapa keris, sehingga secara otomatis keris tersebut memiliki istilah-istilah yang cukup banyak untuk dapat diteliti.

2. Menurut cerita rakyat, keris Sabuk Inten yang pertama kali ada yaitu keris yang dibuat oleh Empu Jaka Supa atas pesanan Sunan Kalijaga. Kedua tokoh tersebut dalam khazanah budaya Jawa memiliki kedudukan yang khusus. Jadi, pastilah keris yang dihasilkan memiliki kandungan makna yang khusus pula. Mengingat melimpahnya budaya Jawa akan makna-makna dan simbol-simbol dalam rangka memberi tafsiran kepada kehidupan.

3. Keris Sabuk Inten relatif lebih banyak diketahui oleh masyarakat luas daripada jenis keris yang lain. Hal demikian dapat terjadi karena nama Sabuk Inten pernah diangkat menjadi salah satu judul karya sastra ciptaan SH. Mintarja yang berjudul Nagasasra Sabuk Inten.

4. Kebanyakan orang mengetahui makna keris hanya per dhapur atau jenisnya saja, belum mengenai detail ricikan atau bagian-bagian yang 4. Kebanyakan orang mengetahui makna keris hanya per dhapur atau jenisnya saja, belum mengenai detail ricikan atau bagian-bagian yang

B. Pembatasan Masalah

Mengingat banyaknya dhapur atau tipe keris yang ada. Maka dalam kajian ini penulis hanya memfokuskan pada sebuah keris berluk sebelas bertipe Sabuk Inten , pamor Wos Wutah, dengan perabot : warangka ladrang gaya Surakarta, ukiran gaya Surakarta, pendhok gaya Surakarta, dan mendhak gaya Surakarta.

C. Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang penulis angkat pada penelitian ini adalah :

1) Istilah-istilah apa sajakah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta?

2) Bagaimanakah bentuk istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta?

3) Bagaimanakah makna dalam istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta, baik secara leksikal maupun kultural?

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut maka dapat penulis nyatakan tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menginventarisasi istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.

2. Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah yang tedapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.

3. Mendeskripsikan makna leksikal dan kultural yang terkandung dalam istilah- istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa konsep kebahasaan, khususnya keterkaitan bahasa dengan budaya (etnolinguistik). Sehingga akan sangat bermanfaat bagi perkembangan teori etnolinguistik.

Penelitian etnolinguistik ini juga dapat memberi sumbangan terhadap kajian linguistik dan etnologi yang merupakan induk disiplin ilmu dari etnolinguistik. Pendeskripsian bentuk-bentuk istilah dalam keris Sabuk Inten ini dapat memantapkan teori pembentukan kata-kata bahasa Jawa, sedangkan penjelasan tentang makna leksikal dan kultural dalam istilah keris Sabuk Inten ini dapat memberi sumbangan terhadap disiplin ilmu etnologi berupa konsep-konsep kebahasaan Jawa yang penuh dengan simbol-simbol. Sehingga dapat menjadi bank data kebudayaan Jawa dalam disiplin ilmu etnologi.

2. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang didapat dari penelitian ini adalah : 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang didapat dari penelitian ini adalah :

b. Memperkenalkan kembali kepada masyarakat Jawa akan makna-makna yang terkandung dalam keris, khususnya pada keris yang ber-dhapur Sabuk Inten , yang biasanya hanya diketahui oleh para pencinta keris saja.

c. Memberikan pemahaman kepada penutur bahasa Jawa tentang bagian- bagian keris, sehingga istilah-istilah tersebut dapat digunakan dengan tepat sesuai dengan konteksnya.

d. Memberi tambahan leksikon kepada para leksikograf atau pembuat kamus. Khususnya bagi mereka yang ingin membuat kamus bahasa Jawa.

e. Memberi tambahan pengetahuan tentang budaya Jawa kepada para pelaku pendidikan. Khususnya pelaku pendidikan yang berkaitan dengan bahasa dan budaya Jawa. Sehingga pemahaman budaya Jawa secara holistis dan komprehensif dapat diberikan kepada peserta didik.

F. Sistematika Penulisan

Bab I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II memuat kajian pustaka dan kerangka pikir. Kajian pustaka berisi tentang konsep-konsep yang mendasari penelitian ini. Konsep-konsep tersebut Bab II memuat kajian pustaka dan kerangka pikir. Kajian pustaka berisi tentang konsep-konsep yang mendasari penelitian ini. Konsep-konsep tersebut

Bab III memuat metode penelitian. Metode penelitian berisi tentang penjelasan dari jenis penelitian, data, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Bab IV memuat hasil analisis dan pembahasan. Analisis data dilakukan dengan metode distribusional dan metode padan.

Bab V memuat penutup yang berisi simpulan dan saran.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Istilah, Keris Sabuk Inten, dan Warangka Ladrang Gaya Surakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan (2005: 446) istilah adalah (1) kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu; (2) sebutan; nama; (3) kata atau ungkapan khusus. Hal senada juga diutarakan oleh Harimurti Kridalaksana (2001: 86). Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu.

Keris adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata dua dengan bilah ada yang lurus dan ada yang berkeluk-keluk (KBBI, 2005: 553). Menurut Bambang Harsrinuksmo (2008: 233) keris adalah senjata tradisional khas

Indonesia. Namun dalam perkembangannya, budaya keris mengikuti perjalanan sejarah dan kini budaya ini telah tersebar hingga ke negara-negara lain. Selain Indonesia, negara yang kini memiliki budaya keris adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Thailand, dan Filipina.

Di pulau Jawa, keris digolongkan sebagai salah satu cabang budaya tosan aji . Selain itu, karena budaya keris memang bermula dari Pulau Jawa, maka banyak istilah perkerisan dari daerah ini yang juga digunakan di daerah-daerah lainnya.

Di pulau Jawa keris juga disebut curiga, dhuwung, atau wangkingan. Di pualu Bali, senjata ini disebut kadutan atau kedutan. Di daerah lain,sebutan keris di antaranya adalah tappi, selle, gayang, kres, kris, atau karieh.

Menurut Ensiklopedi Keris (Bambang Harsrinuksmo, 2008:9), suatu senjata dapat disebut keris bila memenuhi kriteria :

a) Keris harus terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian bilah keris (termasuk pesi) dan bagian ganja.

b) Bilah keris harus selalu membuat sudut tertentu terhadap ganja, tidak tegak lurus.

c) Ukuran panjang bilah keris yang lazim adalah antara 33 cm sampai 38 cm.

d) Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam logam, yakni besi, baja, dan bahan pamor.

Sabuk Inten adalah nama salah satu dhapur keris. Dhapur sendiri adalah penamaan ragam bentuk atau tipe keris, sesuai dengan ricikan (komponen- komponen pada keris) yang terdapat dalam keris itu dan jumlah luknya (Bambang

Harsrinuksmo, 2008: 136). Jadi suatu keris ber-dhapur Sabuk Inten, jika memenuhi kriteria :

a) Memiliki luk sebelas

b) Ricikan berupa :

1) Kembang kacang

2) Jalen

3) Lambe gajah

4) Blumbangan

5) Tikel alis

6) Sogokan ngajeng

7) Sogokan wingking

8) Sraweyan

9) Greneng (Haryono Haryoguritno, 2006: 178)

Warangka adalah semacam pelindung, sarung atau pengaman untuk menaruh mata bilah keris, tombak atau senjata lainnya (Bambang Harsrinuksmo, 2008: 517). Warangka ladrang adalah salah satu bentuk warangka yang khas dan berbeda dengan bentuk warangka yang dikenal dalam dunia perkerisan. Ciri khas yang dimiliki oleh warangka ladrang ini adalah terdapatnya suatu bentuk menyerupai perahu dengan bagian-bagiannya yang pipih dan melebar.

Gaya adalah (1) sikap; gerakan, (2) irama dan lagu (dalam nyanyian, musik, dan sebagainya), (3) ragam (cara rupa, bentuk, dan sebagainya) yang khusus (mengenai tulisan, karangan, pemakaian bahasa, bangunan rumah, dan sebagainya), (4) cara melakukan gerakan dalam olahraga (renang, lompat, dan sebagainya), (5) lagak lagu; tingkah laku, (6) sikap yang elok; gerak-gerik yang bagus, (7) elok; bergaya (KBBI, 2005: 340). Kaitannya dengan dunia perkerisan maka gaya yang dimaksud adalah gaya yang dimaknakan pada nomor tiga dalam KBBI tersebut yaitu ragam yang khusus, sedangkan Surakarta merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah. Namun secara budaya, Surakarta dapat dimaknai sebagai sebuah sistem budaya yang bersifat khas yang berbeda dengan daerah Jawa lainnya. Dunia budaya Jawa biasanya melihat dua kiblat sistem budaya yang besar yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Gaya Surakarta berarti dimaknai sebagai suatu ragam khas yang memiliki ciri berbeda dengan ragam yang lain, sebagai contoh ragam Yogyakarta. Kaitannya dengan hal ini warangka ladrang gaya Surakarta adalah jenis warangka yang berbentuk ladrang dan berciri khas Surakarta. Hal ini dapat kita lihat pada bagian pipih yang melandai vertikal ke bawah. Warangka ladrang gaya Surakarta pasti akan terkesan agak melengkung, sedangkan untuk gaya Yogyakarta terkesan lurus. Warangka Gaya adalah (1) sikap; gerakan, (2) irama dan lagu (dalam nyanyian, musik, dan sebagainya), (3) ragam (cara rupa, bentuk, dan sebagainya) yang khusus (mengenai tulisan, karangan, pemakaian bahasa, bangunan rumah, dan sebagainya), (4) cara melakukan gerakan dalam olahraga (renang, lompat, dan sebagainya), (5) lagak lagu; tingkah laku, (6) sikap yang elok; gerak-gerik yang bagus, (7) elok; bergaya (KBBI, 2005: 340). Kaitannya dengan dunia perkerisan maka gaya yang dimaksud adalah gaya yang dimaknakan pada nomor tiga dalam KBBI tersebut yaitu ragam yang khusus, sedangkan Surakarta merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah. Namun secara budaya, Surakarta dapat dimaknai sebagai sebuah sistem budaya yang bersifat khas yang berbeda dengan daerah Jawa lainnya. Dunia budaya Jawa biasanya melihat dua kiblat sistem budaya yang besar yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Gaya Surakarta berarti dimaknai sebagai suatu ragam khas yang memiliki ciri berbeda dengan ragam yang lain, sebagai contoh ragam Yogyakarta. Kaitannya dengan hal ini warangka ladrang gaya Surakarta adalah jenis warangka yang berbentuk ladrang dan berciri khas Surakarta. Hal ini dapat kita lihat pada bagian pipih yang melandai vertikal ke bawah. Warangka ladrang gaya Surakarta pasti akan terkesan agak melengkung, sedangkan untuk gaya Yogyakarta terkesan lurus. Warangka

Sebenarnya istilah keris itu mengacu pada bilah keris dan perabotnya. Jadi kalau kita menyebut keris, maka yang dimaksud adalah bilah keris lengkap beserta ukiran, mendhak, warangka, dan pendhok. Seperti yang diungkapkan oleh Soemodiningrat : “… Menawi tiyang Jawi mastani keris, dhuwung, wangkingan, punika ingkang dipunkajengaken: dhuwung ingkang sampun mrabot, dados jangkep menggah prabotipun, dados sampun mawi jejeran (ukiran) sarungan (warangka) saha kandelan (pendhok) ” , terjemahannya , ‘…jika orang Jawa menyebut keris maka yang dimaksud adalah keris yang sudah memakai perabot, jadi lengkap perabotannya, yaitu sudah menggunakan hulu, bersarung, dan memakai pendhok’ (Soemodiningrat, 1976: 1). Pernyataan Soemodiningrat ini juga senada dengan pernyataan dari Sukatno Purwoprojo, seorang sesepuh di bidang perkerisan yang ada di Surakarta (wawancara tanggal 6 April 2010).

2. Etnolinguistik

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 309) menyebutkan bahwa etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mengenal tulisan.

Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Beberapa Pokok Antropologi Sosial mengemukakan definisi etnolinguistik yaitu suatu ilmu bagian Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Beberapa Pokok Antropologi Sosial mengemukakan definisi etnolinguistik yaitu suatu ilmu bagian

Istilah etnolinguistik ini muncul ketika para ahli antropologi mulai melakukan penelitian lapangan dengan lebih serius dan profesional pada awal abad ke-20 (Shri Ahimsa Putra, 1997: 3-4). Edward Sapir, seorang ahli antropologi dari Amerika Serikat merupakan perintis dari studi etnolinguistik dalam antropologi, karena dia telah membuka sebuah persoalan baru yang penting dalam studi etnolinguistik (dalam Shri Ahimsa Putra, 1997: 4).

Bidang studi etnolinguistik itu sendiri sebenarya merupakan sebuah bidang studi yang sangat menarik, karena di lahan inilah kita dapat menemukan sebuah proses yang sangat penting, yakni proses terbentuknya kebudayaan dan keterkaitannya dengan bahasa, serta bagaimana kebudayaan tersebut terus menerus mengalami perubahan, baik secara disadari maupun tidak oleh para pendukung kebudayaan itu sendiri. Hal ini sebagaimana tercermin dari bahasa yang mereka gunakan. Bidang kajian etnolinguistik merupakan salah satu bidang yang sebenarnya sangat penting untuk dikembangkan mengingat karena begitu beragamnya bahasa daerah di Indonesia. Pada bahasa-bahasa daerah inilah sebanarnya tersimpan khazanah budaya Indonesia yang luar biasa kompleksnya, yang masih sedikit digali dan diketahui. Oleh karena itu Indonesia sebenarnya merupakan tambang emas bagi kajian etnolinguistik (Shri Ahimsa Putra,1997: I).

Kajian tentang bahasa dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam mengenai kebudayaan suatu masyarakat atau suku bangsa sudah banyak dilakukan. Asumsi dasar yang digunakan dalam studi semacam ini adalah bahwa khazanah pengetahuan yang dimilki oleh suatu masyarakat itu tersimpan dalam bahasa mereka. Pengetahuan inilah yang digunakan oleh warga masyarakat untuk menjelaskan dan memahami segala apa yang dihadapi, serta digunakan untuk membimbing mereka mewujudkan perilaku yang tepat dalam situasi dan kondisi tertentu. Oleh karena itu, untuk dapat memahami perilaku warga suatu masyarakat dengan baik, khazanah pengetahuan tersebut harus diketahui, dan berarti bahwa bahasa mereka harus dipelajari. Dalam konteks inilah sumbangan linguistik sangat berarti bagi etnologi (Shri Ahimsa Putra,1997: 4). Demikian juga dengan penelitian istilah-istilah dalam bilah keris Jawa ini. Melalui bahasa yang diwakili oleh nama bagian-bagian bilah keris, selanjutnya kita dapat mengungkap makna budaya yang terkandung di dalamnya.

3. Bentuk/Struktur

a) Monomorfemis Monomorfemis terjadi dari satu morfem. Morfem merupakan satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil, dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil misalnya {ter-}, {di-}, {pensil} (Harimurti Kridalaksana, 2001: 141). Menurut Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna dan berkategori jelas, a) Monomorfemis Monomorfemis terjadi dari satu morfem. Morfem merupakan satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil, dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil misalnya {ter-}, {di-}, {pensil} (Harimurti Kridalaksana, 2001: 141). Menurut Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna dan berkategori jelas,

Pada dasarnya, semua kata yang tergolong pada kata dasar istilah-istilah dalam bilah keris Jawa ini dapat dikatakan morfem bebas dengan pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan, dengan kata lain, subyeknya belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat tambahan apapun. Belum diulang dan belum dimajemukkan.

b) Polimorfemis Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang berupa perangkaian morfem. Proses morfologis meliputi (1) pengimbuhan atau afiksasi (penambahan afiks). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di tengah, di belakang, atau di depan dan belakang morfem dasar. Afiks yang ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, yang di tengah disebut sisipan atau infiks, yang di belakang disebut akhiran atau sufiks, yang di depan dan belakang disebut sirkumfiks atau konfiks. (2) pengulangan atau reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal (Harimurti Kridalaksana, 2001: 186), dan (3) pemajemukan atau komposisi yaitu proses morfologis yang membentuk satu kata dari dua (atau lebih dari dua) morfem dasar atau proses pembentukan dua kata baru dengan jalan menggabungkan dua kata yang telah ada sehingga melahirkan makna baru. Arti yang terkandung dalam kata majemuk adalah arti keseluruhan bukan menurut arti yang terkandung pada masing-masing kata yang mendukungnya.

c) Frasaologis

Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang (Harimurti Kridalaksana, 2001 : 59). Sedangkan M. Ramlan (1981: 121) menyatakan frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Berdasarkan dua pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa frasa mempunyai dua sifat :

1. frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih.

2. frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi, maksudnya frasa itu selalu terdapat dalam satu fungsi, yaitu dalam subjek, predikat, objek, pelaku, atau keterangan.

4. Makna Leksikal dan Makna Kultural

Pembicaraan tentang makna akan membawa kita kepada suatu teori tentang makna yang dicetuskan oleh Ogden dan Richard. Teori tersebut menerangkan hubungan antara bentuk, konsep, dan acuan. Seperti biasa kita kenal dengan Segitiga Ogden dan Richards, sebagai berikut:

Bagan Segitiga Makna Ogden-Richards

(b) reference

(a) symbol

(c) referent

Sumber : Jos Daniel Parera, 2004: 28

Hubungan antara (a) dan (c) digambarkan dengan garis putus-putus karena kedua hal tersebut bersifat tidak langsung. Titik (a) adalah masalah dalam-bahasa dan (c) adalah masalah luar bahasa yang hubungannya bersifat arbitrer. Sedangkan hubungan (a) dan (b) serta hubungan (b) dan (c) bersifat langsung. Titik (a) dan (b) sama-sama berada di dalam bahasa; hubungan (b) dan (c) berupa (c) adalah acuan dari (b) tersebut.

Berdasarkan teori makna tersebut, ternyata makna leksikal dan makna kultural dapat masuk dan sesuai dengannya. Mansur Pateda (2001: 119) menyebutkan bahwa makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca dalam kamus bahasa tertentu.

Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu. Untuk mengetahui adanya makna kultural yang berkembang maka perlu diketahui terlebih dahulu makna leksikalnya.

Tataran makna berada pada titik “reference” pada Segitiga Ogden-Richards. Pada bagian “reference”, sering disebut juga dengan konsep. Menurut Harimurti Kridalaksana konsep adalah “gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal tersebut” (2001: 117-119). Jadi pada definisi konsep tersebut secara otomatis makna kultural dan makna leksikal telah termasuk pada bagian yang telah Tataran makna berada pada titik “reference” pada Segitiga Ogden-Richards. Pada bagian “reference”, sering disebut juga dengan konsep. Menurut Harimurti Kridalaksana konsep adalah “gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal tersebut” (2001: 117-119). Jadi pada definisi konsep tersebut secara otomatis makna kultural dan makna leksikal telah termasuk pada bagian yang telah

Bentuk bahasa yang sama dengan referen atau acuan yang sama, pada tataran konsep ternyata memiliki perbedaan. Pada konsep makna leksikal, hal tersebut cenderung sama, karena dibatasi oleh pengertian yang ada di dalam kamus. Jika ada perbedaan itu biasanya hanya perbedaan dalam penyebutan bentuk bahasa saja. Sebagai contoh, penyebutan konsep “salah satu ricikan dalam keris yang berada di gandhik, di atas lambe gajah, di depan jalen”, dalam dunia perkerisan ada yang menyebut kembang kacang, sekar kacang, atau tlale gajah. Walaupun berbeda, namun makna atau konsepnya adalah sama.

Berbeda dengan makna leksikal, makna kultural lebih bervariatif dalam perwujudan konsep atau makna, untuk sebuah bentuk bahasa dan referen yang sama. Hal tersebut tergantung dari pemahaman orang yang mengeluarkan keterangan tentang makna kultural itu. Karena hal inilah, makna ini disebut dengan makna kultural, yaitu makna yang berkaitan dengan budaya masyarakat pendukungnya. Sedangkan kita tahu bahwa pemahaman akan budaya pada setiap manusia adalah berbeda. Tergantung dari sejauh mana manusia itu memahami budaya yang melingkupinya.

B. Kerangka Pikir ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS SABUK INTEN WARANGKA LADRANG GAYA SURAKARTA ETNOLINGUISTIK

BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Edi Subroto, 1992: 31)

Hal-hal yang diperlukan dalam metode penelitian ini adalah: (1) sifat penelitian, (2) data, (3) sumber data, (4) metode pengumpulan data, (5) metode analisis data.

A. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif artinya penelitian yang mencatat dengan teliti dan cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar atau foto, catatan harian, memorandum, video tape (Edi Subroto, 1992: 7)

Berdasarkan uraian di atas sangat jelas bahwa dalam penelitian ini data yang tercatat berwujud kata-kata dan hasilnya juga dalam bentuk kata-kata, sehingga penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan data kebahasaan yang berupa istilah dalam keris Sabuk Inten, baik yang diperoleh melalui teknik wawancara ataupun teknik pustaka. Perolehan data melalui studi lapangan dan studi pustaka kemudian ditelaah secara mendetail.

B. Data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 3). Data dalam penelitian ini berupa istilah-istilah yang terdapat dalam keris ber-dhapur Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Semua hal yang berada melekat pada wujud keris ber-dhapur Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta tersebut akan dijadikan data yang nantinya akan dianalisis secara linguistis.

Kaitannya dengan penelitian ini, data yang dimaksud adalah semua istilah yang terdapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Sedangkan istilah-istilah yang ditemukan pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta adalah :

1) ada-ada [ OdO OdO ]

2) angkup [ aGkUp ]

3) bungkul [ buGkUl ]

4) buntut urang [ bunt Ut uraG ]

5) blumbangan [ mblumbaGan ]

6) gandar [ gandar ]

7) gandhik [ ganDI? ]

8) ganja [ gO~nj O ]

9) sebit lontar [ s| bIt lont ar ]

10) godhongan [ goDoGan ]

11) greneng [ grEnEG ]