ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI DI PAN
ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI
DI PANTAI SELATAN PROVINSI JAWA TIMUR
YANG BERPOTENSI MENGHASILKAN KITINASE
PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapat Derajat S- 1
Jurusan Agronomi
Oleh :
MOHAMMAD NURCHOLIS ADIYANTO
201410200311093
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
JURUSAN AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN- PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ketersediaan makanana pokok bagi seluruh masyarakat dalam sebuah negara sangat
berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia negara tersebut, sehingga pemenuhan
kebutuhan akan makanan pokok menjadi penting. Bahan pertanian yang dapat digunakan
sebagai makanan pokok adalah yang dapat menghasilkan energi tinggi dan kaya akan
karbohidrat. Padi secara umum memang masih merupakan panganan pokok rakyat Indonesia,
namun kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat laju pertumbuhan
penduduk yang pesat meningkatkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan skala
nasional jika hanya dengan mengandalkan produksi padi, mengingat terbatasnya sumber daya
terutama lahan dan irigasi.
Jagung (Zea mays) merupakan salah satu serealia yang strategis dan bernilai ekonomis
serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama
karbohidrat dan protein setelah beras. Jagung dengan kandungan karbohidrat 74,26 g per 100
g porsi edible dan menghasilkan total energi 365 Kcal (USDA, 2008 cit. Hersynanda, 2009)
sangat berpotensi sebagai alternatif makanan pokok. Senada dengan hal tersebut
Zubachtirodin et al. (2006) cit. Hersynanda (2009) juga menambahkan bahwa dalam
perekonomian nasional, jagung penyumbang terbesar kedua setelah padi dalam subsektor
tanaman pangan. Berdasarkan Angka Sementara (ASEM) produksi jagung tahun 2009
sebesar 17,59 juta ton pipilan kering, meningkat 1,28 juta ton (7,81 %) dibandingkan
produksi tahun 2008. Kondisi ini mengindikasikan besarnya peranan jagung dalam memacu
pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan perekonomian nasional pada umumnya.
Di daerah tropis, benih jagung minimal disimpan selama tiga bulan hingga musim tanam
berikutnya. Benih jagung seperti halnya benih-benih lain dalam kelompok benih ortodoks
mudah rusak atau menurun mutunya. Daya simpan dan mutu benih jagung selama dalam
penyimpanan dipengaruhi kondisi awal biji sebelum disimpan dan lingkungan tempat
penyimpanan, faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik yang berperan besar menyebabkan
kerusakan dan penurunan mutu benih jagung selama dalam penyimpanan adalah hama
gudang. Surtikanti (2004) mengatakan bahwa biji jagung tidak tahan disimpan lama baik
dalam gudang maupun tempat penyimpanan lainnya, karena mudah terserang kumbang
bubuk Sitophilus zeamais. Akibatnya sejumlah besar benih jagung tidak berguna setiap
tahunnya. Kerusakan biji jagung akibat serangan S. zeamais dapat mencapai 45,91%
(Surtikanti dan Suherman, 2003). Selain mengakibatkan kerusakan biji dan susut bobot,
serangan S. zeamais juga menyebabkan penurunan mutu benih jagung sehingga daya
berkecambah benih jagung tinggal 43% pada penyimpanan benih jagung selama tiga bulan
(Dinarto dan Astriani, 2008).
Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan
komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan artropoda lainnya,
serta bagian dari dinding sel kebanyakan jamur dan alga. Setiap tahun dari perairan (laut)
dihasilkan sekitar 1011 ton kitin, namun kurang dari 0,1% yang dimanfaatkan kembali. Kitin
memiliki struktur yang mirip selulosa. Selulosa tersusun atas monomer glukosa, sedangkan
kitin tersusun dari monomer N-asetilglukosamin. Keduanya memiliki kelarutan sangat rendah
dalam air serta mengalami biodegradasi melalui mekanisme yang hampir serupa dengan
melibatkan komplek enzim (Toharisman, 2007). Berbagai mikroorganisme mensekresi
metabolit yang dapat mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan patogen. Banyak
mikroorganisme menghasilkan dan mengeluarkan enzim litik yang dapat menghidrolisis
sebagian besar senyawa polimer termasuk kitin (Pal & Gardener, 2006). Kitinase ialah enzim
yang mendegradasi kitin menjadi N-asetilglukosamin. Degradasi kitin dapat dilakukan oleh
organisme kitinolitik dengan melibatkan enzim kitinase, seperti dari kelompok bakteri
(Muharni, 2009). Bakteri kitinolitik merupakan kelompok bakteri penghasil kitinase yang
dapat mendegradasi senyawa kitin. Menurut Toharisman (2007), kitinase dari organisme laut
berperan dalam proses daur ulang kitin. Banyak bakteri dan jamur mengeluarkan kitinase
untuk menguraikan kitin menjadi karbon dan nitrogen. Dua senyawa tersebut selanjutnya
dipakai sebagai sumber energi biota lainnya. Dengan adanya kitinase penguraian kitin
berlangsung terus-menerus sehingga tidak terjadi akumulasi kitin dari sisa cangkang udang,
kepiting, cumi dan organisme laut lainnya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Serangan hama serangga merupakan salah satu faktor biotik yang perlu diperhatikan.
Diketahui bahwa zat utama yan gmenyusun tubuh dari serangga (dewasa) adalah zat kitin.
Oleh karena itu untuk menghambat siklus hidup hama serangga diperlukan enzim kitinase
yang diproduksi oleh organisme (mikroba). Alternatif yang dapat digunakan untuk
mendapatkan organisme (mikroba) yang dapat memproduksi enzim kitinase dapat diperoleh
dari organisme (mikroba) yang banyak ditemukan pada air laut.
1.3 TUJUAN
Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis bakteri yang
mampu memproduksi enzim kitinase dalam konsentrasi yang tinggi pada mikroba yang
berasal dari air laut.
1.4 HIPOTESIS
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1. Diduga penambahan serbuk cangkang udang pada taraf yang berbeda berpengaruh
pada tingkat pertumbuhan bakteri kitinolitik yang terisolasi.
1.5 LUARAN
Manfaat dari hasil penelitian dengan adanya pengkajian ulang maka pada masa yang
akan datang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bioinsektisida yang lebih ramah
lingkungan. Penggunaan pestisida berformulasi mikroorganisme merupakan salah satu upaya
dalam mengendalikan keberadaan organisme pengganggu tanaman yang beresiko
menurunkan hasil suatu produksi komoditas.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jagung
Palawija secara harfiah berarti tanaman kedua. Berdasarkan makna dari bahasa
Sansekerta, palawija bermakna hasil kedua, dan merupakan tanaman hasil panen kedua di
samping tanaman utama. Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu bahan pangan yang
penting di Indonesia karena jagung merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Di
samping itu, jagung juga merupakan bahan baku industri dan pakan ternak (Ross, 1992).
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu bahan pangan yang penting di Indonesia
karena jagung merupakan sumber karbohi-drat kedua setelah beras. Di samping itu, jagung
juga merupakan bahan baku industri dan pakan ternak. Seperti tanaman lain, jagung juga
memerlukan unsur hara untuk kelangsungan hidup-nya. Unsur hara tersebut terdiri dari C, H,
O, N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, B, Cu, Zn, Mo, Mn, Cl, Si, Na, dan Co (Ross, 1992).
2.2 Hama Tanaman
a.
Serangga
Hama merupakan suatu organisme yang mengganggu tanaman,merusak tanaman
dan menimbulkan kerugian secara ekonomi,membuat produksi suatu tanaman berkurang
dan dapat juga menimbulkan kematian pada tanaman,serangga hama mempunyai bagian
tubuh yang utama yaitu caput, abdomen ,dan thorax. Serangga hama merupakan
organisme yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman dan mengakibatkan kerusakan
dan kerugian ekonomi. Hama dari jenis serangga dan penyakit merupakan kendala yang
dihadapi oleh setiap para petani yang selalu mengganggu perkembangan tanaman
budidaya dan hasil produksi pertanian. Hama dan penyakit tersebut merusak bagian
suatu tanaman, sehingga tanaman akan layu dan bahkan mati (Harianto, 2009).
Serangga (disebut pula Insecta) adalah kelompok utama dari hewan beruas
(Arthropoda) yang berkaki enam. Karena itulah mereka disebut pula Hexapoda.
Serangga ditemukan di hampir semua lingkungan kecuali di lautan. Kajian mengenai peri
kehidupan serangga disebut entomologi. dan ahli tentang ilmu serangga disebut
entomologis. Serangga dibagi menjadi 32 ordo atau kelompok. Urutan terbesar serangga
adalah kumbang (Coleoptera) dengan 125 keluarga yang berbeda dan sekitar 500.000
spesies yang berbeda. 5.000 spesies bangsa capung (Odonata), 20.000 spesies bangsa
belalang (Orthoptera), 170.000 spesies bangsa kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera),
120.000 bangsa lalat dan kerabatnya (Diptera), 82.000 spesies bangsa kepik (Hemiptera),
dan 110.000 spesies bangsa semut dan lebah (Hymenoptera)
(Yoxx, 2010).
b. Struktur Tubuh Serangga
Tubuh serangga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada
kepala terdapat satu pasang antena. Dada terdiri dari 3 ruas dan pada dada tersebut
terdapat tiga pasang kaki yang beruas- ruas. Sayap terdapat pada bagian ini dan pada
umumnya ada dua pasang yang terletak dibagian dada ruas kedua dan ruas ketiga. Perut
terdiri atas 6 sampai 11 ruas (ruas belakang posterior digunakan sebagai alat reproduksi).
c.
Zat Penyusun Tubuh Serangga (Zat Kitin)
Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan
komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan artropoda lainnya,
serta bagian dari dinding sel kebanyakan jamur dan alga. Setiap tahun dari perairan (laut)
dihasilkan sekitar 1011 ton kitin, namun kurang dari 0,1% yang dimanfaatkan kembali.
Kitin memiliki struktur yang mirip selulosa. Selulosa tersusun atas monomer glukosa,
sedangkan kitin tersusun dari monomer N-asetilglukosamin. Keduanya memiliki
kelarutan sangat rendah dalam air serta mengalami biodegradasi melalui mekanisme
yang hampir serupa dengan melibatkan komplek enzim (Toharisman, 2007).
Kitin, yang menyusun cangkang luar pada sebagian besar serangga, merupakan
bahan yang sempurna dalam hal kekuatan, elastisitas (kekenyalan) dan sifat insulasi
(penyekatan). Zat dengan sifat yang begitu luar biasa ini, tidak dapat tidak, membuat
orang berpikir, jika pesawat terbang dan pesawat luar angkasa dibuat dari bahan yang
bersifat seperti kitin, bagaimanakah bentuknya? Sebenarnya, struktur zat ini adalah
bahan yang diimpikan para insinyur aeronotika. Namun, walaupun teknologi kita sudah
maju, ummat manusia belum dapat menandingi rancangan yang berkelas tinggi ini.
2.3 BioPestisida
Biopestisida merupakan formula yang berisi konsorsium mikroba pendegradasi suatu
bahan tertentu yang berfungsi dalam perombakan bahan organik biologis yang dibuat khusus
untuk menghambat pertumbuhan suatu organisme yang susunan tubuhnya dapat didegradasi
oleh konsorsium mikroba tersebut (Febriansyah, 2011). Mikroba antagonis yang mempunyai
potensi untuk pengendalian hayati patogen tanaman sudah banyak dilaporkan oleh beberapa
peneliti, di antaranya Pseudomonas kelompok pendar (fluorescens), Gliocladium sp.,
Trichoderma spp., Paecilomyces lilacinus, Verticilium spp., Metarrhizium anisopliae,
Beauvaria bassiana, dan Bacillus sp (Soesanto, dkk., 2013).
2.4 Bakteri Kitinolitik
Bakteri kitinolitik merupakan kelompok bakteri penghasil kitinase yang dapat
mendegradasi senyawa kitin. Menurut Toharisman (2007), kitinase dari organisme laut
berperan dalam proses daur ulang kitin. Banyak bakteri dan jamur mengeluarkan kitinase
untuk menguraikan kitin menjadi karbon dan nitrogen. Dua senyawa tersebut selanjutnya
dipakai sebagai sumber energi biota lainnya. Dengan adanya kitinase penguraian kitin
berlangsung terus-menerus sehingga tidak terjadi akumulasi kitin dari sisa cangkang udang,
kepiting, cumi dan organisme laut lainnya.
a.
Enzim Kitinase
Kitinase adalah enzim yang akan mengkatalisis pemecahan senyawa polimer kitin
pada ikatan glikosidik β-1,4. Kitinase terdapat di berbagai organisme dan
diklasifikasikan dalam famili 18, 19 dan 20 glikosida hidrolase. Enzim kitinase
dihasilkan oleh bakteri, fungi, tanaman, dan hewan. Enzim kitinase saat ini banyak
digunakan sebagai agen biokontrol karena dapat mendegradasi kitin menjadi produk
yang ramah lingkungan dan dapat digunakan dalam bidang kesehatan, pangan, industri
dan lain-lain
Enzim kitinase mampu menghidrolisa senyawa polimer kitin menjadi kitin
oligosakarida atau monomer N-asetil glukosamin dengan menghidrolisis kitin secara
acak pada ikatan glikosidik. Ada 3 jenis enzim kitinase yang dibedakan berdasarkan cara
kerjanya dalam mendegradasi kitin, yaitu eksokitinase, endokitinase dan N-asetilglukosaminidase. Eksokitinase memotong polimer kitin hanya dari ujung non reduksi.
Endokitinase memotong polimer kitin secara acak dan menghasilkan dimer, trimer,
tetramer,
dan
oligomer
gula.
N-asetil-glukosaminidase
yang
memutuskan
diasetilkitobiosa dan menghasilkan N-asetil-glukosamin. Kitinase dikelompokkan
menjadi 3 keluarga (family) glikosil hidrolase yaitu keluarga (family) 18, 19 dan 20.
Kitinase yang dihasilkan organisme prokariotik dan eukariotik termasuk dalam golongan
famili 18 sedangkan pada famili 19, enzim kitinase ditemukan pada bakteri Gram positif,
Streptomyces, dan tanaman tingkat tinggi. Pada umumnya mekanisme hidrolisis enzim
kitinase adalah double-displacement retaining mechanism dan single-displacement
inverting mechanism.
BAB III. ALAT, BAHAN, DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di dalam Laboratorium Agronomi 3 (Mikrobiologi) milik
Fakultas Pertanian- Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang mulai Bulan November
2017- Januari 2018.
3.2 Alat dan Bahan
a.
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Autoclave, Erlenmeyer, Kompor
Gas, Tabung Reaksi, Cawan Petri, Rak Tabung Reaksi, Pipet Ukur, Pani Sterilisasi,
Laminar Air Flow (LAF), Mikro Pipet.
b. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Growmore Merah, Growmore
Hijau, Agar (Pemadat), Garam Fisiologis (NaCl), dan Sampel Air Laut dari Beberapa
Pesisir Pantai Laut Selatan Provinsi Jawa Timur.
3.3 Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yakni konsentrasi serbuk cangkang udang pada
beberapa taraf. Taraf yang digunakan berjumlah tujuh dengan empat kali pengulangan pada
masing- masing taraf.
3.4 Metode Kerja
Metode kerja yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.
Pengambilan sampel air laut
1.
Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam keadaan steril.
2.
Menyimpan alat dan bahan yang digunakan kedalam kotak penyimpanan
(coolbox).
3.
Mengambil sampel air laut menggunakan erlenmeyer dengan posisi mulut
erlenmeyer menghadap ke laut.
4.
Menyimpan erlenmyer berisi sampel air laut ke dalam coolbox.
b. Isolasi mikroba dari sampel air laut
1.
Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam keadaan steril di dalam
LAF.
2.
Mengambil 1 ml sampel air laut, memasukkannya ke dalam tabung reaksi berisi
9 ml garam fisiologis.
3.
Mengulang langkah nomor 2 hingga 9 kali untuk keperluan pengenceran supaya
didapat biakan murni.
4.
Biakan murni yang didapat dituang kedalam cawan petri yang berisi media agar
yang sudah ditambahkan serbuk cangkang udang dengan taraf yang berbeda.
5.
Mengamati laju pertumbuhan yang berlangsung pada media yang telah
diinokulasikan dengan biakan murni.
c.
Pembuatan kitin
1.
Menyiapkan alat dan bahan (limbang cangkang udang).
2.
Mencuci cangkang udang hingga bersih dan mengeringkannya di bawah sinar
matahari selama satu hari.
3.
Menghaluskan cangkang udang hingga menjadi serbuk halus.
4.
Menimbang serbuk cangkang udang sebanyak 100 gr dan memasukkannya ke
dalam erlenmeyer.
5.
Menambahkan NaOH sebanyak 500 ml ke dalam erlenmeyer.
6.
Menghomogenkan bahan yang ada did alam erlenmeyer menggunakan
magnetic strirer selama 2 jam pada suhu 60° C.
7.
Memisahkan endapan yang terbentuk dari filtrat.
8.
Mencuci endapan yang didapat dengan menggunakan aquadest hingga pH netral
dan selanjutnya mengeringkan endapat tersebut dengan oven selama 4 jam pada
suhu 60° C.
9.
Menimbang endapat sebanyak 64 gr yang sudah kering dan melarutkannya
dengan HCl pekat sebanyak 640 ml.
10. Mendiamkan campuran selama dua hari pada suhu kamar.
11. Mencuci endapan yang diperoleh dengan aquades hingga pH netral.
12. Mengeringkan kembali pada oven selama 4 jam pada suhu 60°C.
d. Pembuatan media agar kitin.
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Melakukan sterilisasi bahan media agar kitin dan koloid kitin dengan autoclave
dalam wadah yang berbeda selama 15 menit pada suhu 121° C.
3. Mencampur koloid kitin dengan bahan media agar kitin lain dalam keadaan steril.
4. Menuangkan media agar kitin steril ke dalam cawan petri.
e.
Inokulasi mikroba air laut
1.
Menyiapkan alat dan bahan di dalam Laminar Air Flow.
2.
Isolat yang diperoleh diambil sebanyak 1 ml dan menuangkannya ke dalam
cawan petri berisi media agar kitin.
3.
Menginkubasi cawan berisi isolat selama 48- 72 jam pada suhu 30° C.
3.5 Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan meliputi penghitungan jumlah koloni yang hidup dalam
media yang kemudian dianalisis secara kuantitatif perbedaan penggunaan jumlah kitin yang
digunakan dalam pembuatan media agar kitin dan asal isolat yang digunakan.
3.6 Analisis data
Analisis data menggunakan . . . .
DAFTAR PUSTAKA
Ross, S. A. (1992). Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Hal. 40.
Soesanto, L., 2004. Kemampuan Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali
hayati penyakit busuk batang kacang tanah in vivo. Eugenia 10(1):8-17.
DI PANTAI SELATAN PROVINSI JAWA TIMUR
YANG BERPOTENSI MENGHASILKAN KITINASE
PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapat Derajat S- 1
Jurusan Agronomi
Oleh :
MOHAMMAD NURCHOLIS ADIYANTO
201410200311093
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
JURUSAN AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN- PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ketersediaan makanana pokok bagi seluruh masyarakat dalam sebuah negara sangat
berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia negara tersebut, sehingga pemenuhan
kebutuhan akan makanan pokok menjadi penting. Bahan pertanian yang dapat digunakan
sebagai makanan pokok adalah yang dapat menghasilkan energi tinggi dan kaya akan
karbohidrat. Padi secara umum memang masih merupakan panganan pokok rakyat Indonesia,
namun kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat laju pertumbuhan
penduduk yang pesat meningkatkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan skala
nasional jika hanya dengan mengandalkan produksi padi, mengingat terbatasnya sumber daya
terutama lahan dan irigasi.
Jagung (Zea mays) merupakan salah satu serealia yang strategis dan bernilai ekonomis
serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama
karbohidrat dan protein setelah beras. Jagung dengan kandungan karbohidrat 74,26 g per 100
g porsi edible dan menghasilkan total energi 365 Kcal (USDA, 2008 cit. Hersynanda, 2009)
sangat berpotensi sebagai alternatif makanan pokok. Senada dengan hal tersebut
Zubachtirodin et al. (2006) cit. Hersynanda (2009) juga menambahkan bahwa dalam
perekonomian nasional, jagung penyumbang terbesar kedua setelah padi dalam subsektor
tanaman pangan. Berdasarkan Angka Sementara (ASEM) produksi jagung tahun 2009
sebesar 17,59 juta ton pipilan kering, meningkat 1,28 juta ton (7,81 %) dibandingkan
produksi tahun 2008. Kondisi ini mengindikasikan besarnya peranan jagung dalam memacu
pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan perekonomian nasional pada umumnya.
Di daerah tropis, benih jagung minimal disimpan selama tiga bulan hingga musim tanam
berikutnya. Benih jagung seperti halnya benih-benih lain dalam kelompok benih ortodoks
mudah rusak atau menurun mutunya. Daya simpan dan mutu benih jagung selama dalam
penyimpanan dipengaruhi kondisi awal biji sebelum disimpan dan lingkungan tempat
penyimpanan, faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik yang berperan besar menyebabkan
kerusakan dan penurunan mutu benih jagung selama dalam penyimpanan adalah hama
gudang. Surtikanti (2004) mengatakan bahwa biji jagung tidak tahan disimpan lama baik
dalam gudang maupun tempat penyimpanan lainnya, karena mudah terserang kumbang
bubuk Sitophilus zeamais. Akibatnya sejumlah besar benih jagung tidak berguna setiap
tahunnya. Kerusakan biji jagung akibat serangan S. zeamais dapat mencapai 45,91%
(Surtikanti dan Suherman, 2003). Selain mengakibatkan kerusakan biji dan susut bobot,
serangan S. zeamais juga menyebabkan penurunan mutu benih jagung sehingga daya
berkecambah benih jagung tinggal 43% pada penyimpanan benih jagung selama tiga bulan
(Dinarto dan Astriani, 2008).
Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan
komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan artropoda lainnya,
serta bagian dari dinding sel kebanyakan jamur dan alga. Setiap tahun dari perairan (laut)
dihasilkan sekitar 1011 ton kitin, namun kurang dari 0,1% yang dimanfaatkan kembali. Kitin
memiliki struktur yang mirip selulosa. Selulosa tersusun atas monomer glukosa, sedangkan
kitin tersusun dari monomer N-asetilglukosamin. Keduanya memiliki kelarutan sangat rendah
dalam air serta mengalami biodegradasi melalui mekanisme yang hampir serupa dengan
melibatkan komplek enzim (Toharisman, 2007). Berbagai mikroorganisme mensekresi
metabolit yang dapat mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan patogen. Banyak
mikroorganisme menghasilkan dan mengeluarkan enzim litik yang dapat menghidrolisis
sebagian besar senyawa polimer termasuk kitin (Pal & Gardener, 2006). Kitinase ialah enzim
yang mendegradasi kitin menjadi N-asetilglukosamin. Degradasi kitin dapat dilakukan oleh
organisme kitinolitik dengan melibatkan enzim kitinase, seperti dari kelompok bakteri
(Muharni, 2009). Bakteri kitinolitik merupakan kelompok bakteri penghasil kitinase yang
dapat mendegradasi senyawa kitin. Menurut Toharisman (2007), kitinase dari organisme laut
berperan dalam proses daur ulang kitin. Banyak bakteri dan jamur mengeluarkan kitinase
untuk menguraikan kitin menjadi karbon dan nitrogen. Dua senyawa tersebut selanjutnya
dipakai sebagai sumber energi biota lainnya. Dengan adanya kitinase penguraian kitin
berlangsung terus-menerus sehingga tidak terjadi akumulasi kitin dari sisa cangkang udang,
kepiting, cumi dan organisme laut lainnya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Serangan hama serangga merupakan salah satu faktor biotik yang perlu diperhatikan.
Diketahui bahwa zat utama yan gmenyusun tubuh dari serangga (dewasa) adalah zat kitin.
Oleh karena itu untuk menghambat siklus hidup hama serangga diperlukan enzim kitinase
yang diproduksi oleh organisme (mikroba). Alternatif yang dapat digunakan untuk
mendapatkan organisme (mikroba) yang dapat memproduksi enzim kitinase dapat diperoleh
dari organisme (mikroba) yang banyak ditemukan pada air laut.
1.3 TUJUAN
Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis bakteri yang
mampu memproduksi enzim kitinase dalam konsentrasi yang tinggi pada mikroba yang
berasal dari air laut.
1.4 HIPOTESIS
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1. Diduga penambahan serbuk cangkang udang pada taraf yang berbeda berpengaruh
pada tingkat pertumbuhan bakteri kitinolitik yang terisolasi.
1.5 LUARAN
Manfaat dari hasil penelitian dengan adanya pengkajian ulang maka pada masa yang
akan datang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bioinsektisida yang lebih ramah
lingkungan. Penggunaan pestisida berformulasi mikroorganisme merupakan salah satu upaya
dalam mengendalikan keberadaan organisme pengganggu tanaman yang beresiko
menurunkan hasil suatu produksi komoditas.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jagung
Palawija secara harfiah berarti tanaman kedua. Berdasarkan makna dari bahasa
Sansekerta, palawija bermakna hasil kedua, dan merupakan tanaman hasil panen kedua di
samping tanaman utama. Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu bahan pangan yang
penting di Indonesia karena jagung merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Di
samping itu, jagung juga merupakan bahan baku industri dan pakan ternak (Ross, 1992).
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu bahan pangan yang penting di Indonesia
karena jagung merupakan sumber karbohi-drat kedua setelah beras. Di samping itu, jagung
juga merupakan bahan baku industri dan pakan ternak. Seperti tanaman lain, jagung juga
memerlukan unsur hara untuk kelangsungan hidup-nya. Unsur hara tersebut terdiri dari C, H,
O, N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, B, Cu, Zn, Mo, Mn, Cl, Si, Na, dan Co (Ross, 1992).
2.2 Hama Tanaman
a.
Serangga
Hama merupakan suatu organisme yang mengganggu tanaman,merusak tanaman
dan menimbulkan kerugian secara ekonomi,membuat produksi suatu tanaman berkurang
dan dapat juga menimbulkan kematian pada tanaman,serangga hama mempunyai bagian
tubuh yang utama yaitu caput, abdomen ,dan thorax. Serangga hama merupakan
organisme yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman dan mengakibatkan kerusakan
dan kerugian ekonomi. Hama dari jenis serangga dan penyakit merupakan kendala yang
dihadapi oleh setiap para petani yang selalu mengganggu perkembangan tanaman
budidaya dan hasil produksi pertanian. Hama dan penyakit tersebut merusak bagian
suatu tanaman, sehingga tanaman akan layu dan bahkan mati (Harianto, 2009).
Serangga (disebut pula Insecta) adalah kelompok utama dari hewan beruas
(Arthropoda) yang berkaki enam. Karena itulah mereka disebut pula Hexapoda.
Serangga ditemukan di hampir semua lingkungan kecuali di lautan. Kajian mengenai peri
kehidupan serangga disebut entomologi. dan ahli tentang ilmu serangga disebut
entomologis. Serangga dibagi menjadi 32 ordo atau kelompok. Urutan terbesar serangga
adalah kumbang (Coleoptera) dengan 125 keluarga yang berbeda dan sekitar 500.000
spesies yang berbeda. 5.000 spesies bangsa capung (Odonata), 20.000 spesies bangsa
belalang (Orthoptera), 170.000 spesies bangsa kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera),
120.000 bangsa lalat dan kerabatnya (Diptera), 82.000 spesies bangsa kepik (Hemiptera),
dan 110.000 spesies bangsa semut dan lebah (Hymenoptera)
(Yoxx, 2010).
b. Struktur Tubuh Serangga
Tubuh serangga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada
kepala terdapat satu pasang antena. Dada terdiri dari 3 ruas dan pada dada tersebut
terdapat tiga pasang kaki yang beruas- ruas. Sayap terdapat pada bagian ini dan pada
umumnya ada dua pasang yang terletak dibagian dada ruas kedua dan ruas ketiga. Perut
terdiri atas 6 sampai 11 ruas (ruas belakang posterior digunakan sebagai alat reproduksi).
c.
Zat Penyusun Tubuh Serangga (Zat Kitin)
Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan
komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan artropoda lainnya,
serta bagian dari dinding sel kebanyakan jamur dan alga. Setiap tahun dari perairan (laut)
dihasilkan sekitar 1011 ton kitin, namun kurang dari 0,1% yang dimanfaatkan kembali.
Kitin memiliki struktur yang mirip selulosa. Selulosa tersusun atas monomer glukosa,
sedangkan kitin tersusun dari monomer N-asetilglukosamin. Keduanya memiliki
kelarutan sangat rendah dalam air serta mengalami biodegradasi melalui mekanisme
yang hampir serupa dengan melibatkan komplek enzim (Toharisman, 2007).
Kitin, yang menyusun cangkang luar pada sebagian besar serangga, merupakan
bahan yang sempurna dalam hal kekuatan, elastisitas (kekenyalan) dan sifat insulasi
(penyekatan). Zat dengan sifat yang begitu luar biasa ini, tidak dapat tidak, membuat
orang berpikir, jika pesawat terbang dan pesawat luar angkasa dibuat dari bahan yang
bersifat seperti kitin, bagaimanakah bentuknya? Sebenarnya, struktur zat ini adalah
bahan yang diimpikan para insinyur aeronotika. Namun, walaupun teknologi kita sudah
maju, ummat manusia belum dapat menandingi rancangan yang berkelas tinggi ini.
2.3 BioPestisida
Biopestisida merupakan formula yang berisi konsorsium mikroba pendegradasi suatu
bahan tertentu yang berfungsi dalam perombakan bahan organik biologis yang dibuat khusus
untuk menghambat pertumbuhan suatu organisme yang susunan tubuhnya dapat didegradasi
oleh konsorsium mikroba tersebut (Febriansyah, 2011). Mikroba antagonis yang mempunyai
potensi untuk pengendalian hayati patogen tanaman sudah banyak dilaporkan oleh beberapa
peneliti, di antaranya Pseudomonas kelompok pendar (fluorescens), Gliocladium sp.,
Trichoderma spp., Paecilomyces lilacinus, Verticilium spp., Metarrhizium anisopliae,
Beauvaria bassiana, dan Bacillus sp (Soesanto, dkk., 2013).
2.4 Bakteri Kitinolitik
Bakteri kitinolitik merupakan kelompok bakteri penghasil kitinase yang dapat
mendegradasi senyawa kitin. Menurut Toharisman (2007), kitinase dari organisme laut
berperan dalam proses daur ulang kitin. Banyak bakteri dan jamur mengeluarkan kitinase
untuk menguraikan kitin menjadi karbon dan nitrogen. Dua senyawa tersebut selanjutnya
dipakai sebagai sumber energi biota lainnya. Dengan adanya kitinase penguraian kitin
berlangsung terus-menerus sehingga tidak terjadi akumulasi kitin dari sisa cangkang udang,
kepiting, cumi dan organisme laut lainnya.
a.
Enzim Kitinase
Kitinase adalah enzim yang akan mengkatalisis pemecahan senyawa polimer kitin
pada ikatan glikosidik β-1,4. Kitinase terdapat di berbagai organisme dan
diklasifikasikan dalam famili 18, 19 dan 20 glikosida hidrolase. Enzim kitinase
dihasilkan oleh bakteri, fungi, tanaman, dan hewan. Enzim kitinase saat ini banyak
digunakan sebagai agen biokontrol karena dapat mendegradasi kitin menjadi produk
yang ramah lingkungan dan dapat digunakan dalam bidang kesehatan, pangan, industri
dan lain-lain
Enzim kitinase mampu menghidrolisa senyawa polimer kitin menjadi kitin
oligosakarida atau monomer N-asetil glukosamin dengan menghidrolisis kitin secara
acak pada ikatan glikosidik. Ada 3 jenis enzim kitinase yang dibedakan berdasarkan cara
kerjanya dalam mendegradasi kitin, yaitu eksokitinase, endokitinase dan N-asetilglukosaminidase. Eksokitinase memotong polimer kitin hanya dari ujung non reduksi.
Endokitinase memotong polimer kitin secara acak dan menghasilkan dimer, trimer,
tetramer,
dan
oligomer
gula.
N-asetil-glukosaminidase
yang
memutuskan
diasetilkitobiosa dan menghasilkan N-asetil-glukosamin. Kitinase dikelompokkan
menjadi 3 keluarga (family) glikosil hidrolase yaitu keluarga (family) 18, 19 dan 20.
Kitinase yang dihasilkan organisme prokariotik dan eukariotik termasuk dalam golongan
famili 18 sedangkan pada famili 19, enzim kitinase ditemukan pada bakteri Gram positif,
Streptomyces, dan tanaman tingkat tinggi. Pada umumnya mekanisme hidrolisis enzim
kitinase adalah double-displacement retaining mechanism dan single-displacement
inverting mechanism.
BAB III. ALAT, BAHAN, DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di dalam Laboratorium Agronomi 3 (Mikrobiologi) milik
Fakultas Pertanian- Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang mulai Bulan November
2017- Januari 2018.
3.2 Alat dan Bahan
a.
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Autoclave, Erlenmeyer, Kompor
Gas, Tabung Reaksi, Cawan Petri, Rak Tabung Reaksi, Pipet Ukur, Pani Sterilisasi,
Laminar Air Flow (LAF), Mikro Pipet.
b. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Growmore Merah, Growmore
Hijau, Agar (Pemadat), Garam Fisiologis (NaCl), dan Sampel Air Laut dari Beberapa
Pesisir Pantai Laut Selatan Provinsi Jawa Timur.
3.3 Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yakni konsentrasi serbuk cangkang udang pada
beberapa taraf. Taraf yang digunakan berjumlah tujuh dengan empat kali pengulangan pada
masing- masing taraf.
3.4 Metode Kerja
Metode kerja yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.
Pengambilan sampel air laut
1.
Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam keadaan steril.
2.
Menyimpan alat dan bahan yang digunakan kedalam kotak penyimpanan
(coolbox).
3.
Mengambil sampel air laut menggunakan erlenmeyer dengan posisi mulut
erlenmeyer menghadap ke laut.
4.
Menyimpan erlenmyer berisi sampel air laut ke dalam coolbox.
b. Isolasi mikroba dari sampel air laut
1.
Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam keadaan steril di dalam
LAF.
2.
Mengambil 1 ml sampel air laut, memasukkannya ke dalam tabung reaksi berisi
9 ml garam fisiologis.
3.
Mengulang langkah nomor 2 hingga 9 kali untuk keperluan pengenceran supaya
didapat biakan murni.
4.
Biakan murni yang didapat dituang kedalam cawan petri yang berisi media agar
yang sudah ditambahkan serbuk cangkang udang dengan taraf yang berbeda.
5.
Mengamati laju pertumbuhan yang berlangsung pada media yang telah
diinokulasikan dengan biakan murni.
c.
Pembuatan kitin
1.
Menyiapkan alat dan bahan (limbang cangkang udang).
2.
Mencuci cangkang udang hingga bersih dan mengeringkannya di bawah sinar
matahari selama satu hari.
3.
Menghaluskan cangkang udang hingga menjadi serbuk halus.
4.
Menimbang serbuk cangkang udang sebanyak 100 gr dan memasukkannya ke
dalam erlenmeyer.
5.
Menambahkan NaOH sebanyak 500 ml ke dalam erlenmeyer.
6.
Menghomogenkan bahan yang ada did alam erlenmeyer menggunakan
magnetic strirer selama 2 jam pada suhu 60° C.
7.
Memisahkan endapan yang terbentuk dari filtrat.
8.
Mencuci endapan yang didapat dengan menggunakan aquadest hingga pH netral
dan selanjutnya mengeringkan endapat tersebut dengan oven selama 4 jam pada
suhu 60° C.
9.
Menimbang endapat sebanyak 64 gr yang sudah kering dan melarutkannya
dengan HCl pekat sebanyak 640 ml.
10. Mendiamkan campuran selama dua hari pada suhu kamar.
11. Mencuci endapan yang diperoleh dengan aquades hingga pH netral.
12. Mengeringkan kembali pada oven selama 4 jam pada suhu 60°C.
d. Pembuatan media agar kitin.
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Melakukan sterilisasi bahan media agar kitin dan koloid kitin dengan autoclave
dalam wadah yang berbeda selama 15 menit pada suhu 121° C.
3. Mencampur koloid kitin dengan bahan media agar kitin lain dalam keadaan steril.
4. Menuangkan media agar kitin steril ke dalam cawan petri.
e.
Inokulasi mikroba air laut
1.
Menyiapkan alat dan bahan di dalam Laminar Air Flow.
2.
Isolat yang diperoleh diambil sebanyak 1 ml dan menuangkannya ke dalam
cawan petri berisi media agar kitin.
3.
Menginkubasi cawan berisi isolat selama 48- 72 jam pada suhu 30° C.
3.5 Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan meliputi penghitungan jumlah koloni yang hidup dalam
media yang kemudian dianalisis secara kuantitatif perbedaan penggunaan jumlah kitin yang
digunakan dalam pembuatan media agar kitin dan asal isolat yang digunakan.
3.6 Analisis data
Analisis data menggunakan . . . .
DAFTAR PUSTAKA
Ross, S. A. (1992). Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Hal. 40.
Soesanto, L., 2004. Kemampuan Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali
hayati penyakit busuk batang kacang tanah in vivo. Eugenia 10(1):8-17.