HUKUM PERDATA ISLAM DAN REALITAS YANG SA

HUKUM PERDATA ISLAM DAN REALITAS YANG “SALING MENYAPA”
Judul Buku : Pembaharuan Hukum Perdata
Pendekatan dan
Penerapan
Penulis
: Muhammad Isna Wahyudi
Penerbit
: CV. Mandar Maju
Cetakan I
: April, 2014
Jumlah hlm
: xiii + 167

Islam:

penulis mencoba konsisten dengan teori yang dibangunnya, mencoba memberi
makna pada setiap teks dan mencoba menghidupkan sakralitas yang justru selama
ini tersembunyi dibalik ketidakpekaan zaman yang kita alami
Pada April 2014 lalu, ketika berjalan-jalan santai di sebuah toko buku, mata
saya tertuju pada subuah buku bersampul ungu dengan judul Pembaharuan Hukum
Perdata Islam: Pendekatan dan Penerapan. Sepintas saya tidak tertarik terhadap

judul buku ini yang kesannya seperti buku bahan ajar kuliah, atau buku-buku hukum
yang serius lainnya, tapi sepintas saya melihat nama pengarangnya, yang
sepertinya saya sering dengar, yang ternyata seorang hakim muda peradilan
agama. Setelah saya baca bagian kata pengantarnya, pak Wahyu Widiana (Dirjen
Badilag waktu itu), menyatakan diperlukan “kehati-hatian” dalam membaca buku ini
dan Nadirsyah Hosen (Dosen senior Fakultas Hukum, University of Wollongong,
Australia) menyebut buku ini sangat progresif dan “berani”. Sebuah pengantar
yang cukup membuat saya penasaran.
Menelisik penerapan hukum Islam di Indonesia, sepertinya tak jauh berbeda
dengan negara-negara muslim lainnya, hukum perdata Islam cenderung lebih masif
dijalankan ketimbang hukum pidananya. Ini dikarenakan hukum perdata yang
terkait erat dengan masalah masing-masing individu sebagai subjek hukumnya,
yang pada gilirannya lebih mudah diterapkan dalam sistem suatu negara yang
bahkan plural seperti di Indonesia. Namun karena sifat personalnya itu jugalah
hukum perdata Islam menjadi cukup sulit untuk didekati secara kritis, karena ia
berhubungan dengan kalam Tuhan yang posisinya sangat sakral bagi umat muslim.
Al-Qur’an dan Hadis memberikan ketentuan ketentuan yang cukup lengkap dan
terperinci mengenai aspek-aspek hukum perdata, lebih khusus lagi hukum keluarga
yang mendominasi sebagian besar sengketa yang masuk ke pengadilan.
Beberapa masalah hukum perdata Islam materiil di Indonesia terdapat dalam

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UU No. 1 tahun 1974, Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI),
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PP No. 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomis Syariah (KHES), dan UU No.
23 Tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat. (lihat hal. 1)
Sebagai hakim pengadilan agama, Muhamad Isna Wahyudi, sang penulis
punya sudut pandang yang lengkap untuk menguraikan permasalahn-permasalahan
hukum perdata Islam yang terjadi di masyarakat. Dalam praktek, penerapan dan
penyelesaian masalah-masalah hukum perdata Islam menemui berbagai masalah,

pada umumnya masalah masalah tersebut timbul terkait relasi gender, relasi sosial
dan keluarga di dalam berbagai masyakarat yang khas. Dan tidak jarang terjadi
ketegangan yang saling berhadap-hadapan antara konsep keadilan yang diyakini
seorang hakim dan konsep keadilan yang termaktub dalam hukum positif yang
merujuk pada sumber sumber utama hukum Islam seperti AlQuran dan Hadits. Di
sinilah nampak kegelisahan penulis sebagai praktisi hukum (yang juga kental
kesarjanaanya), untuk memberikan kontribusi dalam upaya penerapan hukum
perdata Islam yang “saling menyapa” antara realitas sosial dan sumber sumber

hukum yang sakral itu.
Usul Fiqh cum Hermeneutika
Dengan “berani” (istilah Nadirsyah Hosen dalam pengantar buku ini), penulis
menawarkan pendekatan Usul Fiqh cum Hermeneutika, sebuah pendekatan yang
menggabungkan ushul fiqh yang lebih menekankan pada analisis bahasa dari
sebuah teks dengan hermeneutika yang lebih menekan pada analisis konteks dari
sebuah teks. Bagaimana pendekatan ushul fiqh, sebuah metode penemuan hukum
dalam tradisi hukum Islam yang mapan dan punya sejarah panjang bisa ditautkan
dengan hermeneutika, yang secara konseptual menghendaki antara teks, konteks
dan kontekstualisasi selalu berdialektika secara produktif, dan bahkan
menghilangkan sakralitas terhadap teks yang dikaji. Banyak sekali persamaan,
namun banyak juga perbedaan tajam antara dua pendekatan yang berbeda asal
usul ini. Pembahasan secara panjang lebar tentang kedua konsep penemuan hukum
ini dibahas pada bagian awal buku ini.
Penulis kemudian menggunakan pendekatannya terhadap titik-titik
permasalahan hukum perdata Islam yang diterapkan di Indonesia. Beberapa tema
yang diangkat dalam buku ini yaitu tentang Rancangan Undang-Undang Hukum
Materil Peradilan Agama (RUU HMPA) Bidang Perkawinan,
pangakuan anak,
poligami, harta bersama, itsbat pengangkatan anak, ahli waris pengganti, putusan

pengadilan agama dan tentang saksi perempuan.
Kita ambil satu contoh, simak uraian berikut dari penulis: Beberapa poin
penting dalam RUU HMPA yang menjadi pusat perhatian penulis adalah tentang
ketentuan rukun perkawinan, Pasal 3 RUU HMPA Bidang Perkawinan berbunyi:
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam”. Dalam hukum
Islam suatu perbuatan hukum adalah sah jika memenuhi rukun dan syarat. Dalam
Pasal 13 dijelaskan bahwa rukun perkawinan yaitu: calon suami, calon istri, wali
nikah, dua orang saksi, ijab kabul dan mahar. Meskipun dalam Pasal 4 menyatakan
bahwa setiap perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan wajib dilangsungkan di hadapan
Pejabat Pencatat Nikah (Pasal 5 ayat 1) dan disebutkan pula dalam pasal 5 ayat 2
bahwa perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat 2
bahwa perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat 1
tidak mempunyai kekuatan hukum, pencatatan perkawinan bukanlah termasuk
rukun perkawinan menurut RUU HMPA Bidang Perkawinan. (hal. 69) Ketentuan ini
menurut penulis perlu dikaji kembali sehingga lebih kontekstual dengan kondisi
masyarakat saat ini.
Dalam uraiannya kemudian penulis memaparkan makna tekstual, bahwa
kedudukan perkawinan sebagaimana Al-Qur’an, Surah An-Nisa, ayat 21 sebagai
mitsaqan ghalidzan atau ikatan yang kokoh, dalam sebuah ikatan yang kokoh setiap

pasangan dituntut untuk berkomitmen dalam menjaga kelangsungan perkawinan
dalam rangka mewujudkan kebahagiaan sebagaimana Al-Qur’an, Surah Ar-Rum,

ayat 21. Meskipun demikian, Al-Qur’an tidak memerintahkan para pihak yang
melakukan pernikahan untuk mencatatkannya. Hal ini berbeda dengan masalah
akad hutang piutang yang diperintahkan untuk mencatatkannya sebagaimana
ketentuan dalam AL-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 282.
Tidak
berhenti disini, penulis kemudian
mengajukan pertanyaan
epistimologis, mengapa demikian?
Disinilah pentingnya kajian tentang konteks sosial budaya masyarakat Arab
pada saat turunnya wahyu. Penulis kemudian melanjutkan uraiannya: Masayarakat
Arab pada saat pewahyuan Al-Quran merupakan masyarakat kesukuan. Sebuah
suku terdiri dari beberapa klan yang terikat berdasarkan hubungan darah, dan
sebuah klan terdiri dari beberapa keluarga yang masing-masing keluarga tinggal di
tenda-tenda. Dalam kondisi yang demikian, masyarakat masih bersifat komunal
dalam nilai-nilai kebersamaan yang masih begitu kuat dan kepala suku memiliki
tanggung jawab untuk melindungi setiap anggota sukunya. Dalam situasi seperti ini
masyarakat memiliki fungsi control terhadap status perkawinan setiap anggotanya.

Inilah mengapa Rasulullah menganjurkan agar setiap akad nikah diselenggarakan
pesta perkawinan meski dengan seekor kambing. Tujuannya tidak lain adalah agar
dipersaksikan oleh masyarakat.
Dari pendekatan kontekstual ini penulis
berkesimpulan bahwa dalam konteks seperti ini tentu pencatatan perkawinan belum
menjadi sebuah tuntutan bagi masyarakat pada saat itu, yang mungkin
mempengaruhi para ulama fikih klasik dalam merumuskan rukun dan syarat
perkawinan.
Setelah menemukan konteks dari pewahyuan tersebut, penulis kemudian
mencoba untuk mengkontekstualisasikannya dalam masa sekarang. Menurutnya,
kondisi masyarakat telah berubah, terdapat pergeseran bentuk keluarga dalam
masyarakat dari keluarga besar (extended family) menjadi keluarga kecil (nuclear
family) yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Selain itu mobilitas manusia
semakin tinggi seiring dengan adanya revolusi industri dan perkembangan sarana
transportasi dan komunikasi. Dalam konteks seperti ini, maka masyarakat tanpa
disadari telah kehilangan perannya untuk melakukan fungsi kontrol atas ikatan
perkawinan angota-anggotanya. Selain itu konsep negara-bangsa yang menggejala
hampir di semua negara muslim pasca era kolonialisme juga telah memberikan
otoritas bagi negara untuk melindungi hak-hak setiap warga negara dengan
melakukan penertiban administrasi kependudukan termasuk dalam hal perkawinan.

Disinilah menurut penulis, Pencatatan perkawinan menjadi tuntutan yang tidak
dapat dihindari dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi pasangan
yang menikah maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Oleh karena itu
sudah sepatutnya pencatatan nikah menjadi salah satu rukun perkawinan.
Masalah pencatatan perkawinan merupakan salah satu permasalahan yang
belum bisa terpecahkan sampai saat ini, titik singgung agama (islam) dan negara
seringkali mengalami tarik ulur yang cukup panas. Implikasi dari masalah yang
kelihatannya sepele ini adalah cukup besar dan sangat mendasar, pencatatan
perkawinan adalah dokumen hukum yang paling dasar bagi setiap warga negara
untuk bisa dijamin hak-haknya menurut hukum, upaya penulis untuk menjembatani
dua kutub yang berseberangan perlu diapresiasi.
Selain masalah pencatatan pernikahan, seabrek masalah yang juga disoroti
penulis adalah masalah usia perkawinan, wali nikah, kedudukan anak dan masa
iddah (masa tunggu) perempuan setelah cerai.
Selain diperkaya studi kasus tentang permasalahan hukum perdata Islam di
Indonesia, bagian epilog buku ini juga dilengkapi beberapa artikel yang terkait

dengan permasalahan tersebut, antara lain berjudul Tantangan Keluarga Muslim
Kontemporer, Penegakan Syariah/Hukum Islam di Indonesia, Format Peradilan
Keluarga di Indonesia, Kisah Sukses Mediasi Sengketa Waris, Hak Asuh Anak,

Meramal Nasib Status Anak Machica, dan Menjadi Hakim Sensitif Gender.
Sangat menarik mengamati upaya penulis dalam mencermati satu persatu
tema di atas dengan pendekatan ushul fiqh cum hermenutiknya, penulis mencoba
konsisten dengan teori yang dibangunnya, mencoba memberi makna pada setiap
teks dan mencoba menghidupkan sakralitas yang justru selama ini tersembunyi di
balik ketidakpekaan zaman yang kita alami. Banyaknya permasalahan yang dikupas
dalam buku ini tidak menjadikannya buku yang mengabaikan detail, justru buku ini
seakan sebuah google maps untuk hukum perdata Islam di Indonesia, kita bisa
mengetahui bagian-bagian mana yang sekiranya masih rentan untuk disinggahi dan
bagian mana yang bahkan masih berlubang. Buku ini menjadi pengingat bagi
pengambil kebijakan khususnya legislator, pemerintah, sarjana dan para praktisi
hukum bahwa masih banyak hal yang seharusnya mendapat perhatian lebih.
Meskipun demikian, landasan teoritik yang dibangun oleh penulis belum
teruji zaman, pencangkokan sebuah teori terhadap teori yang lainnya
membutuhkan sebuah kajian yang lebih serius dan membutuhkan waktu yang lebih
lama lagi. Namun, paling tidak penulis telah menyampaikan tesis-tesisnya tentang
berbagai persoalan di atas secara tuntas. Selain itu, judul buku ini juga terasa
sangat klise, terkesan sangat mirip dengan “buku-buku pembaharuan hukum”
lainnya, meskipun demikian pembaruan memang selalu melekat di dinding zaman.
Tentu akan menjadi perhatian kita semua ke depannya, putusan putusan

yang dihasilkan penulis akan sebagus gagasan-gagasan dalam bukunya ini, tentu
kita
semua
berharap
demikian,
bukan?
selamat membaca!
Peresensi, Abdul Halim
Hakim Pengadilan Agama Bawean, Gresik