KEBIJAKAN STRATEGI FILM DALAM BUDAYA GLO

KEBIJAKAN STRATEGI FILM DALAM BUDAYA GLOBAL SEBAGAI
BENTUK KETAHANAN BUDAYA BANGSA DI INDONESIA

PAPER
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan, mata kuliah
Politik Hukum, Semester I, Tahun Akademik 2017/2018

Disusun oleh :
110620170046

Garin Tirana

Kelas A

Dibawah bimbingan :
Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.
Dr. Hernadi Affandi, S.H., L.L.M.

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN

BANDUNG 2017

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji serta syukur penulis panjatkan ke Hadirat Illahi Rabbi karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul ”
KEBIJAKAN STRATEGI FILM DALAM BUDAYA GLOBAL SEBAGAI
BENTUK KETAHANAN BUDAYA BANGSA DI INDONESIA”.
Dalam penulisan paper ini, penulis mencoba memaparkan hasil diskusi
dan informasi dengan kemampuan yang penulis miliki. Meski begitu penulis
menyadari, bahwa pada pembuatan paper ini belum mencapai sempurna. Namun
demikian, penulis yakin bahwa makalah ini mengandung banyak memberi
manfaat bagi kita semua.
Penulis anggap pembuatan paper ini sebagai benteng menuju kesuksesan
dalam mencapai suatu tujuan sehingga dalam pembuatan paper ini penulis selalu
mencoba bersemangat dan berfikir kritis supaya mendapatkan hasil yang
maksimal. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Rukmana
Amanwinata, S.H., M.H. dan Dr. Hernadi Affandi, S.H., L.L.M.
Dosen Pembimbing, orang tua serta teman -teman yang senantiasa
memberikan dorongan dan bantuan baik berupa moril ataupun materil sehingga

makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar dan baik.
Penulis rasa dalam paper ini terdapat kekurangan, oleh sebab itu penulis
mengharapkan sumbangsih pemikiran, baik berupa saran atau kritikan dari para
pembaca. Dan semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Bandung, 23 November 2017

Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah......................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN.. ................................................................................... 4
A. Peran Film dalam budaya Global sebagai bentuk ketahanan
budaya bangsa Indoneisa ................................................................... 5
B. Kebijakan Strategis Film dalam budaya Global sebagai bentuk

ketahanan budaya bangsa Indonesia ................................................ 7
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 14
A. Kesimpulan ................................................................................. 14
B. Rekomendasi ................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar tahun 1945 secara
nyata menyatakan bahwa Indoneisa adalah negara hukum, yaitu pada Pasal
1ayat (3) UUD 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945) yang berbunyi:
“negara Indonesia adalah negara hukum”. Jimly Asshiddiqie menggunakan
istilah nomorcy sebagai padanan negara hukum.1 Selanjtnya dalam Pasal 33
ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Perekonomian diselenggarkan
berdasarkan

atas


demokrasi

dengan

prinsip

kebersamaan,

efisiensi

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Maka dapat disimpulkan bahwa Indoneia merupakan negara hukum
kesejahteraan (welfarestate).
Indonesia sebagai

negara

hukum


kesejahteraan

(welfarestate)

dihadapkan pada berbagai tuntutan dalam rangka pembangunan nasional.
Salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun1998, ialah diadakannya
reformasi dalam bidang politik dan kebudayaan, antara lain dalam bidang
perfilman. Sejalan dengan bergesernya posisi film dari rumpun politik ke
rumpun kebudayaan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
lahirlah gagasan tentang perlunya paradigma baru.
Film sebagai karya seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah
sinematografi merupakan fenomena kebudayaan. Hal itu bermakna bahwa
film merupakan hasil proses kreatif warga negara yang dilakukan dengan
memadukan keindahan, kecanggihan teknologi, serta sistem nilai, gagasan,
norma, dan tindakan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1

Jimly Ashiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008, hlm. 298


Film sebagai karya seni budaya yang dapat dipertunjukan dengan atau
tanpa suara juga bermakna bahwa film merupakan media komunikasi massa
yang membawa pesan yang berisi gagasan vital, kepada publik (khalayak)
dengan daya pengaruh yang besar. Itulah sebabnya film mempunyai tugas
pendidikan, hiburan, informasi, dan pendorong karya kreatif. Kegiatan
pembuatan film melibatkan insan perfilman, pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat yang memiliki fungsi dan peranan masing-masing yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Film sebelum beredar dan
dipertunjukan di Indonesia wajib disensor dan memperoleh surat tanda lulus
sensor film. Sensor pada dasarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat
dari pengaruh negatif film. 2
Berdasarkan konsideran menimbang huruf a Undang-undang Nomor
33 Tahun 2009 tentang Perfilman (selanjutnya disebut UU Perfilman),
bahwa: “Film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam
peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir
batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara
bertanggung jawab memajukan perfilman.”
Menurut Pasal 1 angka 1UU Perfilman bahwa :” Film adalah karya
seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa
yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan

dapat

dipertunjukan."

Menurut

Wibowo,

film

adalah

alat

untuk

menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui sebuah media cerita,
film juga merupakan medium ekspresi artistik sebagai suatu alat bagi para
seniman dan insan perfilman dalam mengutarakan gagasan-gagasan dan ide
cerita. Secara essensial dan substansial film memiliki power yang akan

berimplikasi terhadap komunikasi masyarakat.3 Sedangkan menurut Effendy,
film adalah teatrikal yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukan

2
3

hlm.196

Penjelasan Undnag-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
Fred Wibowo, Teknik Program Televisi, Pinus Book Publisher, Yogyakarta, 2006,

digedung-gedung bioskop dan televisi atau sinetron yang dibuat khusus untuk
siaran televisi.4
Film dalam budaya global merupakan bentuk ketahanan budaya.
Ketahanan budaya memainkan peranan penting terkait dengan isu identitas.5
Istilah ketahanan budaya pun lahir. Walaupun hingga kini, konsep tersebut
belum menuju satu definisi yang jelas, sudah banyak para ahli yang
mendefiniskannya. Misal, Menurut TirtoSudarmo, ketahanan budaya
disandingkan


dengan

konsep

nasionalisme,

yang

dianggap

sebagai

kemampuan sebuah bangsa untuk bertahan terhadap “ancaman”, “serangan”,
atau “tantangan” yang umumnya datang dari luar.6 Ketahanan budaya dapat
juga diartikan sebagai “culture defence”. Ketahanan budaya yang lemah,
dapat menjadi sasaran dari aneka ‘pencaplokan budaya’ dan ‘pencurian
simbol’ oleh kekuatan asing.7
Dalam perkembangannya, pengaturan mengenai perfilman terus
mengalami perubahan. Semuanya diarahkan pada pengaturan mengenai
perfilman yang dapat menunjang ketahanan budaya bangsa Indonesia yang

semakin dihadapkan pada degradasi nilai akibat pengaruh budaya globalisasi.
Banyak pakar sudah menyampaikan gagasannya yang berkaitan
dengan perubahan pelaksanaan demokrasi di Indonesia baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pada umumnya, perubahan yang ditawarkan
berkaiatan dengan arah kebijakan hukum terkait dengan kehidupan politik
dan demokrasi. Hal ini sangat wajar mengingat hukum merupakan faktor
penting dalam menentukan arah kebijakan kehidupan politik maupun
demokrasi. Dengan kata lain proses kehidupan politik dan demokrasi akan
berjalan dengan baik apabila tersedia aturan hukum yang jelas, tegas,

4
5

H. Effendy, Mari Membuat Film, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 201
Hurip Danu Ismadi, Ketahanan Budaya (Pemikiran dan Wacana), Insignia, Jakarta,

2014, hlm. 7
6

Ibid

Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium
Ketiga dan Matinya Posmodernisme), Mizan, Bandung, 2008, hlm. 137
7

transparan, dan adil.8 Dalam kehidupan politik dan demokrasi sudah cukup
banyak ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengalami perubahan.
Hali itu dilakukan agar kehidupan politik dan demokrasi dapat berjalan
menjadi lebih baik daripada sebelumnya.9
Berdasrkan uraian diatas, maka penulis tertarik membuat sebuah paper
dengan judul : KEBIJAKAN STRATEGI FILM DALAM BUDAYA
GLOBAL SEBAGAI BENTUK KETAHANAN BUDAYA BANGSA DI
INDONESIA.
B. Identifikasi Masalah
Bedasarkan

latar

belakang

penelitian

diatas,

penulis

dapat

mengidentifikasi permasalahan terkait dengan judul artikel penulis, sebagai
berikut :
1. Bagimana Peran film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan
budaya bangsa di Indonesia ?
2. Bagaimana kebijakan strategi film dalam budaya global sebagai bentuk
ketahanan budaya bangsa di Indonesia ?

8

Op.Cit, Hurip Danu Ismadi, hlm. 7
Hernadi Affandi, Pengaturan dan Pelaksanaan Kebijakan Hukum Nasional Dalam
Pembangunan Politik dan Demokrasi di Indonesia,
https://blogs.unpad.ac.id/heraff/files/2010/11/PENGATURAN-KEBIJAKAN-HUKUM -DALAMPEMBANGUNAN-POLITIK.pdf, diunduh pada tanggal 16 November 2017 Pukul 10.00
9

BAB II
PEMBAHASAN

A. Peran film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan budaya
bangsa di Indonesia
Menurut Kartawinata, ketahanan budaya dapat diartikan sebagai
suatu proses perwujudan kesadaran kolektif yang tersusun dalam masyarakat
untuk meneguhkan, menyerap, dan mengubahsuaikan berbagai pengaruh dari
budaya lain melalui proses belajar kebudayaan, yaitu enkulturasi, sosialisasi,
dan internalisasi yang disandarkan pada pengalaman sejarah yang sama.10
Film dapat didefinisikan sebagai representasi kebudayaan.
Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian
utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai
bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan
oleh kita didalam pemaknaan tertentu. Cultural Studies memfokuskan diri
kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri.11
Dalam Pasal 4 UU Perfilman, dinyatakan bahwa Perfilman
mempunyai fungsi:
a. Budaya;
b. Pendidikan;
c. Hiburan;
d. Informasi;
e. Pendorong karya kreatif; dan
f. Ekonomi.
Selanjutnya dalam Pasal 48 UU Perfilman dinyatakan bahwa
setiap insan perfilman berkewajiban:
10
11

Op.Cit
Chris Barker, Cultural Studies Theory and Practice,Sage, New Delhi,2004, hlm. 8

a. Memenuhi standar kompetensi dalam bidang perfilman;
b. Melaksanakan pekerjaan secara profesional;
c. Melaksanakan perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis; dan
d. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan
budaya bangsa.
Robert Keohane dan Joseph Nye menyebut globalisasi sebagai proses
kontemporer dari globalism. Globalisasi merupakan dimensi lain dari
globalism, selain interdependensi. Globalisme sendiri merupakan jaringan

antar negara-negara di dunia yang terhubung secara interdependensi dalam
jarak yang melintas benua (multicontinental distantances). Jaringan itu
terwujud melalui aliran dan pengaruh modal dan barang, informasi dan
gagasan, migrasi masyarakat, dan kekuatan militer, serta substansi biologis
dan lingkungan seperti reaksi asam dan patogen. Globalisasi merupakan
peningkatan hubungan itu. 12
Dalam menyikapi era globalisasi yang membawa dampak ganda,
disatu sisi membuka kesemapatan kerjasama seluas-luasnya antara negara dan
di sisi lain era ini membawa persaiangan yang semakin tajam dan ketat
dibutuhkan sebuah produk kebijakan yang berdampak pada iklim industri
film.
Namun kembali lagi pada fokus utama dari kajian dalam paper ini,
film yang merupakan saran komunikasi harus dibuat dan didasarkan pada
nilai-nilai yang dipegang teguh oleh bangsa Indonesia. Perfilman Indonesia
harus mencerminkan budaya bangsa Indonesia, yaitu seluruh sistem nilai,
gagasan, norma, tindakan, dan hasil karya bangsa Indonesia diseluruh
wilayah nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu setiap film yang akan ditayangkan di Indonesia harus
terlebih dahulu diteliti oleh Lembaga Sensor film. Sensor film adalah

Koehane dan Nye, “Globalization: What’s New? What’s Not? (And So
What)?.”dalam Foreign 104Policy, Spring, 2000, hlm. 118: 104-119
12

penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk
dipertunjukan kepada khaylayak umum.
Selian itu dalam Pasal 41 UU Perfilman dinyatakan bahwa :
(1) Pemerintah wajib mencegah masuknya film impor yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan,
dan budaya bangsa.
(2) Pemerintah wajib membatasi impor film dengan menjaga proporsi
antara film impor dan film Indonesia guna mencegah dominasi
budaya asing.
Sebagai

produk

representasi

budaya,

film

tidak

hanya

mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi
juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu
dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada
semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton
film sebagai refresentasi budaya.
Sebagai media komunikasi masa film dibuat dengan tujuan tertentu.
Karakteristik psiologinya khas bila dibandingkan dengan sistem komunikasi
interpersonal yaitu bersifat satu arah. Jadi bila dibandingkan dengan jenis
komunikasi lainnya, film dianggap jenis yang paling efektif.13
B. Kebijakan strategi film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan
budaya bangsa di Indonesia
Kebijakan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan
bahwa kebijakan mengandung arti sebagai rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak (untuk pemerintahan, organisasi dan
sebagainya), penyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.

13

Joseph M. Boggs, The Art of Watching Film, Yayasan Citra Pusat Perfilman HaJI
Umar Ismail, Jakarta 1986, hlm. 5

Selain kebijakan yang diatur dalam peraturan perundanga-undangan
yang sifatnya mengikat, pemerintah juga pejabat administrasi negara juga
dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat bebas (Vrijbeleid).
Menurut Bagir Manan, dengan adanya peraturan kebijakan akan terjamin
ketaatasasan tindakan administrasi negara dan setiap peristiwa yang
mengandung persamaan, kepastian hukum dan tindakan-tindakan dapat
dipercaya karena didasarkan pada peraturan yang sudah tertentu.14
Menurut Muladi, beberapa langkah atau kebijakan hukum yang harus
diambil dalam rangka memperbaiki keadaan bangsa dan negara ke depan
dapat berupa:15
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk
terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi
hukum dan tegaknya Negara Hukum.
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan
mengakui dan menghormati agama dan hukum adat serta memperbaharui
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang
diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya
dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
3. Menegakan hukum secraa konsisten untuk lebih menjamin kepastian
hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai
HAM.
Di Indonesia aturan hukum yang mengatur Pertama kali mengenai
Perfilman adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman.
Namun dalam perkembangannya, undang-undang tersebut dirasakan sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga perlu dicabut dan
diganti. Denagn latar belakang pemikiran tersebut, maka disusunlah

14

Bagir Manan, Peraturan Kebijakan, Vanili Pengadilan, 2008
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Cetakan
Pertama, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 4-5
15

Rancangan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tenatng Perfilman
sehingga lahir Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tenatng Perfilman.
Penyususnan UU Perfilman baru ini tentu dilakukan sesuai dengan
persyaratan penyususnan undang-undang dengan melibatkan seluruh elemen
ataupun stake holder yang terlibat dalam dunia perfilman baik itu budayawan
kemudian akademisi, praktisi-praktisi perfilman, para pengamat film dan
kebudayaan, bahkan para artis juga pengusaha-pengusaha perfilman.16
Undang-undang Perfilman yang baru yaitu Undang-undang Nomor 33
Tahun 2009 ini terdiri dari 14 bab dan 90 Pasal, jika dibandingkan dengan
UU Perfilman yang lama yaitu UU Nomor 8 Tahun 1992 yang hanya terdiri
dari 12 bab 46 Pasal, cakupan undang-undnag perfilman yang bau jauh lebih
luas. Pada perubahan ini, Lembaga Sensor Film (LSF) diperkuat pula dalam
UU ini. Dengan terdiri dari 19 orang komisioner, dan merekrut sampai 250
orang tenaga sensor.
Lembaga Sensor film diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor film. Peran lembaga sensor film seperti
yang tertuang dalam peraturan pemerintah No 7 tahun 1994 bahwa lembaga
sensor film mempunyai fungsi melindungi masyarakat dari dampak negatif
yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan atau penayangan film dan
reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman
Indonesia.
Arah dan tujuan pembuatan perfilman harus berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 dalam undang-undang perfilman Nomor 33
Tahun 2009 terdapat delapan arah dan tujuan perfilman Indonesia antara lain:
Pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa, pembangunan watak an
kepribadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia.
pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, peningkatan kecerdasan bangsa,
16

Syamsa, Nyimas Gandasri, http://www.annida.online.com/review/tidak-adakontroversi-soal-uu-perfilman-yang-baru-html diunduh pada kamis tanggal 16 November 2017
Pukul 10.00 WIB

pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman, keserasian dan
keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis usaha perfilman,
terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan, penyajian hiburan yang
sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Oleh karena itu, penyensoran melindungi masyarakat dari dampak dan
pengaruh kemungkinan negatif perfilman yang tidak sesuai dengan arah dan
tujuan perfilman Indonesia. Keberadaan lembaga sensor film bukan sebagai
lembaga penjamin moral akan tetapi menyaring terhadap arus infomasi yang
dapat merusak tata nilai dan budaya bangsa terlebih dalam era globalisasi ini
yaitu era keterbukaan segala informasi bisa masuk begitu pula dengan
perfilman semua jenis film bisa masuk baik film impor maupun film nasional
tanpa adanya pembatasan terhadap film dan didukung dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi modern atau disebut juga information
and communication technology (ICT) siapa pun dan dimana pun dapat

mengakses informasi.
Wewenang Lembaga Sensor Film (Pasal 59 UU Perfilman adalah:
melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film
yang mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan
Pasal 7, melaksanakan penyensoran berdasarka prinsip dialog dengan pemilik
film yang disensor, mengembalikan film yang mengandung tema, gambar,
adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan
kriteria sensor film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pada ayat (1)
kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki, mengembalikan iklan
film yang tidak sesuai dengan isi film sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik iklan film untuk diperbaiki, serta
dapat mengusulkan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku
kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7.

Selanjutnya pada kurun waktu tahun 2015, Dewan Perwakilan Rakyat
menilai bahwa UU Perfilman Nomor 33 tahun 2009 dirasa memiliki
kekurangan dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, Komisi I
mengusulkan untuk memasukan UU Perfilman untuk masuk dalam DAFTAR
Proglam Legislasi Nasional (Selanjutnya disebut Prolegnas) periode tahun
2015-2019.
Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), UU Perfilman
menjadi salah satu UU yang diagendakan untuk diubah.
Deskripsi Konsepsi (DPR), meliputi :17
Judul

: Perubahan UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Tanggal : 2 Februari 2015
Pengusul : Dewan Perwakilan Rakyat
Latar belakang dan tujuan penyusunan adalah bahwa UU Perfilman
masih terdapat substansi Pasal-pasal yang kurang berkesesuaian dan belum
jelas serta bertentangan satu dengan yang lainnya, diantaranya:
1. Lembaga Sensor Film dibiayai dari APBN dan dapat didukung oleh
APBD;
2. Lembaga Sensor Film dapat menerima dana dari tarif yang dikenakan
terhadap film yang disensor;
3. Pengelola dana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) wajib diaudit
oleh Akuntan Publik dan diumumkan kepada masyarakat. Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP).

17

Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Program
Legislasi Nasional www.dpr.go.id/uu/prolegnas, diakses pada tanggal 16 November 2017, pukul
11.00 WIB

Selanjutnya Sasaran yang ingin diwujudkan diantarannya adalah
mendorong

terciptanya

iklim

yang

kondusif

bagi

tumbuh

dan

berkembangnya industri perfilman Indonesia yang kuat, bermartabat dan
berkualitas.
Jangkauan dan Arah Pengaturan RUU Perfilman meliputi :
1. Pengaturan meliputi:
a. Politik kebijakan perfilman nasional yang mendukung terciptanya
industri perfilman yang kuat, bermartabat dan berkualitas yang
menjamin adanya kemerdekaan berekspresi dan berkreasi sesuai
dengan kepribadian bangsa dan tujuan berbangsa dan bernegara.
b. Seluruh aspek yang berkaitan dengan perfilman yang meliputi
produksi, distribusi, dan pemasaran film. Kontol dan supervisi
terhadap industri perfilman nasional.
Dasar Pembentukan UU Perfilman didasarkan pada Pasal 28, Pasal
28F, Pasal 28J, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 32 ayat (1)
UUD1945.
Kejatuhan dan keberhasilan sebuah negara ataupun sebuah industri
film ditentukan “kehebatan” kebijakan publiknya, bukan oleh sumber daya
alam, posisi strategis, atau politiknya, semua itu hanyalah sebagai faktor
pembentuk bukan faktor penentu. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan
yang menguntungkan baik bagi insan perfilman selaku pelaku usaha dan
masyarakat selaku konsumen yang saling dapat memeberikan manfaat satu
sama lain.
Apabila regulasi perfilman itu sendiri tumbuh dan berkembang secara
positif, dipadu dengan bekerjanya peraturan perundang-undangan tertentu
berkaitan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat selaku konsumen,
maka upaya para pelaku usaha perfilman tersebut merupakan pula hal yang
membantu perlindungan konsumen juga, suatu kondisi yang sangat

menguntungkan bagi konsumen apabila semua pihak, khususnya pelaku
usaha perfilman, menjalankan dan menaati hukum yang berlaku serta
disamping itu, mempunyai moral yang tinggi dalam mengejar tujuan usaha
yang dijalankannya.18

18

Nasution A.Z. , Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Dadid Media,
Jakarta, 2006, hlm. 201

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peran film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan budaya bangsa
di Indonesia bahwa film sebagai ketahanan budaya dapat diartikan sebagai
suatu proses perwujudan kesadaran kolektif yang tersusun dalam
masyarakat untuk meneguhkan, menyerap, dan mengubahsuaikan berbagai
pengaruh dari budaya lain melalui proses belajar kebudayaan, yaitu
enkulturasi,

sosialisasi,

dan

internalisasi

yang

disandarkan

pada

pengalaman sejarah yang sama. Dalam Pasal 4 UU Perfilman, dinyatakan
bahwa Perfilman mempunyai fungsi Budaya, Pendidikan, Hiburan,
Informasi;, Pendorong karya kreatif, dan Ekonomi. Sebagai produk
representasi budaya, khususnya di era globalisasi film tidak hanya
mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi
juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu
dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada
semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan
menonton film sebagai refresentasi budaya.
2. Kebijakan strategi film dalam budaya global sebagai bentuk ketahanan
budaya bangsa di Indonesia bahwa di Indonesia aturan hukum yang
mengatur Pertama kali mengenai Perfilman adalah Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1992 Tentang Perfilman. Namun dalam perkembangannya,
undang-undang tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman sehingga perlu dicabut dan diganti. Dengan latar
belakang pemikiran tersebut, maka disusunlah Rancangan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2009 tenatng Perfilman sehingga lahir Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2009 tenatng Perfilman. Selannjutnya pada kurun waktu
tahun 2015, Dewan Perwakilan Rakyat menilai bahwa UU Perfilman
Nomor 33 tahun 2009 dirasa memiliki kekurangan dan sudah tidak sesuai

dengan perkembangan zaman, Komisi I mengusulkan untuk memasukan
UU Perfilman untuk masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas), UU Perfilman menjadi salah satu UU yang
diagendakan untuk diubah. Kejatuhan dan keberhasilan sebuah negara
ataupun sebuah industri film ditentukan “kehebatan” kebijakan publiknya,
bukan oleh sumber daya alam, posisi strategis, atau politiknya, semua itu
hanyalah sebagai faktor pembentuk bukan faktor penentu. Kebijakan yang
dimaksud adalah kebijakan yang menguntungkan baik bagi insan perfilman
selaku pelaku usaha dan masyarakat selaku konsumen yang saling dapat
memeberikan manfaat satu sama lain.
B. Rekomendasi
1. Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan tugas pokok dan fungsi
Lembaga Sensor Film Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang diberi
kewenangan menilai layak atau tidaknya suatu film ditayangkan. Supaya
tidak terjadi peristiwa-peristiwa dimana suatu film dinyatakan lulus sensor
padahal film tersebut tidak layak untuk ditayanngkan, misalnya karena
bersifat asusila atau bertentangan dengan nilai-nilai agama. Salah satu
caranya dengan menjadikan UU Perfilman masuk dalam Prolegnas 20152019.
2. Sebaiknya insan perfilman lebih berhati-hati dalam hal memproduksi suatu
film. Jangan sampai film yang seharusnya berfungsi sebagai ketahanan
nasional bangsa Indonesia justru malah menimbulkan degradasi nilai bangsa
kita sendiri karena bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang di
negara Indonesia.
3. Sebaiknya masyarakat lebih selektif dalam menentukan pilihan jenis film
yang akan ditonton. Mengingat dampak dari tayangan film berpengaruh
cukup besar dalam perkembangan psikologis sesorang. Hal ini berarti nilainilai yang hendak disampaikan dalam suatu tayanga film yang akan
berpengaruh bagi pemikiran dan jiwa seseorang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Chris Barker, Cultural Studies Theory and Practice, Sage, New Delhi, 2004
Fred Wibowo, Teknik Program Televisi, Pinus Book Publisher, Yogyakarta,
2006
H. Effendy, Mari Membuat Film, Erlangga, Jakarta, 2009
Hurip Danu Ismadi, Ketahanan Budaya (Pemikiran dan Wacana), Insignia,
Jakarta, 2014,
Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Realitas Kebudayaan Menjelang
Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme), Mizan, Bandung, 2008
Jimly Ashiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008
M. Boggs, The Art of Watching Film, Yayasan Citra Pusat Perfilman HaJI
Umar Ismail, Jakarta 1986
Koehane dan Nye, “Globalization: What’s New? What’s Not? (And So
What)?.”dalam Foreign 104Policy, Spring, 2000
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi, dan Reformasi Hukum di Indonesia,
Cetakan Pertama, The Habibie Center, Jakarta, 2002
Nasution A.Z. , Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Dadid
Media, Jakarta, 2006
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor film

C. Sumber Lain
1.

Jurnal
Hernadi Affandi, Pengaturan dan Pelaksanaan Kebijakan Hukum Nasional
Dalam Pembangunan Politik dan Demokrasi di Indonesia,
https://blogs.unpad.ac.id/heraff/files/2010/11/PENGATURANKEBIJAKAN-HUKUM
-DALAM-PEMBANGUNAN-POLITIK.pdf,
diunduh pada tanggal 16 November 2017 Pukul 10.00
Bagir Manan, Peraturan Kebijakan, Vinili Pengadilan, 2008

2.

Website
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
Program Legislasi Nasional www.dpr.go.id/uu/prolegnas, diakses
pada tanggal 16 November 2017, pukul 11.00 WIB
Syamsa, Nyimas Gandasri, http://www.annida.online.com/review/tidakada-kontroversi-soal-uu-perfilman-yang-baru-html diunduh pada
kamis tanggal 16 November 2017 Pukul 10.00 WIB