KEARIFAN LOKAL DAN KAPITALISME docx
KEARIFAN LOKAL DAN KAPITALISME
Oleh Aprinus Salam
Hingga hari ini kita masih menghidupkan secara sistemats apa yang disebut
kearifan lokal. Kita menyeminarkannya, menerbitkan buku, menyelenggarakan
berbagai kegiatan dengan dan atas nama kearifan lokal, sepert permainan dan seni
tradisional, berbagai karnaval yang mengandung nilai dan flosof lokal, dan
sebagainya. Persoalannya, apa yang terjadi di balik revitalisasi kearifan lokal,
sementara kapitalisme dengan banal terus berlangsung dalam kehidupan seharihari.
Kearifan lokal dari dulu adalah sesuatu tatanan simbolik yang diagungkan,
dimuliakan, dan suatu fantasi yang bisa dianggap nyata yang kita bersama-sama
ingin menjadi dan ada di dalamnya, sesuai dengan konteks budaya lokalnya
masing-masing. Artnya, setap lokal-lokal, bisa jadi tatanan simboliknya berbedabeda, tetapi bisa pula pada tngkat yang universial adalah hal kebaikan dan
kebenaran yang diakui bersama. Dengan demikian, tatanan simbolik lokal orang
Indonesia itu beragam sesuai dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang
berlaku dalam masyarakat tersebut.
Akan tetapi, persoalannya bukan itu. Persoalannya adalah saat ini kita hidup dalam
satu tatanan simbolik rezim kapitalisme. Suatu era ketka rezim kapitalisme
demikian berkuasa, atau ada pula yang menyebutnya sebagai super-kapitalisme.
Rezim tersebut telah berhasil membuat satu tatanan simbolik baru, dan kita hidup,
mau tdak mau, terperangkap dalam rezim tersebut. Kita hidup ketka hampir
seluruh nilai-nilai, flosof, simbol-simbol, bahkan imajinasi yang bersifat kapitalists.
Untuk hidup kita harus bekerja, dan mau tdak mau kita bekerja pada lembaga
pemerintah atau non-pemerintah. Jika bekerja secara mandiri pun kita terikat
dalam satu sistem pasar dan modalitas tertentu. Jika bertani, kita hidup dalam satu
sistem sirkulasi jual beli barang dan jasa. Ketka menjadi seniman, kita perlu
memperjualbelikan karya. Sirkulasi jual beli barang, jasa, dan modalitas tersebut
terikat pula dalam tatanan simbolik kapitalisme.
Agar hidup terkesan “normal”, kita mengikut aturan main nilai-nilai, simbol-simbol,
dan flosof modern tersebut. Kalau tdak, kita bisa dinggap ketnggalan zaman,
orang aneh, tdak mengikut kaidah kehidupan yang telah menjadi tuntutan zaman.
Alhasil, secara keseluruhan hidup kita sungguh telah menjadi modern. Pada situasi
itulah, kemudian, kita menjadi tahu bahwa tatanan kapitalisme tdak membawa
atau mengantarkan kita pada sesuatu yang sejat, yang Real. Kita hanya menjadi
budak kehendak modern. Kita dipacu untuk menikmat dan memuaskan diri
berdasarkan hasrat-hasrat duniawi. Hal itu hanya akan berhent jika suatu ketka
kita mat, dan sayangnya kita tdak pernah tahu kapan kita mat.
Namun, bukan berart kita tdak sadar bahwa hidup kita terasa palsu dan semu. Kita
pun sadar bahwa hidup telah membawa kita pada proses-proses dehumanisasi,
hilangnya penghormatan terhadap nilai-nilai keadilan, kemuliaan, dan kedamaian.
Dulu, sebelum kesadaran itu muncul, itulah yang disebut Marx sebagai kesadaran
palsu. Kita melakukan tndakan tertentu karena tdak mengatahuinya. Akan tetapi,
sekarang kita melakukan tndakan tertentu, dan kita tahu itu tdak benar, tetapi
kita tetap melakukannya. Keadaan ini yang disebut Slavoj Zizek beroperasinya
kesadaran sinis (1989, 1994, 1997).
Dalam praktk kehidupan sehari-hari, dalam tatanan simbolik kapitalisme tersebut
kita menjadi sadar kearifan lokal ternyata telah menjadi ada tapi tada, menjadi the
Other. Dalam situasi itu kita merindukannya, membutuhkannya. Maka dibuat
berbagai program, acara, aksi-aksi, dan hal-hal yang berkaitan dengan penghidupan
kembali nilai-nilai atau praktk kearifan lokal. Dengan asumsi, kearifan lokal dapat
membawa kita pada sesuatu yang Real.
Kita pun menghidupkan tradisi dan ritual-ritual tradisional yang sarat dengan nilainilai kearifan lokal. Berbagai kampanye, jargon, dan seremoni-seronomi atau
kegiatan yang bernuasa kearifan lokal kita selenggarakan, mungkin per minggu, per
bulan, atau per tahun. Kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan
negara pun menjadi sibuk dengan berbagai kegiatan dan seremonial yang,
diandaikan, sangat berbau tradisi dan kearifan lokal.
Dalam praktknya, hal terpentng yang terjadi adalah paling tdak kita diajak
kembali untuk merasakan (dan mungkin membeli) apa yang disebut merasakan
pengalaman arif dengan nuasa lokal. Dalam konteks ini, kearifan lokal yang
seharusnya bagian integral dalam kehidupan, berposisi sebagai yang asing.
Dibuatlah berbagai kegiatan yang disengaja agar the Other menjadi tdak terlalu
asing dengan merasakan kembali pengalaman yang arif lokal tersebut.
Sebagai contoh kita mengadakan desa budaya sebagai satu ruang yang
mengandung muatan kearifan lokal. Kita menyelenggarakan festval dan ritual seni
untuk terlibat dengan pengalaman arif dan lokal. Kegiatan itu dimaksukan untuk
sejenak atau beberapa jam/hari menjadi arif dan lokal tanpa terus menerus
bersusah payah menjadi orang yang terasing dalam dunia formal berdasarkan
tatanan simbolik kapitalisme.
Dari siatuasi itu dapat diketahui bahwa segala hal atas nama kearifan lokal tersebut
tetap tdak dapat keluar dari suatu rangkaian tatatan simbolik kapitalisme. Hal ini
terjadi karena, dalam praktknya, kearifan lokal menjadi komoditas, menjadi bagian
dari investasi modalitas, terikat dalam jaringan dan berbagai kepentngan yang
dibutuhkan oleh masyarakat modern yang kapitalists.
Pertanyaannya, apakah kita tdak tahu semua hal yang terjadi. Jawabannya, kita
tahu. Akan tetapi, kita dengan sengaja memanipulasi pengetahuan kita itu untuk
pura-pura tdak tahu. Rasionalitas kita sengaja dihalangi, karena jika rasionalitas
kita dimuculkan, maka akan tahulah kita bahwa tatanan simbolik yang terlanjur kita
nikmat, akan berubah segalanya. Mungkin kita tdak akan menikmatnya lagi,
walau kita tahu yang kita nikmat ini semu dan palsu.
Aprinus Salam
Pengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM
Oleh Aprinus Salam
Hingga hari ini kita masih menghidupkan secara sistemats apa yang disebut
kearifan lokal. Kita menyeminarkannya, menerbitkan buku, menyelenggarakan
berbagai kegiatan dengan dan atas nama kearifan lokal, sepert permainan dan seni
tradisional, berbagai karnaval yang mengandung nilai dan flosof lokal, dan
sebagainya. Persoalannya, apa yang terjadi di balik revitalisasi kearifan lokal,
sementara kapitalisme dengan banal terus berlangsung dalam kehidupan seharihari.
Kearifan lokal dari dulu adalah sesuatu tatanan simbolik yang diagungkan,
dimuliakan, dan suatu fantasi yang bisa dianggap nyata yang kita bersama-sama
ingin menjadi dan ada di dalamnya, sesuai dengan konteks budaya lokalnya
masing-masing. Artnya, setap lokal-lokal, bisa jadi tatanan simboliknya berbedabeda, tetapi bisa pula pada tngkat yang universial adalah hal kebaikan dan
kebenaran yang diakui bersama. Dengan demikian, tatanan simbolik lokal orang
Indonesia itu beragam sesuai dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang
berlaku dalam masyarakat tersebut.
Akan tetapi, persoalannya bukan itu. Persoalannya adalah saat ini kita hidup dalam
satu tatanan simbolik rezim kapitalisme. Suatu era ketka rezim kapitalisme
demikian berkuasa, atau ada pula yang menyebutnya sebagai super-kapitalisme.
Rezim tersebut telah berhasil membuat satu tatanan simbolik baru, dan kita hidup,
mau tdak mau, terperangkap dalam rezim tersebut. Kita hidup ketka hampir
seluruh nilai-nilai, flosof, simbol-simbol, bahkan imajinasi yang bersifat kapitalists.
Untuk hidup kita harus bekerja, dan mau tdak mau kita bekerja pada lembaga
pemerintah atau non-pemerintah. Jika bekerja secara mandiri pun kita terikat
dalam satu sistem pasar dan modalitas tertentu. Jika bertani, kita hidup dalam satu
sistem sirkulasi jual beli barang dan jasa. Ketka menjadi seniman, kita perlu
memperjualbelikan karya. Sirkulasi jual beli barang, jasa, dan modalitas tersebut
terikat pula dalam tatanan simbolik kapitalisme.
Agar hidup terkesan “normal”, kita mengikut aturan main nilai-nilai, simbol-simbol,
dan flosof modern tersebut. Kalau tdak, kita bisa dinggap ketnggalan zaman,
orang aneh, tdak mengikut kaidah kehidupan yang telah menjadi tuntutan zaman.
Alhasil, secara keseluruhan hidup kita sungguh telah menjadi modern. Pada situasi
itulah, kemudian, kita menjadi tahu bahwa tatanan kapitalisme tdak membawa
atau mengantarkan kita pada sesuatu yang sejat, yang Real. Kita hanya menjadi
budak kehendak modern. Kita dipacu untuk menikmat dan memuaskan diri
berdasarkan hasrat-hasrat duniawi. Hal itu hanya akan berhent jika suatu ketka
kita mat, dan sayangnya kita tdak pernah tahu kapan kita mat.
Namun, bukan berart kita tdak sadar bahwa hidup kita terasa palsu dan semu. Kita
pun sadar bahwa hidup telah membawa kita pada proses-proses dehumanisasi,
hilangnya penghormatan terhadap nilai-nilai keadilan, kemuliaan, dan kedamaian.
Dulu, sebelum kesadaran itu muncul, itulah yang disebut Marx sebagai kesadaran
palsu. Kita melakukan tndakan tertentu karena tdak mengatahuinya. Akan tetapi,
sekarang kita melakukan tndakan tertentu, dan kita tahu itu tdak benar, tetapi
kita tetap melakukannya. Keadaan ini yang disebut Slavoj Zizek beroperasinya
kesadaran sinis (1989, 1994, 1997).
Dalam praktk kehidupan sehari-hari, dalam tatanan simbolik kapitalisme tersebut
kita menjadi sadar kearifan lokal ternyata telah menjadi ada tapi tada, menjadi the
Other. Dalam situasi itu kita merindukannya, membutuhkannya. Maka dibuat
berbagai program, acara, aksi-aksi, dan hal-hal yang berkaitan dengan penghidupan
kembali nilai-nilai atau praktk kearifan lokal. Dengan asumsi, kearifan lokal dapat
membawa kita pada sesuatu yang Real.
Kita pun menghidupkan tradisi dan ritual-ritual tradisional yang sarat dengan nilainilai kearifan lokal. Berbagai kampanye, jargon, dan seremoni-seronomi atau
kegiatan yang bernuasa kearifan lokal kita selenggarakan, mungkin per minggu, per
bulan, atau per tahun. Kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan
negara pun menjadi sibuk dengan berbagai kegiatan dan seremonial yang,
diandaikan, sangat berbau tradisi dan kearifan lokal.
Dalam praktknya, hal terpentng yang terjadi adalah paling tdak kita diajak
kembali untuk merasakan (dan mungkin membeli) apa yang disebut merasakan
pengalaman arif dengan nuasa lokal. Dalam konteks ini, kearifan lokal yang
seharusnya bagian integral dalam kehidupan, berposisi sebagai yang asing.
Dibuatlah berbagai kegiatan yang disengaja agar the Other menjadi tdak terlalu
asing dengan merasakan kembali pengalaman yang arif lokal tersebut.
Sebagai contoh kita mengadakan desa budaya sebagai satu ruang yang
mengandung muatan kearifan lokal. Kita menyelenggarakan festval dan ritual seni
untuk terlibat dengan pengalaman arif dan lokal. Kegiatan itu dimaksukan untuk
sejenak atau beberapa jam/hari menjadi arif dan lokal tanpa terus menerus
bersusah payah menjadi orang yang terasing dalam dunia formal berdasarkan
tatanan simbolik kapitalisme.
Dari siatuasi itu dapat diketahui bahwa segala hal atas nama kearifan lokal tersebut
tetap tdak dapat keluar dari suatu rangkaian tatatan simbolik kapitalisme. Hal ini
terjadi karena, dalam praktknya, kearifan lokal menjadi komoditas, menjadi bagian
dari investasi modalitas, terikat dalam jaringan dan berbagai kepentngan yang
dibutuhkan oleh masyarakat modern yang kapitalists.
Pertanyaannya, apakah kita tdak tahu semua hal yang terjadi. Jawabannya, kita
tahu. Akan tetapi, kita dengan sengaja memanipulasi pengetahuan kita itu untuk
pura-pura tdak tahu. Rasionalitas kita sengaja dihalangi, karena jika rasionalitas
kita dimuculkan, maka akan tahulah kita bahwa tatanan simbolik yang terlanjur kita
nikmat, akan berubah segalanya. Mungkin kita tdak akan menikmatnya lagi,
walau kita tahu yang kita nikmat ini semu dan palsu.
Aprinus Salam
Pengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM