ANALISIS KETIDAKADILAN GENDER PADA TOKOH

ANALISIS KETIDAKADILAN GENDER PADA TOKOH PEREMPUAN DALAM
NOVEL “KUPU-KUPU MALAM” KARYA ACHMAD MUNIF
Endah Susanti
SMP Muhammadiyah Malang
Abstrak
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini: 1)bagaimana bentuk ketidakadilan
gender berupa kekerasan yang dialami tokoh perempuan dalam novel “Kupu-kupu
Malam” karya Achmad Munif?2) bagaimana bentuk ketidakadilan gender berupa
marginalisasi yang dialami tokoh perempuan dalam novel “Kupu-kupu Malam”
karya Achmad Munif? Kekuasaan perempuan sebagai kekuasaan inferior, memaksa
perempuan melakukan apa saja yang diminta oleh kaum laki-laki sebagai kaum
patriarkhi. Hasil analisis menunjukkan bahwa Subordinasi dan stereotype membuat
perempuan mendapatkan perlakuan semena-mena, karena adanya anggapan bahwa
kekuasaan terbesar ada pada kaum laki-laki dan perempuan harus tunduk terhadap
laki-laki.Perempuan yang dianggap lemah dan tidak mampu melakukan segala
sesuatunya sendiri, membuat perempuan selalu bergantung dan mengakibatkan
anggapan bahwa perempuan tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin.Asumsi
bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing lawan jenisnya. Maka setiap
kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label ini
dengan semakin merendahkan kedudukan perempuan, maka akan semakin
diindahkannya kesempatan yang dimiliki perempuan di dalam masyarakat karena

merasa di nomor duakan dan tidak dianggap penting.Marginalisasi membuat
kedudukan perempuan inferior dan berdampak pada pekerjaan perempuan yang tidak
terlalu bagus (baik dari gaji, jaminan kerja, status pekerjaaan).
Kata kunci: ketidakadilan, gender, perempuan

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sastra selalu menghadirkan hidup
dan kehidupan dalam masyarakat, semua
yang dihadirkan dalam peristiwa sastra
dapat terjadi dalam kehidupan nyata, dan
kehidupan di luar alam nyata. Namun yang
jelas sastra mampu membuat penikmat
terkesima dalam peristiwa-peristiwa yang
dihadirkan dengan penuh daya sublimasi,
interpretasi, asosiasi terhadap berbagai
realitas yang ada dalam kehidupan manusia.
Karya sastra dipandang sebagai cara
komunikasi antarpersonal, aparatus interaksi
sosial, yang keberadaannya dinilai melalui


sistem antar hubungan peranan. Karya
sastra tidak lahir secara alamiah, karya
sastra juga tidak dilahirkan dalam kondisi
yang khas, karena itu karya sastra tidak
dapat dianggap sebagai gejala-gejala yang
unik.
Novel, merupakan jenis karya sastra
berbentuk prosa fiktif yang mecerminkan
kehidupan manusia di masyarakat atau
dengan kata lain bahwa novel merupakan
mimesis terhadap masalah sosial di
masyarakat. Penceritaan dalam novel, tidak
terbatas panjang dan lebarnya jumlah katakata.

Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|713


Masalah sosial yang muncul
berkaitan dengan hidup dan kehidupan

manusia, serta kemanusiaan itu sendiri. Hal
ini menimbulkan kesenjangan sosial yang
dapat mempengaruhi perkembangan relasi
yang ada dalam masyarakat. Adanya
perbedaan gender di lingkungan sosial yang
dipengaruhi baik dari faktor pendidikan,
budaya, agama, dan ekonomi menimbulkan
ketidakadilan sosial.
Dari berbagai gugatan terhadap
ketidakadilan tersebut, terdapat satu analisis
yang mempertanyakan ketidakadilan sosial
dari aspek hubungan antara jenis kelamin.
Analisis yang dimaksud adalah analisis
gender yang merupakan proses menganalisis
data dan informasi secara sistematis tentang
laki-laki dan perempuan untuk
mengidentifikasi dan mengungkapkan
kedudukan, fungsi, peran, dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan, serta faktorfaktor yang mempengaruhi
Ketidakadilan gender sendiri adalah

sifat, perbuatan, perlakuan yang berat
sebelah atau sesuatu yang memihak pada
jenis kelamin tertentu dan hal ini dapat
meyebabkan kesenjangan sosial antar
individu. Hal ini merupakan perwujudan
dari proses ketidaksetaraan gender yang
dapat mengakibatkan tidak adanya
kebebasan, seperti yang dicontohkan pada
bentuk marginalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan.
Perempuan sering menjadi korban
dari tindak kejahatan, hal ini dipengaruhi
oleh aspek budaya yang menempatkan
kekuasaan laki-laki atau hak milik
sepenuhnya ada di laki-laki sebagai
kebudayaan patriarkhi. Sehingga, memicu
bahwa kedudukan perempuan ada di nomor
dua setelah laki-laki. Aspek ekonomi,
membuat perempuan tergantung pada lakilaki untuk pemenuhan kebutuhan, karena
adanya anggapan bahwa perempuan sebagai

tenaga kerja

Hal inilah yang mengantarkan
peneliti untuk menganalisis adanya
ketidakadilan gender pada tokoh perempuan,
yang ada dalam novel “Kupu-kupu Malam”
karya Achmad Munif. Dalam novel ini
terdapat pembatasan hak perempuan oleh
laki-laki, yang merupakan penindasan
terhadap kesempatan yang seharusnya
dimiliki perempuan itu sendiri. Anggapan
bahwa perempuan mempunyai tugas pokok
sebagai pengatur kehidupan domestik rumah
tangga. Tugas pokok bahwa perempuan
melayani suami, memberikan keturunan,
menjaga kehormatan suami, dan menjadi
pendidik bagi anak membuat kesempatan
perempuan menjadi tidak seimbang dengan
laki-laki.
Kekuatan-kekuatan yang

mendeskriminasikan perempuan, antara lain
pada lapangan pendidikan, penggunaan
tenaga kerja, agama, perempuan miskin dan
malang, gambaran perempuan dalam media
massa, hak-hak politik perempuan, dan
keluarga. Hal inilah sebagai faktor yang
menggap bahwa perempuan sebagai kaum
yang pasif.
Masalah
Permasalahan dalam tulisan ini
dibatasi pada hal-hal sebagai berikut:
1) bentuk ketidakadilan gender berupa
kekerasan yang dialami tokoh perempuan
dalam novel “Kupu-kupu Malam” karya
Achmad Munif,
2) bentuk ketidakadilan gender berupa
marginalisasi yang dialami tokoh
perempuan dalam novel “Kupu-kupu
Malam” karya Achmad Munif.
Berdasarkan pembatasan tersebut,

maka masalah dalam tulisan ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1) bagaimana bentuk ketidakadilan gender
berupa kekerasan yang dialami tokoh
perempuan dalam novel “Kupu-kupu
Malam” karya Achmad Munif?

Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|714


2) bagaimana bentuk ketidakadilan gender
berupa marginalisasi yang dialami tokoh
perempuan dalam novel “Kupu-kupu
Malam” karya Achmad Munif?
Kerangka Teori
Menurut Sugiarti (2001: 2), karya
sastra merupakan khasanah intelektual yang
dengan caranya sendiri merekam dan
menyuarakan nilai-nilai kehidupan dalam
masyarakat. Karya sastra berbeda dengan

teori-teori, tidak hanya berbicara kepada
intelek pembaca, melainkan kepada seluruh
kepribadian termasuk keinginan, emosi, dan
khayalan-khayalannya. Pendeknya,
kesusastraan merupakan bagian integral
yang penting dan proses sosial.
Maka dengan adanya pendapat
tersebut dapat disimpulkan, bahwa karya
sastra merupakan bagian dari sosiologi
sastra yang menurut Endraswara (2003: 78),
sosiologi sastra adalah konsep cermin
(mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap
sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Sastra
tentunya tidak menyodorkan fakta secara
mentah, namun suatu kenyataan yang telah
ditafsirkan.
Sosiologi sastra adalah penelitian
yang terfokus pada masalah manusia, karena
sastra sering mengungkapkan perjuangan
umat manusia dalam menentukan masa

depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan,
dan intuisi. Secara implisit, karya sastra
merefleksikan proposisi bahwa manusia
memiliki sisi kehidupan masa lampau,
sekarang, dan masa mendatang. Oleh karena
itu, nilai yang terdapat dalam karya sastra
adalah nilai yang hidup dan dinamis.
Beranjak dari novel “Kupu-kupu
Malam” karya Achmad Munif, yang sangat
berhubungan dengan nilai-nilai sosiologi,
didapatkan adanya perbedaan gender di
lingkungan sosial yang dipengaruhi baik
dari faktor pendidikan, budaya, agama, dan
ekonomi menimbulkan ketidakadilan sosial.
Hal ini akan memicu tentang kehidupan

perempuan itu sendiri dan berkaitan dengan
hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh
perempuan.
Konsep Gender

Konsep gender menurut Fakih (1996:
8), dijelaskan sebagai suatu sifat yang
melekat pada kaum lelaki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Sejarah perbedaan gender
antara manusia dan laki-laki dan perempuan
terjadi melalui proses yang sangat panjang.
Maka, terbentuknya perbedaan gender
dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya
dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan
dikonstruksi secara sosial, kultural, melalui
ajaran keagamaan bahkan oleh negara.
Sosialisasi tersebut akhirnya
dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolaholah bersifat biologis yang tidak dapat
diubah. Sebaliknya konstruksi sosial tentang
gender dengan dialektika akhirnya
tersosialisasikan secara evolusional dan
perlahan-lahan mempengaruhi biologis
masing-masing jenis kelamin. Maka, karena
konstruksi sosialisasi tersebut

mempengaruhi tidak saja pada
perkembangan emosi dan visi serta ideologi
kaum perempuan, namun secara fisik dan
biologis mempengaruhi perkembangan
berikutnya.
Proses sosialisasi dan rekonstruksi
yang berjalan secara mapan dan lama,
akhirnya menjadi sulit lagi dibedakan
apakah sifat-sifat gender seperti kaum
perempuan lemah lembut dan kaum lelaki
perkasa itu dikonstruksi atau dibentuk oleh
masyarakat atau suatu kodrat biologis yang
ditetapkan oleh Tuhan.

Gender dalam Sastra
Sastra sering dikaitkan dengan
masalah kekuasaan, ideologi, dan politik
sehingga ada anggapan bahwa studi masalah
“sastra, kekuasaan, dan ideologi” hanya
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|715



akan menarik dan mengenai sasaran bila
dikaji secara ekstrinsik. Hal itu merupakan
suatu eksperimen moral yang dituangkan
pengarang melaui bahasa, sastra dalam
kenyataannya menampilkan gambaran
kehidupan dan kehidupan itu sendiri
merupakan kenyataan sosial (Santosa dalam
Satoto, 2000: 251).
Kesusastraan sebagai lembaga sosial,
menampung berbagai aspirasi masyarakat
yang disuarakan oleh pengarang melalui
karya sastra yang dihasilkannya. Masalah
kekuasaan tidak luput menjadi perhatian
para sastrawan sejak zaman dahulu sampai
sekarang.
Salah satunya wacana tentang persoalan
gender tidak akan pernah lepas dan sistem
sosial, budaya, politik yang berlaku dalam
suatu negara atau dengan kata lain, realitas
persoalan gender merefleksikan realitas
sosial budaya politik yang ada.
Gender adalah dikotomoi ada lakilaki, ada perempuan. Namun, dalam
persepektif gender, dengan adanya dikotomi
nature (bahwa dalam menentukan laki-laki
dan perempuan berbeda, setidaknya dari segi
jasmani, karena itu perempuan bisa
mengandung dan laki-laki hanya bisa
membuahi) dan nature (bahwa ternyata
kebudayaan, adat istiadat, hukum, dan
sebagainya mengacu pada kepentingan lakilaki). Seolah untuk menjadi manusia,
perempuan harus menghapus jati dirinya dan
mengikuti laki-laki, dan seolah perempuan
tidak mungkin menjadi ketua. Dikotomi
telah menyulap diri menjadi hirarki laki-laki
lebih tinggi dari pada perempuan, dan
perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.
Pengertian Ketidakadilan Gender
Menurut Fakih (1996: 11) perbedaan
gender menyebabkan berbagai
ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan
terutama terhadap kaum perempuan. Gender
dapat diartikan sebagai konsep sosial yang
membedakan (dalam arti memilih atau

memisahkan) peran antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan fungsi dan peran
antara laki-laki dan perempuan itu tidak
ditentukan karena antara keduanya terdapat
perbedaan biologis atau kodrat, tetapi
dibedakan atau dipilah-pilah menurut
kedudukan, fungsi, dan peranan masingmasing dalam berbagai bidang kehidupan
dan pembangunan.
Jika konstruksi gender dianggap
sebagai kodrat, akibatnya gender
mempengaruhi keyakinan manusia serta
budaya masyarakat tentang bagaimana lelaki
dan perempuan berpikir bertindak sesuai
dengan ketentuan sosial tersebut.
Pembedaan yang dilakukan oleh aturan
masyarakat dan bukan perbedaan biologis
itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan.
Masyarakat sebagai kelompoklah yang
menciptakan perilaku pembagian gender
untuk menentukan berdasarkan apa yang
mereka anggap sebagai keharusan, untuk
membedakan antara laki-laki dan
perempuan.
Ketidakadilan gender termanifestasi
dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni
marginalisasi (proses pemiskinan bagi kaum
perempuan), subordinasi atau anggapan
tidak penting dalam keputusan politik,
stereotype dan diskriminasi, pelabelan
negatif, kekerasan, bekerja lebih banyak,
serta sosialisasi ideologi nilai peran gender
(Fakih, 1996: 12). Uraian berikut membahas
secara rinci masing-masing manifestasi dari
ketidakadilan gender:
1) Marginalisasi
Marginalisasi terhadap perempuan
terjadi sejak berada di rumah tangga,
diskriminasi terjadi atas anggota keluarga
yang lelaki dan perempuan. Proses tersebut
mengakibatkan memiskinkan kaum
perempuan di bidang ekonomi. Hal ini
berpengaruh terhadap adanya dominasi lakilaki. Perempuan dianggap mempunyai
pandangan yang bersifat feminin, artinya
perempuan hanya dianggap sebagai
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|716



pengasuh, keibuan, dan lembut. Figur
dominan perempuan di mana saja, masih
tetap sama dengan zaman paleolitik yaitu
sebagai ibu dan pengasuh anak-anaknya.
Figur dominan perempuan seperti inilah
yang dianggap sebagai kendala besar bagi
terwujudnya kesetaraan gender.
2) Subordinasi
Pandangan gender, menimbulkan
subordinasi terhadap perempuan. Adanya
anggapan bahwa perempuan itu irasional,
emosional, maka dianggap tidak dapat
memimpin dan oleh karena itu harus
ditempatkan pada posisi yang tidak penting
(Fakih, 1996: 15).
Bentuk-bentuk subordinasi terjadi
dalam segala macam perbedaan tempat dan
waktu. Misalnya di Jawa, yang beranggapan
bahwa perempuan tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi. Bahkan, pemerintahan pernah
memiliki peraturan bahwa suami dapat
mengambil keputusan sendiri ketika hendak
belajar jauh dari keluarga. Praktik seperti
itulah yang sesungguhnya berangkat dari
suatu kesadaran gender yang tidak adil.
3) Stereotype
Stereotype yang terjadi sering
dijadikan sebagai pelabelan terhadap suatu
kelompok tertentu. Misalnya, label yang
berawal dari asumsi bahwa perempuan
bersolek dalam rangka memancing lawan
jenisnya. Maka setiap kasus kekerasan
seksual atau pelecehan seksual selalu
dikaitkan dengan label ini.
Masyarakat memiliki anggapan bahwa
tugas utama kaum perempuan adalah
melayani suami. Stereotype berakibat layak
sekali pendidikan kaum perempuan
dinomorduakan. Stereotype terhadap kaum
perempuan ini banyak terjadi di mana-mana.
Peraturan pemerintah, aturan keagamaan,
kebudayaan, dan kebiasaan masyarakat yang
dikembangkan karena stereotype ini.

4) Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan
merupakan salah satu bentuk kejahatan yang
menyebabkan orang terhalang untuk
mengaktualisasikan potensi diri secara
wajar. Kekerasan dapat berupa perilaku
kasar, sehingga menyebabkan suatu yang
mencemaskan, rasa takut sehingga
berdampak pada sesuatu yang tidak
menyenangkan.
Kekerasan atau violence adalah
gabungan dua kata latin “vis” (daya,
kekuatan) dan “latus” berasal dari kata ferre
yang berarti membawa. Menurut
Poerwodarminto (dalam Sugiarti, 2003: 79)
menjelaskan, bahwa kekerasan diartikan
sebagai sifat, kekuatan, paksaan. Sedangkan,
paksaan berarti membawa kekuatan,
paksaan, dan tekanan.
Kekerasan menurut Galtung (Sugiarti,
2003: 79) adalah segala sesuatu yang
menyebabkan orang terhalang untuk
mengaktualisasikan potensi diri secara
wajar. Berdasarkan beberapa konsep
tersebut, jelas bahwa kekerasan selalu
berhubungan dengan tindakan atau perilaku
kasar, mencemaskan, menakutkan, dan
selalu menimbulkan dampak yang tidak
menyenangkan bagi korbannya, baik secara
fisik, psikis, maupun sosial.
Penjelasan tentang kekerasan oleh
Budi Sampurna bahwa kekerasan
merupakan tindakan jenis kelamin yang
berakibat kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual bahkan psikologis,
termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
sewenang-wenang, baik terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi (dalam
Luhulima, 2000: 52). Kemudian, Luhulima
(2000: 11) memetakan secara umum tentang
bentuk atau dimensi kekerasan terhadap
perempuan, antara lain mencakup:
a) Kekerasan secara Fisik

Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|717


Laki-laki secara fisik lebih kuat
daripada perempuan dan ada kemungkinan
tingkat agresivitas yang lebih tinggi
memiliki dasar biologis pula. Dalam
masyarakat, laki-laki juga dibiasakan untuk
melatih dan menggunakan fisiknya.
Sehingga, hal ini memicu perempuan
sebagai korban tindak kekerasan fisik yang
dilakukan pelaku kekerasan (Luhulima,
2000: 18).
Kekerasan fisik dapat berupa
pemukulan, menampar, mencekik,
menendang, melempar barang ke tubuh
korban, menginjak, melukai dengan tangan
kosong atau alat atau senjata, membunuh,
kekerasan dengan benda tajam, siraman zat
kimia atau air panas.
Pada pemeriksaan atas korban akibat
kekerasan fisik, yang dinilai sebagai akibat
penganiayaan didapati perlukaan bukan
karena kecelakaan. Hal ini dapat diakibatkan
oleh suatu episode kekerasan yang tunggal
atau berulang-ulang, dari yang ringan hingga
fatal.
b) Kekerasan secara Psikologis
Jika ditelaah dari aspek psikologi,
ada tiga penjelasan mengenai tindak
kekerasan terhadap perempuan, yaitu:
pertama, penjelasan yang mengarah ke
kondisi internal. Karakteristik pribadi atau
psikopatologi pelaku kekerasan yang
menyebabkan kekerasan kemudian terjadi.
Misalnya, kekerasan dilakukan oleh orangorang yang “terganggu”, tertekan, memiliki
banyak konflik dan masalah, yang kemudian
direspon dengan cara melakukan kekerasan
pada orang-orang di sekitarnya. Pandangan
ini biasanya menyatakan bahwa kekerasan
terhadap perempuan bukan merupakan hal
umum, melainkan hal sangat khusus atau
kasuistik.
Kedua, penjelasan yang mengarah ke
alasan-alasan yang dilekatkan
kekarakteristik pribadi korban kekerasan.
Masuk dalam bagian ini adalah penjelasan

bahwa kejadian kekerasan diprovokasi oleh
korban, misalnya dengan tingkah lakunya
yang mengundang atau korban memiliki
karakteristik kepribadian tertentu yang
menyebabkannya mudah mengalami
kekerasan (penuntut, histerik, masokistik).
Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi
pengertiannya, karena sensitivitas emosi
seseorang sangat bervariasi. Hal ini dapat
digambarkan dalam bentuk berteriak-teriak,
menyumpah, mengancam, merendahkan,
mengatur, melecehkan, menguntit dan
memata-matai, tindakan-tindakan lain yang
menimbulkan rasa takut (termasuk yang
diarahkan kepada orang-orang dekat korban,
misal keluarga, anak, suami, teman dekat).
c) Kekerasan secara Seksual
Kekerasan seksual yaitu melakukan
tindakan yang mengarah ke ajakan atau
desakan seksual seperti menyentuh, meraba,
mencium, dan atau melakukan tindakantindakan lain yang tidak dikehendaki
korban, memaksa korban menonton produk
pornografi, gurauan-gurauan seksual yang
tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan
yang merendahkan dan melecehkan dengan
mengarah pada aspek jenis kelamin atau
seks korban, memaksa berhubungan seks
tanpa persetujuan korban, dengan kekerasan
fisik maupun tidak, melakukan aktivitasaktivitas seksual yang tidak disukai,
merendahkan, menyakiti atau melukai
korban. Pornografi (dengan dampak sosial
yang sangat luas bagi perempuan pada
umumnya).

d) Kekerasan secara Finansial
Pada tingkat individual, faktor
psikologis berinteraksi dengan hal-hal
bahwa laki-laki lebih kuat dari perempuan,
budaya yang mentoleransi penggunaan
kekuatan laki-laki, dan realitas ekonomi
memaksa perempuan untuk menerima
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|718



penganiayaan dari orang pada siapa korban
menggantungkan hidup. Hal ini yang
membedakan perempuan Kekerasan
finansial dapat berupa mengambil uang
korban, menahan atau tidak memberikan
pemenuhan kebutuhan finansial korban,
mengendalikan dan mengawasi pengeluaran
uang hingga sekecil-kecilnya, semuanya
dengan maksud untuk dapat mengendalikan
tindakan korban.
e) Kekerasan secara Spiritual
Kekerasan bersifat spiritual, yaitu
kekerasan dalam bentuk merendahkan
keyakinan dan kepercayaan korban,
memaksa korban untuk meyakini hal-hal
yang tidak diyakininya, memaksa korban
mempraktikkan ritual dan keyakinan
tertentu.
Seorang sosiolog Robert Merton
(dalam Sugiarti, 2003: 76) memandang
bahwa kekerasan sebagai perilaku
menyimpang, yang terjadi ketika orang tidak
punya pilihan atau cara yang sah untuk
mendapatkan sesuatu, maka mereka akan
melakukan penyimpangan, diantaranya
tindakan kekerasan. Dengan kata lain,
terdorong untuk menggunakan cara
(instrumen) illegal, misalnya kekerasan
untuk mencapai tujuan secara budaya
menjadi tuntutan pemenuhan kebutuhan.
Terdapat hubungan antar berbagai
macam kekerasan dilakukan terhadap
perempuan seluruh dunia. Perkosaan dan
pemukulan yang berakibat pada kematian,
perusakan atau pemotongan organ intim
perempuan (seperti Afrika), pembuatan
pornografi. Hubungannya adalah karena
perempuan dilihat sebagai objek yang harus
dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki,
dan bukan sebagai individu dengan hak atas
tubuh dan kehidupannya (Sugiarti, 2003:
82).
Pemanfaatan perempuan dalam
jaringan prostitusi dan perdagangan
internasional telah menjadi pusat perhatian

penting dalam kejahatan internasional yang
terorganisir, mengingat bahwa keadaan
tersebut merupakan faktor penyebab
(tambahan) dalam pelanggaran terhadap
hak-hak asasi manusia, serta kebebasan
pokok perempuan. Mengingat bahwa korban
dari perdagangan internasional tersebut
menghadapi resiko yang lebih tinggi
terhadap kekerasan lebih lanjut, kehamilan
yang tidak dikehendaki dan infeksi melalui
hubungan intim, termasuk infeksi HIV atau
AIDS.
5) Beban Kerja
Adanya anggapan bahwa kaum
perempuan bersifat memelihara dan rajin,
serta tidak cocok untuk menjadi kepala
rumah tangga, maka anggapan itu membawa
akibat semua pekerjaan domestik rumah
tangga menjadi tanggung jawab kaum
perempuan. Hal ini mengakibatkan banyak
kaum perempuan harus bekerja keras dan
lama untuk menjaga kebersihan, dan
kerapian rumah tangganya.
Bagi kelas menengah dan golongan
kaya, beban kerja dilimpahkan kepada
pembantu rumah tangga. Pembantu rumah
tangga inilah yang menjadi korban
sesungguhnya bias gender di masyarakat.
Bekerja lebih lama dan berat, tanpa
perlindungan dan kejelasan kebijakan
negara.
Metode
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode kualitatif secara
keseluruhan memanfaatkan cara-cara
penafsiran dengan menyajikannya dalam
bentuk deskripsi. Berdasarkan tujuan dan
masalah penelitian, maka data penelitian
bergantung pada judul dan jenis penelitian
yang dilakukan. Data penelitian ini berupa
satuan cerita dalam bentuk paparan kalimat,
dialog yang mencerminkan ketidakadilan
gender dalam novel “Kupu-kupu Malam”
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|719



karya Achmad Munif. Adapun sumber data
berupa novel “Kupu-kupu Malam” karya
Achmad Munif yang diterbitkan oleh Media
Pressindo pada tahun 2005 di Yogyakarta.
Hasil Analisis Data
Analisis Bentuk Ketidakadilan Gender
berupa Kekerasan yang Dialami Tokoh
Perempuan dalam Novel “Kupu-kupu
Malam” Karya Achmad Munif
Seperti yang telah diuraikan pada
pembahasan sebelumnya, bahwa analisis
gender merupakan jenis kelamin yang
dimiliki laki-laki dan perempuan, yang dapat
membentuk relasi sosial yang membedakan
fungsi, peran, dan tanggung jawab
keduanya. Hal ini berakibat terbentuknya
ketidakadilan yang disebabkan oleh
perbedaan gender tersebut.
Ketidakadilan gender merupakan
sifat, perbuatan, perlakuan yang berat
sebelah atau sesuatu yang memihak pada
jenis kelamin tertentu dan hal ini dapat
meyebabkan kesenjangan sosial antar
individu, termanifestasi dalam beberapa
bentuk ketidakadilan seperti bentuk
kekerasan yang meliputi kekerasan fisik,
psikologi, seksual, finansial, dan spiritual.
Lebih jelasnya akan diuraikan dalam
pembahasan berikutnya dan disertai dengan
contoh kalimat maupun kutipan-kutipan
dialog yang terdapat dalam novel “Kupukupu Malam”.
1) Kekerasan Fisik
Dalam novel “Kupu-kupu Malam”
karya Achmad Munif ini, terdapat perilaku
bentuk kekerasan fisik. Kekerasan ini dapat
mengakibatkan suatu ketakutan dalam diri
korban sebagai bentuk ancaman terhadap
pelaku kekerasan tersebut.
Kekerasan fisik dapat berupa
pemukulan, menampar, mencekik,
menendang, melempar barang ke tubuh
korban, menginjak, melukai dengan tangan
kosong atau alat atau senjata, membunuh,
kekerasan dengan benda tajam, siraman zat

kimia atau air panas. Diantaranya kekerasan
yang dilakukan oleh tokoh Kemi pada
Sriyati yang hendak dianiaya. Tokoh Rum
yang merupakan perempuan “penjajah
seks”, mendapat kekerasan fisik dari Kurdi.
Pada saat Rum tidak ingin melayani hasrat
seksual laki-laki itu. Maka ia dipaksa agar
melakukan hubungan itu dengannya,
meskipun Rum mendapatkan pukulan,
tamparan, dan Kurdi melukai anggota tubuh
Rum dengan putung rokok yang telah
disulut api.
2) Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis yang
digambarkan sebagai bentuk penindasan atas
perbedaan jenis kelamin. Menyebabkan
muncul berbagai bentuk ancaman,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
yang sewenang-wenang dan dapat
menimbulkan traumatik terhadap korban
kekerasan psikologis.
Kekerasan psikologi dapat berupa
tindakan berteriak-teriak, menyumpah,
mengancam, merendahkan, mengatur,
melecehkan, menguntit dan memata-matai,
tindakan-tindakan lain yang menimbulkan
rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada
orang-orang dekat korban, misal keluarga,
anak, suami, teman dekat). Misal, luapan
kekecewaan seorang perempuan yang
bernama Nurima terhadap laki-laki yang
pernah menyakitinya. Hal itu dapat berupa
suatu ungkapan menyumpah dan menguntit
dalam hati sebagai bentuk dendam.
Sedangkan, Sarti yang dianggap menggoda
Dokter Pram, membuat Sarti terhina ketika
warga desanya menyebut sebagai
perempuan penggoda.
3) Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap
penyerangan yang bersifat seksual terhadap
perempuan, baik telah terjadi persetubuhan
atau tidak, dan tanpa memperdulikan
hubungan antara pelaku dengan korban.
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|720



Diantara kekerasan seksual yang
terjadi mengarah kepada ajakan atau
desakan seksual, seperti mengucapkan halhal yang merendahkan dan melecehkan
terhadap aspek jenis kelamin korban.
Misalnya, tindakan yang mengarah kepada
ajakan atau desakan seksual seperti
menyentuh, meraba, dan mencium terjadi
pada para penari tayub. Sampur sebagai alat
yang digunakan para penari tayub,
merupakan sebuah budaya dari tradisi yang
seharusnya dilestarikan. Namun, hal ini
disalah gunakan bagi laki-laki “nakal”,
sampur digunakan penari untuk mengajak
para penonton menari dan bukan
memanfaatkan penari tayub untuk
melakukan tindakan seksual.
4) Kekerasan Finansial
Kekerasan finansial yang cenderung
dihitung dengan nominal, membuat korban
merasa dirinya sebagai “lahan uang”. Sarti
atau Agustin dapat dicontohkan sebagai
tokoh yang menjadi korban pemerasan
Gandon. Agustin yang bekerja, Gandonlah
yang mendapat upah. Dari pengeluaran
Agustin demi untuk pemenuhan kebutuhan
pribadinya, harus menyisihkan uang untuk
Gandon. Agustin merasa diperas Gandon,
dan membuat dirinya merasa dikendalikan
Gandon. Gandon merasa dialah yang paling
berjasa atas kesuksesan Agustin selama itu,
dan Agustin berhak untuk membalas budi
terhadapnya.

Analisis Bentuk Ketidakadilan Gender
berupa Marginalisasi yang Dialami
Tokoh Perempuan dalam Novel “Kupukupu Malam”, Achmad Munif
Jenis ketidakadilan selain kekerasan
terhadap perempuan yang dibahas dalam
penelitian ini, adalah marginalisasi.
Marginalisasi yaitu bentuk pemiskinan,
peminggiran, dan tidak dianggap penting
peran perempuan oleh laki-laki, baik secara
illegal maupun legal.

Masyarakat membentuk relasi yang
kemudian tercipta pembagian kekuasaan
lebih besar pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Hal ini dapat meciptakan
kondisi yang tidak seimbang, baik dalam
memperoleh hak maupun kewajiban antara
laki-laki dan perempuan. Perempuan
dianggap kelas kedua setelah laki-laki dan
perempuan terpinggirkan karena adanya
perbedaan tersebut. Perempuan dianggap
mempunyai pandangan feminin, artinya
perempuan hanya dianggap sebagai
pengasuh, keibuan, dan lembut.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pembahasan
tentang analisis ketidakadilan gender pada
tokoh perempuan dalam novel “Kupu-kupu
Malam”, karya Achmad Munif, maka
didapatkan kesimpulan tentang bentuk
ketidakadilan gender terhadap kekerasan
yang dialami tokoh perempuan dan bentuk
ketidakadilan terhadap marginalisasi tokoh
perempuan dalam novel Kupu-kupu Malam,
karya Achmad Munif. Maka, kesimpulan
tersebut dapat diungkapkan:
1. Kekuasaan perempuan sebagai kekuasaan
inferior, memaksa perempuan melakukan
apa saja yang diminta oleh kaum laki-laki
sebagai kaum patriarkhi.
2. Subordinasi dan stereotype membuat
perempuan mendapatkan perlakuan
semena-mena, karena adanya anggapan
bahwa kekuasaan terbesar ada pada kaum
laki-laki dan perempuan harus tunduk
terhadap laki-laki.
3. Perempuan yang dianggap lemah dan
tidak mampu melakukan segala
sesuatunya sendiri, membuat perempuan
selalu bergantung dan mengakibatkan
anggapan bahwa perempuan tidak layak
untuk menjadi seorang pemimpin.
4. Asumsi bahwa perempuan bersolek
dalam rangka memancing lawan jenisnya.
Maka setiap kasus kekerasan seksual atau
pelecehan seksual selalu dikaitkan
Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|721



dengan label ini dengan semakin
merendahkan kedudukan perempuan,
maka akan semakin diindahkannya
kesempatan yang dimiliki perempuan di
dalam masyarakat karena merasa di
nomor duakan dan tidak dianggap
penting.

5. Marginalisasi membuat kedudukan
perempuan inferior dan berdampak pada
pekerjaan perempuan yang tidak terlalu
bagus (baik dari gaji, jaminan kerja,
status pekerjaaan).

Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|722


DAFTAR PUSTAKA
Bahan pembelajaran analisis gender Pengarusutamaan Gender (PUG) bidang hukum. 2006.
Departemen Hukum dan HAM, diakses 1 September 2009.
Bhasin, Kamla. 1996. Menggugat Patriarki. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya dan
Kalyanamitra.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Fakih, Mansour. 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM.
. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender (edisi revisi).
Malang: UMM.
Kusniarti, Tuti. 2002. Pengantar Sejarah dan Sastra Indonesia. Malang: UMM.

Luhulima, Achie Sudiarti. 2000. Pemahaman Bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan
dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: P.T Alumni.
Munif, Achmad. 2004. Kupu-kupu Malam. Yogyakarta: Media Pressindo.
Munti, Ratna Batara. 2007. “RUU KUHP Masih Diskriminatif Terhadap Perempuan?”. Jakarta:
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, tim. 1990. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik: Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang: UMM.
Satoto, Sudiro dan Zainuddin Fananie (Eds.). 2000. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan.
Surakarta: UMM Press.
Sugiarti. 2001. Pengetahuan dan Kajian Prosa Fiksi. Malang: UMM.
. 2003. Pembangunan dalam Perspektif Gender. Malang: UMM.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme (30 Juni 2009).

Jurnal Artikulasi Vol.10 No.2 Agustus|723


Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25