WANITA FILSAFAT DAN OLAHRAGA kajian

WANITA, FILSAFAT DAN OLAHRAGA
MAKALAH

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen Mata Kuliah : Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd

OLEH :
Tisri Laura Wajong (1403019)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN OLAHRAGA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
tuntunan-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana adanya.
Adapun judul makalah ini adalah “Wanita, Filsafat dan Olahraga”.
Berbagai sumber penulis kumpulkan demi kesempurnaan makalah ini. Penulis
juga ucapakan terima kasih pada dosen pengampu Prof. Dr. H. Cece Rakhmat,

M.Pd yang telah memberikan pembelajaran, sehingga penulis dapat menyerap
ilmu-ilmu yang diberikan dan penulis tuangkan dalam makalah ini.
Kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Esa, maka dari itu penulis
menyadari akan kekurangan yang mungkin terdapat dalam tulisan yang penulis
buat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengarapkan kritik dan saran dari pembaca
sekalian untuk menghasilkan karya tulisan yang lebih baik. Semoga makalah ini
dapat memberi manfaat bagi pembaca sekalian dan menjadi bahan bacaan untuk
dikritisi bersama.

Penulis,

T.W

BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Apa itu filsafat dan apa juga gunanya? Mengapa mempelajari filsafat dan
mengapa pula mengajarkannya di dunia akademis? Bagaimana filsafat dapat
menjadi penting bagi hidup ini? Itu semua kira-kira-kira pertanyaan yang akan
muncul jika membicarakan mengenai filsafat. Selama ini umumnya masyarakat

umum mengenal filsafat sebagai ilmu yang membekali tentang pengetahuan,
realitas, keadilan dan kebijaksanaan. Filsafat dikatakan memberikan masukanmasukan kritis bagi ilmu lain, dan itu sebabanya filsafat begitu bangga dapat
berdialog dengan berbagai ilmu lainnya seperti ilmu keolahragaan atau juga
pendidikan olahraga dan bidang olahraga lainnya. “Apa memang benar bahwa
filsafat telah memberikan pandangan mendalam dan menyeluruh bagi persoalanpersoalan kehidupan maupun masalah-masalah akademis?” (Arivia, 2003).
Pertanyaan umum tersebut dapat diformulasikan secra konkret. Para
pengajar filsafat berulangkali menegaskan bagaimana filsafat menawarkan alat
untuk dapat berpikir secara jernih kritis dan konseptual. Kerangka kerja yang
ditawarkan filsafat adalah untuk membuat segala sesuatu menjadi masuk akal
dengan perhitungan rasionalitas dan kebijaksanaan. Tapi lagi-lagi perlu
dipertanyakan, apakah benar bahwa filsafat telah memenuhi janjinya?
Pemunculan

filsafat

barat,

ternyata

tidak


bijaksana

dalam

memperhitungkan suara-suara feminis. Filsafat mempunyai hubungan keganjilan
terhadap perempuan. Pandangan tentang perempuan seringkali bias, seksis atau
sama sekali diabaikan. Padahal sejak abad ke 17 telah ditemukan karya-karya
filsuf perempuan yang membahas persoalan- persoalan filosofis, seperti
metafisika, epistemology, teori moral, filsafat sosial dan politik, estetika, filsafat
teologi, filsafat ilmu dan filsafat pendidikan. Waithe (1995) telah memperlihatkan
bahwa sejak 600 SM hingga 500 SM, karya-karya filsafat perempuan sebenarnya
telah lama muncul. Dari filsafat Yunani muncul nama-nama seperti,
Themistoclea, Theano I dan II, Arignote, Myia, Damo, Aesara dari Lucania dll.

Nama- nama filsuf perempuan tersebut sangat jarang muncul ke
permukaan jika tidak mau dikatakan tidak ada. Hal ini sebetulnya tidak
mengherankan sebab sudah sejak lama ada upaya- upaya untuk memboikot
perempuan berfilsafat dan ini memang sudah sering dilakukan. Pada 12 Mei 1732,
seorang perempuan bernama Laura Bassi berhasil meraih gelar doktor dalam

bidang filsafat. Namun menariknya di sini, geral tersebut ia raih dengan susah
payah setelah mempertahankan 49 tesis tentang filsafat alam di depan publik dan
berdebat dengan 5 profesor. Ia memakan waktu selama satu bulan penuh dan ini
sangat di luar kebiasaan yang ada. Perjuangan Laura Bassi sendiri tidak hanya
berhenti sampai di situ karena ia memiliki cita-cita untuk bisa mengajar filsafat di
universitas. Pada tahun yang sama pada bulan Oktober, ia akhirnya diberikan ijin
mengajar fisafat di universitas tapi dengan syarat “boleh” mengajar asal
mendapatkan ijin dari atasannya. Persyaratan ini tampaknya memang hanya
khusus dibuat untuk Laura Bassi mengingat karena jenis kelaminnya perempuan
(O'Neil, 1998).
Hal lain yang menjadi kendala bagi seorang filsuf perempuan adalah
jarang ada publikasi yang menampilkan pemikiran- pemikiran mereka. Hal ini
disebabkan bukan karena kurangnya penerbitan wacana-wacana filsafat saat itu,
karena melalui catatan sejarah pun kita mengetahui bahwa di masa Renaissance
filsafat didiskusikan di hampir semua tempat termasuk di tempat-tempat minum.
Sementara itu, media filsafat yang ada juga beragam. Selain buku dan surat kabar,
ada pula pamflet- pamflet yang ditempelkan di dinding-dinding. Lalu mengapa
publikasi filsuf- filsuf perempuan awal begitu langka dan sulit sekali ditemukan?
Filsuf perempuan Perancis, Michele le Doeuff, menulis bahwa yang terjadi adalah
peminggiran terhadap filsuf- filsuf perempuan dan hal ini buka sesuatu yang baru

karena memang telah terjadi untuk waktu yang lama (Doeuff, 1977).
Sebagaimana dalam filsafat, dalam olahraga pun hal demikian terjadi.
Terdapat berbagai kendalam bagi kaum wanita dalam hubungan dengan gender
relationship. Doroyhy Harris (dalam Sutresna, 2011) berpendapat bahwa olahraga

identik dengan kaum laki-laki. Standar ganda yang berlaku dikalangan masyarakat
mensyaratkan bahwa wanita hanya sebagai objek bukan subjek. Lebih miris lagi

Bob Kneppers seorang pelatih dan pemain bola basket USA mengungkapkan
bahwa “suatu hal yang saya yakini, bahwa Tuhan tidak menciptakan tubuh kaum
wanita untuk melakukan pekerjaan yang penuh kekerasan. Tubuh mereka hanya
dipersiapkan untuk menjalani segala sesuatu yang berbau feminis.” Wanita
seakan-akan tak harus mendapat dan mengambil bagian dalam kegiatan olahraga.
Fleskin (Sutresna, 2011) mengungkapkan “namun gagasan bahwa kaum wanita
memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama dengan kaum laki-laki
mendorong kaum wanita dari segala tingkat dan kalangan untuk lebih
berpartisipasi dan menunjukkan kemampuannya dalam kegiatan olahraga.”
Wanita, filsafat, dan olahraga merupakan suatu kesatuan bahasan yang
menarik untuk ditelaah lebih dalam. Dari latar belakang di atas penulis tertarik
untuk mengkaji secara teoritis isyu tentang wanita, filsafat dan olahraga.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan di atas, rumusan masalah dirumuskan
dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pergerakan feminisme dalam filsafat?
2. Bagaimana hubungan filsafat dan feminisme?
3. Bagaimana bentuk partisipasi wanita dalam olahraga?
4. Bagaimana perkembangan keterlibatan wanita dan olahraga?

BAB II.
PEMBAHASAN
A. Filsafat dan Feminisme
1. Pergerakan Feminisme dalam Filsafat
Pergerakan sosial dan juga politik yang paling lama bertahan adalah
pergerakan feminisme. Menurut Simone de Beauvoir, pergerakan perempuan
paling awal dapat ditemui sejak abad ke 15 (Arivia, 2003). Christine de Pizan
pada abad tersebut telah mengangkap penanya dan menulis soal ketidakadilan
yang dialami perempuan (Schneir, 1972). Namun, pergerakan awal yang dianggap
merupakan pergerakan yang cukup signifikan ditemui pada tahun 1800an.
Pergerakan tersebut sifatnya adalah perjuangan hak-hak politik atau lebih spesifik
lagi perjuangan hak untuk memilih. Perjuangan ini menampilkan para tokoh

perempuan, seperti Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Stanton. Kedua
perempuan ini juga dikenal sebagai para penulis yang sempat memiliki surat
kabar sendiri. Lewat surat kabar mereka The Revolution, mereka menulis artikeartikel yang mempersoalkan perceraian, prostitusi dan peran gereja dalam
mensubordinasi perempuan (Schneir, 1972). Mereka dikatakan telah diilhami oleh
Mary Wollstonecraft (1759-1797) yang menulis A Vindicatin Rights of Woman
pada tahun 1792. Wollstonecraft adalah feminis pertama yang menuduh bahwa
pembodohan terhadap perempuan terjadi bukan karena sesuatu yang alamiah
tetapi adanya tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang menjadikan
perempuan sebagai makhluk yang tersubordinasi.
Oleh sebab itu, untuk mengatasinya, perempuan harus mempunyai hak
untuk mengenyam pendidikan yang sama dengan laki-laki. Feminis-feminis awal
ini dapat dikatakan lebih banyak menggunakan perbendaharaan kata-kata “hak”
dan tulisan-tulisan mereka baru bersifat deskriptif. Artinya, mereka hanya
menggambarkan situasi perempuan dalam masyarakat pada saat itu.
Baru pada abad ke- 20 tepatnya tahun 1949, lahir karya analisis feminis
pertama yang kini dianggap sebagai buku klasik, Le Deuxieme Sexe, karya

Simone de Beauvoir. Buku ini memuat perbendaharaan kata-kata baru seperti
“kesetaraan” dan kemudian para feminis pada tahun 1960an mulai menggunakan
kata-kata “penindasan” dan “pembebasan” (Hum, 1989). Pergerakan dasyat para

feminis di akhir 1960an dan sepanjang 1970an ini pada gilirannya membawa hasil
yang luar biasa dalam perubahan sosial di dunia belahan barat. Isu- isu perempuan
tampil ke permukaan seperti cuti haid, aborsi, hak-hak politik, hak-hak ekonomi,
dan lain sebagainya. Pergerakan ini pada akhirnya berhasil menekan pemerintah
dan kemudian diikuti dengan lahirnya berbagai undang-undang atau peraturan
yang lebih menguntungkan perempuan.
Pada masa-masa ini konsep patriarki mulai mengental dan tampil ke
permukaan. Konsep ini diterjemahkan sebagai sebuah sistem dominasi laki-laki
yang menindas perempuan melalui institusi sosial, politik dan ekonomi.
Kenyataannya adalah bahwa budaya patriarki mengejawantah dalam bentukbentuk historis jenis apapun juga. Apakah itu dalam sistem feudal, kapitalis
maupun sosialis. Patriarki mendapatkan legitimasinya melalui laki-laki yang
mendominasi struktur-struktur yang ada, baik di luar rumah maupun di dalam
rumah. Konsep ini sangat penting dalam pemikiran feminisme modern sebab
feminisme membutuhkan suatu istilah yang dapat menggambarkan penindasan
totalitas perempuan.
Pergerakan perempuan baik di tahun 1800an maupun di tahun 1970an
telah membawa dampak yang luar biasa untuk kehidupan sehari-hari perempuan.
Tetapi bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai disitu. Dalam tahuntahun terakhir ini, tepatnya tahun 1980an dan awal 1990an, wacana-wacana baru
bermunculan. Terutama yang mempesoalkan non- kulit putih atau perempuan
berkulit hitam, Amerika Latin, Asia atau perempuan- perempuan di Dunia Ketiga

pada umumnya.
2. Filsafat dan Feminisme
Dilihat dari karakteristiknya, studi filsafat memang berbeda dengan studi
feminis. Tapi sebetulnya di mana bedanya? Filsafat tidak memasukkan persoalanpersoalan perempuan, dan bahkan dalam banyak hal mereka justru menguatkan

pandangan- pandangan yang bias gender. Karenanya tidak terlalu mengherankan
juga jika banyak kalangan feminis yang tidak terlalu suka, atau bahkan menolak
filsafat. Bagi kalangan feminis, perjuangan untuk mempermasalahkan atau
menghapuskan ketidakadilan perempuan hanya bisa dicapai apabila kita
meletakkan perempuan sebagai titik sentral dalam kajian-kajian kita. Yang kita
pahami selama ini adalah bahwa filsafat telah mengabaikan perdebatan wacana
gender di dalamnya, dan dengan demikian tidak terlalu salah untuk mengatakan
bahwa filsafat sebetulnya secara inheren menganut teori partiarkhal. Kalangan
feminis seperti Mary Daly dan Spender misalnya, sangat yakin akan hal ini dan
percaya bahwa para pemikir filsafat atau filsuf secara sadar mempunyai niatanniatan misogini. Mereka berpendapat budaya memainkan peranan penting di sini,
dan arenanya budaya yang misoginis telah menciptakan cendekia- cendekia yang
misoginis pula (Daly, 1978).
Pandangan Daly dan Spender dianggap oleh beberapa feminis sebagai
pandangan yang naïf. Minchele le Doeuff misalnya, seorang filsuf dan feminis,
menulis masalah tersebut sebagai berikut:

Suka atau tidak suka, kita berada dalam filsafat, dikelilingi oleh nuansa
maskulin-feminin yang diartikulasikan dan disempurnakan oleh filsafat.
Pesoalannya adalah apakah kita ingin tetap berada di sana dan dinominasi
oleh mereka, sebuah posisi yang lambat laun akan mempreteli wacana
perempuan. Posisi metafisis yang paling tidak menguntungkan adalah
yang mengadopsi pandangan filsafat tetapi meyakini bahwa pandangan
tersebut berada di luar filsafat (Doeuffe, 1991).
Le Doeuff beranggapan bahwa mendefinisikan feminisme dengan kaku
artinya hanya terfokus dengan masalah- masalah gerakan perempuan dan
kemudian mengabaikan teori apalagi tidak mempertimbangkan filsafat, akan
merugikan pengembangan feminisme itu sendiri. Pendapat beberapa kalangan
feminis yang melihat filsafat bersifat statis pada dasarnya merupakan pendapat
yang sangat tidak memadai. Kita harus memahami bahwa filsafat merupakan
sebuah kegiatan yang berlangsung (on going) dan merupakan produk kultural
sebagaimana

Marx

mengobservasi,


yakni

filsafat

merefleksi

nilai,

mempertimbangkan hubungan kekuasaan di dalam budaya yang dihasilkan
(Doeuff, 1977). Obyek dari filsafat adalah segala hal termasuk persoalan

kemanusiaan, kebudayaan, politik dan linguistik. Objek ini buka objek yang
bersifat statis dengan cirinya yang tertutup tapi justru sebaliknya, yakni objek
filsafat yang bersifat dinamis dan terbuka.
B. Wanita dan Olahraga
1. Bentuk Partisipasi Wanita dalam Kegiatan Olahraga
Informasi yang berkaitan dengan keikutsertaan wanita dalam cabang
olahraga yang menekankan pada body contack masih minim. Salah satu hasil
penelitian yang digarap oleh Brown dan Davis (1978) dalam (Sutresna, 2011),
mengindikasikan bahwa sikap wanita terhadap jenis olahraga keras body contact
masih sangat rendah, dibandingkan dengan kaum laki laki. Pada umumnya wanita
kurang menyukai cabang-cabang olahraga yang sarat dengan kekerasan fisik.
Peneltian yang secara berturut-turut dilakukan oleh Breidmeier dkk.(1982-1984)
dalam (Sutresna, 2011) mengiformasikan bahwa pada tingkat kompetisi yang
lebih tinggi baik atlet laki- laki maupun wanita telah mengarah pada partisipasi
yang lebih jauh meningkat.
Sosiolog Michael Smith menyimpulkan bahwa mulai tahun 1970-an
tingkat keterlibatan wanita dalam olahraga terus meningkat. Perambahan pada
cabang cabang olahraga keras sebagai mana yang dilakuakan kaum pria, bukan
sesuatu yang tabu lagi. Kesadaran akan adanya kesetaraan dengan kaum laki laki
semakin membuka kesadaran kaum wanita, sehingga penerapan strategi dalam
cabang olahraga keras merupakan suatu yang cukup mengasikkan. Kekerasan
sering diartikan sebagai lambang maskulinitas. Adanya orientasi ini akhirnya
menggiring dan mempengaruhi perbedaan pemilihan jenis aktivitas ynag
dilakukan kaum wanita, terutama dikaitkan dengan kehidupan sosial dan nilai
sosial yang ada dimasyarakat.
Sejak awal era 70-an, terjadi perubahan yang cukup dramatis dalam peran
wanita dalam olahraga. Beberapa alasan yang mengemukakanantara lain adalah
perubahan yang terjadi dikatakan dengan nilai sosial yang terjadi pada
masyarakat, terutama di negara negara industri. Perubaham tersebut yakni
berkaitan dengan peningkatan:

a. Kesempatan baru
Sebelum datangnya tahun 1970 kaum wanita tidak ikut ambil bagian
dalam kegiatan olahraga karena satu alasan yang sangat sederhana, yakni tidak
adanya perkumpulan dan program yang tersdia untuk mereka. Pemikiran seperti
itu lambat laun berkembang dan bahkan menghilang. Meskipun sebagian orang
tua belum memiliki pemahaman yang sama terhadap perubahan pola pikir
tersebut, kegiatan olahraga sudah mulai menarik kaum wanita, terutama kaum
remaja putri. Kesadaran akan adnya kesempatan baru yang cukup menantang ini
semakin mengundang kehadiran para remaja putri untuk turut mengambil bagian
dalam kegiatan olahraga disekolah.
b. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah yang mulai menerima keberadaan wanita dalam
kegiatan olahraga serta kegiatan lainya seperti ekonomi, politik dan lain lain, pada
awalnya mendapat tantangan yang cukup keras dari kalangan masyarakat yang
masih menganut tatanan masyarakat ortodoks. Hal ini terjadi bahkan di negara
sebesar dan seliberal Amerika serikat, setelah melalui proses lobi yang
berlangsung puluhan tahun. Akirnya konggres memutuskan untuk mengeluarkan
kebijakan yang tertuang dalam pasal IX pada tahun 1972. Pasal ini mengatur
segala sesuatu yang secara sepesifik ditujukan pada pengesahan dan perlindungan
terhadap kaum wanita yang berpartisipasi dalam segala kegiatan.
Di Kanada perjuangan keras dari segelintir politisi yang peduli pada kaum
wanita memicu terbentuknya perkumpulan olahraga amatir kaum wanita pada
tahun 1980. Enam tahun kemudian publikasi yang menyoroti kehidupan kaum
wanita pada dunia olahraga mulai diedarkan. Bergulirnya kebijakan yang
menerima persamaan hak dan kesempatan bagi kaum wanita untuk berpatisipasi
aktif dalam kegiatan olahraga, menjadikan negara Kanada sebagai negara barat
pertama yang membuka peluang besar bagi kaum wanita untuk terjun secara
bebas dalam aktivitas olahraga.
Nilai positif lain yang terkandung dalam aktivitas olahraga adalah
kemandirian. Oleh karena itu, partisipasi olahraga dapat membuat wanita menjadi

individu yang tersendiri, di mana aktivitas dan tantangannya tidak ditentukan atau
dikendalikan oleh keluarga. Selanjutnya, nilai positif yang terkadung dalam
olahraga, adalah evaluatif dan pengendalian diri yang baik. Maka, adanya
partisipasi olahraga bagi wanita dapat memberikan figur baru dan jenis pemimpin
yang dapat dikaitkan dengan diri mereka sendiri. Dengan menggambarkan figur
pemimpin dalam situasi dan kemampuan yang berbeda, wanita akan melihat
pemimpin sebagai manusia biasa yang yang tidak selalu benar dan sempurna.
begitu pula jika mereka melihat kepemimpinan orangtua mereka. Hal ini akan
membuat wanita menjadi lebih asertif dalam hubungannya dengan orang lain dan
bukan menjadi takut akan kekuatan dan kekuasaan orang lain.
Selain itu, partisipasi olahraga juga dapat memberi peluang lepada wanita
utuk melakukan koneksi dengan tubuh mereka. Tubuh wanita bukan hanya
sebagai bahan konsumsi saja, namun terdapat identitas dan perasaan akan
kekuatan yang ada pada tubuh tersebut. Dengan demikian, partisipasi olahraga
akan mendekatkan diri mereka dengan tubuh dan meningkatkan perkembangan
psikologisnya. Riset membuktikan pendapat ini, meski situasinya harus dibuat
lebih bersifat membungun daripada sekadar untuk mencapai prestasi atau
memecahkan rekor saja.
2. Perkembangan Keterlibatan Wanita dan Olahraga
Masuknya wanita dalam dunia maskulinitas memang berawal dari adanya
gerakan sosial wanita yang terjadi secara global untuk mempertegas para wanita
berkembang

menjadi

manusia

yang

sempurna

dalam

mengembangkan

kemampuan intelektual dan fisik mereka. Seperti diungkapkan oleh Coakley
(2001:204) “the global women’s movement over the past thirty years has
emphasized that females are enhanced as human beings when they develop their
intellectual and physical abilities”. Pengembangan intelektual dan fisik wanita

telah menjadi fondasi partisipasi mereka dalam berbagai dimensi kehidupan
manusia. Selain itu, Coakley juga menuliskan bahwa kesadaran akan manfaat
aktivitas jasmani bagi kesehatan telah mendorong para wanita untuk mencoba
kesempatan memainkan berbagai macam olahraga. Aktivitas jasmani yang
dilakukan para wanita juga telah mengubah image feminitas melalui

pengembangan kompetensi dan kekuatan fisik mereka. Kenyataan tersebut di atas
merupakan landasan filosofis yang kental bagaimana mulanya para wanita dapat
berkecimpung dengan bebas dalam dunia olahraga. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi keterlibatan wanita dalam olahraga. Cortis, Sawrikar, dan Muir
(2007:27) menemukan enam faktor dalam penelitiannya, yaitu (1) socio-cultural
constraint, (2) access constraints, (3) affective constraints, (4) physiological
constraints, (5) resources constraints, (6) interpersonal constraints. Keterbatasanketerbatasan tersebut menjadi masalah yang cukup signifikan bagi para wanita
untuk berpartisipasi dalam olahraga. Hal itu juga yang menentukan kenyamanan
para wanita dalam berpatisipasi. Coakley (2001:203) menyebutkan:
“five major factors account for recent increases in sport participation
among girls and women: (1) new opportunities, (2) government equal
rights legislation, (3) the global women’s rights movement, (4) an
expanding health and fitness movement, (5) increasesd media coverage of
women in sport”.
Faktor-faktor tersebut secara kolektif sudah membantu peningkatan partisipasi
olahraga diantara anak-anak perempuan dan para wanita, dan kesadaran bahwa
kesetaraan gender dalam olahraga merupakan sebuah tujuan yang bermanfaat.
Kesetaran gender memang sangat sulit untuk dicapai, tetapi jangan sampai
kembali lagi pada keseharian anak-anak perempuan dan para wanita. Sejak
dimulainya olimpiade modern di Athena, para wanita ambil bagian dalam
olimpide pertamanya di paris tahun 1900 (IOC, 2007:1). Lebih lanjut IOC
menjelaskan bahwa baru pada sekitar tahun 1970-an terdapat peningkatan yang
tinggi mengenai kesadaran peran para wanita di dunia, dan partisipasi wanita
dalam olahraga kompetitif dan olimpiade.
Partisipasi wanita dalam olahraga di Australia dapat digambarkan sebagai
berikut: (1) wanita yang berpartisipasi dalam 12 bulan terakhir sebanyak 59,9 %,
(2) wanita yang berpartisipasi pada kira-kira sekali seminggu sebanyak 38,7 %,
dan (3) wanita yang berpartisipasi dalam aktivitas yang diselenggarakan oleh
klub, asosiasi, dan organisasi lain sebanyak 28,5 % (Cortis, Sawrikar, dan Muir,
2007:17). Penelitian yang dilakukan oleh Takako Lida dalam Fan Hong (2004:5)
di 14 Negara Asia terhadap partisipasi olahraga wanita menyimpulkan bahwa
Asia lebih rendah dari beberapa negara Eropa dan Amerika Utara. Partisipasi

wanita dalam olahraga di 14 negara Asia rata-rata 40 %, Canada 86 %, dan
Finlandia 73 %. Partisipasi wanita Asia 35.9 % dibandingkan dengan laki-laki
45.2 %.
Pernyataan IOC dan hasil-hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa
meskipun ada kecenderungan peningkatan, tetapi partisipasi wanita dalam
olahraga masih kurang, baik dalam olahraga prestasi maupun olahraga
masyarakat. Di Indonesia, secara nasional partisipasi olahraga penduduk
perempuan lebih kecil (20,0 %) dibandingkan dengan penduduk lakilaki (30,9 %)
(BPS & Dirjen Olahraga, 2004:25). Seiring dengan tingkat partisipasi dalam
olahraga yang masih kurang, para wanita juga kurang banyak terlibat dalam
berbagai organisasi-organisasi keolahragaan baik ditingkat nasional maupun
international. IOC (2007:2) mencatat bahwa pada tahun 2006, ada 14 wanita yang
aktif sebagai anggota IOC dari 113 anggota (14 %).
Lebih lanjut IOC menerangkan bahwa berdasarkan informasi dari 192
Komisi Olahraga Nasional (semacam KONI di Indonesia) keterlibatan wanita
dalam komisi tersebut sebagai berikut: (1) dari 62 komisi olahraga nasional
sekitar 20 % wanita duduk dalam lembaga eksekutif, (2) dari 182 komisi olahraga
nasional rata-rata menempatkan satu wanita dalam lembaga eksekutif. Sedangkan
berdasarkan informasi dari 35 Federasi Olahraga Internasional diperoleh bahwa
(1) 10 federasi olahraga internasional menempatkan 20 % wanita dalam lembaga
eksekutif, (2) 30 Federasi Olahraga Internasional menempatkan satu wanita dalam
lembaga eksekutif mereka. Organisasi-organisasi olahraga pada umumnya belum
dapat mempercayai peran dan kedudukan wanita sehingga aspirasi para wanita
dalam olahraga kurang dapat tersalurkan oleh organisasi tersebut.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Membedakan gender dari laki-laki terhadap perempuan terjadi bukan
karena sesuatu yang alamiah tetapi adanya tradisi dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tersubordinasi.
Filsafat tidak memasukkan persoalan-persoalan perempuan, dan bahkan dalam
banyak hal mereka justru menguatkan pandangan- pandangan yang bias gender.
Karenanya tidak terlalu mengherankan juga jika banyak kalangan feminis yang
tidak terlalu suka, atau bahkan menolak filsafat. Bagi kalangan feminis,
perjuangan

untuk

mempermasalahkan

atau

menghapuskan

ketidakadilan

perempuan hanya bisa dicapai apabila meletakkan perempuan sebagai titik sentral
dalam kajian-kajian. Yang kita pahami selama ini adalah bahwa filsafat telah
mengabaikan perdebatan wacana gender di dalamnya, dan dengan demikian tidak
terlalu salah untuk mengatakan bahwa filsafat sebetulnya secara inheren menganut
teori partiarkhal. Pergerakan perempuan baik di tahun 1800an maupun di tahun
1970an telah membawa dampak yang luar biasa untuk kehidupan sehari-hari
perempuan. Tetapi bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai disitu.
Oleh sebab itu, untuk mengatasinya, perempuan harus mempunyai hak untuk
mengenyam pendidikan yang sama dengan laki-laki.
Begitu juga dalam bidang olahraga. Sejak awal era 70-an, terjadi
perubahan yang cukup dramatis dalam peran wanita dalam olahraga. Beberapa
alasan yang mengemukakanantara lain adalah perubahan yang terjadi dikatakan
dengan nilai sosial yang terjadi pada masyarakat. Masuknya wanita dalam dunia
maskulinitas memang berawal dari adanya gerakan sosial wanita yang terjadi
secara global untuk mempertegas para wanita berkembang menjadi manusia yang
sempurna dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan fisik mereka.
Namun,

hasil-

hasil

penelitian

memperlihatkan

bahwa

meskipun

ada

kecenderungan peningkatan, tetapi partisipasi wanita dalam olahraga masih
kurang, baik dalam olahraga prestasi maupun olahraga masyarakat.

Namun ada nilai positif lain yang terkandung dalam aktivitas olahraga
yakni, kemandirian. Partisipasi olahraga dapat membuat wanita menjadi individu
yang tersendiri, di mana aktivitas dan tantangannya tidak ditentukan atau
dikendalikan oleh keluarga. Selanjutnya, nilai positif yang terkadung dalam
olahraga, adalah evaluatif dan pengendalian diri yang baik. Maka, adanya
partisipasi olahraga bagi wanita dapat memberikan figur baru dan jenis pemimpin
yang dapat dikaitkan dengan diri mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Arivia, G. (2003). Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan (YJP).
BPS & Dirjen Olahraga. (2004). Indikator Olahraga Indonesia 2004. Proyek
Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Olahraga. Kerjasama Badan
Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan
Nasional.
Coakley, J. (2001). Sport in Society: Issues and Controversies. New york:
McGraw-Hill.
Cortis, N., Sawrikar, P., dan Muir, K. (2007). “Participation in Sport and
Recreation by Culturally and Linguistically Diverse Women”. Research
Report. Social Policy Research Center University of New South Wales.
Daly, M. (1978). The metaetchics of radical feminine. Boston: Beacon Press.
Doeuff, M. L. (1977). Woman and Philosophy. Radical Philosophy, pp. 2-11.
Doeuffe, M. l. (1991). Femisim and philosophy. Cambridge: Polity Press.
Fan Hong. (2004). Freeing the Female Body: Women and Sport in the West and
East A Comparative Study. International Conference of Asian Society for
Physical Education and Sport (ASPES). 22nd - 24th July 2004, Bandung,
Indonesia.
Hum, M. (1989). The dictionary of feminist theory. USA: Harvester Eheatsheaf.
O'Neil, E. (1998). Disappearing Ink: Early Modern Women Philosophers and
Their Fate in History. Princeton University Press.
Schneir, M. (1972). Feminism, the essential historical writings. New York:
Vintage Books.
Sutresna, N. (2011). Sosiologi Olahraga. Bandung: FPOK UPI.
Waithe, M. E. (1995). History of Women Philosophers. Kluwer Academic
Publishers.