KEKERASAN VERBAL DI TELEVISI DAN PENGARU (1)

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

KEKERASAN VERBAL DI TELEVISI DAN PENGARUHNYA
PADA PERKEMBANGAN BAHASA ANAK
Iqbal Nurul Azhar
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura
iqbalnurulazhar@yahoo.com/pusatbahasaalazhar.wordpress.com
Abstract

Artikel ini bertujuan menjelaskan dua hal, yaitu: (1) ekspresi kekerasan
verbal yang ada di televisi dan (2) pengaruh keberadaan ekspresi
kekerasan verbal tersebut pada perkembangan pemerolehan bahasa anak.
Galtung menyebutkan setidaknya ada 7 tipe kekerasan verbal, demikian
juga Akbar. Rianti di lain pihak membagi kekerasan verbal ke dalam
tiga tipe. Penulis dalam artikel ini membedakan kekerasan verbal ke
dalam 22 tipe yang terbingkai dalam 6 taksonomi mayor yaitu; (1)
ekspresi kekerasan verbal berdasarkan penuturnya, (2) ekspresi
kekerasan verbal berdasarkan pembentukan katanya yang unik (3)
ekspresi kekerasan verbal berdasarkan satuan lingualnya (4) ekspresi

kekerasan verbal berdasarkan jenis kalimatnya (5) ekspresi kekerasan
verbal berdasarkan maknanya, dan (6) ekspresi kekerasan verbal
berdasarkan karakternya. Studi ini menyimpulkan bahwa ekpresi
kekerasan verbal yang muncul di televisi membawa pengaruh negatif
pada proses psikolinguistik anak dalam membuat kalimat. Lebih jauh,
studi ini juga menyimpulkan bahwa ekspresi kekerasan verbal yang ada
di televisi dapat membahayakan kompetensi pragmatik mereka.
Keywords: verbal, abuse, children, television

PENDAHULUAN
Di Indonesia, dasar pijak yang mengontrol kekerasan verbal kondisinya
menyedihkan. Salah satunya dapat dilihat pada posisi aturan pemerintah tentang
Lembaga Sensor Film (LSF) tahun 1994 pasal 19 yang terlihat “garang” memiliki
kewenangan memotong aksi kekerasan atau kekejaman yang mengarah pada
sadisme, namun ternyata “loyo” untuk melakukan sensor terhadap tampilan yang
menunjukkan kekerasan verbal. Melalui aturan ini, LSF terlihat tebang pilih dan
lebih suka melirik keberadaan aksi kekerasan fisik dan pornografi dalam produkproduk penyiaran televisi dan media elektronik namun mengabaikan kekerasan
verbal yang notabene adalah bagian “terkotor” dari aksi verbal dengan cara tidak
memberikan aturan penjelas yang spesifik akan hal ini.


Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

Selain aturan pemerintah tentang Lembaga Sensor Film (LSF) tahun 1994,
penulis juga menjumpai aturan lain yaitu UU no 24 tahun 1997 pasal 32 ayat 7
perihal penyiaran. Pasal ini dengan gamblang menunjukkan larangan pada media
elektronik untuk menunjukkan kekerasan fisik dan pornografi. Setali tiga uang
dengan aturan sebelumnya, pasal ini belum atau bahkan tidak mencantumkan
larangan terkait kekerasan verbal karena mungkin dianggap bukan suatu hal yang
merisaukan.
Adalah peraturan terbaru Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nomor
02/P/KPI/03/2012 yang penulis jumpai sebagai satu-satunya aturan yang secara
jelas mencantumkan kekerasan verbal sebagai bagian yang harus ditangani.
Aturan ini memasukkan kekerasan verbal dalam bab XIII pasal 24 tentang
pelarangan dan pembatasan kekerasan. Bab dan pasal ini secara jelas menyatakan
bahwa:
“program siaran tidak diperbolehkan untuk menampilkan ungkapan kasar
dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai
kecenderungan menghina atau merendahkan martabat manusia, memiliki

makna jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan .
Sayangnya, meskipun definisi kekerasan verbal telah diberikan serta
petunjuk tentang bagaimana tata cara penerapan dan pemberian sanksi bagi
stasiun televisi yang memuat kekerasan verbal juga telah diatur yaitu pada pasal
Bab XXX pasal 27, program-program yang menayangkan kekerasan verbal masih
tetap diperbolehkan tayang dan bahkan bermunculan bagaikan cendawan di
musim hujan. Lemahnya aturan terkait kekerasan verbal ini tentu saja berimbas
negatif pada keluarga.
Pemirsa televisi dengan kondisi ini akan mudah mendengar ungkapanungkapan kurang sopan pada primetime keluarga seperti

“fuck you,” “diam

badak” “muka lu kayak kebo,” “kambing lu,”, “setan lu,” “botak lu,” “si peyang,”
“bego lu,” dan lain-lainnya (Winarno, 2008:16-22). Hal memalukan yang
mungkin jarang kita jumpai di negara-negara maju.
Di Amerika Serikat, ungkapan-ungkapan kasar sangat sulit untuk dijumpai
apalagi ditayangkan di primetime. Ini disebabkan karena ada undang-undang yang

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas

kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

secara tegas mengaturnya. Federal Communication Commission (FCC) dengan
tegas melarang tujuh macam kata kasar dalam siaran radio maupun televisi. Di
Kanada, aturan semacam ini juga diberlakukan, bahkan lebih ketat. Melalui salah
satu pasal dalam Violence Code 1987, pemerintah Kanada secara tegas melarang
penayangan segala bentuk kekerasan baik verbal maupun fisik sebelum jam
sembilan malam (Winarno, 2008:16-22).
Sebagian orang (utamanya para orang tua), jelas sangat resah pada
kemunculan ekspresi-ekspresi kurang sopan pada jam tayang keluarga (16.0021.00). Anak-anak mereka yang berusia belia memiliki akses untuk ikut serta
menonton acara tersebut karena memang belum waktunya untuk tidur.
Dimungkinkan pula, mereka akan meniru apa-apa yang mereka saksikan di
televisi pada jam-jam tersebut.
Sebagai aksi kepedulian pada fenomena ini, beberapa orang telah
melakukan studi melalui sudut pandang ilmu komunikasi dan kesehatan seperti
Liestianingsih (2000), Putra (2001),Winarno (2008: 16-22), Sativa (2012), Akbar
(2012), Sintaningrum (2012), dan Rianti (2010). Melalui studi mereka, mereka
memberikan himbauan kepada pengelola televisi maupun rekomendasi pada
pemerintah untuk selektif menyaring acara-acara televisi sehingga layak ditonton
masyarakat secara luas utamanya anak-anak. Artikel ini adalah bagian dari aksi

peduli pada fenomena ini. Melalui tulisan ini, wawasan masyarakat terkait
fenomena kekerasan verbal dalam tinjauan psikolinguistik diajak untuk dibuka.
Diharapkan pula, masyarakat menjadi sadar akan bahaya kekerasan verbal bagi
proses perkembangan pemerolehan bahasa anak.

PEMBAHASAN
Definisi dan Macam-macam Kekerasan Verbal
Kekerasan didefinisikan sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik yang
sangat keras, dari makhluk hidup terhadap makhluk hidup lain atau sesuatu yang
memiliki potensi menjadi milik makhluk lain (Windhu, dalam Winarno, 2008: 1622). “Kekerasan Verbal” merupakan turunan dari kata “kekerasan” yang dimaknai
sebagai bentuk kekerasan yang nonfisik, dengan menggunakan kata-kata yang

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

kasar, jorok dan menghina dan dilakukan secara lisan (Effendy dalam Winarno,
2008: 16-22). Yang dimasukkan dalam kekerasan verbal adalah segala
perwujudan kekerasan dengan menggunakan lambang bahasa lisan.
Menurut Galtung (dalam Siahaan, et.al, 2001:91-93), kekerasan verbal

dapat dikategorikan dalam kelompok kekerasan simbolik yaitu kekerasan yang
dilakukan melalui perantara bahasa (wacana). Galtung (dalam Siahaan, et.al,
2001:91-93) juga menambahkan bahwa kekerasan ini beraneka macam jenisnya
seperti stigmatisasi (lebelisasi), eufemisme (penghalusan kata), disfemisme
(pengasaran kata), akronimisasi, pemendekan kata, jargon dan slogan.
Perwujudan kekerasan verbal lainnya secara spesifik dibagi oleh Akbar
(2012) menjadi enam yaitu menghina fisik, menghina dan menyamakan dengan
binatang, menghina penyakit, menghina intelektual, menghina kelas sosial, dan
menghina gender (Akbar, 2012). Berdasarkan afeksi (pengaruh) kekerasan verbal
ini pada objeknya, Rianti (2010) membagi kekerasan verbal menjadi tiga jenis
yaitu kekerasan verbal dengan menggunakan kalimat eksklamatif, kekerasan
verbal dengan menggunakan kalimat meruntuhkan, dan kekerasan verbal dengan
menggunakan tuturan ekspresif.
Berdasarkan pengamatan penulis di program-program televisi, penulis
membagi kekerasan verbal yang ada di acara-acara tersebut kedalam enam
kategori. Adapun dasar pembagian ini adalah (1) penutur, (2) satuan lingual (3)
pembentukan kata, (4) jenis kalimat, (5) perubahan semantik, (6) sifat. (Untuk
lebih jelasnya dasar klasifikasi maupun sumber datanya dapat dilihat di Azhar
(2012))
Berdasarkan penuturnya di televisi, ekspresi kekerasan verbal pada

perempuan diucapkan oleh empat jenis penutur. Penutur pertama adalah laki-laki
dewasa kepada laki-laki dewasa, seperti contoh ekspresi “sotoy lo,” Penutur kedua
adalah laki-laki dewasa kepada perempuan dewasa, seperti contoh ekspresi “catat
pin BB saya,” “pokoknya Jamilah montok.” Penutur ketiga adalah perempuan
dewasa pada perempuan dewasa lainnya, seperti ekspresi “masyaallah, ibu kayak
Saskia,” “ni, ni pacarnya Rafi Ahmad ya?” Penutur keempat (ini yang
mengejutkan) adalah anak laki-laki pada perempuan dewasa seperti ekspresi:

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

“masalah buat lo!” Belum ditemukan ekspresi kekerasan verbal dari anak kepada
anak, atau dari anak kepada laki-laki dewasa (Azhar, 2012).
Berdasarkan satuan lingualnya, ekspresi kekerasan verbal ini terbagi
menjadi tiga. Ketiga satuan lingual yang menunjuk ekspresi kekerasan verbal
tersebut berbentuk; (1) kata interjektif: seperti “setan!”, “pergi!”, “terserah!”, (2)
frasa: seperti “muka gila,” “kerbau ijo,” (3) dan kalimat seperti “kamu itu lebih
mirip syahrini dari pada syahrininya ya” (Azhar, 2012).
Berdasarkan pembentukan katanya ekspresi kekerasan verbal ini terbagi

menjadi dua yaitu (1) abreviasi kata seperti “kalau yang ini ABG, Atas Bawah
Glondongan.” (2) akronimisasi kata seperti “kamseupay lo, “komedo: komunitas
Melani dodol,” Ekspresi kekerasan verbal terbentuk karena proses coinage juga
ditemukan

seperti “Ah, lebay lo,” dan “Ne rempong!” Berdasarkan jenis

kalimatnya, secara umum ekspresi kekerasan verbal ada empat jenis yaitu (1)
kalimat positif (deklaratif), seperti “dari depan kayak Sean idol, dari belakang
kayak sean mesin,” (2) kalimat negatif, seperti “kamu gak mikir ya!” (3) kalimat
tanya seperti “otakmu kebalik ya?,” “ngapain ke diskotik, mau ngabisin nafas ya
nek?”, dan (4) kalimat imperatif seperti “kalau mau jadi penyanyi dangdut, pergi
dari sini!” (Azhar, 2012).
Berdasarkan perubahan semantiknya, ekpresi kekerasan verbal terbagi
menjadi beberapa macam antara lain: (1) simile seperti: “kalau dilihat cucok,
soalnya badannya kayak silet,” (2) eufemisme (penghalusan makna) seperti “saya
senang di bawa mpok Nori naek motor, soalnya kulit mpok Nori alus banget,” (3)
disfemisme (pengasaran makna) seperti: “gak kayak Dewi Gita tapi kayak dewi
kematian,” (4) asosiasi seperti “kalau ini sih curut lemari,” (5) generalisasi seperti:
“kemarin aku sama mpok Nori suap-suapan obor” (6) plesetan seperti “Aura kasih

apa Aura Kesek?” Berdasarkan sifatnya, ekpresi kekerasan verbal terbagi menjadi
empat jenis yaitu (1) stigmatisasi (lebelisasi) seperti contoh “dasar lo perempuan
pingit,” (2) menghina (fisik dan kemampuan), seperti contoh “itu pake suara
mulut apa suara idung?” (3) emosi seperti contoh, “Mau cari suami kayak apa?
Kayak monyet?” dan (4) ekspresi rayuan seperti contoh: “kamu harus seperti

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

angkot dong, masak angkot bisa dirapetin, hati kamu gak bisa dirapetin.” (Azhar,
2012).

Pengaruh Kekerasan Verbal di Televisi Pada Perkembangan Bahasa Anak
Para mentalis meyakini bahwa dalam belajar bahasa, manusia telah
dibekali oleh Tuhan kemampuan yang secara genetis telah diprogramkan pada
pikiran mereka. Mereka meyakini bahwa manusia lahir dengan dilengkapi suatu
alat yang memungkinkan

manusia untuk dapat berbahasa dengan cepat dan


mudah. Karena sukar dibuktikan secara empiris akan keberadaan alat ini, maka
pendukung pandangan ini mengusulkan sebuah hipotesis yang dikenal sebagai
„hipotesis nurani‟ (innateness hypothesis). Menurut hipetesis ini, wujud bahasa
adalah kompleks dan mustahil dipelajari dalam jangka waktu singkat, melalui
cara-cara seperti „imitasi’. Menurut hipetesis ini pula, beberapa aspek penting
yang berhubungan dengan sistem bahasa pasti telah ada pada manusia secara
alamiah dan genetis.
Salah satu tokoh besar mentalis, Chomsky (dalam Steinberg, Nagata, dan
Aline, 2001), menyebutkan bahwa manusia normal terlahir lengkap dengan minda
(pikiran). Minda ini memiliki bagian-bagian yang salah satunya dikenal sebagai
bagian bahasa (faculty of language). Pada bagian ini, manusia normal telah
dianugerahi pengetahuan akan bahasa oleh Tuhan dan akan aktif melalui proses
pemaparan bahasa (linguistic exposure). Pengetahuan inilah yang dikenal sebagai
Tata bahasa Universal (TU) (Universal Grammar ). Alat yang menggerakkan
pengetahuan tersebut dikenal sebagai Language Acquisition Device (LAD).
Dalam proses pemerolehan bahasa, LAD ini menerima data linguistik melalui
pancaindra sebagai masukan dan mengkonversinya menjadi rumus-rumus
linguistik berdasarkan masukan itu yang kemudian dimuarakan sebagai keluaran.
Apabila sejumlah ucapan yang cukup memadai dari suatu bahasa (misalnya

bahasa Inggris) “dipaparkan” kepada LAD

seorang anak sebagai sebuah

masukan, maka LAD itu akan memproduksi satu tata bahasa formal dari bahasa
Inggris tersebut sebagai keluarannya.

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

Adanya hipotesis mengenai LAD ini memberikan horizon pandangan
baru bagi para mentalis maupun ahli di bidang pemerolehan bahasa, bahwa anakanak sejak lahir telah diberi kemampuan untuk memperoleh bahasa ibunya.
Buktinya, meskipun masukan yang dipaparkan kepada LAD adalah ucapanucapan penuh dengan kalimat-kalimat yang salah, tidak lengkap, dan dengan
struktur yang tidak gramatikal (biasanya orang tua menggunakan babytalk untuk
berkomunikasi dengan bayi misalnya kalimat: adek mik cucu ya? ), namun seiring
dengan waktu dan makin banyaknya paparan bahasa yang masuk dari lingkungan
anak-anak tersebut, mereka pada akhirnya menguasa bahasa ibunya dengan
kualitas yang sama seperti ibunya sehingga mereka dapat memproduksi kalimat
“Adek minum susu ya? ” dengan sempurna.
Pemaparan bahasa sejak dini yaitu antara usia 0 hingga 13 tahun (atau
yang kita kenal sebagai masa emas) pemerolehan bahasa, dapat membantu LAD
bekerja secara optimal (Steinberg, Nagata, dan Aline, 2001). Jika anak-anak
mendapat paparan melewati usia emas tersebut, dipastikan mereka akan
mengalamu masalah terkait produksi bahasa. Pada masa ini, semakin banyak
paparan kosakata yang diterima anak, semakin banyak pula kosakata yang
dikeluarkan anak tersebut. Semakin baik paparan struktur bahasa kepada anak,
maka semakin baik pula produk bahasa yang dikeluarkan.
Di sinilah dilema keberadaan televisi muncul. Satu sisi, televisi dapat
menjadi media positif yang mampu menyampaikan informasi serta mendidik
anak, satu sisi yang lain, televisi adalah perusak anak yaitu menjadi salah satu
sumber pemapar bahasa yang seringkali di dalamnya terdapat acara-acara yang
menampilkan struktur-struktur bahasa yang kurang tepat serta berbagai macam
kekerasan verbal.
Sebagai ilustrasi dari dilema ini, jika seorang anak mendapatkan paparan
yang negatif seperti kalimat “ngapain ke diskotik, mau ngabisin nafas ya nek?”
(kalimat tersebut tidak ada Subjeknya, dan kurang sopan secara pragmatis),
meskipun anak tersebut memiliki LAD yang mampu membedakan mana kalimat
yang benar dan mana yang salah, dan anak inipun sering pula mendapatkan
paparan kalimat yang baik dari orang tuanya yaitu kalimat “kenapa nenek mau ke

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

pasar? Mau beli tomat ya nek? namun karena paparan negatif ini di tunjukkan
terus menerus di televisi, pada akhirnya, struktur kalimat yang kurang baik inipun
akan masuk ke dalam pangkalan data bahasa anak, menjadi referensi variasi
struktur, dan bisa jadi kelak akan dikeluarkan menjadi output yang pastinya akan
mengejutkan kedua orang tuanya karena mereka merasa tidak pernah mengajarkan
cara berbicara yang demikian.
Pada hakikatnya, sejak mereka lahir, anak-anak menjumpai diri mereka
berada pada dunia fisik yang bersifat internal dan ekternal yang mana keduanya
harus mereka pahami dengan cara belajar secara induktif. Anak-anak
mendapatkan paparan pengalaman dari dunia fisik melalui panca indera mereka
dan mempelajari banyak sekali hal dasar terkait dengan fisik seperti objek,
peristiwa, dan situasi, termasuk juga bahasa.
Ketika mereka berinteraksi dengan bahasa, mereka secara induktif dan
kadang-kadang tanpa sadar, dengan bantuan LAD, belajar bahasa orang-orang
yang ada di sekitar tanpa mereka diajar oleh orang-orang tersebut. Apapun yang
dikatan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, mereka akan juga
mengatakannya. Ada proses kompleks yang melibatkan kolaborasi mental
maupun fisik yang terlibat, mulai dari proses mendengar dengan telinga,
memahami hingga proses mengimitasi dengan menggunakan mulut dan organ
bicara lainnya. Dengan kemampuan otaknya yang luar biasa, seorang anak
mampu merekam milyaran informasi terkait bahasa tanpa satupun yang hilang,
termasuk di dalamnya kalimat-kalimat kurang berstruktur dan yang mengandung
kekerasan verbal.
Meskipun anak-anak dilarang untuk memproduksi ekspresi yang
mengandung kekerasan verbal, dan orang tua juga tidak mengajarkan anak-anak
untuk memproduksi ekspresi yang mengandung kekerasan verbal, selama sumber
paparan masih tetap menampilkan tontonan yang mempertunjukkan kekerasan
verbal, LAD anak akan tetap memproses paparan tersebut dan sang anak, tanpa
dapat dicegah akan dapat memproduksi ekspresi yang sama seperti sember
pemaparnya.

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

Pada umumnya, tiap bangsa memiliki konsep terkait dekotomi ekspresi
verbal, yaitu yang favorit dan yang tidak favorit. Dikotomi ini terlihat jelas ketika
digunakan untuk membahas kata-kata tabu, kata-kata makian, maupun ekspresiekspresi yang mengarah pada kekerasan verbal (Azhar, 2012). Dikotomi ini
sifatnya universal. Yang menjadikan dikotomi ini menarik adalah ketika dikotomi
ini digunakan untuk memilah kata-kata mana yang bisa dikatakan favorit maupun
yang tidak. Bisa jadi satu bangsa menganggap satu kata/ekspresi adalah
kata/ekspresi yang tidak favorit (misalnya: matamu! lambemu), tapi pada bangsa
lain menjadi favorit (your eyes, your lips). Inilah yang dikatakan sebagai konsep
partikular.
Dikotomi ini diajarkan secara sosio-deduktif dalam masyarakat kepada
anak-anak dan karenanya dikotomi ini melekat demikian kuat. Allan and Burridge
(2006) menyebut satu alasan kuat mengapa dikotomi ini dapat awet di benak
anak-anak adalah karena ekspresi tidak favorit identik dengan hukuman
(reprimands), sedangkan ekspresi favorit identik dengan pembiaran.
Kata-kata kasar memang diajarkan kepada anak-anak sejak dini untuk
tidak diucapkan dan bagi mereka yang mengucapkannya, akan ada hukuman yang
menyertai. Sayangnya, meskipun ada hukuman, jika televisi masih tetap
menayangkannya, ini memberikan kesan pada anak-anak bahwa ada ketidak
konsistenan dari orang dewasa dalam menyikapi kekerasan verbal. Dengan
memberi hukuman, orang tua seakan-akan terlihat benci pada kekerasan verbal,
namun di lain pihak, televisi menayangkannya secara terus menerus dan seakanakan kekerasan verbal tidak terlalu banyak dirisaukan karena kata-kata jenis ini
dianggap sama dengan kata-kata favorit lainnya. Inilah yang dapat menyebabkan
anak-anak tumbuh berkembang dalam dua standar yang berbeda dan karena faktor
paparan bahasa, perkembangan kepribadian anak-anakpun menjadi terganggu.
Selain pengaruh kekerasan verbal pada psikologis anak yang dapat
mempengaruhi bentuk keluaran bahasa mereka, kekerasan verbal yang ada
ditelevisi juga dapat berpengaruh pada kemampuan pragmatis berbahasa mereka.
Grice (1975) menyebutkan bahwa ketika dua orang berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa yang benar, pada dasarnya mereka telah menerapkan prinsip

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

kerja sama yang baik. Seseorang yang menginisiasi sapaan yang baik pada
seseorang misalnya: “selamat pagi bu Andi, ibu mau ke pasar ya? ” pada dasarnya
ia hendak melakukan kerjasama berkomunikasi dengan mitratuturnya. Demikian
juga ketika si mitra tutur memberikan balasan akan sapaan tersebut yaitu dengan
mengatakan : oh bu Amin, iya bu, saya mau kepasar, mumpung masih pagi” pada
dasarnya ia telah bersedia melakukan kerjasama untuk membangun komunikasi.
Ketika anak terpapar bahasa vulgar oleh televisi yang diucapkan oleh artisartis televisi misalnya kalimat “kalau ini sih curut lemari”, dan dengan intuisi
kebahasaannya yang belum tumbuh secara sempurna dia memodifikasi kalimat
tersebut untuk menyesuaikan dengan kebutuhannya sendiri dan kemudian

ia

gunakan modifikasi kalimat tersebut untuk memanggil ibunya: “curut lemari, aku
minta dibeliin ice cream dong”, pada dasarnya televisi telah mengajarkannya
untuk meninggalkan prinsip-prinsip kerjasama dalam komunikasi. Jika sikap ini
dia terapkan terus menerus, maka tidak hanya sikap bahasanya yang buruk, sikapsikap sosial yang lainnyapun akan menjadi jelek. Dalam waktu dekat, si anak akan
tumbuh menjadi sosok yang memiliki sifat egois dan antisosial.

Sikap Orang Tua Menghadapi Fase Perkembangan Bahasa Anak
Erikson (dalam Salkind, 2004) menyebutkan bahwa anak-anak selama
umur 1 tahun hingga 6 tahun, melewati dua fase pertumbuhan yaitu fase autonomi
v.s. ragu-ragu (1-3 tahun) serta fase inisiatif v.s rasa bersalah (3-6 tahun). Ketika
melewati dua fase ini, anak-anak selayaknya mendapatkan dukungan yang
maksimal dari orang tua dan lingkungannya.
Pada fase 1-3 tahun, Jika perkembangan anak tidak didukung oleh orang
tua, anak-anak mungkin memiliki kepribadian yang ragu-ragu. Orang tua dalam
mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak
pula harus memadamkannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan
di sini. Teguran yang harus diberikan orangtua kepada anaknya harus “tegas
namun toleran”, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap
kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan
bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut
Erikson (dalam Salkind, 2004) sebagai impulsiveness (terlalu mengikuti kata hati).
Sayangnya, tidak banyak orang tua yang tahu bagaimana bersikap kepada anakanak pada fase ini terutama ketika sang anak sedang mengambil sikap pada
paparan bahasa yang mereka dapatkan. Ketika anak-anak telah memulai mencobacoba menirukan apa yang mereka dengan di televisi, para orang tua cenderung
melakukan pembiaran dan terkesan bangga karena anak-anak mereka memiliki
kosakata yang luas, padahal kosakata tersebut adalah kosakata yang tidak patut.
Pembiaran ini jika dilakukan terus menerus akan membuat pola bahasa anak
menjadi tidak terkontrol dan cenderung berwarna seperti pemaparnya.
Seharusnya, orang tua ketika anak telah mulai belajar banyak kosakata baru,
memberikan dukungan tidak aktif dengan cara memasang wajah gembira ketika
mereka mengucapkan kosa kata atau ekspresi yang favorit dan memberikan wajah
sedih atau kurang senang kepada anak-anak ketika mereka mulai belajar
memproduksi kosa-kata yang tidak patut/tidak favorit.
Pada fase 3-6 tahun menurut Erikson (dalam Salkind, 2004), anak mesti
belajar untuk memulai kativitas tanpa merusak hak-hak orang lain. Rasa bersalah
mungkin muncul pada saat melakukan aktivitas yang berlawanan dengan orang
tua. Untuk mengurangi perasaan bersalah ini, maka selayaknya orang tua harus
mampu membentuk anak agar tidak berlawanan dengan orang tua terutama
masyarakat. Terkait dengan bahasa, anak-anak sebelum memasuki fase ini harus
telah diberikan peta jalan mana ekspresi yang favorit dan mana yang tidak
sehingga anak-anak akan akan selalu memilih kata-kata favorit sehingga tidak
berlawanan dengan keinginan orang tua. Jika mereka tidak berlawanan, maka
mereka akan sedikit sekali mendapat teguran dan rasa bersalah merekapun akan
semakin sedikit.
Di sinilah peran lembaga-lembaga seperti LSF, KPI, Kementerian
informasi dan Badan Bahasa di uji. Lembaga-lembaga di atas dituntut untuk dapat
memberikan regulasi yang ketat siaran-siaran televisi sehingga para orang tua
dapat meminimalisir kewaspadaan mereka pada proses perkembangan bahasa
anak. Ekspresi kekerasan verbal harus dapat didefinisikan dengan jelas, tidak

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

hanya pada leksikon-leksikon tabu saja, tapi juga pada beraneka konteks dimana
kata-kata favorit dapat berubah makna menjadi ekspresi kekerasan verbal.
Definisi ini juga harus tidak boleh fleksibel mengingat standar yang fleksibel
terkadang menyebabkan beberapa pencari laba di televisi seringkali “bermain” di
dalamnya (Azhar, 2012). Jika definisi, bentuk-bentuk, maupun konteks-konteks
kekerasan verbal telah jelas, maka langkah selanjutnya adalah memperjuangkan
definisi, bentuk-bentuk, maupun konteks-konteks ekspresi kekerasan verbal untuk
masuk pada peraturan terbaru KPI atau peraturan sejenis untuk diterapkan.
Dengan dukungan aparat yang bersih dan tegas, niscaya, televisi Indonesia dapat
bersih dari “sampah-sampah bahasa” dan anak-anakpun akan aman bermain-main
di dalamnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan paparan artikel di atas, di dapat satu simpulan besar yaitu: (1)
ekspresi yang menunjukkan kekerasan verbal di televisi mudah ditemukan, serta
(2) kekerasan verbal yang muncul ditelevisi secara jelas dapat mempengaruhi
proses perkembangan pemerolehan bahasa anak
Galtung (dalam Siahaan, et.al 2001:91-93) memaparkan setidaknya ada 7
jenis ekspresi kekerasan verbal, demikian juga Akbar (2012) yang menemukan 7
jenis, dan Rianti (2010) yang menemukan 3 jenis. Penulis sendiri memaparkan
setidaknya ada 22 jenis ekspresi kekerasan verbal yang berada dalam 6 naungan
taksonomi besar yaitu: (1) ekspresi kekerasan verbal berdasarkan penuturnya, (2)
ekspresi kekerasan verbal berdasarkan pembentukan katanya yang unik, (3)
ekspresi kekerasan verbal berdasarkan satuan lingualnya, (4) ekspresi kekerasan
verbal berdasarkan jenis kalimatnya, (5) variasi bedasarkan maknanya, serta (6)
ekspresi kekerasan verbal berdasarkan sifatnya.
Kekerasan verbal yang muncul ditelevisi memberikan dampak negative
pada anak. Secara psikolinguistis tontonan tersebut jelas berpengaruh dan dapat
mempengaruhi bentuk keluaran bahasa mereka. Selain berpengaruh secara
psikolinguistis, kekerasan verbal yang ada ditelevisi juga dapat berpengaruh pada
kemampuan pragmatis berbahasa mereka.

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

Studi ini jauh dari sempurna karena masih bersifat pendahuluan dan dalam
fase analisisnya masih berhenti pada analisis taksonomi deskriptif yang
dilanjutkan dengan tambahan argumentasi preskriptif, serta belum menyentuh
pada simpulan besar yang berwujud postulat nilai-nilai budaya. Dengan demikian,
diharapkan, para peneliti selanjutnya yang tertarik pada topik ini dapat mengambil
celah yang belum sempat digarap oleh studi ini.
Oleh karena ekspresi kekerasan verbal banyak ditemukan di program
televisi, diharapkan pihak televisi dapat bersikap lebih selektif dalam membuat
program, jika perlu mengedit ekspresi-ekspresi yang mengandung kekerasan
verbal pada perempuan terlebih dahulu sebelum ditayangkan. Bagi artis yang
bermain di acara-acara yang dikaji oleh artikel ini untuk lebih berhati-hati
memilih ekspresi-ekspresi yang diucapkan agar tidak terkesan menggunakan
ekspresi yang tidak favorit yang dapat berdampak buruk tidak hanya pada dirinya,
tapi juga pada anak-anak yang menonton acaranya. Bagi masyarakat agar
bertindak bijak dengan mendampingi anak-anak untuk menjaga agar anak-anak
tidak secara mentah-mentah mengimitasi ekspresi kekerasan verbal yang muncul
di program televisi.

DAFTAR PUSTAKA
Azhar. 2012. Bentuk-bentuk Ekspresi Kekerasan Verbal Pada Wanita di Televisi .
Makalah di Sajikan di Seminar Bahasa dan Sastra yang di Selenggarakan
Oleh Badan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta
Allan, K. and Burridge, K. 2006. Forbidden Words: Taboo and the Censoring of
Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Akbar, Berry Muhammad. 2012. Skripsi dengan Judul Representasi Kekerasan
Verbal dan Non Verbal dalam Tayangan Pesbukers ANTV. Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta

Grice. H.P. 1975. Logic and Conversation: Syntax and Semantic, Speech Act.
New York: Holt Sunders
Liestianingsih D.,2000. Penggambaran Relasi Gender Dalam Iklan Obat Kuat
dan Suplemen di Televisi, Laporan Penelitian. Surabaya: Lembaga Penelitian,
Universitas Airlangga.

Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VI ANAK-ANAK DALAM PERSPEKTIF
SASTRA, BAHASA DAN BUDAYA, halaman 168-176, tahun 2014, Diterbitkan atas
kerjasama Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dan PMN, ISBN 978-602-118701-2

Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman
Perilaku Penyiaran
Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar
Program Siaran
Putra, 2001. Kekerasan Berbungkus Tawa . Jakarta: Media Watch
Rianti, Dian, 2010. Skripsi dengan judul Persepsi Ibu Terhadap Perilaku Verbal
Abuse pada Anak. Program Studi Ilmu Keperawatan. Fakultas Kedokteran.
Universitas Diponegoro
Salkind, Neil J. 2004. An Introduction to Theories of Human Development.
Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. International
Education and Publisher
Sativa, Siti Nuraini Syafitri. 2012. Skripsi dengan Judul Representasi Kekerasan
Verbal Terhadap Perempuan dalam Film Minggu Pagi di Victoria park.
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta
Siahaan, Hotman, et.al. 2001. Pers Yang Gamang. Jakarta: -Sintaningrum. 2012. Skripsi dengan Judul Konstruksi Kekerasan Verbal pada
Program Talk Show Show Imah di Trans TV. Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Mercu Buana Jakarta
Steinberg, Danny D, Nagata, Hiroshi, Aline, David P. 2001. Pasycholinguistics:
Language, Mind and World. Malaysia. Pearson Education
Winarno, Sugeng. 2008. Bentuk-bentuk Kekerasan Verbal dalam Televisi. Publica
Vol IV.No 1 Januari 2008 hal 16-22