PAJAK PENGHASILAN TERHADAP BADAN dalam

PAJAK PENGHASILAN TERHADAP BADAN
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Hukum Pajak
Dosen : Tunggul Anshari SN., SH., MH.

Oleh :
Dio Permana Putra, SH. – 156010202111011
Maria Olympia Barcelona Djoka, SH. – 156010202111018
Anisa Setyo Hardian, SH. – 156010202111

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam memahami mengapa seseorang harus membayar pajak untuk membiayai
pembangunan yang terus dilaksanakan, maka perlu dipahami terlebih dahulu tentang

pengertian pajak itu sendiri. Seperti diketahui bahwa dalam menyelenggarakan
pemerintahan, negara mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi

“melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kkeadilan sosial”.1
Dari uraian tersebut, tampak bahwa negara memerlukan dana untuk kepentingan
rakyat. Dana yang akan dikeluarkan ini tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui
pemungutan yang disebut dengan pajak. Menurut Santoso Brotodihardjo, S.H., dalam
bukunya, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, mengatakan beberapa pendapat para pakar
mengenai pengertian dari pajak itu sendir, yaitu:2
1. Mr. Dr. N. J. Feldmann
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada pengusaha,
(menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum.”
2. Prof. Dr. M.J.H. Smeets


1
2

1

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, 2010, Jakarta, Salemba empat, Hal.5.
Ibid, Hal. 6.

“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum,
dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat ditunjukkan
dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah.”
Smeets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter, baru
kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada definisinya.
3. Dr.Soeparman Soemahamidjaja
“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan
jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
Ia mencantumkan istilah Iuran Wajib dengan harapan terpenuhinya ciri bahwa pajak
dipungut dengan bantuan dari kerja sama dengan WP, sehingga perlu pula dihindari

penggunaan istilah “paksaan”. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa terlalu berlebihan
bila khusus mengenai pajak ditekankan pentingnya unsur paksaan seakan-akan tidak
ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya.
4. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa unsur “dapat dipaksakan” artinya bahwa bila
utang pajak tidak dibayar, maka utang pajak tersebut dapat ditagih dengan
menggunakan kekerasan seperti dengan mengeluarkan surat paksa dan melakukan
penyitaan, bahkan bisa dengan melakukan penyanderaan. Sementara itu, terhadap
pembayaran pajak tersebut tidak dapat ditunjukkan jasa-timbal-balik tertentu, seperti
halnya dengan retribusi.

2

Berdasarkan pengertian pajak tersebut, ada lima hal yang sangat melekat dengan
pajak, yaitu :
a. Pembayaran pajak harus berdasarkan UU;
b. Sifatnya dapat dipaksakan;

c. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar
pajak;
d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun
daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta; dan
e. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah (rutin daan
pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
Pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang
hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemungutan pajak
harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis dan besarannya pejak
yang dipungut. Sesungguhnya pajak memiliki banyak jenis dan fungsinya masingmasing. Fungsi pajak sesungguhnya itu ada dua, yaitu :
1. Fungsi Budgeter
Fungsi Budgeter

adalah yang terletak di sektor publik, yaitu fungsi untuk

mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan UU berlaku yang
pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara,
yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus)
akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
2. Fungsi Regulerend

3. Fungsi Regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan
sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang
keuangan. Fungsi iniumumnya dapat dilihat dari bidang swasta.

3

Dalam pajak ada beberapa pembagian, pajak dibagi dua yaitu pajak daerah dan
pajak pusat. Subjek pajak pun juga dapat dibedakan, yaitu :
1. Orang Pribadi;
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
3. Badan;
4. Bentuk Usaha Tetap.
Dalam makalah ini akan lebih dikhususkan pada pajak pusat yaitu Pajak
Penghasilan Badan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami mengangkat permasalahan tentang bagaimana pajak
penghasilan yang dibebankan kepada suatu Badan?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian yang kami angkat adalah
menjelaskan tentang pajak penghasilan yang dibebankan kepada suatu Badan.


4

BAB II
PEMBAHASAN
D. Pembahasan
Uraian mengenai definisi badan dapat ditemui pada memori penjelasan Pasal 2
ayat (1) huruf b UU PPh di mana disebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV),
Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD).
BUMN dan BUMD merupakan subjek pajak tanpa memperjatikan nama dan
bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintahan, misalnya lembaga,
badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan
subjek pajak.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan,
atau ikatan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang sama. Pengertian Kontrak
Investasi Kolektif dapat ditemui dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1995 Tentang

Pasar Modal, di dalamnya disebutkan bahwa reksa dana dapat berbentuk :
1. Perseroan; atau
2. Kontrak Investasi Kolektif (KIK).
Kontrak Investasi Kolektif

(KIK) merupakan suatu perjanjian antara manager

investasi dan Bank kustodian yang mengikat para pemegang unit penyertaan dimana
manager investasi diberi wewenang untuk melaksanakan menitipan kolektif.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak berdomisili di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12

5

bulan, dan badan yang tidak didirikan serta tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan suatu kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : 3
a. Tempat kedudukan managemen;
b. Cabang perusahaan;
c. Kantor perwakilan;
d. Gedung kantor;

e. Pabrik;
f. Bengkel;
g. Gudang;
h. Ruang promosi dan penjualan;
i. Pertambangan dan Penggalian sumber alam;
j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. Perikanan, Peternakan, Pertanian, Perkebunan, atau Kehutanan;
l. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih daro 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
n. Orang atau Badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di
Indonesia;
p. Komputer, Agen elektronik, atau Peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik guna menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.

3


Purnomo Murtopo, Sjafardamsah dan Tugiman Binsarjono, Perpajakan Pendekatan Sertifikasi A-B-C
Pemahaman Terapan dalam Kerangka Hukum Pajak yang Komprehensif dapat membantu menjadi "Smarter
Taxpayer", 2011, Jakarta, Mitra Wacana Media, Hal.24.

6

Ketentuan mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan BUT dapat ditemui dalam
memori penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPH, disebutkan bahwa wajib pajak luar negeri
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan
kewajiban perpajakan wajib pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam UU
PPH dan UU KUP.
Jenis subjek pajak badan yaitu adalah terdapat dalam memori penjelasan Pasal 2
ayat (2) dimana pajak badan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri;
2. Subjek Pajak Badan Luar Negeri.
Dalam memori penjelasan Pasal 2A ayat (3) disebutkan bahwa kewajiban pajak
sebuah atau seorang subjek pajak badan luar negeri yang menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia melalui bentuk usaha tetap, kewajiban pajaknya dimulai pada saat
bentuk usaha tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat bentuk usaha tetap

tersebut tidak berada lagi di Indonesia.
Dalam ayat (4) dikatakan bahwa subjek pajak badan luar negeri yang tidak
menjalankan usaha atau melakukan suatu kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia adalah subjek pajak luar negeri sepanjang badan tersebut memiliki hubungan
ekonomis dengan Indonesia.
Wajib Pajak Badan adalah orang pribadi atau badan yang telah memnuhi
kewajiban pajak subjektif dan objektif dimana syarat subjektif yang dimaksud dalam hal
badan adalah sejak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Sedangkan syarat
objektif untuk wajib pajak badan, yaitu diterima atau diperolehnya penghasilan di
Indonesia atau penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di

7

Indonesia. Jika kedua syarat tersebut terpenuhi maka wajib mendaftarkan diri untuk
kantor dirjen pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak sekaligus mendapat NPWP.
Perbedaan yang penting antara wajib pajak badan dalam negeri dan luar negeri
yaitu terletak pada pemenuhan kewajiban pajaknya, yaitu : 4
a. Wajib pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh di Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan wajib pajak luar negeri
hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;

b. Wajib pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan netto atau
penghasilan kena pajak dengan tarif umum, sedangkan wajib pajak luar negeri dikenai
pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
c. Wajib pajak dalam negeri wajib menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak
penghasilan sebagai sarana untuk menghitung, memperhitungkan dan melaporkan
pajak yang terhutang dalam satu tahun pajak, sedangkan wajib pajak luar negeri tidak
wajib menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan karena
kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Tempat kedudukan badan berdasarkan Pasal 2 ayat (6) UU PPH, disebutkan
bahwa tempat kedudukan dan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
keadaan yang sebenarnya. Dalam memori penjelasannya disebutkan bahwa penentuan
tempat tinggal atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan kantor pelayanan
pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh badan tersebut.
Dalam hal tempat kedudukan badan berdaa dalam 2 atau lebih wilayah kantor
pelayanan pajak, tetapi dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak, penentuan tempat kedudukan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat

4

8

Ibid. hal. 26

Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat Wajib Pajak berkedudukan atas
nama Direktur Jenderal Pajak.
Wajib pajak yang tidak memiliki kewajiban PPH Badan, yaitu :5
a. Kerjasama operasi (KSO) atau Joint Operation (JO);
KSO merupakan kerjasama dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk
melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan,
dengan demikian KSO bukan merupakan Subjek Pajak sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b UU PPH, dan oleh karenanya pengenaan PPH atas penghasilan
dari proyek tersebut dikenakan pada masing-masing badan anggota KSO sesuai
dengan bagian penghasilan yang diterimanya.
b. Kantor perwakilan dagang asing atau Representative Office (RO).
Kantor Perwakilan Dagang Asing atau Representative Office (RO) dalam surat
Direktur Jenderal Pajak nomor S-545/PJ.312/2003 perihal Pajak Penghasilan Badan
Perwakilan Dagang Asing disebutkan bahwa kantor Perwakilan Dagang Asing di
Indonesia sepanjang kegiatannya hanya terbatas pada kegiatan pengawasan dari
produk yang akan dibeli oleh kantor pusatnya dariprodusen di Indonesia dan kegiatan
lain yang bersifat menunjang, tidak menimbulkan BUT di Indonesia. Oleh karena itu
dana operasional yang diberikan oleh kantor pusat bukanlah merupakan objek pajak.
Meskipun tidak terutang Pajak Penghasilan Badan, sebagai pemberi kerja maka
kantor perwakilan dagang di Indonesia wajib mendaftarkan diri dan melaporkan
kegiatan usahanya serta melaksanakan kewajiban pemotongan/pemungutan PPh atas
penghasilan para pekerjanya yang merupakan Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri.
Pengecualian terhadap subjek pajak badan diberlakukan atas:6

5

9

Ibid. hal. 28

1. Kantor perwakilan negara asing karena dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a UU PPh beserta
penjelasannya diketahui bahwa kantor perwakilan negara asing, pejabat-pejabat
perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai
subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
2. Organisasi internasional karena dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c UU PPh disebutkan
bahwa organisasi-organisasi internasional tidak termasuk sebagai subjek pajak dengan
syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota;
Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerja sama teknik dan atau
kebudayaan tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Kerja sama teknik tersebut memberi manfaat pada Negara/Pemerintah Indonesia;
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
Dalam hal organisasi-organisasi internasional sebagaimana ditetapkan tidak termasuk
Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan tersebut tidak lagi memenuhi syarat-syarat, penetapan tersebut dicabut oleh
Menteri Keuangan.
3. Unit tertentu dari badan pemerintah
Dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh diketahu bahwa dikecualikan dari subjek
pajak badan adalah unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

6

Ibid. hal.29

10

a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
d. Pembukuannya diperiksa oleh aparan pengawasan fungsional negara.
Dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh diketahui bahwa hubungan istimewa diantara
Wajib Pajak Badan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang
lain yang disebabkan:
1. Kepemilikan atau penyertaan modal;
2. Adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi;
3. Adanya hubungan keluarga.
Apabila terdapat hubungan stimewa diantara Wajib Pajak maka akan
menimbulkan dampak terhadap aspek perpajakan masing-masing pihak yang memiliki
hubungan istimewa tersebut. Dampak terhadap hubungan istimewa ini diatur dalam Pasal
18 ayat (3), yaitu sebagai berikut:
1. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan
harga antara pihak yang indepenen, metode harga penjualan kembali, metode biayaplus, atau metode lainnya.
2. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan
bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga

11

transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang berlaku
selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaan nya serta melakukan
renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
3. Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aset perusahaan melalui pihak
lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company),
dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut
sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan
pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak
yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak
dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan
tersebut.
4. Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari
pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali.
5. Hubungan BUT dengan Kantor Pusatnya adalah hubungan istimewa karena suatu
BUT 100% dimiliki oleh Kantor Pusatnya. Oleh karena itu dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) disebutkan bahwa dalam penentuan laba, suatu
BUT dianggap sebagai perusahaan lain yang terpisah dari Kantor Pusatnya dan
melakukan transaksi yang sepenuhnya bebas dan berdiri sendiri.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan. Dijelaskan pula bahwa penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar negeri yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah

12

kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Sehingga penghasilan diperlakukan dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Penghasilan yang merupakan objek pajak bukan final
Secara umum penghasilan yang merupakan objek pajak bukan final seperti yang
terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yaitu:7
1) Hadiah dari selain undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
2) Laba usaha;
3) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta;
4) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
5) Bunga termasuk premium, dikonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
6) Dividen dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
7) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
8) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
9) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
10) Keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
11) Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
12) Selisih lebih karena penilaian kembali aset;
13) Premi asurasni;

7

Ibid. hal. 42

13

14) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
15) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
16) Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
17) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
18) Surplus Bank Indonesia.
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak bersifat final
Pengenaan PPh yang bersifat final mengandung pengertian bahwa atas penghasilan
tersebut kewajiban perpajakannya sudah lunas melalui pengenaan pajak yang
dipotong atau disetor sendiri pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh.
Dengan demikian atas penghasilan yang telah dikenakan PPh Final memiliki
konsekuensi sebagai berikut:
1) Penghasilan tersebut tidak diperhitungkan lagi;
2) Biaya-biaya sehubungan penghasilan tersebut tidak diperhitungkan lagi;
3) PPh atas penghasilan tersebut tidak diperhitungkan lagi.
c. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak
Dasar hukum mengenai penghasilan yang bukan merupakab objek pajak adalah Pasal
4 ayat (3) UU PPh beserta penjelasannya. Dalam pasal tersebut disebutkan mengenai
jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. Pada bagian ini disajikan
jenis penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak yang berhubungan dengan
subjek pajak badan, yaitu:
1) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang

14

diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia;
2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Sehubungan dengan hal ini telah diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 604/KMK.04/1994 tentang Badan-badan dan Pengusaha Kecil yang
Menerima Harta Hibahan yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak
Penghasilan. Dalam KMK tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan:


Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya sematamata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan
dalam bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan;



Badan pendidikan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya sematamata menyelenggarakan pendidikan formal tingkat taman kanak-kanak
dan/atau tingkat dasar dan/atau tingkat menengah dan/atau perguruan tinggi,
yang tidak mencari keuntungan;



Badan sosial adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata
menyelenggarakan: pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan orang lanjut usia
(panti jompo), pemeliharaan anak yatim-piatu, orang cacat, orang terlantar,
pemberan beasiswa, pelestarian lingkungan hidup, kegiatan sosial lainnya
(sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuntungan).

15



Pengusaha kecil termasuk koperasi adalah pengusaha yang pada saat akan
menerima hibah jumlah nilai asetnya tidak termasuk tanah dan/atau
bangunan tidak melebihi enam ratus juta rupiah.

 Pengurangan Penghasilan Bruto
Pada umumnya pengurangan penghasilan bruto adalah biaya, beban atau beban lainlain yang terdapat dalam Laporan Laba Rugi suatu entitas. Namun, tidak semua
pengeluaran tersebut diperkenankan menjadi pengurangan penghasilan bruto dalam
penentuan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Sehingga atas pengeluaran-pengeluaran
tersebut dikelompokkan menjadi:
1) Pengeluaran yang dapat menjadi pengurangan penghasilan bruto (deductible
expense).
Dalam memori penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU PPh disebutkan bahwa bebanbeban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua)
golongan, yaitu:
a) Beban atas biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun;
b) Beban yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh disebutkan bahwa besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan termasuk:
a) Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha;

16

b) Penyusutan atau pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
c) Iuran kepada dana penisun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
d) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan.
e) Kerugian selisih kurs mata uang asing.
f) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
g) Biaya beasiswa, magang dan pelatihan
h) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
i) Sumbangan

dalam

rangka

penanggulangan

bencana

nasional

yang

ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k) Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah
l) Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah
m) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah
n) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) UU PPN/PPn BM dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut.

17

2) Pengeluaran yang tidak dapat menjadi pengurangan penghasilan bruto
(nondeductible expense).
Pengeluaran yang tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto dapat
dikelompokan sebagai berikut:
a) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak atau penghasilannya dikenakan PPh Final (deemed
tax) atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma Penghitungan
Khusus (deemid profit) dan biaya yang dikeluarkan di luar praktik akutansi
yang sehat (kondisi tidak wajar);
b) Biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya
c) Kerugian dari utang dan pengalihan harta yang tidak digunakan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara objek pajak
d) PPh yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali PPh Pasal 26
sepanjang PPh tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk
pemotongan pajak
e) Kerugian dari harta atau utang yang dimiliki dan tidak dipergunakan dalam
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
yang merupakan objek pajak
f) Pajak Masukan
g) Pajak Masukan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
h) Biaya-biaya yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
Deductible expense bahwa beban yang diperkenankan sebagai pengurang
penghasilan bruto dibagi menjadi dua jenis yaitu yang mempunyai masa manfaat
kurang dari satu tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun pembebanannya

18

dilakukan melalui penyutusan atau melalui amortisasi. Hal ini sejalan dengan
pengertian penyusutan menurut PSAK No. 16 dan No. 17 dimana disebutkan bahwa
penyusutan adalah alokasi jumlah perolehan suatu aset yang dapat disusutkan
sepanjang masa manfaat diestimasi.
Menurut Pasal 11 UU PPh harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud
yang harus memenuhi kriteria:
a. Harta berwujud yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan;
b. Mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Sedangkan harta yang tidak dapat disusutkan menurut fiskal atau penyusutan tidak
dapat diakui sebagai biaya fiskal adalah:8
a. Tanah, kecuali nilainya berkurang dalam pemakaian, hal ini terdapat persamaan
antara PPh dengan akutansi;
b. Harta berwujud yang menurut akuntansi dapat disusutkan, tetapi menurut PPh,
penyusutannya tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal.
c. Nilai Perolehan, dimana dalam Pasal 10 UU PPh dan penjelasannya disebutkan:
1. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang
tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima;
2. Sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima;
3. Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga
pasar;

8

Ibid. hal. 62

19

4. Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga
pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
5. Apabila terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf c UU PPh, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima
pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
d. Nilai Sisa yaitu penyusutan menurut akuntasni diperbolehkan memperhitungkan
nilai sisa (residual value).
e. Masa Manfaat dimana penentuan suatu aset menurut akuntansi dilakukan
berdasarkan estimasi atas kualitas aset tersebut.
f. Metode Penyusutan dimana harus dilakukan secara taat asas. Maksudnya adalah
untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode
garis lurus. harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis
lurus atau metode saldo menurun.
g. Saat Mulai Penyusutan dimana berdasarkan penjelasan Pasal 11 ayat (3) dan ayat
(4) UU PPh, penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada
bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama
dihitung secara pro-rata.
h. Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan dikelompokan dan ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
i. Pengalihan dan Penarikan Harta dimana keuntungan atau kerugian karena
pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukan pengalihan harta
tersebut.

20

Berdasarkan penjelasan Pasal 11A ayat (1) UU PPh, pengeluaran untuk
memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak muhibah (goodwill) yang
mempunyai masa manfaat masa manfaat lebih dari satu tahun yang dipergunakan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, diamortisasi dengan
metode:
a. Dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat (metode garis
lurus);
b. Dalam bagian-bagian yang menurun dalam setiap tahun dengan cara menerapkan
tarif amortisasi atas nilai sisa buku (metode saldo menurun).
Untuk penghitungan penyusutan perlu diketahui beberapa variabel sebagai berikut:
a) Saat Mulai Amortisasi, dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga
amortisasi pada tahun pertama dihitung secara pro-rata, kecuali untuk bidang
usaha tertentu;
b) Masa Manfaat dan Tarif Amortisasi, dimana ditentukan atas pengeluaran harta tak
berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam
melakukan amortisasi.
c) Amortisasi di Bidang Penambangan Migas dimana untuk memperoleh hak dan
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun di bidang
pertambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi.
d) Amortisasi di Bidang Penambangan Selain Migas, hak pengusahaan hutan dan
hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan
hasil laut yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, dilakukan dengan
menggunakan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% setahun.
21

 Tarif Pajak Penghasilan Badan Usaha dimana ditetapkan dalam:




UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
UU. No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan dan



Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Ada tiga klasifikasi tarif yang berlaku bagi badan usaha yang penghasilan

brutonya berbeda-beda. Pertama adalah bagi badan usaha yang penghasilan bruto
(peredaran brutonya) di bawah Rp4.8 Miliar. Kedua adalah bagi badan usaha yang
penghasilan bruto atau (peredaran brutonya) diatas Rp4.8 Miliar dan kurang dari
Rp50 Miliar. Ketiga adalah bagi badan usaha yang penghasilan bruto (gross incomenya) lebih dari Rp50 Miliar. Jadi, ada tiga macam tarif pajak; besarnya tergantung
dari berapa besar 'gross income' badan usaha.
Bila peredaran bruto atau 'gross income' usaha di bawah Rp4.8 Miliar, maka
tarif pajaknya adalah 1 persen (1 %) dari Peredaran Bruto. Bila 'gross income' di atas
Rp4.8 Miliar dan kurang dari Rp50 Miliar, tarif pajaknya adalah {0.25 - (0.6
Miliar/Gross Income)} dikali Penghasilan Kena Pajak (PKP).

22

Bila 'gross income' di atas Rp50 Miliar, maka tarif pajaknya adalah 25% dari Penghasilan
Kena Pajak.
Bila disajikan dalam bentuk tabel, inilah ringkasan tarif pajak penghasilan untuk
badan usaha.
Tabel Tarif Pajak Penghasilan untuk
Badan Usaha
Penghasilan Kotor (Peredaran Bruto) (Rp)
Kurang dari Rp4.8 Miliar
Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50 Miliar
Lebih dari Rp50 Miliar

Tarif Pajak
1% x Penghasilan Kotor
(Peredaran Bruto)
{0.25 - (0.6 Miliar/Penghasilan Kotor)} x PKP
25% x PKP

Menurut Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, UU No. 36 Tahun 2008,
Penghasilan Kena Pajak adalah 'gross income' kurang biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan penghasilan kotor badan usaha. Dengan kata lain, Penghasilan Kena
Pajak adalah penghasilan kotor kurang biaya yang dikeluarkan. Penghasialan kotor
adalah seluruh hasil dari penjualan dari produk dan jasa termasuk bunga uang yang
diperoleh dari bank atau apa saja yang sifatnya penghasilan. Sedangkan biaya adalah
semua biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan penghasilan kotor. Ini termasuk
gaji karyawan, sewa gedung, telepon, internet, air listrik, dan juga biaya-biaya atas
jasa yang gunakan dari pihak lain. Semua yang termasuk pengeluaran masuk ke
dalam biaya.

23

 Mekanisne Pembayaran Pajak PPh Pasal 25 dan 29 Badan Usaha
Pembayaran

Pajak

PPh

badan

dilakukan

dengan

cara

mengangsur

pembayarannya setiap bulan. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER38/PJ/2009, dimana mekanisme pembayarannya yaitu dengan mengisi Surat Setoran
Pajak (SSP). Saat mengisi SSP Tabel Kode Akun Pajak Dan Kode Jenis Setoran.
Nilai angsuran Pajak PPh 25 yang disetorkan bisa dengan menggunakan nilai
Pajak PPh terhutang dikurangi dengan setoran Pajak PPh Pasal 22, 23, dan 24 yang
telah dipungut oleh pihak ketiga akibat transaksi penjualan dan perdagangan tahun
sebelumnya dibagi 12. Pelunasan PPh Pajak terhutang pada umumnya paling lambat
tanggal 31 Maret setelah Tahun Pajak bersangkutan dengan menggunakan SPT
Tahunan Badan PPh Formulir 1771 untuk perhitungan PPh Pasal 29 terhutang. Nilai
yang dibayarkan oleh wajib pajak adalah sejumlah Pajak PPh Tahun bersangkutan –
Pajak PPh Pasal 25 yang telah disetor tiap bulan.
 Formulir SPT Tahunan Badan Pajak Penghasilan PPh Pasal 29
Sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) dan (1a) UU Nomor 6 Tahun 1083 s.t.d.t.d. UU
Nomor 28 tahun 2007 (UU KUP), Wajib Pajak diwajibkan mengisi Surat
Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap dan jelas dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah dan
menandatangi serta menyampaikannya ke Kantor Ditjen Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar. Bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah,
wajib mengisi SPT Tahunan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain rupiah
yang diizinkan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

24

Berikut Formulir Pengisian pajak PPh Badan Usaha sesuai dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014, yaitu:9
1. Formulir SPT PPh Formulir 1771
2. Lampiran SPT PPh Formulir 1771
Agar dapat mengisi formulir SPT Tahunan denganbaik, Wajib Pajak perlu
juga mengenali dirinya dengan baik pula. berkaitan dengan status Wajib Pajak Badan,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
 Kenali bentuk badan hukum;

 Pembukuan Rupiah vs. US Dollar;

 Tentukan Jenis Formulir yang harus digunakan;
 Kenali transaksi-transaksi yang dilakukan.

Direktorat Jendral Pajak mengiinstruksikan bahwa per tanggal 1 Juli 2016,
baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan Usaha wajib menggunakan aplikasi
e-Billing Pajak saat melakukan seluruh transaksi pembayaran pajak. Transaksi
pembayaran pajak menggunakan aplikasi eBilling pajak ini sangat sederhana dan
efisien, jika telah melakukan proses input transaksi seluruh data pajak maka metode
pembayarannya bisa dilakukan lewat ATM, Kasir Bank, Kantor Pos, melalui Internet
Banking atau Mobile Banking.
 Kewajiban Membayar Pajak Bagi Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak Badan Memiliki Kewajiban Membayar Pajak dimana Seluruh
perusahaan di Indonesia seperti Perusahaan Terbatas (PT), Perusahaan Firma (Fa),
Perusahaan Perseroan Komanditer (CV), dll yang memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) berkewajiban untuk membayar pajak karena pajak merupakan hal
penting dan menjadi salah satu penghasilan negara demi kesejahteraan masyarakat.

9

Ibid. hal. 91

25

Negara sudah memberikan kepercayaan (self-assesment) kepada perusahaan dan
masyarakat untuk menghitung, melapor dan menyetor pajak secara masing-masing.
Terdapat beberapa jenis pajak bagi WP badan yang harus dibayarkan kepada
pemerintah, jenis pajak tersebut adalah: Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan
Nilai.
Jenis Pajak Wajib Pajak Badan diantaranya
1. Pajak Penghasilan (PPh)
a) Pajak Penghasilan Pasal 21
Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan
nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dan
harus dibayar setiap bulannya. Perusahaan biasanya memotong langsung
penghasilan para pegawai.
b) Pajak Penghasilan Pasal 22
Pemungutan pajak dari Wajib Pajak yang melalukan kegiatan di bidang impor
atau dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong mewah.
c) Pajak Penghasilan Pasal 23
Merupakan pajak yang dipotong oleh pemungut pajak dari wajib pajak saat
transaksi yang meliputi transaksi dividen (pembagian keuntungan saham),
royalti, bunga, hadiah dan penghargaan, sewa dan penghasilan lain yang
terkait dengan penggunaan aset selain tanah atau transfer bangunan, atau jasa.
d) Pajak Penghasilan Pasal 25
Merupakan angsuran pajak yang berasal dari jumlah pajak penghasilan
terutang menurut SPT Tahunan PPh dikurangi PPh yang dipotong atau
dipungut serta PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri yang boleh
dikreditkan.

26

e) Pajak Penghasilan Pasal 26
Merupakan PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri
selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
f) Pajak Penghasilan Pasal 29
Saat jumlah pajak terutang suatu perusahaan dalam satu tahun pajak lebih
besar dari jumlah kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak
lain dan yang telah disetor sendiri, maka nilai lebih pajak terutang tersebut (
pajak terutang dikurangi kredit pajak ) menghasilkan PPh Pasal 29. PPh ini
harus dibayarkan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan.
g) Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
PPh ini berhubungan dengan pajak yang dipotong dari penghasilan yang
dipotong dari bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi, hadiah undian,
transaksi saham dan sekuritas lainnya, serta transaksi lain sebagaimana diatur
dalam peraturannya.
h) Pajak Penghasilan Pasal 15
Merupakan laporan pajak yang berhubungan dengan Norma Perhitungan
Khusus untuk golongan wajib pajak tertentu, seperti wajib pajak badan yang
bergerak dibidang pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan
asuransi luar negeri, pengeboran minyak, gas dan geothermal, perusahaan
dagang asing, dan perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk
bangunan-guna-serah.
2. Pajak Pertambahan Nilai
a) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

27

PPN adalaah pajak yang dikenakan pada transaksi atas barang dan jasa kena
pajak di Indonesia. Nilai PPN ditambahkan pada harga pokok barang atau jasa
tersebut yang diperjualbelikan. Baca info lanjut soal PPN di sini.
b) Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
PPnBM merupakan pajak yang dikenakan atas barang atau produk yang
dianggap bukan sebagai barang kebutuhan pokok, dan dikonsumsi oleh
masyarakat

tertentu

yang

pada

umumnya

merupakan

masyarakat

berpenghasilan tinggi, juga barang yang dibeli untuk menunjukkan status, atau
jika dikonsumsi dinilai dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat
Indonesia. Baca info lanjut terkait PPnBM di sini.
3. Sanksi Administrasi Wajib Pajak Badan
Apabila Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan oleh WP Badan dalam
jangka waktu atau batas waktu perpanjangan yang sudah diberikan, maka WP Badan
akan dikenai sanksi administrasi dengan denda sebesar:




Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN
Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk Denda Lapor (PPh 21, PPh 23, Pasal 4
Ayat 2,dan PPh 25) atau SPT Masa lainnya



Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak Badan

28

BAB III
KESIMPULAN
E. Kesimpulan
Badan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh di mana disebutkan
bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan
Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV), Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak berdomisili di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan, dan badan yang tidak didirikan serta tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan suatu kegiatan di Indonesia, ketentuan mengenai
pemenuhan kewajiban perpajakan BUT dapat ditemui dalam memori penjelasan Pasal 2
ayat (2) UU PPH, disebutkan bahwa wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban
perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak
badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam UU PPH dan UU KUP.
Jenis subjek pajak badan yaitu adalah terdapat dalam memori penjelasan Pasal 2
ayat (2) dimana pajak badan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu Subjek Pajak Badan
Dalam Negeri; dan Subjek Pajak Badan Luar Negeri. Tempat kedudukan badan
berdasarkan Pasal 2 ayat (6) UU PPH, disebutkan bahwa tempat kedudukan dan badan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.

29

Wajib pajak yang tidak memiliki kewajiban PPH Badan, yaitu Kerjasama operasi
(KSO) atau Joint Operation (JO); dan Kantor perwakilan dagang asing atau
Representative Office (RO).
Pengecualian terhadap subjek pajak badan diberlakukan atas Kantor perwakilan
negara asing; dan Organisasi internasional karena dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c UU PPh
disebutkan bahwa organisasi-organisasi internasional tidak termasuk sebagai subjek pajak
dengan syarat-syarat.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan. Sehingga penghasilan diperlakukan dalam tiga kelompok, yaitu Penghasilan
yang merupakan objek pajak bukan final; Penghasilan yang merupakan objek pajak
bersifat final; dan Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak (bantuan atau
sumbangan, termasuk zakat; dan Harta hibahan).
Pengurangan penghasilan bruto termasuk dalam penentuan Penghasilan Kena
Pajak (PKP). Dikelompokkan menjadi Pengeluaran yang dapat menjadi pengurangan
penghasilan bruto (deductible expense); dan Pengeluaran yang tidak dapat menjadi
pengurangan penghasilan bruto (nondeductible expense).
Menurut Pasal 11 UU PPh harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud
yang harus memenuhi kriteria Harta berwujud yang digunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan; dan Mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun.
Sedangkan harta yang tidak dapat disusutkan menurut fiskal atau penyusutan tidak
dapat diakui sebagai biaya fiskal adalah Tanah, kecuali nilainya berkurang dalam
pemakaian, hal ini terdapat persamaan antara PPh dengan akutansi; Harta berwujud yang
menurut akuntansi dapat disusutkan, tetapi menurut PPh, penyusutannya tidak dapat
30

dibebankan sebagai biaya fiskal; Nilai Perolehan (Pasal 10 UU PPh); Nilai Sisa (residual
value); dan Masa Manfaat dimana penentuan suatu aset menurut akuntansi dilakukan
berdasarkan estimasi atas kualitas aset tersebut; Metode Penyusutan dimana harus
dilakukan secara taat asas.
Ada tiga klasifikasi tarif yang berlaku bagi badan usaha yang penghasilan
brutonya berbeda-beda. Pertama adalah bagi badan usaha yang penghasilan bruto
(peredaran brutonya) di bawah Rp4.8 Miliar; Kedua adalah bagi badan usaha yang
penghasilan bruto atau (peredaran brutonya) diatas Rp4.8 Miliar dan kurang dari Rp50
Miliar; Ketiga adalah bagi badan usaha yang penghasilan bruto (gross income-nya) lebih
dari Rp50 Miliar. Jadi, ada tiga macam tarif pajak; besarnya tergantung dari berapa besar
'gross income' badan usaha.
Mekanisne Pembayaran Pajak PPh Badan (Pasal 25 dan 29), dengan cara
mengangsur pembayarannya setiap bulan. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-38/PJ/2009, dimana mekanisme pembayarannya yaitu dengan mengisi Surat
Setoran Pajak (SSP). Saat mengisi SSP Tabel Kode Akun Pajak Dan Kode Jenis Setoran.
Formulir SPT Tahunan Badan Pajak Penghasilan PPh, Wajib Pajak diwajibkan
mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar. Jenis Pajak Wajib Pajak Badan
diantaranya Pajak Penghasilan (PPh); dan Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM))
Sanksi Administrasi Wajib Pajak Badan, yaitu Rp 500.000,- (lima ratus ribu
rupiah) untuk SPT Masa PPN; Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk Denda Lapor
(PPh 21, PPh 23, Pasal 4 Ayat 2,dan PPh 25) atau SPT Masa lainnya; dan Rp 1.000.000,(satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

31