PERBANDINGAN KARAKTERISTIK KEUANGAN DAN non

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK KEUANGAN DAN
PENGARUHNYA TERHADAP MARKET PERFORMANCE
PADA INDUSTRI OTOMOTIF DAN INDUSTRI FARMASI
DI BURSA EFEK INDONESIA
Fakhni Armen
ABSTRACT
Basically, this research is aimed to analyze financial
characteristics and their impact to market performance of stocks
between automotives and pharmaceutycals industries that have
been listing in Indonesia Stock Exchange. Research samples are all
population members including in automotives and pharmaceutical
industries that have financials statement and data of trading
activities during observation period. Cross sectional data of PER
and PBV directly are found out from the audited financial reports,
while DFL must be recalculated, refers to each income statement.
Sharpe’s Measure use raw data from market trading activities,
SBI’s rates, and IDX composite indexes that have been published in
the same period. In the first stage is used non parametric test of
Mann Withney. The results indicate that PER and PBV of
automotives
industry are

significantly different
from
pharmaceautycal industry. While, DFL and Sharpe’s Measure are
not different statistically. Then, in the second stage, using
correlation of Karl Pearson’s Product Moment, it’s discovered that
PER, PBV and DFL, partially or simultaneously can’t explain
market performance of the both industries.
A.

A. PENDAHULUAN
B. Industri farmasi masih dinilai sebagai salah satu
industri yang paling stabil, potensial dan prospektif
disamping industri otomotif, rokok, dan semen, karena
memiliki pertumbuhan tinggi (high growth) dengan risiko
rendah (low risk), sehingga memiliki daya tarik tinggi
sebagai tujuan investasi.
C. Pakpahan (2002) menga mati profil risiko yang
terjadi di masing-masing industri dengan menggunakan

indeks harga saham sektoral (IHSS) yang dikeluarkan

oleh pasar modal yang ketika itu masih bernama BEJ, dan
disimpulkan bahwa volatilitas return memiliki kesamaan
pola di mana pada awal terjadinya krisis ekonomi
mempunyai volatilitas yang tinggi dan kemudian diikuti
dengan volatilitas yang makin rendah pada tahun 1999
sampai dengan 2001.
D. Namora (2006) menunjukkan bahwa setiap
sektor memiliki volatilitas return yang berbeda-beda.
Semakin tinggi volatilitas return, maka saham semakin
berisiko. Dengan mengetahui return dan risiko suatu
saham, investor dapat mengetahui tingkat market
performance saham tersebut. Market performance saham
adalah risk adjusted return. Market performance yang
menggabungkan return dan risiko dapat dijadikan acuan
dalam menentukan saham mana yang mempunyai kinerja
yang baik (Bodie, 2002).
E. Selain
menggunakan
ukuran
market

performance, karakteristik keuangan suatu perusahaan
yang berdasarkan pada rasio-rasio dari laporan keuangan,
dapat pula dijadikan acuan untuk menilai perusahaan.
Thiagarajan (1993) melakukan penelitian dengan
menggunakan analisis dari laporan keuangan perusahaan,
menyimpulkan bahwa beberapa informasi dari laporan
keuangan mampu menjelaskan kinerja suatu saham.
F. Dalam CAPM, required return tergantung hanya
pada risiko yang tidak terdiversifikasi (nondiversifiable
risk) dari sebuah investasi. Nondiversifiable risk yang
ditanggung oleh pemegang saham dapat dibagi menjadi
dua bagian. Bagian utama dari nondiversifiable risk
sering disebut sebagai risiko bisnis (business risk) atau
risiko operasi (operating risk). Sedangkan bagian kedua
dari nondiversifiable risk adalah risiko keuangan
(financial risk).
G. Business risk merupakan risiko yang paling
mendasar dalam melakukan bisnis, tanpa terpengaruh
pada bagaimana cara perusahaan mengatur keuangannya.
Business risk bersumber pada bagaimana perusahaan

melakukan operasi bisnisnya. Dalam beberapa kasus,

2

perusahaan tidak dapat mengontrol business risk yang
mereka miliki, karena business risk selain ditentukan oleh
operating risk juga dipengaruhi oleh karakteristik
industri. Operating risk yang terjadi pada industri yang
berkarakteristik defensive industry, bisa jadi berbeda
dengan operating risk pada cyclical industry.
H. Defensive industry, merupakan industri yang
sedikit sekali dipengaruhi oleh faktor resesi dan kesulitan
ekonomi (economic adversity). Sedangkan cyclical
industry sangat terpengaruh oleh kondisi perekonomian,
karena produk yang dihasilkan berupa barang yang umur
pemakaiannya dapat bertahan lama, misalnya kendaraan
dan peralatan rumah tangga. Pada saat kondisi
perekonomian bagus, penjualan produk tersebut dapat
meningkat beberapa kali lipat. Sedangkan pada masa
kesulitan ekonomi, biasanya pelanggan menunda

pembeliannya, karena masih dapat menggunakan barang
yang lama sebagai pengganti.
I.
Financial risk bersumber pada bagaimana
perusahaan mengatur keuangannya, yang tercermin pada
struktur modal (capital structure) yang dimiliki. Capital
structure mengandung pengertian pada bagaimana cara
perusahaan melakukan pengaturan keuangan melalui
kombinasi dari penggunaan utang dan ekuitas.
J.
Industri otomotif dan sektor farmasi merupakan
dua sektor industri yang berbeda dalam hal domain
bisnisnya termasuk risiko yang dimilikinya. Dengan
memperhatikan pada produk yang dihasilkannya,
perusahaan-perusahaan yang termasuk ke dalam industri
otomotif pada umumnya dapat dikategorikan ke dalam
cyclical industry. Akibatnya industri otomotif sangat peka
terhadap faktor perekonomian, di mana suatu saat
penjualan produk otomotif akan tinggi, dan di waktu yang
lain penjualan produknya akan menurun dipengaruhi

kondisi perekonomian.
K. Perbedaan
kepekaan
industri
otomotif
dibandingkan sektor farmasi akan mengakibatkan
perbedaan laba antara kedua sektor industri tersebut.
Padahal nilai intrinsik suatu saham ditentukan arus kas

3

yang diharapkan untuk waktu mendatang. Analis saham
akan memprediksi perbedaan arus kas yang diharapkan
berkaitan dengan perbedaan sektor industri. Sehingga dari
uraian-uraian di atas dapat dirumuskan:
L. Hipotesis 1 : Price Earning Ratio (PER) industri otomotif
memiliki perbedaan yang signifikan dengan industri
farmasi.
M. Hipotesis 2 : Price to Book Value (PBV) industri otomotif
memiliki perbedaan yang signifikan dengan industri

farmasi.
N. Hipotesis 3 : Leverage (DFL)industri otomotif memiliki
perbedaan yang signifikan dengan industri farmasi.
O. Pada penelitian yang lain, Johannes (2000) mela
kukan penelitian dengan men gunakan data 20 saham
properti di BEJ, selama masa krisis moneter tahun 19971998. Dari hasil penelitian tersebut didapat kan bahwa
harga saham-saham properti mengalami penurunan
selama masa krisis.
P. Dalam pengukuran ma rket performance yang
berdasarkan risiko (risk adjusted performace), sema kin
kecil risiko maka semakin besar market per formance
tersebut dengan asumsi nilai return yang tetap, dan
demikian pula sebaliknya. Walaupun hasil penelitian
Pakpahan (2002) dan Johannes (2000) menun jukkan
volatilitas return sa ham sektor properti lebih besar
daripada sektor aneka industri, namun Sharpe’s Measure
kedua sektor terse but perlu diuji, mengingat nilai
Sharpe’s Measure bu kan terdiri dari volatilitas return
saja, melainkan terda pat excess return.
Q. Michel dan Shaked (1986) berkesimpulan bahwa

perusahaan domestik memiliki Sharpe’s Measure yang
lebih bagus secara signifikan dibandingkan market
performance perusahaan multinasional. Sedangkan
penelitian Kusuma (1999) menunjukkan hasil yang
bertolak belakang dengan Michel dan Shaked (1986),
yaitu bahwa perusahaan multinasional memiliki Sharpe’s
Measure yang lebih bagus dibandingkan perusahaan
domestik.

4

R. Mengacu pada uraian-uraian di atas, maka dapat
disusun Hipotesis 4 : Market performance industri
otomotif berbeda dibandingkan Market performance
industri farmasi.
S.
T.
Pengaruh Leverage Terhadap Sharpe’s
Measure
U. Leverage merupakan financial risk yang dapat

memberikan pengaruh kepada besarnya required return
suatu saham dan nilai perusahaan. Penggunaan utang
akan meningkatkan nilai perusahaan karena sifat dari
biaya bunga yang berfungsi sebagai biaya untuk
mengurangi pajak (tax shield). Namun jika kewajiban
membayar bunga tidak terpenuhi maka perusahaan akan
terancam kondisi keuangannya (financial distress) yang
pada akhirnya dapat menyebabkan kebangkrutan.
V. Kondisi keuangan perusahaan yang terancam
bangkrut cenderung akan menutupi keuntungan dari
penggunaan utang (static trade-off theory). Kondisi
financial distress dapat mengurangi laba perusahaan
sebagai akibat dari besarnya kewajiban bunga yang harus
dibayarkan kepada pemegang bond. Dalam hal terjadinya
kemungkinan bangkrut berkaitan dengan jumlah utang
yang besar mempunyai dampak negatif terhadap nilai
perusahaan.
W. Hubungannya dengan excess return, leverage
bermanfaat dalam bentuk tax shield sehingga dapat
menaikkan excess return. Namun jika leverage makin

tinggi, maka manfaat tax shield dikalahkan oleh financial
distress dan bankcruptcy cost sehingga dapat menurunkan
excess return. Penggunaan leverage akan menaikkan
risiko perusahaan sehingga akan menaikkan deviasi
standar dari return, yang berarti akan menurunkan
Sharpe’s Measure. Dengan demikian leverage
mempunyai pengaruh tambahan (adjusted effect), yakni
pengaruh positif atau negatif terhadap Sharpe’s Measure.
X.
Y.
Pengaruh PER dan PBV terhadap Sharpe’s
Measure

5

Z. Pendekatan yang biasa digunakan dalam
memilih saham adalah pendekatan yang menggolongkan
suatu saham sebagai growth stock atau value stock.
Saham-saham yang tergolong ke dalam growth stock,
umumnya diharapkan mempunyai pertumbuhan nilai

(harga) dan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan
saham lain.
AA. Ukuran utama yang biasanya digunakan
mendefinisikan growth stock dan value stock adalah PER
dan PBV. Growth stock umumnya memiliki PER dan
PBV yang tinggi, yang artinya harga saham tersebut
relatif lebih tinggi dibandingkan nilai net asset
perusahaan. Sebaliknya, value stock mempunyai PER dan
PBV yang rendah.
BB. Hubungannya dengan harga saham, investor
growth stock mempunyai risiko kerugian yang lebih besar
dibandingkan investor value stock. Risiko ini dikarenakan
harga saham tersebut tinggi, dan dapat turun dengan
tajam sehingga menyebabkan kerugian yang besar.
CC. Menurut Merrill Lynch Investment Manager
(2005), siklus ekonomi mempunyai pengaruh yang
berbeda terhadap growth stock dan value stock. Value
stock cenderung lebih bagus (outperform) selama periode
pemulihan ekonomi (economic recovery), sedangkan
growth stock memberikan hasil yang bagus pada tahaptahap akhir masa pertumbuhan ekonomi (economic
expansion).
DD. Stattman (1980), Rosenberg, Rein dan Lanstein
(1985) menyimpulkan bahwa return rata-rata saham
berkorelasi positif dengan book to market ratio. Jika hal
tersebut dikonversi ke dalam market to book ratio atau
PBV, maka PBV berkorelasi negatif dengan return saham.
Fama dan French (1992) menunjukkan hasil yang
mendukung penelitian-penelitian tersebut. Di antaranya,
mereka menemukan bahwa terdapat korelasi positif antara
return dengan E/P ratio (korelasi negatif dengan PER),
dan korelasi positif yang kuat antara return dengan Book
To Market Ratio (hubungan negatif dengan PBV). Dari
uraian di atas, yakni tentang growth stock dan value stock,

6

1)
2)
3)
4)

serta dari hasil-hasil penelitian yang ada, maka dapat
disusun Hipotesis 5: Karakteristik keuangan berpengaruh
signifikan terhadap market performance pada industri
otomotif baik secara parsial maupun secara simultan.
EE.
FF.
B. METODE PENELITIAN
GG. Penelitian ini terdiri dari 2 tahapan. Pada tahap
pertama dilakukan pengujian perbedaan karakteristik
keuangan dan market performace pada masing-masing
industri. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder, dalam rancangan cross sectional. Data
yang diambil adalah harga saham pada saat penutupan
(closing price), IHSG dan dividen, Data suku bunga
bebas risiko (risk-free rate), didapatkan dari tingkat suku
bunga sertifikat bank Indonesia (SBI). Sedangkan data
yang berhubungan dengan karakteristik keuangan, yakni
data yang berupa rasio-rasio keuangan (DFL, PER, PBV)
untuk kedua sektor saham tersebut, didapatkan dari
laporan keuangan yang sudah diaudit.
HH. Periode pengamatan yang digunakan dalam
penelitian ini, sepanjang tahun 2006 dengan obyek
penelitian adalah semua perusahan yang terdaftar pada
industri otomotif dan industri farmasi (total sampling).
II.
JJ.
Pengukuran variabel
Price-Earning Ratio (PER) merupakan perbandingan
antara harga pasar suatu saham dengan laba per lembar saham
pada periode yang sama (Wild, 2001).
Price-Book Value ratio (PBV), dihitung dengan membagi
harga pasar per saham dengan nilai buku per saham pada
periode yang sama (Wild, 2001).
Degree of Financial Leverage (DFL) merupakan variabel
proxy dari leverage, yang dihitung dari EBIT dibagi dengan
EBT (Block, 1981).
Sharpe’s Measure didapatkan dengan membagi rata-rata
excess return saham terhadap standar deviasi return saham,
(Tandelilin, 2002):

7

KK.

¯R

LL.
MM. Rf
NN.
σ
OO.
5) Return saham yang
(Tandelilin, 2002):

S^ P =

( R¯ − R¯ f )
σ

= the average return on the portfolio;
= the risk-free rate;
= the standard deviation return.
diperoleh dengan menggunakan rumus
Rt =

( Pt −Pt −1 )+ D t
Pt

−1
PP.
QQ. Di mana:
RR. Rt
= rate of return (return realisasi) saham
pada bulan ke-t
SS. Pt
= harga saham pada bulan ke-t
TT. Pt-1
= harga saham pada satu bulan sebelum
bulan ke-t
UU. D
= dividen pada bulan ke-t
VV.
6) Rata-rata return saham, yakni dengan metode perhitungan ratarata geometrik menggunakan rumus (Tandelilin, 2002):
WW. G = [(1 + R1) (1 + R2) …(1 + Rn)]1/n – 1
XX.
YY. Untuk mengetahui apakah ada saham-saham di
industri otomotif dan industri farmasi yang mempunyai
market performance yang lebih baik dibandingkan
dengan IHSG dilakukan dengan mencari selisih return
masing-masing saham dengan market return-nya. Bila
selisihnya positif, berarti saham tersebut memiliki return
yang lebih baik dari return IHSG, dan sebaliknya bila
selisihnya return-nya negatif, berarti lebih buruk dari
return IHSG.
ZZ. Pengujian tahap pertama menggunakan metode
pengujian Mann-Whitney. Pengujian
tahap
kedua
menggunakan metode korelasi Karl Pearson dengan
formulasi sebagai berikut;
AAA.

8

riSp = rXiSp =

∑ XiSp
√ ∑ Xi 2 √∑ Sp 2

BBB.
CCC...................................................................................................r = koefisien
DDD.
X = variabel bebas (PBV, PER, DFL)
EEE.
Sp = variabel terikat (Sharpe’s Measure)
FFF.
GGG. C. Pengujian Hipotesis
HHH. Pengujian Tahap pertama
III.
JJJ.
KKK.
NNN.
Pric
e
t
o

LLL.
QQQ.
MannWhitne
yU
VVV.Wilcox
on W

AAAA.
Z

B
o
o
k

MMM.
Price
E
ar
ni
n
g
R
at
io

V
a
l
u
e
SSS.2
1
,
0
0
0

RRR.
20,00
0

XXX.
126,
0
0
0

WWW.
75,00
0
BBBB.
-1,777

CCCC.
2

9

OOO.
Degrr
e
of
Fi
n.
L
e
v
e
ra
g
e
TTT. 4
7,
0
0
0
YYY. 1
3
8,
0
0
0
DDDD.
-,795

PPP.
Sh

UUU.
59,

ZZZ.
16

EEEE.
-,2

FFFF.
Asymp. Sig.
(2tailed)

,
3
9
0
GGGG.
,076

HHHH.
,017

IIII. ,
4
2
6

JJJJ.

,

KKKK.

LLLL. D. Kesimpulan
1. Pengujian tahap pertama: perbedaan karakteristik keuangan
Dari hasil uji U Mann-Whitney dapat disimpulkan bahwa :
a. PER industri otomotif tidak berbeda signifikan dengan PER
industri farmasi. Dimana ranking rata-rata PER industri
otomotif lebih rendah daripada PER industri farmasi.
b. PBV industri otomotif berbeda signifikan dengan dengan
PBV industri farmasi. Dimana ranking rata-rata PER
industri otomotif lebih rendah daripada PER industri
farmasi.
c. DFL industri otomotif tidak berbeda signifikan dengan DFL
industri farmasi.
2. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa Sharpe’s Measure
pada kedua industri tersebut mempunyai rata-rata ranking yang
tidak berbeda secara signifikan. Setelah dilakukan break down
terhadap variabel pembentuk Sharpe’s Measure, yaitu excess
return dan return volatility diketahui bahwa:
a. Excess return industri otomotif tidak berbeda signifikan
dengan excess return industri farmasi (Uhitung 50 > Utabel ,
36).
b. Return Volatility (Standar Deviasi) industri otomotif juga
tidak berbeda signifikan dengan return volatility industri
farmasi (Uhitung 42 > Utabel , 36).
3. Dengan menggunakan Sharpe’s Measure IHSG sebagai
pembanding, didapatkan temuan bahwa:
a. Secara berurutan, 9 jenis saham yaitu saham SCPI, BRAM,
SQBI, dan ASII, MASA, DVLA, SMSM, dan KLBF
memiliki Sharpe’s Measure yang lebih baik daripada
Sharpe’s Measure IHSG sebagai benchmark kinerja pasar.
Selebihnya memiliki nilai yang lebih rendah daripada
Sharpe’s Measure IHSG.

10

b. Saham TSPC dan IMAS memiliki Sharpe’s Measure yang
paling rendah dibandingkan saham-saham lainnya dalam
industri farmasi dan otomotif.
4. Pada tahap kedua penelitian ini membuktikan bahwa:
a. Pada industri otomotif tidak terdapat pengaruh karakteristik
keuangan yang signifikan terhadap market performance
(Sharpe’s Measure). Secara simultan r2= 0,6469. Akan
tetapi secara parsial masing-masing variabel memiliki
kekuatan pengaruh yang berbeda, berturut-turut PER (r2=
0,6511 ), DFL (r2= 0,4587), dan PBV (r2= 0,4384 ).
b. Pada industri farmasi juga tidak terdapat pengaruh
karakteristik keuangan yang signifikan terhadap market
performance (Sharpe’s Measure). Namun memperlihatkan
pengaruh yang lebih kuat dibanding industri otomotif.
Secara simultan r2= 0,7125. Secara parsial masing-masing
variabel memiliki kekuatan pengaruh yang juga berbeda,
berturut-turut PER (r2= 0,6172 ), DFL (r2= 0,5173), dan
PBV (r2= 0,4384 ).
c. Setelah dilakukan pengujian pengaruh secara terpisah,
kemudian dilakukan pula pengujian serentak untuk kedua
industri. Ternyata hasilnya menunjukkan pengaruh
karakteristik keuangan (PER, PBV dan DFL), baik secara
parsial maupun bersama-sama, tetap tidak mampu
menjelaskan market performance. Uji parsial didapatkan
PER (r2= 0,2300 ), DFL (r2= 0,2802), dan PBV (r2=
0,2620). Pengujian efisiensi semi-strong form mendapatkan
4 saham yang mendapatkan cummulative abnormal return
positif.

MMMM.

11