AGAMA DALAM PRAKSIS EKONOMI MASYARAKAT S

AGAMA DALAM PRAKSIS EKONOMI MASYARAKAT:
AGAMA DALAM PRAKSIS EKONOMI MASYARAKAT:
STUDI KASUS DI DESA SUKAKARYA, MEGAMENDUNG, BOGOR*

Oleh Muh. Adlin Sila

Pendahuluan
Tulisan ini berangkat dari pemahaman bahwa sistem ekonomi yang dianut
selama rezim Orde Baru dan hingga kini, dimana pragmatisme dan rasionalisme
menjadi motornya, tidak membuat praktek ekonomi sebagian kaum Muslim
mengalami sekularisasi dan rasionalisasi. Dengan mengambil kasus di Desa
Sukakarya, studi ini membuktikan bahwa praktek ekonomi masyarakat masih
berlandaskan pada hubungan-hubungan sosial, nilai-nilai budaya dan agama
(altruistic values). Jika ekonomi kapitalistik sangat menghindari nilai-nilai
altruistik ini (disembededdness), karena akan terjadi distorsi, sebaliknya praktek
ekonomi di masyarakat ini sangat menekankan nilai-nilai humanis dan moralitas.
Temuan penelitian berkesimpulan bahwa sistem ekonomi mikro yang
mengedepankan nilai-nilai humanis atau untuk kesejahteraan bersama (altruistic
values) dianggap lebih cocok dan lebih subtantif untuk meningkatkan taraf hidup
ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di desa.


Desa Sukakarya adalah tipikal desa di Indonesia, terbelakang dari segi
infrastruktur, sehingga kurang mendukung perkembangan ekonomi kapitalistik
yang menekankan pada proses produksi. Sebagian besar pelaku ekonomi
bergerak di sektor informal, dan sebatas pengecer barang-barang kebutuhan
pokok, sandang dan pangan serta hasil kebun. Desa Sukakarya terletak di
Kecamatan Megamendung, Bogor, tidak jauh dari kawasan Puncak yang dingin
dan cenderung berhujan. Seperti desa lain di kawasan ini, Desa Sukakarya
menjadi incaran kalangan pebisnis untuk ekspansi bisnis mereka dengan
membangun hotel dan villa. Saat ini, kawasan Puncak sudah berubah dari
kawasan puncak gunung menjadi kawasan puncak villa. Sepanjang jalan, villa
dan hotel berjejer menawarkan jasa penginapan dengan aneka harga yang
kompetitif. Salah satu contohnya adalah Green Apple, komplek villa yang luasnya
mencapai sekitar 60 hektar. Dari hari ke hari semakin banyak tanah pertanian
milik penduduk setempat dijual untuk dijadikan villa atau sekedar rumah
peristirahatan bagi orang Jakarta. Beralihnya status tanah ini menjadi sebab
berubahnya tatanan sosial-budaya masyarakat dan lingkungan di daerah ini dan
sekitarnya.

Permasalahan Penelitian
Maraknya pembangunan villa di desa ini menyebabkan luas lahan pertanian

yang meliputi sebagian besar wilayah desa menjadi berkurang. Akibatnya, cukup
1

banyak penduduk yang mengalihkan profesinya ke bidang non pertanian,
misalnya usaha skala kecil menengah (home industry), warung kelontong hingga
buruh tani dan bangunan. Apakah dengan perubahan profesi ini maka perilaku
sosial ekonomi sebagian masyarakat desa yang umumnya Muslim sudah
berubah menjadi pragmatis dan individualis? Apakah penetrasi Kapitalisme telah
membuat masyarakat desa menjadi individu yang rasional dan melulu mencari
keuntungan pribadi? Tulisan yang berasal dari hasil penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan keberadaan nilai-nilai agama dan solidaritas sosial yang
mendasari perilaku-perilaku ekonomi masyarakat desa.

Metode Penelitian
Dalam melakukan studi ini, kami menggunakan pendekatan kualitatif, karena
kami melihat realitas secara subyektif. Kami sehari-hari berinteraksi dengan si
subyek untuk menangkap pemahaman si subyek (native understanding). Oleh
karena itu, yang kami lakukan adalah bergaul dengan warga setempat setiap
hari di warung, pasar, kantor dan sekolah atau di tempat-tempat umum dimana
warga berinteraksi sehari-hari. Sedangkan tipe penelitian yang digunakan adalah

Deskriptif Analitis. Dalam melakukan ini, kami menggunakan ethnography
sebagai tipe penelitian kami karena menggambarkan sebuah budaya dan
memahami cara hidup lain menurut pemahaman masyarakat aslinya.
Pemaknaan (meaning), menurut ethnography, bukanlah yang tergambarkan
dalam tingkah laku dan perkataan, tapi lebih dalam dari itu.
Ketika kami memutuskan untuk memulai penelitian, kami berhadapan dengan
seseorang yang memiliki otoritas untuk masuk ke lokasi (gatekeepers). Orang ini
membantu kami di lapangan ketika ingin menemui seseorang atau ke lokasi
yang tidak semudah ditemui jika tanpa bantuan orang yang sudah dikenal. Tapi,
setelah itu kami melakukan teknik bola salju (snowball) dalam memilih informan
untuk diwawancarai. Setelah informan terpilih, penulis membangun hubungan
yang baik dengan subyek selama di lapangan, dengan pandai-pandai
menampilkan diri (presentation of self), misalnya; cara berpakaian, berbicara
dan berperilaku, karena semuanya itu memberikan pesan simbolik. Oleh karena
itu, kami berusaha membangun rapport, yaitu kemampuan untuk membangun
hubungan yang bersahabat dengan anggota masyarakat yang diteliti, sehingga
memperoleh pemahaman terhadap cara melihat dan merasakan tentang
kejadian dari perspektif orang lain (empathy). Penulis juga melakukan
pengamatan (observation) dengan memperhatikan, menyaksikan, dan
mendengarkan apa yang dilihat dan didengar, hal-hal yang detil, karena dengan

demikian akan memperoleh pemahaman secara menyeluruh.
Selama proses penelitian, peneliti melakukan kegiatan pencatatan lapangan
(field notes), seperti; mengambil peta, diagram, foto, catatan wawancara,
rekaman tip dan video (tape and video recordings), membuat memo, catatancatatan kecil dan ringkas (jotted notes). Sejumlah informan ada yang meminta
identitasnya disamarkan atau menggunakan nama-nama palsu (pseudonyms).

Kondisi Geografis dan Sosial-Ekonomi Desa Sukakarya

2

Sepintas desa Sukakarya mirip dengan kebanyakan desa di Bogor, Jawa Barat,
berbukit dan jalannya naik turun serta berkelok-kelok. Letak desa masih berada
di bawah kaki pegunungan Pangrango dan memiliki ketinggian dari permukaan
laut sekitar 700 m. Dengan kondisi ini, suhu rata-rata sekitar 27 derajat celcius.
Tidak panas untuk ukuran orang Jakarta. Menjelang tengah malam, udara cukup
dingin. Tapi kata salah seorang warga, “waktu saya masih remaja dulu lebih
dingin lagi, sekarang mah tidak ada apa-apanya, gak tahu kenapa”. Selain udara
yang sudah agak panas, desa ini juga sering dilanda longsor terutama pada
musim hujan. Pada saat penelitian ini dilakukan, terjadi longsor yang menimbun
beberapa sungai yang mengairi sawah di desa ini.

Tidak jauh dari rumah yang kami tempati, terdapat sungai Pasirkalong yang
cukup terjal. Sungai ini dinamai Pasirkalong karena terletak di kampung
Pasirkalong, salah satu kampung dari tiga kampung yang ada di Desa
Sukarkarya. Dua kampung lainnya adalah kampung Cijulung dan Coblong. Pusat
pemerintahan Desa Sukakarya terletak di kampung Pasirkalong ini. Sungai ini
terkenal dengan pasirnya yang hitam dan bersih. Penduduk setempat banyak
yang mencari pasir di sini lalu dijual ke para penadah. Karena sudah terbiasa dan
demi sesuap nasi, kondisi jalan menuju sungai yang terjal dan licin, terutama di
waktu hujan, tidak menjadi persoalan bagi warga setempat. Dalam sehari,
menurut salah satu pencari pasir, bisa memperoleh lima pikulan pasir, “satu
pikulnya dihitung Rp.10 ribu, jadi dalam sehari dapat Rp,50 ribu.” Lumayan
untuk ukuran desa. Profesi pengambil pasir ini hanya digeluti beberapa orang
saja. Sebagian warga lainnya menjadi buruh tani dan bangunan.

Tabel I.
Jenis Profesi Penduduk Sukakarya Tahun 2007

No. Profesi

Jumla

h

Buruh tani
1.

Buruh bangunan dan
2. pabrik

695
575

3. Pedagang

102

4. Pengusaha kecil
(Wiraswasta)
5.
Petani penggarap
6.

Pengrajin
7.
Guru dan PNS
8.
Lainnya

20

Jumlah

150
30
8
27
1607

3

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar warga adalah buruh, baik tani
maupun bangunan dan pabrik. Memang, sebagian besar penduduk masih

menggantungkan mata pencahariannya sebagai petani. Tapi, kebanyakan dari
mereka adalah buruh tani, karena sawahnya sudah dimiliki oleh orang lain,
terutama dari luar desa. Menurut data di kelurahan, jumlah petani yang memiliki
tanah sendiri sebanyak 200 orang. Bandingkan dengan jumlah petani penggarap
dan buruh tani yang masing-masing 150 dan 695 orang. Bagi petani penggarap,
mereka sebatas menggarap sawah saja. Jika panen berhasil, keuntungan dibagi
dengan pemilik sawah. Mang Senan, salah seorang penjual pupuk dan obatobatan untuk pertanian mengatakan kepada penulis; “para petani minjam pupuk
dan obat sama saya, setelah panen baru mereka pada bayar, makanya saya
berharap panen selalu berhasil biar tidak pada nunggak, gitu.” Usaha toko pupuk
dan obat-obatan pertanian hanya beberapa saja jumlahnya di desa ini. Toko
Mang Senan termasuk yang cukup maju. Selain untuk keperluan pertanian, dia
juga memiliki mesin penggiling gabah. Tapi usaha yang terakhir sudah kurang
menguntungkan karena pemilik gabah yang kebanyakan orang luar lebih suka
menggiling gabahnya di kota terdekat.
Dari pantauan kami, kalau petani penggarap meminjam pupuk dan perlengkapan
tani lainnya, maka buruh tani, dan juga buruh bangunan, berhutang bahanbahan pokok kebutuhan rumah tangga di warung-warung yang ada di desa ini.
Mereka bergaji mingguan sehingga hutang dibayar lunas atau dicicil setiap akhir
pekan. Salah satau warung yang kerap menjadi tempat meminjam barang
kebutuhan pokok adalah milik Mang Fattah. Selain menjual kebutuhan pokok,
warung Mang Fattah juga menjual gorengan dan minuman. Untuk yang terakhir

ini, warung Mang Fattah yang paling dikenal karena bukanya hingga larut malam.
Lokasi warungnya yang berada di salah satu ruangan rumah Mang Fattah sendiri
memudahkannya untuk mengawasi aktivitas jual beli. Dari pantauan kami,
kondisi lingkungan pemukiman yang antara satu rumah dengan rumah lainnya
saling berdempetan dan hampir tidak ada halaman untuk pekarangan rumah,
menjadikan hubungan sosial antara warga kampung masih sangat personal.
Sistem kekerabatan tidak hanya patrilineal tapi juga patrilokal. Sebagaimana
diungkapkan oleh Mang Fattah;
“Gimana mau punya rahasia pak, tetangga ya saudara juga. Apa yang jadi
masalah di rumah saya, pasti ketahuan deh sama tetangga, begitupun
sebaliknya. Jadi yang minjam ke warung saya masih saudara juga. Kita di sini
tidak boleh pelit pak, karena kalau kita dapat rezeki pasti ketahuan sama
tetangga. Apalagi saya punya warung, kalau tidak ngasih minjam, pasti
diomongin sama tetangga, terkadang ada yang musuhin saya. Jadi serba salah.”

Dari luas desa sebesar 339,25 Ha, sekitar 140 Ha adalah lahan persawahan. Sisa
areal desa ini diperuntukkan untuk pemukiman penduduk, baik untuk
dibangunkan villa atau rumah pemukiman penduduk. Bagi areal yang akan
dibangunkan villa, sebagian warga dan pemuda menjadi kuli urug tanah dan kuli
bangunannya. Di depan rumah yang kami tempati adalah contohnya. Dulunya

adalah tanah sawah yang sangat luas. Sekarang dipagari kawat yang tinggi dan
sedang ditimbuni tanah oleh warga yang menjadi kuli bangunan agar rata dan
bisa segera dibangun rumah di atasnya. Pemiliknya adalah orang Jakarta. Saat
4

ini menurut data yang diperoleh di Kelurahan, luas areal pemukiman lebih dari
setengah areal persawahan. Hal ini menandakan besarnya perubahan status
tanah dari persawahan menjadi perumahan.
Tanah dalam pandangan Kapitalisme tanah merupakan hak milik mutlak,
sementara dalam pandangan Sosialis dan Komunis tanah hanya dimiliki negara
sementara Islam memandang Tanah sebagai milik mutlak Allah. Dari
perbincangan dengan beberapa warga, tanah itu sejatinya adalah milik Allah. Hal
ini kurang lebih sama dengan prinsip dalam Islam bahwa Pemanfaatan atas
tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya
tetapi atas dasar pemanfaatannya. Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah
sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan.

Tabel II.
Luas wilayah Desa Sukakarya menurut penggunaannya Tahun 2007
Penggunaan Tanah


Luas
(Ha)

1. Pemukiman umum

80

2. Persawahan
(pengairan/pasang-surut)

140

3. Ladang

138

4. Hutan

40

5. Lainnya

0,80

Jumlah

399,25

Jenis usaha lain yang digeluti oleh warga desa adalah pembuatan kantong
kertas. Permintaan akan kantong kertas ini cukup tinggi, terutama dari pedagang
gorengan yang dimilki warung-warung di sekitar desa, seperti milik Mang Fattah.
Permintaan juga datang dari luar desa, yaitu dari warung dan gerobak gorengan
yang ada di sepanjang jalan menuju kawasan Puncak. Bahan dasar dari buah
tangan ini adalah kertas-kertas bekas hasil limbah buangan dari kantor-kantor
yang ada di sekitar jalan menuju Puncak. Para pekerja yang dilibatkan untuk
membuat kantong kertas ini adalah kebanyakan ibu-ibu rumah tangga yang
suaminya adalah buruh tani dan bangunan. Setiap orang bisa menghasilkan
sekitar 1000 sampai 5000 kantong kertas per harinya. Seorang ibu yang lagi
mencuci pakaian di sebuah MCK desa mengatakan kepada penulis;
“Saya mah bisanya bikin 3000 sampai 5000 buah kantong kertas. Satunya
dihitung Rp. 1, jadi kalau bikin 5000 buah maka dapat Rp.5000 sehari. Saya
kuatnya segitu aja, kalau banyak-banyak, siapa yang ngurusin anak saya.
Lagian, saya kan hanya membantu suami yang jadi buruh bangunan di sebuah
5

komplek villa di desa ini. Suami dapatnya cuma Rp. 15 ribu sehari, sementara
keperluan sehari-hari banyak. Jadi saya nambah-nambahin aja gitu. ”

Hasil kerja para ibu tangga ini ditampung di sebuah rumah milik salah seorang
pengusaha kantong kertas, dikepak-kepak dan diikat seukuran satu meter
persegi lalu dikirim ke Kota Bogor dan daerah sekitarnya. Keuntungan yang
diperoleh oleh warga desa terutama ibu-ibu rumah tangga tidak terlalu
berpengaruh kepada ekonomi keluarga. Tapi, keterlibatan perempuan dalam
salah satu jenis usaha kecil ini menggambarkan sebuah kenyataan adanya
modal sosial (social capital) yang cukup bagus untuk upaya pemberdayaan
perempuan dalam menciptakan produk-produk ekonomi di tingkat desa.
Jenis usaha lainnya yang membuka lapangan pekerjaan adalah usaha
pembuatan aksesoris mobil seperti stir dan kaca spion (tipe sporty) serta patungpatung plastik untuk peragaan baju di etalase toko. Usaha ini milik Mang Drajat.
Stir mobil milik Mang Drajat ini dikenal kualitasnya hingga ke Jakarta karena
tidak kalah oleh buatan impor. Belakangan, ketika kami memantau langsung
rumahnya yang juga jadi pabriknya, usaha ini sudah tidak semaju seperti dahulu.
Warga desa yang bekerja di tempat ini sudah sangat jarang ditemui, karena
jumlah order dari luar semakin menurun.

Kehidupan Keagamaan Masyarakat Desa
Selain bersuku bangsa Sunda, mayoritas penduduk Desa Sukakarya menganut
agama Islam. Bahkan data tahun 2007 menunjukkan bahwa seluruh penduduk
yang berjumlah 6511 orang, yang hampir seimbang laki-laki dan perempuannya,
adalah pemeluk Islam. Dari itu, jumlah tempat ibadah yang masing-masing 13
masjid, 33 musholla dan 10 langgar terasa tidak sebanding dengan jumlah
jamaahnya. Tentunya dengan catatan kalau semua penduduk dewasa beribadah
ke tempat ibadah ini. Aspek homogenitas dari segi suku dan agama ini membuat
kohesi sosial cukup tinggi di desa ini. Hampir tidak ditemui adanya potensi
konflik yang berakar pada agama dan suku. Meskipun ada pendatang, mereka
cenderung beradaptasi dengan budaya dominan di desa ini.
Dalam mendukung internalisasi nilai-nilai agama kepada masyarakat, desa ini
memiliki beberapa kyai dan ustad yang membuka kelas pengajian, baik informal
maupun formal, untuk anak-anak dan dewasa. Dari data yang ada, jenjang
pendidikan agama formal hanya 2 buah Madrasah Ibtidaiyah (MI), setingkat
sekolah dasar (SD). Itupun milik yayasan atau swasta. “SD negeri yang
berjumlah 3 buah dirasa kurang cukup untuk membekali anak-anak pendidikan
agama, dari itu kami mendirikan madrasah,” kata pak Mubarok, kepala sekolah
Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatul Islam, salah satu MI di desa Sukakarya. Dari
pantauan kami ke madrasah ini, kondisi gedung yang semi permanen dengan
atap ruang kelas yang bolong-bolong sudah kurang memadai dalam mendukung
proses belajar mengajar. Uluran tangan pemerintah, terutama Departemen
Agama, sangat diharapkan oleh pak Mubarok untuk segera turun membantu.
Apalagi, kebanyakan guru di MI ini, termasuk pak Mubarok sendiri, masih
berstatus guru honorer dan sedang menunggu diangkat oleh pemerintah
menjadi guru definitif.
6

Tidak jauh dari MI ini, terdapat pula pondok pesantren Al-Furqoniyah yang diasuh
oleh Kyai Muhammad Saefullah bin Baudri. Lokasinya berada di halaman rumah
kyai dan dekat dengan salah satu masjid di desa ini. Kyai Saefullah, yang kami
temui selepas sholat Maghrib Sabtu malam, sedang mengajar mengaji untuk
kelas anak-anak. Selain membuka kelas untuk anak-anak, Kyai Saefullah juga
membuka manakiban yang diberi nama Jamiatul Jawahirul Ma’ani. Pertemuannya
diadakan setiap malam Kamis dari ba’da sholat Isya hingga jam 10 malam, dan
diikuti sekitar 40 orang dewasa.
Mang Fattah yang juga jama’ah dari manakiban ini mengatakan; “Acara dimulai
dengan tawasul atau mengirim sholawat kepada para ulama terdahulu lalu
manakiban. Setelah itu, para jamaah meminta barokah untuk dunia akhirat dari
pak kyai.” Di mata para jama’ah, termasuk Mang Fattah, Kyai Saefullah adalah
figur yang sangat dihormati karena beliau diyakini menerima ilmu dari Syekh
Abdul Qadir Jaelani (tokoh pendiri tarekat Qadiriyyah) melalui perantaraan
mursyidnya. Manakiban adalah tradisi kalangan tarekat. Kyai Saefullah sendiri
adalah salah satu khalifah dari tiga khalifah Tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyyah (TQN) di Kabupaten Bogor yang mengklaim jumlah jamaahnya
sekitar 6000 orang.
Khalifah (wakil) adalah murid dari seorang mursyid tarekat. Kyai Saefullah adalah
khalifah dari mursyid (guru tarekat) Kyai Haji Jauhari Umar (almarhum) asal Jawa
Timur. Bertarekat diyakini oleh Mang Fattah akan mendapatkan berkah dari Allah
melalui perantaraan (tawasul) orang-orang sufi ini. Kadar kesalehan Mang Fattah
ini juga terlihat secara lahiriah dari pengamatan kami di rumah Mang Fattah,
dimana foto mursyid ini terpampang dengan rapih di dinding ruang tamunya.
Geneologi Kyai Haji Ahmad Jauhari Umar

Syekh Abdul Qadir Jaelani

K. Muhammad Saefullah bin Baudri
K.H. Ahmad Jauhari Umar
K.H. Dalhar Watucongol
Sayyid Abdullah
Siti Maisaroh
K.H. Kholil (Madura)
Datuk Abdurrohim
K.H. Mukhtar Syafa’at
Abuya K.H. Dimyati Banten
K.H. Abdul Hamid
Kyai Kholil (Pasuruan)
7

K.H. Marzuqi Lirboyo

Kyai Saefullah masih sering menyambangi Pondok Pesantren Darussalam, Tegal
Rejo Pasuruan, Jawa Timur, tempat kediaman almarhum Mursyid Kyai Haji Ahmad
Jauhari Umar. Kata Kyai Saefullah kepada penulis;
“Saya masih berkunjung ke kediaman Mursyid saya minimal dua kali setahun.
Meskipun saat ini yang memimpin pesantren itu adalah anak-anaknya, saya
masih memiliki ikatan spiritual dengan bapak mereka. Tanggal 3 Mei nanti saya
diundang kesana untuk merayakan ulang tahun pesantren itu dan sekaligus
khataman Kitab Ihya’ Ulumuddin yang ke 12,”

Selain menjadi khalifah Manakiban, Kyai Saefullah juga pengampu Mauludan
yang dirayakan setiap tahun pada bulan Rabiul Awal. Mauludan (peringatan
kelahiran Nabi Muhammad) tahun 2007 ini berlangsung hari Senin, tanggal 9
April. Tampak di setiap rumah, ibu-ibu sibuk melakukan persiapan Mauludan ini
dengan membuat bonsang (bakul rotan nasi maulid). Menurut Kyai Saefullah;
“Jama’ah dari luar desa biasanya membawa sekitar 400 bonsang. Jumlah itu
ditambah lagi jika setiap KK di desa ini menyumbang satu hingga 3 bonsang.
Saya sendiri memotong dua ekor kambing dan memberi uang transport masingmasing ke jama’ah yang berjalan kaki Rp. 20 ribu dan yang berkedaraan Rp. 50
ribu. Sedangkan ustad yang berceramah saya kasih honor Rp 400 ribu.

Mauludan di desa ini terbagi dua; yang pertama untuk orang dewasa yang
berlangsung dari jam 7 pagi sampai jam 11 siang. Sedangkan yang kedua untuk
remaja dan anak-anak yang dimulai pada malam hari. Kalau semua KK sekitar
2600 di desa ini menyumbang minimal satu bonsang maka akan terkumpul
sekitar 2600 bonsang ditambah 400 lagi dari luar desa. Jadi, total 3000-an
bonsang terkumpul. Jumlah jamuan yang fantastik untuk ukuran sebuah
perayaan keagamaan.
Selain Mauludan, yang membuat Desa Sukakarya dikenal banyak orang adalah
keberadaan makam Haji Baesuni di kawasan Pentas. Semasa hidupnya, Haji
Baesuni dikenal sebagai tokoh agama yang dihormati dan sebagai pendiri
pondok pesantren Al-Baesuni. Para pengunjung yang berziarah ke makamnya
datang dengan maksud yang berbeda-beda. Umumnya mereka meminta
barakah agar dimudahkan dalam urusan duniawi seperti, digampangkan
mendapat jodoh, rezeki atau anak keturunan.
Selain itu, di Desa ini juga terdapat beberapa orang yang memiliki ilmu
kanuragan, atau dikenal sebagai “orang pintar”. Haji Hamdan, misalnya, yang
setiap malam Jum’at kerap dijambangi oleh orang dari luar desa, karena dikenal
mampu meramal nasib orang. Rumahnya yang berjumlah dua, yang masingmasing diperuntukkan untuknya istrinya yang kebetulan dua orang, berdiri
megah di pinggir jalan desa. Setiap malam Jum’at, kata orang-orang desa, jalan
macet karena dipenuhi mobil yang parkir di depan rumah H. Hamdan. Anehnya,
warga desa sendiri jarang yang datang ke H. Hamdan ini. Warga desa hanya
mengambil keuntungan dari situasi ini. Misalnya, yang berprofesi ojek dan
8

pemilik warung ketiban banyak rejeki dengan banyaknya tamu yang
memanfaatkan jasa dan jualan mereka.

Hubungan Agama dengan Praktek Ekonomi
Tradisi-tradisi keagamaan yang telah dikemukakan diatas, seperti; Manakiban,
Mauludan, ziarah ke makam keramat, dan praktek-praktek mistik lainnya adalah
lazim ditemukan di masyarakat Muslim yang bercorak tradisional. Praktek
keagamaan mereka lebih cocok dikelompokkan dalam tradisi Ahlu As-Sunnah wal
Jama’ah (aswaja). Meskipun, tokoh-tokoh agama yang ditemui tidak secara
eksplisit mengaku sebagai pengikut organisasi Nahdhatul Ulama (NU), pengampu
tradisi aswaja di Indonesia, tapi mereka adalah penganut tradisi NU, minimal dari
segi praktek keagamaan. Salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Mang Fattah bercerita bahwa ketika warungnya lagi laris manis, kerap
mengeluarkan zakat, infak dan shodaqoh 2,5% untuk setiap keuntungan yang
diperoleh. Kadang dia memberikannnya kepada kyai dan anak yatim di desanya.
Dia faham bahwa rezeki itu datangnya dari Allah. Dari itu dia berkewajiban
membagi rezekinya kepada masyarakat sekitarnya yang berhak. Meskipun
sekolahnya hanya tamat SMA, Mang Fattah memiliki pengetahuan agama yang
cukup lumayan. Islam, katanya, mengajarkan keseimbangan antara hak dan
kewajiban, atau antara dunia dan akhirat. Mang Fattah adalah contoh warga
desa yang menjadikan prinsip Islam ini sebagai pedoman dalam kehidupannya.
Mang Fattah, salah seorang pemilik warung yang besar pada masanya,
mengatakan bahwa selain berjualan dia juga memberikan pinjaman barang;
“Yang berhutang biasanya para ibu-ibu yang suaminya menjadi buruh tani dan
bangunan. Ibu-ibu yang minjam, pada Sabtu atau Minggu bapak-bapaknya yang
lunasin semua. Atau terkadang ibu-ibu itu sendiri yang datang bayar, karena
biasanya ada kesepakatan dengan pemilik warung untuk membayar lebih kalau
hutangnya menunggak lebih dari dua minggu.”

Menurut Mang Fattah, adanya tambahan pembayaran itu bukan bunga, tapi
sekedar tanda terima kasih karena telah diberikan keleluasaan atau kelonggaran
dalam membayar hutang. “Itupun kalau disepakati, kalau tidak ya bayarnya
sesuai dengan harga barang yang dipinjam dulu,” tambah Mang Fattah lagi.
Sewaktu penelitian ini dilakukan, warung Mang Fattah sudah tutup sekitar dua
minggu, dan sebagai ganti mencari sesuap nasi untuk keluarganya, Mang Fattah
menjadi buruh bangunan sebuah bakal villa tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Selain banyaknya pelanggan yang nunggak hutang, modal untuk memutar usaha
warungnya habis digunakan untuk membiayai pernikahan adiknya beerapa bulan
yang lalu. Padahal, warung Mang Fattah ini termasuk yang paling besar dan laris
kala itu. Saat ini, sudah ada sekitar 14 warung di desa ini dari yang kecil hingga
yang besar, tapi semuanya sebatas pengecer.
Ketika saya tanyakan apakah pernah mengambil kredit di bank untuk modal
usaha. Katanya pernah memperoleh kredit di BRI tapi untuk keperluan konsumtif
dan bukan produktif, atau digunakan untuk memperbesar usaha yang
dimilikinya. Bagi Mang Fattah, modal untuk usaha lebih baik dari perorangan saja
9

karena berdasarkan saling kepercayaan (trust) dan bisa diangsur sesuai dengan
kesepakatan.
“Kayaknya, minjam uang dari orang karena adanya hubungan persaudaraan
atau pertemanan lebih baik dari pada minjam di bank yang minta jaminan
(agunan) dan syarat-syarat lainnya yang njelimet. Bayarnya juga ribet, karena
harus ke kantor bank tersebut, ngantri lagi. Tapi kalau dengan saudara atau
temen kan bisa tanpa jaminan, percaya aja gitu. Bayarnya juga bisa kapankapan. Saya bilang ini bukan karena pinjam di bank ada bunganya. Menurut kyai
saya, bunga bank itu kan sifatnya darurat, jadi tidak haram hukumnya.”

Adanya bunga bank yang cukup tinggi bagi kredit pinjaman ternyata tidak terlalu
dipersoalkan oleh Mang Fattah dan sebagian warga yang ditemui. Ternyata
persoalan prinsip agama yang menyatakan bunga bank itu haram tidak menjadi
alasan utama warga desa untuk tidak mengambil kredit di bank. Tapi,
dikarenakan oleh persoalan lain yaitu budaya perbankan (baca: kapitalisme)
yang belum tumbuh di desa ini.
Di Desa Sukakarya ini sering pula didatangi agen-agen bank keliling yang
menawarkan kredit Rp. 500 ribu sampai Rp. 1 juta. Sistem bayarnya harian atau
mingguan. Istilahnya saja bank keliling, tapi secara praktek sistem kerjanya agak
mirip dengan rentenir, karena menetapkan bunga cukup tinggi yang menaik
setiap hnari atau minggu. Mang Fattah juga pernah menerima pinjaman dari
bank keliling ini. Tapi cuma sekali, setelah itu tidak lagi. Ketika penulis tanyakan
tentang Bank Islam atau Syariah yang memberikan pinjaman tanpa bunga. Mang
Fattah cukup faham, hanya tidak ingat betul istilah Arabnya untuk produk-produk
keuangan yang ditawarkan oleh Bank Islam. Misalnya, yang pertama;
mudharabah, yaitu; sistem bagi hasil antara pemegang modal dan peminjam
(tapi pihak bank tidak berpartisipasi dalam kegiatan usaha si peminjam), kedua;
musharakah, yaitu; bahwa modal berasal dari kedua pihak (joint venture
financing), jadi untung-rugi dibagi berdua antar bank dan peminjam. Pihak bank
berpartisipasi dalam kegiatan usaha si peminjam.
Pada prinsipnya, bank Islam mengacu pada ekonomi syariah yang menerapkan
konsep non-bunga (interest-free transaction). Yang dimaksud dengan transaksi
tanpa bunga adalah berdasarkan pada konsep riba’, yang dalam Islam berarti
tambahan. Islam melarang mengambil kelebihan dari modal awal. Sebagai
pengganti bunga, syariah membolehkan sistem bagi hasil. Yang dibagi adalah
untung rugi yang diperoleh dari transaksi (loss-profit sharing): kalau transaksi
untung, pihak bank dan peminjam berbagi, begitupun sebaliknya. Konsep dasar
Islam adalah tidak ada yang bisa menentukan untung dan rugi seseorang di
kemudian hari. Karena bisnis itu beresiko, menurut syariah, yang dibagi bukan
hanya keuntungan, tapi juga kerugian. Jadi, tidak seperti sistem konvensional,
sistem syariah tidak membolehkan jika keuntungan ditentukan di awal transaksi.
Hal ini terkait dengan moralitas. Mengambil keuntungan, seperti mengambil
bunga, tanpa keluar keringat adalah tindakan amoral dalam Islam.
Dari pengalaman Mang Fattah berurusan dengan Baitul Mal wa Tamwil (BMT),
sebuah Lembaga Keuangan Mikro berprinsip syariah, sistem bagi hasil itu
dianggapnya sama saja dengan bunga, bedanya hanya berbahasa Arab. Lagi
pula, menurut Mang Fattah lagi;
10

“Untuk memperoleh kredit dari BMT, kita harus menjadi anggota dulu, atau
mempunyai rekening terlebih dahulu minimal Rp. 100 ribu, dan ada iuran
keanggotaan yang harus dibayar setiap bulan. Mestinya, kalau mau secara Islam,
ya ikhlas aja gitu kasih pinjaman, jangan kayak bank-bank biasa yang bukan
Islam.”
Apa yang dikemukakan oleh Mang Fattah adalah contoh pemahaman seorang
warga desa tentang bank, pinjaman dan Islam. Memang kebanyakan BMT yang
beroperasi memakai prinsip koperasi dalam menjalankan usahanya. Izin
operasionalnya juga berasal dari Departemen Koperasi. Layaknya sebuah
koperasi pada umumnya, sistem keanggotaan (membership) adalah salah satu
cirinya, karena modal berasal dari anggota dan diputar kembali untuk
kesejahteraan para anggotanya. Dari pantauan kami dan wawancara dengan
aparat desa di lapangan, belum ada koperasi yang pernah beroperasi di Desa
Sukakarya. Pak Sekdes, sebagaimana diutarakan kepada penulis, mengatakan
bahwa rencana untuk mendirikan koperasi sudah matang, hanya menunggu izin
operasionalnya saja dari Departemen Koperasi. Katanya lagi, Pemerintah Propinsi
Jawa Barat akan mengucurkan kredit untuk usaha kecil menengah (UKM) ke
masyarakat melalui koperasi yang ada di setiap desa. Dari itu, pendirian koperasi
sangat diupayakan bisa segera terwujud.
Beberapa warga yang berhasil ditemui memberikan tanggapan yang beragam
dengan rencana kehadiran koperasi di desa ini, apalagi kalau pelaksanaannya
akan berkantor di kelurahan dan sebagian besar pengurusnya berasal dari
aparat pemerintah desa. Salah satunya, sebut saja Mang Dedi (nama samaran),
berujar sinis;
“Kalau koperasinya sudah berdiri, jangan sampai kita simpan uang lalu dipakai
semaunya oleh pengurus, jadi namanya bukan koperasi simpan-pinjam lagi, tapi
koperasi simpan-hilang. Yang penting bagi saya, apapun namanya, koperasi atau
bukan tujuannya harus untuk memberdayakan masyarakat desa kayak kita ini
yang masih miskin.”

Kecenderungan mengambil keuntungan sendiri sangat dibenci oleh masyarakat
di desa ini. Konsep berdiri sama tinggi, duduk sama rendah menjadi kesepakatan
tidak tertulis yang dianut oleh warga desa. Dalam persoalan siklus hidup (life
cycles), seperti; kelahiran, perkawinan dan kematian, terdapat kewajiban untuk
dirayakan, sehingga yang repot bukan hanya yang mempunyai hajat tapi semua
anggota masyarakat. Oleh karena itu, dari pengamatan penulis di lapangan,
kondisi bangunan rumah dengan rumah lainnya di Desa Sukakarya ini hampir
tidak ada perbedaan yang berarti. Tidak ada yang terlalu bagus, dan tidak ada
juga yang terlalu jelek. Beberapa rumah warga masih mempertahankan bentuk
aslinya, rumah dengan dinding berbilik bambu. Sedangkan beberapa sudah ada
yang permanen. Tapi, tidak ada yang mencolok. Dari pengamatan kami bisa
disimpulkan bahwa sikap tidak menonjol-nonjolkan diri masih melekat dalam
budaya masyarakat desa ini. Keberhasilan dalam bidang ekonomi dirasakan
bukan demi keuntungan satu individu semata, tapi untuk bersyukur kepada Allah
yang telah memberikan rezki-Nya, dan untuk kepentingan umat secara
keseluruhan (shared altruistic values).

11

Lalu bagaimana dengan keberadaan warga penghuni villa mewah yang cukup
mencolok? Kata Sekdes desa ini; “Adanya warga baru yang memiliki villa mewah
menguntungkan kami secara tidak langsung, karena kalau ada musibah atau
keperluan desa yang mendesak, mereka biasanya menjadi donatur yang paling
membantu.” Tidak hanya itu, para buruh bangunan merasa berkepentingan
kalau semakin banyak villa yang dibangun di desa ini, karena akan semakin
banyak pemasukan. Jadi, pembangunan villa di desa ini dilihat sebagai sebuah
dilema: dibiarkan akan menyebabkan persoalan lingkungan dan sosial, dan
dilarang akan mengurangi lapangan pekerjaan bagi buruh bangunan yang
merupakan mayoritas di desa ini.

Analisis Teoritik: Dari Ekonomi Formal ke Ekonomi Substantif
Mayoritas penduduk Indonesia tinggal di desa yang sebagian besarnya
dikategorikan kelompok miskin. Memang, desa identik dengan kemiskinan dan
ketertinggalan. Apalagi, pembangunan selama Orde Baru disinyalir tidak
memihak desa dan masyarakat miskin. Setelah reformasi, banyak orang
berbicara tentang peningkatan kehidupan masyarakat desa. Dunia pun melalui
Bank Dunia (World Bank) dan Asian Development Bank (ADB), memiliki hasrat
besar untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di desa. Dalam sistem
ekonomi, konsep mikro ekonomi dianggap sesuai untuk pembangunan desa.
Menurut Asian Development Bank (ADB) (2002: 2) bahwa keuangan mikro
(microfinance) adalah sejumlah jasa pelayanan keuangan seperti deposito,
pinjaman, jasa pembayaran, transfer uang dan asuransi untuk orang miskin dan
kelompok keluarga pendapatan rendah serta usaha kecil yang mereka miliki.
Keuangan mikro dianggap sebagai usaha penanggulangan kemiskinan yang
efektif karena memberikan akses kepada masyarakat miskin untuk memperoleh
kredit bagi usaha kecilnya.
Mikro ekonomi juga identik dengan ekonomi masyarakat (community economy)
yang mengedepankan nilai-nilai humanis atau untuk kesejahteraan bersama
(altruistic values). Sukses Grameen Bank di Bangladesh membuka mata dunia
tentang pentingnya mikro ekonomi ini bagi pengentasan kemiskinan (poverty
alleviation) dan terciptanya perdamaian (peace). Aspek moralitas dari ekonomi
ini sebagian dibangkitkan oleh gerakan keagamaan di Afrika dan Asia sebagai
kritik terhadap imoralitas ekonomi Barat (Nienhaus and Brauksiepe, 1997). Nilainilai seperti integritas diri, sikap moralis dan kemandirian ekonomi sangat
dikedepankan.
Di Indonesia, beragam lembaga keuangan mikro (LKM) bermunculan, baik
koperasi yang sudah lama dikenal maupun LKM Syariah dalam bentuk Baitulmal
Watamwil (BMT) yang relatif baru (Hal Hill, 2001). LKM Syariah, misalnya, tidak
hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tapi juga
mengajarkan nilai-nilai moral agama, seperti tidak malas, larangan terhadap
bunga (riba), menjunjung tinggi kejujuran (amanah) dan kedermawanan
(mengeluarkan zakat, infak dan shodaqoh). Oleh karena itu, peranan LKM
Syariah tidak hanya meningkatkan ekonomi kecil tapi juga menanamkan
moralitas agama dalam transaksi kegiatan ekonomi mikro di tingkat desa.
Tentunya, upaya pemberdayaan masyarakat miskin tidak akan efektif tanpa
membangun modal sosial (social capital) yang kuat. Dalam studi tentang
12

sosiologi ekonomi, persoalan modal sosial (social capital) menjadi penting untuk
menjelaskan hubungan-hubungan ekonomi yang menghasilkan produk-prouduk
ekonomi dan non-ekonomi (Putnam 2000). Salah satu modal sosial adalah
komitmen atau trust. Yang lain adalah kewajiban, norma dan sanksi. Dalam
Islam, ajaran agama menjadi landasan dalam kegiatan ekonomi sebagian besar
kaum Muslim. Misalnya, Konsep tentang amanah (kejujuran) dan kedermawanan
menjadi komitmen para pelaku ekonomi. Dari itu, trust dalam Islam juga
diajarkan dalam pengertiannya yang berbeda, yaitu bahwa trust sebagai modal
spiritual (spiritual capital), sebagai sebuah analogi modal manusia (human
capital) dalam sistem konvensional (Robert J. Barro, 2004). Modal spiritual
melihat segala kegiatan ekonomi berdasarkan pada prinsip amanah yang telah
diberikan oleh Allah dan mencari keuntungan untuk kepntingan diri dan
keluarganya dan untuk kemaslahatan umat secara keseluruhan.
Berbeda dengan kebanyakan ekonom yang melihat bahwa tindakan manusia
secara ekonomi adalah semata-mata tindakan rasional, dan melulu berdasarkan
kepentingan materialis, sebaliknya studi ini melihat bahwa tindakan manusia
tidak selamanya bersifat rasional, tapi juga tradisional dan efektual. Meskipun
ada aspek rasionalnya, studi ini menekankan rasionalitas yang substantif, dan
bukan formalistik seperti yang disimpulkan kebanyakan ekonom.
Sistem ekonomi dunia sangat dipengaruhi oleh Adam Smith melalui bukunya An
Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada
tahun 1776. Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku
ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem
ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang
mencerminkan suatu gaya hidup (way of life). Smith berpendapat motif manusia
melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar dorongan kepentingan pribadi,
yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia
mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar “Bukan berkat
kemurahan tukang daging, tukang pembuat bir, atau tukang pembuat roti kita
dapat makan siang,” sambung kata Smith lagi:
“Akan tetapi karena mereka memperhatikan kepentingan pribadi mereka. Kita
berbicara bukan kepada rasa perikemanusiaan mereka, melainkan kepada cinta
mereka kepada diri mereka sendiri, dan janganlah sekali-kali berbicara tentang
keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka”
(Robert L. Heilbroner; 1986).
Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme ini kemudian
yang melahirkan sistem ekonomi pasar bebas pada akhirnya melahirkan
ekonomi Kapitalis di setiap belahan dunia termasuk Indonesia.
Pengaruh agama, dan sistem budaya ketimuran, yang semakin nyata dalam
kehidupan ekonomi telah meruntuhkan paradigma positivisme yang telah
digunakan oleh para sarjana klasik (Nelson, 2001). Konsekuensinya, hal ini juga
berpengaruh pada penggunaan metodologi baru, dari yang sebelumnya
kuantitatif, komparatif-historikal menjadi kualitatif-ethnografis. Dengan metode
baru ini, studi tentang agama dan kehidupan ekonomi ini lebih menggambarkan
budaya (culture), praktek-praktek sosial (social practices), pelaku (agency),
pengkonstruksian (constructedness) dan ketertancapan/keterbumian
(embeddedness) (Robert Wuthnow, 2005: 603-607). Untuk menggambarkan
kegiatan ekonomi di dunia berkembang maka konsep social embededdness
13

(keterbumian sosial) yang menekankan pada hubungan sosial dan nilai moral
harus dikedepankan. Melalui konsep ini, tindakan ekonomi manusia tidak
selamanya didasarkan pada pasar atau struktur ekonomi yang besar, tapi
dipengaruhi oleh adanya hubungan-hubungan sosial atau jaringan-jaringan sosial
yang ada, atau disebut juga dengan ekonomi substantif.

Kesimpulan
Ekonomi sebagaimana yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh Barat
didasarkan pada pendekatan empirik yang mendesak ekonomi tersebut untuk
hanya tergantung pada nilai-nilai yang bersifat positive dan mengabaikan nilai
normative. Padahal, ilmu ekonomi merupakan ilmu yang paling bergantung pada
nilai dan paling normative diantara ilmu-ilmu sosial lainnya. Model dan teorinya
akan selalu didasarkan pada sistem nilai tertentu, yaitu pada pandangan tentang
hakikat manusia. Dengan demikian, ilmu ekonomi sudah seharusnya
mengintegrasikan positivisme dan normativisme, antara pertimbangan rasional
dan nilai atau moral.
Studi di Desa Sukakarya ini membuktikan bahwa sistem perbankan, salah satu
aspek sistem kapitalisme, dimana pragmatisme dan rasionalisme menjadi
motornya, belum membuat perilaku-perilaku sosial ekonomi (social actions)
sebagian kaum Muslim di desa ini mengalami sekularisasi. Selain budaya
perbankan yang belum tumbuh, tradisi keagamaan masyarakat lebih
bersesuaian dengan sistem ekonomi yang bersifat mikro, karena lebih substantif
dan membumi (social embededdness). Sistem koperasi, misalnya, yang
mengutamakan nilai-nilai humanis dan moral (shared altruistic values) lebih bisa
diterima oleh masyarakat yang masih memegang solidaritas sosial yang bersifat
mekanik.
Selain itu, Islam yang menjadi pedoman hidup warga desa, telah memberikan
jalan tengah yang adil. Terdapat keseimbangan yang adil untuk berbagai: Antara
dunia dan akhirat, akal dan hati, rasio dan norma, idealisme dan fakta, individu
dan masyarakat, dan seterusnya. Sebagai tuntunan hidup, Islam diturunkan
untuk menjawab berbagai persoalan dunia, baik dalam skala mikro maupun
makro, termasuk persoalan kehidupan yang bernama ekonomi itu.

Saran
1. Walaupun penelitian ini dilakukan di salah satu desa di Bogor, Jawa Barat. Tapi,
beberapa temuan lapangan bisa dianggap sebagai cerminan pola umum
karakteristik desa di banyak tempat di Indonesia, seperti homogen dari segi
agama dan budaya serta solidaritas sosial yang masih tinggi.
2. Sistem pembangunan ekonomi yang selalu menomorsatukan pasar dan
cenderung liberal perlu ditinjau kembali karena tidak sesuai dengan karakteristik
masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya masih tinggal di desa dan masih
memegang nilai-nilai budaya dan agama.
3. Sistem ekonomi yang menekankan nilai-nilai humanis dan moralitas agama
dianggap lebih cocok dan lebih subtantif untuk meningkatkan taraf hidup
ekonomi masyarakat Indonesia.
14

Daftar Referensi:
Alatas, Syed Farid. (2006). Alternative Discourses in Asian Social Science:
Responses to Eurocentrism. California: Sage Publication, Inc.
Antonio, Muhammad Syafi’i (2001). Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta:
Gema Insani Press, cetakan ke-3.
Barro, Robert J. (2004). “Spirit of Capitalism: Religion and Economic
Development.” In Religion, Harvard International Review, Vol. 25 (4) Winter
2004.
Beckert, Jens (2006). “Interpenetration Versus Embededdness: The Premature
Dismissal of Talcott Parsons in the New Economic Sociology,” in American Journal
of Economics and Sociology, Vol. 65, No. 1 (January 2006).
Chapra, M. Umer (2000a) “Is it necessary to have Islamic economics ?” In The
Journal of Socio-Economics. 29 (2000) 21-37.
_____________ (2000b). The Future of Economics: An Islamic Perspective.
Leicester, UK: The Islamic Foundations.
Chowdhury, A. Mushtaque and P. Mosley. (2004). “The Social Impact of
Microfinance,” in Journal of International Development, 16, 291-300 (2004).
Choudhury, Masudul Alam and Md. Mostaque Hussain (2005). “A Paradigm of
Islamic Money and Banking,” in International Journal of Social Economics, Vol, 32,
No. 3, 2005.
Choudhury, Masudul Alam, (2006). “Islamic Macroeconomics?” in International
Journal of Social Economics, Vol, 33, No. 2, 2006.
Creswell, John W. (2003). Research Design: Qualitative and Quantitative
Approaches. (2nd Edition) California: Sage Publications, Inc.
Eldines, Achyar (2007). Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam ,Posted by girat purwadi at
7:02 PM http://www2.blogger.com/postedit.g?
blogID=4959698292342146413&postID=4980720529571690998, April 8,
2007.Hefner, Robert W (2001). “Public Islam and the problem of
democratization.” Dalam, HYPERLINK “http://proquest.umi.com/pqdweb?
RQT=318&pmid=26351&TS=1103940355&clientId=45625&VType=PQD&VNam
e=PQD&VInst=PROD” Sociology of Religion. Washington: Vol.62, Iss. 4;
pg. 491, 24 pgs.
__________ (2003). “Islamizing Capitalisme: On the Founding of Indonesia’s
First Islamic Bank”. In Arskal Salim and Azyumardi Azra (eds), Shari’a and
Politics in Modern Indonesia. ISEAS. Singapore: 148-167.
Hill, Hal (2001). “Small and Medium Enterprises in Indonesia.” In Asian Survey,
41 (2): 248-70.
Heilbroner, Robert L. (2000), Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, UI Press.
Neil J. Smelser and Richard Swedberg, (eds). (2005). Handbook of Economic
Sociology. Russel Sage Foundation: Princeton University Press.
15

Nelson, Robert (2001). Economics As Religion. University Park PA, The
Pennsylvania State University Press.
Neuman, W. Lawrence (2003). Social Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approaches. (5th edition). Pearson Education Inc.
Nielson, Donald A. (2003). “Transformation of Society and the Sacred in
Durkheim’s Religious Sociology,” in Richard K. Fenn (ed), Sociology of Religion.
Blackwell Publishing.
Portes, Alejandro and Haller, William. (2005). “The Informal Economy”, in in Neil
J. Smelser and Richard Swedberg (eds). Handbook of Economic Sociology. Russel
Sage Foundation: Princeton University Press.
Putnam, Robert D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American
Community. New York: Simon and Schuster.
Sarker, Abu Elias. (2001). “The Secrets of Succsess: The Grameen Bank
Experience in Bangladesh,” in Journal of Labor and Management in Development,
Australian National University (ANU), Volume 2, Number 1 (2001).
Traves, Max. (2001). Qualitative Research Through Case Studies (Addressing
Lived Experience: Symbolic Interaction and Ethnography). California: Sage
Publications Ltd.
Wuthnow, Robert, (2005). “New Directions in the Study of Religion and Economic
Life”, in Neil J. Smelser and Richard Swedberg (eds). Handbook of Economic
Sociology. Russel Sage Foundation: Princeton University Press.
Wagener, Oliver (2006). “Development of Cooperation and Islamic Values in
Indonesia,” in Instruments of Development Cooperation and Islamic Values in
Asia, published by Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ).
Zaman, M. Raquibuz and Movassaghi, Hormoz (2002). “Interest-Free Islamic
Banking: Ideals and Reality,” in International Journal of Finance, 8 Vol. 14 No. 4,
2002.

16