PENGARUH KEBIJAKAN REFORMASI EKONOMI 11

PENGARUH KEBIJAKAN REFORMASI EKONOMI
(11 FIVE YEAR PLAN) REPUBLIK RAKYAT CHINA TERHADAP
KONFLIK TIBET DENGAN REPUBLIK RAKYAT CHINA PADA
TAHUN 2008
th

Abstraksi
Tibet merupakan provinsi dan daerah administrasi dari Republik Rakyat China yang
dalam beberapa dekade terakhir banyak diwarnai konflik. Sejarah Tibet yang dianneksasi oleh
RRC pada tahun 1959 menimbulkan sentimen etnis yang bertahan cukup lama. Kesadaran
sebagai suku bangsa yang berbeda dengan etnis-etnis di RRC tampaknya juga tidak pernah
selesai. Hal-hal tersebut mempengaruhi tindakan-tindakan etnis Tibet yang hampir selalu
menunjukan keinginan untuk memelihara wilayah dan tradisi budaya mereka sendiri dengan
menolak kebijakan-kebijakan pemerintah RRC.
Dengan penolakan-penolakan yang muncul pemerintah RRC berupaya untuk mengubah
dengan melebur identitas Tibet melalui asimilasi budaya sehingga wilayah otonomi Tibet dapat
berintegrasi secara utuh dengan RRC baik secara politis maupun sosial-budaya. Beberapa
langkah ditempuh oleh pemerintah RRC, salah satunya adalah reformasi ekonomi yang bertujuan
untuk mendorong kebijakan migrasi internal dan menciptakan diaspora etnis-etnis China di Tibet
terutama etnis Han dan Hui. Namun kebijakan reformasi ekonomi 11th five year plan sebagai
langkah yang diambil justru mempertajam perbedaan antar-etnis di Tibet. Kebijakan reformasi

ekonomi tersebut menyebabkan ketimpangan sosio-ekonomi yang semakin tajam antara etnis
Tibet dengan etnis non-Tibet. Kebijakan tersebut juga dianggap tidak mengakomodasi kebutuhan
masyarakat etnis Tibet sehingga memeperkuat sentimen terhadap etnis-etnis non-Tibet. Konflik
pun memuncak dan diwujudkan melalui protes dan demonstrasi berdarah.

Kata kunci: kebijakan, reformasi ekonomi, konflik

Pendahuluan
Tibet Autonomus Region (TAR) merupakan provinsi dari Republik Rakyat China, yang
diberikan status sebagai Daerah Otonomi Khusus oleh pemerintah China dan merupakan daerah
administrasi yang dalam beberapa dekade terakhir banyak diwarnai konflik. Walaupun berstatus
otonomi, namun banyak dari etnis Tibet yang merasa pesimis bahwa status otonomi yang
diberikan oleh RRC kepada Tibet. Status otonomi Tibet diragukan akan dapat mempertahankan
keberlangsungan budaya masyarakat etnis Tibet.1 Etnis Tibet berkeinginan untuk memelihara
wilayah dan tradisi budaya mereka sendiri serta menolak kebijakan-kebijakan pemerintah RRC

1

Ibid. hal.8


1

yang membatasi praktik kultural mereka. Penolakan mereka ditunjukan melalui protes dan
demonstrasi.2
Meskipun wilayah otonomi Tibet dinyatakan sebagai daerah otonomi tetapi pemerintah
RRC masih melakukan kontrol ketat terhadap praktik beragama dengan menerapkan
pembatasan-pembatasan baru pada aktifitas relijius seperti melakukan kampanye pendidikan
patriotik di biara-biara.3 Pengetatan aturan akibat dari kebijakan yang dikeluarkan di wilayah ini
dilakukan karena aktifitas relijius etnis Tibet yang merupakan sebuah tradisi yang melekat
dengan kehidupan politik dianggap dapat mengancam integrasi territotial Tibet dengan RRC.
Kegiatan-kegiatan tersebut dikhawatirkan memicu rasa nasionalisme Tibet yang potensial untuk
menjadi bibit gerakan terrorisme, ekstrimisme dan separatisme. Pemerintah RRC khawatir bahwa
budaya etnis Tibet yang masih dipraktikan akan mampu memicu munculnya nasionalisme rakyat
Tibet dan berpotensi mendorong terjadinya gerakan-gerakan separatis. 4
Oleh karena itu pemerintah RRC akhirnya berupaya untuk mengubah dengan melebur
identitas Tibet melalui asimilasi budaya sehingga wilayah otonomi Tibet dapat berintegrasi
secara utuh dengan RRC baik politis maupun sosial-budaya. Reformasi ekonomi yang
dicanangkan oleh Deng Xiaoping yang pada akhirnya diwujudkan dalam kebijakan five-yearplan kemudian digunakan untuk mendorong program-program dan strategi-strategi baru. Contoh
programnya adalah kebijakan migrasi internal yang memberikan kebebasan mobilitas kepada
etnis Han dan etnis-etnis lain untuk berpindah ke daerah domestik di wilayah RRC khususnya

Tibet.
Sejak diberlakukannya reformasi ekonomi pada tahun 1992 ternyata memang terjadi
migrasi besar-besaran ke kota Lhasa dan kota-kota lain di Tibet.5 Awalnya hasil yang diharapkan
dari reformasi ekonomi dengan mendorong kebijakan migrasi internal tersebut adalah diaspora
dari etnis Han. Namun kebijakan tersebut ternyata justru mengakibatkan etnis Tibet yang
posisinya sebagai pribumi merasa termarjinalkan sehingga terjadi pertentangan melalui protes
dan demonstrasi.
Pada awalnya pemerintah RRC yakin bahwa dengan diberlakukannya reformasi ekonomi
akan dapat memecahkan masalah-masalah etnis minoritas yang muncul. Mereka mengira bahwa
permasalahan di Tibet hanya berakar dari pembangunan yang tertinggal dan kemiskinan yang
dapat diatasi melalui pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan lapangan pekerjaan. 6 Pada tahun
2001 dibangun jalur kereta api Qingzang sebagai mega proyek di wilayah Tibet. Sekitar 27.000
pekerja yang mengerjakan pembangunan jalur kereta api ini berasal dari China daratan dan
hampir semuanya adalah etnis Han. Pada tahun 2003, 600 etnis Tibet baru kemudian
dipekerjakan yang mana sebagian besar hanya sebagai kuli angkut dengan upah rendah.7
Program tersebut merupakan implementasi dari Rencana Lima Tahunan ke 11 (11th Five-Year
Plan, 2006-2010). Sasaran dari implementasi kebijakan reformasi ekonomi tersebut adalah
menata perekonomian. Pada tahun 2005 Wen Jiabao mengatakan bahwa kebijakan ini

2


Ibid. hal.9
Ibid. hal.3
4
Ibid. hal.7
5
Chinese Presence in Tibet: Population Transfer. 5 November 2011
6
Ibid. hal. 4
7
Ibid. hal.14

3

2

merupakan panduan dalam pembangunan dan sebagai panduan dalam seluruh reformasi China 8
yang mencakup ketenagakerjaan, pemberantasan kemiskinan, pendidikan, keamanan sosial,
kesehatan dan perlindungan lingkungan.
Hasil dari diterapkannya kebijakan reformasi RRC dengan Rencana Lima Tahunan dan

beberapa strategi pembangunan yang diterapkan memang meningkatkan ekonomi di wilayah
otonomi Tibet9 tetapi di sisi lain juga meningkatkan ketimpangan antar etnis. Ketimpangan
tersebut mendorong tuntutan untuk diberlakukannya otonomi yang nyata. Pada tahun 2008
muncul gerakan dan demonstrasi masyarakat Tibet yang memprotes kebijakan-kebijakan
pemerintah China yang diterapkan serta menentang respon pemerintah China yang represif
dalam menangani protes.10 Otonomi yang dituntut selain dalam aspek ekonomi termasuk juga
praktik kultural. Pada tahun 2009, 2010 dan 2011 mulai muncul manifestasi dari eskalasi konflik
yang diwujudkan dengan aksi bakar diri beberapa biarawan Tibet.
Terjadinya konflik antara etnis Tibet dengan pemerintah RRC diasumsikan berawal
adalah kebijakan reformasi ekonomi sebagai sumber dari pelaksanaan strategi-strategi
pembangunan di wilayah otonomi. Meskipun terjadi kemajuan ekonomi yang pesat namun
kebijakan-kebijakan ekonomi tersebut juga meninggalkan permasalahan yaitu marjinalisasi.
Distribusi yang tidak merata dan pembatasan pada aktifitas kultural etnis Tibet di wilayah
otonomi Tibet menjadi salah satu penyebabnya. Smith (2010) mengatakan bahwa gerakan etnis
Tibet di wilayah TAR khususnya gerakan pada bulan Maret tahun 2008 di mana terjadi
gelombang unjuk rasa dan kekerasan adalah wujud konflik. Unjuk rasa di Tibet tersebut dilihat
sebagai protes anti-China. 11
Kerangka Teori Konflik
Lewis A. Coser adalah seorang sosiolog dan presiden dari Asosiasi Sosiologis Amerika
ke 66 pada tahun 1975. Coser adalah sosiologis yang fokus pada penemuan fungsi dari konflik

sosial. Kenneth (2007) dalam bukunya Social Lens : Theory Cumulation And Schools of Thought
menerangkan bahwa teori konflik Coser juga dapat digunakan untuk menjelaskan secara ilmiah
pola konflik di dalam masyarakat mulai dari tentang bagaimana konflik bermula dan efek dari
konflik yang terjadi.
Teori konflik Coser memusatkan perhatian terhadap ketidaksetaraan distribusi dari
sumberdaya yang terbatas maupun kekuasaan di masyarakat. 12 Berdasarkan teori tersebut ada
dua konsep yang mempengaruhi konflik yaitu konsep absolute dan relative deprivation. Absolute
deprivation adalah kondisi miskin atau tidak punya, di mana hidup hanya ditujukan untuk
memperoleh kebutuhan hidup mendasar seperti sandang, pangan dan papan. Relative
deprivation, adalah rasa kesadaran tidak mendapatkan hak atau kondisi yang seharusnya dari
individu maupun kelompok yang sifatnya relatif terhadap individu atau kelompok yang lain,
8

http://www.china.org.cn/english/features/guideline/157508.htm diakses pada 30 April 2012
Mackerras, Colin P., 2005 , People’s Republic of China: Background Paper On The Situation Of The Tibetan Population,
UNHCR Report, Writenet Independent Analysis. hal.4
10
Smith Jr. , Warren W. , 2010 , Tibet Last Stand? : The Tibetan Uprising of 2008 And China’s Response , Rowman & Littlefield
Publisher, Inc. Maryland hal.4
11

Smith Jr. , Warren W. , 2010 , Tibet Last Stand? : The Tibetan Uprising of 2008 And China’s Response , Rowman &
Littlefield Publisher, Inc. Maryland . hal.2
12
Allan, Kenneth D., The Social Lens : Theory Cumulation And Schools of Thought , SAGE Publications Inc. , 2007. hal.213

9

3

singkatnya merupakan rasa ketidakpuasan atas apa yang didapat di mana yang lain mendapatkan
sesuatu yang lebih baik sedangkan kita justru merasa kehilangan sesuatu.13 Teori ini melihat
bahwa pada umumnya pergeseran dari absolute deprivation ke relative deprivation adalah hal
yang kemudian memungkinkan terpicunya konflik.14
Coser mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi level konflik yaitu transcendent
goal yang dapat diartikan sebagai tujuan utama atau kepentingan dari sebuah kelompok dan
emotional involvement yang dapat diartikan sebagai keterlibatan emosional yang dimiliki oleh
individu di dalam kelompok.15 Jika kepentingan kelompok dianggap semakin besar maka akan
semakin meningkatkan keterlibatan emosional. Semakin besar keterlibatan emosional akan
semakin tinggi pula kecenderungan meningkatnya level konflik menuju ke arah kekerasan jika
muncul ancaman terhadap kepentingan kelompok tersebut.

Dengan teori tersebut penelitian ini akan difokuskan untuk menjelaskan keterlibatan
emosional dalam kerusuhan, melihat proses identifikasi yang dilakukan oleh etnis Tibet dalam
kerusuhan dengan menjadikan etnis lain sebagai sasaran pada kerusuhan dan untuk menjelaskan
ketimpangan akibat diterapkannya 11th five-year-plan di Tibet yang diasumsikan berpengaruh
pada konflik di Tibet pada tahun 2008 dengan menggunakan konsep relative deprivation.
11th Five Year Plan
Tahap–tahap kebijakan five year plan mulai dari tahap kedua hingga kesebelas
merupakan improvisasi dari tahap sebelumnya, misalnya seperti rencana program peningkatan
urbanisasi pada 10th five year plan. Tahap–tahap kebijakan five year plan mulai dari tahap kedua
hingga kesebelas merupakan improvisasi dari tahap sebelumnya, misalnya seperti rencana
program peningkatan urbanisasi pada 10th five year plan. Program urbanisasi tersebut kemudian
dikembangkan lebih terarah dengan memberikan target konkret tingkat rata-rata urbanisasi dari
43% pada tahun 2005 menjadi 47% pada tahun 2010.
Program Transfer Tenaga Kerja Pedesaan (Rural Labour Transfer and Employment)
Kebijakan reformasi ekonomi menyebabkan diskriminasi etnis pada bidang lapangan
kerja. Strategi pendukung kebijakan 11th five year plan yang diluncurkan adalah program Rural
Labour Transfer and Employment yang mengizinkan migrasi internal baik dari area rural ke area
urban atau sebaliknya. Strategi tersebut mencakup regulasi pemerintah yang mengizinkan adanya
migrasi tenaga kerja ke seluruh wilayah di RRC. Data menunjukan bahwa tingkat urbanisasi di
wilayah otonomi Tibet pada tahun 2007 adalah 38,3% dari total populasi, artinya 61,7%

penduduknya adalah petani dan penggembala yang masih menerapkan sistem pertanian dan
peternakan tradisional di area rural.16

13
14
15

Ibid.hal.216
Ibid.hal.216
Ibid.hal.217

16

Full Text: Report on the Economic and Social Development of Tibet diakses pada 24 Mei 2012

4

Gambar Indeks Pembangunan Insani di RRC diukur dari Tingkat Buta Huruf

Sumber : Development Research Center of State Council, PRC. 2005. 4th China Human Development Report . China

Development Research Foundation

Ada empat pembagian tipe wilayah di RRC berdasarkan tingkat pendidikan, 17 tipe I
adalah wilayah dengan tingkat pendidikan tertinggi di antaranya adalah Beijing, Shanghai dan
Tianjin dengan tingkat buta huruf di bawah 7%, tipe II adalah semua provinsi tengah kecuali
Anhui, Xinjiang dan Shaanxi dengan tingkat buta huruf antara 5%-12%, tipe III adalah Sichuan,
Chongqing dan Ningxia serta Anhui dengan tingkat buta huruf antara 9%-16%, yang terakhir
tipe 4 yaitu Yunnan, Guizhou, Gansu, Qinghai dan Tibet dengan tingkat buta huruf antara 15%26%.
Tenaga kerja dari area urban lebih produktif dibandingkan tenaga kerja dari area rural,
sehingga produktif etnis Hanyang lebih produktif karena merupakan pekerja migran yang
kebanyakan berasal dari area urban yang mencari kesempatan kerja di Tibet. Tenaga kerja dari
etnis Tibet yang berlatarbelakang tenaga kerja rural juga sulit bersaing karena tingkat pendidikan
dan keterampilan yang rendah dibandingkan dengan pekerja dari etnis Han. Kebijakan migrasi
dan transfer populasi tenaga kerja juga berkaitan dengan regulasi tenaga kerja yang
mensyaratkan kriteria dalam penerimaan pegawai seperti adanya standard pendidikan. Menurut
laporan 4th China Human Development Report tahun 2005 masyarakat yang tinggal di area urban
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di
area rural atau wilayah pinggiran.
Kondisi ini kemudian berdampak pada pembangunan sosio-ekonomi karena tenaga kerja
professional lokal untuk memenuhi lowongan pekerjaan jumlahnya terbatas. Dengan sedikitnya

jumlah lulusan terdidik yang ada di wilayah otonomi Tibet maka lapangan kerja siap untuk
menyerap tenaga kerja migran yang ditransfer ke wilayah otonomi Tibet. Hal ini kemudian
menjadi faktor yang ikut memarjinalkan etnis Tibet di wilayah otonomi Tibet.

17

Ibid. hal.49

5

Tahapan Konflik Tibet Tahun 2008

Periode pra-konflik adalah saat di mana terjadi ketidaksesuaian antara pihak-pihak yang
bertentangan namun sifat konflik masih tersembunyi dari pandangan umum meskipun berpotensi
untuk pecah dan meningkat ke tahap konfrontasi. Pada kasus konflik Tibet dengan RRC, tahap
ini adalah bulan Oktober 2007 karena pada saat itu terdapat ketidaksesuaian antara etnis Tibet
dengan pemerintah RRC yang tampak dari pelarangan perayaan di biara Drepung atas
penghargaan yang diberikan George W. Bush kepada Dalai Lama yaitu Conggressional Gold
Medal yang merupakan sebuah penghargaan kepada warga sipil yang setara dengan penghargaan
Medal of Honor. Pelarangan itu dilakukan oleh Partai Komunis China dengan mengerahkan
aparat kemanannya untuk menghentikan perayaan. Dengan pelarangan tersebut, para biarawan
kemudian memutuskan untuk sekedar mengecat dinding biara demi menghormati Dalai Lama
namun pengecatan kemudian dihentikan, biara Drepung ditutup dan PAP berjaga di sekeliling
biara, para peziarah dan turis tidak diizinkan untuk memasuki wilayah biara Drepung. Sebanyak
30 biarawan ditahan untuk diinterogasi, sebagian besar kemudian dikembalikan ke biara
Drepung namun 5 biarawan masih menjadi tahanan.18
Selanjutnya adalah tahap konfrontasi yang menandakan konflik terbuka, yaitu saat suatu
pihak merasa ada masalah dan mulai melakukan protes melalui aksi demonstrasi atau perilaku
konfrontatif lain. Perilaku konfrontatif yang ditunjukan membuat hubungan di antara pihak yang
terlibat menjadi semakin tegang. Tahap ini mulai terlihat pada periode 2008 yaitu tanggal 10
Maret 2008 di mana sekitar 300 biarawan berkumpul di lapangan Bakhor dekat biara Jokhang di
kota Lhasa, mereka menuntut pembebasan teman-teman mereka yang masih ditahan.19
Konfrontasi berlanjut hingga 11 Maret di mana sekitar 500 biarawan dari biara Sera melakukan
protes dan menuntut pembebasan teman mereka yang ditahan pada insiden tanggal 10 Maret
2008.
Tahap selanjutnya adalah krisis yang merupakan puncak konflik di mana ketegangan dan
atau kekerasan terjadi. Periode yang menunjukan tahap ini adalah tanggal 14 Maret 2008 di
mana terjadi kekerasan komunal atau kekerasan horizontal yang dilakukan oleh etnis Tibet
terhadap etnis Han dan Hui serta tindakan represi sebagai respon oleh PAP dalam menangani
massa pada kerusuhan di wilayah Tibet. Peristiwa yang terjadi mengakibatkan mobil-mobil
polisi dibalik dan dibakar, pemukulan serta kerusakan pertokoan milik etnis Han yang menjadi
sasaran amuk massa.20 Tercatat dalam peritiwa 14 Maret ada 325 orang yang sebagian besar
adalah etnis Han mengalami luka-luka dan 22 orang penjaga toko terbunuh. Total kerusakan atas
peristia tersebut diperkirakan mencapai 280 juta Yuan atau sekitar 40 juta dollar AS.21 Tanggal
15 Maret 2008, gelombang protes yang terjadi di Labrang bahkan menghancurkan 4.279
pertokoan dan rumah serta 1.500 fasilitas umum dan kerugian diperkirakan mencapai 230 juta
Yuan (33 juta dollar A.S.).22

18

Roberts II, John B. & Roberts, Elizabeth A., 2009 . Freeing Tibet : 50 Years of Struggle, Resilience and Hope . Amacom .
New York hal. 213
19
Ibid. hal.214

20

Ibid. hal.215
Ibid. hal.13
22
Ibid.hal.14
21

6

Ketegangan di antara pihak yang terlibat mulai menurun. Pemerintah RRC sebagai pihak
yang memiliki otoritas dalam konflik pada kerusuhan pada Maret 2008 melakukan penangkapan
dan penahanan terhadap etnis Tibet yang terlibat dalam pemukulan, penjarahan, perusakan dan
pembakaran pada insiden tanggal 14, 15, 16 dan 17 Maret 2008. Pada tanggal 19 Maret 2008 di
mana aparat keamanan RRC dikerahkan di area-area biara di Lhasa khususnya Drepung, Sera
dan Gandhen. Pada tanggal 20 Maret pemerintah RRC memberikan ultimatum kepada etnis
Tibet yang terlibat di dalam insiden perusakan dan pembakaran untuk menyerahkan diri pada
tanggal 25 Maret 2008. Sementara itu protes masih terjadi di daerah Drango dan Kanze di mana
PAP merespon aksi demonstrasi tersebut dengan melepaskan tembakan dan mengakibatkan
terbunuhnya dua orang dan 10 mengalami luka-luka. Dari peristiwa yang terjadi maka periode
ini dapat dikelompokan dalam tahap akibat karena pemerintah RRC sebagai pihak yang memiliki
otoritas telah berusaha menghentikan pertikaian dengan cara yang bersifat koersif.
Pasca-konflik adalah saat di mana ketegangan dan kekerasan berkurang dan saat pihak
yang bertentangan mengatasi konflik, namun seringkali situasi ini dapat kembali lagi menjadi
tahap prakonflik. Konflik mereda, beberapa dampak dari konflik antara Tibet dengan pemerintah
RRC adalah penahanan etnis Tibet yang diduga terlibat dalam kerusuhan 14 Maret 2008 baik
yang ditangkap maupun yang menyerahkan diri secara sukarela dan kampanye pendidikan
patriotik (Patriotic Education Campaign). Pada tahap ini situasi dan intensitas ketegangan di
antara pihak yang bertentangan menurun. Tahap ini ditandai dengan mulai dibukanya kembali
akses ke kota Lhasa pada 24 Juni 2008, tiga hari setelah obor Olimpiade Beijing dibawa
melintasi Lhasa.
Gambar 4.1 Tahap Konflik Tibet Tahun 2008

Sumber Konflik Tibet Tahun 2008
Menurut laporan China Human Development Report tahun 2005 pembangunan ekonomi
berbeda dengan human development (pembangunan manusia/insani), di mana human
development fokus pada hasil yang diterima oleh manusia atau perorangan seperti tingkat baca
7

tulis, pendidikan dan standard hidup sedangkan pembangunan ekonomi hanya fokus pada hasil
yang diterima oleh masyarakat keseluruhan yang diukur dari GDP. Pertumbuhan ekonomi yang
tidak memperhatikan human development akan mengakibatkan pertumbuhan yang timpang.
Dengan berdasar pada hasil yang diterima tiap individu maka dapat diartikan bahwa human
development mendukung kebebasan individu dalam masyarakat untuk memilih hidup yang ingin
mereka jalani. Laju pertumbuhan ekonomi yang cepat memang dibutuhkan untuk memenuhi
human development namun jika human development tidak diperhatikan dalam praktek
pembangunan ekonomi maka pertumbuhan ekonomi yang ada dapat dikatakan tidak sepenuhnya
berhasil atau bahkan dapat dikatakan gagal.
Fenomena yang terjadi di China adalah adanya kebijakan yang memacu pertumbuhan
ekonomi tetapi cenderung mengesampingkan human development masyarakat minoritas di Tibet.
Langkah yang dilakukan dalam upaya mengurangi kemiskinan dengan memacu pertumbuhan
ekonomi menimbulkan efek yang berkebalikan dengan tujuannya dan justru menciptakan
ketimpangan.
Dengan demikian masuknya perusahaan China, investasi dan bisnis yang berkembang tidak
begitu memberikan kontribusi kepada pembangunan masyarakat etnis Tibet sebagai indigenous
tetapi justru menciptakan ketimpangan atas apa yang diperoleh dari aktifitas eksploitasi
sumberdaya alam tersebut sehingga yang muncul adalah asumsi bahwa tujuan pemerintah RRC
hanya mengeksploitasi saja tanpa mempedulikan kondisi masyarakat etnis Tibet.
Kondisi lapangan kerja yang kompetitif dengan kriteria standard pendidikan dan
kemampuan bahasa mempersempit peluang kerja bagi etnis Tibet karena jika dibandingkan
dengan etnis lain yang lebih terampil dan kompeten, hanya sedikit jumlah dari tenaga kerja etnis
Tibet yang memenuhi kualifikasi lapangan kerja yang ada. Salah satu contoh bahwa etnis Tibet
termajinalkan dalam bidang ekonomi adalah sedikitnya akses ke lapangan kerja dan
perekonomian akibat tidak menguasai bahasa Mandarin sehingga untuk mendapatkan pekerjaan,
etnis Tibet mau tidak mau harus menggunakan bahasa Mandarin. Oleh karena bahasa Mandarin
adalah sarana utama dalam memperoleh hampir semua lowongan pekerjaan23
Pertumbuhan GDP wilayah Tibet tergolong tinggi seperti yang ditunjukan pada grafik
pertumbuhan GDP yang dibahas pada bab I namun ternyata human development di Tibet relatif
rendah dibandingkan dengan wilayah dan provinsi lainnya. Indikator yang digunakan untuk
mengukur human development di Tibet misalnya seperti tingkat harapan hidup dan tingkat melek
huruf.
Kebijakan reformasi ekonomi yang dilaksanakan di Tibet meskipun mencakup
pembangunan pada bidang pendidikan, investasi, pekerjaan, pertanian, kesehatan, pariwisata,
tradisi dan kebudayaan serta lingkungan namun dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut
sebenarnya fokus pada pembangunan ekonomi. Pada akhirnya kebijakan tersebut bertentangan
dengan kepentingan etnis Tibet untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat materi seperti
pekerjaan dan pendapatan serta kebutuhan spiritual seperti tradisi dan gaya hidup. Kebutuhan
masyarakat etnis Tibet untuk mendapatkan pekerjaan tidak terpenuhi dan akhirnya tingkat
ekonomi masyarakat etnis Tibet tertinggal.

23

Chinese Presence in Tibet: Population Transfer. 5 November 2011

8

Dalam konflik di Tibet pada tahun 2008, etnis Tibet merasa tidak mendapatkan hak atau
kondisi yang seharusnya didapatkan dibandingkan dengan etnis non-Tibet di wilayah yang sama.
Oleh karena itu muncul rasa ketidakpuasan atas apa yang didapat di mana etnis lain terutama
etnis Han mendapatkan kondisi yang lebih baik karena kebijakan reformasi ekonomi 11th five
year plan.
Kebijakan reformasi ekonomi menyebabkan ketimpangan sosio-ekonomi yang semakin
tajam antara etnis Tibet dengan etnis non-Tibet. Kebijakan tersebut tidak mengakomodasi
kebutuhan masyarakat etnis Tibet dan cenderung membatasi aktifitas gaya hidup tradisional.
Oleh karena itu kebijakan tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan bersama dari etnis
Tibet dalam menjalani kehidupan mereka sehingga muncul penolakan dan protes pada Maret
2008 terhadap kebijakan tersebut.
Kebijakan Reformasi Ekonomi 11th five year plan juga hanya fokus pada pembangunan
ekonomi makro dan kurang memperhatikan pembangunan insani etnis minoritas. Keberhasilan
yang dicapai dalam laju pertumbuhan ekonomi sebagian besar hanya dirasakan oleh etnis nonTibet. Human Development Index (HDI) di Tibet tahun 2003 menunjukan ketimpangan distribusi
hasil pembangunan sosio-ekonomi di mana Tibet memiliki tingkat HDI terendah dibandingkan
dengan wilayah lainnya.

Gambar

Indeks Pembangunan Insani di RRC

Sumber : Development Research Center of State Council, PRC. 2005. 4th China Human Development Report . China
Development Research Foundation

Program-program dalam 11th five year plan yang gagal dalam mengatasi ketimpangan
semakin memperkuat persepsi dari etnis Tibet bahwa pemerintah RRC hanya berniat
mengeksploitasi sumberdaya yang ada di Tibet baik sumberdaya alam ataupun potensi-potensi
pariwisata tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat etnis Tibet. Kondisi sosio-ekonomi
yang timpang antara etnis Tibet dengan etnis non-Tibet terutama etnis Han memberikan kesan
9

bahwa kebijakan reformasi RRC tidak berpihak dan bahkan mengesampingkan kepentingan serta
kebutuhan etnis Tibet.
Kebijakan reformasi ekonomi 11th five year plan yang gagal dalam pembangunan sosioekonomi di Tibet adalah salah satu faktor yang menambah sentimen buruk masyarakat etnis
Tibet terhadap pemerintah RRC. Sentimen buruk yang telah ada diperparah dengan kegagalan
kebijakan 11th five year plan kemudian menciptakan frustasi dari etnis Tibet dan mempengaruhi
perilaku konfrontatif yang ditunjukan dalam bentuk protes, demonstrasi dan kekerasan komunal.
Keterlibatan Emosional Pada Konflik Tibet Tahun 2008
Rasa ketidakpuasan atas hak-hak yang didapat menjadi salah satu faktor yang melibatkan
rasa emosi dalam konflik pada tahun 2008. Oleh karena etnis pendatang lebih diuntungkan
melalui proses reformasi ekonomi sedangkan etnis Tibet tidak, maka muncul communal feeling
yang memisahkan antara etnis Tibet dengan etnis non-Tibet terutama etnis Han sebagai etnis
mayoritas yang mendominasi perekonomian di wilayah otonomi Tibet. Gap (group boundaries)
antar etnis semakin tajam saat kebijakan 11th five year plan gagal dan meningkatkan
ketimpangan, di mana pembangunan sosio-ekonomi masyarakat etnis Tibet tertinggal
dibandingkan dengan etnis Han.
Group boundaries itu semakin menguat ketika etnis Tibet melihat para biarawan yang
melakukan aksi protes dengan cara yang pasif yaitu dengan aksi duduk sebagai wujud protes
namun justru mendapatkan respon represif dari PAP. Perlakuan terhadap para biarawan itu
memicu menguatnya solidaritas dari masyarakat etnis Tibet yang lain. Hal ini ditunjukan dari
bergabungnya masyarakat umum sebagai demonstran yang akhirnya melawan PAP dengan
tindakan konfrontatif seperti melempar batu dan merusak fasilitas.
Kondisi ketimpangan sosio-ekonomi yang terjadi antara etnis Tibet dengan etnis Han
yang diperparah oleh kegagalan implementasi 11th five year plan, membuat etnis Han
mendapatkan penilaian buruk dari etnis Tibet dan ketika terjadi konflik, ketidakpuasan yang
terakumulasi mendorong keterlibatan emosi etnis Tibet yang ditunjukan melalui solidaritas etnis
dan kemarahan dan tindakan perusakan kepada etnis lain.

Kesimpulan
Konflik Tibet dengan RRC pada tahun 2008 dipicu oleh tindakan represif PAP saat
menangani protes pada tanggal 14 Maret 2008. 11th five year plan menyebabkan ketidakpuasan
etnis Tibet akan hak-hak yang mereka dapat. Kebijakan reformasi ekonomi pemerintah RRC
tersebut ditujukan untuk memacu perekonomian, namun terjadi ketidaksesuaian antara kebijakan
dengan pelaksanaan karena mengesampingkan aspek non-ekonomi sebagai kebutuhan
masyarakat. Kemajuan ekonomi yang terjadi di Tibet justru menimbulkan ketimpangan antara
etnis Tibet dengan etnis non-Tibet, karena ternyata kebijakan 11th five year plan hanya
menguntungkan etnis non-Tibet yang lebih kompeten dalam pola aktifitas ekonomi yang
dibutuhkan untuk memacu proses reformasi ekonomi.
Rasa ketidakpuasan atas hak-hak yang didapat menjadi salah satu faktor pendorong
munculnya konflik pada tahun 2008. Oleh karena etnis pendatang lebih diuntungkan melalui
10

proses reformasi ekonomi sedangkan etnis Tibet tidak, maka muncul communal feeling yang
memisahkan antara etnis Tibet, etnis Han dan etnis Hui. Gap (group boundaries) antar etnis
semakin tajam ketika kebijakan 11th five year plan menghasilkan program-program lain untuk
mendukung pencapaian tujuan utama reformasi. Kebijakan tersebut pada pelaksanaannya
mengakibatkan pembatasan pada cara hidup etnis Tibet dan tidak berpihak pada pembangunan
sosio ekonomi etnis Tibet.
Berdasarkan hasil temuan dari penelitian ini, maka hipotesa penulis ditolak karena asumsi
awal penulis adalah bahwa posisi kebijakan 11th five year plan adalah sebagai pemicu konflik
Tibet dengan RRC pada tahun 2008, sedangkan hasil temuan justru mengarahkan bahwa posisi
kebijakan 11th five year plan adalah sebagai salah satu faktor penyebab munculnya kekecewaan
dan ketidakpuasan atas tidak terpenuhinya tuntutan dari etnis Tibet yang kemudian
mempengaruhi keterlibatan emosional dari etnis Tibet dalam konflik yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Allan, Kenneth D., 2007 . The Social Lens : Theory Cumulation And Schools of Thought, SAGE
Publications Inc.
Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik : Ketreampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta.
The British Council, SMK Grafika Desa Putra
Jeong, Ho-Won. 2008 . Understanding Conflict and Conflict Analysis . SAGE Publications Inc.
Roberts II, John B. & Roberts Elizabeth A. , 2009 , Freeing Tibet : 50 Years Struggle, Resilience
And Hope , Amacom . New York
Smith, Warren. 2004 . China’ Policy On Tibetan Autonomy . Washington, DC . East-West
Center
Smith Jr. , Warren W. , 2010 , Tibet Last Stand? : The Tibetan Uprising of 2008 And China’s
Response , Rowman & Littlefield Publisher, Inc. Maryland

Jurnal :
China Human Development Report. 2007-2008: Basic Public Services Benefiting 1.3 Billion
Chinese: English. China Institute for Reform and Development. Beijing

11

Development Research Center of State Council, PRC. 2005. 4th China Human Development
Report . China Development Research Foundation
Fischer, Andrew M., Educating for Exclusion in Western China: Structural and institutional
dimensions of conflict in the Tibetan areas of Qinghai and Tibet , CRISE WORKING
PAPER No. 69 July 2009
Jaggi, Gautam; Rundle, Mary; Rosen, Daniel; Takahashi, Yuichi . 1996 . China’s Economic
Reforms: Chronology and Statistics . Institute for Internatiuonal Economics . Working
paper 96-5
Mackerras, Colin P., 2005 , People’s Republic of China: Background Paper On The Situation Of
The Tibetan Population, UNHCR Report, Writenet Independent Analysis
Ping, Huang & Shaohua, Zhan . 2005 . Internal Migration In China Linking It To Development .
Paper for Regional Conference On Migration And Development In Asia . Lanzhou .
DFID
Yuyan, Zhang. 1989 . Economic System Reform In China . Working Paper 55 . World Institute
for Development Economics Research of the United Nations University

Website :
http://www.tibet.org/Activism/Rights/poptransfer.html diakses pada 5 November 2011 pukul
11.34 WIB
http://www.migrationinformation.org/USFocus/display.cfm?ID=696 diakses pada 5 November
2011 pukul 11.35
http://www.globalsecurity.org/military/world/war/tibet.htm diakses pada 5 November 2011
pukul 12.00 WIB
http://www.japanfocus.org/-Ben-Hillman/2773 diakses pada 5 November 2011 pukul 12.00 WIB
http://factsanddetails.com/china.php?itemid=202&catid=6&subcatid=37
diakses
pada
5
November 2011 pukul 12.01 WIB
http://zt.tibet.cn/tibetzt/ssmz_en/intro/001.htm diakses pada 5 Mei 2012 pukul 16.55 WIB
http://www.china.org.cn/english/features/guideline/157508.htm diakses pada 5 Mei 2012 pukul
17.34 WIB
http://english.gov.cn/2006-03/07/content_246929.htm diakses pada 6 Mei 2012 pukul 00.56
WIB

12