PERUBAHAN SOSIAL perubahan DAN KOMUNIKASI

PERUBAHAN SOSIAL DAN KOMUNIKASI

Mata Kuliah : Sosiologi Media
Dosen : Taufiqqurrahman, S.Sos, M.Soc.Sc

Oleh :
AFRIL HADI

NIM : 120569201100

HIDAYATUN SALIHA

NIM :130569201016

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2016

PERUBAHAN SOSIAL DAN KOMUNIKASI
Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta

semua unsur – unsur budaya dan sistem – sistem sosial, dima
na semua tingkat kehidupan masyarakat secara sukarela atau dipengaruhi oleh
unsur – unsur eksternal meninggalkan pola – pola kehidupan, budaya, dan sistem
sosial lama kemudian menyebabkan penyesuaian diri atau menggunakan pola –
pola kehidupan , budaya dan sistem sosial lama.
Dalam perubahan sosial mempunyai 3 aspek yaitu :
1. Perubahan pola pikir masyarakat
2. Perubahan perilaku masyarakat.
3. Perubahan budaya materi.
Pertama, Perubahan pola pikir masyarakat adalah perubahan yang menyangkut
persoalan masyarakat terhadap berbagai persoalan sosial dan budaya yang
disekitarnya yang berakibat terhadap pemerataan pola pikir baru yang dianut
oleh masyarakat sebagai sebuah siakp yang modern.
Contoh : Seorang pembantu dari desa terpencil bekerja di Jakarta yang
dimana segala aktifitasnya selalu dipadukan dengan perkembagan teknologi
seperti memasak nasi dengan magicom padahal di kampungnya dulu emasak
masih memakai tungku.

Kedua, Perubahan perilaku masyarakat adalah perubahan yang menyangkut
persoalan perubahan sistem – sistem sosial , dimana masyarakat menyangkut

meninggalkan sistem sosial lama dan menjalankan sistem sosial baru.

Contoh : seorang pembantu yang bekerja di Jakarta ketika pulang
kampung dandanannya seperti majikan yang di Jakarta serta menggunakan bahasa
di Jakarta / bahasa majikannya yang selalu menggunakan bahasa gaul.

Ketiga, Perubahan budaya materi masyarakat adalah perubahan yang menyangkut
perubahan artefak budaya yang digunakan oleh masyarakat. Contoh : model
pakaian, karya fotography, karya film, teknologi dan lain – lain.

 Selain aspek – aspek perubahan sosial juga terdapat fase – fase perubahan
a.
b.
c.
d.
e.
f.

sosial antara lain :
Primitif

Argokultura
Tradisional
Transisi
Modern
Post Modern
Pertama, primitif adalah suatu fase yang dimana masyarakat hidup secara

terisolir dan berpindah – pindah disesuaikan dengan lingkungan alam dan sumber
makanan yang tersedia.
Kedua, Argokutural adalah suatu fase ketika lingkungan alam mulai tidak
lagi mampu memberi dukungan terhadap manusia, termasuk juga karena populasi
manusiayang mulai banyak. Pada fase ini budaya berpindah – pindah masih tetap
digunakan waluapun pada skala waktu yang realtif lebih lama.
Ketiga, Tradisional adalah suatu fase yang dimana masyarakat hidup secara
menetap disuatu tempat yang dianggap strategis untuk penyediaan berbagai
kehidupan seperti di pinggir sungai , pantai, lereng bukit, dan lain – lain.
Keempat, Transisi adalah suatu fase yang dimana kehidupan desa sudah
sangat maju, isolasi kehidupan hampir tidak temukan lagi dalam skala luas,
transportasi sudah lancar walaupun untuk masyarakat desa tertentu masih menjadi
masalah.


Kelima, modern adalah suatu fase yang dimana masyarakat ditandai dengan
peningkatan kualitas perubahan sosial yang lebih jelas meninggalkan fase transisi.
Kehidupan masyarakat sudah kosmopolitan dengan kehidupan individu yang
sangat menonjol, profesinalisme disegala bidang dan penghargaan terhadap
profesi menjadi kunci hubungan – hubungan sosial diantara elemen masyarakat.
Keenam,

Post Modern adalah suatu fase yang memiliki kelebihan –

kelebihan tertentu dimana kelebihan itu menciptakan pola sikap dan perilaku
serta pandangan – pandangan mereka terhadap diri dan lingkungan sosial yang
berbeda dengan masyarakat modern atau masyarakat sebelumnya.

 Sifat – sifat yang menonjol dari post modern antara lain :
Memiliki pola hidup nomaden, artinya kehidupan mereka yang terus bergerak dari
suatu tempat ke tempat lain menyebabkan orang sulit menemukan mereka secara
terdeteksi.
Secara sosiologis mereka berada pada titik nadir, antara struktur dan agen, yaitu
pada kondisi tertentu orang post modern patuh pada strukturnya,namun pada sisi

lain ia mengekspresikan dirinya sebagai agen yang mereproduksi struktur atau
paling tidak agen yang terlepas dari strukturnya.
Lebih suka menghargai privasi dan kegemaran mereka melebihiapa yang mereka
anggap berharga dalam hidup mereka.
Kehidupan pribadinya bebas yang memiliki pemahaman nilai – nilai sosial yang
subjektif dan liberal.
Pemahaman orang postmodern yang bebas pula menyebabkan mereka cenderung
melakukan gerakan back to natare, back to village, back to traditional atau bahakn
back to relagi.

Perubahan sosial dan hubungannya dengan Komunikasi

Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota
masyarakat serta sema unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana
semua tingkat kehidupan masyarakat secara kukarela atau dipengaruhi oleh unsurunsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial
lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan,
budaya dan sistem sosial yang baru.
Menurut salah satu ahli sosial, Gillin dan Gillin menyatakan, perubahan
sosial dapat diartikan sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah
diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,

komposisi penduduk dan ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Samuel Koenig dalam Man and
Society (1957) mengatakan, secara singkat perubahan sosial menunjuk pada
modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi itu terjadi
karena sebab-sebab intern dan sebab-sebab extern. Definisi lain adalah dari pakah
sosiologi terkemuka Indonesia, Selo Soemardjan. Selo mendefinisikan perubahan
sosial sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam
suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya
nilai-nilai, sikap dan pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat
(Soekanto, 1991:337)
Dalam hubungannya dengan proses sosial, komunikasi menjadi sebuah
cara dalam melakukan perubahan sosial (social change). Komunikasi berperan
menjembatani perbedaan dalam masyarakat karena mampu merekatkan kembali
sistem sosial masyarakat dalam usahanya melakukan perubahan. Namun begitu,
komunikasi juga tak akan lepas dari konteks sosialnya. Artinya ia akan diwarnai
oleh sikap, perilaku, pola, norma, pranata masyarakatnya. Jadi keduanya saling
mempengaruhi dan saling melengkapi, seperti halnya hubungan antara manusia
dengan masyarakat. Little john (1999), menjelaskan hal ini dalam genre
interactionist theories. Dalam teori ini, dijelaskan bahwa memahami kehidupan
sosial sebagai proses interaksi. Komunikasi (interaksi) merupakan sarana kita

belajar berperilaku. Komunikasi merupakan perekat masyarakat. Masyarakat

tidakakan ada tanpa komunikasi. Struktur sosial-struktur sosial diciptakan dan
ditopang melalui interaksi. Bahasa yang dipakai dalam komunikasi adalah untuk
menciptakan struktur-struktur sosial.Hubungan antara perubahan sosial dengan
komunikasi (atau media komunikasi) pernah diamati oleh Goran Hedebro (dalam
Nurudin, 2004) sebagai berikut. :
Teori komunikasi mengandung makna pertukaran pesan. Tidak ada
perubahan dalam masyarakat tanpa peran komunikasi. Dengan demikian, bisa
dikatakan bahwa komunikasi hadir pada semua upaya bertujuan membawa ke
arah perubahan.
Meskipun dikatakan bahwa komunikasi hadir dengan tujuan membawa
perubahan, namun ia bukan satu-satunya alat dalam membawa perubahan sosial.
Dengan kata lain, komunikasi hanya salah satu dari banyak faktor yang
menimbulkan perubahan masyarakat.
Media yang digunakan dalam komunikasi berperan melegitimasi
bangunan sosial yang ada. Ia adalah pembentuk kesadaran yang pada akhirnya
menentukan persepsi orang terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka hidup.
Komunikasi adalah alat yang luar biasa guna mengawasi salah satu
kekuatan penting masyarakat; konsepsi mental yang membentuk wawasan orang

mengenai kehidupan. Dengan kata lain, mereka yang berada dalam posisi
mengawasi media, dapat menggerakkan pengaruh yang menentukan menuju arah
perubahan sosial.
II. Pengertian Dan Konsep Publik Sphere
Konsep Public Sphere digagas oleh seorang pemikir sosial yaitu Jurgen
Habermas. Menurut Habermas, Public Sphere dikonsepsionalisasikan sebagai
suatu realitas kehidupan sosial di dalam mana terdapat suatu proses pertukaran
informasi dan berbagai pandangan berkenaan dengan pokok persoalan yang
tengah menjadi perhatian umum sehingga dalam proses tadi terciptalah pendapat
umum. Dengan dihasilkannya pendapat umum maka pada gilirannya akan
membentuk kebijakan negara dan pada akhirnya akan membentuk suatu tatanan

masyarakat secara keseluruhan. Adanya Public Sphere menyaratkan keaktifan dari
warga masyarakat memanfaatkan hak-haknya untuk ikut berpikir terlibat di dalam
suatu wacana yang sedang hangat pada hari suatu saat tertentu, khususnya yang
berkaitan dengan permasalahan politik. Dalam perkembangan masyarakat yang
makin besar maka proses terbentuknya wacana menuju opini public tadi lalu
diantarai oleh media massa.
Gagasan Habermas di atas memang bisa dibilang sebuah cita-cita ideal
dalam konteks historis masa itu yang kalau kita bandingkan dengan konteks

zaman sekarang tentunya prosesnya tidak sesederhana itu. Pemikiran Habermas
itu

bisa kita pahami dalam dua perspektif. Pertama, Habermas mencoba

menggambarkan munculnya ruang publik di kalangan calon kaum borjuis dalam
spirit kapitalisme liberal di abad 18.Kategori Public Sphere semacam ini dapat
ditemui dalam realitas sejarah masyarakat Inggris, Perancis dan Jerman.Pada masa
sebelum itu, memang bisa dikatakan tidak ada ruang sosial yang layak disebut
“public” sebagai lawan dari “private”. Dengan berkembangnya konsep negara
kebangsaan, lembaga perwakilan, perekonomian,dan tidak ketinggalan lahirnya
media cetak maka mulailah berkembang akar kemunculan Public Sphere di
masyarakat tertentu di Eropa Barat. Dalam Public Sphere ini terdapat kelompok –
kelompok sosial tertentu atas dasar pendidikan, kelas kepemilikan ( biasanya
pada kalangan pria )

dan berproses melalui berbagai media seperti Jurnal,

pamflet, dan surat kabar termasuk di dalam lingkungan tertentu seperti bar, coffee
house dan berbagai club. Pertukaran informasi aktual, yang berlangsung terus

menerus dalam sebuah diskusi dan seringkali dihangatkan dengan perdebatan
merupakan gejala baru yang menurut Habermas amatlah berarti.
Kedua, konsep Public Sphere memasuki warna baru dengan mulai
memudarnya kelompok borjuis dalam konteks masyarakat industri yang makin
maju dan munculnya demokrasi massa. Dengan adanya demokrasi massa, public
yang semula diwakili oleh kalangan elite terpelajar terbatas mulai dimasuki oleh
masyarakat kebanyakan yang tidak begitu berpendidikan. Sementara negara,
dalam kepentingannya untuk mengendalikan pertentangan kapital menjadi makin

intervensionis.Batas antara wilayah publik dan private , baik dalam pengertian
ekonomi politik maupun budaya makin tipis. Organisasi besar dan kelompok
kepentingan menjadi partner politik kunci bagi negara , menghasilkan bentuk
politik feodal baru yang makin menggantikan peran-peran yang semula dilakoni
masyarakat. Berkembangnya karakteristik kepemilikan media massa, khususnya
tatkala kekuatan komersial mengubah fungsi komunikasi publik menjadi Public
Relation dan makin menguatnya periklanan dan hiburan, maka fungsi kritis
media massa makin terkikis. Publik lalu terkotak-kotak sedemikian rupa, sehingga
kehilangan daya ikatnya.
Kisah memudarnya Public Sphere masih merupakan isu yang hangat
hingga kini, tentu saja dengan modifikasi versi olah kalangan pemerhati dan

peneliti.Bahkan kemudian ada yang mempertanyakan akan manfaat konsep Public
Sphere. Meski demikian konsep ini tetap sesuatu yang berharga guna memahami
proses sosial di mana media massa menjadi salah satu kekuatan dalam konstelasi
kekuatan-kekuatan yang menentukan dalam masyarakat.
Public Sphere dalam pengertian politik berarti menyediakan sebuah
ruang – berupa wacana, lembaga-lembaga, suatu ruang topografik – di mana
orang dalam perannya sebagai warga memiliki akses masuk di dalam sebuah
dialog kemasyarakatan yang sedang mempersoalkan sesuatu demi kepentingan
umum, atau dengan kata lain akses menuju dunia politik dalam pengertian yang
luas.Ruang yang demikian ini, dengan kondisi komunikasi tertentu yang
mewarnainya, menjadi sesuatu hal yang penting dalam demokrasi. Fungsi Public
Sphere dengan demikian adalah memenuhi persyaratan komunikasi

tertentu

sabagai variabel terbentuknya demokrasi.
Pemikiran intelektual Habermas berakar dari mazhab Frankfurt dan
tesisnya mengenai Public Sphere menjadi inspirasi bagi riset media kritis. Akan
tetapi menurut Peters(1993), dasar pemahaman Habermas tentang demokrasi dan
Public Sphere tidaklah murni dikendalikan oleh tradisi liberal Anglo- American
dengan ide dasarnya tentang “market – place of ideas” Dalam diskursus liberal

( yang klasik dan bukan neo-liberal) tentang media dan demokrasi biasanya tidak
menggunakan istilah Public Sphere.
Gagasan Habermas tentang Public Sphere tak sepi dari kritikan, menurut
Garnham( 1992), Peters(1993), dan Fraser ( 1992) secara umum tercatat empat
dimensi yang menjadi sasaran pertanyaan dan kritik yakni : Media institutions,
media representation, struktur sosial dan interaksi sosiokultural. Pemisahan ini
hanyalah kepentingan memudahkan analisis karena sebenarnya keempatnya saling
terkait dan tak terpisahkan.
Dimensi institusi berkenaan dengan organisasi, pendanaan, regulasi.
Dimensi representasi berkaitan dengan cakupan jurnalistik. Kedua dimensi ini
lebih banyak mendapat perhatian. Sementara dimensi struktur sosial lebih
berhubungan dengan cakrawala yang lebih luas di mana di dalamnya terdapat
faktor-faktor

pembentuk Public Sphere. Sedangkan dimensi interaksi

sosiokultural melihat serbaneka masyarakat pembentuk Public Sphere dan kurang
memusatkan pada media massa.
Faktor –faktor dalam dimensi struktur sosial di antaranya berkaitan dengan
ekologi politik dari media, menyusun batas-batas dari institusi media dan profil
organisasi demikian juga sifat-sifat dari informasi dan bentuk-bentuk representasi
yang memungkinkan diartikulasikan. Dimensi struktur sosial ini tentu saja akan
berdampak pada pola interaksi sosiokultural. Dengan demikian struktur sosial
secara kompleks membentuk seperangkat kondisi bagi Public Sphere yang bisa
juga diisi oleh ketiga dimensi yang lainnya.Dimensi struktur sosial tentu saja
menjadi dimensi yang paling sulit diraih sehingga bagi sebagian kalangan ahli
dimensi ini sebaiknya diabaikan saja jika kita tidak ingin kehilangan fokus soal
Public Sphere.Meski, perannya tidak bisa kita anggap remeh.
Satu hal yang patut dicatat dalam telaah mengenai Public Sphere ini adalah
bahwa dalam masyarakat yang cenderung lemah demokrasinya dan struktur
masyarakatnya sangat tidak egaliter
terciptanya Public Sphere.

tidak akan memberi kesempatan bagi

III. Konsep Publik Sphere Dalam Lingkup Media Masa Dan Contoh Kasus.
Jurgen Habermas mengidamkan adanya sebuah situasi di mana munculnya
sebuah public sphere (ruang publik), dimana komunikasi dilakukan dalam wilayah
sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Dalam esainya, The Public Sphere,
Habermas melihat perkembangan wilayah sosial macam itu dalam sejarah
masyarakat modern. Wilayah itu disebutnya “dunia publik” (public sphere).
Semua wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk membentuk
opini publik dapat disebut dunia publik. Semua warga masyarakat pada prinsipnya
boleh memasuki dunia macam itu. Mereka sebetulnya aalah orang-orang privat,
bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau
politikus, tetapi percakapan mereka membentuk suatu publik, sebab bukan soalsoal pribadi mereka yang dipercakapkan, melainkan soal-soal kepentingan umum
yang dibicarakan tanpa paksaan. Baru dalam situasi ini orang-orang privat ini
berlaku sebagai publik, sebab mereka memiliki jaminan untuk berkumpul dan
berserikat secara bebas dan menyatakan serta mengumumkan opini-opini mereka
secara bebas (Hardiman, 1993: 128-129).
Menurut Peter Dahlgren (2002) dalam tatanan masyarakat modern yang
tidak memungkinkan untuk munculnya

keterwakilan masyarakat dalam

pembicaraan komunikasi politik kecuali dalam jumlah yang relatif kecil, maka
media massa pada akhirnya diharapkan menjadi institusi public sphere.
Jika dahulu Habermas mencontohkan praktek konkret public sphere dapat
kita lihat di coffee house, maka kemunculan media massa seperti surat kabar,
majalah, radio, dan televisi, maka peran mereka menurut John Hartley (1992)
telah tergantikan oleh media massa.
Namun, pesoalan yang sampai sekarang belum terselesaikan adalah
bagaimana menumbuhkan public sphere macam itu, sementara yang namanya
dominasi selalu ada di dalam ruang-ruang sosial dan kehidupan masyarakat itu
sendiri.

Bahkan jika kita berbicara tentang media massa, banyak pula dibicarakan
adanya kemungkinan-kemungkinan untuk menumbuhkan public sphere di dalam
media massa. Media massa diidamkan untuk menjadi ruang bagi publik untuk
menyampaikan segala macam gagasan, pemikiran, secara bebas untuk kemudian
menjadi opini publik itu sendiri.
Permasalahan yang terjadi adalah ternyata kemungkinan-kemungkinan
untuk menciptakan public sphere di dalam media massa adalah sesuatu yang
teramat sulit jika tidak mau dikatakan mustahil.
Sejumlah asumsi yang mendasari sulitnya mengharapkan kemunculan
publis sphere di dalam media massa antara lain adalah masalah akses. Bahwa
tidak semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki
akses terhadap media massa itu sendiri. Media massa cenderung melakukan
seleksi terhadap siapa-siapa yang berhak atau boleh memiliki akses terhadap
media tersebut.
Ruang yang terbatas di dalam media massa juga seringkali dijadikan dalih
bagi media massa untuk tidak menyediakan ruangan bagi dunia publik. Ruangan
yang dimiliki oleh media massa mayoritas sudah dikavling oleh program-program
media itu sendiri, bahkan seringkali ruangan tersebut telah dipesan oleh para
pengiklan. Jadi tidak tersisa lagi bagi ruang publik.
Ruangan-ruang media massa selalu penuh oleh program-program yang
berisikan kepentingan para pemilik media, pemodal, politisi, dan pengiklan. Bagi
siapa-siapa yang memiliki kapital, maka dia memiliki akses yang lebih luas
terhadap media massa dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki
kapital tersebut.
Habermas (1997: 141-250) sendiri kemudian sempat mengutarakan
tentang terjadinya degradasi public sphere yang salah satunya disebabkan justru
oleh praktek media massa, dan juga ditambah dengan budaya konsumtif. Media
massa dianggap bereperan dalam mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang
konsumtif, dan bukan lagi masyarakat yang logis. Budaya konsumtif telah

mengarahkan masyarakt untuk lebih peduli terhadap konsumerisme daripada
politik. Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat seakan makin memberikan
tempat bagi kapitalisme untuk ‘menguasai’ praktek media massa. Media massa
menjadi tempat untuk iklan dan promosi barang-barang, daripada tempat bagi
masyarakat untuk mendapatkan informasi politik yang penting.
Contoh kasus yang paling baru dalam konsep publik sphere baru-baru ini
di Indonesia berkaitan dengan situasi politik dalam negri, mulai dari terbukanya
sidang gugatan pemilihan presiden tahun 2014 di MK, serta sidang yang
dilaksanakan oleh DPR/DPRD saat menentukan ketuanya. Meski beberapa pihak
membatasi konsep publik sphere di media massa dengan kekuatan politiknya,
masyarakat mulai dapat menggunakan ruang publik tersendiri seperti social media
twitter, serta diskusi-diskusi terbuka yang dilakukan oleh beberapa stasiun televisi
swasta lainnya yang tidak membatasi konsep publik sphere di media massa.

KESIMPULAN
Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota
masyarakat serta sema unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana
semua tingkat kehidupan masyarakat secara kukarela atau dipengaruhi oleh unsurunsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial
lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan,
budaya dan sistem sosial yang baru
Perubahan sosial terjadi salah satunya adalah karena terjadinya proses
komunikasi yang terdapat dalam masyarakat. Komunikasi memiliki peran penting
dalam terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat meskipun terdapat faktorfaktor lain yang menebabkan terjadinya perubahan sosial pada masyarakat.
Public Sphere dikonsepsionalisasikan sebagai suatu realitas kehidupan
sosial di dalam mana terdapat suatu proses pertukaran informasi dan berbagai

pandangan berkenaan dengan pokok persoalan yang tengah menjadi perhatian
umum sehingga dalam proses tadi terciptalah pendapat umum (publik).
Namun saat ini, ruang-ruang media massa selalu penuh oleh programprogram yang berisikan kepentingan para pemilik media, pemodal, politisi, dan
pengiklan. Bagi siapa-siapa yang memiliki kapital, maka dia memiliki akses yang
lebih luas terhadap media massa dibandingkan dengan orang-orang yang tidak
memiliki kapital tersebut.
Contoh kasus yang paling baru dalam konsep publik sphere baru-baru ini
di Indonesia berkaitan dengan situasi politik dalam negri, mulai dari terbukanya
sidang gugatan pemilihan presiden tahun 2014 di MK, serta sidang yang
dilaksanakan oleh DPR/DPRD saat menentukan ketuanya. Meski beberapa pihak
membatasi konsep publik sphere di media massa dengan kekuatan politiknya,
masyarakat mulai dapat menggunakan ruang publik tersendiri seperti social media
twitter, serta diskusi-diskusi terbuka yang dilakukan oleh beberapa stasiun televisi
swasta lainnya yang tidak membatasi konsep publik sphere di media massa.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, S.Sos., M. Si, 2006, Sosiologi Komunikasi :
Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta,
Kencana Prenada Media Group.
Sudarma, Momon. 2014, Sosiologi Komunikasi, Jakarta, Mitra Wacana Media.
Habermas, Jürgen (German(1962) English Translation 1997). The Structural
Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois
Society. Cambridge Massachusetts: The MIT Press
Dahlgren, Peter, The Public Sphere as Historical Narrative, dalam Denis McQuail
(ed), Reader in Mass Communication Theory, Thousand Oakes: Sage, 2002