Latar Belakang - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Strategis di Sumatera Utara

PENDAHULUAN Latar Belakang

  Sektor pertanian di Indonesia dianggap penting, hal ini dapat dilihat dari peranan sektor pertanian terhadap penyediaan lapangan kerja, penyediaan pangan, dan penyumbang devisa negara dengan mengekspor komoditi pertanian. Oleh karena itu, wajar kalau biaya pembangunan untuk sektor pertanian selalu berada di urutan ketiga besar diantara pembiayaan sektor-sektor lain (Soekartawi, 1995).

  Kecukupan pangan manusia dapat didefenisikan secara sederhana sebagai kebutuhan harian yang paling sedikit memenuhi kebutuhan gizi, yaitu sumber kalori atau energi yang dapat berasal dari semua bahan pangan tetapi biasanya sebagaian besar diperoleh dari karbohidrat dan lemak,sumber protein untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan penggantian jaringan dan sumber vitamin serta mineral(Buckle dkk,1987).

  Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dalam pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Secara nasional ketahanan pangan tidak identik dengan ketahanan rumah tangga sebab tanpa memperhatikan unsur-unsur produksi, distribusi, harga dan pendapatan, mustahil ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat terwujud. Sungguhpun demikian, rumah tangga sebagai unit masyarakat terkecil, merupakan penguat utama pilar ketahanan pangan nasional. Karenanya, membangun ketahanan pangan rumah tangga merupakan bagian penting dari program ketahanan pangan.

  Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, Pemerintah bertanggungjawab bersama-sama masyarakat untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui suatu kebijakan yang mampu mengatur, membina, mengendalikan, mengawasi terhadap ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, bergizi, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

  Ketahanan pangan merupakan salah satu prasyarat untuk pemenuhan hak asasi manusia di bidang pangan dan juga merupakan salah satu pilar bagi eksistensi dan kedaulatan bangsa (BKP Sumut, 2010).

  Pada sisi kebutuhan pangan penduduk, ketersediaan pangan berhubungan terutama dengan faktor jumlah penduduk dan pola konsumsi pangannya. Jumlah penduduk dan pola konsumsinya menentukan jumlah dan kualitas pangan yang dibutuhkan atau yang perlu disediakan. Pertumbuhan jumlah penduduk berarti jumlah pangan yang harus disediakan semakin banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk (Anonimus

  ͨ, 2010). Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di Propinsi Sumatera Utara dimana pertumbuhannya mencapai 1,9 % per tahun selama 5 (lima) tahun terakhir maka peningkatan kebutuhan bahan pokok strategis merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Pada saat ini penambahan jumlah penduduk yang bersinergi dengan penyusutan lahan sawah dan perladangan akibat ahli fungsi lahan menjadi non sawah

  12. Ikan 372.780 406.553 421.297 526.464 558.953,96 457.138 42.951 -14,7

  1. Beras 1.936.243 1.952.447 1.703.390 1.849.621 1.892.075 1.964.985 1.807.509 -1,10

  11. Telur 153.775,48 82.417,37 83.685 104.004 87.005,84 137.712 87.900 -7,13

  10. Daging 124.569,17 115.533,35 127.489 126.065 121.962,31 144.103 156.186 4,23

  II Pangan hewani

  9. Gula pasir 12.300 47.000 71.000 38.000 45.559 63.674 218.000 287

  8. Minyak goreng 1.889.814 1.949.036 1.976.026 2.115.244 2.115.244 2.157.548 288.000 -14,7

  7. Bawang merah 23.664 9.222 7.120 11.005 24.808 25.552 9.120 -10,24

  6. Cabe merah 126.711 93.170 84.293 112.843 95.034 97.885 52.320 -9,7

  5.Kacang tanah 28.708 21.042 20.119 20.329 19.316 19.150 54.240 14,8

  4.Ubi kayu 464,962 509.796 452.450 438.573 736.771 887.987 420.240 -1,60

  3. Kedelai 12.333 15.793 7.042 4.345 11.647 16.495 58.104 61,8

  2. Jagung 712.560 735.456 682.042 804.850 1.098.969 1.190.822 801.888 2,08

  10 I Pangan Nabati

  secara nyata telah menimbulkan ancaman penurunan produksi pangan. Ketersediaan bahan pangan pokok-pokok stategis di Propinsi Sumatera Utara tahun 2010 secara umum cukup tersedia. Untuk beras, jagung, kacang tanah, cabai merah, daging, telur, ikan dan minyak goreng sebagian besar ketersediaan yang ada diperoleh dari produksi lokal, sedangkan impor atau dari propinsi lain hanya untuk memperkuat ketersediaan yang ada. Namun kedelai, bawang merah dan gula pasir sebagian besar ketersediaan dipasok dari impor maupun masukan dari daerah/propinsi lain (BKP Sumut, 2010).

  9

  8

  7

  6

  5

  4

  3

  2

  1

  

No Uraian 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010*) Pert

(%)

  

Tabel 1. Produksi bahan pangan pokok stategis yang mendukung ketersediaan

pangan tahun 2004-2010 di Propinsi Sumatera Utara.

  • *) Angka sementara Sumber : BKP ( Badan Ketahanan Pangan),2012

  Perkembangan produksi bahan nabati di Sumatera Utara yaitu beras selama 7(tujuh) tahun terakhir turun -1,10% per tahun dimana pada tahun 2004 produksi beras mencapai 1.936.243 ton dan tahun 2010 sebesar 1.807.509. Produksi jagung naik 2,08% per tahun dimana pada tahun 2004 mencapai 712.560 ton dan tahun 2010 sebesar 801.888 ton, demikian juga kedelai mengalami kenaikan 61,8% per tahun dimana pada tahun 2004 mencapai 12.333 ton dan tahun 2010 sebesar 58.104 ton. Untuk komoditas palawija terutama ubikayu produksi selama 7 (tujuh) tahun terakhir turun -1,60% tahun dimana pada tahun 2004 mencapai 464.962 ton dan tahun 2010 mencapai 420.240 ton, sementara kacang tanah produksi mengalami kenaikan 14,80% dimana pada tahun 2004 mencapai 28.708 ton dan sebesar 52.240 ton.

  Perkembangan produksi komoditas hortikultura terutama cabai merah dan bawang merah selama 7 (tujuh) tahun terakhir berfluktuasi dimana untuk cabai merah produksi mengalami penurunan 9,7% yaitu tahun 2004 sebesar 126.711 ton turun menjadi 52.320 ton pada tahun 2010 sementara untuk bawang merah produksi mengalami penurunan 10,24% yaitu tahun 2004 sebesar 23.664% ton turun menjadi 9.120 ton pada tahun 2010. Untuk produksi minyak goreng mengalami penurunan 14,7% yaitu tahun 2004 sebesar 1.889.814 ton turun menjadi 288.000 ton pada tahun 2010 dan gula pasir mengalami peningkatan 287% yaitu produksi tahun 2004 sebesar 12.300 ton naik menjadi 218.000 pada tahun 2010. Untuk pangan hewani perkembangan produksi daging dari tahun 2004-2010 naik 4,23% yaitu dari 124.569,17 ton pada tahun 2004 naik menjadi 156.186 ton pada tahun 2010. Sedangkan ikan mengalami penurunan 14,7% yaitu dari 372.780 ton pada tahun 2004 turun menjadi 42.951 ton pada tahun 2010, demikian juga telur turun 7,13% per tahun yaitu dari 153.775,48 ton pada tahun 2004 menjadi 87.900 ton pada tahun 2010 (BKP Sumut,2010 ).

  Rata-rata konsumsi pangan penduduk Sumatera Utara untuk tujuh tahun terakhir 2004 s/d 2010 (gram/kap/hari). Pada tahun 2004 rata-rata konsumsi beras yakni mencapai 333,6 gram/kap/hari untuk konsumsi jagung mencapai 317,6 gr/kap/hari kedele yakni mencapai1,8 gr/kap/hari ubi kayu mencapai sebesar 54,6 gr/kap/hari kacang tanah yakni 9,1 gr/kap/hari bumbu mencapai 14,3 gr/kap/hari minyak goreng mencapai sebesar 12,4 gr/kap/hari konsumsi rata-rata gula pasir mencapai 26,1 gr/kap/hari untuk konsumsi rata-rata daging yakni sebesar 4,6 gr/kap/hari telur mencapai 15, 2 gr/kap/hari dan ikan mencapai 83,2 gr/kap/hari.

  Ketahanan pangan diindikasikan oleh terpenuhinya pangan bagi rumah tangga secara kualitas maupun kuantitas, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan juga merupakan suatu sistem sehingga faktor-faktor yang mempengaruhinya perlu dikendalikan. Untuk itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan konsumsi pangan strategis (beras dan cabai) di Sumatera Utara.

  Identifikasi Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

  1) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi ketersediaan pangan strategis

  (beras dan cabai) di Sumatera Utara? 2)

  Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi konsumsi pangan strategis (beras dan cabai) di Sumatera Utara?

  Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.

  Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan pangan strategis (beras dan cabai) di Sumatera Utara.

  2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan strategis (beras dan cabai) di Sumatera Utara.

  Kegunaan Penelitian

  Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat berguna antara lain sebagai berikut : 1. Bagi penulis, menambah wawasan dan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan konsumsi pangan strategis (beras dan cabai) di Sumatera Utara.

  2. Bagi Akademis, sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian dalam kasus yang sama.

  3. Sebagai bahan pertimbangan dan kajian bagi pemerintah khususnya dalam pengambilan keputusan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan konsumsi pangan strategis (beras dan cabai) di Sumatera Utara.

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka

  Klasifikasi pangan sangat berguna dalam perencanaan produksi, ketersediaan pangan, dan konsumsi pangan penduduk. Sementara, zat gizi diklasifikasikan ke dalam enam kelas utama dan paling sedikit terdiri dari 45 jenis zat gizi. Secara umum, pangan dikelompokkan menjadi dua yaitu pangan hewani dan pangan nabati.

  Pangan hewani meliputi daging, ikan, kerang, telur, susu dan hasil susu. Sementara, pangan nabati meliputi 1) serelia/biji dari famili Cranineae, 2) kacang-kacangan/biji dari famili Leguminoseae, 3) sayuran dalam bentuk akar-akaran, daun-daunan, pucuk-pucuk, labu dan sayur buah, 4) biji-bijian, semua biji yang tidak serealia dan kacang-kacangan, 5) buah-buahan segar dan kering, bumbu dan rempah, serta 6) pangan lainnya seperti madu, gula dan jamur (Farida dkk, 2010).

  Pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan nasional sudah bukan lagi topik perdebatan. Pemerintah dan rakyat yang diwakili oleh parlemen dan organisasi non-pemerintah, sepakat bahwa ketahanan pangan harus menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Paling tidak ada tiga alasan penting yang melandasi kesadaran semua komponen bangsa atas pentingnya ketahanan pangan. Pertama, akses atas pangan yang cukup dan bergizi bagi setiap penduduk merupakan salah satu pemenuhan hak azasi manusia. Kedua, konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Ketiga, ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional suatu negara berdaulat (Suryana, 2004).

  Ketersediaan beras di Sumatera Utara pada tahun 2010 adalah 2.236.899 ton, sementara kebutuhan konsumsi dan lain-lain 1.785.882 ton, untuk jagung sebesar 1.210.901 ton, sementara kebutuhan konsumsi dan industri pakan ternak ± 755.717 ton, ketersediaan kedelai sebesar 58.104 ton untuk konsumsi dan lain-lain adalah sebesar 56.613 ton, ketersediaan ubi kayu adalah 866.975 ton sedangkan untuk konsumsi dan lain-lain adalah 56,613 ton, ketersediaan kacang tanah sebesar 55.232 ton, sementara untuk konsumsi adalah 54.777 ton. Ketersediaan cabai merah adalah 52.320 ton, sementara konsumsi adalah 47.827 ton. Ketersediaan daging adalah mencapai 156.186 ton, sementara konsumsi adalah 141.180 ton. Untuk ketersediaan telur mencapai 87.900 ton, sementara konsumsi adalah 45.408 ton. Untuk ketersediaan ikan adalah sebesar 172.237 ton, sementara untuk konsumsi adalah 129.286 ton. Minyak goreng mempunyai ketersediaan mencapai 2.296.710 ton, sementara konsumsi adalah 2.008.710 ton serta gula pasir mencapai sebesar 218.000 ton, sementara konsumsi adalah 181.624 ton ( BKP Sumut, 2010).

  Landasan Teori

  Ketersediaan Pangan

  Dalam perkembangannya, ketersediaan pangan bermakna dua, yaitu terdapat barangnya dan dapat dibeli dengan harga murah. Dengan demikian dalam hal pangan diletakkan dalam konteks politik adalah pemerintah akan berusaha mempertahankan ketersediaan pangan dalam jumlah cukup (bahkan kalau perlu melimpah) dan dengan harga yang murah (bukan sekedar terjangkau) (Sumodiningrat, 2001).

  Menurut Thomas Robert Malthus menyebutkan dalam teorinya bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangakan pertumbuhan ketersediaan pangan mengikuti deret hitung. Pada kasus ini dimana terdapat permasalahan meledaknya jumlah penduduk dikota yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan pun berkurang, hal ini merupakan pertimbangan yang kurang menguntungkan. Jika kita kembali kepada teori Malthus, Teori Malthus menghendaki produksi pangan harus lebih besar dibandingkan jumlah dan pertumbuhan penduduk. Sehingga berdasarkan teori ini diperkirakan suatu saat daerah di Indonesia tidak memiliki lahan pertanian lagi, sebab perkembangan yang pesat terjadi pada pembukaan dan penggunaan lahan untuk kawasan permukiman penduduk. Namun ketersediaan lahan yang semakin terbatas telah menimbulkan biaya yang tinggi bagi penduduk untuk mendapatkannya. Hal ini berdampak kepada biaya investasi yang tinggi untuk membangun kawasan produktif yang strategis (Wicaksono, 2009).

  Ketersediaanpanganadalahketersediaanpangansecara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi pangan domestik, perdagangan pangan dan bantuan pangan. Ketersediaanpangan ditentukan oleh produksi pangan di wilayah tersebut, perdagangan pangan melalui mekanisme pasar di wilayah tersebut, stok yang dimiliki oleh pedagang dan cadangan pemerintah, dan bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya (Anonimus

  ᵇ, 2009). Ketersediaan pangan merupakan kondisi pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan serta turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang (bierarchial systems) mulai dari nasional, provinsi (regional), lokal (kabupaten/kota), dan rumah tangga. Ketersediaan pangan dapat diukur pada tingkat makro (nasional, provinsi, kabupaten/kota) maupun mikro (rumah tangga). Sistem ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu katersediaan dan stabilitas pangan (food availability and stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility), dan pemanfaatan pangan (food

  ultilization). Hal ini berarti bahwa faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi ketiga komponen ketahanan pangan.

  Komponen ketersediaan dan stabilitas pangan dipengaruhi oleh sumber daya (alam, manusia, dan sosial) dan produksi pangan (on farm da off farm). Akses pangan menunjukan jaminan bahwa setiap rumah tangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Kondisi tersebut tercermin dari kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan produksi pangan. Hal ini tergantung pada harga pangan maupun tingkat sumberdaya yang terdapat dalam keluarga, yaitu meliputi tenaga kerja (labur) dan modal (capital). Ketersedian tenaga kerja merupakan dimensi fisik dari sumberdaya keluarga yang diperlukan untuk proses produksi. Selain itu, juga tergantung pada pengetahuan dan dimensi sumberdaya manusia (human capital) serta sumberdaya sosial. Pemanfaatan pangan mencerminkan kemampuan tubuh untuk mengolah pangan dan mengubahnya kedalam bentuk energi yang dapat digunakan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari atau disimpan. Dimensi pemanfaatan pangan meliputi konsumsi pangan dan status gizi. Untuk mewujudkan katahanan pangan rumah tangga dan individu perlu memperhatikan faktor ketersediaan pangan, daya beli, dan pengetahuan gizi (Farida dkk, 2010).

  Konsumsi Pangan

  Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi, serta kekuatan dan kekuasaaan. Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dalam waktu tertentu. Pola konsumsi masyarakat ini dapat menunjukkan tingkat keberagaman pangan masyarakat yang selanjutnya dapat diamati dari parameter pola pangan harapan (PPH) (Farida dkk, 2010).

  Tingkat konsumsi penduduk mencerminkan tingkat kesejahteraan. Konsumsi meliputi pangan dan non pangan, meliputi jenis dan jumlah tak terbatas, namun aktivitas konsumsi dibatasi oleh pendapatan yang dapat dibelanjakan. Dalam hal ini tingkat pendapatan penduduk yang rendah menjadi pembatas tingkat konsumsi atau kesejahteraan petani. Merujuk kepada hukum Engel bahwa pada pendapatan rendah konsumsi bahan pangan menyerap sebagian besar anggaran belanja rumah tangga (Suwarto, 2007).

  Faktor-faktor yang tampaknya sangat mempengaruhi konsumsi pangan di mana saja di dunia adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan, pengetahuan gizi. Hal ini menyebabkan keadaan kesehatan buruk dan produktivitas rendah tidak hanya pada tingkat lokal tetapi juga pada tingkat nasional. Apabila jumlah pangan ditanam tidak cukup untuk memberikan makan penduduk suatu negara, maka risiko kurang gizi akan tinggi dan ganguan gizi meningkat. Kalau diberikan petunjuk yang cukup untuk memperbesar produksi pertanian dan petunjuk itu diikuti, maka jumlah dan jenis pangan yang tersedia untuk dikonsumsi rumah tangga dan untuk pendapatan petani dapat ditingkatkan. Produksi pangan yang lebih banyak dan jenis yang lebih beragam, merupakan langkah pertama menuju penyediaan pangan yang cukup untuk penduduk (Suhardjo dkk,1986).

  Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosio-budaya. Faktor ekonomi dan harga merupakan keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan miskin menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan. Dua peubah ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga(baik harga pangan maupun harga komoditas kebutuhan dasar).

  Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah harga pangan dan harga barang nonpangan. Perubahan harga dapat berpengaruh terhadap besarnya permintaan pangan. Harga pangan yang tinggi menyebabkan berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan riil berkurang.

  Keadaan ini mengakibatkan konsumsi pangan berkurang.

  Faktor sosio-budaya dan religi merupakan kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Aspek sosio pangan adalah fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat tersebut (Farida dkk, 2010).

  Kerangka Pemikiran

  Ketersediaan pangan tergantung pada cukup lahan untuk menanam tanaman pangan, penduduk untuk menyediakan tenaga, uang untuk menyediakan modal pertanian yang diperlukan, tenaga ahli terampil untuk membantu meningkatkan baik produksi pertanian maupun distribusi pangan yang merata. Adapun faktor–faktor yang mempengaruhi ketersediaan pangan yakni luas panen padi, harga beras, jumlah penduduk dan konsumsi beras. Pada sisi kebutuhan pangan penduduk, ketersediaan pangan berhubungan terutama dengan faktor jumlah penduduk dan pola konsumsi pangannya. Jumlah penduduk dan pola konsumsinya menentukan jumlah dan kualitas pangan yang dibutuhkan atau yang perlu disediakan.

  Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu. Faktor-faktor yang tampaknya sangat mempengaruhi konsumsi pangan di mana saja di dunia adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan, pengetahuan gizi. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosio-budaya. Faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah harga pangan dan harga barang nonpangan sedangkan faktor sosio- budaya dan religi merupakan kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi.

  Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dalam pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Secara nasional ketahanan pangan tidak identik dengan ketahanan rumah tangga sebab tanpa memperhatikan unsur-unsur produksi, distribusi, harga dan pendapatan, mustahil ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat terwujud. Oleh karena itu ketersediaan dan konsumsi pangan sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan.

  Secara sistematis, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :

  • Luas panen padi
  • Jumlah penduduk
  • Konsumsi beras
  • Harga beras

  • Harga beras
  • Jumlah penduduk
  • Produksi beras
  • Produksi cabai
  • Pendapatan Faktor konsumsi cabai:
  • Harga cabai
  • Harga ikan
  • Konsumsi beras
  • Pendapatan -
  • Produksi cabai

  Keterangan :

  : Menyatakan pengaruh : Menyatakan hubungan

  Ketersediaan Pangan Faktor ketersediaan beras:

  Faktor ketersediaan cabai:

  Konsumsi Pangan Faktor konsumsi beras:

  Harga cabai

  Gambar 1: Skema Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan identifikasi masalah, tinjauan pustaka, dan kerangka pemikiran maka hipotesis dalam penelitian ini disusun sebagai berikut :

  1. Ada pengaruh luas panen padi, harga beras, jumlah penduduk dan konsumsi beras terhadap ketersediaan beras baik secara parsial maupun secara agregat.

  2. Ada pengaruh produksi cabai, harga cabai, harga ikan dan konsumsi beras terhadap ketersediaan cabai baik secara parsial maupun secara agregat.

  3. Ada pengaruh jumlah penduduk, harga beras, produksi beras, dan pendapatan terhadap konsumsi beras baik secara parsial maupun secara agregat.

  4. Ada pengaruh pendapatan, harga cabai dan produksi cabai terhadap konsumsi cabai baik secara parsial maupun secara agregat.