BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Kepribadian Big Five 1. Sejarah - Differential Item Functioning (DIF) Etnis pada Big Five Inventory (BFI) versi Adaptasi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Kepribadian Big Five

1. Sejarah

  

Trait adalah unit fundamental dari kepribadian, yang mewakili watak secara

  luas untuk merespon suatu kondisi dengan cara tertentu. Penelitian mengenai trait kepribadian membutuhkan model persetujuan yang general mengenai penelitian yang dilakukan oleh peneliti, sama halnya dengan ilmu pengetahuan yang lain. Selama 40 tahun terakhir, sejumlah konsep kepribadian, dan sejumlah skala pertanyaan didesain untuk mengukur trait kepribadian tersebut, dan hal ini semakin meluas tanpa ada akhir yang jelas. Dalam bahasa inggris sendiri, terdapat lebih dari 5000 kata yang menjelaskan trait kepribadian (Pervin, dkk, 2005).

  Selama bertahun-tahun, para peneliti trait termasuk Eysenck, Cattell, dan yang lainnya telah melakukan perdebatan mengenai jumlah dan asal dimensi dasar trait kepribadian. Namun hal ini tidak terselesaikan, hingga tahun 1980an terdapat perkembangan secara bertahap dalam kualitas dan pengalaman metode, yang berujung pada banyaknya peneliti yang setuju bahwa perbedaan individu dapat dikategorikan ke dalam lima faktor bipolar yang dikenal sebagai “Big Five” (John & Srivastava; McCrae & Costa dalam Pervin, dkk, 2005).

  Kelima faktor yang berbeda-beda tersebut adalah Neuroticism (N),

  Extraversion (E), Openness (O), Agreeableness (A), dan Conscientiousness (C), atau yang sering disingkat dengan sebutan OCEAN. Masing-masing faktor dalam BFI tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Pervin, dkk, 2005): 1.

  Neuroticism (N). Mengidentifikasi kecenderungan individu akan mengalami kondisi psikologis yang kurang baik, memiliki ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan tidak dapat menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Emotional

  Stability 2.

  Extraversion (E). Mengukur kuantitas dan intensitas interaksi intrapersonal, aktivitas yang dilakukan, kebutuhan akan stimulasi, melakukan hal yang disenangi. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Introversion 3. Openness (O). Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru bagi dirinya sendiri, senang mengetahui sesuatu yang tidak terkenal atau tidak familiar. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Closedness 4. Agreeableness (A). Mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang, mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Antagonism.

  5. Conscientiousness (C). Mengukur tingkat keteraturan seseorang, ketahanan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Berlawanan dengan ketergantungan, dan kecenderungan untuk menjadi malas dan lemah. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Lack of Direction.

  Keterangan lebih lengkap mengenai dimensi bipolar dari kelima faktor kerpribadian Big Five dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Karakteristik Sifat-Sifat Big Five Model Dengan Skor Tinggi dan rendah

  Openness Mengikuti apa yang sudah

  Conscientiousness Tidak bertujuan, tidak

  Teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun.

  Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam, mudah marah, manipulatif.

  Agreeableness

  Berhati lembut, baik, suka menolong, mudah percaya, mudah memaafkan, mudah untuk dimanfaatkan, terus terang.

  ada, kembali ke alam, tertarik hanya pada satu hal, tidak memiliki jiwa seni, kurang analitis.

  Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif, orisinil imajinatif, tidak ketinggalan zaman.

  Skor tinggi Sifat Skor rendah

  Tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, orientasi pada tugas, pemalu, pendiam.

  Extraversion

  Mudah bergaul, aktif, banyak bicara, orientasi pada manusia, optimis, menyenangkan, kasih sayang, bersahabat.

  emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri.

  Neuroticism Tenang , santai, tidak

  Kuatir, cemas, emosional, merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak beralasan.

  dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono, tidak disiplin, keinginan lemah, suka bersenang-senang. Tabel 1 menunjukkan dimensi bipolar dari masing-masing faktor yang ada pada Big Five, yaitu karakterisitik dari individu yang berada pada skor yang tinggi ataupun rendah, sehingga dapat dilihat kecenderungan sifat-sifat individu yang berada pada masing-masing faktor tersebut.

2. Keuniversalan Dimensi Big Five

  Jika ada pertanyaan umum yang fokus pada perbedaan individu dan interaksi manusia, maka untuk menjawab hal ini perlu dilakukan pembuktian terhadap keuniversalan struktur faktor Big Five. Untuk membuktikan keuniversalan faktor

  

Big Five , sejumlah penelitian lintas budaya mengenai trait kepribadian semakin

  meningkat secara dramatis pada dekade sebelumnya, terutama penelitian yang dilakukan secara internasional oleh tim yang berasal dari negara yang berbeda- beda. Hal ini mungkin dapat menjadi awal untuk menjawab pertanyaan tersebut mengenai keuniversalan Big Five (Pervin, dkk, 2005).

  Penelitian lintas budaya sangat penting untuk menjadi acuan dalam menjawab keuniversalan faktor Big Five. Namun, sebelum melihat hasil dari penelitian, satu hal yang perlu diperhatikan yaitu metode yang digunakan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian, yaitu mengenai apakah Big Five bersifat universal, masalah metodologi dapat memberikan suatu perbedaan besar. Salah satu masalahnya meliputi penejermahan. Banyak peneliti yang mempelajari apakah

  

trait kepribadian bersifat universal hanya dengan menerjemahkan kuesioner dari

  satu bahasa asli (seperti bahasa Inggris) menjadi beberapa bahasa yang lain (seperti bahasa Jerman, Jepang, dan lain-lain), tanpa mempertimbangkan terjemahan tersebut dapat bersifat menjebak, dan mungkin juga kurang satu persatu kata dari tiap terjemahan dan pemaknaan yang berbeda juga. Bahasa boleh berbeda dan bahkan kata-kata yang diterjemahkan sama dapat memiliki arti yang berbeda. Contohnya adalah kata “aggressive” dalam bahasa Inggris memiliki makna yang berbeda dengan kata yang sama dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa

  Jerman, kata “aggressive” memiliki arti “hostile (bersifat mengancam)” dibanding “forceful-assertive (ketegasan yang berlebihan) (Pervin, dkk, 2005).

  Sebuah resensi kuantitatif yang dilakukan oleh De Raad, dkk (dalam Pervin, dkk, 2005) membandingkan banyak penelitian Eropa, dan menyimpulkan bahwa faktor yang mirip dengan Big Five muncul dalam banyak bahasa tetapi faktor

  

Openness yang paling sedikit muncul. Hanya sedikit penelitian pada budaya dan

  bahasa non-western yang pernah dilakukan (seperti Cina, Jepang, Filipina) dan faktor Openness tidak begitu terlihat. Penelitian-penelitian yang ada menemukan bahwa tiga faktor yaitu extraversion, agreeableness dan conscientiousness dapat ditemukan di hampir semua bahasa, hanya dua faktor lain yaitu neuroticism dan

  openness yang kurang reliabel secara lintas budaya (Saucier, Hampson, &

  Goldberg dalam Pervin, dkk, 2005). Penelitian yang ada di Indonesia, yaitu yang dilakukan oleh Mastuti (2005) menemukan bahwa terdapat satu faktor tambahan ketika dilakukan analisis faktor pada mahasiswa suku Jawa. Selain itu, penelitian lain juga dilakukan oleh Mariyanti (2012) menemukan lima faktor yang ada pada

  

Big Five tersebut ketika diberikan pada sampel yang lebih umum, dan penelitian

  Samosir (2013) menemukan bahwa terdapat dua faktor tambahan ketika dilakukan analisis faktor terhadap suku Batak Toba. Memandang perbedaan hasil tersebut, maka sangat perlu dilakukan pengujian terhadap aitem-aitem yang ada pada Big Five Inventory .

3. Big Five Inventory (BFI)

  Berbicara mengenai kebutuhan akan sebuah instrumen pendek untuk mengukur komponen khusus dari Big Five, maka John, Donahue dan Kentle (dalam John & Srivastava, 1999) mengkonstrak Big Five Inventory (BFI). Empat puluh empat aitem BFI dikembangkan merepresentasikan definisi asli yang dikembangkan berdasarkan penilaian ahli dan kemudian dilakukan pembuktian dengan analisis faktor dan pembuktian terhadap penilaian kepribadian oleh pengamat. Tujuan dari pembuatan alat ukur singkat ini adalah agar tercipta alat ukur yang efisien dan fleksibel dari kelima faktor tersebut. Terdapat juga tokoh yang menjelaskan mengenai BFI tersebut, yaitu Burisch (dalam John & Srivastava, 1999) mengatakan bahwa skala yang singkat tidak hanya mempersingkat waktu tes, tetapi juga menghindari kebosanan dan kelelahan yang dialami subjek, subjek yang tidak memberikan respon yang sesungguhnya jika tes terlihat membutuhkan waktu yang panjang. BFI tidak menggunakan kata sifat tunggal sebagai aitem karena aitem seperti itu direspon dengan tidak konsisten dibandingkan ketika aitem ditambahkan definisi ataupun kalimat tertentu (Goldberg & Kilkowski, 1985 dalam John & Srivastava, 1999). BFI menggunakan frase yang singkat didasarkan kata sifat yang diketahui merepresentasikan kelima faktor Big Five (John, 1989, 1990 dalam John & Srivastava, 1999). Kata sifat yang ada pada faktor Big Five disajikan sebagai inti dari aitem dimana informasi yang jelas, luas, dan kontekstual menjadi tambahan.

  Contohnya, kata sifat dari faktor ‘Openness’ merupakan kata sifat yang original kemudian menjadi aitem BFI muncul dengan definisi ‘berhubungan dengan ide baru’ dan kata sifat untuk faktor ‘Conscientiousness disajikan sebagai dasar untuk aitem dengan tambahan ‘bertahan hingga tugas diselesaikan’. Aitem-aitem yang ada dalam BFI memberikan keuntungan dengan kata sifat (ringkas dan sederhana) yaitu dapat mencegah ambiguitas atau arti ganda (multiple meaning).

  Ketika dilakukan pengujian pada sampel yang berasal dari negara Kanada dan Amerika Serikat, diperoleh reliabilitas alpha skala BFI berkisar antara 0.75 sampai 0.90 dan rata-rata reliabilitas tiap faktor diatas 0.80; reliabilitas tes retesnya dalam rentang waktu tiga bulan berada antara 0.80 sampai 0.85 dimana memiliki mean sebesar 0.80 (John & Srivastava, 1999). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Mariyanti (2012) diperoleh reliabilitas alpha skala sebesar 0.70, yang berarti bahwa BFI yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia memiliki reliabilitas yang baik.

  BFI yang digunakan dalam penelitian ini adalah BFI yang telah diadaptasi kedalam versi bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Mariyanti (2012).

  Berdasarkan teori tersebut ditemukan bahwa terjadi perbedaan indikator dari kelima faktor yang menyusun alat ukur BFI versi adaptasi Bahasa Indonesia, yaitu (Mariyanti, 2012): 1.

  Openness (O) adalah faktor yang melihat keterbukaan individu untuk mencari tantangan dan hal-hal baru. Seseorang dikatakan terbuka terhadap pengalaman (open to experience) ketika memiliki karakteristik seperti cerdas dan suka berpikir, memiliki ide-ide inovatif, percaya diri, mampu mempertimbangkan dan membuat suatu rencana dan menjalankannya serta memiliki rasa ingin tahu yang besar.

  2. Neuroticism (N) adalah faktor yang mengidentifikasi individu yang rentan terhadap distress psikologis, yaitu mudah mengalami rasa sedih, takut dan cemas berlebihan, memiliki dorongan berlebihan, tidak bisa menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada. Selain itu juga terlihat dalam bentuk perilaku mudah tersinggung (irritability) dan pemarah (hostile). Seseorang dikatakan neurotis ketika individu tersebut mudah merasa tertekan dan sedih, tidak mampu menghadapi situasi stress dengan baik, pencemas, suasana hati mudah berubah, labil, pemalu dan perhatiannya mudah terganggu.

  3. Conscientiousness (C) adalah faktor yang melihat kesadaran diri, motivasi dan kemampuan mengorganisasikan sesuatu dalam mencapai suatu tujuan.

  Seseorang dikategorikan dalam faktor Conscientiousness ketika individu tersebut memiliki karakteristik seperti teliti, terorganisir, tidak pemalas, menyukai suatu pekerjaan yang rutin serta mampu bertahan dan mengerjakan suatu tugas hingga selesai.

  4. Extraversion (E) adalah faktor yang melihat aktivitas yang dilakukan sehari- hari dan kemampuan melakukan hubungan interpersonal individu. Seseorang dikatakan extrovert apabila individu tersebut suka mengobrol, tidak pendiam, santai, mudah bergaul dan senang bekerjasama dengan orang lain.

  5. Agreeableness (A) adalah faktor yang melihat kualitas trust dan seni individu.

  Seseorang dikategorikan dalam faktor Agreeableness ketika individu tersebut memiliki karakteristik seperti senang membantu dan tidak egois, mudah memaafkan dan mempercayai orang lain, dan memiliki apresiasi terhadap seni, musik atau sastra.

B. Differential Item Functioning (DIF)

1. Definisi

  DIF adalah istilah teknis dalam ilmu pengukuran. DIF merupakan keadaan yang menyatakan bahwa fakta-fakta empiris yang telah dianalisis menggunakan metodologi yang terstandarisasi menunjukkan bahwa sebuah aitem tes bekerja secara berbeda untuk dua kelompok atau lebih. Semua prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi DIF perlu mempertimbangkan variasi kemampuan kelompok (Osterlind & Everson, 2009 dalam Osterlind, 2010). DIF juga menjelaskan performansi aitem secara individual dan tidak dihubungkan dengan tes secara keseluruhan (Osterlind, 2010). Selain definisi diatas, Thiesse, Steinberg & Wainer (dalam Reeve, 2002) menyatakan bahwa DIF merupakan kondisi sebuah aitem yang berfungsi secara berbeda untuk responden dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dengan kata lain, responden dengan kesamaan pada level trait laten, tetapi berasal dari populasi yang berbeda memiliki kemungkinan berbeda dalam merespon sebuah aitem.

  Menurut kajian psikometri, awalnya diskusi mengenai DIF berada pada tataran emosional dan politik yaitu mengenai tes yang dianggap adil dan konsekuensi dari penggunaan tes terhadap pengambilan keputusan, kemudian diskusi terkini yang dilakukan oleh Camilli (dalam Osterlind, 2010) mengenai tes yang adil dipandang dari perspektif yang lebih luas, yaitu meliputi dampak dan penggunaan tes yang bersifat merugikan. Banyak ahli psikometri yang menguji masalah-masalah praktis pengujian DIF memfokuskan usaha-usaha mereka pada pengidentifikasian secara akurat terhadap fenomena tersebut (Osterlind, 2010).

  Istilah DIF sering dianggap sama dengan bias aitem . Beberapa penelitian menyatakan bahwa istilah DIF dan bias aitem sering dipertukarkan. Sebaliknya, terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa DIF dan bias aitem merupakan dua konsep yang berbeda.

  Penelitian yang dilakukan oleh Ellis & Raju (dalam Acar, 2011) menggunakan istilah DIF yang sering dipertukarkan dengan bias aitem. Pada akhir tahun 1980an, istilah DIF berubah posisi dari istilah ‘bias aitem’. DIF mengungkap perbedaan dalam kesempatan menjawab aitem dengan benar dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan tiap kelompok yang telah diukur disesuaikan dengan aitem (Embretson & Reise, 2000; Lord, 1980 dalam Acar, 2011). Dalam studi mengenai DIF, diperlukan perbandingan performansi pada aitem tes suatu kelompok pada tingkat kemampuan yang sama tetapi memiliki karakteristik demografis yang berbeda, seperti pria-wanita atau Asia-Eropa (Greer, 2004 dalam Acar, 2011).

  Sebaliknya, Camilli, dkk (dalam Zumbo, 1999) menjelaskan bahwa konsep mengenai DIF dan Bias merupakan dua hal yang berbeda. Bias aitem terjadi ketika individu dari satu kelompok cenderung untuk menjawab aitem dengan benar (atau menyetujui pernyataan dalam aitem) dibandingkan peserta individu dari kelompok lainnya, karena beberapa karakteristik dari aitem yang dipakai dalam mengukur atau situasi pengukuran yang tidak relevan dengan tujuan tes. Sedangkan DIF merupakan sebuah kondisi yang terjadi ketika pengujian terhadap dua kelompok menunjukkan kemungkinan untuk menyetujui atau tidak menyetujui aitem yang berbeda,karena faktor-faktor seperti ras, budaya, kabangsaan, daerah demografis, dan lain-lain, setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan (Camilli & Shepard, 1994; Clauser & Mazor, 1998 dalam Zumbo, 1999). Dalam penelitian ini menggunakan konsep DIF yang sama dengan bias aitem. Hal ini dikarenakan DIF merupakan bagian dari bias, yaitu dua kelompok berasal dari populasi yang berbeda memiliki kesempatan yang berbeda dalam menyetujui aitem setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa karakteristik seperti budaya, demografis, ras, dan lain- lain.

2. Jenis-jenis DIF

  Penelitian mengenai DIF menguji dua kelompok, yaitu kelompok Referensi (Reference Group) dan kelompok Fokal (Focal Group). Dan hal ini lebih umum dikenal dengan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dalam sebuah penelitian, seorang individu dapat termasuk ke dalam kelompok referensi, dan sebaliknya dapat pula termasuk dalam kelompok fokal untuk penelitian lain.

  Contohnya, wanita kulit putih mungkin termasuk kedalam kelompok Referensi untuk satu analisis dan masuk kedalam kelompok Fokal untuk hal yang lain (Camilli & Shepard, 1994). Dalam teori respon aitem (Item Response Theory), DIF terbagi atas dua kategori, yaitu Uniform atau Consistent DIF dan Non-

  uniform atau inconsistent DIF. Pembagian kelompok tersebut dilihat dari Item

characteristic curves (ICCs), yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara

  kemungkinan jawaban benar terhadap suatu aitem dengan kemampuan individu (Camilli & Shepard, 1994):

  1. Uniform atau Consistent DIF, terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk keseluruhan aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari Item characteristic curves (ICCs) yang tidak berpotongan atau bersinggungan pada semua aitem skala kemampuan yang disajikan pada figure 1 berikut.

  Figure 1. Dua ICC yang tidak bersinggungan 2.

  Non-uniform atau inconsistent DIF: terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk beberapa aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan. Oleh karena itu, DIF dapat memberikan keseimbangan ataupun tidak pada masing-masing kelompok untuk ditingkat tertentu. Hal ini dapat dilihat dari Item characteristic curves (ICCs) yang berpotongan atau bersinggungan pada beberapa aitem skala kemampuan disajikan pada figure 2 berikut. Figure 2. Dua ICC yang bersinggungan Kajian Psikometri menjelaskan bahwa DIF memiliki hubungan dengan validitas. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan dalam penelitian Salehi &

  Tayebi (2012) bahwa konsep mengenai proses validasi berhubungan secara umum dengan pembuatan tes dan juga dengan konsep keadilan tes dan bias tes, serta sumber-sumber lain yang berhubungan dengan hal tersebut (seperti gender, hasil penelitian, usia, kebangsaan, latar belakang pengetahuan/pendidikan, dan lain- lain) dan umumnya dapat memberikan ancaman terhadap validitas tes (Salehi & Tayebi, 2012). Ketika membahas mengenai validitas dalam pengukuran, maka sangat penting untuk menilai secara utuh bahwa validitas merupakan sebuah konsep ilmiah dan merupakan hal yang penting dalam ilmu pengukuran. Menurut American Educational Research Association, dkk (1999 dalam Osterlind, 2010), validitas merupakan hal yang menjadi pertimbangan utama ketika hendak mengembangkan dan mengevaluasi suatu tes (Osterlind, 2010).

  Selain validitas, karakterisitk lain yang perlu diperhatikan dalam sebuah alat ukur adalah reliabilitas. Reliabilitas hasil pengukuran memiliki hubungan dengan kesalahan (error), yaitu random error, yaitu kesalahan yang terjadi karena adanya perbedaan antara skor yang sebenarnya (true score) dan skor yang diamati (observed score) pada individu yang dapat berpengaruh kepada hasil kelompok. Hubungan antara reliabilitas dengan DIF adalah bahwa DIF terjadi karena adanya kesalahan (error) dalam pengukuran, yaitu kesalahan sistematis (systematic

  error ), yaitu kesalahan yang melibatkan respon kelompok yang dapat

  mempengaruhi hasil pengukuran. Oleh karena itu, munculnya kesalahan dalam pengukuran dapat menghasilkan reliabilitas yang rendah (Osterlind, 2010). Jadi, aitem yang mengandung DIF bisa dikatakan sebagai aitem yang memiliki kesalahan (error) karena bersifat tidak adil untuk dua kelompok yang berasal dari populasi yang berbeda dan dapat mengakibatkan pengukuran menjadi tidak reliabel.

3. Dampak DIF

  Validitas pengukuran merupakan salah satu masalah utama yang dipengaruhi oleh bias pengukuran. Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu keobjektifan suatu aplikasi pengukuran adalah diperolehnya informasi mengenai individu dan aitem-aitem tes. Oleh karena itu, maka instrumen dan hasil pengukuran yang valid dan akurat sangat dibutuhkan untuk menghasilkan objektivitas. Namun, salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh yang negatif pada validitas adalah bias aitem yang dapat memberikan hasil yang tidak objektif. Selain itu, kehadiran bias aitem pada tes dapat melemahkan reliabilitas hasil yang berpengaruh terhadap keputusan yang dibuat (Acar, 2011).

  Selanjutnya, Thiesse, Steinberg, & Wainer (dalam Reeve, 2002) menyatakan bahwa aitem yang terdeteksi DIF merupakan sebuah ancaman yang serius terhadap validitas sebuah instrumen yang mengukur level trait kelompok ataupun populasi yang berbeda. Instrumen yang berisi aitem-aitem yang terdeteksi DIF mungkin dapat mengurangi validitas untuk perbandingan antarkelompok, karena skor mereka mungkin menunjukkan atribut lain dibandingkan skala yang mengukur apa yang seharusnya diukur. Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2010) dijelaskan bahwa bias aitem juga merupakan ancaman terhadap validitas pengukuran. Bila aitem tes berfungsi secara berbeda pada dua kelompok peserta, mungkin aitem tersebut mengukur trait yang berbeda pada kelompok tersebut. Hal ini akan menyebabkan kesimpulan yang salah mengenai kemampuan tes untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. DIF merupakan titik awal studi tentang bias aitem.

  Salehi & Tayebi (2012) dalam penelitiannya menjelaskan mengenai konsep validitas yaitu berperan dalam hal bahasa yang digunakan dalam tes dan pengukuran. Proses validasi kemudian dikaitkan dengan usaha untuk proses membuat tes yang bisa digunakan secara umum, yaitu tes-tes keahlian bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris. Kemudian dihubungkan dengan konsep keadilan tes dan bias tes dan sumber-sumber penyebabnya (seperti gender, hasil penelitian, usia, kebangsaan, latar belakang pengetahuan/pendidikan, dan lain-lain) dan kontribusi serta mengarah kepada validitas tes pada umumnya dan bahasa yang digunakan. Lebih lagi, dalam penelitian terkini, telah dilakukan peninjauan terhadap pendekatan-pendekatan yang berdeda-beda untuk meneliti validitas tes.

  DIF, diantara metode lain untuk meneliti validitas tes dengan deskripsi dan penjelasan serta kelebihan dan kelemahan masing-masing metode dan pendekatan berbeda menyimpulkan bahwa regresi logisitik adalah salah satu diantara metode terbaik saat ini (Salehi & Tayebi, 2012).

4. Analisis DIF

  Menurut Gierl, Khalia, & Baughton (dalam Acar, 2011), DIF secara luas digunakan untuk menyelidiki bias dalam pengukuran. Terdapat beberapa metode untuk menentukan DIF. Beberapa contoh metode yang didasarkan pada CTT adalah teknik Mantel Haenzel (M-H) yang sebagian besar sering digunakan, regresi logistik (LR) dan simultaneous bias test (subtest). Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan untuk menganalisis DIF adalah menggunakan Regresi logistik (logistic regression), yaitu model regresi logistik ordinal (ordinal logistic

  

regression ). Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode terkini yang

  tersedia untuk menginvestigasi DIF aitem-aitem yang biasanya ditemukan dalam pengukuran kepribadian dan psikologi sosial. Alasan memilih regresi logistik ordinal antara lain (Miller & Spray dalam Zumbo, 1999): (a)

  Penggunaan regresi logistik ordinal memiliki keuntungan yaitu dapat digunakan untuk model aitem bineri dan ordinal (b)

  Model statistik yang digunakan untuk aitem bineri dan ordinal ini sebaiknya memudahkan proses implementasi ketika analisis DIF belum biasa digunakan

  (c) Model regresi logistik ordinal diperluas oleh Zumbo-Thomas, yaitu memiliki uji statistik dan pengukuran yang cocok mengenai effect size, tidak seperti metode yang lainnya.

  Regresi logistik ordinal ini dapat diinterpretasi seperti regresi linear yang menjadi variabel prediktor terhadap sebuah variabel random yang yang tidak

  • dapat diobservasi secara terus menerus, Y . persamaan ini dapat ditunjukkan sebagai berikut:

  Y* = b + b

  

1 TOT + b +

  2 GENDER + b

  3 TOT * GENDER i ε ….........(1) i

  2

  untuk model regresi logistik didistribusi dengan mean zero dan varian Dari

  ε i � .

  3

  beberapa kondisi ini, kriteria aitem mengandung DIF adalah jika (a) nilai p ≤ 0.01,

  2

  dan (b) R ≥ 0.13 (Zumbo, 1999; hal.23 & 27).

C. Etnis

1. Batak Toba

  Etnis Batak Toba dikenal dengan penggunaan marga pada nama, sebagai penanda asal usul keluarga seseorang. Simanjuntak (2009) menyatakan bahwa menurut pandangan orang Batak toba, kebudayaannya memiliki sistem nilai budaya yang sangat penting, yang menjadi tujuan dan pandangan hidup mereka secara turun-temurun yakni kekayaan (hamoraon), keturunan (hagabeon) dan penghornatan (hasangapon). Yang dimaksud dengan kekayaan ialah harta milik berwujud materi maupun non-materi yang diperoleh melalui usaha atau melalui warisan. Keturunan juga termasuk kedalam kategori kekayaan. Banyak keturunan adalah mempunyai banyak anak, cucu, cicit, dan keturunan-keturunannya, termasuk pemilikan tanaman dan ternak. Kehormatan merupakan pengakuan dan penghormatan orang lain atas wibawa dan martabat seseorang. Hubungan sosial diatur oleh sistem sosial yang didasarkan pada marga. Hubungan sosial antarmarga diatur menurut dasar struktur sosial tungku berkaki tiga (Dalihan Na Tolu ) (Simanjuntak, 2009).

a) Nilai Budaya Batak

  Menurut Harahap & Siahaan (1987), nilai budaya Batak yang mencakup semua aspek kehidupan orang Batak dikelompokkan dalam sembilan nilai, yang disebut sebagai budaya utama, yaitu antara lain: 1.

  Kekerabatan, yang mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang atas hubungan darah, kerukunan, dan segala yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas marga, dan lain-lain.

  2. Religi, mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.

  3. Hagabeon, artinya banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan ialah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra tujuh belas orang dan putri enam belas orang. Sumber daya manusia bagi orang Batak merupakan hal sangat penting.

  4. Hasangapon, artinya kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.

5. Hamoraon, artinya kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak untuk mencari harta benda yang banyak.

  6. Hamajuon, artinya kemajuan, yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya ini sangat kuat mendorong orang Batak untuk bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air.

  7. Hukum, Patik dohot uhum, artinya aturan dan hukum. Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak. Budaya menegakkan kebenaran, terlibat dalam dunia hukum, merupakan dunia orang Batak.

  8. Pengayoman dalam kehidupan sosiokultural orang Batak kurang kuat dibandingkan nilai-nilai yang disebutkan sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran orang yang mengayomi, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.

  9. Konflik dalam kehidupan orang Batak Toba cenderung tinggi, dan hal ini menyagkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain

  hamoraon yang mau ataupun tidak merupakan sumber konflik yang abadi.

b) Hubungan Kontroversial dan Inkonsistensi kepada Suku Bangsa Lain

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2009) ditemukan bahwa orang Batak Toba selalu menaruh rasa hormat dan percaya orang lain.

  Berikut akan dijelaskan mengenai gambaran hubungan kontroversial dan inkonsistensi yang ditunjukkan oleh orang Batak terhadap suku bangsa lain yaitu dapat disusun berdasarkan peringkat. Hubungan kontroversi tersebut ditunjukkan dengan sikap antara yang paling disenangi dengan yang tidak disenangi. Secara logis, seharusnya orang yang menghormati orang lain hendaknya memperlakukan orang tersebut sebagai saudara serta suka memberi pertolongan. Demikian juga kepada orang yang dipercaya seharusnya menganggap dan memperlakukannya sebagai saudara, menolong dan mau saling mengalah. Sedangkan kepada orang lain yang tidak dipercaya memang tidak perlu untuk mengalah. Hal ini dapat ditunjukkan pada tabel berikut (Simanjuntak, 2009). Tabel 2. Hubungan dengan Suku Bangsa Lain

  Nilai n=500 Rank

  A B C D E n % n % n % n % n %

  218 43,6 72 14,4 22 4,4 110 22,0 78 15,6

  500

  107 21,4 110 22,0 62 12,4 162 32,4 59 11,8

  500

  98 19,6 102 20,4 108 21,6 107 21,4 85 17,0

  500

  45 9,0 116 23,2 164 32,8 80 16,0 95 19,0

  500

  23 6,3 100 20,0 144 28,8 41 8,2 183 36,6

  500

  500 100

  500 100 500 100 500 100 500 100 Keterangan: A.

  Hormat, B. Sebagai Saudara, C. Menolong, D. Mempercayai, E. Mengalah Tabel 2 menggambarkan sikap yang ditunjukkan oleh orang Batak Toba terhadap orang lain, yaitu sikap yang tidak termasuk dalam hubungan Dalihan Na

  

Tolu , yaitu rasa hormat, sebagai saudara, menolong, mempercayai,dan mengalah

  yang diurutkan berdasarkan tingkatan atau peringkat yang ditentukan mulai dari hal yang disenangi sampai yang tidak disenangi. Apabila disusun berdasarkan peringkat yang diperoleh dari besarnya persentase lebih besar dari 30%, kedua indikasi sikap, yaitu rasa hormat dan mempercayai orang lain berada pada peringkat 1 dan 2. Sementara yang paling tidak disenangi ialah mengalah (peringkat 5) dan selalu menolong serta memperlakukan orang lain sebagai saudara, keduanya berada pada peringkat 4, sedangkan untuk peringkat 3 tidak ada (Simanjuntak, 2009 hal 184-185).

c) Kepribadian Batak Toba

  Dalihan Na Tolu adalah sistem nilai dan sekaligus sebagai sistem dari

  peraturan-peraturan mengenai nilai-nilai tersebut. Sebagai suatu sistem yang bertumpu pada tiga aktor, yaitu hulahula/mora (orang yang dihormati) - Dongan

  

Sabutuha/Kahanggi (satu marga) - Boru/Anak Boru (anak perempuan); sistem ini

  menanamkan kepribadian yang mandiri, sangat menghargai keterbukaan, sadar diri dan sangat menghargai desentralisasi (Harahap & Siahaan, 1987).

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sianipar (2008), yaitu mengenai gambaran kepribadian suku Batak Toba di Pematangsiantar dengan menggunakan Big Five Inventory (BFI), menunjukkan bahwa dimensi Neuroticism adalah dimensi yang yang paling dominan pada suku Batak Toba, kemudian diikuti oleh dimensi extraversion dan openness, sedangkan dimensi yang kurang dominan adalah agreeableness dan conscientiousness.

2. Jawa

  Etnis Jawa memiliki nilai-nilai yang membentuk pribadi mereka. Terdapat dua gambaran mengenai kebiasaan-kebiasaan yang ditunjukkan oleh orang Jawa yang sering bertolak belakang yang dijelaskan sebagai berikut. a.

  Kebiasaan Ingin Menang Sendiri Setelah dicermati, ternyata tidak semua budaya orang Jawa itu baik. Ada juga budaya orang Jawa yang kalau dibiarkan akan berbahaya. Artinya akan merugikan orang lain dan orang Jawa itu sendiri. Kebiasaan orang Jawa yang negatif itu ternyata telah mendarah daging dan sulit dilenyapkan begitu saja.

  Beberapa kebiasaan buruk yang perlu mendapat perhatian oleh pemerhati budaya, terutama yang mendorong untuk hidup menang sendiri, antara lain sebagai berikut (Endraswara, 2010): 1)

  Jail methaki,. artinya keinginan untuk mencelakakan pihak lain karena ingin menang sendiri. Orang Jawa yang berwatak demikian, segalanya ingin bagian yang lebih banyak. Mereka ingin lebih berwibawa, berkuasa, lebih kaya, dan selalu menang dalam segala hal. Dalam diri orang jail

  methakil, selalu dibayang-bayangi oleh rasa khawatir jika orang lain mengungguli dirinya.

  2) Merkengkong, artinya orang yang merasa terganggu, rewel, dan sulit dipegang hatinya. Tegasnya orang Jawa yang merkengkong, hatinya bagaikan besi tua, sulit diingatkan orang lain meskipun salah. Oleh karena itu, seringkali akan menghalalkan berbagai cara untuk merobohkan dan menaklukkan kebenaran.

  3) Kikrik, adalah watak orang Jawa yang sangat sulit. Biasanya orang yang berwatak kikrik, sulit dikendalikan pihak lain. Kikrik biasanya muncul dalam budaya Jawa yang tersubordinasi. Hubungan antara atasan dan bawahan, seringkali muncul watak semacam ini. Watak kikrik selalu diliputi rasa dumeh (merasa dirinya lebih). Implikasi watak kikrik, disamping kata-kata kasar (marah), misuh (menghujat), juga seringkali berupa tindakan keras.

  4) Ngrasani. Budaya Ngrasani, tampaknya telah mengarah kedalam pribadi orang Jawa semu. Budaya negatif ini, lahir atas dorongan budaya semu, karena orang Jawa memang tak suka menyatakan sesuatu secara terbuka (blak-blakan). Oleh karena segala sesuatu selalu dibungkus dengan rasa, tibalah pilihan yang “tepat” adalah ngrasani (membicarakan orang lain) secara sembunyi-sembunyi.

  b.

  Kebiasaan Yang Menjatuhkan Harga Diri 1)

  Trocoh, artinya berhubungan dengan penggunaan kata-kata yang sangat jelek. Kata-kata atau bahasa adalah simbol kepribadian. Jika orang Jawa menggunakan bahasa sesuka hati, yaitu memanfaatkan kata kasar sering dinamakan trocoh. Kata-kata yang tergolong trocoh biasanya tidak cocok diucapkan pada semua tempat. 2)

  Nyelekuthis, adalah tradisi budaya Jawa yang sangat rendah. Watak yang satu ini akan menurunkan harga diri. Misalkan saja, ada orang yang memakai sepatu semiran, berdasi, memakai jas, tetapi minta rokok dan jajan di pinggir jalan. Orang nyelekuthis tidak dapat menyesuaikan diri, tidak dapat menempatkan diri secara tepat.

  c.

  Dunia Damai

  Keistimewaan orang Jawa adalah cita-cita luhur tentang budaya damai. Kedamaian akan menyebabkan suasana tenang dan aman tenteram. Prinsip suka damai, tidak sekedar falsafah sosial Jawa, melainkan merupakan manifestasi batin yang luar biasa. Prinsip yang dianut dalam mencapai kedamaian adalah konsep rukun. Rukun adalah kondisi dimana keseimbangan sosial tercapai. Kerukunan hidup terjadi karena masing-masing individu terjalin saling menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa kekeluargaan, gotong- royong, dan konsep tepa selira selalu dikedepankan dalam kehidupannya (Endraswara, 2010).

  Prinsip hidup dunia damai yang dipegang orang Jawa, yakni adanya ungkapan

  

rukun agawe santosa . Artinya, kerukunan akan menyebabkan seseorang kuat dan

  sentosa. Hidup rukun digambarkan kedalam perangkat merial berupa sapu lidi (Endraswara, 2010).

  d.

  Toleransi Orang Jawa Telah diakui oleh berbagai pihak, orang Jawa yang masih mengenang dan menghayati peradaban lama yang sangat dikagumi oleh orang asing. Anderson

  (dalam Endraswara, 2010) yang telah menjalani Asia Tenggara, terutama ke Jawa, telah mengakui sikap savior vivre (lapang dada) orang Jawa. Sikap inilah yang disebut sebagai “toleransi” orang Jawa. Toleransi menjadi pokok (induk) sikap mental orang Jawa. Toleransi boleh dikatakan sebagai reputasi dan “rapor hijau” bagi orang Jawa sementara ini.

  Orang Jawa sekarang telah bersikap toleran dan egaliter, artinya tidak membeda-bedakan kesukuan dan kebangsaan. Hidup orang Jawa yang toleran itu telah menciptakan dunia damai di lingkungan masyarakat Jawa. Akibatnya, konflik-konflik sosial yang bersifat horizontal dapat dicegah. Kebatinan merupakan akar teologi Jawa. Kebatinan menjadi sentral kerpibadian Jawa yang tangguh. Atas dasar ini pula, keistimewaan orang Jawa semakin nampak. Melalui kebatinan, toleransi orang Jawa semakin kuat. Karena, mereka tidak lagi mempersoalkan hal-hal yang bersifat material atau lahiriah. Hidup adalah dunia batin yang sangat spiritual (Endraswara, 2010).

  e.

  Kepribadian Jawa Pribadi orang Jawa memang unik. Umumnya orang Jawa lebih tertutup dalam segala hal. Hal ini ditunjukkan dengan pakaian yang tertutup yang digunakan oleh putri, yaitu nyamping (kain) dan kebaya, sedangkan laki-laki menggunakan surjan dan kain. Pakaian yang serba panjang itu menjadi ciri bahwa orang Jawa memiliki kepribadian yang tertutup. Namun, sikap ini bukan berarti bahwa orang Jawa tidak mau membuka diri. Orang Jawa mau terbuka (tinarbuka) hanya pada waktu dan tempat-tempat tertentu (Endraswara, 2010).

  Orang Jawa selalu menyampaikan segala hal dengan tertutup, halus, dan bermakna. Perilaku bahasa cukup lemah lembut, terlebih lagi di Jawa mengenal ragam karma alus dan ngoko (kasar). Mereka menggunakan ragam halus untuk keperluan tertentu dan hal ini sering ditunjukkan pada saat melakukan aktivitas publik, yaitu selalu rendah diri (anoraga) dalam hal bergaul dengan sesama. Sikap mereka yang seperti ini bertujuan untuk membahagiakan orang lain. Kepribadian Jawa yang hakiki seperti itu sangat jelas tampak dalam dunia wayang, yaitu wayang dijadikan sebagai sebuah sosok baik dan buruk. Watak istimewa dan hina selalu tampil dalam wayang. Oleh karena itu, dunia wayang adalah dunia manusia Jawa, dan orang jawa selalu mengidentikkan dirinya dengan wayang (Endraswara, 2010).

  Disamping watak baik, terdapat juga watak jelek. Kedua watak ini selalu berlawanan dan tarik-menarik yang sering ditunjukkan dalam wayang. Hal ini merupakan simbol kepribadian orang Jawa yang melukiskan sifat kemunafikan antara bibir dan hati, dan antara kata dan perbuatan. Selain itu, hati teguh adalah keprbadian Jawa yang luhur (Endraswara, 2010).

D. DIF Etnis pada Big Five Inventory

  Penelitian mengenai DIF mencakup dua kelompok yang diuji, yaitu Kelompok Referensi (Reference Group) dan Kelompok Fokal (Focal Group).

  Bagaimanapun, terdapat banyak kelompok Referensi dan Fokal, dan seorang individu mungkin terlibat pada satu atau lebih. Contohnya, wanita kulit putih mungkin termasuk kedalam kelompok referensi untuk satu analisis dan masuk kedalam kelompok fokal untuk hal yang lain (Camilli & Shepard, 1994). Dalam penelitian ini, pengelompokan kedua etnis tersebut menjadi kelompok Referensi atau kelompok Fokal ditentukan berdasarkan masing-masing faktor yang ada dalam Big Five Inventory, antara lain:

  Tabel 3. Pengelompokan Etnis ke dalam kelompok Referensi dan Fokal

  Faktor/Kelompok Referensi Fokal Openness Batak Toba Jawa Extraversion Batak Toba Jawa

  Agreeableness Jawa Batak Toba Conscientiousness Jawa Batak Toba Neuroticism Batak Toba Jawa Pengelompokan ini didasarkan pada kepribadian dari kedua etnis, yaitu etnis Batak yang sangat menghargai keterbukaan, sadar diri dan sangat desentralisasi dan menanamkan kepribadian yang mandiri, maka dipandang sebagai kelompok Referensi pada faktor Openness, Extraversion, dan Neuroticism yang memiliki kecenderungan menyetujui aitem pernyataan mendukung (favorable) yang ada pada ketiga faktor tersebut, dan menjadi kelompok Fokal pada faktor

  

Agreeableness dan Conscientiousness. Hal in didukung oleh penelitian Sianipar

  (2008), yaitu mengenai gambaran kepribadian suku Batak Toba di Pematangsiantar dengan menggunakan Big Five Inventory (BFI), menunjukkan bahwa dimensi Neuroticism adalah dimensi yang yang paling dominan pada suku Batak Toba, kemudian diikuti oleh dimensi extraversion dan openness, sedangkan dimensi yang kurang dominan adalah agreeableness dan

  

conscientiousness . Sedangkan etnis Jawa sebagai suku bangsa yang halus dan

  sopan, dan mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang, maka dipandang menjadi kelompok Referensi pada faktor

  

Agreeableness dan Conscientiousness yang memiliki kecenderungan untuk

  menyetujui aitem pernyataan mendukung (favorable) yang ada pada kedua faktor tersebut, dan menjadi kelompok Fokal pada faktor Openness, Extraversion, dan

  Neuroticism .