Differential Item Functioning (DIF) Etnis pada Big Five Inventory (BFI) versi Adaptasi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

(1)

DIFFERENTIAL ITEM FUNCTIONING

(DIF) ETNIS

PADA BIG FIVE INVENTORY (BFI) VERSI ADAPTASI

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh : HITLER MANIK

081301097

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Differential Item Functioning (DIF) Etnis pada Big Five Inventory (BFI) versi Adaptasi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2013

Hitler Manik 081301097


(3)

Differential Item Functioning (DIF) Etnis pada Big Five Inventory (BFI) versi Adaptasi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Hitler Manik1 dan Etty Rahmawati2

ABSTRAK

Big Five Inventory (BFI) merupakan salah satu tes kepribadian yang telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan alat tes BFI versi Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah alat tes kepribadian BFI merupakan alat tes yang adil jika diterapkan pada etnis Batak Toba dan etnis Jawa. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pengujian terhadap aitem-aitem yang ada pada BFI. Dalam kajian ilmu psikologi, khususnya kajian psikometri disebut uji Keberfungsian aitem yang berbeda (Differential Item Functioning). Subjek dalam penelitian ini adalah orang dewasa berusia 18-40 tahun berjumlah 327 orang, terdiri dari 172 orang etnis Batak Toba dan 155 orang etnis Jawa. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 10 aitem BFI versi Indonesia terdeteksi DIF Etnis. Hasil analisis reliabilitas skor komposit pada etnis Batak Toba sebesar 0.74 dan Jawa sebesar 0.77.

Kata Kunci: Big Five Inventory (BFI), Differential Item Functioning (DIF), etnis Batak Toba, etnis Jawa


(4)

Differential Item Functioning (DIF) Etnis pada Big Five Inventory (BFI) versi Adaptasi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Hitler Manik1 and Etty Rahmawati2

ABSTRACT

Big Five Inventory (BFI) is one of personality test had been adapted into Indonesia language. More research had been developed to adapt the Indonesian Big Five Inventory. The purpose of this research is to check whether BFI’s personality test is fair if apply to ethnic of Batak Toba and Java. Therefore, examination of BFI’s items is needed. In psychology, especially in psychometric study, it is called Differential Item Functioning (DIF). Subject in this research is 327 people around 18 to 40 years old, including 172 people from ethnic Batak Toba and 155 people from ethnic Java. The result of this research indicates that DIF is detected in 10 BFI’s item. The result of reliability analysis composite score for ethnic Batak Toba is 0.74 and ethnic Java is 0.77.

Keywords: Big Five Inventory (BFI), Differential Item Functioning (DIF), ethnic Batak Toba, ethnic Java


(5)

KATA PENGANTAR

Segala Pujian dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah Tritunggal yang selalu memberikan kekuatan dan telah melimpahkan hikmat dan karunia-Nya yang begitu luar biasa, sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua, abang, kakak, adik-adik dan seluruh keluarga yang selalu mendukung saya baik dalam doa maupun dana untuk penyelesaian penelitian ini

2. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

3. Bu Etty Rahmawati, M.Si selaku Dosen pembimbing penelitian peneliti di Fakultas Psikologi Sumatera utara yang terus mendukung saya dalam menyelesaikan penelitian ini.

4. Dosen-dosen yang ada di Departemen Eksperimen (Bu Lili, Bu Ika, Kak Dina, Kak Rahmi, dan Kak Masitah) yang turut mendukung untuk penyelesaian penelitian ini.

5. Dosen Penguji saya, yaitu yang turut membantu saya dalam melengkapi penelitian saya melalui masukan yang diberikan.

6. Pak Eka dan juga dosen lain yang mendukung peneliti dalam penyelesaian penelitian ini.

7. Kak Mariyanti yang turut membantu dengan memberikan izin penggunaan penelititannya, yaitu BFI yang sudah diadaptasi ke Bahasa Indonesia untuk peneliti gunakan


(6)

8. Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) saya, yaitu Bang Aswindo, Bang Armen, Bang Didier, Bang Princen, Kak Ester yang juga turut mendukung dan mendoakan saya dalam mengerjakan penelitian ini

9. Adik-adik Kelompok (Rocky, Anggi, Mentari, Immanuel, Felix, Zio) yang turut mendoakan dan mendukung saya

10.Koordinasi UKM KMK USU UP Psikologi 2013 yang juga membantu dalam doa dan motivasi agar saya tetap semangat dalam penyelesaian penelitian ini 11.Teman-teman seperjuangan (Edwin, Roimer, Pangeran, Harri, Bang Agus,

Utami, dan yang lain) yang selalu mendukung saya untuk menyelesaikan penelitian ini

12.Kakak, abang, teman-teman, dan junior saya yang turut membantu, mengajari, dan meminjamkan buku sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini 13.Semua pihak yang selalu ada dan selalu memberikan semangat buat peneliti,

sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini. Peneliti juga meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam proses penyelesaian penelitian ini. Akhir kata peneliti berharap kiranya hasil dari penelitan ini nantinya dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2013


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR FIGURE ... x

DAFTAR FORMULA ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

Kerangka Berpikir ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Kepribadian Big Five ... 12

1. Sejarah ... 12

2. Keuniversalan Dimensi Big Five ... 15


(8)

B. Differential Item Functioning ... 20

1. Defenisi ... 20

2. Jenis-jenis DIF ... 22

3. Dampak DIF ... 25

4. Analisis DIF ... 27

C. Etnis ... 28

1. Batak Toba ... 28

a) Nilai Budaya Batak ... 29

b) Hubungan Kontroversial dan inkonsistensi kepada Suku Bangsa lain ... 30

c) Kepribadian Batak Toba ... 32

2. Jawa ... 32

a) Kebiasaan Ingin Menang Sendiri ... 33

b) Kebiasaan Yang Menjatuhkan Harga Diri ... 34

c) Dunia Damai ... 34

d) Toleransi Orang Jawa ... 35

e) Kepribadian Jawa ... 36

E. DIF Etnis Pada Big Five Inventory ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 39

B. Data yang digunakan ... 39


(9)

1. Populasi ... 40

2. Teknik Pengambilan Sampel... 40

D. Instrumen yang Digunakan ... 41

E. Persiapan Penelitian ... 42

1. Persiapan Awal ... 42

2. Pelaksanaan Penelitian ... 43

3. Pengolahan Data Penelitian... 43

4. Hasil dan Pembahasan ... 43

5. Kesimpulan dan Saran... 43

F. Software yang digunakan ... 44

G. Analisis DIF ... 44

1. Reliabilitas ... 44

2. Regresi Logistik ... 45

3. Regresi Logistik Ordinal ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data Penelitian ... 48

1. Gambaran Subjek Penelitian ... 48

2. Reliabilitas Komposit ... 50

3. Analisis DIF ... 51

B. Pembahasan 1. Analisis Reliabilitas ... 56


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 61 B. Saran ... 61


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik Sifat-Sifat Big Five Model dengan Skor Tinggi

dan Rendah ... 14

Tabel 2. Hubungan dengan Suku Bangsa Lain ... 31

Tabel 3. Pengelompokan Etnis ke dalam kelompok Referensi dan Fokal ... 37

Tabel 4.Blueprint Big Five Inventory ... 42

Tabel 5. Gambaran Subjek berdasarkan jenis kelamin dan usia ... 48

Tabel 6. Reliabilitas Skor Batak Toba dan Jawa ... 50

Tabel 7. Korelasi antar aspek BFI versi Indonesia pada kelompok Batak Toba dan Jawa ... 50

Tabel 8. Koefisien Reliabilitas setiap aspek BFI versi Indonesia pada Kelompok Batak Toba dan Jawa... 51

Tabel 9. Hasil Analisis Regresi Logistik Ordinal per Aitem BFI versi Indonesia ... 52


(12)

DAFTAR FIGURE

Figure 1. Dua ICC yang tidak bersinggungan ... 23


(13)

DAFTAR FORMULA

Formula 1. Regresi Logistik Ordinal ... 28


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Skala BFI Versi Indonesia ... 65

Hasil Analisis Regresi Logistik ... 68

Hasil analisis Reliabilitas dan Standar Deviasi pada Subjek Batak Toba ... 310

Hasil analisis Reliabilitas dan Standar Deviasi pada Subjek Jawa ... 314

Hasil Analisis Korelasi antar Aspek pada Subjek Batak Toba ... 318

Hasil Analisis Korelasi antar Aspek pada Subjek Jawa ... 319

Nilai Mean Aitem yang Terdeteksi DIF... 320


(15)

Differential Item Functioning (DIF) Etnis pada Big Five Inventory (BFI) versi Adaptasi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Hitler Manik1 dan Etty Rahmawati2

ABSTRAK

Big Five Inventory (BFI) merupakan salah satu tes kepribadian yang telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan alat tes BFI versi Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah alat tes kepribadian BFI merupakan alat tes yang adil jika diterapkan pada etnis Batak Toba dan etnis Jawa. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pengujian terhadap aitem-aitem yang ada pada BFI. Dalam kajian ilmu psikologi, khususnya kajian psikometri disebut uji Keberfungsian aitem yang berbeda (Differential Item Functioning). Subjek dalam penelitian ini adalah orang dewasa berusia 18-40 tahun berjumlah 327 orang, terdiri dari 172 orang etnis Batak Toba dan 155 orang etnis Jawa. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 10 aitem BFI versi Indonesia terdeteksi DIF Etnis. Hasil analisis reliabilitas skor komposit pada etnis Batak Toba sebesar 0.74 dan Jawa sebesar 0.77.

Kata Kunci: Big Five Inventory (BFI), Differential Item Functioning (DIF), etnis Batak Toba, etnis Jawa


(16)

Differential Item Functioning (DIF) Etnis pada Big Five Inventory (BFI) versi Adaptasi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Hitler Manik1 and Etty Rahmawati2

ABSTRACT

Big Five Inventory (BFI) is one of personality test had been adapted into Indonesia language. More research had been developed to adapt the Indonesian Big Five Inventory. The purpose of this research is to check whether BFI’s personality test is fair if apply to ethnic of Batak Toba and Java. Therefore, examination of BFI’s items is needed. In psychology, especially in psychometric study, it is called Differential Item Functioning (DIF). Subject in this research is 327 people around 18 to 40 years old, including 172 people from ethnic Batak Toba and 155 people from ethnic Java. The result of this research indicates that DIF is detected in 10 BFI’s item. The result of reliability analysis composite score for ethnic Batak Toba is 0.74 and ethnic Java is 0.77.

Keywords: Big Five Inventory (BFI), Differential Item Functioning (DIF), ethnic Batak Toba, ethnic Java


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu Psikologi merupakan salah satu cabang ilmu yang berperan untuk mempelajari proses mental dan perilaku manusia. Untuk mempelajari perilaku manusia, para ahli psikologi telah melakukan berbagai macam pengukuran, atau dengan kata lain dilakukan tes psikologi. Salah satu pengukuran yang dilakukan adalah kepribadian manusia. Kepribadian dalam kehidupan sehari-hari sering dihubungkan dengan karakter dan sifat individu. Oleh karena itu, ada banyak peneliti yang melakukan penelitian bagaimana cara untuk mengukur kepribadian manusia, yaitu sifat-sifat unik yang ada pada tiap-tiap individu (Lahey, 2007).

Pengukuran terhadap kepribadian merupakan hal yang penting dilakukan karena tiap orang perlu untuk mengenal orang lain ketika hendak berinteraksi, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan orang lain. Pervin (2005) mengungkapkan bahwa pengukuran terhadap kepribadian merupakan hal yang penting karena kepribadian merupakan gambaran keseluruhan dari individu, dan pentingnya untuk memahami keseluruhan aspek yang berbeda dalam individu dan bagaimana hubungannya dengan orang lain. Selain itu, pengukuran kepribadian penting dilakukan karena perlu mempelajari individu yang kompleks, seperti keunikan seseorang, bagaimana interaksi dengan orang lain. Salah satu pengukuran yang dilakukan adalah melalui tes, yaitu tes kepribadian. Tes kepribadian merupakan tes yang sering digunakan, salah satunya adalah


(18)

di bidang tertentu. Memandang hal tersebut, maka merupakan hal yang sangat penting untuk melakukan tes kerpibadian, baik dalam hal seleksi maupun untuk menentukan jabatan seseorang. Beberapa contoh yang berkaitan dengan penggunaan tes kepribadaian adalah perekrutan ataupun penyeleksian karyawan dalam suatu organisasi. Selain itu, tes kepribadian juga dilakukan ketika hendak memilih jurusan, dan lain-lain.

Beberapa alat tes telah dikembangkan untuk mengukur kepribadian individu, antara lain adalah Sixteen Personality Factor (16 PF), NEO Personality Inventory Revised (NEO-PIR), Big Five Inventory (BFI), Hogan Personality Inventory (HPI), dan lain-lain. Beberapa alat tes tersebut sudah dikembangkan dan juga sudah digunakan di Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan salah satu alat tes, yaitu Big Five Inventory (selanjunya akan disebut BFI). Adapun yang menjadi alasan penggunaan BFI dalam penelitian ini adalah karena hingga saat ini BFI dalam tahap pengembangan, sehingga peneliti menganggap penting untuk meneliti aitem-aitem yang ada dalam BFI. Untuk melengkapi hasil penelitian sebelumnya, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Mariyanti (2012), yaitu adaptasi BFI kedalam bahasa Indonesia, dan analisis konstrak pada etnis Batak juga telah diteliti oleh Samosir (2013), dan analisis DIF administrasi tes pada aitem BFI (Putri, 2013).

BFI merupakan salah satu alat tes untuk mengukur kepribadian yang dikonsep dari teori Big Five oleh McCrae & Costa . BFI merupakan tes yang sering digunakan di berbagai negara, diantaranya Amerika Serikat, Turki, Inggris, dan lain-lain (Schmitt, dkk, 2007; McDaniel & Grice, 2005; Schmitt &


(19)

Shackelford, 2008). Memandang bahwa budaya yang ada di negara-negara tersebut berbeda dengan budaya yang ada di Indonesia, maka sangat diperlukan suatu tes yang berfungsi sama untuk budaya yang berbeda-beda. Tes yang adil merupakan tes yang tidak bias. Tes yang tidak bias merupakan tes yang berfungsi sama meskipun diberikan pada budaya dan negara yang berbeda-beda. Menurut Camilli & Shepard (1994) dan Clauser & Mazor (1998 dalam Zumbo, 1999), bias aitem terjadi ketika individu dari satu kelompok cenderung untuk menjawab aitem dengan benar (atau menyetujui pernyataan dalam aitem) dibandingkan peserta individu dari kelompok lainnya, karena beberapa karakteristik dari aitem yang dipakai dalam mengukur atau situasi pengukuran yang tidak relevan dengan tujuan tes. Jadi, bias aitem dapat menyebabkan alat tes menjadi tidak adil.

BFI terdiri dari 44 aitem. Awalnya BFI dikonstrak dalam bahasa Inggris. Aitem-aitem yang ada dalam BFI adalah untuk mengungkap kepribadian yang disusun berdasarkan teori Big Five. Teori yang mendasari BFI adalah Five Factor Model. Five-Factor Model aslinya didasarkan pada sebuah kombinasi dari dua pendekatan, yaitu pendekatan leksikal (lexical approach) dan pendekatan statistik (statistical approach). Pendekatan leksikal merupakan pendekatan yang berhubungan dengan bahasa, yang artinya adalah bagaimana alat tes bersifat universal, dan bisa digunakan di budaya yang berbeda-beda. Sedangkan Pendekatan statistik merupakan pendekatan yang berhubungan dengan pengelompokan kumpulan asli dari Five Factor Model menjadi lima faktor. Pendekatan leksikal yang terdapat dalam Five Factor Model dimulai pada tahun 1930-an, dengan rintisan kerja Allport dan Odbert (1936 dalam Larsen & Buss,


(20)

2010) dengan kerja keras untuk menerjemahkan dan mengidentifikasi 17.953 terminologi trait dari bahasa Inggris (yang berisi secara kasarnya sekitar 550.000 catatan asli yang terpisah). Allport dan Odbert kemudian membagi kumpulan asli dari trait tersebut menjadi empat hal: (1) trait yang bersifat stabil (stable traits), seperti rasa aman, intelegensi, (2) keadaan, suasana hati, dan aktivitas sementara, seperti tidak tenang, gelisah (agitated), perasaan gairah, gembira (excited), (3) evaluasi sosial, seperti mempesona (charming), menjengkelkan (irritating), dan (4) terminologi yang berhubungan dengan istilah-istilah metafora, fisik, dan keragu-raguan, seperti kata subur (prolific), sedikit (lean) (Larsen & Buss, 2010).

Five Factor Model telah diteliti lebih dari puluhan peneliti yang menggunakan sampel yang berbeda-beda. Model ini telah direplikasi setiap dekade selama akhir abad pertengahan. Model ini telah direplikasi kedalam bahasa yang berbeda dan dalam format aitem yang berbeda juga (Larsen & Buss, 2010). Para peneliti yang berbeda memiliki variasi yang berbeda-beda dalam memberi label pada kelima faktor ini seperti budaya (culture), intelek (intellect),

imajinasi (imagination), keterbukaan (openness), terbuka terhadap pengalaman (openness to experience), dan intelegensi yang berubah-ubah (fluid intelligence) dan berpikir tenang (tender-mindedness) (Brand & Egan, 1989; De Raad, 1998, dalam Larsen & Buss, 2010). Penyebab utama dari perbedaan ini adalah perbedaan peneliti dalam memulai penelitian, yaitu dengan menggunakan kelompok yang berbeda hingga analisis faktor (Larsen & Buss, 2010). Jadi, dari beberapa penelitian tersebut, ditemukan bahwa BFI memiliki lima faktor, termasuk adaptasi yang dilakukan di Indonesia.


(21)

Berdasarkan pendekatan leksikal, pengukuran terhadap trait yang muncul secara universal, yang artinya adalah tetap memperhatikan perbedaan bahasa dan budaya merupakan hal yang lebih penting dibanding tidak memperhatikan perbedaan bahasa dan budaya. Penelitian yang berkaitan dengan hal ini telah dilakukan dibeberapa negara, yaitu di negara Turki, Jerman, Italia. Hasil penelitian di Turki menunjukkan bahwa faktor openness lebih jelas terlihat, penelitian di Jerman menunjukkan bahwa kelima faktor BFI menjelaskan intelegensi, talenta, dan kemampuan seseorang, dan penelitian di Italia menunjukkan bahwa kelima faktor BFI adalah faktor yang sudah biasa dalam diri individu yang ditandai dengan aitem-aiten memberontak dan selalu mengkritik (Larsen & Buss, 2010).

Penelitianmengenai BFI juga dilakukan Schmitt, dkk (2007), yaitu bentuk dan profil dari deskripsi diri manusia di 56 negara. Jadi, bagian International Sexuality Description Project menerjemahkan BFI dari bahasa Inggris menjadi 28 bahasa yang diadministrasikan kepada 17.837 orang dari 56 negara. Hasil menunjukkan bahwa kelima dimensi yang ada pada BFI secara kuat menjelaskan wilayah-wilayah utama di dunia. Level trait dihubungkan dapat menjadi cara untuk memprediksi harga diri, sosioseksual, dan profil kepribadian nasional. Orang-orang dari daerah geografis Amerika Selatan dan Asia Timur menunjukkan hasil yang signifikan pada dimensi openness dibanding daerah lain yang ada di dunia.

Penelitian juga telah dilakukan pada mahasiswa, yaitu dengan skor kepribadian pada NEO-PI (Costa & McCrae, 1985, 1989a dalam McCrae &


(22)

Costa, 2006), pengukuran mengenai kepribadian five factor yang dilakukan juga menemukan bahwa mahasiswa cenderung lebih tinggi pada faktor Neuroticism, Extraversion, dan Openness, dan lebih rendah pada faktor Agreeableness dan

Conscientiousness. Terdapat juga para peneliti yang fokus perhatiannya mengenai lintas budaya yang disebut dengan multikulturalis. Multikulturalis mengembangkan sebuah ide yang disebut relativisme kebudayaan, yang menyatakan bahwa nilai-nilai manusia dapat hanya dinilai dari dalam perspektif budaya dimana mereka tumbuh, karena nilai-nilai yang ada pada mereka dibentuk oleh budaya (McCrae & Costa, 2006). Oleh karena itu, sangat penting bagi peneliti untuk memperhatikan unsur budaya ketika ingin melakukan suatu penelitian.

Penelitian BFI juga telah dilakukan oleh Mariyanti (2012), yaitu adaptasi BFI ke dalam bahasa Indonesia. Hasil analisis faktor exploratory ini menunjukkan jumlah faktor yang sama antara versi asli dengan versi adaptasi dalam Bahasa Indonesia yaitu terdapat 5 faktor. Namun, terdapat perbedaan pada beberapa indikator perilaku pada beberapa faktor (yang ditandai dengan nomor aitem yang berbeda). Perbedaan diduga disebabkan oleh adanya perbedaan budaya antara Indonesia dengan negara asal BFI. Beberapa aitem yang seharusnya dikategorikan sebagai faktor tertentu dapat muncul sebagai faktor lain di Indonesia disebabkan adanya perbedaan kepercayaan dan budaya pada masyarakat Indonesia dengan negara asal (Mariyanti, 2012).

Indonesia memiliki budaya yang beragam, dan hal ini dapat dilihat dari banyaknya etnis yang ada di Indonesia, diantaranya adalah etnis Melayu, Minang,


(23)

Batak Toba, Jawa, Batak Karo, Batak Simalungun dan lain-lain. Etnis yang berbeda tersebut memberikan pengaruh terhadap individu-individu yang ada dalam budaya tertentu, baik perilaku, maupun cara berpikir individu (Bangkaru, 2001). Memandang bahwa individu yang memiliki budaya yang berbeda-beda tersebut, maka dibutuhkan suatu alat tes yang penggunaannya dapat berfungsi secara adil, sehingga generalisasi alat tes merupakan hal yang penting, terutama pada budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu sangat penting untuk melihat bagaimana penggunaan BFI di Indonesia dengan budaya yang beragam, apakah terdapat perbedaan respon terhadap aitem yang ada pada BFI. Hal ini berhubungan dengan validitas suatu alat tes, yaitu apakah alat tes tersebut tetap bekerja sesuai fungsinya ketika diterapkan di berbagai budaya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemahaman subjek terhadap aitem yang ada pada BFI, apakah dengan budaya dan bahasa yang berbeda berpengaruh terhadap bagaimana subjek memahami aitem yang ada. Menurut Bangkaru (2001), masing-masing budaya yang ada di Indonesia memiliki nilai budaya, tradisi dan kepercayaan budaya masing-masing yang membuat satu budaya berbeda dengan budaya yang lain. Penelitian ini melibatkan etnis karena dengan etnis yang berbeda, terdapat kemungkinan tes rentan terhadap bias, sehingga membutuhkan tes yang tidak bias.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Indonesia memiliki etnis yang beragam. Masing-masing etnis memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda. Dari beberapa etnis dan nilai budaya tersebut, ada dua etnis yang memiliki beberapa nilai budaya yang berbeda dan bertolak belakang, yaitu etnis Batak dan etnis


(24)

Jawa. Etnis Batak terdiri dari beberapa jenis, antara lain Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Karo, dan Batak Pakpak. Masing-masing etnis tersebut dipengaruhi oleh budaya Batak Toba. Meskipun masing-masing etnis memiliki nilai budaya dan kepribadian yang berbeda-beda, akan tetapi sebagian besar nilai budaya mereka dipengaruhi oleh budaya Batak Toba, misalnya Mandailing yang mirip dengan budaya Batak Toba, yaitu penggunan marga hukum adat yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian individu menjadi terbuka terhadap sesama mereka. Kemudian Simalungun yang dipengaruhi oleh etnis Melayu dan sedikit budaya Batak Toba, sehingga memiliki budaya sangat menghargai adanya level dalam hubungan sosial (Bangkaru, 2001). Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti etnis Batak Toba dan Jawa karena memiliki nilai budaya yang membentuk kepribadian kedua etnis tersebut menjadi sangat berbeda yaitu orang Batak Toba dengan kepribadian yang mandiri, sangat menghargai keterbukaan, sadar diri dan sangat menghargai desentralisasi, sedangkan orang Jawa memiliki stereotip sebagai suku bangsa yang sopan dan halus, tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang (Harahap & Siahaan, 1987; Endraswara, 2010).

Memandang bahwa merupakan hal yang penting untuk mengetahui apakah aitem-aitem tersebut benar-benar dipahami oleh subjek sesuai dengan tujuan awal dari BFI, dan juga untuk membuktikan apakah BFI yang sudah diadaptasi bersifat adil, maka diperlukan sebuah pengujian terhadap aitem-aitem yang ada pada BFI. Dalam kajian ilmu psikologi, khususnya kajian psikometri disebut uji Keberfungsian aitem yang berbeda (Differential Item Functioning, selanjutnya


(25)

disebut dengan DIF). DIF merupakan sebuah kondisi yang terjadi ketika pengujian terhadap dua kelompok menunjukkan kemungkinan untuk menyetujui atau tidak menyetujui aitem yang berbeda setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan (Camilli & Shepard, 1994; Clauser & Mazor, 1998 dalam Zumbo, 1999).

Menurut Zumbo (1999), ada dua hal penting yang perlu diperhatikan ketika menggunakan analisis DIF, diantaranya adalah ketika anda menggunakan tes yang sudah ada; atau ketika anda mengembangkan pengukuran yang baru atau memodifikasi pengukuran (Zumbo, 1999; hal 14). Jadi, sebelum memutuskan untuk menggunakan analisis DIF dalam suatu penelitian, maka kedua hal tersebut perlu untuk diperhatikan kembali. Penelitian ini menguji DIF dengan alasan karena peneliti menggunakan alat tes yang sedang dikembangkan, yaitu BFI yang sudah diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia.

Penelitian mengenai DIF mencakup dua kelompok yang diuji, yaitu kelompok referensi dan kelompok fokal. Dan hal ini lebih umum dikenal dengan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak kelompok referensi dan Fokal, dan seorang individu mungkin terlibat pada satu atau lebih. Contohnya, wanita kulit putih mungkin termasuk kedalam kelompok Referensi untuk satu analisis dan masuk kedalam kelompok Fokal untuk hal yang lain (Camilli & Shepard, 1994). Dalam penelitian ini, yang termasuk ke dalam kelompok Referensi adalah etnis Batak Toba, karena kepribadian etnis tersebut lebih mendominasi dalam faktor-faktor yang terdapat pada BFI, yaitu kepribadian yang mandiri, sangat menghargai keterbukaan, sadar


(26)

diri dan sangat menghargai desentralisasi. Sedangkan etnis Jawa termasuk dalam kelompok Fokal, yaitu dengan kepribadian sebagai suku bangsa yang sopan dan halus, tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang. Sehingga dalam penelitian DIF etnis pada BFI ini, peneliti ingin melihat apakah aitem-aitem yang ada dalam BFI mengandung DIF etnis atau tidak.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan masalah yang dipaparkan sebelumnya, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah “Apakah aitem-aitem dalam BFI versi Indonesia mengandung DIF Etnis?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melengkapi bukti empiris BFI versi Indonesia merupakan tes yang adil digunakan pada etnis Batak Toba dan Jawa.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penilitian ini diharapkan dapat menambah referensi mengenai keberfungsian aitem-aitem BFI ketika diterapkan dalam budaya Indonesia 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi kepada para praktisi untuk menggunakan BFI sebagai salah satu alternatif alat tes kepribadian yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Kepribadian Big Five

1. Sejarah

Trait adalah unit fundamental dari kepribadian, yang mewakili watak secara luas untuk merespon suatu kondisi dengan cara tertentu. Penelitian mengenai trait

kepribadian membutuhkan model persetujuan yang general mengenai penelitian yang dilakukan oleh peneliti, sama halnya dengan ilmu pengetahuan yang lain. Selama 40 tahun terakhir, sejumlah konsep kepribadian, dan sejumlah skala pertanyaan didesain untuk mengukur trait kepribadian tersebut, dan hal ini semakin meluas tanpa ada akhir yang jelas. Dalam bahasa inggris sendiri, terdapat lebih dari 5000 kata yang menjelaskan trait kepribadian (Pervin, dkk, 2005).

Selama bertahun-tahun, para peneliti trait termasuk Eysenck, Cattell, dan yang lainnya telah melakukan perdebatan mengenai jumlah dan asal dimensi dasar trait

kepribadian. Namun hal ini tidak terselesaikan, hingga tahun 1980an terdapat perkembangan secara bertahap dalam kualitas dan pengalaman metode, yang berujung pada banyaknya peneliti yang setuju bahwa perbedaan individu dapat dikategorikan ke dalam lima faktor bipolar yang dikenal sebagai “Big Five” (John & Srivastava; McCrae & Costa dalam Pervin, dkk, 2005).

Kelima faktor yang berbeda-beda tersebut adalah Neuroticism (N),


(28)

atau yang sering disingkat dengan sebutan OCEAN. Masing-masing faktor dalam BFI tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Pervin, dkk, 2005):

1. Neuroticism (N). Mengidentifikasi kecenderungan individu akan mengalami kondisi psikologis yang kurang baik, memiliki ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan tidak dapat menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Emotional Stability

2. Extraversion (E). Mengukur kuantitas dan intensitas interaksi intrapersonal, aktivitas yang dilakukan, kebutuhan akan stimulasi, melakukan hal yang disenangi. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Introversion

3. Openness (O). Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru bagi dirinya sendiri, senang mengetahui sesuatu yang tidak terkenal atau tidak familiar. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Closedness

4. Agreeableness (A). Mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang, mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Antagonism.

5. Conscientiousness (C). Mengukur tingkat keteraturan seseorang, ketahanan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Berlawanan dengan ketergantungan, dan kecenderungan untuk menjadi malas dan lemah. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Lack of Direction.


(29)

Keterangan lebih lengkap mengenai dimensi bipolar dari kelima faktor kerpribadian Big Five dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Karakteristik Sifat-Sifat Big Five Model Dengan Skor Tinggi dan rendah

Skor tinggi Sifat Skor rendah

Kuatir, cemas, emosional, merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak beralasan.

Neuroticism Tenang , santai, tidak emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri.

Mudah bergaul, aktif, banyak bicara, orientasi pada manusia, optimis, menyenangkan, kasih sayang, bersahabat.

Extraversion Tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, orientasi pada tugas,

pemalu, pendiam.

Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif, orisinil imajinatif, tidak ketinggalan zaman.

Openness Mengikuti apa yang sudah

ada, kembali ke alam,

tertarik hanya pada satu hal, tidak memiliki jiwa seni, kurang analitis.

Berhati lembut, baik, suka menolong, mudah

percaya, mudah

memaafkan, mudah untuk dimanfaatkan, terus terang.

Agreeableness Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam, mudah marah, manipulatif.

Teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun.

Conscientiousness Tidak bertujuan, tidak dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono, tidak disiplin, keinginan lemah, suka bersenang-senang.

Tabel 1 menunjukkan dimensi bipolar dari masing-masing faktor yang ada pada Big Five, yaitu karakterisitik dari individu yang berada pada skor yang tinggi ataupun rendah, sehingga dapat dilihat kecenderungan sifat-sifat individu yang berada pada masing-masing faktor tersebut.


(30)

2. Keuniversalan Dimensi Big Five

Jika ada pertanyaan umum yang fokus pada perbedaan individu dan interaksi manusia, maka untuk menjawab hal ini perlu dilakukan pembuktian terhadap keuniversalan struktur faktor Big Five. Untuk membuktikan keuniversalan faktor

Big Five, sejumlah penelitian lintas budaya mengenai trait kepribadian semakin meningkat secara dramatis pada dekade sebelumnya, terutama penelitian yang dilakukan secara internasional oleh tim yang berasal dari negara yang berbeda-beda. Hal ini mungkin dapat menjadi awal untuk menjawab pertanyaan tersebut mengenai keuniversalan Big Five (Pervin, dkk, 2005).

Penelitian lintas budaya sangat penting untuk menjadi acuan dalam menjawab keuniversalan faktor Big Five. Namun, sebelum melihat hasil dari penelitian, satu hal yang perlu diperhatikan yaitu metode yang digunakan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian, yaitu mengenai apakah Big Five bersifat universal, masalah metodologi dapat memberikan suatu perbedaan besar. Salah satu masalahnya meliputi penejermahan. Banyak peneliti yang mempelajari apakah

trait kepribadian bersifat universal hanya dengan menerjemahkan kuesioner dari satu bahasa asli (seperti bahasa Inggris) menjadi beberapa bahasa yang lain (seperti bahasa Jerman, Jepang, dan lain-lain), tanpa mempertimbangkan terjemahan tersebut dapat bersifat menjebak, dan mungkin juga kurang satu persatu kata dari tiap terjemahan dan pemaknaan yang berbeda juga. Bahasa boleh berbeda dan bahkan kata-kata yang diterjemahkan sama dapat memiliki arti yang berbeda. Contohnya adalah kata “aggressive” dalam bahasa Inggris memiliki makna yang berbeda dengan kata yang sama dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa


(31)

Jerman, kata “aggressive” memiliki arti “hostile (bersifat mengancam)” dibanding “forceful-assertive (ketegasan yang berlebihan) (Pervin, dkk, 2005).

Sebuah resensi kuantitatif yang dilakukan oleh De Raad, dkk (dalam Pervin, dkk, 2005) membandingkan banyak penelitian Eropa, dan menyimpulkan bahwa faktor yang mirip dengan Big Five muncul dalam banyak bahasa tetapi faktor

Openness yang paling sedikit muncul. Hanya sedikit penelitian pada budaya dan bahasa non-western yang pernah dilakukan (seperti Cina, Jepang, Filipina) dan faktor Openness tidak begitu terlihat. Penelitian-penelitian yang ada menemukan bahwa tiga faktor yaitu extraversion, agreeableness dan conscientiousness dapat ditemukan di hampir semua bahasa, hanya dua faktor lain yaitu neuroticism dan

openness yang kurang reliabel secara lintas budaya (Saucier, Hampson, & Goldberg dalam Pervin, dkk, 2005). Penelitian yang ada di Indonesia, yaitu yang dilakukan oleh Mastuti (2005) menemukan bahwa terdapat satu faktor tambahan ketika dilakukan analisis faktor pada mahasiswa suku Jawa. Selain itu, penelitian lain juga dilakukan oleh Mariyanti (2012) menemukan lima faktor yang ada pada

Big Five tersebut ketika diberikan pada sampel yang lebih umum, dan penelitian Samosir (2013) menemukan bahwa terdapat dua faktor tambahan ketika dilakukan analisis faktor terhadap suku Batak Toba. Memandang perbedaan hasil tersebut, maka sangat perlu dilakukan pengujian terhadap aitem-aitem yang ada pada Big Five Inventory.


(32)

3. Big Five Inventory (BFI)

Berbicara mengenai kebutuhan akan sebuah instrumen pendek untuk mengukur komponen khusus dari Big Five, maka John, Donahue dan Kentle (dalam John & Srivastava, 1999) mengkonstrak Big Five Inventory (BFI). Empat puluh empat aitem BFI dikembangkan merepresentasikan definisi asli yang dikembangkan berdasarkan penilaian ahli dan kemudian dilakukan pembuktian dengan analisis faktor dan pembuktian terhadap penilaian kepribadian oleh pengamat. Tujuan dari pembuatan alat ukur singkat ini adalah agar tercipta alat ukur yang efisien dan fleksibel dari kelima faktor tersebut. Terdapat juga tokoh yang menjelaskan mengenai BFI tersebut, yaitu Burisch (dalam John & Srivastava, 1999) mengatakan bahwa skala yang singkat tidak hanya mempersingkat waktu tes, tetapi juga menghindari kebosanan dan kelelahan yang dialami subjek, subjek yang tidak memberikan respon yang sesungguhnya jika tes terlihat membutuhkan waktu yang panjang. BFI tidak menggunakan kata sifat tunggal sebagai aitem karena aitem seperti itu direspon dengan tidak konsisten dibandingkan ketika aitem ditambahkan definisi ataupun kalimat tertentu (Goldberg & Kilkowski, 1985 dalam John & Srivastava, 1999). BFI menggunakan frase yang singkat didasarkan kata sifat yang diketahui merepresentasikan kelima faktor Big Five (John, 1989, 1990 dalam John & Srivastava, 1999). Kata sifat yang ada pada faktor Big Five disajikan sebagai inti dari aitem dimana informasi yang jelas, luas, dan kontekstual menjadi tambahan. Contohnya, kata sifat dari faktor ‘Openness’ merupakan kata sifat yang original kemudian menjadi aitem BFI muncul dengan definisi ‘berhubungan dengan ide


(33)

baru’ dan kata sifat untuk faktor ‘Conscientiousness’ disajikan sebagai dasar untuk aitem dengan tambahan ‘bertahan hingga tugas diselesaikan’. Aitem-aitem yang ada dalam BFI memberikan keuntungan dengan kata sifat (ringkas dan sederhana) yaitu dapat mencegah ambiguitas atau arti ganda (multiple meaning). Ketika dilakukan pengujian pada sampel yang berasal dari negara Kanada dan Amerika Serikat, diperoleh reliabilitas alpha skala BFI berkisar antara 0.75 sampai 0.90 dan rata-rata reliabilitas tiap faktor diatas 0.80; reliabilitas tes retesnya dalam rentang waktu tiga bulan berada antara 0.80 sampai 0.85 dimana memiliki mean sebesar 0.80 (John & Srivastava, 1999). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Mariyanti (2012) diperoleh reliabilitas alpha skala sebesar 0.70, yang berarti bahwa BFI yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia memiliki reliabilitas yang baik.

BFI yang digunakan dalam penelitian ini adalah BFI yang telah diadaptasi kedalam versi bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Mariyanti (2012). Berdasarkan teori tersebut ditemukan bahwa terjadi perbedaan indikator dari kelima faktor yang menyusun alat ukur BFI versi adaptasi Bahasa Indonesia, yaitu (Mariyanti, 2012):

1. Openness (O) adalah faktor yang melihat keterbukaan individu untuk mencari tantangan dan hal-hal baru. Seseorang dikatakan terbuka terhadap pengalaman (open to experience) ketika memiliki karakteristik seperti cerdas dan suka berpikir, memiliki ide-ide inovatif, percaya diri, mampu mempertimbangkan dan membuat suatu rencana dan menjalankannya serta memiliki rasa ingin tahu yang besar.


(34)

2. Neuroticism (N) adalah faktor yang mengidentifikasi individu yang rentan terhadap distress psikologis, yaitu mudah mengalami rasa sedih, takut dan cemas berlebihan, memiliki dorongan berlebihan, tidak bisa menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada. Selain itu juga terlihat dalam bentuk perilaku mudah tersinggung (irritability) dan pemarah (hostile). Seseorang dikatakan neurotis ketika individu tersebut mudah merasa tertekan dan sedih, tidak mampu menghadapi situasi stress dengan baik, pencemas, suasana hati mudah berubah, labil, pemalu dan perhatiannya mudah terganggu.

3. Conscientiousness (C) adalah faktor yang melihat kesadaran diri, motivasi dan kemampuan mengorganisasikan sesuatu dalam mencapai suatu tujuan. Seseorang dikategorikan dalam faktor Conscientiousness ketika individu tersebut memiliki karakteristik seperti teliti, terorganisir, tidak pemalas, menyukai suatu pekerjaan yang rutin serta mampu bertahan dan mengerjakan suatu tugas hingga selesai.

4. Extraversion (E) adalah faktor yang melihat aktivitas yang dilakukan sehari-hari dan kemampuan melakukan hubungan interpersonal individu. Seseorang dikatakan extrovert apabila individu tersebut suka mengobrol, tidak pendiam, santai, mudah bergaul dan senang bekerjasama dengan orang lain.

5. Agreeableness (A) adalah faktor yang melihat kualitas trust dan seni individu. Seseorang dikategorikan dalam faktor Agreeableness ketika individu tersebut memiliki karakteristik seperti senang membantu dan tidak egois, mudah memaafkan dan mempercayai orang lain, dan memiliki apresiasi terhadap seni, musik atau sastra.


(35)

B. Differential Item Functioning (DIF) 1. Definisi

DIF adalah istilah teknis dalam ilmu pengukuran. DIF merupakan keadaan yang menyatakan bahwa fakta-fakta empiris yang telah dianalisis menggunakan metodologi yang terstandarisasi menunjukkan bahwa sebuah aitem tes bekerja secara berbeda untuk dua kelompok atau lebih. Semua prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi DIF perlu mempertimbangkan variasi kemampuan kelompok (Osterlind & Everson, 2009 dalam Osterlind, 2010). DIF juga menjelaskan performansi aitem secara individual dan tidak dihubungkan dengan tes secara keseluruhan (Osterlind, 2010). Selain definisi diatas, Thiesse, Steinberg & Wainer (dalam Reeve, 2002) menyatakan bahwa DIF merupakan kondisi sebuah aitem yang berfungsi secara berbeda untuk responden dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dengan kata lain, responden dengan kesamaan pada level trait laten, tetapi berasal dari populasi yang berbeda memiliki kemungkinan berbeda dalam merespon sebuah aitem.

Menurut kajian psikometri, awalnya diskusi mengenai DIF berada pada tataran emosional dan politik yaitu mengenai tes yang dianggap adil dan konsekuensi dari penggunaan tes terhadap pengambilan keputusan, kemudian diskusi terkini yang dilakukan oleh Camilli (dalam Osterlind, 2010) mengenai tes yang adil dipandang dari perspektif yang lebih luas, yaitu meliputi dampak dan penggunaan tes yang bersifat merugikan. Banyak ahli psikometri yang menguji masalah-masalah praktis pengujian DIF memfokuskan usaha-usaha mereka pada pengidentifikasian secara akurat terhadap fenomena tersebut (Osterlind, 2010).


(36)

Istilah DIF sering dianggap sama dengan bias aitem. Beberapa penelitian menyatakan bahwa istilah DIF dan bias aitem sering dipertukarkan. Sebaliknya, terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa DIF dan bias aitem merupakan dua konsep yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Ellis & Raju (dalam Acar, 2011) menggunakan istilah DIF yang sering dipertukarkan dengan bias aitem. Pada akhir tahun 1980an, istilah DIF berubah posisi dari istilah ‘bias aitem’. DIF mengungkap perbedaan dalam kesempatan menjawab aitem dengan benar dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan tiap kelompok yang telah diukur disesuaikan dengan aitem (Embretson & Reise, 2000; Lord, 1980 dalam Acar, 2011). Dalam studi mengenai DIF, diperlukan perbandingan performansi pada aitem tes suatu kelompok pada tingkat kemampuan yang sama tetapi memiliki karakteristik demografis yang berbeda, seperti pria-wanita atau Asia-Eropa (Greer, 2004 dalam Acar, 2011).

Sebaliknya, Camilli, dkk (dalam Zumbo, 1999) menjelaskan bahwa konsep mengenai DIF dan Bias merupakan dua hal yang berbeda. Bias aitem terjadi ketika individu dari satu kelompok cenderung untuk menjawab aitem dengan benar (atau menyetujui pernyataan dalam aitem) dibandingkan peserta individu dari kelompok lainnya, karena beberapa karakteristik dari aitem yang dipakai dalam mengukur atau situasi pengukuran yang tidak relevan dengan tujuan tes. Sedangkan DIF merupakan sebuah kondisi yang terjadi ketika pengujian terhadap dua kelompok menunjukkan kemungkinan untuk menyetujui atau tidak menyetujui aitem yang berbeda,karena faktor-faktor seperti ras, budaya,


(37)

kabangsaan, daerah demografis, dan lain-lain, setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan (Camilli & Shepard, 1994; Clauser & Mazor, 1998 dalam Zumbo, 1999). Dalam penelitian ini menggunakan konsep DIF yang sama dengan bias aitem. Hal ini dikarenakan DIF merupakan bagian dari bias, yaitu dua kelompok berasal dari populasi yang berbeda memiliki kesempatan yang berbeda dalam menyetujui aitem setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa karakteristik seperti budaya, demografis, ras, dan lain-lain.

2. Jenis-jenis DIF

Penelitian mengenai DIF menguji dua kelompok, yaitu kelompok Referensi (Reference Group) dan kelompok Fokal (Focal Group). Dan hal ini lebih umum dikenal dengan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dalam sebuah penelitian, seorang individu dapat termasuk ke dalam kelompok referensi, dan sebaliknya dapat pula termasuk dalam kelompok fokal untuk penelitian lain. Contohnya, wanita kulit putih mungkin termasuk kedalam kelompok Referensi untuk satu analisis dan masuk kedalam kelompok Fokal untuk hal yang lain (Camilli & Shepard, 1994). Dalam teori respon aitem (Item Response Theory), DIF terbagi atas dua kategori, yaitu Uniform atau Consistent DIF dan Non-uniform atau inconsistent DIF. Pembagian kelompok tersebut dilihat dari Item characteristic curves (ICCs), yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kemungkinan jawaban benar terhadap suatu aitem dengan kemampuan individu (Camilli & Shepard, 1994):


(38)

1. Uniform atau Consistent DIF, terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk keseluruhan aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari Item characteristic curves (ICCs) yang tidak berpotongan atau bersinggungan pada semua aitem skala kemampuan yang disajikan pada figure 1 berikut.

Figure 1. Dua ICC yang tidak bersinggungan

2. Non-uniform atau inconsistent DIF: terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk beberapa aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan. Oleh karena itu, DIF dapat memberikan keseimbangan ataupun tidak pada masing-masing kelompok untuk ditingkat tertentu. Hal ini dapat dilihat dari Item characteristic curves (ICCs) yang berpotongan atau bersinggungan pada beberapa aitem skala kemampuan disajikan pada figure 2 berikut.


(39)

Figure 2. Dua ICC yang bersinggungan

Kajian Psikometri menjelaskan bahwa DIF memiliki hubungan dengan validitas. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan dalam penelitian Salehi & Tayebi (2012) bahwa konsep mengenai proses validasi berhubungan secara umum dengan pembuatan tes dan juga dengan konsep keadilan tes dan bias tes, serta sumber-sumber lain yang berhubungan dengan hal tersebut (seperti gender, hasil penelitian, usia, kebangsaan, latar belakang pengetahuan/pendidikan, dan lain-lain) dan umumnya dapat memberikan ancaman terhadap validitas tes (Salehi & Tayebi, 2012). Ketika membahas mengenai validitas dalam pengukuran, maka sangat penting untuk menilai secara utuh bahwa validitas merupakan sebuah konsep ilmiah dan merupakan hal yang penting dalam ilmu pengukuran. Menurut American Educational Research Association, dkk (1999 dalam Osterlind, 2010), validitas merupakan hal yang menjadi pertimbangan utama ketika hendak mengembangkan dan mengevaluasi suatu tes (Osterlind, 2010).


(40)

Selain validitas, karakterisitk lain yang perlu diperhatikan dalam sebuah alat ukur adalah reliabilitas. Reliabilitas hasil pengukuran memiliki hubungan dengan kesalahan (error), yaitu random error, yaitu kesalahan yang terjadi karena adanya perbedaan antara skor yang sebenarnya (true score) dan skor yang diamati (observed score) pada individu yang dapat berpengaruh kepada hasil kelompok. Hubungan antara reliabilitas dengan DIF adalah bahwa DIF terjadi karena adanya kesalahan (error) dalam pengukuran, yaitu kesalahan sistematis (systematic error), yaitu kesalahan yang melibatkan respon kelompok yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Oleh karena itu, munculnya kesalahan dalam pengukuran dapat menghasilkan reliabilitas yang rendah (Osterlind, 2010). Jadi, aitem yang mengandung DIF bisa dikatakan sebagai aitem yang memiliki kesalahan (error) karena bersifat tidak adil untuk dua kelompok yang berasal dari populasi yang berbeda dan dapat mengakibatkan pengukuran menjadi tidak reliabel.

3. Dampak DIF

Validitas pengukuran merupakan salah satu masalah utama yang dipengaruhi oleh bias pengukuran. Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu keobjektifan suatu aplikasi pengukuran adalah diperolehnya informasi mengenai individu dan aitem-aitem tes. Oleh karena itu, maka instrumen dan hasil pengukuran yang valid dan akurat sangat dibutuhkan untuk menghasilkan objektivitas. Namun, salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh yang negatif pada validitas adalah bias aitem yang dapat memberikan hasil yang tidak objektif. Selain itu, kehadiran bias


(41)

aitem pada tes dapat melemahkan reliabilitas hasil yang berpengaruh terhadap keputusan yang dibuat (Acar, 2011).

Selanjutnya, Thiesse, Steinberg, & Wainer (dalam Reeve, 2002) menyatakan bahwa aitem yang terdeteksi DIF merupakan sebuah ancaman yang serius terhadap validitas sebuah instrumen yang mengukur level trait kelompok ataupun populasi yang berbeda. Instrumen yang berisi aitem-aitem yang terdeteksi DIF mungkin dapat mengurangi validitas untuk perbandingan antarkelompok, karena skor mereka mungkin menunjukkan atribut lain dibandingkan skala yang mengukur apa yang seharusnya diukur. Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2010) dijelaskan bahwa bias aitem juga merupakan ancaman terhadap validitas pengukuran. Bila aitem tes berfungsi secara berbeda pada dua kelompok peserta, mungkin aitem tersebut mengukur trait yang berbeda pada kelompok tersebut. Hal ini akan menyebabkan kesimpulan yang salah mengenai kemampuan tes untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. DIF merupakan titik awal studi tentang bias aitem.

Salehi & Tayebi (2012) dalam penelitiannya menjelaskan mengenai konsep validitas yaitu berperan dalam hal bahasa yang digunakan dalam tes dan pengukuran. Proses validasi kemudian dikaitkan dengan usaha untuk proses membuat tes yang bisa digunakan secara umum, yaitu tes-tes keahlian bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris. Kemudian dihubungkan dengan konsep keadilan tes dan bias tes dan sumber-sumber penyebabnya (seperti gender, hasil penelitian, usia, kebangsaan, latar belakang pengetahuan/pendidikan, dan lain-lain) dan kontribusi serta mengarah kepada validitas tes pada umumnya dan bahasa yang


(42)

digunakan. Lebih lagi, dalam penelitian terkini, telah dilakukan peninjauan terhadap pendekatan-pendekatan yang berdeda-beda untuk meneliti validitas tes. DIF, diantara metode lain untuk meneliti validitas tes dengan deskripsi dan penjelasan serta kelebihan dan kelemahan masing-masing metode dan pendekatan berbeda menyimpulkan bahwa regresi logisitik adalah salah satu diantara metode terbaik saat ini (Salehi & Tayebi, 2012).

4. Analisis DIF

Menurut Gierl, Khalia, & Baughton (dalam Acar, 2011), DIF secara luas digunakan untuk menyelidiki bias dalam pengukuran. Terdapat beberapa metode untuk menentukan DIF. Beberapa contoh metode yang didasarkan pada CTT adalah teknik Mantel Haenzel (M-H) yang sebagian besar sering digunakan, regresi logistik (LR) dan simultaneous bias test (subtest). Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan untuk menganalisis DIF adalah menggunakan Regresi logistik (logistic regression), yaitu model regresi logistik ordinal (ordinal logistic regression). Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode terkini yang tersedia untuk menginvestigasi DIF aitem-aitem yang biasanya ditemukan dalam pengukuran kepribadian dan psikologi sosial. Alasan memilih regresi logistik ordinal antara lain (Miller & Spray dalam Zumbo, 1999):

(a) Penggunaan regresi logistik ordinal memiliki keuntungan yaitu dapat digunakan untuk model aitem bineri dan ordinal

(b) Model statistik yang digunakan untuk aitem bineri dan ordinal ini sebaiknya memudahkan proses implementasi ketika analisis DIF belum biasa digunakan


(43)

(c) Model regresi logistik ordinal diperluas oleh Zumbo-Thomas, yaitu memiliki uji statistik dan pengukuran yang cocok mengenai effect size, tidak seperti metode yang lainnya.

Regresi logistik ordinal ini dapat diinterpretasi seperti regresi linear yang menjadi variabel prediktor terhadap sebuah variabel random yang yang tidak dapat diobservasi secara terus menerus, Y*. persamaan ini dapat ditunjukkan sebagai berikut:

Y* = b0 + b1TOT + b2GENDER + b3TOT * GENDERi +

ε

i …...(1)

ε

iuntuk model regresi logistik didistribusi dengan mean zero dan varian �

2 3

� . Dari beberapa kondisi ini, kriteria aitem mengandung DIF adalah jika (a) nilai p ≤ 0.01, dan (b) R2≥ 0.13 (Zumbo, 1999; hal.23 & 27).

C. Etnis 1. Batak Toba

Etnis Batak Toba dikenal dengan penggunaan marga pada nama, sebagai penanda asal usul keluarga seseorang. Simanjuntak (2009) menyatakan bahwa menurut pandangan orang Batak toba, kebudayaannya memiliki sistem nilai budaya yang sangat penting, yang menjadi tujuan dan pandangan hidup mereka secara turun-temurun yakni kekayaan (hamoraon), keturunan (hagabeon) dan penghornatan (hasangapon). Yang dimaksud dengan kekayaan ialah harta milik berwujud materi maupun non-materi yang diperoleh melalui usaha atau melalui warisan. Keturunan juga termasuk kedalam kategori kekayaan. Banyak keturunan


(44)

adalah mempunyai banyak anak, cucu, cicit, dan keturunan-keturunannya, termasuk pemilikan tanaman dan ternak. Kehormatan merupakan pengakuan dan penghormatan orang lain atas wibawa dan martabat seseorang. Hubungan sosial diatur oleh sistem sosial yang didasarkan pada marga. Hubungan sosial antarmarga diatur menurut dasar struktur sosial tungku berkaki tiga (Dalihan Na Tolu) (Simanjuntak, 2009).

a) Nilai Budaya Batak

Menurut Harahap & Siahaan (1987), nilai budaya Batak yang mencakup semua aspek kehidupan orang Batak dikelompokkan dalam sembilan nilai, yang disebut sebagai budaya utama, yaitu antara lain:

1. Kekerabatan, yang mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang atas hubungan darah, kerukunan, dan segala yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas marga, dan lain-lain.

2. Religi, mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.

3. Hagabeon, artinya banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan ialah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra tujuh belas orang dan putri enam belas orang. Sumber daya manusia bagi orang Batak merupakan hal sangat penting.

4. Hasangapon, artinya kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi


(45)

dorongan kuat untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.

5. Hamoraon, artinya kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak untuk mencari harta benda yang banyak.

6. Hamajuon, artinya kemajuan, yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya ini sangat kuat mendorong orang Batak untuk bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air.

7. Hukum, Patik dohot uhum, artinya aturan dan hukum. Nilai patik dohot uhum

merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak. Budaya menegakkan kebenaran, terlibat dalam dunia hukum, merupakan dunia orang Batak.

8. Pengayoman dalam kehidupan sosiokultural orang Batak kurang kuat dibandingkan nilai-nilai yang disebutkan sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran orang yang mengayomi, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.

9. Konflik dalam kehidupan orang Batak Toba cenderung tinggi, dan hal ini menyagkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain

hamoraon yang mau ataupun tidak merupakan sumber konflik yang abadi.

b) Hubungan Kontroversial dan Inkonsistensi kepada Suku Bangsa Lain

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2009) ditemukan bahwa orang Batak Toba selalu menaruh rasa hormat dan percaya orang lain. Berikut akan dijelaskan mengenai gambaran hubungan kontroversial dan


(46)

inkonsistensi yang ditunjukkan oleh orang Batak terhadap suku bangsa lain yaitu dapat disusun berdasarkan peringkat. Hubungan kontroversi tersebut ditunjukkan dengan sikap antara yang paling disenangi dengan yang tidak disenangi. Secara logis, seharusnya orang yang menghormati orang lain hendaknya memperlakukan orang tersebut sebagai saudara serta suka memberi pertolongan. Demikian juga kepada orang yang dipercaya seharusnya menganggap dan memperlakukannya sebagai saudara, menolong dan mau saling mengalah. Sedangkan kepada orang lain yang tidak dipercaya memang tidak perlu untuk mengalah. Hal ini dapat ditunjukkan pada tabel berikut (Simanjuntak, 2009).

Tabel 2. Hubungan dengan Suku Bangsa Lain

Rank

Nilai

n=500

A n %

B n %

C n %

D n %

E n %

218 43,6 72 14,4 22 4,4 110 22,0 78 15,6 500

107 21,4 110 22,0 62 12,4 162 32,4 59 11,8 500

98 19,6 102 20,4 108 21,6 107 21,4 85 17,0 500

45 9,0 116 23,2 164 32,8 80 16,0 95 19,0 500

23 6,3 100 20,0 144 28,8 41 8,2 183 36,6 500

500 100 500 100 500 100 500 100 500 100 Keterangan:

A. Hormat, B. Sebagai Saudara, C. Menolong, D. Mempercayai, E. Mengalah Tabel 2 menggambarkan sikap yang ditunjukkan oleh orang Batak Toba terhadap orang lain, yaitu sikap yang tidak termasuk dalam hubungan Dalihan Na Tolu, yaitu rasa hormat, sebagai saudara, menolong, mempercayai,dan mengalah yang diurutkan berdasarkan tingkatan atau peringkat yang ditentukan mulai dari hal yang disenangi sampai yang tidak disenangi. Apabila disusun berdasarkan peringkat yang diperoleh dari besarnya persentase lebih besar dari 30%, kedua indikasi sikap, yaitu rasa hormat dan mempercayai orang lain berada pada


(47)

peringkat 1 dan 2. Sementara yang paling tidak disenangi ialah mengalah (peringkat 5) dan selalu menolong serta memperlakukan orang lain sebagai saudara, keduanya berada pada peringkat 4, sedangkan untuk peringkat 3 tidak ada (Simanjuntak, 2009 hal 184-185).

c) Kepribadian Batak Toba

Dalihan Na Tolu adalah sistem nilai dan sekaligus sebagai sistem dari peraturan-peraturan mengenai nilai-nilai tersebut. Sebagai suatu sistem yang bertumpu pada tiga aktor, yaitu hulahula/mora (orang yang dihormati) - Dongan Sabutuha/Kahanggi (satu marga) - Boru/Anak Boru (anak perempuan); sistem ini menanamkan kepribadian yang mandiri, sangat menghargai keterbukaan, sadar diri dan sangat menghargai desentralisasi (Harahap & Siahaan, 1987).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sianipar (2008), yaitu mengenai gambaran kepribadian suku Batak Toba di Pematangsiantar dengan menggunakan Big Five Inventory (BFI), menunjukkan bahwa dimensi Neuroticism adalah dimensi yang yang paling dominan pada suku Batak Toba, kemudian diikuti oleh dimensi extraversion dan openness, sedangkan dimensi yang kurang dominan adalah agreeableness dan conscientiousness.

2. Jawa

Etnis Jawa memiliki nilai-nilai yang membentuk pribadi mereka. Terdapat dua gambaran mengenai kebiasaan-kebiasaan yang ditunjukkan oleh orang Jawa yang sering bertolak belakang yang dijelaskan sebagai berikut.


(48)

a. Kebiasaan Ingin Menang Sendiri

Setelah dicermati, ternyata tidak semua budaya orang Jawa itu baik. Ada juga budaya orang Jawa yang kalau dibiarkan akan berbahaya. Artinya akan merugikan orang lain dan orang Jawa itu sendiri. Kebiasaan orang Jawa yang negatif itu ternyata telah mendarah daging dan sulit dilenyapkan begitu saja. Beberapa kebiasaan buruk yang perlu mendapat perhatian oleh pemerhati budaya, terutama yang mendorong untuk hidup menang sendiri, antara lain sebagai berikut (Endraswara, 2010):

1) Jail methaki,. artinya keinginan untuk mencelakakan pihak lain karena ingin menang sendiri. Orang Jawa yang berwatak demikian, segalanya ingin bagian yang lebih banyak. Mereka ingin lebih berwibawa, berkuasa, lebih kaya, dan selalu menang dalam segala hal. Dalam diri orang jail methakil, selalu dibayang-bayangi oleh rasa khawatir jika orang lain mengungguli dirinya.

2) Merkengkong, artinya orang yang merasa terganggu, rewel, dan sulit dipegang hatinya. Tegasnya orang Jawa yang merkengkong, hatinya bagaikan besi tua, sulit diingatkan orang lain meskipun salah. Oleh karena itu, seringkali akan menghalalkan berbagai cara untuk merobohkan dan menaklukkan kebenaran.

3) Kikrik, adalah watak orang Jawa yang sangat sulit. Biasanya orang yang berwatak kikrik, sulit dikendalikan pihak lain. Kikrik biasanya muncul dalam budaya Jawa yang tersubordinasi. Hubungan antara atasan dan


(49)

bawahan, seringkali muncul watak semacam ini. Watak kikrik selalu diliputi rasa dumeh (merasa dirinya lebih). Implikasi watak kikrik, disamping kata-kata kasar (marah), misuh (menghujat), juga seringkali berupa tindakan keras.

4) Ngrasani. Budaya Ngrasani, tampaknya telah mengarah kedalam pribadi orang Jawa semu. Budaya negatif ini, lahir atas dorongan budaya semu, karena orang Jawa memang tak suka menyatakan sesuatu secara terbuka (blak-blakan). Oleh karena segala sesuatu selalu dibungkus dengan rasa, tibalah pilihan yang “tepat” adalah ngrasani (membicarakan orang lain) secara sembunyi-sembunyi.

b. Kebiasaan Yang Menjatuhkan Harga Diri

1) Trocoh, artinya berhubungan dengan penggunaan kata-kata yang sangat jelek. Kata-kata atau bahasa adalah simbol kepribadian. Jika orang Jawa menggunakan bahasa sesuka hati, yaitu memanfaatkan kata kasar sering dinamakan trocoh. Kata-kata yang tergolong trocoh biasanya tidak cocok diucapkan pada semua tempat.

2) Nyelekuthis, adalah tradisi budaya Jawa yang sangat rendah. Watak yang satu ini akan menurunkan harga diri. Misalkan saja, ada orang yang memakai sepatu semiran, berdasi, memakai jas, tetapi minta rokok dan jajan di pinggir jalan. Orang nyelekuthis tidak dapat menyesuaikan diri, tidak dapat menempatkan diri secara tepat.


(50)

Keistimewaan orang Jawa adalah cita-cita luhur tentang budaya damai. Kedamaian akan menyebabkan suasana tenang dan aman tenteram. Prinsip suka damai, tidak sekedar falsafah sosial Jawa, melainkan merupakan manifestasi batin yang luar biasa. Prinsip yang dianut dalam mencapai kedamaian adalah konsep rukun. Rukun adalah kondisi dimana keseimbangan sosial tercapai. Kerukunan hidup terjadi karena masing-masing individu terjalin saling menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa kekeluargaan, gotong-royong, dan konsep tepa selira selalu dikedepankan dalam kehidupannya (Endraswara, 2010).

Prinsip hidup dunia damai yang dipegang orang Jawa, yakni adanya ungkapan

rukun agawe santosa. Artinya, kerukunan akan menyebabkan seseorang kuat dan sentosa. Hidup rukun digambarkan kedalam perangkat merial berupa sapu lidi (Endraswara, 2010).

d. Toleransi Orang Jawa

Telah diakui oleh berbagai pihak, orang Jawa yang masih mengenang dan menghayati peradaban lama yang sangat dikagumi oleh orang asing. Anderson (dalam Endraswara, 2010) yang telah menjalani Asia Tenggara, terutama ke Jawa, telah mengakui sikap savior vivre (lapang dada) orang Jawa. Sikap inilah yang disebut sebagai “toleransi” orang Jawa. Toleransi menjadi pokok (induk) sikap mental orang Jawa. Toleransi boleh dikatakan sebagai reputasi dan “rapor hijau” bagi orang Jawa sementara ini.

Orang Jawa sekarang telah bersikap toleran dan egaliter, artinya tidak membeda-bedakan kesukuan dan kebangsaan. Hidup orang Jawa yang toleran itu


(51)

telah menciptakan dunia damai di lingkungan masyarakat Jawa. Akibatnya, konflik-konflik sosial yang bersifat horizontal dapat dicegah. Kebatinan merupakan akar teologi Jawa. Kebatinan menjadi sentral kerpibadian Jawa yang tangguh. Atas dasar ini pula, keistimewaan orang Jawa semakin nampak. Melalui kebatinan, toleransi orang Jawa semakin kuat. Karena, mereka tidak lagi mempersoalkan hal-hal yang bersifat material atau lahiriah. Hidup adalah dunia batin yang sangat spiritual (Endraswara, 2010).

e. Kepribadian Jawa

Pribadi orang Jawa memang unik. Umumnya orang Jawa lebih tertutup dalam segala hal. Hal ini ditunjukkan dengan pakaian yang tertutup yang digunakan oleh putri, yaitu nyamping (kain) dan kebaya, sedangkan laki-laki menggunakan surjan

dan kain. Pakaian yang serba panjang itu menjadi ciri bahwa orang Jawa memiliki kepribadian yang tertutup. Namun, sikap ini bukan berarti bahwa orang Jawa tidak mau membuka diri. Orang Jawa mau terbuka (tinarbuka) hanya pada waktu dan tempat-tempat tertentu (Endraswara, 2010).

Orang Jawa selalu menyampaikan segala hal dengan tertutup, halus, dan bermakna. Perilaku bahasa cukup lemah lembut, terlebih lagi di Jawa mengenal ragam karma alus dan ngoko (kasar). Mereka menggunakan ragam halus untuk keperluan tertentu dan hal ini sering ditunjukkan pada saat melakukan aktivitas publik, yaitu selalu rendah diri (anoraga) dalam hal bergaul dengan sesama. Sikap mereka yang seperti ini bertujuan untuk membahagiakan orang lain. Kepribadian Jawa yang hakiki seperti itu sangat jelas tampak dalam dunia wayang, yaitu wayang dijadikan sebagai sebuah sosok baik dan buruk. Watak istimewa dan hina


(52)

selalu tampil dalam wayang. Oleh karena itu, dunia wayang adalah dunia manusia Jawa, dan orang jawa selalu mengidentikkan dirinya dengan wayang (Endraswara, 2010).

Disamping watak baik, terdapat juga watak jelek. Kedua watak ini selalu berlawanan dan tarik-menarik yang sering ditunjukkan dalam wayang. Hal ini merupakan simbol kepribadian orang Jawa yang melukiskan sifat kemunafikan antara bibir dan hati, dan antara kata dan perbuatan. Selain itu, hati teguh adalah keprbadian Jawa yang luhur (Endraswara, 2010).

D. DIF Etnis pada Big Five Inventory

Penelitian mengenai DIF mencakup dua kelompok yang diuji, yaitu Kelompok Referensi (Reference Group) dan Kelompok Fokal (Focal Group). Bagaimanapun, terdapat banyak kelompok Referensi dan Fokal, dan seorang individu mungkin terlibat pada satu atau lebih. Contohnya, wanita kulit putih mungkin termasuk kedalam kelompok referensi untuk satu analisis dan masuk kedalam kelompok fokal untuk hal yang lain (Camilli & Shepard, 1994). Dalam penelitian ini, pengelompokan kedua etnis tersebut menjadi kelompok Referensi atau kelompok Fokal ditentukan berdasarkan masing-masing faktor yang ada dalam Big Five Inventory, antara lain:

Tabel 3. Pengelompokan Etnis ke dalam kelompok Referensi dan Fokal

Faktor/Kelompok Referensi Fokal

Openness Batak Toba Jawa

Extraversion Batak Toba Jawa

Agreeableness Jawa Batak Toba

Conscientiousness Jawa Batak Toba


(53)

Pengelompokan ini didasarkan pada kepribadian dari kedua etnis, yaitu etnis Batak yang sangat menghargai keterbukaan, sadar diri dan sangat desentralisasi dan menanamkan kepribadian yang mandiri, maka dipandang sebagai kelompok Referensi pada faktor Openness, Extraversion, dan Neuroticism yang memiliki kecenderungan menyetujui aitem pernyataan mendukung (favorable) yang ada pada ketiga faktor tersebut, dan menjadi kelompok Fokal pada faktor

Agreeableness dan Conscientiousness. Hal in didukung oleh penelitian Sianipar (2008), yaitu mengenai gambaran kepribadian suku Batak Toba di Pematangsiantar dengan menggunakan Big Five Inventory (BFI), menunjukkan bahwa dimensi Neuroticism adalah dimensi yang yang paling dominan pada suku Batak Toba, kemudian diikuti oleh dimensi extraversion dan openness, sedangkan dimensi yang kurang dominan adalah agreeableness dan

conscientiousness. Sedangkan etnis Jawa sebagai suku bangsa yang halus dan sopan, dan mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang, maka dipandang menjadi kelompok Referensi pada faktor

Agreeableness dan Conscientiousness yang memiliki kecenderungan untuk menyetujui aitem pernyataan mendukung (favorable) yang ada pada kedua faktor tersebut, dan menjadi kelompok Fokal pada faktor Openness, Extraversion, dan


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu data-data numerik (angka) yang diolah dengan metode statistika. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan aitem. Berdasarkan analisis kedalamannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang melakukan analisis sampai pada tahap deskriptif, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan (Azwar, 2011). Penelitian deskriptif umumnya menggunakan statistik deskriptif. Menurut Jhonson & Christensen (2004), statistik deskriptif merupakan penghitungan statistik yang bertujuan menjelaskan, meringkas, dan menjelaskan sekumpulan data. Berdasarkan teori tersebut, penelitian ini menggunakan meode statistik untuk analisis DIF etnis pada BFI versi Indonesia sehingga dapat lebih mudah memahami bagaimana aitem BFI versi Indonesia bekerja ketika diterapkan pada etnis Batak Toba dan etnis Jawa.

B. Data yang digunakan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skor yang diperoleh dari aitem-aitem BFI yang direspon oleh subjek sebanyak 327 orang, yang terdiri dari 172 orang etnis Batak Toba dan 155 orang etnis Jawa.


(55)

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah individu yang merupakan etnis Jawa yang berasal dari beberapa kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, dan Yogyakarta, seperti Subang, Kebumen, Klaten, Jepara, Wonogiri, Solo, Demak, Purwodadi, Majalengka, Kudus, Semarang, Purwokerto, Pati, Bekasi, Bandung, Tegal, Batang, Magelang, Temanggung, Cilacap, Wonosobo, Pemalang, Banjarnegara, Pekalongan, Karanganyar, Sleman, Bantul, Kuloprogo. Sedangkan etnis Batak Toba yang digunakan dalam penelitian ini adalah individu yang berasal dari beberapa kota yang ada di provinsi Sumatera Utara, seperti Tarutung, Balige, Pematangsiantar, Parapat, Langkat, Sipoholon, Maligas, Siborong-borong, Porsea, Sidikalang, Sidamanik, Kisaran, Pahae Jae, Sei Bamban, Tebingtinggi, Sibolga, Dolok Sanggul, Pangaribuan, Binjai, Tiga Dolok, Laguboti, Kisaran, Parlilitan, Pangururan, Parhitean, Barus, Lubuk Pakam, Kerasaan, Silaen, Lumbanjulu, dan Sipahutar. BFI yang digunakan dalam penelitian ini dikonstrak untuk orang dewasa. Usia dewasa yang digunakan adalah rentang 18 sampai 40 tahun, yaitu usia dewasa awal (Hurlock, 1980).

2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel menggunakan Convenience sampling, yaitu pemilihan sampel yang didasarkan pada kesediaan dan kemauan individu untuk menjadi responden (Johnson dan Christensen, 2004). BFI yang


(56)

digunakan dalam penelitian ini dikonstrak untuk orang dewasa. Usia dewasa yang digunakan adalah rentang 18 sampai 40 tahun, yaitu usia dewasa awal (Hurlock, 1980). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnis Batak Toba, yaitu individu yang berasal dari provinsi Sumatera Utara dan etnis Jawa, yaitu individu yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, dan Yogyakarta. Untuk penentuan besarnya sampel yang digunakan dalam penelitian ini, Zumbo (1999) menyatakan bahwa untuk melakukan uji DIF, jumlah subjek sebanyak 200 orang merupakan jumlah yang sudah baik. Berdasarkan teori tersebut, jumlah subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 327 orang, yang terdiri dari 172 orang etnis Batak Toba dan 155 orang etnis Jawa.

D. Instrumen yang Digunakan

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah aitem-aitem yang ada dalam skala BFI yang telah diadaptasi kedalam bahasa Indonesia oleh Mariyanti & Rahmawati. BFI terdiri dari 44 aitem favorable dan unfavorable yang berisikan frase atau kalimat singkat dan kemudian dinilai dengan meminta subjek memilih “STS” (sangat tidak setuju), “TS” (tidak setuju), “N” (netral), “S” (setuju), atau “SS” (sangat setuju). Setiap aitem favorable akan diberikan skor 1 = “STS”, 2 = “TS”, hingga 5 = “SS”. Sedangkan untuk aitem unfavorable akan diskor terbalik yaitu, 1 = “SS”, 2 = “S”, hingga 5 = “STS”. Blue print BFI yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditunjukkan oleh tabel 4 berikut.


(57)

Tabel 4. Blueprint Big Five Inventory No Faktor

Kepribadian

Nomor Butir Aitem Skala Jumlah aitem Persen (%) Aitem Favorable Aitem Unfavorable

1. Extraversion 1, 36, 42 6, 21, 27 6 13.63

2. Agreeableness 7, 17, 22, 30, 32, 44 41 7 15.91 3. Conscientiousness 3, 28, 35 2, 8, 18, 23 7 15.91 4. Neuroticism 4, 14, 19, 29, 31, 37,

39, 43

9, 24, 34 11 25

5. Openness 5, 10, 11, 12, 13, 15,

16, 25, 20, 26, 33, 38, 40

- 13 29.55

Jumlah (Persen) 44 100 BFI versi Indonesia ini memiliki reliabilitas yang baik yaitu 0.70 dan juga memiliki validitas konstruk yang memuaskan dengan nilai rata-rata muatan faktor diatas 0.30 dan varian yang dapat dijelaskan sebesar 41.45%, sehingga alat tes ini layak untuk digunakan (Mariyanti, 2012).

E. Persiapan Penelitian 1. Persiapan Awal

a. Peneliti membuat gambaran penelitian yang akan dilakukan, seperti membuat rumusan masalah, menentukan tujuan, teori dan metode yang akan digunakan dalam penenlitian

b. Peneliti menghubungi pembuat alat tes BFI yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Mariyanti, S.Psi & Etty Rahmawati, M.Si dan meminta izin menggunakan BFI tersebut untuk kepentingan penelitian.


(58)

2. Pelaksanaan Penelitian

a. Pengumpulan data penelitian, yaitu dengan melakukan penyebaran skala terhadap etnis Batak Toba dan etnis Jawa

b. Bekerja sama dengan peneliti lain, yaitu dalam pengambilan data terhadap etnis Batak Toba.

c. Peneliti melakukan penyebaran skala kepada etnis Jawa dengan bantuan teman yang berada di daerah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, dan Yogyakarta dan bantuan Dosen Pembimbing.

3. Pengolahan Data Penelitian

Peneliti melakukan tabulasi data ke dalam Microsoft Excel, kemudian melakukan analisis terhadap data-data yang ada, yaitu analisis DIF aitem BFI dengan metode regresi logistik ordinal, yaitu menggunakan IBM SPSS statistic versi 20.0.

4. Hasil dan Pembahasan

Hasil dan pembahasan ini mencakup penjelasan mengenai data yang tersedia dan hubungannya dengan teori yang digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kesesuaian hubungan antara hasil analisis data dan landasan teori dalam penelitian.

5. Kesimpulan dan Saran

Peneliti membuat kesimpulan terhadap penelitian yang telah dilakukan serta membuat saran untuk peneliti berikutnya, khususnya peneliti yang hendak melanjutkan ataupun mengembangkan penelitian ini.


(59)

F. Software yang digunakan

1. Microsoft Excel adalah program yang diproduksi oleh Microsoft digunakan untuk tabulasi skor subjek yang diperoleh dari hasil tes kepribadian BFI.

2. Program SPSS digunakan untuk analisis DIF, yaitu program IBM SPSS statistic versi 20.0 adalah program yang diproduksi oleh SPPS, Inc. digunakan untuk analisis reliabilitas dan analisis DIF.

G. Analisis DIF

Metode yang digunakan untuk mendeteksi DIF adalah regresi logistik, khususnya regresi logistik ordinal. Sebelum melakukan analisis DIF, terlebih dahulu dilakukan analisis reliabilitas.

1. Reliabilitas

Prosedur pengujian reliabilitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengujian terhadap reliabilitas skor komposit. Menurut Azwar (2010), skor komposit (gabungan) merupakan skor yang diperoleh dari bagian skala, yaitu skor dari masing-masing komponen ataupun subskalanya. Jadi setiap komponen memberikan bobot tersendiri terhadap skala yang mungkin besarnya tidak sama. Mosier (1943 dalam Azwar 2010) mengusulkan formula yang dapat digunakan untuk menghitung koefisien reliabilitas skor skala, yaitu:

...……… (2) Simbol w artinya bobot relatif komponen, dan s berarti standar deviasi, sedangkan untuk huruf “j” dan “k” merupakan komponen yang berkaitan, dan untuk simbol rjk adalah korelasi antar komponen “j” dan “k”.

rxx’ = 1

-∑ -∑wj2

sj2 - ∑ wj2 sj2 ∑ wj2


(60)

2. Regresi Logistik

Swaminathan & Rogers (1990 dalam Jodoin & Gierl, 1999) menggunakan prosedur Regresi Logistik untuk mendeteksi DIF. Regresi Logistik ini digunakan karena mereka yakin bahwa sangat penting untuk mengidentifikasi DIF uniform dan non-uniform. Regresi logistik merupakan metode pendekatan yang didesain secara khusus untuk mendeteksi DIF uniform dan non-uniform.

Model regresi logistik tersebut juga telah diuji dengan membandingkan metode ini terhadap Mantel-Haenszel (MH).

Analisis regresi logistik juga dapat melihat effect-size sehingga dapat mengidentifikasi apakah DIF yang terkandung termasuk dalam jenis DIF

uniform atau non-uniform (Zumbo, 1999). Zumbo & Thomas (1996 dalam Jodoin & Gierl, 1999) mengusulkan ∆R2, yaitu sebuah bobot minimal kuadrat pengukuran effect-size untuk prosedur regresi logistik mengidentifikasi DIF, yang dapat digunakan untuk mengkategorikan besarnya DIF aitem uniform

dan non-uniform. Cohen (1992 dalam Jodoin & Gierl, 1999) mengkategorikan petunjuk effect-size menjadi tiga, yaitu kecil (small), sedang (moderate), dan besar (large).

Berdasarkan ketentuan Cohen (1992), maka Zumbo & Thomas (1996 dalam Jodoin & Gierl, 1999) mengklasifikasikan ∆R2 menjadi tiga, yaitu kategori negligible (tidak berarti) dengan ∆R2<0,13, moderate (sedang) dengan 0,13<∆R2<0,26, dan large (besar)dengan ∆R2>0,26 (Jodoin & Gierl, 1999). Dengan kata lain, nilai R2 Zumbo-Thomas effect size pada aitem


(61)

sebesar ≥ 0,130 untuk kemudian dikatakan memiliki kriteria effect-size

(Zumbo, 1999).

Tiga kelebihan menggunakan regresi logistik (dibandingkan dengan Mantel Haenszel), yaitu (Zumbo, 1999):

1. Tidak memerlukan variabel kriteria secara terus menerus 2. Dapat menentukan DIF uniform dan non-uniform

3. Dapat menggeneralisasikan metode regresi logisitk bineri untuk penggunaan skor aitem ordinal

Analisis yang digunakan untuk menganalisis DIF dalam penelitian ini adalah adalah menggunakan regresi logistik, yaitu metode regresi logistik ordinal. Yang ingin dilihat melalui regresi logistik adalah skor Big Five yang ada pada BFI, yaitu untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh budaya terhadap respon yang diberikan oleh subjek pada aitem Big Five. Analisis regresi logistik ini digunakan karena data yang ada dalam penelitian ini adalah variabel bebasnya mengandung data ordinal, yaitu skor Big Five, dan variabel tergantungnya mengandung data nominal, yaitu etnis Batak Toba dan etnis Jawa.

3. Regresi Logistik Ordinal

Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode terkini yang tersedia untuk menginvestigasi DIF aitem-aitem yang biasanya ditemukan dalam pengukuran kepribadian dan psikologi sosial. Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan untuk menganalisis DIF adalah menggunakan Regresi logistik


(62)

regression). Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode terkini yang tersedia untuk menginvestigasi DIF aitem-aitem yang biasanya ditemukan dalam pengukuran kepribadian dan psikologi sosial. Alasan memilih regresi logistik ordinal antara lain (Miller & Spray dalam Zumbo, 1999):

a. Penggunaan regresi logistik ordinal memiliki keuntungan yaitu dapat digunakan untuk model aitem bineri dan ordinal

b. Metode statistik yang digunakan untuk aitem bineri dan ordinal ini sebaiknya memudahkan proses implementasi ketika analisis DIF belum biasa digunakan

c. Metode regresi logistik ordinal diperluas oleh Zumbo-Thomas, yaitu memiliki uji statistik dan pengukuran yang cocok mengenai effect size.


(63)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisa Data Penelitian

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai gambaran subjek pada penelitian yang telah dilakukan, dilanjutkan dengan hasil penelitian.

1. Gambaran Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah orang dewasa awal yang berumur 18-40 tahun. Total jumlah subjek pada penelitian ini adalah 327 orang dengan rincian 172 orang subjek dalam kelompok etnis Batak Toba dan 155 orang subjek dalam kelompok etnis Jawa. Berikut adalah gambaran subjek penelitian pada kelompok etnis Batak Toba dan kelompok etnis Jawa berdasarkan jenis kelamin dan usia.

Tabel 5. Gambaran Subjek berdasarkan jenis kelamin dan usia

Nama

Kelompok Variabel Jumlah Persentase (%)

Etnis Batak Toba

Jenis Kelamin

Laki-Laki 87 50.6

Perempuan 85 49.4

Total 172 100

Usia

18-23 147 85.5

24-30 20 11.6

31-35 4 2.3

36-40 1 0.6


(64)

(Lanjutan) Tabel 5. Gambaran Subjek berdasarkan jenis kelamin dan usia

Nama Kelompok Variabel Jumlah Persentase

Etnis Jawa

Jenis Kelamin

Laki-Laki 51 32.9

Perempuan 104 67.1

Total 155 100

Usia

18-23 150 96.8

24-30 3 1.9

31-35 2 1.3

36-40 - -

Total 155 100

Berdasarkan tabel 4 dapat kita lihat bahwa subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin, yaitu pada kelompok Batak Toba, jumlah perempuan sebanyak 49,4% atau 85 orang, sedangkan laki-laki berjumlah 50,6% atau 87 orang. Berdasarkan usia, mayoritas subjek penelitian pada kelompok Batak Toba berusia 18-23 tahun yaitu sebanyak 85,5% atau 147 orang, diikuti oleh subjek yang berusia 24-30 tahun sebanyak 11,6% atau 20 orang. Selanjutnya subjek yang berusia 31-35 tahun sebanyak 2,% atau 4 orang dan jumlah yang paling sedikit adalah pada rentang usia 36-40 tahun sebanyak 0,6% atau 1 orang.

Sedangkan pada kelompok Jawa dapat kita lihat bahwa mayoritas subjek penelitian berjenis kelamin perempuan sebanyak 67,1% atau 104 orang, sedangkan subjek laki-laki sebanyak 32,9% atau 51 orang. Berdasarkan usia, mayoritas subjek penelitian pada kelompok Jawa berusia 18-23 tahun yaitu sebanyak 96,8% atau 150 orang, diikuti oleh subjek yang berusia 24-30 tahun sebanyak 1,9% atau 3 orang. Selanjutnya subjek yang berusia 31-35 tahun sebanyak 1,3% atau 2 orang dan tidak ada subjek rentang usia 36-40 tahun.


(1)

* SPSS SYNTAX written by: . * Bruno D. Zumbo, PhD .

* Professor of Psychology and Mathematics, . * University of Northern British Columbia . * e-mail: zumbob@unbc.ca .

* Instructions .

* Copy this file and the file "ologit2.inc", and your SPSS data file into the same folder .

* Change the filename, currently 'binary.sav' to your file name .

* Change 'item', 'total', and 'grp', to the corresponding variables in your file. * Run this entire syntax command file.

include file='ologit2.inc'. execute.

GET

FILE='data.sav'. EXECUTE .

compute item= aitem37.


(2)

compute total= tot. compute grp= group.

* Regression model with the conditioning variable, total score, in alone. ologit var = item total

/output=all. execute.

* Regression model adding uniform DIF to model. ologit var = item total grp

/contrast grp=indicator /output=all.

execute.

* Regression model adding non-uniform DIF to the model. ologit var = item total grp total*grp

/contrast grp=indicator /output=all.

execute.


(3)

* SPSS SYNTAX written by: . * Bruno D. Zumbo, PhD .

* Professor of Psychology and Mathematics, . * University of Northern British Columbia . * e-mail: zumbob@unbc.ca .

* Instructions .

* Copy this file and the file "ologit2.inc", and your SPSS data file into the same folder .

* Change the filename, currently 'binary.sav' to your file name .

* Change 'item', 'total', and 'grp', to the corresponding variables in your file. * Run this entire syntax command file.

include file='ologit2.inc'. execute.

GET

FILE='binary.sav'. EXECUTE .

compute item= aitem41.


(4)

compute total= tot. compute grp= group.

* Regression model with the conditioning variable, total score, in alone. ologit var = item total

/output=all. execute.

* Regression model adding uniform DIF to model. ologit var = item total grp

/contrast grp=indicator /output=all.

execute.

* Regression model adding non-uniform DIF to the model. ologit var = item total grp total*grp

/contrast grp=indicator /output=all.

execute.


(5)

* SPSS SYNTAX written by: . * Bruno D. Zumbo, PhD .

* Professor of Psychology and Mathematics, . * University of Northern British Columbia . * e-mail: zumbob@unbc.ca .

* Instructions .

* Copy this file and the file "ologit2.inc", and your SPSS data file into the same folder .

* Change the filename, currently 'binary.sav' to your file name .

* Change 'item', 'total', and 'grp', to the corresponding variables in your file. * Run this entire syntax command file.

include file='ologit2.inc'. execute.

GET

FILE='binary.sav'. EXECUTE .

compute item= aitem44.


(6)

compute total= tot. compute grp= group.

* Regression model with the conditioning variable, total score, in alone. ologit var = item total

/output=all. execute.

* Regression model adding uniform DIF to model. ologit var = item total grp

/contrast grp=indicator /output=all.

execute.

* Regression model adding non-uniform DIF to the model. ologit var = item total grp total*grp

/contrast grp=indicator /output=all.

execute.