BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota di Indonesia bersifat otonom

  (locale rechtgemeenschappen) yang pembentukannya ditetapkan berdasarkan undang-undang. Pada daerah-daerah dan kota yang bersifat otonom tersebut diadakan badan-badan perwakilan rakyat daerah seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (disingkat DPRD). Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangan Pemerintah Daerah (disingkat Pemda) akan bersendi atas dasar

   permusyawaratan.

  Dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Kepala Daerah. Dalam melaksanakan politik pemerintahannya Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Presiden Cq Menteri Dalam Negeri, namun dalam konsep demokrasi, pertanggungjawaban kinerja pemerintahan daerah tidak cukup hanya kepada Presiden tetapi pelaksanakan tugas Kepala Daerah juga bertanggung jawab kepada masyarakat melalui DPRD sebagai representatif rakyat.

  Dasar hukum pembentukan pemerintahan daerah terdapat dalam Pasal 18 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan: ”Pemerintahan daerah provinsi, daerah

1 S.H. Sarundjang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 28.

  kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.

  Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (disingkat UUPD) menentukan Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, laporan keterangan pertanggungjawaban, dan ringkasan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, mencakup laporan kinerja instansi Pemerintah Daerah. Menurut Pasal 69 ayat (3) UUPD, Bupati/Wali Kota menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

  Pasal 71 ayat (2) UUPD, Kepala Daerah menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Pasal 72 UUPD, Kepala Daerah juga harus menyampaikan ringkasan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat bersamaan dengan penyampaian laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

  Berdasarkan ketentuan tersebut dalam UUPD Kepala Daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang mempunyai kewajiban menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD. Ketentuan ini menegaskan suatu kewajiban bagi Kepala Daerah untuk menyampaikan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.

  Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) UUPD, DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

  Kedudukan DPRD menurut ketentuan ini merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.

  Ketentuan ini menegaskan bahwa DPRD merupakan salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di mana sesuai dengan fungsinya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 149 ayat (1) UUPD, DPRD memiliki fungsi legislasi yaitu pembentukan Perda Kabupaten/Kota, anggaran, dan pengawasan.

  Tujuan dari laporan dan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD sesungguhnya untuk dapat dievaluasi dan mengontrol kinerja eksekutif tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD dalam hal ini melaksanakan fungsinya sebagai pengawas. Fungsi pengawasan tersebut dijalankan oleh anggota DPRD sebagai wujud representasi rakyat di Kabupaten/Kota.

  Dalam melaksanakan fungsi pengawasan anggota DPRD Kabupaten/Kota melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, rencana strategis Kepala Daerah dalam meningkatkan pembangunan di Kabupaten/Kota wajib disampaikan kepada anggota DPRD melalui Rapat Paripurna DPRD bahkan anggota DPRD dapat meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.

  Selanjutnya melalui Sidang Paripurna DPRD dapat memberikan persetujuan terhadap rencana kerja Kepala Daerah untuk tahun yang akan datang dan dapat pula membatalkan kebijakan rencana kerja tersebut jika dipandang tidak tepat berdasarkan hak-hak anggota DPRD sebagaimana ditentukan dalam Pasal 371 ayat (1) UU Nomor

  17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UUMD3) melalui hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat anggota DPRD Kabupaten/Kota.

  Konsep yang terkandung dalam UUPD dan UUMD3 menghendaki konsep kerjasama antara unsur-unsur di daerah khususnya di Kabupaten/Kota dalam menciptakan pembangunan yang nyata dan bertanggung jawab berdasarkan prinsip desentralisasi. Sinergi antara kedua undang-undang ini harus sejalan dalam menciptakan pembangunan yang nyata dan bertanggung jawab.

  Pentingnya mewujudkan lembaga DPRD untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, maka unsur DPRD secara bersama-sama dengan pemerintah daerah harus mampu mengatur dan menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah demi kepentingan masyarakat di daerah berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

2 Indonesia.

  Tujuan pelaksanaan fungsi pengawasan anggota DPRD terhadap kinerja eksekutif di daerah Kabupaten/Kota dalam rangka menjalankan desentralisasi pembangunan ekonomi daerah agar tumbuh dan berkembang lebih baik serta otonom. Desentralisasi menumbuhkan semangat daerah untuk membangun dan mengurangi 2 Konsideran huruf c UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

  

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UUMD3). beban Pemerintah Pusat, meningkatkan partisipasi serta dukungan masyarakat dalam

   pembangunan.

  Kota Medan merupakan salah satu daerah otonom yang dipimpin oleh seorang Walikota. Dari ketentuan UUPD tersebut ditetapkan bahwa Kepala Daerah berkewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun (vide: Pasal 69 ayat 1 UUPD), dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD (vide: Pasal 71 ayat 2 UUPD), serta menginformasikan laporan, penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat (vide: Pasal 72 UUPD).

  Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah di tingkat Provinsi oleh Gubernur disampaikan kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri. Laporan pertanggungjawaban ini disebut dengan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD). Sedangkan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah di tingkat Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri

   melalui Gubernur. Untuk Laporan pertanggungjawaban ini disebut dengan LKPJ.

  Baik di tingkat provinsi maupun di tingkat Kabupaten/Kota, laporan tersebut disampaikan masing-masing 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

  3 Adrian Sutedi, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembangunan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah , (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 21. 4 Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah disingkat LPPD sedangkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban disingkat LKPJ.

  Dalam LKPJ kinerja Wali Kota Medan pada tahun 2011 masih banyak hal-hal yang belum dapat direalisasikan. Oleh karena itu dalam mensinergikan UUPD dan UUMD3 dalam rangka menciptakan pembangunan yang nyata dan bertanggung jawab di Kota Medan, maka anggota DPRD Kota Medan memberikan rekomendasi atas LKPJ tersebut untuk akhir tahun 2011 agar hal-hal yang dirasa belum terealisasi dapat dicapai di tahun 2012.

  Banyak temuan-temuan oleh Panitia Khusus (Pansus) anggota DPRD yang belum terlaksana dan sekaligus menghambat program pembangunan di Kota Medan.

   Temuan itu antara lain tentang kebijakan (beschiking) pengelolaan keuangan daerah,

  urusan kesehatan, masalah akte kelahiran, urusan kepegawaian, urusan sosial dan ketenagakerjaan, urusan lingkungan hidup, urusan kependudukan dan catatan sipil, tumpang tindih antar kegiatan SKPD, dan lain-lain.

  Dalam LKPJ wali Kota Medan tersebut hanya disajikan laporan pertangggungjawaban yang sifatnya hanya statis artinya tidak berubah dari tahun- tahun yang lalu sehingga substansi dalam LKPJ tersebut sulit untuk diukur dengan fakta yang ada. Sementara pada kenyataannya kondisi di Kota Medan masih terdapat rawan banjir yang tidak teratasi dari tahun ke tahun, kawasan penyakit menular, tata

5 Muhammad Abduh, “Kumpulan Bahan Kuliah S2 Ilmu Hukum Konsentrasi HAN: Capita

  Selekta dan Perbandingan Hukum Administrasi Negara”, Modul, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, 2003), hal. 10. Dalam penelitian ini kinerja eksekutif

dapat berupa kebijakan pemerintah (beschiiking) yang wajib memenuhi syarat formil dan materil.

Syarat formil: tentang prosedur, bentuk dan pemberitahuan sedangkan syarat materil: dibuat oleh pejabat yang berwenang, tidak cacat, dan sesuai dengan tujuan. Jika tidak memenuhi kedua syarat ini maka tidak termasuk kebijakan (beschiking). kota yang tidak teratur, dan lain sebagainya, tetapi dalam LKPJ tersebut Kepala

   Daerah (KD) tampaknya terlalu membesar-besarkan hal-hal yang sudah terealisasi.

  Tidak ketinggalan pula dalam struktur perekonomian masyarakat seperti kontribusi masing-masing sektor industri, perdagangan, hotel, restauran, dan jasa-jasa tidak disajikan secara jelas dan terang informasi tentang program. Padahal masing- masing sektor ini memberikan kontribusi terbesar terhadap pembangunan Kota Medan. Dalam LKPJ tidak dirinci secara detail target-target apa yang telah dijalankan dan yang belum terealisasikan terhadap sektor-sektor dimaksud serta kontribusi

   pendapatan.

  Wali Kota Medan dalam pidatonya mengatakan penyelenggaraan pemerintahan daerah selama tahun 2011 khususnya di bidang pengelolaan keuangan daerah cukup berhasil dan menurutnya kondisi keuangan mendukung kebutuhan pembiayaan Kota Medan. Pendapatan daerah tahun 2011 mencapai 88,95% (delapan puluh delapan koma sembilan puluh lima persen) sekitar Rp.2,74 Trilyun (dua koma 6 Pemerintahan Kota Medan, “Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Akhir Tahun

  

Anggaran 2011”, Pemerintah Kota Medan Tahun 2012. Antara lain: misalnya masalah yang

menyangkut pembangunan di kota Medan yang belum dapat ditanggulangi Pemerintah kota Medan

seperti masalah pengangguran dan kemiskinan. Tertib dan kenyamanan berlalu lintas di mana

transportasi yang semakin bertambah tidak seimbang dengan sarana dan prasarana jalan yang

memadai. Pasar tradisional belum efektif sebagai pasar yang standar misalnya banyaknya pasar

tradisional yang berada di pinggir jalan bahkan menggunakan hampir separuh dari badan jalan.

Kondisi ini juga diperparah dengan pedagang liar di pinggir jalan yang tidak tertata dengan baik dalam sebuah tempat yang disediakan. Alokasi anggaran daerah untuk pendidikan dan kesehatan masih jauh

dari harapan sehingga masalahnya penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan masih

kurang memadai. Pengembangan UKMK masih membutuhkan perhatian serius bagi Pemerintah

Daerah kota Medan untuk dapat menopang daya tahan perekonomian kota Medan. Peningkatan daya

saing daerah pada era perdagangan bebas saat ini produk-produk lokal baik di pasar domestik maupun

modern di kota Medan banyak dipengaruhi oleh produk-produk luar negeri sehingga menimbulkan

daya saing yang kurang terhadap produk-produk lokal. Dan lain-lain. 7 Ibid.

  tujuh puluh empat trilyun rupiah). Tidak disebutkan target pendapatan daerah di

   tahun sebelumnya.

  WaliKota Medan juga mengatakan di sisi belanja daerah sudah dikelola semakin efisien, efektif, dan ekonomis. Pertumbuhan ekonomi sebesar 7,9% (tujuh koma sembilan persen), pendapatan perkapita menjadi Rp.43,9 juta (empat puluh tiga

   koma sembilan juta rupiah) di tahun 2011.

  Sesuai dengan fungsi yang diemban oleh anggota DPRD Kota Medan bahwa salah satu fungsi anggota DPRD adalah melaksanakan fungsi pengawasan. Menurut Pasal 69 ayat (1) UUMD3 ditentukan bahwa DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut anggota DPRD berperan sebagai wujud representasi hak-hak rakyat. Melalui anggota DPRD Kota Medan masyarakat Kota Medan menyampaikan segala aspirasinya terhadap kinerja eksekutif (Pemerintah Kota Medan) dalam melaksanakan pembangunan.

  Sesuai dengan perintah dalam Pasal 366 ayat (1) huruf h UUMD3 ditentukan bahwa tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota adalah “meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan 8 Naskah Pidato Wali Kota Medan Dalam Rangka Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Akhir Tahun Anggaran 2011 Kepada DPRD Kota Medan, hal. 8. 9 Ibid., hal. 10-13. Selanjutnya terdapat pada: Rekomendasi Atas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Akhir Tahun Anggaran 2012 dalam Keputusan DPRD Kota Medan

  Nomor: 171/4285/Kep-DPRD/2012, tertanggal 04 Mei 2012, hal. 9. Masalah sarana dan prasarana sekolah misalnya gedung-gedung sekolah yang seharusnya memerlukan perbaikan menjadi terabaikan, sementara sekolah yang belum saatnya direnovasi dijadikan prioritas. Masalah dalam hal ini juga terkait dengan belum meratanya tenaga pengajar di seluruh kota Medan. Tenaga pengajar di bagian pusat kota Medan umumnya berlebih dalam berbagai bidang pelajaran sementara di bagian pinggiran kota Medan masih minim sekali. pemerintahan daerah Kabupaten/Kota”. Dalam hal ini LKPJ dimaksud adalah LKPJ Pemerintah Kota Medan untuk tahun 2011.

  Pasal 71 ayat (2) UUPD, Kepala Daerah menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD ini disebut dengan LKPJ, yang menegaskan Kepala Daerah berkewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan LKPJ kepada DPRD, serta menginformasikan laporan, penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

  Tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota ditentukan pula dalam Pasal 154 ayat (1) huruf h UUPD, yaitu meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. Tugas dan wewenang DPRD meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah ini melalui LKPJ Kepala Daerah kepada DPRD sebagai representasi rakyat. Dalam konteks ini sebagai wujud penyelenggaraan pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.

  Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas terkait berbagai masalah yang terdapat dalam LKPJ Wali Kota Medan dalam rangka pembangunan Kota Medan sehingga menarik untuk dilakukan penelitian terhadap fungsi pengaturan, pelaksanaan pengawasan, dan hambatan-hambatan serta upaya yang dilakukan oleh anggota DPRD Kota Medan, maka dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang,

  ”Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan” sebagai judul dalam tesis ini.

B. Perumusan Masalah

  Permasalahan yang yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini dirumuskan sebagaimana berikut:

  1. Bagaimanakah pengaturan fungsi pengawasan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah?

  2. Bagaimanakah pelaksanaan fungsi pengawasan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan terhadap kinerja eksekutif di Kota Medan tahun 2011 dijalankan?

  3. Apa tindakan anggota DPRD Kota Medan untuk melakukan fungsi pengawasan dalam meningkatkan kinerja Pemerintah Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap ketiga permasalahan di atas, adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan fungsi pengawasan anggota

  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan fungsi pengawasan anggota

  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan terhadap kinerja eksekutif di Kota Medan tahun 2011 dijalankan.

  3. Untuk mengetahui dan menganalisis tindakan anggota DPRD Kota Medan untuk melakukan fungsi pengawasan dalam meningkatkan kinerja Pemerintah Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini memberikan beberapa manfaat yang berguna baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis antara lain:

  1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi pihak akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut serta bermanfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat Kota Medan sebagai unsur yang secara langsung turut merasakan kinerja pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah Kota Medan.

  2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta untuk bahan kajian lebih lanjut seperti terhadap segenap unsur Pemerintahan Daerah Kota Medan dan terhadap anggota DPRD Kota Medan dalam menyikapi berbagai masalah pembangunan di Kota Medan.

E. Keaslian Penelitian

  Penelitian ini memiliki keaslian dan tidak dilakukan plagiat dari hasil karya penelitian pihak lain. Sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap judul dan permasalahan dari tesis-tesis yang ada baik di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum maupun dilakukan penelusuran di situs-situs resmi perguruan tinggi lainnya melalui internet dan diperoleh judul tesis tentang: 1.

  Pengawasan DPRD Terhadap Implementasi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati di Kabupaten Serdang Bedagai, oleh: Nurdin Sipayung. Penelitian mengkonsentrasikan kajiannya pada Pengawasan DPRD terhadap Perda dan Peraturan Bupati di Kabupaten Serdang Bedagai.

  2. Pengawasan Terhadap Kinerja Eksekutif Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Dalam Perspektif UU No.8 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), oleh: TM Zuhri, NIM: 017005065. Penelitian ini mengkonsentrasikan kajiannya terhadap pengawasan kinerja eksekuti di NAD sesuai dengan UU No.8 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

  3. Kedudukan Hukum Eksekutif Daerah dan Legislatif Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah (Studi di DPRD Kota Medan), oleh: Abel Zekonia Trilegenda, NIM: 087005071. Penelitian ini mengkonsentrasikan kajiannya terhadap kedudukan antara Pemerintah Daerah Kota Medan dengan DPRD Kota Medan khususnya dalam membuat Perda Kota Medan.

  Berdasarkan ketiga karya ilmiah di atas tidak satupun yang memiliki kesamaan dengan judul dan permasalahan dalam tesis ini sebab konsentrasi kajian dalam tesis ini adalah penelitian terhadap fungsi pengaturan, pelaksanaan pengawasan, dan hambatan-hambatan serta upaya yang dilakukan oleh anggota DPRD Kota Medan dalam melaksanakan fungsi pengawasan anggota DPRD terhadap kinerja eksekutif di Kota Medan.

  Oleh sebab itu terhadap judul dan permasalahan dalam tesis ini tidak mengandung unsur kesamaan atau plagiat dari hasil karya ilmiah pihak lain, baik dari sisi judul, permasalahan maupun dalam substansinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini baru pertama kali dilakukan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi antara lain kejujuran, rasional, objektif, terbuka, serta sesuai dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

  Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pembagian kekuasaan (distribution of power) bukan pemisahaan kekuasaan (separation of power). Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Montesquieu yang disebut dengan teori trias politika.

  Asas mula teori ini berasal dari Negara Perancis yang membedakan kekuasaan dan tanggung jawab berkaitan dengan pemerintahan terdiri dari: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Ketiga pembagian kekuasaan ini bersifat mandiri antara satu sama lainnya tetapi tidak terlepas dari sistim kontrol

   antara kekuasaan tersebut.

  Pembagian kekuasaan yang terdiri dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif tersebut bertujuan untuk mencegah tindakan penyelewenangan kekuasaan dari setiap bidang karena kekuasaan masing-masing bebas (merdeka) melaksanakan tugas- tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Itu sebabnya walaupun dibagi-bagi dalam tiga bentuk kekuasaan tetapi ketiga kekuasaan

  

  tersebut tidak dispisahkan tetap saling dilakukan sistim kontrol antar lembaga. Hal ini membawa konsekuensi di antara pembagian tersebut yaitu dimungkinkan adanya kerja sama antar lintas lembaga.

  Pembagian ketiga kekuasaan tersebut masing-masing memiliki tugas dan fungsi pokok, di mana untuk kekuasaan legislatif melaksanakan tugas sebagai regulator (pembentuk undang-undang) dan melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja eksekutif. Untuk kekuasaan eksekutif melaksanakan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di provinsi, Kabupaten/Kota. Sedangkan kekuasaan yudikatif melaksanakan tugas dan fungsi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman dalam rangka memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara.

  10 Sarman dan Muhammad Taufik Makarao, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal. 12. 11 Ibid., hal. 13.

  Menurut Aristoteles bahwa hukum memegang kedaulatan tertinggi, hukum

  

  tidak akan dapat digantikan oleh karena kekuasaan belaka. Sesuai dengan filosofi lahirnya teori trias politika Montesquieu lahir di Eropa Barat sebagai reaksi dari kekuasaan raja yang absolut di tangan satu orang. Ide trias politika ini dimaksudkan

  

  agar adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Trias politika merupakan konsep pembagian kekuasaan yang berfungsi untuk mencegah timbulnya sebuah kekuasaan yang absolut yang pada akhirnya akan berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan penguasa.

  Menurut Philipus M. Hadjon, penyalahgunaan wewenang dalam konsep hukum administrasi selalu diparalelkan dengan konsep detournement de pouvoir. dalam hal ini, Pemerintah melakukan penyalahgunaan kewenangan untuk mewujudkan tujuan lain, selain yang telah ditentukan di dalam perundang-undangan

   yang berlaku.

  Penyalahgunaan wewenang terjadi penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada pemegang wewenang itu. 12 J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 182-183. 13 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:

Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, 1983),

  hal. 140. 14 Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, GH Addink, dan JBJM Ten Berge, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi , (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2011), hal. 21-

22. Dalam buku ini disebutkan: het oneigenlijk gebruik maken van haar bevoegdheid door de

  overheid. Hiervan is sprake indien een overheidsorgaan zijn bevoegdheid kennelijk tot een ander doel

heeft gebruikt dan tot doeleinden waartoe die bevoegdheid is gegevan. De overheid schendt aldus het

specialiteitsbeginsel .

  Selanjutnya Hadjon mengatakan, terjadinya penyalahgunaan wewenang bukan karena suatu kealpaan melainkan dilakukan secara sadar dan disengaja atas dasar interest pribadi yang negatif untuk mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada

   pemegang wewenang itu.

  Konsep dalam teori trias politika sebagai penentangan dari kesewenangan penguasa dari Montesquieu membagi kekuasaan antara kekuasaan legislatif yang memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang, eksekutif yang yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan yudikatif untuk mengadili atas

  

  pelanggaran undang-undang. Franz Magnis Suseno, mengatakan, ”Pemisahan kekuasaan perlu untuk mencegah jangan sampai seseorang, badan, atau jawatan

   menjadi terlalu kuat dan menghancurkan kebebasan masyarakat”.

  Pada prinsipnya pengawasan terhadap pemerintah bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya serta mengembangkan mekanisme

  

check and balances antara lembaga legislatif daerah (DPRD) dan eksekutif daerah

  (pemerintah daerah/KD) demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Mirza Nasution menyebutkan, check and balances erat kaitannya dengan asas trias politika

   yang bermakna pembagian kekuasaan secara horizontal. 15 16 Ibid., hal. 22.

  Tokoh-tokoh yang mengusung konsep trias politika diantaranya Montesquieu (Perancis) dan John Locke (Inggris). 17 Franz Magnis Suseno dalam Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik , (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 109. 18 Mirza Nasution, Pertanggungjawaban Gubernur Dalam Negara Kesatuan Indonesia, (Jakarta: Sofmedia, 2011), hal. 169. Montesquieu sama sekali tidak bermaksud untuk mengemukakan ajaran kekuasaan negara yang bersifat mutlak. Ide pembagian kekuasaan yang diajarkan Montesquieu merupakan gambaran mengenai cara yang dapat ditempuh oleh negara untuk mewujudkan tujuannya yaitu memberikan kebaikan tertinggi kepada warga

   negaranya berdasarkan asas kedaulatan rakyat.

  Montesquieu juga tidak bermaksud untuk memisahkan kekuasaan negara melainkan hanya untuk membaginya dalam tiga kekuasaan sebagai antisipasi penyelahgunaan wewenang absolut. Pemisahaan kekuasaan mengandung makna kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya. Sedangkan dalam konteks pembagian kekuasaan hanya kekuasaannya yang dibagi dalam beberapa bagian yang mengandung konsekuensi

   tetap dimungkinkannya kerja sama antara ketiga kekuasaan.

  Dalam UUD 1945 terdapat pembagian kekuasaan yang terdiri dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif. UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia harus menjadi sumber dasar menjalankan kekuasaan agar pembangunan nasional terarah pada pemenuhan kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum. Konstitusi sebagai sumber kekuasaan, hukum tidak hanya memiliki kedaulatan dan kewibawaan tertinggi, tetapi juga harus menjadi dasar dan landasan kehidupan bernegara.

  Dalam konstitusi negara Republik Indonesia terkandung norma dasar dalam

  Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat 19 20 Hotma P. Sibuea, Op. cit, hal. 16.

  Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Loc. cit. dan dilaksanakan melalui undang-undang. Untuk mewujudkan tujuan demi kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan bagi warga negara Indonesia inilah maka kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.

  Desentralisasi bukan berarti kebebasan atau kemerdekaan (onafhankelijkheid) di daerah melainkan kemandirian (zelfstandigheid). Kemandirian dalam ikatan negara kesatuan, karena itu diperlukan pengawasan untuk mengendalikan agar desentralisasi tidak bergeser semacam menjadi kemerdekaan daerah walaupun sekedar untuk urusan

   pemerintahan.

  Menurut teori desentralisasi, harus diadakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom.

  Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.

  Teori desentralisasi tidak mengharuskan semua urusan diserahi atau dilimpahi kepada institusi atau lembaga atau dari pejabat tertentu di daerah. Indonesia dalam negara kesatuan, konsep desentralisasi tidak boleh dilaksanakan secara total (total 21 Philipus M. Hadjon, R. Sri Soemantri Martosoewignjo, Sjachran Basah, Bagir Manan, HM.

  

Laica Marzuki, JBJM. Ten Berge, PJJ. Van Buuren, dan FAM. Stroink, Pengantar Hukum

Administrasi Indonesia , (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hal. 212.

  

decentralization ). Tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun di negara

   kesatuan yang sepenuhnya diselenggarakan secara desentralisasi.

  Pemerintah lokal administratif (local state government) itulah sebagai pemerintah wilayah, terbentuk sebagai konsekuensi dari desentralisasi. Pemerintah lokal administratif hanya menyelenggarakan perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk dari pemerintah pusat dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat.

  Pemerintah lokal administratif dibentuk karena penyelenggaraan semua urusan pemerintahan negara tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah pusat.

  Konsekuensi dari pemerintah lokal administratif, maka tugas-tugas pemerintah daerah

   hanya terbatas pada tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah pusat.

  Sedangkan urusan Kepala Daerah yang lain dilaksanakan oleh pemerintah lokal yang mengurus rumah tangga sendiri (local self government) sebagai konsekuensi dari desentralisasi dan tetap dalam ikatan NKRI. Hal ini dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat khusus pada daerah-daerah tertentu di mana Kepala Daerah diberi urusan untuk mengurusi

   kepentingan daerahnya sendiri.

  Posisi DPRD dalam sistim ketatanegaraan secara hosizontal menjalankan kekuasaan legislatif sebagai konsep dari teori desentralisasi. Posisi ini sehubungan pula dengan penyelenggaraan otonomi daerah di mana pemerintah daerah perlu 22 23 Mirza Nasution, Op. cit., hal. 264.

  S.H. Sarundjang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 28. 24 Ibid. diawasi oleh dewan legislatif sebagai amanat UUD Tahun 1945. Pengawasan terhadap pemerintah daerah tersebut sehubungan dengan tugas pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran, serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Pasal 18 ayat (3) UUD Tahun 1945 menegaskan norma yang mengatur pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini berarti berdasarkan asas desentralisasi, maka setiap daerah otonom memiliki DPRD yang bertugas sebagai representatif asas kedaulatan berada di tangan rakyat.

  Segala bentuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan di daerah dikontrol dan diawasi oleh rakyat melalui dewan perwakilannya yaitu DPRD. Dalam konteks ini Kepala Daerah dan anggota DPRD secara bersama-sama berperan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kepala Daerah bertanggung jawab terhadap semua kinerja yang dilakukan di daerah sedangkan DPRD bertanggung jawab untuk

   melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Kepala Daerah. 25 Jika dikaitkan dengan norma yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Akmal Boedianto, Hukum Pemerintahan Daerah, Pembentukan Perda APBD Partisipatif, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), hal. 94.

  1945 yang mengandung asas kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, maka pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD terhadap kinerja pemerintah (eksekutif) merupakan wujud dari kedaulatan berada di tangan rakyat dalam konsep negara demokrasi.

  DPRD sebagai lembaga legislatif harus mampu menjalankan fungsi

  

  kontrolnya secara efektif (effective representative system). Teori pengawasan menurut Stoner dan Freeman: “Controlling is the process of assuring that actual

  

activities conform to planed activities ”. Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa

  secara umum pengawasan merupakan proses untuk menjamin suatu kegiatan sesuai

   dengan rencana kegiatan.

  Kemudian Koontz, berpendapat: “Controlling is measurement and correction

  

of performance in order to make sure that enterprisen objectivies and the plans

devised to attain them are being accomplished ”. Menurut pendangan ini, pengawasan

  dimaksud merupakan suatu cara untuk melakukan pengukuran dan tindakan atas kinerja yang berguna untuk meyakinkan organisasi secara objektif dan merencanakan

   suatu cara dalam mencapai tujuan organisasi.

  Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa pengawasan dilaksanakan agar visi, misi, dan tujuan organisasi tercapai dengan lancar tanpa ada penyimpangan atau segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui serta menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan kegiatan apakah sesuai dengan yang 26 27 Bismar Nasution, “Peranan Birokrasi....Loc. cit. 28 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Loc. cit.

  Ibid. semestinya atau tidak, apakah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau terjadi penyimpangan.

  Dengan adanya adanya wewenang pengawasan bagi DPRD terhadap pemerintah daerah pada prinsip masyarakat terlindungi dari ketidaksewenang- wenangan penguasa (pemerintah) khususnya pemerintah daerah. Hadjon mengatakan, perlindungan hukum preventif sebenarnya menghendaki “mencegah sengketa lebih baik daripada menyelesaikan sengketa”. Beliau juga mengakui bahwa perlindungan hukum dalam hukum administratif di Indonesia belum memadai dalam hal upaya

   preventif.

  Pengawasan dapat memberikan umpan balik kepada pemerintah itu sendiri. Pengawasan harus memberikan informasi sedini mungkin, sebagai bagian dari sistim peringatan dini bagi pemerintah daerah. Sistim pengawasan melekat pada setiap fungsi yang dilakukan manajemen artinya pada saat melaksanakan fungsi perencanaan seorang manajer dan yang mempunyai fungsi pengawasan sudah harus

   melaksanakan fungsi pengawasan demikian juga pada fungsi manajemen lainnya.

  Berdasarkan teori pengawasan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa pengawasan dari anggota DPRD memiliki arti penting bagi pemerintah daerah, karena akan memberikan umpan balik (feed back) untuk perbaikan pengelolaan pembangunan, sehingga tidak keluar dari jalur-jalur dan prosedur/tahapan serta tujuan otonomi daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Sementara bagi 29 Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, GH Addink, dan JBJM Ten Berge, Op. cit., hal.

  8-9. 30 Ibid., hal. 144.

  pelaksana, pengawasan merupakan aktivitas untuk memberikan kontribusi dalam proses pembangunan daerah agar aktivitas pengelolaan daerah dapat mencapai tujuan dan sasaran secara efektif dan efisien.

  Upaya untuk mewujudkan pengawasan ini mendorong birokrasi pemerintahan yang baik (good governance) yang ditekankan pada Pemerintah khususnya pemerintah daerah harus menjadi pemimpin yang berprinsip dan berpijak pada transparansi dan tanggung jawab melaksanakan kebijaksanaan dan program.

  Pemerintah harus pula mengedepankan kemauan politik untuk menjaga tata kelola

   pemerintahannya selalu bersih.

  Kinerja tanpa pengawasan berpotensi membuat kekuasaan tidak terkontrol, akibatnya akan membuat kekuasaan melakukan praktik-praktik korupsi. Bismar menegaskan seharusnya diadakan pembaharuan pemerintahan (reinventing

  

government ) dalam sistem politik. Pembaharuan dimaksud untuk melakukan

  restrukturisasi organisasi dengan mengubah tujuan-tujuan yang salah dalam distribusi

   kekuasaan.

  Pengawasan DPRD bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya serta mengembangkan mekanisme check and balances antara 31 Sofyan Nasution, “Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan Prinsip-Prinsip

  Good Governance”, Makalah yang disampaikan pada Seminar tentang Diseminasi Policy Paper,

diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara, hal. 1-2. 32 Bismar Nasution, “Penerapan Good Governance Dalam Menyambut Domestic Regulations WTO”, Makalah yang disampaikan pada Acara Diskusi Mengenai Domestic Regulations-WTO, diadakan oleh Bank Indonesia di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2007, hal. 8-9. lembaga legislatif daerah (DPRD) dan eksekutif daerah (pemerintah daerah/KD) demi

   mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

  Menurut Philipus M. Hadjon, sehubungan dengan makna desentralisasi, bukan berarti kebebasan atau kemerdekaan (onafhankelijkheid) di daerah melainkan kemandirian (zelfstandigheid), oleh karena itu, diperlukan pengawasan untuk mengendalikan agar desentralisasi tidak bergeser semacam menjadi kemerdekaan

   pemerintahan daerah.

  Pengawasan sangat penting dilakukan terhadap pelaksanaan kinerja pemerintah daerah karena tugas dan wewenang pemerintah sehubungan dengan pelayanan publik yang berarti menyangkut hak-hak sosial (social right) yang harus diterima masyarakat dari pemerintah seperti hak-hak untuk mendapatkan pendidikan, hak memperoleh kenyamanan, keamanan, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, jaminan hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan

   hukum, jaminan sosial, dan lain-lain.

  Dalam mewujudkan hak-hak rakyat tersebut tidak dapat hanya sekedar diakui tetapi perlu duwujudkan melalui peran serta DPRD untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah, maka muncullah sistim otonomi daerah. Sistim otonomi daerah memberikan hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan 33 34 Mirza Nasution, Op. cit., hal. 169.

  Philipus M. Hadjon, R. Sri Soemantri Martosoewignjo, Sjachran Basah, Bagir Manan, HM.

Laica Marzuki, JBJM. Ten Berge, PJJ. Van Buuren, dan FAM. Stroink, Pengantar Hukum

Administrasi Indonesia , (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hal. 212. 35 Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, GH Addink, dan JBJM Ten Berge, Op. cit., hal.

  26. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan dikenal asas desentralisasi dan dekonsentrasi.

  Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebahagian dari kewenangan pemerintah

  

  pusat kepada alat-alat pemerintahannya yang ada di daerah. Sedangkan desentraslisasi merupakan pendistribusian kekuasaan Pemerintah pusat ke daerah-

  

  daerah. Desentralisasi inilah yang pada akhirnya menjadi asas dalam penyelenggaraan negara yang mengenal istilah daerah otonom sehingga dikenal

   dengan dengan konsep ini terbentuk lah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

  Pasal 1 ayat (8) UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), ditentukan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Menurut undang-undang ini kekuasaan Pemerintah Pusat didistribusikan kepada Wilayah Provinsi dan daerah-daerah Kabupaten/Kota dalam hal mengurusi sendiri daerah-daerah tersebut.

  Pasal 1 ayat (9) UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Menurut 36 Faisal Akbar, Pemerintahan Daerah dan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah, (Jakarta: Sofmedia, 2009), hal. 8. 37 38 Ibid., hal. 38.

  Ibid., hal. 10. undang-undang ini sebahagian yang menjadi wewenang Pemerintah pusat dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan/atau kepada bupati/wali kota.

  Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah.

  Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.

  Sebagaimana fungsi dewan legislatif DPRD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi DPRD dilaksanakan sebagai perwujudan DPRD selaku pemegang kekuasaan membentuk Perda di daerah. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD yang diajukan oleh Kepala Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang pemerintahan daerah dan APBD.

  Taufiqurrohman Syahuri menegaskan dengan adanya konstitusi berfungsi membatasi kekuasaan organ-organ negara yang mengatur susunan oganisasi pemerintahan, menetapkan badan-badan negara dan cara kerja badan-badan tersebut, menetapkan hubungan antara Pemerintah dan warga negara, serta mengawasi

  

  pelaksanaan pemerintahan. Dengan demikian secara politis, pemberian kewenangan untuk mengurusi urusan di daerah tidak diserahkan demikian saja kepada pemerintah daerah tetapi melibatkan peran DPRD untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan daerah dalam rangka mewujudkan pembangunan daerah otonom.

  Dalam konteks penyelenggaran pemerintahan daerah asas pemerintahan yang baik berfungsi untuk mewujudkan cita hukum otonomi daerah. Asas pemerintahan yang baik tidak hanya ditujukan kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Menurut Bismar Nasution, dalam mengupayakan pemerintahan yang baik perlu didukung oleh suara hati berbagai kalangan untuk

   menerapkannya, seperti lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

  Konsep dasar pengawasan DPRD meliputi pemahaman tentang arti penting pengawasan yang efektif, ruang lingkup dan proses pengawasan. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling atau disingkat POAC) untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai

39 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 65.

  40 Bismar Nasution, “Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan Good Governance: Suatu Kajian dari Pandangan Hukum dan Moral”, Makalah yang disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia Reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-prinsip

Good Governance , diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia berkerjasama dengan

Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara, hal. 1. dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat

   tercapai secara efektif dan efisien.

  Peran serta DPRD dalam melakukan pengawasan sangat diharapkan. Setelah berlakunya UUPD dan UUMD3, diletakkan dasar penyelenggaraan otonomi daerah yang diperlukan pengawasan dari legislatif khususnya pengawasan DPRD terhadap kinerja Kepala Daerah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas-tugas Pemerintah di daerah.

  Sikap yang menutup diri atau menyimpan informasi yang seharusnya wajib disampaikan kepada publik bertentangan dengan prinsip tarnsparansi ini. Bidang- bidang yang menjadi urusan pemerintah daerah sebagaimana yang diperintahkan dalam UUPD harus dilaksanakan secara transparan kepada rakyat melalui laporan pertanggungjawabannya di hadapan anggota DPRD.

  Pelaksanaan prinsip tanggung jawab merupakan kunci suatu keberhasilan dalam mengemban amanah. Tanggung jawab masing-masing jajaran birokrat dalam pelaksanaan pembangunan daerah, tidak terlepas dari tanggung jawab sebagai Kepala Daerah. Oleh karenanya Kepala Daerah dan jajaran pemerintahan harus sama-sama bertanggung jawab di hadapan anggota DPRD atas kinerja yang dilakukan jika hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan rencana. Prinsip pertanggungjawaban

41 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) , (Bandung: Fokusmedia, 2009), hal. 143.

  mengharuskan pemerintahan daerah selalu patuh terhadap ketentuan perundang-

   undangan yang berlaku berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.

  Dalam menjalankan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik perlu didukung dengan moralitas penyelenggara negara baik Kepala Daerah maupun jajarannya.

Dokumen yang terkait

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 56 76

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

3 64 152

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Dprd) Periode 2009-2014 Terhadap Pengelolaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten Subang

1 7 104

Kinerja Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung dalam Melaksanakan Fungsi Pengawasan

0 7 1

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Ideal Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Perjanjian Kredit dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan (Studi Bank Sumut Pusat)

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Perilaku Perempuan Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan 2014

0 0 34

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 0 24

BAB II PENGATURAN FUNGSI PENGAWASAN ANGGOTA DPRD MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH A. Sistim Pemerintahan Daerah - Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

0 0 40